Anda di halaman 1dari 28

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PANGAN

DAN HASIL PERTANIAN

EKOLOGI INDUSTRI SINGKONG

Disusun oleh:
Kelompok 10 / THP-A
Rizqiadevi Nurhaliza 151710101022
Baity Nur Jannah 151710101064
Dimitri Prahesti 151710101100

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Limbah merupakan sampah sisa produksi yang mengandung bahan – bahan
yang dapat menimbulkan polusi dan dapat menganggu kesehatan. Jika pembuangan
dilakukan secara terus menerus maka akan menimbulkan penumpukan sampah.
Penumpukan sampah inilah yang dapat menimbulkan penyakit dan menimbulkan
polusi jika tidak segera di olah. Sampah bukanlah suatu hal yang harus dibuang
tanpa guna, kerena dengan pengolahan dan pemanfaatan secara baik, maka sampah
akan menjadi barang yang lebih berguna dari sebelumnya.
Singkong merupakan salah satu hasil pertanian yang jumlahnya sangat
banyak di Indonesia. Menurut data statistik pada tahun 2013 tingkat produksi
singkong mencapai 18,9 juta ton per tahun. Banyaknya produksi singkong pertahun
menyebabkan banyaknya limbah yang dihasilkan, baik dari tanaman singkong
maupun umbi singkong. Setelah pemanenan singkong, biasanya akan menghasikan
limbah berupa daun dan batang dan pada umbi singkong akan menghasilkan limbah
berupa kulit singkong. 18,9 juta ton singkong akan menghasilkan limbah kulit
dalam yang berwarna putih sebesar 1,5-2,8 juta ton, sedangkan limbah kulit luar
yang berwarna coklat sebesar 0,04-0,09 juta ton.
Selama ini limbah dari singkong jarang dimanfaatkan dan hanya dibuang
begitu saja, padahal limbah singkong dapat dimanfaatkan menjadi berbagai olahan.
Salah satu cara untuk mengetahui singkong dapat diolah menjadi berbagai olahan
adalah dengan menerapkan sistem ekologi industri. Sistem yang dibangun dalam
ekologi industri juga mengikuti siklus seperti itu, di mana aliran energi, material
dan penggunaan sampah hasil olahannya dapat dibentuk dalam suatu siklus
tertutup, sehingga dapat mengefisiensikan penggunaan sumberdaya alam, bahkan
bisa melengkapi/memperkaya sumber daya alam itu sendiri. Maka dari itu
pembuatan sistem ekologi industri diperlukan pada pengolahan singkong.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu
1. Mengetahui limbah singkong yang dapat diolah menjadi produk lainnya.
2. Mengetahui produk yang dihasilkan dari pengolahan limbah singkong.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Ekologi Industri Singkong


Ekologi industri merupakan multi disiplin ilmu yang membahas masalah
sistem industri, aktivitas ekonomi dan hubungannya yang fundamental dengan
sistem alam. Ide ekologi industri dianologikan dengan sistem ekologi alam, yang
biasanya digerakkan oleh energi matahari, ekosistem, termasuk di dalamnya
hubungan mutualisme antar berbagai jasad renik dan lingkungan sekitarnya dimana
terjadinya pertukaran material melalui suatu siklus besar. Idealnya sistem yang
dibangun dalam ekologi industri juga mengikuti siklus seperti itu, di mana aliran
energi, material dan penggunaan sampah hasil olahannya dapat dibentuk dalam
suatu siklus tertutup, sehingga dapat mengefisiensikan penggunaan sumberdaya
alam, bahkan bisa melengkapi/memperkaya sumber daya alam itu sendiri.
Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus
Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry, 2007).
Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang, dan
daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga
bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya akan karbohidrat
yaitu sekitar 80%-90% dengan pati sebagai komponen utamanya. Tanaman ini tidak
dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan
pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, dan penghancuran atau
beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam sianida yang bersifat racun yang
terkandung dalam semua varietas singkong.
Tanaman singkong mulai menghasilkan umbi pada umur 6 bulan
(Prihatman, 2000). Umbi yang dihasilkan banyak digunakan untuk bahan baku
produk olahan seperti tapioka dan produk tanaman lainnya. Tanaman singkong
(Manihot esculenta) merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai strategis,
selain sebagai bahan pangan dan pakan juga sebagai bahan baku industri dan
termasuk sebagai bahan bakar nabati, seperti etanol. Daun muda tanaman singkong
sering digunakan sebagai sayur, batang tanaman singkong dapat digunakan untuk
kayu bakar bahkan sebagai pagar hidup (Prihatman, 2000). Tanaman singkong juga
potensial sebagai pakan ternak, dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada
bagian umbi dan protein pada daun (Kustantinah et al., 2005).
Di Indonesia singkong merupakan makanan yang cukup banyak
dikonsumsi, terutama umbi dan daunnya. Tingkat konsumsi singkong yang cukup
tinggi menyebabkan banyaknya limbah yang dihasilkan, terutama batang dan kulit
umbi singkong. Untuk menangani banyaknya limbah singkong dalam usaha
singkong dapat menerapkan ekologi industri. Berikut merupakan gambar diagram
ekologi pertanian singkong (gambar 2.1).

