Anda di halaman 1dari 23

PERAN PERBENIHAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

HUTAN PENGHASIL ENERGI DAN OBAT-OBATAN DI PROPINSI


LAMPUNG

Oleh :
Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty,
Eliya Suita dan Dharmawati FD
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO Box. 105 Bogor 16001, Telp/Fax:(0251)8327768
Email : niapurwaka@yahoo.co.id

ABSTRAK

Salah satu peranan hutan dari sektor hasil hutan bukan kayu adalah sumber bahan
baku energi nabati dan obat. Selain bermanfaat untuk kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat, pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat sebagai sumber bahan baku
energi dan obat juga bermanfaat dalam percepatan rehabilitasi lahan terdegradasi dan
konservasi. Ketersediaan benih bermutu merupakan salah satu faktor pembatas belum
optimalnya pembangunan dan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat berbasis
energi dan obat. Benih bermutu merupakan hasil dari serangkaian kegiatan mulai dari
waktu pengunduhan, penanganan benih dan pembibitan. Ketepatan waktu
pengunduhan, teknik penanganan benih yang sesuai dengan karakter masing-masing
benih serta pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber benih yang berkualitas
akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan
maupun kualitas tegakan. Teknik perbenihan untuk beberapa jenis tanaman potensial
penghasil energi dan obat telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan, yang selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat
berbasis energi dan obat khususnya yang ada di Propinsi Lampung.

Kata kunci : Hasil hutan bukan kayu, energi, obat-obatan, perbenihan, hutan
rakyat.

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini terdapat kecenderungan perubahan paradigma peran dan manfaat


hutan yaitu hutan tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga bukan kayu.
Perubahan itulah yang selanjutnya mempengaruhi pola pemanfaatan sumber daya
hutan. Saat ini kebijakan pemerintah diantaranya di Provinsi Lampung adalah
peningkatan hasil hutan bukan kayu demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Hasil hutan bukan kayu potensial di Propinsi Lampung adalah arang kayu
disamping damar mata kucing, gaharu dan rotan. Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung mencatat produksi arang kayu dari
1
hutan di wilayah Propinsi Lampung pada tahun 2006 mencapai 30.347 ton. Arang
kayu merupakan bahan bakar berbasis biomassa yang sangat berarti dalam mengatasi
permasalahan krisis energi nasional di masa mendatang.
Selain sumber bahan bakar biomassa, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber bahan baku energi nabati lainnya yaitu biodiesel. Sasaran pemanfaatan bahan
bakar nabati periode 2015-2019 adalah produksi biodiesel sebesar 4,3 – 10 Juta KL
(RPJMN 2015-2019, 2015). Pemanfaatan jenis-jenis tanaman hutan sebagai bahan
bakar campuran bahan bakar minyak dalam biodiesel merupakan salah satu bentuk
diversifikasi energi untuk mencegah terjadinya ketergantungan impor energi serta
meningkatkan ketahanan energi nasional. Kondisi tersebut disebabkan keterbatasan
sumber daya energi fosil yang bersifat tidak dapat diperbaharui (unrenewable).
Beberapa jenis tanaman hutan potensial sebagai bahan baku biomassa dan biodiesel
antara lain kaliandra, lamtoro, weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung.
Hutan alam tropika Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati
tumbuhan obat. Dewasa ini demand biofarmaka local cukup meningkat pesat yang
disebabkan semakin berkembangnya industri obat-obatan, jamu dan kosmetika.
Kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk ikut berperan karena cukup
banyak jenis tanaman hutan yang berpotensi sebagai sumber bahan baku untuk
biofarmaka. Zuhud (2008) melaporkan bahwa sampai tahun 2001 terdapat sedikitnya
2.039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan tropika
di Indonesia. Jenis tanaman hutan potensial dan berpeluang untuk dikembangkan
secara ekspor diantaranya adalah kilemo (Litsea cubeba). Tanaman obat potensial
lainnya adalah pulai (Alstonia scholaris) yang saat ini sudah tergolong langka
khususnya yang berada di kawasan hutan Dipterocarpaceae di daerah Krui Lampung
Barat (Wardah, 2005).
Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk
ketahanan energi, sumber bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara.
Namun sampai saat ini pemanfaatan sumber daya hutan berbasis energi dan obat
dirasakan masih belum dapat berkembang secara optimal. Keadaan tersebut
disebabkan pemanenan yang dilakukan masih mengandalkan tegakan alam, sehingga
tidak ada kesinambungan bahan baku. Langkah yang paling strategis adalah
perencanaan pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat berbasis energi dan obat.
Keberhasilan program tersebut tentunya harus didukung ketersediaan benih bermutu.
2
Benih bermutu merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan mulai dari
pengunduhan, penangaan benih dan pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber
benih yang berkualitas. Teknik penanganan benih yang tepat akan meningkatkan
perolehan hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan.
Dalam rangka mendukung terwujudnya pembangunan hutan tanaman dan
hutan rakyat sebagai sumber bahan baku energi dan obat dengan produktivitas tinggi,
maka disusun makalah yang berisikan informasi hasil-hasil penelitian perbenihan
beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi yaitu akor (Acacia auriculiformis),
kaliandra (Calliandra calothyrsus), lamtoro (Leucaena leucocephala), pilang (Acacia
leucophloea), turi (Sesbania grandiflora),weru (Albizia procera), malapari
(Pongamia pinnata), nyamplung (Callophylum inophyllum) dan penghasil obat yaitu
pulai (Alstonia scholaris), kilemo (Litsea cubeba) dan kemenyan (Styrax benzoin).

II. POTENSI JENIS -JENIS TANAMAN PENGHASIL ENERGI


DAN OBAT

Banyak jenis tanaman hutan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber bahan
kayu energi biomassa. Tingkat keberhasilan pengembangan sumber energi biomassa
sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tempat
tumbuh dan karakteristik pohon itu sendiri. Kondisi tempat tumbuh yang perlu
dipertimbangkan adalah ketinggian tempat tumbuh, jenis tanah dan iklim, sedangkan
karakterisik pohon yang penting untuk diperhatikan adalah sifat pertumbuhan dan
rotasi tebang, riap, sistem regenerasi dan nilai kalor (Rostiwati et al., 2006).
Berdasarkan pertimbangan sifat pertumbuhan yang cepat, riap yang tinggi,
dapat tumbuh dengan baik pada kondisi marjinal, menghasilkan terubusan yang
banyak, nilai kalor tinggi serta tidak mengeluarkan asap atau gas beracun, maka
Ditjen Listrik dan Energi Baru telah merekomendasikan 70 jenis tanamanan hutan
yang potensial untuk sumber energi biomassa (Rostiwati et al., 2006). Beberapa jenis
tanaman hutan tersebut diantaranya adalah akor (A. auriculiformis), pilang (A.
leucophloea), weru (A. procera), kaliandra (C.callothyrsus), Turi (S. grandiflora) dan
lamtoro (L.leucocephala). Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon dari
keenam jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 1.
3
Kaliandra dan lamtoro merupakan jenis tumbuhan potensial untuk bahan bakar
dengan daya trubusan dan nilai kalornya yang tinggi. Jenis tanaman hutan tersebut
juga banyak digunakan untuk kegiatan rehabilitasi dan reboisasi karena
kemampuannya untuk dapat tumbuh di tempat-tempat kritis dan marjinal. Alternatif
lainnya adalah pohon turi dengan nilai kalor (4.610 cal/g) yang relatif lebih tinggi
dibanding lamtoro (4.464 cal/g), namun kemampuan trubusnya yang rendah.
Berdasarkan nilai kalor yang dihasilkannya, akor, pilang dan weru cukup potensial
sebagai sumber bahan energi untuk tujuan komersial. Hal ini didasarkan bahwa nilai
kalor yang dikehendaki untuk tujuan komersial adalah lebih dari 4.500 cal/g (Hendarti
et al., 2014).
Secara umum kisaran nilai kalor dari keenam jenis tanaman tersebut 4.464
cal/g–5.218 cal/g. Untuk meningkatkan nilai komersialnya, kayu bakar dirubah
dalam bentuk arang kayu dengan nilai kalor yang dihasilkan berkisar 7.271 cal/g-
7.510 cal/g. Arang kayu adalah residu yang sebagian besar komponennya adalah
karbon karena terjadi penguraian kayu akibat perlakuan panas (Rostiwati et al, 2006).

