Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor penting yang sangat
berpengaruh dalam keberhasilan belajar. Hasil-hasil penelitian psikologi
kontemporer menunjukkan bahwa disamping adanya faktor yang berasal dari
IQ, ternyata belajar dan prestasi sangat ditentukan oleh Emotional Intellegence
atau kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional juga sangat menentukan potensi kita untuk
mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada lima unsur
kecerdasan emosional yang terdiri dari kesadaran diri, pengaturan diri,
motivasi, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.
Setiap individu tidak mudah dalam memperoleh kecerdasan emosional, karena
kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki seseorang secara tiba-tiba.
Sehingga kecerdasan emosional harus dipelajari serta dilatih sejak dini, dan
kemampuan mempelajari kecerdasan emosional perlu ditumbuh kembangkan
atau diasah keberadaannya secara kontinuitas.
Kecerdasan emosional juga dapat mempengaruhi keberhasilan
mahasiswa dalam menjalani kehidupan masa kini hingga masa yang akan
datang. Kecerdasan intelektual akan dapat bekerja secara efektif jika
didukung dalam memfungsikan kecerdasan emosional. Jika kecerdasan
emosional tidak difungsikan dengan baik, maka kecerdasaan emosional
tersebut akan menjadi emosi-emosi yang secara perlahan tidak
terkendali, sehingga akan menimbulkan dampak yang negative dari
emosi-emosi tersebut. Seperti, perkelahian antar teman sejawat, dan lain-lain.

1.2. Rumusan masalah


a. Apa saja konsep dasar kecerdasan?
b. Apa saja konsep dasar emosi?

1
c. Bagaimana teori kecerdasan emosional?
1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
 Untuk mengetahui konsep dasar kecerdasan.
 Mengetahui konsep dasar emosi.
 Mengetahui teori kecerdasan emosional.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kecerdasan


Istilah intelegensia memiliki arti yang sama dengan kecerdasan. Namun
demikian, banyak ahli yang bersepakat bahwa sulit untuk mendefinisikan
kecerdasan atau intelegensia secara akurat dan tepat serta disepakati oleh para
praktisi kecerdasan.
Intelegensia memiliki definisi dan tafsir yang sangat luas. Oleh sebab
itu, terdapat banyak tokoh yang menerjemahkan pengertian intelegensia
tersebut sehingga muncul banyak definisi dengan berbagai sudut pandangnya.
Namun demikian, secara umum terdapat tiga kelompok besar yang
menerjemahkan definisi intelegensia secara berbeda yang paling banyak
disepakati dan dipakai. Tiga kelompok tersebut adalah memandang intelegensia
sebagai sebuah kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan untuk belajar,
kemampuan untuk berpikir abstrak.
a. Intelegensia sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri
Menurut Wechler dalam Sugihartono dkk. (2007:16), intelegensia merupakan
kumpulan kemampuan seseorang untuk secara totalitas bertindak sesuai dengan
tujuan, berpikir secara rasional, dan kemampuan untuk menghadapi situasi
lingkungan secara efektif.
b. Intelegensia sebagai kemampuan untuk belajar
Intelegensia merupakan kemampuan untuk belajar (Freeman dalam
Sugihartono dkk., 2007:16). Pendapat tersebut mewakili kelompok ini yang
lebih memandang intelegensia pada individu sebagai sebuah kemampuan
seseorang untuk belajar. Oleh sebab itu, semakin tinggi tingkat intelegensi yang
dimiliki seseorang, orang tersebut akan semakin mudah untuk dilatih, untuk
belajar dari lingkungan dan pengalaman.
c. Intelegensia sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak

3
Menurut Mehrens dalam Sugihartono dkk. (2007:16), intelegensia merupakan
sebuah kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak.
Namun demikian, berdasarkan perbedaan-perbedaan sudut pandang
mengenai pengertian intelegensia tersebut, pada dasarnya intelegensia memang
menunjukkan pada sebuah kemampuan seseorng untuk menyesuaikan diri,
belajar, dan berpikir abstrak. (Irham,Muhammad dan Novan Ardy
Wiyani.2013).

