PENDAHULUAN
Tonsillitis merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan pada masa anak-
anak. Tonsil merupakan salah satu jaringan imunologi yang ikut berperan dalam sistem
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dalam kondisi normal tonsil berfungsi untuk melindungi
tubuh terhadap infeksi baik melalui udara maupun makanan secara imunologis. Tonsil
mengandung sel limfoid sekitar 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.1,2
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatine (tonsila faucial), dan tonsila lingual (tonsil pangkal lidah) yang ketiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasa disebut tonsil saja terletak di
dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus)
dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain: fosa tonsil, kapsul tonsil,
plika triangularis. Epitel yang melapisi tonsil merupakan epitel skuamosa yang disebut kriptus.
Di dalam kriptus inilah biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan
sisa makanan. Kripta ini tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel
permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel dan menjadi nodul pada bulan ke 6,
yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Tonsil faringeal yang disebut adenoid terletak di
dinding belakang nasofaring. Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika.1,2
Tonsilitis atau yang sering dikenal dengan amandel adalah peradangan pada tonsil palatina
yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Peradangan pada tonsil ini bisa disebabkan oleh
bakteri atau virus. Beberapa virus yang sering menjadi penyebab adalah adenovirus, virus
influenza, virus Epstein bar, enterovirus, dan virus herpes simplek. Salah satu penyebab tersering
dari tonsillitis adalah infeksi oleh bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS).
Penyebaran infeksi bisa melalui udara (droplet), tangan, dan kontak dengan air liur.1
Tonsillitis adalah penyakit yang hampir umum terjadi. Berdasarkan data epidemiologi THT
pada 7 provinsi di Indonesia pada rentang dua tahun antara tahun 1994-1996, prevalensi
tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut 4,6%. Tonsillitis paling
sering terjadi pada anak-anak dengan usia >2 tahun. Tonsillitis yang disebabkan oleh
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan yang disebabkan oleh virus
1
lebih sering pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa tonsillitis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa usia 15-25 tahun.3,4
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Semakin sering terjadi kekambuhan maka akan
menyebabkan ukuran tonsil semakin besar. Pada tonsillitis kronis, jika ukuran tonsil cukup besar
akan menyebabkan obstruksi jalan nafas. Pada saat tidur akan ditemui gejala mengorok.
Kejadian mengorok yang berlangsung kronis akan menyebabkan turunnya asupan oksigen
kedalam otak dan menurunkan kualitas tidur seseorang. Selain itu penderita akan merasa sering
mengantuk dan pada anak akan menyebabkan terganggunya konsentrasi belajar dan prestasinya
di sekolah.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
4
mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada.1,7
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.1,7
5
Gambar 4. Tonsil lingual10
6
Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri
dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom.
Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui
pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk
pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal.
H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian
membunuh bakteri dengan proses oksidasi11,12.
Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka
membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom
membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses
digestif11,12.