Tabel 1. Karakteristik enam jenis tanaman hutan penghasil kayu energi biomassa.
Jenis Ketinggian Curah Riap Den- Nilai Sifat arang : Produksi
tanaman tempat hujan (m3/ha sitas kalor Nilai kalor Energi
1)
(m dpl) (mm/th) 1) /th ) 1) (BJ) 1) (cal/g) (cal/g) (GJ/ha/th) 1)
Akor 0-500 1.300- 17.0 0,70 4.907 4) 7.322 3) 235,6
(A. 1.700
auriculiformis)
Pilang 1.600- 1.000- 20.5 0,70 5.218 4) 7.262 3) 258,3
(A. leucophloea) 2.400 3.000
Weru 0-1.700 1.000- 25.0 0,67 4.870 4) 7.382 3) 301,5
(A. procera) 4.500
Kaliandra 0-1.000 1.300- 32,0 0,67 4.617 4) 7.510 2) 385,9
(C. callothyrsus) 1.550
Turi 0-700 300-1.000 15.0 0.46 4.610 4) 7.4712) 124,2
(S. grandiflora)
Lamtorogung 0-1.700 0-3.500 21.0 0,82 4.464 4) 7.271 2) 310,0
(L.
leucocephala)
Sumber : 1) Dirjen Listrik dan Energi Baru (1991); 2) Syachri (1982); 3) Hartoyo
dan Nurhayati (1976); 4) Alrasyid (1981).

4
Kebutuhan solar dalam negeri pada tahun 2011 tercatat sebesar 21,2 juta kilo
liter, sedangkan produksi solar domestik hanya mencapai 18,34 juta kilo liter (Ika,
2012). Data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi nasional jenis solar
hanya sebagian saja yang dapat terpenuhi oleh produksi solar dalam negeri,
sedangkan selebihnya masih tergantung pada pasokan solar dari luar negeri (import).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka salah satu kebijakan ekonomi
pemerintah saat ini (Peraturan Menteri ESDM No 25 tahun 2013) adalah pengurangan
import bahan bakar minyak (BBM) jenis solar diantaranya dengan peningkatan
pemanfaatan biodiesel dalam solar (FAME) dari semula 2,5 % menjadi 10 % untuk
transportasi dan industry, serta 20 % untuk pembangkit listrik (Kompas, 2013).
Sumber bahan baku untuk energi nabati dewasa ini masih didominasi produk
pertanian seperti singkong, tebu dan sawit. Pemanfaatan sumber bahan baku energi
nabati yang bersumber dari pertanian umumnya bersaing dengan konsumsi sehari-
hari, sehingga dikhawatirkan apabila terjadi krisis pangan maka secara langsung akan
berdampak terhadap sumber bahan baku energi nabati (sustainability). Potensi hutan
non kayu sebagai sumber biodiesel perlu dipertimbangkan sebagai sumber bahan
baku biodiesel yang bersifat terbarukan dan tidak digunakan sebagai konsumsi
pangan. Bahan baku alternatif energi berbasis bahan bakar nabati/ biofuel diantaranya
adalah nyamplung (C. inophyllum) dan malapari (P. pinnata). Kondisi tempat tumbuh
dan karakteristik pohon kedua jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik jenis tanaman hutan penghasil bioenergi.


Jenis Ketinggian tempat Curah hujan Musim kering Rendemen
tanaman (m dpl) (mm/th) (bulan) minyak (%)
Malapari (P. pinnata) 0-200 500-2500 2-6 27 - 40
Nyamplung (C. 0-200 1000-3000 4-5 30-74
inophyllum)

Biji P. pinnata dapat menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai


pelumas dan bahan baku bio-diesel serta bahan pembuatan sabun (Mukta dan
Sreevalli, 2010). Selain potensinya sebagai sumber bahan bakar nabati, jenis tanaman
ini juga penyedia sumber energi lain yaitu kayunya sebagai bahan bakar yang
memiliki kalor bakar kayu sebesar 19,2 MJ/kg (Soerawidjaja, 2007a; Soerawidjaja,
2007b). Malapari tumbuh secara alami di dataran rendah pada tanah berkapur dan
5
batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau, sepanjang aliran dan sungai pasang
surut (Heyne, 1987). Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah liat
berpasir, tetapi akan tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpal-
gumpal. Sangat toleran pada kondisi masin dan alkalinitas. Cukup toleran terhadap
naungan, setidaknya ketika muda.
Nyamplung (C. inophyllum L.) dapat digunakan sebagai bahan substitusi
minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan
memanfaatkan bijinya (Sopamena, 2007). Keunggulan nyamplung lainnya antara lain
mampu tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia; relatif mudah
dibudidayakan dan cocok di daerah iklim kering; permudaan alami banyak dan
berbuah sepanjang tahun; hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna
dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi (Departemen
Kehutanan, 2008). Saat ini tanaman nyamplung sudah mulai dibudidayakan di
Indonesia sebagai tanaman wind breaker yang ditanam di daerah marginal di tepi
pantai atau lahan-lahan kritis lainnya.
Hutan juga berperan sebagai sumber bahan baku obat-obatan (biofarmaka) dan
atsiri. Kilemo (Litsea cubeba) merupakan salah satu jenis tanaman hutan penghasil
bahan baku obat dan minyak atsiri potensial. Kilemo dimanfaatkan sebagai bahan
kosmetik (aromaterapi), sabun, minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat, serta
memiliki unsur karsinostatic (zat anti kanker). Buah kilemo mengandung sitral (70 –
85%), sedangkan pada kulit batang dan daunnya terkandung saponin, plafonoid dan
tanin (Lin, 1983). Kilemo tumbuh di dataran tinggi dengan ketinggian diatas 700 m
dpl.
Pulai merupakan salah satu jenis pohon yang tersebar di seluruh Indonesia.
Bagian-bagian dari pohon ini dapat digunakan mulai getah hingga kayunya. Kulit
batang, daun dan bunga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Kayunya dapat
dimanfaatkan untuk bahan baku barang, kerajinan, pensil, papan tulis, lemari, dan
lain-lain (Pratiwi, 2000). Kulitnya telah lama dikenal sebagai obat tradisional untuk
anti hipertensi. Menurut Dalimartha (2001), kulit kayu pulai berfungsi sebagai obat
penyakit desentri,malaria peluruh dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda
kejang, menurunkan gula darah (hipoglikemik), tonik dan antiseptic. Selain itu getah
pulai mengandung alkaloid.

