Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun Oleh:
Dhita Cindyati
1610029049
Pembimbing:
dr. Gusti Hesty Nuraini, Sp. OG
1
Laporan Kasus
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Obstetri Ginekologi
Dhita Cindyati
Menyetujui,
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Februari 2019
2
KATA PENGANTAR
Penyusun
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal (POGI,
2016). Salah satu penyulit yang dapat terjadi adalah solusio plasenta. Solusio
plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal. Kondisi solusio plasenta
meningkat kemungkinan kejadiannya sekitar empat kali pada ibu dengan
preeklampsia. Solusio plasenta dapat menyebabkan perdarahan dan hipoksia
pada janin (Prawirohardjo, 2010). Oleh karena itu, pentingnya diagnosis dini
dan penatalaksanaan preeklampsia yang cepat dan tepat perlu dilaksanakan
untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Berdasarkan hal tersebut,
penulis tertarik untuk membuat laporan kasus mengenai preeklampsia berat
dengan solusio plasenta.
1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang preeklampsia berat dengan solusio plasenta, dan
perbandingan antara teori dengan kasus nyata preeklampsia berat dengan
solusio plasenta.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.) Mengetahui teori tentang preeklampsia berat.
2.) Mengetahui teori tentang solusio plasenta.
3.) Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata preeklampsia
berat dengan solusio plasenta yang terjadi di Ruang Mawar VK RSUD
Abdul Wahab Syahranie Samarinda, serta mengkaji ketepatan penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus ini.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran
terutama bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang preeklampsia
berat dengan solusio plasenta.
1.3.2. Manfaat bagi Pembaca
Laporan ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi penulis dan
pembaca mengenai preeklampsia berat dengan solusio plasenta.
6
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : Ny. SA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 38 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Banjar
Alamat : Jalan Al Hasnie No.17, Bantuas
MRS : 8 Februari 2019 pukul 09.05 WITA
Identitas Suami
Nama : Tn. SH
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 40 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Mekanik
Suku : Banjar
Alamat : Jalan Al Hasnie No.17, Bantuas
Keluhan Utama
Perdarahan dari jalan lahir.
7
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari Puskesmas Palaran, datang dengan keluhan adanya
perdarahan dari jalan lahir sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Banyaknya
darah yang keluar adalah sebanyak 1x ganti pembalut. Darah yang keluar
berwarna merah gelap. Keluhan tersebut disertai dengan rasa nyeri pada seluruh
bagian perut. Pasien juga merasakan perut kencang-kencang sejak 10 jam sebelum
masuk rumah sakit. Tidak ada keluhan keluar air-air dari jalan lahir sebelumnya.
Gerak janin terakhir kali dirasakan pasien saat berada di IGD RS AWS. Keluhan
lain yang dirasakan pasien adalah nyeri kepala sejak 1 hari lalu. Selain itu terdapat
mual dan muntah >3x sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Terdapat juga
keluhan sesak napas. Tidak terdapat keluhan pandangan kabur, demam, kejang,
maupun penurunan kesadaran. Tidak terdapat gangguan buang air kecil dan buang
air besar.
Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), konsumsi alkohol (-), konsumsi obat-obatan diluar resep dokter (-)
Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun
Siklus haid : 28-30 hari / tidak teratur
Lama haid : 5-7 hari
Jumlah darah haid : 3 kali ganti pembalut
8
Hari pertama haid terakhir : 30 Mei 2018
Taksiran persalinan : 6 Maret 2019
Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali sejak usia 30 tahun. Lama usia pernikahan adalah 8 tahun.
Riwayat Kontrasepsi
Suntik 3 bulan selama 1 tahun, merupakan kontrasepsi yang digunakan sebelum
kehamilan ini. Riwayat kontrasepsi lainnya adalah suntik 1 bulan selama 1 bulan
dan pil kombinasi selama 1 bulan.
