Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang atau seizure berasal dari bahasa Latin sacire yang berarti mengambil
alih. Adalah kejadian paroksismal yang terjadi karena karena abnormal, berlebihan,
dan hipersinkronisasi dari neuoron sistem saraf pusat. Epilepsi berasal dari kata
Yunani “epilambanien” yang berarti “serangan” dan menunjukan bahwa sesuatu
dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi dapat
didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam
kondisi dimana mereka memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang
pada epilepsi mungkin berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan
keluarga tetapi kebanyakan penyebab epilepsi tidak diketahui.
Epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor atau juga disebut epilepsi
partial kompleks, yaitu kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial
atau lateral lobus temporalis, biasanya berupa kejang parsial kompleks dengan atau
tanpa penurunan kesadaran dan dapat berupa kejang parsial sederhana tanpa
gangguan kesadaran, dengan atau tanpa aura.
Epilepsi lobus temporal merupakan jenis epilepsi yang banyak ditemukan
pada orang dewasa, pada kebanyakan kasus region epileptogenik melibatkan
struktur mesial lobus temporal, terutama hippocampus, amygdala, girus
parahipocampus. Kejang biasanya dimulai pada masa anak-anak atau remaja, dan
umumnya terdapat riwayat demam. Hampir semua pasien epilepsi lobus temporal,
memiliki tipe kejang parsial kompleks dan beberapa diantaranya kejang umum
sekunder.

1
BAB II
PENYAJIAN KASUS

1. Identitas
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 th
Agama : Islam
Alamat : Desa Sei. Raya, Kab. Bengkayang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Kontrol Poli : 28 September 2018

2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Kejang berulang.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien datang ke Poli Saraf untuk kontrol, pasien mengeluhkan kejang
dalam tahun ini (2018) terjadi 2 kali. Terakhir kali kejang 5 bulan yang lalu.
Kondisi sebelum terjadi kejang pasien sadar dan merasa dirinya melihat sinar
putih yang masuk ke dalam tubuhnya disertai rasa takut, rasa mual dan jantung
berdebar. Saat terjadi kejang pasien merasa badan sedikit kaku sehingga pasien
hanya bisa terdiam, terbengong seperti hilang ingatan, dan tak mampu
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, tetapi masih dapat mendengar suara
disekelilingnya. Kejadian tersebut berlangsung selama 5 menit. Setelah selesai
kejang, pasien merasa badannya lemah selama 30 menit hingga 1 jam, namun
langsung dapat bicara dan mengerti bila diajak komunikasi.
 Selama tahun 2017, pasien memiliki riwayat kejang 2-3 kali per bulan,
sering muncul ketika sedang beraktivitas. Kondisi sebelum kejang pasien
merasa dirinya melihat sinar putih atau sesekali sinar hitam yang ingin

2
masuk kedalam tubuhnya disertai rasa takut yang berlebihan. Saat terjadi
kejang pasien marasa tubuhnya tersentak setelah sinar tersebut masuk
kemudian terasa kaku seluruh tubuh bahkan kadang sampai membuat
dirinya terjatuh selama 2-3 menit dan disusul dengan penurunan
kesadaran. Setelah selesai kejang dan sadar, pasien merasa lemah, bingung
dan tak mampu berinteraksi, namun dapat mengerti bila diajak
komunikasi.
 Tahun 2016 bulan September hingga bulan Desember, merupakan tahun
pertama kali pasien mengalami kejang. Sejak saat itu pasien mengeluh
kejang sering muncul 2-3 hari sekali, baik saat beraktivitas maupun sedang
tidur. Sebelum kejang pasien tak menyadari akan munculnya kejang.
Kejang terjadi secara mendadak sehingga membuat pasien kehilangan
kesadaran. Selama kejang, menurut cerita keluarga yang melihat, pasien
langsung terjatuh dan tubuhnya kaku, disertai kelonjotan 5-10 menit tanpa
mengeluarkan busa dari mulut. Ketika selesai kejang, pasien langsung
tertidur hingga 1-2 jam. Setelah sadar, pasien merasa lemah, mual dan tak
mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Komunikasi dapat
dilakukan ketika sudah cukup istirahatnya.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Hipertensi (-)
 Diabetes Melitus (-)
 Stroke (-)
 Kolesterol (+)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


 Hipertensi (-)
 Diabetes Melitus (-)
 Stroke (-)
 Kolesterol (-)

3
e. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin minum obat OAE selama ± 2 tahun.

f. Riwayat Sosial, Ekonomi


Pasien merupakan anggota BPJS kelas III. Pasien tinggal bersama suami
dan anak-anaknya. Pasien tinggal di daerah yang cukup jauh dari fasilitas
pelayanan kesehatan. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.