6
III. PERBENIHAN
A. Periode pembungaan-pembuahan
Pembungaan dan pembuahan tumbuhan berkaitan dengan suatu proses
perubahan struktur atau organ reproduksi dalam satu periode waktu tertentu yang
dikenal dengan fenologi. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi
secara alami pada tumbuhan. Berlangsungnya fase-fase tersebut baik fase vegetatif
maupun generatif sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti
lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless, 2006).
Fenologi pembungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting
dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu
tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang
berbeda-beda pada pola pembungaan dan pembuahannya, akan tetapi pada umumnya
diawali dengan pemunculan kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah
(Tabla dan Vargas, 2004). Sensitifitas fenologi terhadap perubahan lingkungan adalah
merupakan indikator yang sangat baik untuk melihat penampilan tumbuhan,
khususnya dalam kondisi iklim panas (Cleland et al. 2012).
Pola pembungaan pada jenis tanaman tropis sangat kuat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, yang menyebabkan tanaman sangat sensitif terhadap perubahan
iklim sekecil apapun. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung pengaruh penyinaran matahari pada tanaman tropis akan merangsang
pembentukan bunga. Secara tidak langsung perubahan iklim yang kecil misalnya akan
mempengaruhi perilaku polinator, sehingga penyerbukan terganggu dan akibatnya
pembentukan buah atau biji berkurang yang menyebabkan produksi benih menurun.
Periode pembungaan dan pembuahan untuk setiap jenis berbeda. Misalnya,
Akor memunculkan tunas generatif pada bulan Februari dan mekar pada bulan Maret-
April, akhirnya menjadi buah muda, dewasa dan masak pada bulan Mei-Juli/Agustus
(Syamsuwida et al. 2011). Sehingga diketahui bahwa siklus perkembangan
pembungaan hingga pembuahan akor tejadi selama 6-7 bulan yang diamati pada satu
tegakan di Desa Sawangan dan Jingkang (Banyumas Barat). Sementara itu kaliandra,
lamtoro dan turi memiliki periode pembungaan-pembuahan yang lebih pendek yaitu
berkisar antara 3-4 bulan. Rangkuman periode pembungaan dan pembuahan beberapa
jenis tanaman kayu penghasil energi dan obat-obatan disajikan pada Tabel 2.

7
Tabel 2. Periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman hutan
penghasil energi dan obat-obatan.
No Jenis Periode musim Waktu musim Lokasi
Pembungaan Pembuahan Pembungaan Pembuahan
1 Akor (Acacia 1-2 bulan 4-5 bulan Februari- Mei/Juli- Banyumas
auriculiformis) Maret/April Agustus Barat
2 Kaliandra 1 bulan 2-3 bulan April Mei/Juni- Bogor,
(Calliandra Juli/Agustus Cianjur
calothyrsus)
3 Lamtoro 1 bulan 3-4 bulan April Mei/Juni- Bogor
(Leuccaena Juli/Agustus
leucocephala)
4 Turi (Sesbania 1 bulan 2-3 bulan April Mei/Juni- Bogor
grandiflora) Juli/Agustus
5 Weru/kihiang 2 bulan 6-7 bulan Februari-April September- Majalengka
(Albizia Oktober , Sumedang
procera)
6 Pilang (Acacia 1 bulan 4-5 bulan April/Mei Agustus- Taman
leucophloea) September Nasional
Bali Barat
7 Kemenyan 2 bulan 7-8 bulan Juni/Juli- Februari- Aek Nauli-
(Styrax Agustus Maret Sumatera
benzoin) Utara
8 Nyamplung 1 bulan 3-5 bulan April Juli-Agustus Purworejo-
(Callophylum Jawa
inophyllum) Tengah
9 Malapari 2 bulan 6-7 bulan Maret/April- Oktober- Batukaras-
(Pongamia Mei Nopember Ciamis
pinnata)
10 Kilemo (Litsea 1 bulan 2-3 bulan Februari-Maret April-Juni Aek Nauli
cubeba) Oktober- (Sumut)
1 bulan 2-3 bulan Nopember Januari- Ciwidey
Februari (Jabar)
11 Ganitri 2 bulan 7 bulan Juni-Juli Juli/Agustus- Cisarua-
(Elaeocarpus Nopember/ Bogor
ganitrus) Desember

Tahapan awal dari satu rangkaian perkembangan pembungaan-pembuahan


adalah inisiasi bunga. Akan tetapi, proses ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis
dengan mengidentifikasi adanya perubahan jaringan dari meristem vegetatif menjadi
apikal reproduktif (primordia bunga) pada organ tunas (Owens & Blake 1985).
Inisiasi bunga weru terjadi lebih dari 2 bulan yang teramati mulai bulan Januari.
Sedangkan pada kaliandra, inisiasi terjadi sepanjang tahun yang diindikasikan dari
munculnya bunga sepanjang tahun. Walaupun lamtoro dan turi belum teridentifikasi,
namun dapat diduga inisiasi juga terjadi sepanjang tahun.

8
B. Keberhasilan reproduksi
Potensi keberhasilan proses pembentukan bunga menjadi buah dinilai dari
besarnya nilai keberhasilan reproduksi. Penilaian besaran Keberhasilan Reproduksi
(KR) diperoleh dari hasil pengukuran parameter reproduksi yaitu jumlah bunga per
malai, jumlah buah per malai, jumlah ovul per bunga, jumlah biji per buah, fruit set
(Bg/bh) dan seed set (Bj/Ov).

Tabel 3. Hasil pengukuran parameter reproduksi beberapa jenis tanaman penghasil


biomassa dan bioenergi.
Jenis ∑ bunga/ ∑ buah/ ∑ ovul/ ∑ biji/ Fruit set Seed set
KR
malai malai bunga buah (Bh/bg) (Bj/Ov)
Weru 41,8±15,8 16,4±6,2 12,62±0,6 10,82±0,7 0,40±0,08 0,85±0,02 0,35±0,09