Riwayat Obstetrik
Jenis Keadaa
Jenis
Tahun Tempat Umur Penolong Kelamin n anak
No. Persalina Penyulit
partus Partus kehamilan Persalinan / Berat Sekaran
n
Badan g
Spontan
1. 2011 RS 9 bulan pervagina Dokter - P/3500g Hidup
m
Spontan
2. 2013 Klinik 9 bulan pervagina Bidan - L/3800g Hidup
m
Tekanan
Spontan darah
Puskes
3. 2016 9 bulan pervagina Dokter tinggi P/3200g Hidup
mas
m saat
hamil
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis (GCS E4V5M6)
9
Tanda vital :
Tekanan darah : 190/100 mmHg
Frekuensi nadi : 96 kali/menit, kuat angkat, regular
Frekuensi nafas : 25 kali/menit, regular
Suhu : 36,3ºC per axillar
SpO2 : 98%
Antropometri : Berat badan (BB) : 65 kg, Tinggi badan (TB) : 149 cm
IMT : 29
Status Generalisata
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : tidak ditemukan kelainan
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks :
Jantung : S1S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : cembung dan membesar dengan arah memanjang
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior : edema (-/-), akral hangat
Inferior : edema (+/+), akral hangat, varises (-/-)
10
Leopold III : teraba bagian keras janin (kepala), sudah masuk
pintu atas panggul
Leopold IV : 3/5
His : 2 kali dalam 10 menit : 15-20 detik
Auskultasi : Denyut jantung janin : 130 kali / menit
Vaginal toucher : vulva vagina tidak terdapat kelainan, portio tebal
kaku, selaput ketuban (+), pembukaan 1 cm, bagian terbawah kepala,
penurunan Hodge II, kesan panggul normal, pelepasan terdapat adanya
darah.
TBJ : 3.410 gram
Darah Lengkap
BT 3’ 1-6’
CT 10’ 1-15’
Kimia Darah
11
SGOT 13 <32 U/L
Serologi
HbsAg NR NR
Ab HIV NR NR
Serum Elektrolit
Urine Lengkap
Ketone +1 Negatif
Nitrit - Negatif
Hemoglobin/Darah +4 Negatif
pH 5,0 4,8-7,8
Protein +2 Negatif
Glukosa - Negatif
Bilirubin - Negatif
Urobilinogen - Negatif
Urine Lengkap
Sediment
12
Eritrosit Penuh 0-1
Silinder - Negatif
Kristal - Negatif
Bakteri +1 Negatif
Jamur - Negatif
Follow Up Antepartum
Tanggal 8 Februari 2019
09.05 Menerima pasien dari IGD, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik :
S : nyeri kepala, mual, muntah, perdarahan dari jalan lahir berkurang, perut
kencang-kencang
O : sakit sedang, CM, TD 190/100 mmHg, N 92x/m, RR 23x/m, T 36,3ºC
TFU 31 cm, pu-ki, pre-kep, sudah masuk PAP, DJJ 130x/m, His 2x10’15-
20”, VT portio kaku keras pembukaan 1 cm, Hodge I
A : G4P3003A000 gravid 36-37 minggu, inpartu kala I fase laten, preeklampsia
berat, perdarahan antepartum, janin tunggal intrauterine hidup, presentasi
kepala
P : Co. dr. Sp. OG :
Drip MgSO4 sesuai protap
Nifedipin 3x10 mg PO
Pemasangan kateter urine (telah terpasang)
Rencana Sectio Caesarea
KIE terminasi kehamilan dengan operasi Sectio Caesarea
Co. dr. Sp. JP :
Clonidine 2x0,15 mg
Sp. Perdipine 1 mg/jam/kgBB
Acc terminasi kehamilan jika TD sistolik ≤ 160 mmHg
10.40 TD : 150/100 mmHg , N 94x/m, RR : 22x/m, T 36,6ºc, DJJ 134x/m
dr. Sp. An acc operasi
11.20 TD : 150/100 mmHg , N 96x/m, RR : 23x/m, T 36,5ºc, DJJ 140x/m
Mengantar pasien ke kamar operasi
11.35- Operasi SCTP sedang berlangsung.