3. Pemeriksaan Fisik
3.1 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
3.2 Tanda Vital
a. Nadi : 72 x/menit
b. Pernapasan : 20 x/menit, reguler,
c. Suhu : 37 oC
3.3 Status Generalis
a. Kepala : normocephal, rambut warna hitam.
b. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-/-)
c. Telinga : aurikulum ukuran bentuk normal, simetris, tidak
tampak hiperemis.
d. Hidung : deviasi septum (-), konka normal.
e. Tenggorokan : faring dan tonsil tidak dinilai.
f. Leher : pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
g. Dada : bentuk dada normal dan simetris, retraksi
subkostal (-), retraksi interkostal (-), retraksi
suprasternal (-).
h. Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V linea midklavikula
sinistra
 Perkusi

4
Batas kiri : sesuai iktus kordis
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : linea parasternal dekstra
 Auskultasi : bunyi jantung I tunggal/II split tak konstan, murmur
(-), gallop (-)
i. Paru
 Inspeksi : pengembangan paru simetris statis dan dinamis
 Palpasi : tactile fremitus simetris kanan dan kiri
 Perkusi : sonor kedua lapang paru
 Auskultasi : suara napas dasar vesikular (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
j. Abdomen
 Inspeksi : distensi (-), scar (-), massa (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
 Palpasi : supel, undulasi (+), hepar dan lien tidak teraba, NT
abdomen (-)
 Perkusi : shifting dullness (-), nyeri ketok (-)
k. Ekstremitas : sianosis (-), akral hangat, edema - - CRT < 2
detik - -
4. Status Neurologis
4.1 Kesadaran : E4 V5 M6 = 15, Compos mentis
4.2 Pupil : bulat isokor
4.3 RCL : +/+
4.4 RCTL : +/+
4.5 Nistagmus : (-)
4.6 TRM : (-)
4.7 Nervus Kranialis : dalam batas normal
4.8 Sensorik : +/+
4.9 Reflek Fisiologis : dalam batas normal
4.10 Reflek Patologis : (-)

5
4.11 Otonom : dalam batas normal
5. Pemeriksaan Penunjang
EEG : abnormal / epilepsi lobus temporal.
6. Diagnosis
 Diagnosis klinis : kejang berulang ( focal aware seizure)
 Diagnosis topis : lobus temporal cerebri
 Diagnosis etiologis : epilepsi
5. Tatalaksana
 Non-medikamentosa
 Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit epilepsi.
 Edukasi pasien mengenai rutin minum obat dan kontrol bulanan.
 Medikamentosa
 OAE (asam valproat 250 mg : 2 x 1 kaplet)
6. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
 Ad sanam : dubia ad malam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI 1,2,3
Definisi fisiologi epilepsi masih belum berubah dari yang diberikan
oleh Hughlings Jackson pada abad ke-19 yaitu epilepsi adalah istilah untuk
cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu,
mendadak dan sangat cepat.
Secara klinis, epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan
berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan
paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
serebral secara eksesif.

2. ETIOLOGI 1,4
Berikut ini adalah daftar penyebab/faktor resiko epilepsi:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya
berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural
pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolic, kelainan neurodegeneratif.

3. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS 4,5,6,7,8


A. Menurut Commision of Clasification and Terminology of the
Internasional League Against Epilepsy, 1981 untuk tipe serangan
epilepsi:

7
1) Serangan Parsial
a. Serangan Parsial Sederhana dengan :
a) Manifestasi Motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot.
Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami gerakan
abnormal seperti jari tangan menghentak atau kekakuan pada
sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap
pada satu sisi tubuh (berlawanan dengan area otak yang
terganggu) atau meluas pada kedua sisi. Contoh yang lain adalah
kelemahan dimana dapat berpengaruh pada saat berbicara.
Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.
b) Manifestasi Sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan
kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak,
bordering atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya
tidak ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau
mati rasa (kebas). Kejang mungkin terasa sangat menyakitkan
pada beberapa pasien. Mereka akan merasa seperti berputar.
Mereka juga mungkin mengalami ilusi. Untuk singkatnya
mereka mungkin percaya bahwa mobil yang sedang diparkir
bergerak pergi atau suara seseorang seperti teredam ketika
seharusnya terdengar jelas.
c) Manifestasi Autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system
saraf yang secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang
ini biasanya meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada
perut, dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan
pernafasan, berkeringat.