Gambar 1. Diagram Ekologi Pertanian Singkong

2.2 Batang Pohon Singkong


Batang tanaman singkong berkayu, beruas-ruas dengan ketinggian
mencapai lebih dari 3 meter. Warna batang bervariasi, ketika masih muda umumnya
berwarna hijau dan setela tua menjadi keputihan, kelabu, atau hijau kelabu. Batang
berlubang, berisi empelur berwarna putih, lunak, dengan struktur seperti gabus.
Setelah pemanenan umbi singkong biasanya batang singkong hanya
menjadi limbah dan dibiarkan begitu saja. Untuk mengatasi limbah singkong yang
banyak terdapat beberapa alternatif untuk mrngatasinya, yaitu dengan menanamnya
kembali sehingga tumbuh menjadi pohon singkong atau mengolah dan menjualnya
menjadi kayu bakar.
Batang singkong yang digunakan sebagai kayu bakar pengolahannya cukup
mudah. Sebelum digunakan sebagai kayu bakar batang singkong dijemur terlebih
dahulu agar api mudah dibakar. Pengeringan dilakukan dengan mengupas kulit
kayu terlebih dahulu lalu dijemur hingga kering.

2.3 Daun Singkong


Susunan daun singkong berurat menjari dengan cangap 5-9 helai. Daun
singkong, terutama yang masih muda mengandung racun sianida, namun demikian
dapat dimanfaatkan sebagai sayuran dan dapat menetralisir rasa pahit sayuran lain,
misalnya daun pepaya dan kenikir. Dalam pemanfaatannya, selain dijadikan
sayuran, daun singkong yang sudah menjadi limbah dapat diolah menjadi kompos
dan pakan ternak. Berikut merupakan olahan dari limbah singkong
2.3.1 Pakan ternak
Daun singkong memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar
>20% (AFRIS, 2007) dan untuk daun singkong muda (Pucuk) mengandung protein
sebesar 21-24% (Sokerya dan Preston, 2003), dan sejak tahun 1970 daun singkong
telah dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Eggum, 1970). Daun singkong juga
dilaporkan menjadi sumber mineral Ca,Mg, Fe, Mn, Zn, vitamin A, dan B2
(riboflavin) yang baik (Ravindran, 1992).
Daun singkong juga mengandung asam sianida, maka dari itu
penggunaannya harus dibatasi. Kandungan Asam sianida (HCN) dalam daun
singkong merupakan salah satu senyawa pembatas dalam penggunaan daun
singkong sebagai pakan ternak. Interval jumlah kandungan HCN pada daun
singkong umumnya berkisar antara 20 sampai 80 mg per 100 g berat segar daun
singkong, atau dari 800 sampai 3.200 mg/kg bahan kering (BK). Komposisi HCN
pada daun singkong lebih tinggi dibandingkan dengan umbi singkong (Ravindran,
1992). Varietas dan tingkat kematangan adalah faktor utama penyebab variasi dari
komposisi sianida (CN) dari daun singkong (Chhay et al., 2001). Konsumsi HCN
tidak bermasalah bagi ternak ruminansia sampai batas 100 ppm (Tewe, 1994). HCN
dapat didetoksifikasi oleh mikroorganisme di dalam rumen (Preston, 1995). Pada
ruminansia kecil, pakan yang kaya akan sulfur merupakan komponen vital untuk
detoksifikasi CN menjadi tiosianat, yang dikenal juga dengan sulfosianat, tiosianat,
dan rhodanit (Onwuka et al. 1992). Tiosianat, yang merupakan anion SCN-
dibentuk di rumen, kemudian dibawa oleh serum darah dan hilang perlahan melalui
urin. Oleh sebab itu, persentase unsur S di dalam pakan kambing dan domba harus
mencapai minimal 0.5% sehingga detoksifikasi CN dapat berjalan optimal
(Onwuka et al. 1992). Selain itu, kadar HCN pada daun singkong dapat diturunkan
melalui proses pengolahan pakan dengan dilayukan di bawah sinar matahari
(Gomez et al., 1984), diolah menjadi hay, dan silase (Man dan Wiktorsson, 1999).
Pakan ternak dari singkong dapat dibuat dalam bentuk silase. Silase adalah
pakan yang telah diawetkan yang di proses dari bahan baku yang berupa tanaman
hijauan , limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya, dengan jumlah
kadar / kandungan air pada tingkat tertentu kemudian di masukan dalam sebuah
tempat yang tertutup rapat kedap udara , yang biasa disebut dengan Silo, selama
sekitar tiga minggu. Didalam silo tersebut tersebut akan terjadi beberapa tahap
proses anaerob (proses tanpa udara/oksigen), dimana “bakteri asam laktat akan
mengkonsumsi zat gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga terjadilah proses
fermentasi. Silase yang terbentuk karena proses fermentasi ini dapat di simpan
untuk jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi dari
bahan bakunya. Berikut merupakan tahapan pembuatan silase dari daun singkong.
1. Daun Singkong segar (kadar air 60-70%) setelah dipanen ditimbang sesuai
dengan kebutuhan, kemudian dipotong-potong dengan ukuran sekitar 3 – 5
cm. Pemotongan dan pencacahan perlu dilakukan agar mudah dimasukkan
dalam silo dan mengurangi terperangkapnya ruang udara di dalam silo serta
memudahkan pemadatan.
2. Bahan yang sudah siap dibuat silase diberi imbuhan bahan aditif berupa
dedak padi,/ kemudian dicampur secara merata.
3. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik (poly
ethylene) yang tebal dan ditutup rapat; perlu dinjak-injak hingga betul-betul
padat dan dicapai kondisi an-aerob, secara bertahap, lapis demi lapis.
4. Biarkan silo tertutup rapat serta diletakkan pada ruang yang tidak terkena
matahari atau kena hujan secara langsung, selama tiga minggu (21 hari).
5. Proses silase berjalan baik ditandai dengan tidak adanya jamur dan baunya
asam, maka penyimpanan dapat diteruskan sampai waktu diperlukan lagi.
Guna menjaga kestabilan kualitas gizi silase selama penyimpanan, maka
selama penyimpanan tetap harus diupayakan sedikit mungkin udara luar
(O2) masuk ke dalam kantung plastik.
2.3.2 Kompos
Kompos daun singkong merupakan pupuk organik yang berasal dari daun
singkong yang dapat memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan daya
menahan air, kimia tanah dan biologi tanah (Rukmana, 2007). Pupuk organik dalam
bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar berperan penting dalam perbaikan
sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanaman. Penggunaan
kompos/pupuk organik pada tanah memberikan manfaat diantaranya menambah
kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah dan gembur,
memperbaiki sifat kimiawi tanah, sehingga unsur hara yang tersedia dalam tanah
lebih mudah diserap oleh tanaman, memperbaiki tata air dan udara dalam tanah,
sehingga akan dapat menjaga suhu dalam tanah menjadi lebih stabil, mempertinggi
daya ikat tanah terhadap zat hara, sehingga mudah larut oleh air dan memperbaiki
kehidupan jasad renik yang hidup dalam tanah. Untuk memperoleh kualitas kompos
yang baik perlu diperhatikan pada proses pengomposan dan kematangan kompos,
dengan kompos yang matang maka frekuensi kompos akan meracuni tanaman akan
rendah dan unsur hara pada kompos akan lebih tinggi dibanding dengan kompos
yang belum matang. (Rukmana, 2007).
Tanah

