Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pajak Penghasilan
Disusun Oleh :
Halimah Tun Sakdiah : 1702122480
Nurlita : 1702110177
Sri Muliyanti : 1702110251
Sinta Aditia Indriyani : 1702110230
1. Metode rata-rata
2. Metode first in first out (FIFO)
Penggunaan metode penilaian pemakaian persediaan tersebut harus dilakukan
secara taat asas, artinya apabila wajib pajak memilih salah satu cara penilaian
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk
tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama sesuai dengan
kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Data persediaan :
- Persediaan awal 100 unit, perunit Rp1.000.000
- Pembelian 5 Januari 200 unit, perunit Rp2.000.000
- Pembelian 10 Januari 300 unit, perunit Rp3.000.000
- Penjualan 15 Januari 400 unit, perunit Rp4.000.000
Penghitungan HPP
Penjualan Rp1.600.000.000
HPP adalah :
- Persediaan awal 100 unit x Rp100.000.000
Rp1.000.000
- Pembelian 5 Januari 200 unit x Rp400.000.000
Rp2.000.000
- Pembelian 10 100 unit x Rp300.000.000
Januari Rp3.000.000
- Total terjual 400 unit (Rp800.000.000)
Laba Kotor Rp800.000.000
Persediaan akhir :
- 200 unit, perunit Rp3.000.000 = Rp600.000.000
2. Metode rata-rata tertimbang (weighted average)
Wajib Pajak dapat memilih salah satu metode amortisasi di atas dan dilakukan secara
konsisten atau taat asas. Perubahan metode amortisasi harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.
1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan
dapat dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi.
2. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Contoh:
PT DiraWood pada tahun 2017 mengeluarkan uang sebesar Rp.
1.000.000.000,00 untuk memperoleh hak pengusahaan hutan. Potensi hak
pengusahaan hutan adalah 200.000 ton. Jumlah produksi pada tahun 2017 adalah
sebesar 80.000 ton.
Jumlah yang diamortisasi dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan
dalam tahun 2017 adalah sebesar:
(80.000: 200.000) ton x Rp. 1.000.000.000,00 =
40% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 400.000.000,00
Jumlah yang telah diamortisasi maksimum adalah 20% dari pengeluaran, maka
amortisasi yang diperkenankan hanyalah sebesar 20% x Rp 1.000.000.000,00 =
Rp. 200.000.000,00
Terkait dengan Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi yang menjalankan usaha
sesuai kondisi di atas, maka Wajib Pajak tersebut wajib melakukan pembukuan secara
terpisah serta melakukan alokasi proporsi biaya dalam rangka menghitung Penghasilan
Kena Pajak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah (PP) 94 Taun
2010 bahwa “(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah
dalam hal:
Contoh Kasus :
PT ABC bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di
Surabaya mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam
rangka pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan
lainnya di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah
harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang
mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas
perpajakan (di Surabaya).
Biaya Bersama (Join Cost)
Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung
dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan
dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan lainnya.
Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah
dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.
Contoh Kasus :
PT XYZ bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT XYZ memperoleh
penghasilan bruto yang terdiri dari:
Keterangan Jumlah
Penghasilan dari usaha yang telah dikenakan PPh yang Rp 100.000.000.000
bersifat final
Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang Rp 500.000.000.000
bersifat tidak final
Total Penghasilan Rp 600.000.000.000
Alokasi pembebanan pengeluaran atau biaya yang merupakan joint cost kepada
masing- masing penghasilan, apabila tidak dapat dipisahkan secara jelas sesuai
pengeluaran atau biaya yang sebenarnya terjadi untuk masing-masing penghasilan
tersebut, dapat dilakukan secara proporsional berdasarkan perbandingan jumlah
penghasilan bruto, jam kerja atau jam pakai, atau cara perbandingan lainnya yang
relevan dan lazim. Beban dari penghasilan yang dikenakan PPh final tidak dapat
diperhitungkan.
Apabila besarnya suatu pengeluaran atau biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara suatu penghasilan tidak terpengaruh oleh ada-tidaknya kegiatan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan lainnya, atau dengan perkataan
lain jumlahnya tetap sama, maka dalam hal demikian pengeluaran atau biaya tersebut
bukan merupakan joint cost, sehingga pembebanannya tidak dialokasikan melainkan
merupakan beban sepenuhnya dari penghasilan yang terkait saja.