2.2 Konsep Dasar Emosi


Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat
secara emosional. Emosi mewarnai cara berfikir kita. Kita tidak pernsh dapat
berfikir betul-betul objektif. Sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat
mengesampingkan emosi. Sampai disitu, emosi bukan hambatan utama. Tetapi
bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi sehingga menjadi
stress, barulah kita menjadi sulit berfikir efisien.
Takut mungkin melebih-lebihkan kesulitan persoalan dan menimbulkan
sikap resah yang melumpuhkan tindakan, marah mendorong tindakan impulsif
dan kurang dipikirkan dan kecemasan sangat membatasi kemampuan kita
melihat masalah dengan jelas atau merumuskan kemungkinan pemecahan.
(Rakhmat, J.2005).

2.2.1 Definisi Emosi


Beberapa pengertian dari emosi:
1. Merupakan reaksi subyektif yang diekspresikan seseorang dan
biasanya diasosiasikan atau berhubungan dengan perubahan
fisiologis dan tingkah laku.
2. Setiap orang menampilkan reaksi emosi yang berbeda, baik dari segi
bagaimana mereka merasakannya, peristiwa apa yang menjadi
pencetusnya, dan bagaimana manifestasi fisik yang ditujukan, serta
apa yang mereka lakukan.

4
3. Perbedaan ini antara lain dipengaruhi oleh budaya, sebab budaya
akan mempengaruhi bagaimana seseorang merasakan suatu situasi
tertentu dan bagaimana mereka memperlihatkan perasaannya.

2.2.2 Teori-Teori Emosi


Untuk menjelaskan mengenai emosi kita akan membahas dua teori
besar tentang emosi:
1. Pandangan nativistik
Kaum nativistik mengatakan bahwa emosi-emosi itu merupakan
bawaan sejak lahir. Salah satu penganut paham nativistik adalah
Rene Descartes (1596-1650), menyatakan bahwa manusia sejak
lahirnya mempunyai 6 emosi dasar, yaitu: cinta, kegembiraan,
keinginan, benci, sedih dan kagum.
2. Pandangan empiristik
Pandangan empiristik berpendapat bahwa emosi dibentuk oleh
pengalaman dan proses belajar. William James (1842-1910,
Amerika Serikat) (dan Carl Lange(Denmark) telah menyusun teori
tentang emosi yang menyatakan bahwa emosi adalah hasil persepsi
seseorang tentang perubahan-perubahan terjadi pada tubuh sebagai
respon terhadap rangsangan yang datang dari luar. Teori ini disebut
dengan teori James Lange.
(Hidayat, D.2009).

2.3 Teori Kecerdasan Emosional


Salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan
belajar adalah emosi. Hasil-hasil penelitian psiologi kontemporer menunjukkan
bahwa di samping adanya faktor yang berasal dari IQ, ternyata belajar dan
prestasi sangat ditentukan oleh Emotional Intelligence atau kecerdasan emosi.
Para ahli psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar

5
20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya
ditentukan oleh faktor lain. Diantara yang terpenting adalah kecerdasan emosi.
Teori yang dikembangkan oleh Daniel Goleman ini dikenal dengan
kecerdasan emosional (emotional intelligence). Konsep awal kecerdasan
emosional ini dikembangkan oleh psikolog Peter Salovery dari Yale University
dan rekannya, John Mayer, dari New Hampshire University, Amerika Serikat.
Kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh Goleman didasarkan
pada hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan kognitif dan
behaviorisme yang berupaya menggali faktor-faktor yang menggerakkan
seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya dengan mengamati perbedaan
kecerdasan intelektual. Ternyata, individu yang memiliki kecerdasan
intelektual akan tergolong terbiasa menunjukkan kinerja yang sangat
memuaskan (Parry dan Gregory,2003).
Goleman mengembangkan rumusan kecerdasan emosional menjadi
lima aspek yaitu social art, self-awareness, managing emotions, self-
motivation, dan empathy.
a. Self-Awareness
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosional
memiliki beberapa aspek, salah satunya adalah self-awareness. Self-
awareness ini juga berkaitan dengan konsep yang dikemukakan oleh
Gardner tentang kecerdasan intrapersonal dan dengan Art Costa
tentang konsep metacognition.
Self-awareness sangat berkaitan dengan kemampuan
memahami hakikat diri sendiri, mampu mengontrol emosi secara
sadar, dan mampu mengekspresikan secara benar sesuai dengan
tuntutan dan keputusan yang diambil.
Faktor ini sangat penting berkaitan dengan upaya pencapaian
keseimbangan emosi dalam menjalani proses kehidupan. Emosi
memiliki peran yang sangat penting terutama berkaitan dengan
pengambilan keputusan yang bijaksana, yang setara dengan