Daun singkong
kering

Tanah

Penyiraman dengan air

Penyimpanan (3 minggu)

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Kompos Daun Singkong

2.4 Kulit Singkong


2.4.1 Karbon Aktif
Secara garis besar, ada 3 tahap pembuatan karbon aktif, yaitu:
1) Proses Dehidrasi adalah proses penghilangan air pada bahan baku. Bahan baku
dipanaskan sampai temperatur 170°C.
2) Proses Karbonisasi adalah proses pembakaran bahan baku dengan menggunakan
udara terbatas dengan temperatur udara antara 300ºC sampai 900ºC sesuai
dengan kekerasan bahan baku yang digunakan. Proses ini menyebabkan
terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan
membentuk metanol, uap asam asetat, tar, dan hidrokarbon. Material padat yang
tertinggal setelah proses karbonisasi adalah karbon dalam bentuk arang dengan
permukaan spesifik yang sempit.
3) Proses Aktivasi dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu proses aktivasi fisika,
biasanya karbon dipanaskan didalam furnace pada temperatur 800°C-900°C.
Beberapa bahan baku lebih mudah untuk diaktifasi jika diklorinasi terlebih
dahulu. Selanjutnya dikarbonisasi untuk menghilangkan hidrokarbon yang
terklorinasi dan akhinya diaktifasi dengan uap. Bagian yang kedua, yaitu proses
Aktivasi Kimia merujuk pada pelibatan bahan-bahan kimia atau reagen
pengaktif.

Kulit singkong

pencucian

Pengecilan ukuran

Pengeringan oven
(100⁰C @ 3 jam)

arang

penghalusan

serbuk

+ larutan NaOH

penyaringan

Penetralan (+ HCl
0,1 N)

