Anda di halaman 1dari 5

Ringkasan Putusan

Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dengan hormat dilaporkan
sebagai berikut :
1. Pemohon :
Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi
Berkeadilan (IMPARSIAL), dkk
2. Materi pasal yang diuji:
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu;
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu.
Pasal 2
(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya
itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh
Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden
Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan
menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/
aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat
pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-
sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh
Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2
terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih
terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut,
anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan
dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 156a

www.djpp.depkumham.go.id
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), ayat
(3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945;
• Pasal 1 ayat (3)
Negara Indonesia adalah negara hukum.
• Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
• Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
• Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat.
• Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.
• Pasal 29 ayat (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2
www.djpp.depkumham.go.id
3. Amar putusan :
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya
4. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi antara lain:
a. bahwa Pasal-pasal penodaan agama tidak semata-mata dilihat
dari aspek yuridis saja melainkan juga aspek filosofisnya yang
menempatkan kebebasan beragama dalam perspektif
keindonesiaan, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di
Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di
negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.
Terlebih lagi, aspek preventif dari suatu negara menjadi
pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen.
b. bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang
diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan
kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan
kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk
mewujudkan HAM bagi setiap orang.
c. bahwa negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak
asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang
berkeadilan. Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa
dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak
melukai kebebasan beragama orang lain. Di sinilah negara akan
mewujudkan tujuannya yakni untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik (the best life possible).
d. bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi
manusia yang sangat fundamental, melekat dalam diri setiap
manusia. Atas jaminan tersebut maka dalam proses
perkembangannya timbul dinamika beberapa pandangan tentang
bagaimana relasi agama dan negara yang menjadi isu hukum
dalam perkara ini.
e. bahwa semua Penpres yang dibuat oleh Pemerintah pada masa
Demokrasi Terpimpin sudah diseleksi melalui Ketetapan MPRS
Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-
Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai
Dengan UUD 1945, yang hasilnya menyebutkan terdapat
beberapa Penpres yang dinyatakan dicabut atau batal dan ada
yang dilanjutkan atau tetap diberlakukan sebagai Undang-
Undang dengan diundangkan kembali. UU Pencegahan Penodaan
Agama adalah salah satu dari Penpres yang dinyatakan dapat
diteruskan dan diundangkan kembali melalui Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969.
f. bahwa Undang-Undang 10 Tahun 2004 tidak dapat dijadikan
pedoman dalam menilai pembentukan Undang-Undang yang
lahir sebelum lahirnya Undang-Undang 10 Tahun 2004. Selain itu
kedudukan Lampiran dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 hanyalah pedoman atau arahan yang tidak mutlak harus
diikuti; maksudnya agar Undang-Undang yang dibentuk menjadi
baik dan bukan syarat untuk menjadi benar. Tanpa mengikuti
Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebuah
Undang-Undang tetap dapat sah dan tidak harus diartikan salah
secara formal proseduralnya.

3
www.djpp.depkumham.go.id
g. bahwa penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu
merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat
memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir
dapat mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada
terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas
ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada
pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah
berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui
metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang
bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga
kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak
bersifat mutlak atau absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada
metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta
tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan
menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban
umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum.
Hal itu sesuai juga dengan ketentuan Article 18 ICCPR.
h. bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama tidak sedikitpun
mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di
Indonesia, karena semua penganut agama mendapat pengakuan
dan jaminan perlindungan yang sama. Adapun pernyataan dan
penyebutan agama-agama dalam penjelasan tersebut hanyalah
pengakuan secara faktual dan sosiologis keberadaan agama-
agama di Indonesia pada saat UU Pencegahan Penodaan Agama
dirumuskan.
i. bahwa disparitas atau perbedaan penjatuhan pidana yang
ditetapkan dalam putusan pengadilan sejatinya bukan
merupakan bentuk diskriminasi dan bentuk inkonsistensi
multitafsir dari sebuah teks, melainkan merupakan kewenangan
hakim yang dapat menilai berat atau ringannya pelanggaran
menurut kasusnya masing-masing.
5. Terhadap Putusan tersebut terdapat satu hakim yang mempunyai
alasan berbeda (concurring opinion), yaitu Harjono dan pendapat
berbeda (dissenting opinion), yaitu: Maria Farida Indrati, dengan
pertimbangan antara lain :

a. Harjono

bahwa rumusan Pasal 1 Undang-Undang a quo mengandung


kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut dapat
dilakukan dengan cara melakukan revisi Pasal 1 Undang-Undang
a quo oleh lembaga pembuat Undang-Undang, sedangkan
apabila Pasal 1 Undang-Undang a quo dicabut maka akan
terdapat ke-vakum-an hukum yang ketiadaan aturan tersebut
dapat menimbulkan akibat sosial yang luas meskipun akibat itu
sendiri dapat diatasi dengan aturan hukum yang ada, namun
untuk melakukan hal yang demikian akan memerlukan social
cost yang tinggi. Dengan demikian, meskipun terdapat
kebutuhan untuk melakukan revisi terhadap perumusan Pasal 1
Undang-Undang a quo dan perlunya diciptakan formula rumusan
Undang-Undang yang tidak menegasikan dua unsur, yaitu
perlindungan agama di satu pihak dan kebebasan berkeyakinan

4
www.djpp.depkumham.go.id
di pihak lain, namun karena keterbatasan Mahkamah Konstitusi
yang hanya sebagai negative legislator yang tidak berwenang
untuk mengganti rumusan Pasal 1 Undang-Undang a quo dengan
rumusan yang berbeda, sementara pernyataan tidak mempunyai
kekuatan hukum akan menimbulkan ke-vakum-an hukum, maka
dengan dasar asas kemanfaatan sambil menunggu
penyempurnaan yang dilakukan oleh pembuat Undang-Undang,
saya berpendapat bahwa untuk sementara waktu Undang-
Undang a quo perlu dipertahankan.
b. Maria Farida Indrati

Bahwa Undang-Undang a quo merupakan produk masa lampau,


yang walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-
Undang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku
(validity), namun secara substansial mempunyai berbagai
kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal
yang menyangkut hak-hak asasi manusia.

5
www.djpp.depkumham.go.id

Anda mungkin juga menyukai