Pilang 279,1±80,1 109,6±63,8 12,37±0,9 6,09±0,3 0,40±0,1 0,43±0,02 0,19±0,06

85,4±29,04
Akor 5,1±1,75 31,12±9,9 4,9±1,93 0,06±0,02 0,16±0,06 0,01±0,005
Kaliandra 98,6±42,8 19,8±10,6 5,64±0,6 8,04±0,8 0,21±0,08 0,72±0,08 0,16±0,06
16,34±5,0
1,90±0,98 1,38±0,27 1±0,00
B 2 0,13±0,04 0,75±0,13 0,09±0,04
Kemenyan 17,14±4,8
1,52±0,78 1,325±0,2 1±0,00
T 5 0,10±0,06 0,77±0,13 0,08±0,05
33,1± 7,97
B 54,6± 1,72 - - 0,63± 0,25 - -
Malapari
54,41± 36,01± 5,85
T - - 0,66±0,23 - -
2,45
0,36 ± 0,36 ±
7,1±0,43 2,58±0,2 1±0,00 1±0,00 1,0 ± 0,0
B 0,02 0,02
Nyamplung 0,38 ±
T 7,28±0,41 2,7±0,21 1±0,00 1±0,00 1,0 ± 0,0 0,38 ± 0,02
0,02
Catatan: B: Barat, T: Timur
Keberhasilan reproduksi merupakan parameter untuk mengetahui potensi
reproduksi yang dimiliki tanaman. Dengan mengalikan nilai jumlah bunga yang
menjadi buah (fruit set) dan jumlah ovul yang menjadi biji (seed set) dapat diketahui
nilai KR (Wiens et al 1987). Weru memiliki nilai fruit set dan seed set yang relatif
tinggi yaitu masing-masing 0,40±0,08 dan 0,85±0,02 sehingga menghasilkan nilai KR
yang relatif tinggi pula yaitu 0,35±0,09 atau antara 26% - 44% (Tabel 3). Sementara
itu nilai terendah dimiliki oleh jenis akor. Ratio pembentukan buah menjadi bunga
rata-rata 4% - 8% dan pembentukan ovul menjadi biji rata-rata 10% - 22% dan
keberhasilan reproduksi (KR) rata-rata 0,5 – 1,5% (Tabel 3). Dengan demikian,

9
proporsi ovul yang berhasil dibuahi dan berkembang menjadi biji yang viabel bagi
tanaman weru adalah rata-rata adalah sebesar 35% dan bagi tanaman akor rata-rata
1%. Nilai KR pilang, kaliandra dan kemenyan masing-masing berkisar antara 13-
23%, 10-22% dan 8-9% atau rata-rata 19%, 16% dan 8,5%. Sementara untuk jenis
malapari keberhasilan reproduksi belum terdeteksi. Namun demikian, pembentukan
bunga menjadi buah (fruit set) cukup tinggi yaitu masing-masing untuk dahan bagian
barat dan timur mencapai 63% dan 66%.
C. Potensi produksi buah/benih
Benih/buah untuk program pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat
penghasil hasil hutan bukan kayu dituntut ketersediaannya dalam jumlah dan kualitas
yang memadai secara terus menerus, terutama yang memanfaatkan buah sebagai
bahan baku produksinya seperti malapari, nyamplung dan kilemo. Informasi potensi
produkai buah/benih merupakan salah satu data dasar untuk mengetahui berapa besar
produksi buah yang dapat dihasilkan guna kebutuhan perbanyakan tanaman maupun
untuk kebutuhan penyediaan bahan baku dalam proses produksi yang berkelanjutan.
Potensi produksi buah/biji beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat-
obatan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Potensi produksi buah/biji jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat
Jenis Jumlah benih/kg Potensi produksi/pohon
(butir)
buah/pohon Benih/pohon
1)
Akor (A. auriculiformis) 55.556 - 76.923 - 80,7 gr ~ 575 butir 2)
Pilang (A. leucophloea) 43.346 2) - 1716,2 gr 2)
Weru (A. procera) 32.258 -38.462 1) 19,2 kg - 50 kg 2) -
Kaliandra (C. 17.857 -22.727 1) 166,7 gr 2) -
callothyrsus)
Turi (S. grandiflora) 17.241 -30.303 1) 6,8 buah 2) 231,45 butir 2)
Lamtoro (L. 16.667 -20.000 1) 409,08 buah 2) -
leucocephala)
Malapari (P. pinnata) 493-663 2) - 0,10 – 5,52 kg
Nyamplung (C. 286 - 357 - 40-150 kg 4)
inophyllum)
Kilemo (L.cubeba) 9.445 5) 0,25-9,8 kg 5) -
Pulai (A.Scholaris) 312,500 - 833,3331) - -
Kemenyan (S. benzoin) 417 -625 1) 2,8 kg -
1)
Sumber : SNI 5006.12:2014; 2) Syamsuwida et al 2011; 4) Dephut, 2008; 5) Putri
et al 2011
10
Potensi produksi benih/buah suatu jenis tanaman pada satu tegakan akan
bervariasi tergantung faktor ketersediaan hara dan luas kanopi (tajuk) yang erat
hubungannya dengan fisiologis kemampuan daun dalam menghasilkan energi untuk
mendukung produksi buah (Nambiar dan Brown, 1997). Untuk itu pengukuran
potensi produksi benih/buah perlu dikaitkan dengan kondisi geografis, umur dan
penampilan pertumbuhan pohon (Schmidt 2000).
Sebagai contoh potensi produksi buah kilemo dari Aek Na Uli cenderung
meningkat dengan bertambahnya ukuran diameter batang pohon. Produksi benih
kilemo dari pohon berdiameter 4 cm-14,7 cm berkisar 0,12 kg-2,4 kg, sedangkan dari
pohon berdiameter 14,8 cm-25,3 cm berkisar 0,25-9,8 kg (Putri et al. 2011). Selain
itu berat benih kilemo yang dihasilkan tegakan yang tumbuh pada ketinggian di atas
700 m dpl seperti di lokasi Aek Na Uli Sumatera Utara adalah 0,106 gram/butir, yang
sangat berbeda dengan yang diproduksi dari tegakan di dataran rendah sebagaimana
Ngernyuang et al. (2007) melaporkan bahwa rata-rata berat benih kilemo yang berasal
dari hutan tropikal dataran rendah di Thailand adalah 0,080 gram. Umur tegakan
juga mempengaruhi produktivitas. Produksi biji malapari yang dihasilkan dari tegakan
umur 20 tahun yang terdapat di Desa Batu Karas, Pangandaran, Jawa Barat berkisar
0,10 – 5,52 kg/pohon, sedangkan Soerawidjaya (2005) menyebutkan bahwa produksi
biji dalam satu pohon malapari dihasilkan 9 – 90 kg biji.
Potensi produksi buah/benih dari beberapa jenis tanaman hutan dapat
ditingkatkan dengan teknik silvikultur antara lain dengan pengaturan jarak tanam
atau pemupukan. Pengaturan jarak tanam dapat memaksimalkan ukuran volume tajuk
dan lebar tajuk, karena umumnya keduanya berkorelasi positif dengan produksi buah.
Selain dengan teknik silvikultur, upaya memaksimalkan potensi produksi benih juga
dapat melalui kegiatan pemuliaan pohon (Tree improvement). Sebagaimana pada
tanaman akor, yangmana dihasilkan tanaman akor dengan kandungan atau proporsi
proporsi kayu teras meningkat sebanyak 3 kali lipat pada umur 3,5 tahun. Kayu keras
merupakan bagian kayu yang erat kaitannya dengan kualitas energi yang dihasilkan
(Susanto et al., 2008). Teknik pemulian lainnya adalah seperti yang telah dilakukan
pada tanaman malaparidi Australia yang sudah menggunakan benih hasil pemuliaan
yaitu benih genetik unggul dengan berat biji 2,5 gram/butir dan kandungan minyak
sebesar 60 % (Milletia plantations, 2006). Hal ini disebabkan ukuran berat biji sangat
tergantung pada cadangan makanan yang bersifat diturunkan (genetik), disamping
11
juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara pada saat proses pembentukan benih serta
faktor lingkungan (Johansen et al., 1989).
Namun demikian, panen buah yang besar bukan jaminan untuk mendapatkan
kualitas benih yang besar pula. Hal ini disebabkan buah yang berat dan besar tidak
selalu mempunyai biji yang berat dan besar, bahkan juga tidak selalu menghasilkan
rendemen minyak dan sifat fisiko-kimia yang lebih baik seperti yang sudah
dibuktikan pada jenis nyamplung. Bahkan kemungkinan dapat berbanding terbalik
bila tidak hati-hati dalam melakukan seleksi provenan/ras lahan untuk mendapatkan
rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak terbaik. Khususnya untuk jenis nyamplung,
seleksi harus dilakukan terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia dari provenan/ras
lahan, dan tidak dapat dilakukan berdasarkan ukuran buah dan biji nyamplung
(Leksono et al., 2013).