Pengeringan oven

Pengeringan oven

Gambar 3. Diagram alir pembuatan karbon aktif


Kulit singkong dikupas terlebih dahulu dari umbinya, kemudian dicuci kulit
singkong tersebut dengan menggunakan air bersih dan dipotong kecil-kecil
menyerupai batang korek api. Lalu kulit singkong yang telah dipotong akan
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100°C selama 3 jam. Kulit singkong
yang telah kering dibakar menggunakan furnace sampai menjadi arang. Setelah itu
dihaluskan menggunakan mortal dan alu yang kemudian diayak untuk mendapatkan
serbuk arang aktif.
Diaktifkan arang aktif dengan menggunakan larutan NaOH dengan
konsentrasi yang 0,1 N selama 24 jam. Kemudian disaring menggunakan kertas
saring, lalu dinetralisasikan menggunakan HCl 0,1N dan aquadest sampai pHnya
netral atau mencapai pH 7. Kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu
100°C selama 3 jam. Ditimbang 1 gram arang aktif yang telah dikeringkan untuk
dikontakkan dengan sample yaitu air sungai selama 30 menit menggunakan
magnetic stirrer. Setelah dikontakkan sample tersebut disaring lalu diuji kandungan
logam Fe dan Mn menggunakan AAS.
2.4.2 Bioetanol
Teknologi yang diterapkan untuk menghasilkan bioethanol yakni melalui
proses bernama hidrolisa asan dan juga enzimatis. Kulit singkong mengandung
karbohidrat cukup tinggi (Rukmana, 1997). Hasil analisa awal kulit singkong yaitu
mengandung 36,5% pati atau amilum (Artiyani & Soedjono, 2011). Berikut
merupakan tahapan pembuatan bioethanol dari kulit singkong
1. Tahap pendahuluan
Kulit singkong segar direndam selama 3 hari lalu dipotong menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil dan ditimbang sebanyak 4 kg. Kulit singkong dikeringkan
selama 5 hari dan diperoleh kulit singkong kering sebanyak 1,7 kg. Kulit singkong
dihaluskan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 40 mesh. Setelah itu,
kulit singkong hasil penggilingan dioven pada suhu ± 105C selama 2 jam.
2. Tahap Delignifikasi
Pretreatmen atau delignifikasi dilakukan dengan mengambil sebanyak 180
gram serbuk kulit singkong hasil pengayakan dimasukkan ke dalam erlenmeyer
kemudian ditambahkan 2160 mL aquades dan 250 mL NaOH 10%, dipanaskan dan
diaduk dengan menggunakan stirer selama 30 menit pada suhu 160C. Selanjutnya
larutan disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu hasil penyaringan
dicuci dengan aquades sampai diperoleh pH netral lalu dioven pada suhu 105C
selama 2 jam kemudian menggerusnya hingga halus dengan menggunakan lumpang
dan alu dan mengayaknya dengan menggunakan ayakan 40 mesh.
3. Tahap Hidrolisis
Hasil delignifikasi selanjutnya dilakukan proses hidrolisis dengan
menimbang 15 gram dari hasil ayakan pada tahap delignifikasi sebanyak 4 kali
perlakuan. Masing-masing sampel tersebut dimasukkan ke dalam gelas kimia dan
ditambahkan dengan larutan HCl 15%, HCl 7%, H2SO4 15% dan H2SO4 7%
sebanyak 180 mL lalu dipanaskan pada suhu 100C selama 2 jam. Larutan disaring
dengan menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diukur kadar glukosanya
dengan menggunakan spektrometer UV-vis.
4. Tahap Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan mengambil sebanyak 160 mL filtrat
dari hasil hidrolisis ditambahkan dengan larutan NaOH 6 M hingga pH-nya menjadi
4,5. Kemudian ditambahkan dengan 14 gram ammonium sulfat dan 14 gram
NH3SO4 lalu dipasteurisasi pada suhu 80C selama 15 menit. Setelah itu,
ditambahkan dengan ragi (Sacharomyces cerevisiae) sebanyak 14 gram lalu larutan
dibagi larutan menjadi 4 bagian dan ditutup dengan aluminium foil kemudian
didiamkan selama 4 hari, 6 hari dan 8 hari dan 10 hari pada suhu 27-30C.
5. Tahap Pemisahan
Proses pemisahan dilakukan dengan memasukkan hasil fermentasi ke dalam
erlenmeyer dan dipasang pada rangkaian alat evaporator. Pada proses ini dilakukan
pemanasan pada suhu 78C. Kemudian masing-masing larutan hasil evaporasi
ditentukan kadar etanol dengan menggunakan alkohol meter.
Kulit
singkong

Pre-treatment

delignifikasi

hidrolisis

fermentasi

pemisahan

Gambar 4. Diagram alir pembuatan bioetanol kulit singkong


2.4.3 Keripik
Selain umbi singkong yang dapat diolah menjadi keripik, kulit singkong
juga dapat diolah menjadi keripik singkong. Berikut proses pembuatan kripik
singkong.
1. Kulit Singkong
Dalam memilih kulit singkong yang bagus kita bisa melihatnya dari kualitas
singkong itu sendiri, apabila singkongnya bagus/tidak pahit maka kulitnya juga
enak/tidak pahit sehingga bisa diolah menjadi keripik kulit singkong. Setelah itu
kulit singkong dicuci dan bersihkan dari kulit luarnya (yang berwarna coklat)
sehingga tersisa kulit dalamnya. Lalu potong dadu kulit singkong tersebut.
2. Perebusan
Setelah didapatkan potongan kulit singkong yang bersih dilakukan
perebusan dengan memasukan potongan kulit singkong ke panci yang diberi air
garam. Proses perebusan kulit singkong dilakukan di kompor dengan api sedang
dan dengan air secukupnya. Tunggu hingga mendidih kemudian angkat kulit
singkong dan tiriskan.
3. Perendaman dengan bumbu
Kulit singkong direndam menggunakan bumbu, yaitu garam, bawang putih,
ketumbar, penyedap rasa lalu beri sedikit air.
4. Penjemuran
Jemur potongan kulit singkong di baskom dibawah terik matahari hingga kering.
5. Penggorengan
Setelah dijemur kulit singkong digoreng di dalam api panas hingga matang

Kulit
singkong

perebusan

Perendaman
dengan bumbu

penjemuran

penggorengan

Gambar 5. Diagram alir pembuatan keripik kulit singkong


2.4.4 Pupuk Organik
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen
dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.
Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat
hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba
yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif
pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang
sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen
akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian
besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan.
Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan
komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume
maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari
volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen)
atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah
proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi
bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen
yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama
proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan
menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam
organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S.