1. Tonsilitis difteri
Tonsillitis difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram
positif dan hidup di saluran pernafasan bagian atas yaitu hidung, faring, dan
laring. Tidak semua orang yang terinfeksi kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan
ini tergantung pada titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat
dianggap cukup untuk memberikan dasar imunitas.1
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10
tahun frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun. Penularannya melalui udara,
benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa inkubasinya 2-7 hari. Gejalanya
ditandai dengan kenaikan suhu subfebril, nyeri tenggorok, nyeri kepala,
penurunan nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat. Pada pemeriksaan rongga
mulut didapatkan tonsil membesar dengan ditutupi bercak putih yang makin lama
8
meluas dan menyatu membentuk membrane semu. Membran ini melekat erat dan
jika diangkat akan menimbulkan pendarahan.1,2
2. Tonsilitis septik
Tonsillitis septic sering disebabkan oleh Streptococcus hemoliticus yang
sering terdapat pada susu sapi. Hal ini pernah dilaporkan sampai terjadi epidemik
karena kebiasaan minum susu sapi segar di kalangan masyarakat. Di Indonesia,
susu sapi dimasak dahulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka
penyakit ini jarang ditemukan.1,2
3. Angina Plaut Vincent
Angina plaut vincent (stomatitis ulsero membranosa) disebabkan oleh
bakteri spirochaeta atau triponema. Faktor predisposisi penyakit ini adalah karena
kurangnya tingkat kebersihan mulut dan defisiensi vitamin c. Gejalanya biasa
diawali dengan demam sampai 39 derajat Celsius, nyeri kepala, badan lemah, gusi
berdarah, hipersalivasi dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Pada
pemeriksaan rongga mulut didapatkan faring hiperemi, tampak membran putih
keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi, serta presesus alveolaris. Sering
juga muncul bau mulut dan pembesaran kelenjar sub mandibula.1,2
4. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala
pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.1
III. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten. Beberapa
referensi menyebutkan bahwa adanya gejala tonsil berulang dan nyeri tenggorokan
menetap durasi 3 bulan. Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsillitis akut. 1
2.3.2 Etiologi
Beberapa organisme bakteri, jamur, virus, dan parasit dapat menyebabkan tonsillitis.
Jenis yang paling sering menyebabkan tonsilitis adalah infeksi bakteri Streptococcus beta
hemolitikus grup A (SBHGA). Bakteri ini adalah flora normal pada rongga mulut namun
bisa berubah menjadi agen infeksiu karena beberapa faktor yang menyertai. Selain itu
9
infeksi juga bisa disebabkan oleh Hemophilus influenza, Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumonia dan morexella catarrhalis. Bakteri gram negatif juga bisa
menjadi penyebab seperti Enterobacter, Pseudomonas aeruginosa, dan E. coli.13,14
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus pada umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus karena dapat sembuh sendiri dengan respon imunitas tubuh yang baik. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah ebstein barr virus, adenovirus, influenza A, dan Herpes
simpleks. Infeksi jamur oleh Candida sp juga bisa menjadi penyebab tonsillitis terutama
pada bayi dan orang dengan immunocompromised.13
10
4. Kelelahan fisik,yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh terhadap
infeksi
5. Riwayat kontak dengan penderita tonsillitis seperti berciuman dan pemakaian
sikat gigi bersama
6. Penyakit immunocompromised dan
7. Pengobatan tonsillitis yang tidak adekuat
2.3.5 Patogenesis
11
Patogenesis dari tonsilitis episode tunggal masih belum jelas. Diperkirakan akibat
dari obstruksi kripta tonsil, sehingga terjadi multiplikasi dari bakteri-bakteri pathogen yang
pada keadaan normal memang ditemukan dalam kripta tonsil. Tonsil memiliki peran
sebagai proteksi akan bakteri-bakteri atau virus-virus yang masuk ke dalam tubuh melalui
mulut, dapat berupa aerogen ataupun foodform yang masuk bersama dengan makanan.
Tonsil akan menyaring pathogen-patogen ini yang kemudian akan memicu pembentukan
antibodi terhadap patogen-patogen tersebut. Pada keadaan dimana patogen yang masuk
terlalu banyak atau kondisi tonsil yang tidak optimal, infeksi akan terjadi dan dinamakan
tonsilitis. Patogen akan menginfiltrasi lapisan epitel, diikuti dengan munculnya reaksi dari
jaringan limfoid superfisial. Reaksi yang timbul adalah reaksi peradangan sehingga muncul
edema, hiperemis, dan nyeri menelan. Infiltrasi polimorfonuklear akan terjadi pada tonsil
sehingga akan terlihat bercak kuning yang disebut detritus. Detritus adalah kumpulan
leukosit, bakteri, dan epitel yang terlepas.1,5
Suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun
untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan imun tubuh menurun. Infeksi yang
berulang ini akan menyebabkan tonsil bekerja terusd engan memproduksi sel-sel imun
yang banyak sehingga ukuran tonsil akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang
normal. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik
kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibular.17
Apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas.