12.50
Laporan Operasi
Nama Operator dr. Sp. OG
Nama Anastesi dr. Sp. An
13
Diagnosis Pre Operasi G4P3003A000 gravid 36-37 minggu, inpartu kala I fase
laten, preeklampsia berat, perdarahan antepartum,
janin tunggal intrauterine hidup, presentasi kepala
Diagnosis Post Operasi P4004A000 post SCTP, preeklampsia berat, solusio
plasenta
Tanggal Operasi Jam Mulai Jam Selesai
8 Februari 2019 11.35 12.50
Tindakan Operasi
1. Pasien berbaring terlentang dalam anestesi spinal.
2. Asepsis dan antisepsis daerah abdomen.
3. Insisi linea mediana hingga peritoneum.
4. Insisi SBR, pecahkan ketuban, lahir bayi perempuan BB/PB 2300 gr/48 cm,
APGAR Score 6/8, ketuban jernih.
5. Plasenta telah lepas tanpa tarikan, terdapat blood clot. Infark (+).
6. Eksplorasi cavum uteri. Jahit dinding uterus lapis demi lapis.
7. Kontrol perdarahan, cuci NaCl.
8. Jahit dinding abdomen lapis demi lapis.
9. Vagina toilet, obat antinyeri per rektal.
Instruksi Post Operasi
1. Inj. Ceftriaxone 2x1gr/IV
2. Inj. Metronidazole 2x500mg/IV
3. Inj. Metoclopramide 3x1amp/IV
4. Inj. Oxytocin 3x1 amp/IV
5. IVFD D5%:RL=2:3 ditambah tramadol 1 amp 30 tpm
6. IVFD RL ditambah MgSO4 sesuai protap
7. Observasi TTV, perdarahan, kontraksi uterus, urine output
Follow Up Post Op di VK
13.20 S : nyeri luka operasi, nyeri kepala
O : sakit sedang, CM, TD : 190/100 mmHg, N : 118x/m, RR : 20x/m, T :
36,5ºc, TFU sepusat, perdarahan 20 cc, UT :200 cc warna kuning
kemerahan
A : P4004A000 post SCTP H-0 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : terapi sesuai instruksi post op
14
Sp. Perdipine 1 meq kec. 18cc/jam
14.45 S : nyeri luka operasi, nyeri kepala
P : sakit sedang, CM, TD : 160/100 mmHg, N 94x/m, RR 20x/m, T 36,8
ºC, urine bag dikosongkan
A : P4004A000 post SCTP H-0 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : terapi sesuai instruksi post op
Sp. Perdipine 1 meq kec. 18cc/jam
17.00 S : nyeri luka operasi
O : sakit sedang, CM, TD : 150/100 mmHg, N 94x/m, RR 21x/m, T 36,6
ºC
Hasil DL 2 jam post op :
Hb : 10,4 g/dL
L : 22.700 sel/uL
Ht : 29%
PLT : 241.000 sel/uL
A : P4004A000 post SCTP H-0 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : terapi lanjut
22.00 S : nyeri luka operasi
O : sakit sedang, CM, TD : 140/90 mmHg, N : 90x/m, RR : 20x/m, T :
36,7ºc, TFU 1 jari dibawah pusat, perdarahan 5 cc, UT : 80 cc warna
kuning pekat
A : P4004A000 post SCTP H-0 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : terapi lanjut
Sp. Perdipine standby
09/02/19 S : nyeri luka operasi
06.00 O : sakit sedang, CM, TD : 150/80 mmHg, N : 86x/m, RR : 20x/m, T :
36,8ºc, TFU 2 jari dibawah pusat, UT 120 cc kuning pekat
A : P4004A000 post SCTP H-1 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : terapi lanjut, mobilisasi bertahap
08.00 S : nyeri luka operasi
O : sakit sedang, CM, TD : 130/90 mmHg, N : 84x/m, RR : 20x/m, T :
36,1ºC, UT 120 cc kuning pekat
A : P4004A000 post SCTP H-1 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : lapor dr. Sp.OG :
Infus ganti RL dengan tetesan cepat 30-40 tpm
MgSO4 di stop sementara
Evaluasi urine output setelah tetesan cepat
08.40 S : nyeri luka operasi
O : sakit sedang, CM, TD : 130/90 mmHg, N : 90x/m, RR : 21x/m, T :
36,0ºC, UT 700 cc kuning pekat (lalu urine bag dikosongkan)
A : P4004A000 post SCTP H-1 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : lapor dr. Sp.OG :
Terapi MgSO4 dilanjutkan
Evaluasi TTV dan urine output
12.00 S : nyeri luka operasi
O : sakit sedang, CM, TD : 150/100 mmHg, N : 88x/m, RR : 20x/m, T :
36,0ºC, UT 200 cc kuning pekat
A : P4004A000 post SCTP H-1 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
15
P : lapor dr. Sp.OG :
Aff DC
MgSO4 di stop
Terapi ganti oral :