Kulit singkong

pencampuran

pematangan

penguraian

kompos

Gambar 6. Diagram alir pembuatan pupuk kompos


2.5 Daging Singkong
2.5.1 Olahan Daging Singkong
i. Keripik singkong
Keripik singkong adalah makanan ringan yang dibuat dari irisan tipis umbi
singkong, digoreng, dengan diberi bumbu tertentu atau hanya diberi garam. Pada
pembuatannya singkong dikupas, dicuci bersih, kemudian diiris tipis-tipis (dapat
menggunakan alat pemotong atau slicer). Irisan singkong kemudian direndam
dalam larutan Natrium bisulfit 2000 ppm, atau dalam air garam. Kemudian
singkong digoreng dalam minyak yang panas. Setelah ditiriskan keripik singkong
dapat langsung dikemas. Untuk membuat keripik singkong yang renyah dan gurih
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : satu kg singkong dikupas, dicuci dan
diiris tipis-tipis. Kemudian irisan singkong direndam dalam air kapur sirih selama
semalam. Paginya dicuci, lalu direndam dengan air larutan soda kue ( setiap 3 liter
air diberi 1 sendok the soda kue), lama perendaman 2,5 jam. Setelah itu ditiriskan,
lalu diberi bumbu sesuai selera dan digoreng sampai matang

Singkong

Pengupasan

Pencucian

Pengecilan ukuran, tipis-tipis

Perendaman Natrium bisulfit

penggorengan
Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Keripik Singong
ii. Tape Singkong
Tape merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang dihasilkan
dari proses fermentasi bahan pangan berkarbohidrat atau sumber pati, yang
melibatkan ragi di dalam proses pembuatannya. (Astawan dan Mita, 1991). Dalam
proses fermentasi tape, digunakan beberapa jenis mikroorganisme seperti
Saccharomyces Cerevisiae, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp.,
Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Pediococcus, dsb sp. (Ganjar, 2003).
Tape singkong merupakan bentuk makanan olahan dengan proses
fermentasi. Prinsip dasar proses fermentasi adalah degradasi komponen pati
menjadi dekstrin dan glukosa, selanjutnya glukosa diubah menjadi alkohol atau
asam sehingga hasil dari proses fermentasi terasa sedikit asam atau sedikit manis
dan asam alkoholik. Tape singkong biasanya dibiarkan dalam bentuk warna putih.
Proses pembuatan tape singkong dilakukan seperti pada skema dibawah ini.

Singkong

Pengupasan

Pengecilan ukuran

Pencucian dengan air bersih

Perendaman (1-2 jam)

Pengukusan

Penambahan ragi

Pengeraman dalam wadah tertutup selama 3


hari

Tape singkong

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Tape Singkong


iii. MOCAF
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) MOCAF merupakan tepung
yang diperoleh dari singkong dengan proses fermentasi asam laktat. Tepung mokaf
memiliki karakteristik khas dan dapat dikembangkan sebagai bahan pangan pada
skala luas. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik
yang dapat menghancurkan singkong sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi
granula pati yang pada akhirnya akan terbentuk asam laktat (Subagio dkk., 2008).
Pada prosedur pembuatan tepung mokaf tersebut membutuhkan senyawa
aktif A, senyawa aktif B, dan senyawa aktif C. Senyawa aktif A mengandung bahan
tertentu yang mampu mengatur kondisi keasaman air agar ideal untuk proses
fermentasi. Senyawa aktif B berupa media kultur dan mengandung mikroba sebagai
inokulum fermentasi. Senyawa aktif C digunakan untuk menghilangkan protein
yang menyebabkan tepung menjadi warna cokelat ketika proses pengeringan dan
menghentikan pertumbuhan mikroba pada proses fermentasi (Subagio dkk, 2008).

Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Tepung Mocaf


Pada proses pembuatan tepung mokaf dapat menggunakan inokulum Bimo-
CF (Biologically Modified Cassava Flour). Inokulum tersebut merupakan bakteri
asam laktat yang dapat mendominasi selama proses fermentasi. Bakteri yang
tumbuh pada inokulum tersebut menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik
yang dapat menghancurkan singkong sehingga terjadi liberasi granula pati dan juga
bakteri tersebut menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis pati menjadi gula
untuk diubah menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat, sehingga
menyebabkan perubahan karakteristik berupa naiknya viskositas menjadi sebesar
1130 BU (Brabender Unit) dan derajat putih antara 73,9 sampai 86,4 % (Misgiyarta
dkk., 2009).
Dengan adanya perkembangan tepung mokaf dalam menggunakan
inokulum untuk proses fermentasi, Enny dan Yuliasri (2012) telah melakukan
penelitian pembuatan inokulum mokaf terimobilisasi dari isolat bakteri asam laktat
dan aplikasinya pada proses produksi tepung mokaf. Dalam penelitian tersebut,
inokulum dibuat dengan menggunakan 5 kombinasi isolat BAL. Dari kelima
inokulum yang digunakan pada penelitian tersebut, inokulum 3 (Kombinasi antara
Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus lactis) pada proses pembuatan tepung
mokaf menghasilkan tepung mokaf yang memiliki derajat putih lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung singkong yaitu berkisar antara 91,36 sampai 94,55%
dan tepung mokaf yang dihasilkan dapat memenuhi syarat SNI. Sedangkan pada
proses pembuatan tepung mokaf yang hanya menggunakan
Lactobacillusplantarum untuk fermentasi selama 5 hari, tepung mokaf yang
dihasilkan memiliki kadar protein dan lemak sebesar 8,557 % dan 2,801 %. (Lina
dkk., 2012).
Pada proses pembuatan tepung mokaf menggunakan inokulum
Lactobacillus casei telah dilakukan oleh Darmawan dkk. (2013). Variasi
konsentrasi pada proses pembuatan tepung mokaf tersebut adalah 1 , 3V, dan 5 %V.
Sedangkan variasi ketebalan dari singkong yang disawut adalah 2 mm, 4 mm, dan
6 mm. Pada konsentrasi inokulum sebesar 5 %V dan ketebalan dari singkong yang
disawut sebesar 2 mm, tepung mokaf yang dihasilkan memiliki kadar protein
sebesar 3,68 % dan solubiliti sebesar 1,63 %.
iv. Tepung Singkong
Tepung singkong adalah tepung yang terbuat dari singkong dengan adanya
perbaikan dalam ketentuan keamanan pangan. Tepung ini mulai diperkenalkan
pada tahun 1993. Proses pembuatan tepung ini merupakan perbaikan dari cara
pembuatan tepung gaplek. Keunggulan proses ini hasilnya lebih tinggi dibanding
tepung gaplek yaitu dari 20 sampai 22% menjadi 25 sampai 30%, awet, gizi lebih
baik, dan dapat mensubstitusi terigu, baik parsial atau seluruhnya. Tepung
singkong mengandung air 12%, lemak 0,32%, protein 1,19%, karbohidrat 81,75%,
serat 3,34% (Widowati, 2011).
Dalam pembuatan tepung singkong terdiri dari beberapa tahap yaitu
(Widowati, 2011) :