8
d) Manifestasi Psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan
memori, kata yang terbalik saat berbicara, ketidakmampuan
untuk menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam
memahami percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan
tiba-tiba merasa takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang
tidak jelas. Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka
berada diluar tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami
sebelumnya).
b. Serangan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) dengan :
a) Gambaran parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun
b) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan, kesadaran
menurun sejak permulaan serangan
c. Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum (tonik,
klonik, tonik-klonik)

2) Serangan Umum
a. Tonic-clonic convulsion = grand mal
Kejang ini dimulai dengan suara jeritan yang tidak wajar.
Kemudian penderita akan jatuh dan setiap otot terlihat lebih aktif.
Giginya mencengkeram. Penderita terlihat pucat, dan dalam waktu
singkat akan berubah kebiruan. Sesaat setelah dia jatuh, tangan dan
badan bagian atas akan mulai menghentak sedangkan kakinya
menjadi lebih atau kurang kaku. Ini adalah bagian terlama dari
kejang ini. Pada akhirnya kejangnya berhenti dan dia jatuh kedalam
tidur yang dalam.
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit.
Kejang yang berakhir lebih dari 30 menit atau tiga kali kejang tanpa
periode jeda yang normal mengindikasikan kondisi yang berbahaya

9
disebut juga sebagai status epileptikus. Kejang ini disebut juga
sebagai grand mall. Seperti namanya kejang ini merupakan
gabungan dari kejang tonik dan kejang klonik. Fase tonik datang
pertama ditandai dengan semua otot menjadi kaku. Udara secara
paksa dikeluarkan dari pita suara yang menyebabkan tangisan atau
erangan. Orang tersebut akan kehilangan kesadaran dan jatuh
kelantai. Lidah dan pipi bagian dalam mungkin tergigit. Jadi ludah
yang bercampur darah mungkin keluar dari mulut. Wajah orang
tersebut mungkin akan berubah jadi kebiruan. Setelah fase tonik
akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki biasanya akan mulai
menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk dan
relaksasi pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa menit
gerakan menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung
kemih dan perut terkadang ikut keluar saat tubuh relaksasi.
Kesadaran kembali perlahan dan orang tersebut mungkin
mengantuk, bingung, atau depresi. Penderita yang mengalami
kejang ini dapat anak-anak maupun orang dewasa.
b. Abscense attacks = petit mal
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak
atau awal remaja. Bangkitan ini ditandai dengan gangguan
kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10
detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi.
Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak atau awal remaja.
Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering
tidak disadari Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak
hilang sehingga penderita tidak jatuh. Pasca serangan, penderita
akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru
dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran
yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik
yang bangkit secara menyeluruh.

10
c. Myoclonic seizure
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan
involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan
biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat
adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
d. Atonic seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot dan jatuh
tiba-tiba.
e. Klonik seizure
Kejang dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang
klonik fokal berlangsung 1– 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
f. Tonik seizure
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.
3) Serangan tidak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

11
B. Menurut ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi
1) Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
a) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
b) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
c) Epilepsi primer saat membaca
b. Simtomatik (sekunder)
a) Lobus temporalis
b) Lobus frontalis
c) Lobus parietalis
d) Lobus oksipitalis
e) Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
f) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
c. Kriptogenik
2) Epilepsi Umum
a. Idiopatik (primer)
a) Kejang neonatus familial benigna
b) Kejang neonatus benigna
c) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d) Epilepsi absans pada anak
e) Epilepsi absans pada remaja
f) Epilepsi mioklonik pada remaja
g) Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
h) Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik
a) Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)
b) Sindroma Lennox Gastaut

12
c) Epilepsi mioklonik astatik
d) Epilepsi absans mioklonik

c. Simtomatik
a) Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression
 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
b) Etiologi / sindrom spesifik
 Malformasi serebral
 Gangguan metabolisme

3) Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Serangan umum dan fokal
a) Serangan neonatal
b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c) Sindroma Taissinare
d) Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4) Epilepsi berkaitan dengan situasi (sindrom khusus)


a) Kejang demam
b) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
c) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
nonketotik.
d) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi
refrektorik).