Cefadroxil 3x500 mg PO
Asam mefenamat 3x500 mg PO
Tablet tambah darah 1x1 tab
Co. dr. Sp. JP :
Nifedipine 3x10 mg PO
15.00 S : nyeri luka operasi
O : sakit sedang, CM, TD : 130/90 mmHg, N : 84x/m, RR : 18x/m, T :
36,5ºC
A : P4004A000 post SCTP H-1 a/i preeklampsia berat, solusio plasenta
P : lapor dr. Sp.OG :
Terapi lanjut
Pasien dipindahkan ke ruang mawar nifas
16
Asam mefenamat 3x500 mg
Tablet Tambah Darah 1x1 tab
Nifedipin 3x10 mg
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Preeklampsia
3.1.1 Definisi
Preeklampsia merupakan hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan atau
diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ atau proteinuria.
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama
dengan ≥ 1+ dipstick (POGI, 2016) (Prawirohardjo, 2010).
3.1.2 Epidemiologi
Organisasi WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih
tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di
negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1,8% -
18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273 kasus per tahun
atau sekitar 5,3% (Osungbade & Ige, 2011).
Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu
dan bayi di dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia,
preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu sebesar
1,5% - 25%. Sedangkan kematian bayi yang terjadi akibat preeklampsia adalah
45% - 50% (Djanah & Sukma, 2010).
18
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, dengan alasan yang belum jelas, terjadi invasi
trofoblas ke lapisan otot polos vaskuler, sehingga lapisan otot beregenerasi dan
arteri spiralis dapat berdilatasi. Dilatasi lumen dan matriks di sekitar vaskuler
memberi efek menurunkan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah ke jaringan plasenta & janin sehingga terjadi remodeling
arteri spiralis.
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi trofoblas ke lapisan
otot vaskular & matriks sekitarnya. Akibatnya, lapisan myoepitel tetap keras dan
kaku sehingga tidak terjadi vasodilatasi, bahkan relatif mengalami vasokonstriksi.
Efek remodeling arteri spiralis yang normal pun tidak terjadi yang kemudian
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan aliran darah uteroplasenta menurun
sehingga terjadi iskemia plasenta.
19
c. Disfungsi sel endotel
Endotel yang terpapar peroksida lemak akan mengalami kerusakan dan
gangguan fungsi endotel, keadaan ini disebut “disfungsi endotel”, yang
mengakibatkan :
a) Gangguan metabolisme prostaglandin, suatu vasodilator kuat.
b) Agregasi trombosit ke daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan, yang merupakan
vasokonstriktor kuat.
c) Peningkatan permeabilitas kapiler
d) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, misalnya endotelin.
e) Peningkatan faktor-faktor koagulasi
20
5) Teori defisiensi gizi
Penelitian lama menyebutkan bahwa terdapat hubungan adanya defisiensi
gizi terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terbaru
menyebutkan konsumsi minyak ikan dapat menurunkan resiko. Penelitian lainnya
juga menyebutkan, wanita yang mengkonsumsi kalsium selama kehamilan,
memiliki resiko lebih rendah mengalami HDK, dan angka kejadian preeklampsia
lebih rendah pada wanita hamil yang diberi suplemen kalsium daripada hanya
glukosa.
6) Teori inflamasi
Teori ini didasarkan pada fakta bahwa lepasnya debris fibroblas akan
merangsang terjadinya inflamasi.Pada kehamilan normal, hal ini juga terjadi,
namun dalam batas wajar, sehingga proses inflamasi yang terjadi tidak
menimbulkan masalah.Disfungsi endotel mengakibatkan aktivasi leukosit yang
sangat tinggi pada aliran darah ibu sehingga inflamasi yang terjadi bersifat
sistemik.