Persiapan Pengupasan Pencucian dan Perendaman

Pengeringan Pengepresan Penyawutan

Penepungan
Gambar 10. Diagram Alir Pembuatan Tepung Sigkong
1) Tahap persiapan
Varietas singkong yang digunakan dalam pembuatan tepung singkong dapat
berasal dari berbagai varietas. Singkong merupakan jenis umbi-umbian
yang tidak tahan disimpan, sehingga perlu diperhatikan penanganan pada
saat panen, pengangkutan, dan pengolahan. Dalam waktu 24 jam setelah
singkong dipanen, langsung diproses menjadi sawut kering. Apabila
terlambat maka akan terjadi kerusakan, umbi singkong akan berwarna
kecoklatan, dan dapat menurunkan kualitas tepung singkong. Kualitas
tepung singkong sangat itentukan oleh mutu singkong segar. Agar diperoleh
tepung yang berwarna putih, harus digunakan singkong putih dan segar.
2) Tahap pengupasan
Pengupasan kulit singkong secara manual menghasilkan umbi singkong
yang tinggi, tetapi memerlukan waktu yang relatif lama dan tenaga kerja
yang banyak. Cara tersebut umumnya menggunakan pisau dapur atau pisau
khusus. Sedangkan dengan menggunakan mesin pengupas kulit singkong,
umbi singkong yang dihasilkan kurang maksimal, walaupun dapat
mempercepat waktu pengupasan.
3) Tahap pencucian dan perendaman
Singkong yang telah dikupas secepatnya dicuci dengan air mengalir atau di
dalam bak agar kotoran, Lendir, dan kadar HCN dapat hilang. Untuk
menjaga agar umbi tetap bersih dan putih sewaktu proses penyawutan, maka
dilakukan perendaman dengan air yang cukup banyak (seluruh umbi
tercelup). Tepung yang dihasilkan mengandung HCN 40 ppm (ambang
batas HCN dalam produk. Dep Kes, RI).
4) Tahap penyawutan
Penyawutan dilakukan dengan alat penyawut yang digerakkan secara
manual atau dengan tenaga mesin. Sawut yang dihasilkan berupa irisan
singkong dengan lebar 0,2 sampai 0,5 cm, panjang 1 sampai 5 cm, dan tebal
0,1 sampai 0,4 cm. Sawut basah ditampung dalam bak plastik atau wadah
lain yang tidak korosif.
5) Tahap pengepresan
Sawut basah dimasukkan dalam alat pengepres dan ditekan sampai airnya
keluar. Tujuan pengepresan yaitu agar pengeringan sawut lebih cepat, dan
untuk mengurangi kadar HCN, terutama pada singkong jenis pahit. Sawut
hasil pengepresan memerlukan waktu pengeringan (penjemuran) 10 sampai
16 jam, sedangkan sawut tanpa pres harus dijemur selama 30 sampai 40 jam.
6) Tahap pengeringan
Sawut pres harus segera dijemur, apabila cuaca buruk dapat digunakan alat
pengering. Pengeringan sawut perlu mendapat perhatian khusus, karena
akan menentukan mutu tepung yang dihasilkan. Kadar air maksimum yang
direkomendasikan maksimum 14%. Apabila kadar air sawut masih tinggi,
tepung singkong yang dihasilkan tidak tahan lama untuk disimpan, sehingga
menurunkan mutu tepung singkong. Penjemuran dilakukan di atas rak,
menggunakan alas dari bahan yang tidak korosif (misal: anyaman bambu,
sasak nampan aluminium).
7) Tahap pengemasan
Sawut kering langsung dikemas dengan kantong plastik tebal kedap udara,
lalu dimasukkan dalam karung plastik. Gudang atau ruang penyimpanan
harus bersih, dan kering serta diberi alas kayu agar karung tidak langsung
bersentuhan dengan lantai.
8) Tahap penepungan
Penggilingan sawut kering menjadi tepung singkong dapat menggunakan
alat penepung beras yang banyak beredar di pasaran. Agar lebih efisien,
penepungan dilakukan dalam dua tahap, yaitu penghancuran sawut untuk
menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh), dan penggilingan/penepungan
dengan saringan lebih halus (80 mesh).