Apabila kedua tonsil bertamu pada garis tengah yang disebut kissing tonsil dapat terjadi
penyumbatan pengaliran udara dan makanan. Komplikasi yang sering terjadi akibat
disfagia dan nyeri saat menelan, klien akan mengalami malnutrisi yang ditandai dengan
12
gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk. Pembesaran tonsil mungkin dapat
menghambat udara dari hidung ke tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut.
Bila bernafas terus lewat mulut maka mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan
teriritasi.17
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis dari tonsilitis dapat ditegakkan dari anamnesa dan gambaran klinis pasien.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengevaluasi tonsil pasien. Tonsil palatine dapat
dengan mudah dievaluasi dengan menggunakan spatel untuk menekan bagian posterior
dari lidah. Terdapat sistem grading untuk menilai secara objektif persentase dari tonsil
yang terdapat diluar fosa tonsilar.18
Tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri, kultur tenggorokan dan tes apusan tenggorok
cepat untuk antigen streptokokal dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang. Kultur
memiliki sensitifitas yang tinggi sedangkan tes apusan tenggorok cepat untuk antigen
streptokokal memiliki spesifitas yang tinggi meskipun dengan sensitifitas yang kurang
optimal.19
Pada tonsilitis yang disebabkan oleh virus, pemeriksaan serologi diperlukan dengan
tes antibodi dengan pemeriksaan darah lengkap. Hasil pemeriksaan darah dengan
representasi 50% limfosit dengan 10% limfosit atipikal adalah nilai yang mendukung
diagnosis.18,20,21
13
A. B. C.
D. E.
14
2.3.8 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Terapi antibiotika sudah diteliti dan dibuktikan memberikan pengaruh yang
baik terhadap perjalanan penyakit, khususnya antibiotika beta laktam. Antibiotik
mengurangi demam dan mengurangi rasa sakit bila dibandingkan dengan placebo,
terutama terlihat pada pemberian hari ke-3. Selain itu, pemberian beta-laktam juga
memberikan perlindungan yang relatif baik terhadap demam reumatik dan
glomerulonephritis. Beta-laktam juga diteliti pada beberapa studi dapat mencegah
komplikasi abses peritonsil, otitis akut, dan sinusitis. Penisilin memberikan
keuntungan terbanyak dengan harga termurah. Obat-obatan golongan cefalosporin
juga efektif untuk tonsilitis kronik rekuren. Obat-obatan golongan macrolide dan
klindamicin memberikan efek samping yang lebih banyak sehingga lebih baik
digunakan hanya bila ditemukan adanya reaksi alergi terhadap penisilin.
Terapi suportif seperti pemberian steroid, analgetik, dan antipiretik juga dapat
diberikan pada penderita. Steroid yang dapat diberikan seperti deksametason,
betametason, dan prednisolon. Obat-obatan NSAID dapat diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri pada penderita anak-anak. Menurut studi, ibuprofen
memberikan efek tertinggi dengan efek samping minimal dibandingkan dengan
parasetamol.20,22
2. Operatif.
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi biasanya dilakukan ketika terapi konservatif gagal atau
tidak memberikan perubahan dan pada serangan yang berulang. Indikasi untuk
dilakukannya tonsilektomi adalah20:
a) Serangan tonsilitis lebih dari 3x pertahun meskipun sudah mendapatkan
terapi yang adekuat.
b) Hipertrofi tonsil yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
c) Obstruksi jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sleep apneu,
gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.
d) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
e) Napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus.
15
g) Hipertrofi tonsil dengan adanya kecurigaan keganasan.
h) Otitis media efusi atau otitis media supuratif.