3.1.4 Patofisiologi
Berikut adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada wanita dengan
hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo, 2010).
1) Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak
berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan
sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan
perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada
penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri.
Dilaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam
batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.
21
2) Perubahan Kardiovaskuler
Berbagai gangguan kardiovaskuler pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara
nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan
atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid
intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.
3) Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau
menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau
eksudat. Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan
edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi
kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan.
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan
oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau
dalam retina.
4) Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan
eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa
diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi
setelah melahirkan. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid
sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan
oleh hati.
5) Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan
integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan
peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan
panas yang berasal dari plasenta.
22
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar
kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum.
Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat
meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular.
6) Fungsi ginjal
Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia mengakibatkan
terjadinya oligouria atau anuria. Berat ringannya oligouria menggambarrakn
berat ringannya hipovolemia.
Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas
membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.
Proteinuria dapat terjadi jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai
preeklamsia tanpa proteinuria, karena janin lebih dahulu lahir.
Gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua
korteks ginjal mengalami nekrosis, maka dapat terjadi nekrosis korteks ginjal
yang ireversibel.
Meningkatnya serum asam urat (uric acid serum) akibat penurunan perfusi
ginjal, umumnya meningkat ≥ 5mg/cc. Peningkatan asam urat dapat terjadi
karena iskemia jaringan.
Meningkatnya kreatinin plasma akibat hipovelemia dan penurunan perfusi
ginjal (kreatinin dapat mencapai ≥ 1mg/cc).
7) Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia.
Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya
kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen
meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu
hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada
pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta
sebelum waktunya (placental abruption).
Pada 10% pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
23
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi
tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa
terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik
kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi
trombositopenia bisa menetap selama seminggu.
8) Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit
Pada preeklampsia terjadi penurunan kadar renin, angiotensin II dan
aldosteron. Selain itu juga terjadi peningkatan kadar peptida natriuretik
atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik
pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya
resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.
9) Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan
pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin
akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin.
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering terjadi pada preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua
masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat
mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut
berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut
adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi
pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan
penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi
pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya infark plasenta.
24
Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya.
Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih.
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan.
Kehamilan multipel.
Insulint Dependent Diabetes Mellitus.
Hipertensi kronik.
Penyakit ginjal.
Penyakit autoimun.
Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit, atau embrio.
Obesitas sebelum hamil.
IMT >30.
Tekanan darah diastolik >80 mmHg atau sistolik >130 mmHg.
Proteinuria (dipstik >+1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam).
Merokok (POGI, 2016).
25
adanya proteinuria, namun jika tidak didapatkan adanya proteinuria, salah satu
gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia. Hipertensi yang dimaksud adalah tekanan darah sekurang-
kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan
berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama. Proteinuria yang dimaksud
adalah protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik >positif 1.
Pada preeklampsia dapat terjadi pemberatan. Jika didapatkan salah satu kondisi
dibawah ini, maka dapat disebut preeklampsia berat:
1.) Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama.
2.) Trombositopenia (<100.000/mm3).
3.) Gangguan ginjal (kreatinin serum >1,1 mg/dl atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal
lainnya).
4.) Gangguan liver (peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik atau regio kanan atas abdomen).
5.) Edema paru.
6.) Gejala neurologis (stroke, nyeri kepala, gangguan visus).
7.) Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta (oligohidramnion, fetal growth restriction) (POGI, 2016).
Rendahnya hubungan antara kuantitas protein urin terhadap luaran
preeklampsia menyebabkan kondisi protein urin masif (lebih dari 5 g) telah
dieliminasi dari kriteria preeklampsia berat. Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan preeklampsia ringan karena setiap preeklampsia merupakan
kondisi berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat (POGI, 2016).