2.6 Olahan Limbah dari Pengolahan Singkong


Olahan limbah dari pengolahan singkong meliputi limbah padat dan limbah
cair. Olahan limbah padat berupa pakan ternak, kompos, plastik biodegradible, dan
nata de casava.
2.6.1 Pakan Ternak dari kulit singkong
Tingginya kandungan karbohidrat dalam kulit singkong, yang berarti
pula sebagai kulit singkong dapat menjadi bahan pakan sumber energi yang
cukup tinggi. Selain itu, kulit singkong menunjukkan kandungan protein yang
rendah dan kandungan serat kasar yang tinggi. Serat kasar yang tinggi akan
menjadi masalah di dalam sistem pencernaan sehingga diperlukan pengolahan
yang mampu meningkatkan komposisi kimia yang dibutuhkan oleh ternak serta
menurunkan kandungan faktor pembatas penggunaan kulit singkong sebagai
pakan ternak, salah satunya melalui fermentasi.
Proses fermentasi dikenal juga dengan proses perombakan karbohidrat,
dalam hal ini menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Jenis ini menghasilkan
enzim zimase dan invertase. Fungsi enzim invertase adalah untuk memecah
sukrosa ataupun polisakarida (pati) yang belum terhidrolisis untuk diubah
menjadi monosakarida (glukosa). Sedangkan enzim zimase selanjutnya
mengubah monosakarida menjadi etanol.
Enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi ini diharapkan dapat
memecah serat yang cukup tinggi menjadi molekul karbohidrat yang lebih
sederhana, sehingga meningkatkan jumlah energi yang dapat dimetabolisme
oleh ternak.
2.6.2 Kompos Kulit singkong
Kulit singkong merupakan limbah singkong yang umumnya sudah tidak
dimanfaatkan dan terbuang. Kulit singkong dapat diproses menjadi pupuk
organik yang kemudian disebut dengan pupuk kompos. Menurut penelitian
(Akanbi, 2007) kompos kulit singkong bermanfaat sebagai sumber nutrisi bagi
tumbuhan dan berpotensi sebagai insektisida tumbuhan. Penggunaan pupuk
kompos kulit singkong, memiliki banyak keuntungan diantaranya adalah
mengurangi permasalahan limbah dan meningkatkan nilai jual dari kulit
singkong itu sendiri karena digunakan sebagai pupuk.
Kulit singkong memiliki kandungan yang di butuhkan tanaman
diantaranya yaitu sebagai berikut: Kandungan C (Karbon) sebesar 59,31% yang
berarti terdapat karbon yang tinggi pada kulit singkong, H (Hidrogen) sebesar
9,78%, O (Oksigen) sebesar 28,74%, N (Nitrogen) sebesar 2,06 % , S (Sulfur)
sebesar 0,11% dan H2O (Air) sebesar 11,4% (Ankabi,2007)
2.6.3 Plastik Biodegradible
Kulit umbi ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu
(Manihot utilissima) merupakan limbah utama pangan di negara-negara
berkembang. Kandungan pati kulit ubi kayu yang cukup tinggi, memungkinkan
digunakan sebagai pembuatan film plastik biodegradasi. Komponen kimia kulit
singkong adalah sebagai berikut: protein 8,11 %, serat kasar 15,20 %, pektin 0,22
%, lemak kasar 1,44 %, karbohidrat 16,72 %, kalsium 0,63 %, air 67,74 % dan
abu 1,86%. Sedangkan komponen kimia dan gizi daging singkong dalam 100 g
adalah protein 1 g, kalori 154 g, karbohidrat 36,8 g dan lemak 0,1 g. Selain itu
kulit singkong juga mengandung tannin, enzim peroksida, glukosa, kalsium
oksalat, serat dan HCN (Rukmana, 1986).
Pada proses pembuatan plastik biodegradable perlu ditambahkan
plasticizer agar plastik yang dihasilkan lebih elastis, fleksibel dan tahan terhadap
air (Darni, dkk. 2008). Salah satu plasticizer yang banyak digunakan dalam
pembuatan plastik biodegradable adalah gliserol. Penambahan ini bertujuan
untuk memperbaiki sifat fisik, sifat mekanik dan melindungi plastik dari
mikroorganisme yang dapat merusak plastik.
Gliserol dapat diperoleh dari minyak jelantah melalui proses
transesterifikasi. Minyak jelantah mengandung asam kaprilat 8%, asam kaprat
7%, asam laurat 48%, asam miristat 17,5%, asam palmitat 8,8%, asam stearat
2%, asam oleat 6% dan asam linoleat 2,5%. (Kirk Othmer, 1951)
2.6.4 Nata de Casava.
Nata de cassava adalah nata yang dihasilkan dari limbah padat singkong/
ketela pohon. Dengan menggunakan singkong sebagai bahan utamanya, maka
dapat meningkatkan kegunaan limbah padat (ampas) singkong yang biasanya
digunakan sebagai pakan ternak menjadi suatu produk olahan yang bernilai gizi
tinggi dan juga bernilai jual tinggi.
Pembuatan nata de cassava ini menggunakan air kelapa dan air limbah
tapioka dengan perbandingan 1 : 3. Bahan baku pembuatan nata harus didiamkan
terlebih dahulu minimal tiga hari. Jika digunakan bahan baku yang masih baru
akan mengalami kegagalan karena bahan yang baru tidak baik untuk proses
fermentasi. Bahan lain yang diperlukan yaitu asam asetat 25%, gula pasir, ZA
dan bibit nata (stater). Untuk proses pembuatannya diperlukan waktu 8 hari
sampai nata benar-benar siap dipanen dan dipasarkan.
Tahap pembuatan nata de cassava adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama dari pembuatan nata ini, air limbah tapioka direbus sampai
mendidih
2. Kemudian tambahkan bahan lainnya yaitu air kelapa, asam acetate, gula
pasir, ZA lalu diaduk sampai merata dan ditunggu hingga mendidih.
3. Langkah selanjutnya, larutan bahan nata yang mendidih disaring dan
dituang kedalam nampan kurang lebih 1,4 liter.
4. Setelah mengalami pendinginan selama satu malam, ditambahkan
bibit nata (stater).
5. Nata kemudian didiamkan atau difermentasikan selama 6-8 hari fermentasi
disimpan dalam suhu 30º-31ºC
6. Nata yang sudah siap panen akan mengeras dan kandungan airnya habis
7. Nata yang terbentuk kemudian dipanen dan lembaran direndam dalam air
segar untuk menghilangkan lendir dan asam.
8. Kemudian dilakukan pemotongan dan pencucian kembali hingga asam
hilang.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini antara lain ;
1. Limbah singkong yang dapat dilakukan pengolahan dan menghasilkan produk
yang bernilai tinggi antara lain kompos, biotanol, pakan ternak, Nata de
Cassava, keripik, karbon aktif, dan plastic biodigradible.
2. Limbah batang singkong dapat diolah menjadi kayu bakar, limbah daun
singkong dapat dimanfaatkan sebagai kompos dan pakan ternak, limbah kulit
singkong dapat diolah menjadi karbon aktif, bioethanol, keripikik, dan pupuk
organic, dan limbah dari daging singkong dapat diolah menjadi pakan ternak,
pupuk, nata de cassava, dan plastik biodegradable.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwisastra, A. 1992. Keracunan: sumber, bahaya serta penanggulangannya,