Beberapa keadaan yang menjadi kontraindikasi untuk dilakukannya
tonsilektomi adalah gangguan pendarahan, resiko anestesi yang besar atau penyakit
berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. Bila keadaan ini bisa diatasi sebelumnya,
maka tonsilektomi tetap dapat dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dan
resikonya terhadap keadaan pasien.4,18
2.3.9 Komplikasi
Diagnosis dan penanganan yang tepat pada tonsillitis diperlukan karena
kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien yang tidak ditangani sangat bervariasi dan
dapat berdampak buruk. Berikut beberapa komplikasi yang dapat terjadi:
1. Komplikasi sekitar tonsil
a. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses
ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai
jaringan sekitarnya17. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada
penderita dengan serangan berulang. Gejala-gejala yang muncul diantaranya
malaise, odinofagi berat, dan trismus.2,14
b. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi)
dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga17
c. Obstruksi Jalan Napas
Pembesaran dari tonsil memiliki potensi untuk menyebabkan obstruksi jalan
napas yang dapat membahayakan nyawa pasien dan harus ditangani secepatnya.
Penanganan non-bedah yang dapat dilakukan adalah pemberikan steroid
intravena, penempatan jalan napas melalui nasofaring, heliox, dan epinefrin.
Penanganan pemberian jalan napas definitif diperlukan dengan melakukan
intubasi nasotrakeal dan trakeostomi.21
d. Sinusitis
16
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih
dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi
udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa17
e. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal
dannasopharynx17
f. Periodic Fever, Aphtous Stomatitis, Pharyngitis, and Adenopathy Syndrome
(PFAPA).
PFAPA adalah suatu sindrom periodik yang sering ditemukan pada anak-
anak umur 2 sampai 6 tahun, dengan predileksi lebih banyak pada laki-laki.
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan reaksi inflamasi sporadis tanpa diketahui
pencetusnya. Gejala yang timbul biasanya demam dengan suhu mencapai 40’C
atau lebih dan 1 dari 3 gejala kardinal seperti faringitis, limfadenitis servikal, dan
ulkus aphthous.18
2. Komplikasi organ lainnya
a. Demam Reumatik.
Demam reumatik menjadi komplikasi dari tonsilitis karena memiliki
etiologi yang sama, yaitu Grup A beta haemolyticus streptococcal. Meskipun
begitu, resikonya mendekati angka nol bila mendapatkan penanganan yang
adekuat.18
b. Glomerulonephritis.
Glomerulonephritis post-streptococcal adalah suatu kemungkinan yang
masih ada meskipun penanganan sudah dilakukan dan harus diwaspadai.18
2.3.10 Prognosis
Pada pasien dengan tonsilitis kronis eksaserbasi akut dapat mengalami perbaikan
setelah mendapatkan penanganan yang adekuat. Gejala dapat sembuh dalam beberapa hari
setelah beristirahat. Namun pembesaran pada tonsil tidak dapat membaik hanya dengan
istirahat. Pengobatan suportif yang dapat membuat pasien merasa lebih nyaman dengan
meminimalisir gejala-gejala klinis. Gejala klinis yang berkelanjutan dapat mengindikasikan
adanya infeksi saluran napas lainnya.18,21
2.3.11 Pencegahan
17
Pencegahan tonsilitis diarahkan pada pencegahan infeksi secara umum. Kebersihan
diri yang baik dan kesadaran akan kebersihan lingkungan menjadi kunci utama untuk
menghindari terjadinya infeksi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mencuci tangan lebih sering, khususnya sebelum makan. Menjaga kebersihan makanan dan
makan makanan bergizi seimbang akan sangat membantu untuk meningkatkan kekebalan
tubuh dan fungsi pertahanan tubuh dan mengurangi resiko infeksi yang masuk bersama
dengan makanan.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan
18
Keluhan Penyerta
Batuk, pilek, demam, dan lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Buleleng diantar oleh Ibu pasien pada tanggal 8
September 2015 dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 2 minggu yang lalu. Ketika menelan
dikatakan seperti ada yang mengganjal. Keluhan nyeri tenggorokan dirasakan terus-menerus
serta memberat saat pasien makan dan minum. Selain itu pasien juga mengeluh batuk sejak 2
minggu yang lalu. Batuk dikatakan berdahak, dahak tersebut berwarna kuning dengan volume
dahak kurang lebih setengah sendok makan. Pilek dirasakan pasien sejak 2 minggu yang lalu
bersamaan dengan batuk dan nyeri menelan, pada awalnya pasien merasakan hidung tersumbat
kemudian keluarnya cairan berupa serous yang keluar dari hidung pasien. Pada saat pemeriksaan
keluhan tersebut sudah membaik. Demam dialami pasien sejak 2 minggu yang lalu. Pada
awalnya demam dikatakan sumer-sumer dan semakin lama semakin meningkat. Demam diukur
dengan suhu mencapai 39º C. Demam membaik saat diberikan obat penurun panas. Saat
pemeriksaan, pasien sudah tidak demam. Pasien juga merasakan badannya lemas semenjak sakit.