3.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada preeklampsia menurut POGI (2016) dan
Prawirohardjo (2010) terdiri dari manajemen ekspektatif dan aktif. Manajemen
ekspektatif direkomendasikan pada preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi yang lebih ketat pada maternal
26
dan janin. Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi gejala maternal dan gerakan
janin setiap hari oleh pasien, evaluasi tekanan darah tiap 2 minggu, evaluasi
jumlah trombosit dan fungsi hepar setiap minggu, evaluasi USG dan
kesejahteraan janin tiap 2 minggu, dan penggunaan doppler velocimetry jika
terdapat hambatan pertumbuhan janin.
27
28
Tatalaksana Umum
Pencegahan dan tatalaksana kejang
1) Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan
sirkulasi (cairan intravena).
2) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai
pencegahan kejang).
3) Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya,
berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas
kesehatan yang memadai.
4) Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke
ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator
tekanan positif.
29
5) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai
ialah furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu
memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta,
meningkatkan hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin,
dan menurunkan berat janin.
6) Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25%
dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <
160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat
bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak
yakni pemberian antihipertensi golongsn ARB, ACE inhibitor, dan
klortiazid.
a. Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
b. Antihipertensi lini kedua
30
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan
0,25µg iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10
mg/menit/dititrasi.
Obat antihipertensi lain yang dapat digunakan, yaitu :
3.1.9 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi pada ibu antara lain gangguan sistem saraf
(perdarahan intrakranial, ensefalopati hipertensi, edema serebri, dsb.), gangguan
sistem gastrointestinal-hepatik (ruptur kapsul hepar, dll.), gangguan ginjal (gagal
ginjal akut, nekrosis tubular akut), gangguan hematologik (DIC, trombositopenia),
gangguan kardiopulmonar, dll. Penyulit yang dapat terjadi pada janin adalah
intrauterine fetal growth restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindroma
distres napas, kematian janin intrauterin, kematian neonatal perdarahan
intraventrikular, necrotizing enterocolitis, sepsis, dan cerebral palsy
(Prawirohardjo, 2010).
31
3.1.10 Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir, perubahan patofisiologik akan mengalami perbaikan. Diuresis
terjadi 12 jam kemudian setelah pesalinan. Keadaan ini merupakan tanda
prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan.
Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian (Prawirohardjo,
2010).
3.2.2 Epidemiologi
Insiden solusio plasenta 1 dalam 155 sampai 1 dalam 225 persalinan
(<0,4%) di negara-negara Eropa untuk solusio plasenta yang tidak sampai
mematikan janin. Solusio yang lebih berat sampai mematikan janin, insidensinya
lebih rendah, yaitu 1 dalam 830 persalinan. Namun, insidensi solusio plasenta
diyakini masih lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara maju
(Prawirohardjo, 2010).
3.2.3 Etiologi
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui. Tetapi, menurut
Prawirohardjo (2010), terdapat beberapa faktor risiko solusio plasenta.
Riwayat solusio plasenta.
Ketuban pecah preterm/korioamnionitis.
Sindroma preeklampsia.
Hipertensi kronik.
Merokok.
32
Pecandu kokain.
Mioma di belakang plasenta.
Gangguan sistem pembekuan darah.
Gangguan imunologis.
Trauma abdomen dalam kehamilan.
Kelainan pada plasenta.
3.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi solusio plasenta :
Ruptura sinus marginalis : hanya terlepas pinggirnya saja.
Solusio plasenta parsialis : terlepas lebih luas.
Solusio plasenta totalis : seluruh permukaan maternal plasenta terlepas.
Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan perdarahannya :
Revealed hemorrhage
Concealed hemorrhage
Klasifikasi solusio plasenta berdasarkan gambaran klinik dan luas permukaan
yang terlepas :
33
3.2.5 Patofisiologi
Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula
dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat
implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu
patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas
karena robeknya pembuluh darah desidua (Prawirohardjo, 2010).
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)
yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam
vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil
akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan
tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada tingkat
permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian
plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali
terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa
kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria
spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian
nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma
yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak
sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput
ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina
(revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi
mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis
yang terputus. Walaupun jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di
dalam uterus (concealed hemorrhage) (Prawirohardjo, 2010).
34
Warna darah kehitaman dan cair, tetapi mungkin terdapat bekuan jika
solusio relatif baru.
Jika ostium terbuka, terjadi perdarahan berwarna merah segar.