6
pengambilan keputusan melalui proses berpikir logis dan rasional.
Seorang neurolog bernama Antonio Damasio (1994)
mengemukakan bahwa otak, pikiran, tubuh, dan emosi berada
dalam sebuah sistem yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi. Terjadinya emosi yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya perilaku yang tidak masuk akal.
b. Managing Emotions
Perasaan tentang penguasaan diri dan kemampuan untuk
menguasai emosi serta bagaimana menjalani lembah kehidupan dan
berhasil melewatinya secara bijaksana menjadi hal yang diidamkan
oleh semua budaya.
Lingkungan budaya termasuk didalamnya keluarga, sekolah,
dan institusi lainnya berupaya menciptakan kondisi yang kondusif
untuk menciptakan dan mengembangkan kemampuan setiap
individu dalam masyarakatnya untuk mengelola emosi dengan baik.
Sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam upaya
mendidik anak didik agar mampu mengelola emosi dengan baik.
Guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dapat
mempraktekkan bagaimana mengekspresikan emosi dan bagaimana
menangani anak yang memiliki emosi yang negatif seperti anak
mudah marah, takut, cemas dan merasa mudah putus asa agar
berkembang menjadi anak didik yang memiliki emosi yang positif.
Anak menjadi pribadi yang gembira, bertanggungjawab dalam
melaksanakan tugas, serta tidak cemas dan khawatir dalam
menjalani masa pendidikannya. Anak selalu gembira menjalani
kehidupannya sepanjang hari; mampu memahami hidup ini sebagai
sebuah kenyataan yang harus dihadapi dengan penuh tanggung
jawab.
c. Self-Motivation

7
Menurut goleman dan costa,kemampuan mengontrol impuls
adalah keterampilan psikologis yang sangat fundamental.penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan mengontrol impuls dan reaksi
emosional berkaitan secara signifikan dengan prestasi di sekolah
dan dalam menjalani kehidupan.
Shoda, Mischel, dan peake melakukan eksperimen (1990) untuk
mengetahui bagaimana reaksi anakberusia empat tahun ketika
manisan putih empuk (masshmallow) disajikan. Manisan ini
tentunya menarik keinginan anak untuk mengambil dan memknnya
dengan segera. Dari hasil pengamatan yang dilakukan,ternyata ada
anak yang segera mengambil dan langsung memakannya. Namun,
ada pula anak yang mengambil,tetapi menunda untuk memakannya.
Ada juga yang mengambil,lalu memakannya ssetelah diperintah
oleh peneliti. Anak yang diberi hadiah adalah anak yang memakan
manisan tersebut setelah peneliti memerintahkannya untuk makan.
Subjek penelitian ini diikuti perkembangannya dan setelah 12 tahun
kemudian,ternyata menunjukkan hasil yang signifikan di antara
anak yang dijadikan subjek penelitian. Anak yang mampu
menontrol impuls ternyata lebih mampu beradaptasi dengan
lingkungan,memiliki kepercayaan diri,dan umumnya mampu
menunjukkan kepribadian yang sehat. Di samping itu,prestsi
akademik yang dicapai menunjukkan prestasi yang lebih baik
dibandingkan dengan anak yang kurang mampu mengontrol
impulsnya. Dalam hal ini,kemampuan anak mengontrol impuls pada
usia empat tahun dapat dijadikan dasar dalam mengembangkan
kemampuan akademik dan kompetensi sosial anak di kemudian
hari.
Menurut Goleman,kemampuan mengontrol impuls menjadi
kunci dalam upaya mengatur dan mengelola keseluruhan emosi
dalam kehidupan manusia. Di samping itu,individu dapat