D. Penanganan benih
Penanganan benih merupakan salah satu kegiatan penting dalam penyediaan
bahan tanaman bermutu yang dimulai dari buah dan benih diterima sampai benih
tersebut siap untuk ditanam. Penanganan benih yang tidak dilakukan dengan benar
akan menurunkan mutu fisik dan fisiologis benih yang pada akhirnya akan berdampak
berkurangnya jumlah tanaman yang dapat diperbanyak melalui benih. Penanganan
benih berapa jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat disajikan pada Tabel 5.

12
Tabel 5. Penanganan benih penghasil kayu energi dan obat-obatan
Jenis Indikator Ekstraksi Pengemasakan dan Perlakuan
kemasakan benih penyimpanan pendahuluan
buah benih
Akor Buah/polong Jemur selama - Wadah kedap Rendam air panas
(A. auriculiformis) berwarna 3-4 hari - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
coklat sampai DCS 24 jam
merekah
Pilang * kulit buah Jemur sampai - Wadah kedap direndam dengan
(A. leucophloea) berwarna hijau merekah - Di ruang AC atau H2SO4 selama
kecolatan DCS 20 menit
Weru Buah/polong Jemur selama - Wadah kedap Rendam air panas
(A. procera) berwarna 3-4 hari - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
coklat tua sampai refrigator 24 jam
merekah
Kaliandra Buah/polong Jemur selama - Wadah kedap Rendam air panas
(C. callothyrsus) berwarna 3-4 hari - Di ruang refrigator (90°C) sampai dingin
coklat sampai 24 jam
merekah
Turi (S. Buah/polong Jemur selama - Wadah kedap Rendam air panas
grandiflora) berwarna 3-4 hari - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
coklat sampai DCS 24 jam
merekah
Lamtorogung Buah/polong Jemur sampai - Wadah kedap Rendam air panas
(L. leucocephala) berwarna merekah - Di ruang kamar (90°C) sampai dingin
coklat atau AC 24 jam
Malapari ** Buah/polong Buah dibelah - Wadah plastik Rendam air selama
(P. pinnata) berwarna hijau secara manual dengan media 24 jam
kekuningan arang sekam
sampai coklat - Di ruang kamar
Nyamplung Kulit buah Buah - Wadah kedap Kulit benih
(C. inophyllum) berwarna direndam ± 2 - Di ruang AC diretakkan dengan
kuning hingga hari lalu cuci cara menekan benih
merah dengan air dgn kayu ringan
mengalir hingga kulit benih
hingga bersih pecah
Pulai Buah/polong Jemur 1-2 - Wadah kedap Tanpa perlakuan
(A.Scholaris) berwarna hijau hari atau - Di ruang DCS
kecoklatan dengan seed atau refrigator
sampai coklat drier pada
suhu 38 -
42°C selama
20 jam
Kemenyan Kulit buah Buah dibelah - Wadah kedap Rendam jemur
(S. benzoin) berwarna secara manual - Di ruang AC dan selama 3 hari sampai
coklat refrigator kulit benih retak
Sumber : SNI 5006.12:2014; *Suita dan Bustomi (2014); **Suita et al (2014)

Ketepatan waktu pengunduhan merupakan awal diperolehnya benih


berkualitas. Warna buah merupakan indikasi tingkat kemasakan benih yang sangat

13
mudah dilakukan sehingga sering dijadikan sebagai dasar untuk waktu pengunduhan.
Kemasakan buah untuk jenis tanaman yang termasuk anggota family Leguminosae
yang umumnya berbentuk polong, (weru, pilang, kaliandra, akor, turi dan lamtoro)
ditandai dengan polong (buah) berwarna coklat. Sedangkan untuk jenis kilemo, buah
masak ditandai dengan kulit buah berwarna hitam kemerahan, dan untuk jenis
nyamplung buah kulit buah berwarna kuning hingga merah.
Buah masak hasil pengunduhan selanjutnya diekstraksi baik dengan cara
ekstaksi kering atau ekstaksi basah. Ekstraksi biji adalah pengeluaran biji dari
buah/polongnya. Ekstraksi diperlukan karena biasanya benih tidak dipanen secara
langsung. Buah yang berbentuk polong seperti umumnya jenis-jenis leguminosae
diekstraksi kering dengan cara menjemur di bawah sinar matahari selama 3 – 4 hari
hingga polong merekah. Bila penyimpanan sementara harus dilakukan, seperti
misalnya menunggu transportasi, maka kerusakan terhadap benih harus diupayakan
sekecil mungkin dengan menjaga buah tetap kering dan dingin. Ini dapat dilakukan
dengan menempatkan buah yang sudah dikemas di bawah naungan yang berventilasi
baik. Periode pengumpulan dan ekstraksi harus sesingkat mungkin dan infeksi dari
lingkungan sekeliling harus dihindarkan.
Perlakuan pendahuluan adalah istilah yang digunakan untuk proses atau
kondisi yang diberikan untuk mematahkan dormansi benih (mempercepat
perkecambahan benih). Perlakuan yang diberikan tergantung jenis dormansi. Jenis-
jenis legumonsae memiliki dormansi fisik dengan kulit benihnya yang keras, sehingga
perlakuan pendahuluan adalah dengan perendaman dalam air selama 24 jam.
Sedangkan perlakuan pendahuluan untuk benih kilemo dengan cara direndam dalam
larutan Asam giberelin (GA3) konsentrasi 200 ppm selama 48 jam. Teknik ini
berhasil meningkatkan persentase perkecambahan sebesar 81% dan mulai
berkecambah pada hari ke 21. Sementara perendaman benih dalam air selama 24 jam
hanya mampu menghasilkan persen berkecambah sebesar 25,7% dan benih baru
mulai berkecambah pada hari ke 38 (Ali, Rostiwati 2011). Kemenyan dengan cara
rendam jemur secara bergantian selama 3 hari hingga kulit benih retak.
Kandungan air pada buah dan benih merupakan faktor penentu untuk viabilitas
benih. Benih yang baru diekstraksi masih mengandung kadar air yang cukup tinggi
sehingga tidak baik untuk disimpan. Sebelum disimpan benih harus dikeringkan. Pada
kenyataannya tidak semua benih dapat dikeringkan. Ada benih yang dapat
14
dikeringkan sampai kadar air rendah (kurang dari 10%) sehingga dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama. Benih seperti ini disebut benih ortodoks. Sebelum
diproses atau disimpan benih ortodok harus dikeringkan sampai dengan kadar airnya
mencukupi. Benih ortodoks yang dikeringkan akan bersifat dorman (tidur), dan akan
berkecambah bila diberi kondisi yang baik untuk berkecambah. Sebaliknya ada benih
yang tidak dapat dikeringkan dan sehingga tidak bisa disimpan lama (kadar air awal
benih 20-50%) dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu
disimpan lama (Bonner, et.al. 1994). Adapun benih intermediate hanya memerlukan
pengeringan kulit. Untuk lebih jelasnya sifat fisik dan fisiologis benih disajikan pada
Tabel 6.