Riwayat nyeri di telinga dan keluar cairan dari telinga disangkal pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke puskesmas terdekat dan kemudian diberikan obat paracetamol. Riwayat alergi
obat disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien pernah mengalami keluhan sama sebelumnya yaitu nyeri tenggorokan, batuk dan demam.
Setelah dibawa ke dokter, keluhan membaik. Pasien dikatakan memiliki amandel sejak 3 tahun
yang lalu dan sering mengalami kekambuhan. Keluhan ini dirasakan pasien kurang lebih 5 kali
dalam 1 tahun. Riwayat penyakit sistemik disangkal oleh orang tua pasien.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami gejala yang sama dengan pasien.
Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang siswa SMP, dari anamnesis yang dikatakan Ibu pasien, makanan dan
minuman pasien dirumah sudah terjaga. Namun terkadang pasien sering minum-minuman
dingin, makan-makanan seperti snack ringan yang dimakan di luar rumah. Pasien juga sering
19
bermain diluar dengan teman-teman dilingkungan sekitar perumahannya, terkadang hingga agak
malam. Namun Ibu pasien tidak mengetahui apakah temannya ada yang memiliki keluhan ini.
Status THT
20
Hidung Luar Normal Normal
Tenggorok
Suara Normal
3.4 Resume
Pasien perempuan, 15 tahun, Bali, Hindu, keluhan nyeri tenggorokan sejak 2 minggu yang lalu.
Ketika menelan dikatakan seperti ada yang mengganjal. Keluhan nyeri tenggorokan dirasakan
terus-menerus serta memberat saat pasien makan dan minum. Selain nyeri menelan pasien
mengatakan batuk dan pilek sejak 2 minggu yang lalu. Demam juga dirasakan sejak 2 minggu
yang lalu. Pada saat pemeriksaan keluhan pilek dan demam sudah membaik. Pasien merasakan
lemas semenjak sakit. Pasien memiliki riwayat amandel sejak 3 tahun yang lalu dan sering
mengalami kekambuhan dengan keluhan yang sama seperti saat ini. Saat pemeriksaan pasien
21
sudah tidak demam dengan suhu 36,5 oC dan keadaan umum baik. Pemeriksaan hidung
didapatkan konka kongesti, hiperemi dan mukosa yang masih hiperemi dan pada pemeriksaan
tenggorok didapatkan tonsil dengan ukuran T4/T4, ditemukan hiperemi, permukaan tidak rata
disertai pelebaran kripte dan tanpa detritus. Nyeri menelan positif tanpa ditemukannya post nasal
drip dan granular hypertrophy pada dinding faring.
Tonsilitis membranosa
Tonsilitis akut
3.7 Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa:
Antibiotik: Cefadroxil 2x500 mg
Mukolitik: Ambroxol 3x30 mg
Dekongestan: Trifed 3x60 mg jika diperlukan
Analgetik dan antipiretik: Paracetamol 3x500 mg
Terapi Operatif:
Indikasi Tonsilektomi
KIE:
1. Menjelaskan kepada pasien tentang keadaannya yang dialami pasien sekarang.
2. Menjelaskan kepada pasien tentang pencegahan yang dapat dilakukan agar keluhan ini
tidak terulang lagi.