8
meningkatkan kapasitass belajar ,berpikir dan membuat
perencanaan serta sselanjutnya dapat meningkatkan seluruh
kemampuan dan potensi yang dimiliki. Dengan kata
lain,ketidakmampuan manusia untuk mengembangkan kecerdasan
emosionalnya akan memberi pengaruh yang berarti terhadap
keberhasilan dan kesuksesan hidup di kemudian hari. Kecerdasan
emosional akan memberi dampak positif terhadap kemampuan
mengelola stres, daya juang, dan melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan kode etik,dan yang pasti adalah kemampuan mencapai
prestasi kerja secara optimal.
d. Empathy
Empati adalah kemampuan untuk mengerti/memahami
pandangan dan perasaan orang lain, seperti juga kita memahami dan
menggambarkan perasaan sendiri secara objektif. Kecerdasan ini
berkaitan dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal yang
dikemukakan oleh Gardner. Individu yang kurang mampu
memahami diri sendiri akan sulit memahami perasaan orang lain;
individu yang memiliki kepekaan dan perilaku empati akan
memberi makna yang sangat berarti dalam menjaga keseimbangan
batin dan kesejahteraan psikologisnya.
Empati sebetulnya telah muncul dan dikembangkan sejak anak
usia dini, dan ketika anak telah mampu melakukan imitasi terhadap
tutur kata dan perilaku orang tua dan orang-orang disekitarnya.
Proses enkulturasi tampaknya amat memegang peran penting dalam
upaya mengembangkan empati anak usia dini. Anak akan
mengamati apa yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua
sepanjang perkembangan anak. Bagaimana orang tua merespons
keadaan yang sulit dan menanggapi kesulitan orang lain akan
diinternalisasi oleh anak dalam masa perkembangannya.
e. Social Art

9
Kompetensi sosial ternyata dibangun berdasarkan kemampuan
mengelola diri sendiri dan empati. Kemampuan membangun dan
menjalin hubungan manusiawi dengan sesama menunjukkan sifat
dan keahlian sebagai pribadi makhluk sosial. Pepatah kuno
mengungkapkan “People need to know you care before they care
about what you know”. Pepatah ini menyiratkan adanya kepekaan
sosial dalam hubngannya dengan sesama manusia. Memiliki
kemampuan untuk membaca reaksi sesama dengan cepat dan akurat
serta kemampuan menghadapi sesama secara efektif akan
menunjukkan tumbuhnya kompetensi sosial. Kepekaan sosial ini
juga mencakup bagaimana individu menjadi mediator, memberi
inspirasi, dan memberi motivasi agar orang lain memiliki
kemampuan nilai-nilai kehidupannya. (Surna, I Nyoman dan Olga
D. Panderiot.2014).

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor penting yang
sangat berpengaruh dalam keberhasilan belajar. Hasil-hasil penelitian
psikologi kontemporer menunjukkan bahwa disamping adanya faktor
yang berasal dari IQ, ternyata belajar dan prestasi sangat ditentukan oleh
Emotional Intellegence atau kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional juga sangat menentukan potensi kita untuk
mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada lima
unsur kecerdasan emosional yang terdiri dari kesadaran diri (Self-
Awareness), pengaturan diri (Managing Emotions), motivasi (Self
Motivation), empati (Empathy), dan kecakapan dalam membina
hubungan dengan orang lain (Social Art).
3.2 Saran
Kecerdasan emosi amatlah penting bagi kehidupan seseorang dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, yaitu dapat
membantu seseorang dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan
yang dialami dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosialnya.
Maka diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan emosional dalam
kehidupan sehari-hari.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, D. (2009). Ilmu Perilaku Manusia. Jakarta: TIM.


Irham,Muhammad dan Novan Ardy Wiyani. (2013). Psikologi Pendidikan Teori dan
Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Sosial.
Surna, I Nyoman dan Olga D. Panderiot. (2014). Psikologi Pendidikan 1. Jakarta:
Erlangga.

12

Anda mungkin juga menyukai