Tabel 6. Mutu fisik dan fisiologis jenis-jenis benih penghasil kayu energi dan obat
Jenis Berat 1000 KA (%) Daya
butir benih (g) Berkecambah (%)
Akor (A. auriculiformis) 13-18 ≤7 ≥ 80
Pilang (A. leucophloea)*** 18-27 ≤ 10 ≤ 50
Weru (A. procera) 26-31 ≤ 10 ≥ 80
Kaliandra (C. callothyrsus) 44-56 ≤ 10 ≥ 90
Turi (S. grandiflora) 33-58 6-7 ≥ 85
Lamtorogung (L. leucocephala) 50-60 ≤9 ≥ 70
Malapari (P. pinnata)** 1.507-2.027 57-63 100
Nyamplung (C. inophyllum) 2.800-3.500 20-40 ≥ 70
Kilemo (L. cubeba)* 21-28 13-15 ≤ 81
Pulai (A.Scholaris) 1,2-3,2 ≤ 12 ≥ 80
Kemenyan (S. benzoin) 1.600-2.400 25-50 ≥ 80
Sumber : SNI 7627:2014; *Ali dan Rostiwati (2011) dan Suita et (al.2013)
**Suita et al (2014)
*** Suita et al (2012)

E. Pembibitan
Tingkat keberhasilan penanaman di lapangan sangat ditentukan oleh
penggunaan bibit berkualitas. Keberadaan bibit berkualitas tersebut tentunya tidak
terlepas dari teknik pembibitannya yang tepat. Teknik pembibitan beberapa jenis
tanaman penghasil kayu energi dan obat secara rinci tersaji pada Tabel 7.
Kualitas bibit antara lain dipengaruhi secara langsung oleh kondisi media
tempat tumbuhnya. Media tumbuh di persemaian sangat berperan dalam pemenuhan
berbagai keperluan kebutuhan hidup bibit antara lain tempat berjangkarnya akar,

15
penyedia air dan unsur hara, penyedia oksigen bagi berlangsungnya proses fisiologi
akar serta kehidupan dan aktivitas mikroba tanah.
Saat ini penggunaan top soil sebagai media pembibitan semakin berkurang
yang disebabkan beberapa kelemahan antara lain mudah memadat, mengandung
sedikit bahan organik sehingga aerasi tanah kurang baik, serta yang terpenting adalah
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pengambilan lapisan top soil. Bahan-
bahan organik seperti serbuk sabut kelapa, arang sekam padi, serbuk gergaji dan
gambut dapat dimanfaatkan sebagai media pengganti atau media campuran top soil.
Bahan-bahan organik tersebut terbukti mampu menghasilkan bibit berkualitas,
misalnya arang sekam padi yang dapat digunakan sebagai media tambahan top soil
pada media sapih kilemo. Persentase hidup bibit kilemo yang dihasilkannya sebesar
93 % dengan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing mencapai 12,5 cm dan
1,35 cm (Tabel 7). Campuran dari beberapa bahan organik sebagai media tumbuh
pengganti top soil di persemaian juga terbukti cukup efektif, yangmana masing-
masing bahan organic dapat saling melengkapi satu sama lain. Seperti contohnya
adalah campuran kompos dan arang sekam padi yang cukup potensial sebagai media
pembibitan jenis pilang (Tabel 7).

Tabel 7. Teknik pembibitan jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat.
Pertumbuhan
Rhizobium Mikoriza NPK Persen
Jenis Media Tinggi Diameter
(ml) (g) (g) hidup
(cm) (mm)
(%)
Akor 2,5
tanah sub soil - - 92,59 7,5 0,79
(A.auliculiformis)
Pilang kompos +
(A.leucophloea) arang sekam - - - 96,67 11,7 1,84
padi
Weru kompos +
(A. procera) arang sekam - - - 94,89 16,7 1,23
padi
Kaliandra
tanah sub soil 2 2 - 94,20 32,0 2,68
(C. callothyrsus)
Malapari
tanah sub soil - 5 - 77,28 17,0 3,30
(P. pinnata)
Kilemo tanah + arang
(L. cubeba) sekam padi (3 - - - 93,00 12,5 1,35
: 1)
Kemenyan
tanah sub soil - 5 0,5 90,00 13,0 2,05
(S. benzoin)

16
Selain bahan organik, media pengganti top soil yang juga dapat digunakan
adalah lapisan tanah sub soil. Penggunaan sub soil sebagai media tumbuh diketahui
cukup baik khususnya untuk jenis tanaman akor, kaliandra, malapari dan kemenyan
dengan persentase keberhasilan hidup yang relatif tinggi (Tabel 7). Namun media
tanah tersebut umumnya miskin hara, sehingga membutuhkan mikoriza, rhizobium
atau pupuk untuk membantu meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian.
Mikoriza sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur
hara P oleh tanaman disamping peran penting lainnya yaitu meningkatkan ketahanan
bibit terhadap kekeringan dan ketahanan dari serangan patogen akar. Peningkatan
serapan unsur hara P sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan bibit di persemaian
karena unsur hara tersebut berperan penting dalam pembelahan sel terutama pada
perkembangan jaringan meristem, yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan
tinggi tanaman (Ulfa, 2010). Inokulasi fungi mikoriza 2,5 g pada bibit kilemo
terbukti cukup efektif meningkatkan serapan unsur P sebesar 102,14 % dibanding
control. Untuk lebih meningkatkan hasil tanaman melalui peningkatan serapan P,
dapat juga dilakukan kombinasi antara inokulasi cendawan mikoriza dan pemberian
pupuk NPK (Setiawati et al., 2000). Seperti contohnya pemberian mikoriza 5 gram
dan NPK 0,5 gram pada bibit kaliandra secara bersamaan menghasilkan nilai
kolonisasi akar (84.96%) (Syamsuwida et al., 2014).
Selain kombinasi mikoriza dan pupuk NPK, upaya meningkatkan kualitas
bibit juga dapat dilakukan dengan mengkombinasikan bakteri rhizobium dan
cendawan mikoriza seperti yang telah dilakukan pada bibit kaliandra. Perlakuan
kombinasi Rhizobium dan mikoriza pada bibit kaliandra menghasilkan pertumbuhan
tercepat dengan rata-rata tinggi 32,0 cm dan diameter 2,68 cm (Tabel 7). Bakteri
rhizobium pada bibit berperan untuk mengikat nitrogen di udara melalui bintil (nodul)
akar yang dibentuknya. Hal ini disebabkan kekurangan unsur hara terutama unsur
hara N dalam media pembibitan menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan
bibit di persemaian. Namun demikian perlu diketahui strain Rhizobium yang paling
tepat agar dihasilkan bintil akar yang lebih efektif dalam mengikat nitrogen
(Narendra, 2010).
Teknik pembibitan jenis-jenis tanaman hutan sangat mempertimbangkan
kondisi naungan yang dibutuhkan. Naungan tersebut diperlukan untuk mengurangi
penguapan (transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian
17
sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses
fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan. Untuk beberapa jenis tanaman hutan
seperti kilemo, weru dan kemenyan memerlukan naungan dengan intensintas naungan
25 %. Namun untuk beberapa jenis tanaman seperti jenis ganitri, akor, pilang dan
malapari justru tidak membutuhkan naungan selama di persemaian.