Bandung: Penerbit Angkasa.
Akanbi, W.B., T.A.Adebayo, O.A.Togun, A.S.Adeyeye, and O.A.Olaniran. 2007.
The Use of Compost Extract as Foliar Spray Nutrient Source and
Botanical Insecticide in Telfairia occidentalis. World Journal of
Agricultural Sciences 3 (5): 642-652.
Artiyani, A., E. S. Soedjono. 2011. Bioetanol dari limbah kulit singkong melalui
proses hidrolisis dan fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII. Surabaya : FTSP
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Crawford,J.H. 2003. KOMPOS. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia.
Darmawan,M.R., Andreas,P., Jos,B., dan Sumardiono,S. 2013. Modifikasi Ubi
Kayu Dengan Proses Fermentasi menggunakan Strarter Lactobacillus
Casei untuk Produk Pangan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri,Vol 2
No 4 halaman 137 145.
Darni, Y. Chici, A. & Ismiyati, S. 2008. Sintesa Plastik biodegradable dari Pati
singkong dan Gelatin dengan Plastikizer Gliserol. Seminar Nasional Sains
dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Depkes RI, 1992. Undang-Undang Kesehatan No 23 Tahun 1992. Tentang
Kesehatan. Jakarta.
Enny, H. L., dan R. M. Yuliasri. 2012. Pembuatan Inokulum Mocaf Terimobilisasi
dari Isolat Bakteri Asam Laktat dan Aplikasinya pada Proses Produksi
Mocaf . Jurnal HPI. 25, 35-47.
Ganjar I. 2003. Tapai from Cassava and Sereals. Di dalam : First International
Symposium and Workshop on Insight into the World of Indigenous
Fermented Foods for Technology Development and Food Safety;
Bangkok, 13-17 Apr 2003 hlm 1 – 10.
Heriawan. 2009. Produksi Singkong Lampung Melewati Target. Lampost [19
Februari 2010 ].
Kirk, R.E. and Othmer, D.F, 1951, Encyclopedia of Chemical Technology, vol. 5,
pp.781-790, Interscience Incyclopedia Inc., New York.
Kirk, K.E., and Othmer, D.F.,1978, “Encyclopedia of Chemical Technology”, 3rd
ed., Vol.9. New York : John Willey and Sons Inc.
Kirk, R.E. and Othmer, D.F. 1979. Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed.,
vol 15-20, The Inter Sciences Encyclopedia, Inc., New York.
Made Astawan dan Mita Wahyuni Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan
Nabati Tepat Guna. Jakarta : CV. Akademika Presindo.
Misgiyarta. 2006. Fermentasi Nata Dengan Substrat Limbah Buah Nanas dan Air
Kelapa. Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian.
Rukmana, R. 1986. Budidaya Ubi Kayu, dan Pasca Panen. Jakarta: Penerbit
Kanisius.
Rukmana. 1997. Ubi jalar-Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Setyo G., Nur A., dan Lina I. K.. 2012. Pembuatan MOCAF (Modified Cassava
Flou Dengan Proses Fermantasi Menggunakan Lactobacillus plantarum,
Saccharomyces.
Sofian. 2006. Sukses Membuat Kompos Dari Sampah. Jakarta : PT. Agro Media
Pustaka.
Sugiarto, 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI-PRESS.
Subagio, A. 2006. Industrialisasi Modified Cassava Flour (MOCAF) Sebagai
Bahan Baku Industri Pangan Untuk Menunjang Diversifikasi Pangan
Pokok Nasional. Tidak Diterbitkan. Jember : Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Jember.
Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan.
Tabloid Sinar Tani.

Anda mungkin juga menyukai