Uterus tegang dan nyeri.
Anemia berat.
Tanda-tanda syok yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar (tipe
tersembunyi).
Gawat janin atau hilangnya denyut jantung janin.
Melemahnya atau hilangnya gerak janin.
3.2.8 Penatalaksanaan
Menurut Prawirohardjo (2010), berikut adalah penatalaksanaan solusio plasenta.
Penatalaksanaan umum
Rawat inap di rumah sakit.
Dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Observasi secara ketat tanda-tanda gawat janin.
Resusitasi cairan dan pemberian transfusi darah, diikuti persalinan
segera pada perdarahan yang cukup banyak.
Jika janin masih hidup dan cukup bulan, serta belum ada tanda-tanda
inpartu, maka umumnya dipilih persalinan bedah sesar darurat.
Jika perdarahan ringan atau sedang, maka tindakan bergantung pada DJJ.
Jika djj normal, maka dapat dilakukan induksi oksitosin jika kontraksi
jelek atau seksio sesarea jika serviks kenyal dan tertutup. Jika DJJ
35
abnormal, maka dilakukan persalinan sesegera mungkin (Saifuddin et al,
2014).
3.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain anemia, syok
hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal
ginjal akut, dan uterus Couvelaire. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin
adalah gawat janin yang dapat berujung pada kematian janin (Prawirohardjo,
2010).
3.2.10 Prognosis
Solusio plasenta memiliki prognosis yang buruk bagi ibu hamil dan janin
dibandingkan plasenta previa. Prognosis dari solusio plasenta tergantung dari
beratnya solusio plasenta dan kecepetan serta ketepatan bantuan medik yang
diperoleh. Solusio plasenta ringan prognosisnya lebih baik karena tidak ada
kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai
prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janin karena mortalitas dan
morbiditas perinatal yang tinggi, morbiditas ibu pun lebih berat. Solusio plasenta
berat memiliki prognosis paling buruk karena umumnya pada keadaan demikian
janin telah mati dan mortalitas maternal meningkat akibat komplikasi
(Prawirohardjo, 2010).
36
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. SA usia 38 tahun datang ke IGD Rumah Sakit A.W. Sjahranie
Samarinda 8 Februari 2019 pukul 09.05 WITA dengan keluhan utama perdarahan
dari jalan lahir sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Setelah melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan
diagnosis G4P3003A000 gravid 36-37 minggu, inpartu kala I fase laten, preeklampsia
berat, perdarahan antepartum, janin tunggal intrauterine hidup, presentasi kepala.
4.1. Anamnesis
Teori Kasus
Faktor risiko : Perempuan usia 38 tahun
Usia >35 tahun. G4P3003A000
Multipara dengan riwayat Perdarahan dari jalan lahir 6 jam SMRS
preeklampsia sebelumnya. Banyaknya perdarahan 1x ganti
Tanda dan gejala : pembalut
Hipertensi pada kehamilan >20 Darah berwarna merah gelap
minggu. Nyeri perut bawah
Proteinuria. Perut kencang-kencang 10 jam SMRS
Nyeri kepala yang tidak hilang Keluar air-air dari jalan lahir (-)
dengan analgetika biasa. Gerak janin saat di RS
Nyeri abdomen. Nyeri kepala 1 hari SMRS
Sesak napas. Mual dan muntah >3x 3 jam SMRS
Sesak napas
Faktor risiko solusio plasenta. Pandangan kabur (-), demam (-),
Ketuban pecah kejang (-), penurunan kesadaran (-),
preterm/korioamnionitis. gangguan BAK dan BAB (-)
Sindroma preeklampsia. Riwayat hipertensi kehamilan
Tanda dan gejala solusio plasenta. sebelumnya
Perdarahan dengan nyeri Riwayat asma dan alergi debu
intermitten atau menetap. HPHT 30-5-2018, TP 6-3-2019
37
Warna darah kehitaman dan Riwayat kontrasepsi suntik 3 bulan,
cair, tetapi mungkin terdapat suntik 1 bulan, dan pil kombinasi
bekuan jika solusio relatif baru. Tidak teratur ANC
Jika ostium terbuka, terjadi
perdarahan berwarna merah
segar.