F. Perbanyakan vegetative stek


Perbanyakan vegetatif merupakan solusi perbanyakan untuk jenis tanaman
hutan yang benihnya tidak dapat disimpan karena berwatak rekalsitran. Teknik
perbanyakan ini juga sangat bermanfaat dalam rangka perbanyakan klon-klon unggul
antara lain klon penghasil sumber kalor yang tinggi atau klon yang memiliki
produktivitas minyak tinggi dengan kualitas maksimal. Selain itu hasil penelitian ini
dapat dimanfaatkan di tempat di mana produksi benih terbatas, dengan memanfaatkan
tunas-tunas yang masih umur muda yang memiliki kandungan auksin maksimal
sebagai bahan stek pucuk.
Pembentukan akar pada stek (akar adventif) merupakan proses yang kompleks
yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain latar belakang genetik, fisiologi dan
perkembangan pohon induk serta hormon dan metabolisme tanaman (Geiss et al.,
2009). Untuk itu salah satu factor penting yang harus diperhatikan adalah pemilihan
bahan stek. Bahan stek terbaik adalah dari bagian tanaman yang bersifat juvenil.
Tunas juvenil dibangun oleh jaringan-jaringan muda, sehingga sangat mudah untuk
merangsang keluarnya akar. Untuk meningkatkan keberhasilan perbanyakan stek dari
tunas pohon dewasa dapat dilakukan rejuvenasi. Kegiatan rejuvenasi atau permudaan
tersebut bertujuan untuk mendapatkan bahan vegetatif yang secara fisiologis bersifat
juvenil/muda serta memiliki kemampuan berakar yang baik, misalnya dengan cara
memotong cabang atau pembengkokan batang atau pembengkokan batang pada kebun
pangkasan. Beberapa jenis tanaman membutuhkan tambahan zat pengatur tumbuh
sebagai hormon tambahan untuk meningkatkan kualitas perakaran stek. Namun
banyak pula jenis-jenis tanaman hutan yang tidak memerlukan tambahan zat pengatur
tumbuh.
Untuk meningkatkan keberhasilan penyetekan, penting memperhatikan media
perakaran stek dan kondisi lingkungan. Media perakaran stek yang dapat digunakan
antara lain pasir atau media campuran kokopit dan sekam padi (2:1/v/v) maupun
18
media campuran kokopit dan arang sekam padi (2:1; v/v). Kondisi ruang perakaran
stek terbaik adalah pada suhu udara < 300 C dan kelembaban udara > 90 %. Beberapa
teknik perbanyakan vegetatif stek disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Teknik perbanyakan vegetative jenis tanaman penghasil kayu energi dan
obat
Zat Pertumbuhan
Jenis pengatur Persen berakar Jumlah akar Panjang akar
tumbuh (%) (helai) (cm)
Akor IBA 250
≥ 90 5,98 -
(A. auriculiformis) ppm
Pilang IBA 200
46,66 6,46 5,3
(A. leucophloea) ppm
Weru IBA 200
11, 66 5,10 8,2
(A. procera) ppm
Kaliandra
- 88,76 5,00 3,0
(C. callothyrsus)
Malapari IBA 500
96,05 4,26 9,5
(P. pinnata) ppm
Kilemo IBA 1000
52,78 18,00 -
(L. cubeba) ppm
Kemenyan
- 83,54 14,7 -
(S. benzoin)

IV. PROSPEK DAN PENGEMBANGAN


Kebutuhan energi dan harga bahan bakar fosil yang terus meningkat dari
waktu ke waktu mendorong masyarakat dan banyak industri untuk mulai mencari
bahan bakar nabati sebagai alternatif sumber energi yang bersifat renewable.
Pengembangan bahan bakar nabati (bioenergi) dari hutan cukup besar mengingat
kemudahan jenis-jenis tanaman sumber bioenergi untuk tumbuh pada lahan-lahan
yang kurang subur, tidak membutuhkan pemeliharaan yang banyak serta tahan
terhadap hama dan penyakit.
Peluang investasi bioenergi dari hutan cukup terbuka khususnya untuk arang
kayu dan wood pellet. Arang dan wood pellet merupakan hasil konversi biomassa
sebagai suatu pilihan bijak pemanfaatan energi yang efektif dan efisien serta bersifat
ramah lingkungan. Kebutuhan wood pellet di Eropa sampai tahun 2013 mencapai 15
juta ton. Demikian juga dengan peluang investasi dibidang biofarmaka yang juga
masih terbuka lebar. Peluang pasar internasional akan produk kilemo cukup
menjanjikan, mengingat masih sedikitnya eksportir kilemo sedangkan kebutuhan
pasar internasional cukup tinggi (500 ton per tahun).
19
Selanjutnya diperlukan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan
terintegrasi dengan sektor terkait guna merangsang iklim investasi pengembangan
usaha berbaisis energi dan obat yang kondusif dan kompetitif. Pengembangan usaha
kehutanan tersebut juga sebaiknya harus dirancang sedemikian rupa sehingga berefek
positif terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan di pihak lain juga tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan.

PENUTUP
Teknologi perbenihan yang tepat merupakan tahapan proses kegiatan penting
untuk mendukung pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi dan
biofarmaka. Pemilihan jenis tanaman sebagai sumber bahan baku energi dan obat
selain pertimbangan potensi, kesesuaian tempat tumbuh dan produktivitas, juga harus
mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat serta aspek konservasi dan
deforestasi yang merupakan upaya perbaikan hutan dan lingkungan regional.
Diharapkan bioenergi dari hutan dapat menggantikan sebagian keberadaan batu bara,
minyak tanah dan solar yang selama ini digunakan. Demikian juga biofarmaka dari
hutan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber devisa negara potensial.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, C dan T. Rostiwati. 2011. Pengaruh hormon pertumbuhan dan senyawa nitrogen
serta waktu perendaman terhadap perkecambahan benih lemo. Prosiding
Seminar Hasil-hasil Penelitian. Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan
Produktivitas Hutan Rakyat Di Propinsi Jawa Tengah. Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Badan Litbang Kehutanan.
Kementerian Kehutanan.
BSN. 2014. Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. SNI 7627:2014
BSN. 2014. Tanaman Kehutanan-Bagian 12:Penanganan benih generative tanaman
hutan. SNI 5006.12:2014
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung.
Potensi daerah Propinsi Lampung. http://www.investasi.lampungprov.go.id.
Bonner, F.T., Vozzo, J.A., Elam, W.W., and S.B. Land. 1994. Instructor’s manual;
Tree seed technology training course. United Stated Departement of
Agriculture. New Orleans. Louisiana.
Cleland, EE, JM Allen, TM Crimmins, JA Dunne, S Pau, SE Travers, ES Zavaleta
and EM Wolkovich. 2012. Phenological tracking enables positive species
responses to climate change. Ecology 93(8):1765–1771.