3. Menjelaskan tentang penatalaksaan yang diberikan dan menginformasikan pentingnya
kepatuhan menjalankan pengobatan untuk kesembuhan yang maksimal.
22
4. Memberi tahu pasien dan keluarga pasien untuk:
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan dan istirahat teratur.
b. Makanan berminyak, ber-MSG, pedas serta minuman dingin harus dihindari
karena dapat mengiritasi dan memperberat radang.
c. Kumur air hangat maupun antiseptik oral.
d. Menjaga kebersihan mulut.
e. Menghindari makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
f. Menggunakan masker untuk mencegah penularan anggota keluarga.
g. Kontrol ke poli THT setelah 5 hari pengobatan untuk melihat perkembangan
penyakit.
h. Penjelasan mengenai indikasi, prosedur dan komplikasi tonsilektomi
3.8 Prognosis
Prognosis dari penyakit ini tergantung pada kepatuhan pasien, pada umumnya dubius ad bonam.
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien bernama IAMP, perempuan, berusia 15 tahun, Bali, Hindu, datang ke poliklinik THT
RSUD Buleleng bersama dengan Ibu Pasien dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 2 minggu
yang lalu. Ketika menelan dikatakan seperti ada yang mengganjal. Keluhan nyeri tenggorokan
dirasakan terus-menerus serta memberat saat pasien makan dan minum. Selain itu pasien juga
mengeluh batuk sejak 2 minggu yang lalu. Batuk dikatakan berdahak, dahak tersebut berwarna
kuning dengan volume dahak kurang lebih setengah sendok makan. Pilek dirasakan pasien sejak
2 minggu yang lalu bersamaan dengan batuk dan nyeri menelan, pada awalnya pasien merasakan
hidung tersumbat kemudian keluarnya cairan berupa serous yang keluar dari hidung pasien.
Demam dialami pasien sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya demam dikatakan sumer-sumer
kemudian semakin lama semakin meningkat. Demam diukur dengan suhu mencapai 39º C.
Demam membaik saat diberikan obat penurun panas. Pasien mengatakan memiliki riwayat
amandel sejak 3 tahun yang lalu dan mengalami sering mengalami kekambuhan. Keluhan ini
dirasakan pasien kurang lebih 5 kali dalam 1 tahun. Riwayat alergi makanan atau obat disangkal
oleh pasien,
Berdasarkan anamnesis, keluhan yang dialami oleh pasien sesuai dengan manifestasi
klinis pada pasien dengan tonsillitis kronis. Pada pasien dengan diagnosis tonsillitis kronis
menurut teori gejala Gejala tonsillitis yaitu nyeri tenggorokan dan mengakibatkan susah
menelan, bersifat berulang dan menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran nafas, rasa
ada yang menonjol di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorok dan nafas berbau. Gejala
penyerta yaitu demam, malaise, tidak nafsu makan. Keluhan nyeri menelan ini dirasakan oleh
pasien karena adanya patogen yang menginfiltrasi lapisan epitel, diikuti dengan munculnya
reaksi dari jaringan limfoid superfisial. Reaksi yang timbul adalah reaksi peradangan. Reaksi
peradangan ini juga menimbulkan demam, kemerahan pada mukosa faring dan tonsil serta
pembesaran dan pembengkakan tonsil sehingga menutupi orofaring.
Saat pemeriksaan, pasien sudah tidak pilek dan demam, dengan suhu 36,5ºC. Keadaan
umum dan tanda vital pasien baik. Pada pemeriksaan hidung didapatkan konka kongesti,
24
hiperemi dan mukosa yang masih hiperemi dan pada pemeriksaan tenggorok didapatkan tonsil
dengan ukuran T4/T4, ditemukan hiperemi, permukaan tidak rata, disertai pelebaran kripte dan
tanpa detritus. Nyeri menelan positif tanpa ditemukannya post nasal drip dan granular
hypertrophy pada dinding faring.
Hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan perjalanan penyakit tonsillitis kronis dimana
didapatkan konka kongesti, hiperemi dan mukosa hiperemi pada nasal, ditemukan pembesaran
tonsil akibat dari mediator inflamasi pada reaksi peradangan sehingga tonsil hiperemis dan
edema. Proses infeksi ini juga dapat meningkatkan suhu tubuh pasien.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, diagnosis tonsillitis kronis dapat
ditegakkan. Diagnosis diarahkan dari gejala klinis berupa nyeri menelan, disertai dengan demam,
batuk dan juga pilek yang dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat amandel dikatakan sejak
3 tahun yang lalu. Namun saat pemeriksaan demam dan pilek sudah membaik. Penemuan
peradangan pada rhino, tonsil dan juga faring mendukung penegakkan diagnosis ini.
DAFTAR PUSTAKA
25
1. Soepardi EA, Iskandar N, Basshirudin J, dan Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. pg:212-25.
2. Udayan KS. Tonsilitis and Peritonsillar Abscess. (Online). 2011. URL:
http://www.emedicine.medscape.com [diakses tanggal: 16 Juni 2017]
3. Amalia, Nina. Karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Tahun
2009. 2011.
4. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsilitis, Tonsilectomy, and Adenoidectomy. In :
Head & Neck Surgery-Otolaryngology: 2006.
5. Al-Abdulhadi, Khalid. Common throat infections: a review, ORL-HNS Department, Zain
and Al-Sabah Hospital, Kuwait, Bull Kuwait. Inst Med Spec. 2007; 6:63-67
6. Hellings P, Jorissen M, Ceuppens JL. 2010. The Waldeyer's ring. Acta Otorhinolaryngol
Belg. 2010; 54(3): 237-41.
7. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Penyakit-
penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. pg:
330-44.
8. Epomedicine. Applied Anatomy of Palatine Tonsils. 2013. URL:
http://epomedicine.com/medical-students/applied-anatomy-of-palatine-tonsils/ [diakses
tanggal: 8 April 2015]
9. Web MD. Picture of the Adenoids. 2014. URL: http://www.webmd.com/parenting/picture-
of-the-adenoids [diakses tanggal: 8 April 2015]
10. Viswanatha B. Tonsil and Adenoid Anatomy. 2015. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1899367-overview#aw2aab6b3 [diakses tanggal: 8
April 2015]
11. Pearce, Evelyn. C. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. 2006
12. Isaacs RS dan Sykes JM. Anatomy and physiology of the upper airway. Anesthesiology
Clinics of North America. 2002; 20(4): 733–745
13. Boles AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997.p263-340
14. Gross CW, Horrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. (online). 2000.
sumber: http://www.pediatricsinreview.com [diakses tanggal: 8 April 2015]
15. Brook I. Diagnosis and management of pharyngotonsillitis. Isr J Emerg Med. 2008;8(2):26-
34.
16. Adnan D, Ionita E. Contribution To the Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsilitis. Pdf.
26
17. Reeves J. Charlene, dkk. Keperawatan medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika, 2001
18. Sidell D, Shapiro NL. Acute Tonsillitis. Infectious Disorders – Drug Targets, 2012, 12, 271-
276.
19. Yani FF. 2012. Tonsilitis Akut. Respirologi Anak RS M Djamil FK UNAND
20. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
tenggorok Kepala & Leher ed Ketujuh. FKUI Jakarta: 2007.199-203
21. Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Current Topics in
Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery 2014, Vol. 13, ISSN 1865-1011.
22. Van Schoor J. Colds, flu, and coughing: over-the-counter products for pharyngitis and
tonsillitis. S Afr Fam Pract 2013;55(4):330-333.
23. Nurjannah Z. 2011. Karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di RSU H. Adam Malik Medan
Tahun 2007-2010. (diakses: 24 Maret 2015). Sumber: http://repository.usu.ac.id
27