Uterus tegang dan nyeri.
Anemia berat.
Tanda-tanda syok yang tidak
sesuai dengan jumlah darah
yang keluar (tipe tersembunyi).
Gawat janin atau hilangnya
denyut jantung janin.
Melemahnya atau hilangnya
gerak janin.
38
denyut jantung janin. TBJ : 3.410 gram
Leopold I : bokong
Lepolod II : punggung janin kiri ibu
Penatalaksanaan tergantung dari usia
kehamilan, kondisi Ibu, dan kondisi janin. Leopold III : kepala, sudah masuk
PAP
Leopold IV : 3/5
His 2x10’15-20”
DJJ 130x/menit
VT : vulva vagina tidak terdapat
kelainan, portio tebal kaku, selaput
ketuban (+), pembukaan 1 cm,
bagian terbawah kepala, penurunan
Hodge II, kesan panggul normal,
pelepasan terdapat adanya darah
Urinalisis :
Ketone +1
39
Darah +4
Protein +2
Bakteri +1
4.4. Penatalaksanaan
Teori Kasus
Manajemen ekspektatif Saat awal masuk :
direkomendasikan preeklampsia
pada Drip MgSO4 sesuai protap
tanpa gejala berat dengan usia kehamilan Sp. Perdipine 1 mg/jam/kgBB
Nifedipine 3x10 mg
kurang dari 37 minggu. Clonidine 2x0,15 mg
Penatalaksanaan preeklampsia : Pemasangan kateter urine
Terminasi kehamilan dengan
MgSO4 sesuai protap
operasi SC
Obat antihipertensi :
Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, Post Op :
diulangi setelah 30 menit, maksimum Ceftriaxone 2x1 gr IV
120 mg dalam 24 jam Metronidazole 2x500 mg IV
Metoclopramide 3x1 amp IV
Metildopa 2x250-500 mg/oral (dosis
Oxytocin 3x1 amp IV
max 2000 mg/hari) IVFD D5%:RL=2:3 ditambah
Klonidin 1 amp dalam 100 cc NaCl tramadol 1 amp 30 tpm
IVFD RL ditambah MgSO4 sesuai
0,9% atau aquadest protap
Manajemen ekspektatif/konservatif Perdipine 1 meq kec.18cc/jam
Nifedipine 3x10 mg
atau aktif
Obat pulang :
Penatalaksanaan solusio plasenta.
Cefadroxyl 3x500 mg
Penatalaksanaan umum Asam mefenamat 3x500 mg
Rawat inap di rumah sakit. Tablet tambah darah 1x1 tab
Nifedipine 3x10 mg
Pemeriksaan darah
lengkap.
Observasi secara ketat
tanda-tanda gawat janin.
Resusitasi cairan dan
pemberian transfusi darah,
40
diikuti persalinan segera
pada perdarahan yang
cukup banyak.
Jika janin masih hidup dan cukup
bulan, serta belum ada tanda-
tanda inpartu, maka umumnya
dipilih persalinan bedah sesar
darurat.
Jika perdarahan ringan atau
sedang, maka tindakan bergantung
pada DJJ. Jika djj normal, maka
dapat dilakukan induksi oksitosin
jika kontraksi jelek atau seksio
sesarea jika serviks kenyal dan
tertutup. Jika DJJ abnormal, maka
dilakukan persalinan sesegera
mungkin.
41
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. SA yang berusia 38 tahun
datang ke rumah sakit dengan keluhan utama perdarahan dari jalan lahir sejak 6
jam sebelum masuk rumah sakit. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan diagnosis diagnosis G4P3003A000
gravid 36-37 minggu, inpartu kala I fase laten, preeklampsia berat, perdarahan
antepartum, janin tunggal intrauterine hidup, presentasi kepala. Pada pasien ini
dilakukan terminasi kehamilan dengan operasi sectio caesaria.
Diagnosis akhir pada pasien ini adalah P4004A000 post SCTP, preeklampsia
berat, solusio plasenta. Secara umum penegakan diagnosis maupun
penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat dan sesuai dengan teori.
42
DAFTAR PUSTAKA
43