20
Ellis RH, Hong TD. 1990. An Intermediate Category Of Seeds Storage Behaviour I.
Coffee. Journal of Experimental Botany 41: 1167-1174
Fewless, G. 2006. Phenology. http://www.uwgb.edu/biodiversity/phenology
/index.htm. (Diakses 26 Juni 2006).
Hendarti, R.L., S.H. Nurrohmah, S. Susilawati dan S Budi. 2014. Budidaya acacia
uriculiformis (Acacia auriculiformis) untuk kayu energi. IPB Press. Bogor.
Heryati. Y., N. Mindawati, dan A.S. Kosasih. 2009. Prospek Pengembangan Lemo
(Litsea cubeba L. Persoon) di Indonesia. Tekno Hutan Tanaman Vol 2 (1).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutahan. Kementerian Kehutanan.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Serbaguna III. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta.
Ika. 2012. Produksi Biodiesel Indonesia kurang 820 ribu kilo liter. Website
http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4654. Diakses tanggal 7
Desember 2013.
ISTA. 2010. International rules for seed testing: Edition 2010. The International Seed
Testing Association. Bassersdorf. Switzerland.
Kompas. 2013. Kompas. 2013. Bahan Bakar Nabati : Wajib Pakai Produksi
Biodiesel Dalam Negeri. Terbit Sabtu, 31 Agustus 2013.
Lovelless, D. Marylin, Grogan and James. Flowering Phenology, Flowering
Neighborhood, and Fruiting in Swietenia macrophylla, Big-Leaf Mahagony, in
SouthernPara,Brazil.
http://www.2006.botanyconference.org/engine/search/index.php?func=detai&
aid=442, 2006
Mukta, N. dan Y. Sreevalli. 2010. Propagation Techniques, Evaluation and
Improvement of The Biodiesel Plant Pongamia pinnata (L) Pierre – A Review.
Industrial Crops and Product 31 : 1 – 12.
Millettia Plantations. 2010. Millettia pinnata: the sustainable biofuel crop of the
future. http://www.millettiaplantations.com. Diakses pada tanggal 27
November 2012.
Owens JN and Blake MD. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature
and recommendation for the future research. Canadian Forestry Service. Inf.
Ref. PI-X-53, 161 p.
Pusat Pengelolaan Ekorgion Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Status
Kualitas Lingkungan Propinsi Lampung. Data dan Informasi Lingkungan
Hidup Sumatera. http://ppesumatera.menlh.go.id).
Putri , KP., N. Siregar, M. Sanusi dan Abay. 2011. Kuantifikasi Produksi Buah
Tanaman Hutan Jenis Ganitri (Elaecarpus ganitrusi) dan Kilemo (Litsea
cubeba). [Laporan Hasil Penelitian]. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan.
Badan Litbang Kehutanan, Bogor. [Indonesia].

21
Rostiwati T., Y. Heryati, S. Bustomi. 2006. Review hasil Litbang kayu energi dan
turunannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor
Schmidt L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Departemen Kehutanan dan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Soerawidjaja, T.H. 2007a. Mabai atau Malapari atau Kranji (Pongamia pinnata).
Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan (Center for Research on Sustainable
Energi). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Tidak dipublikasikan.
Soerawidjaja, T. H. 2007b. An Overview on Biofuels : The 3rd MRPTNI – CUPT
Conference, Chiang Mai, Thailand, 15 December 2007
Sri-Ngernyuang K, Kanzaki M, Itoh A. 2007. Seed production and dispersal of four
Lauraceae species in a tropical lower montane forest, Northern Thailand. Mj.
Int. J. Sci. Tech 01: 73 -87.
Sugiyono A, Anindhita, Boedoyo MS, Adiarso. 2014. 2014. Outlook energi Indonesia
2014 : Pengembangan energi untuk mendukung program subsitusi BBM.
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT. Jakarta.
Suita E, Suharti T, Hidayat AR, Suherman. 2014. Pengujian Mutu Fisik Fisiologis
dan Penyimpanan Benih Jenis Lamtoro (Leucaena leucocephala) dan Kilemo
(Litsea cubeba). [Laporan Hasil Penelitian]. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. [Indonesia].
Suita, E. dan S. Bustomi. 2014. Teknik Peningkatan Daya Dan Kecepatan
Berkecambah Benih Pilang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 11 No. 1,
Maret 2014: 45-52
Suita, E., T. Suharti, D. Haryadi dan Abay. 2012. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis
Dan Pendugaan Umur Simpan Benih Jenis Weru (Albizia Procera Benth)
Dan Pilang (Acacia Leucophloea). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan)
Suita, E., D. Syamsuwida, Suherman, A.H. Setiawan. 2014. Pengujian Mutu Fisik,
Fisiologis Dan Penyimpanan Benih Jenis Malapari (Pongamia Pinnata
Merril) Dan Turi (Sesbania Grandiflora). Laporan Hasil Penelitian (tidak
diterbitkan)
Sukandar. 2014. Pengembangan Energi Biomassa Indonesia. http://www.
appedakaltim. com
Syamsuwida, D dan Kurniawati P.P. 2012. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian
”Teknologi Perbenihan Jenis-jenis Potensial untuk Rehabilitasi Lahan Bekas
Tambang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. BPTPTH dan Dinas
Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Syamsuwida, D, A. Aminah dan A. Muharam. 2011. Fenologi dan Potensi Produksi
Benih Tanaman Penghasil Kayu Energi Jenis Weru (Albizia procera), pilang
(Acacia leucophloea), akor (Acacia auriculiformis) dan kaliandra (Caliandra
callothyrsus). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan. Bogor . Tidak diterbitkan.

22
Tabla, V.P and C.F Vargas. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the
flowering time of a deceit-pollinated tropical orchid, Myrmecophila christinae.
Annals of Botany, 94(2): 243-250. http://aob.oxfordjournals.org
Wiens D, Calvin CL, Wilson CA, Davern CI, Frank D, Seavey SR. 1987.
Reproductive success, spontaneous embryo abortion and genetic load in
flowering plants, Oecologia 71:501-509
Wardah. 2005. Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan hutan Krui, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung Barat. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT 6(3)
: 477-484.
Zuhud EAM. 2008. Potensi hutan tropika indonesia sebagai penyangga bahan obat
alam untuk kesehatan bangsa. http://www.academia.edu/5650004

23

Anda mungkin juga menyukai