13
C. Menurut ILAE 2017, klasifikasi epilepsi/kejang :

Gambar 1. Klasifikasi kejang menurut ILAE 2017

4. PATOFISIOLOGI 2,3,4
Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan suatu neuron
epileptogenik, yaitu eksitabilitas abnormal dari jaringan saraf sebagai akibat
dari gangguan depolarisasi dan repolarisasi serta sinkronisasi abnormal dari
jaringan saraf. Penjalaran impuls yang menyimpang dari biasanya akan
menyebabkan kekacauan sekelompok neuron sehingga dapat timbul
serangan epilepsi.
Eksitabilitas dari neuron dipengaruhi oleh :
a. Membran sel dan lingkungan mikro dari neuron.
Keduanya berperan dalam menjaga beda potensial elektris neuron
melalui permeabilitas selektif dan pompa ion. Kadar Kalium (K) adalah
lebih tinggi pada intraneuronal daripada ekstraneuronal. Sebaliknya
kadar Natrium (Na) adalah lebih tinggi pada ekstraneuronal daripada

14
intraneuronal. Dengan demikian maka bagian dalam dari sel itu
muatannya adalah negatif 5070mV bila dibandingkan dengan bagian
luar. Keadaan demikian hanyalah dapat dipertahankan selama pompa
Na, K dan ATPase bekerja dengan baik.
Pompa Na adalah suatu mekanisme, yang menggunakan ATP
sebagai sumber energi, untuk mengeluarkan ion Na keluar dari dalam
sel setelah proses depolarisasi. Maka dari itu apabila terjadi suatu
keadaan kekurangan ATP akan berakibat Pompa Na tidak mampu lagi
untuk mengeluarkan Na dari dalam sel setelah proses depolarisasi.
Sehingga kadar Na di dalam sel akan menjadi lebih tinggi dari semula.
Dengan demikian maka keadaan di dalam sel itu tidaklah pulih menjadi
negatif 5070 mV tetapi menjadi misalnya hanya negatif 20 mV.
Keadaan tersebut akan mengakibatkan proses depolarisasi semakin
mudah, sehingga suatu rangsangan ringan yang dahulu tidak
menimbulkan depolarisasi kini dapat menimbulkan proses lepas
muatan.
b. Proses-proses intraseluler.
Dikendalikan secara genetik. Proses-proses itu meliputi
pembentukan struktur sel, metabolisme energi, reseptor-reseptor,
pelepasan transmiter, dan saluran ion. Mekanisme sebenarnya
berhubungan dengan komposisi ionik terutama ion Ca2+. Ion Ca2+
berpengaruh dalam hal:
a) Sebagai mediator perubahan protein membran untuk memacu
pelepasan transmiter dan pembukaan saluran ion.
b) Aktivasi enzim yang mempengaruhi tempat-tempat reseptor
sehingga mempengaruhi sensitivitas neuron tersebut.

Perubahan–perubahan dalam eksitabilitas ini dapat dihasilkan


dengan mempengaruhi gen-gen yang bertanggung jawab terhadap
influks ion Ca2+.

15
c. Ciri struktural neuron
Dua regio utama pada otak yang berhubungan dengan epilepsi
adalah neokorteks dan hipokampus. Pada neokorteks, sinaps eksitatorik
dibentuk terutama pada duri dendrit (dendriric spines) dan tangkai
dendrit (dendritic shaft). Sedangkan sinaps inhibitorik lebih jelas
terdapat pada soma atau pangkal dendrit. Perubahan morfologi neuron,
baik secara spontan maupun sebagai respon terhadap trauma dapat
meningkatkan eksitabilitas dengan peningkatan jumlah sinaps
eksitatorik yang bermakna atau penurunan jumlah sinaps inhibitorik.
Lesi pada badan sel atau batang neuron akan menyebabkan
degenerasi dari ujung terminal akson, dan sebuah ujung terminal baru
akan muncul untuk berhubungan dengan membran postsinaptik yang
kosong, yang selanjutnya meningkatkan potensial eksitatorik dari
neuron. Ion Kalsium yang muncul terutama pada dendrit menyebabkan
depolarisasi yang diperpanjang, yang dapat memacu meningkatnya ion
Na di dalam neuron. Sehingga waktu hiperpolarisasi pun menjadi lebih
panjang. Letupan ini dipercaya berperan dalam periode depolarisasi
paroksimal dan hiperpolarisasi dalam eksperimental fokus epileptik.
d. Hubungan interneuron
Transmisi neurokimia di antara neuron dapat mempengaruhi
eksitabilitas neuron. Langkah ini menghasilkan pelepasan
neurotransmiter ke celah sinaps dan membran postsinaps, menghasilkan
potensial postsinaptik yang eksitatorik dan inhibitorik. Neurotransmiter
eksitatorik yang utama dalam sistem saraf pusat adalah asam amino
glutamat dan aspartat. Sedangkan neurotransmiter inhibitorik yang
utama adalah gama amino butiric acid (GABA) dan glisin.
Neurotransmiter bekerja dengan mempengaruhi reseptor spesifik yang
ada di membran postsinaps.

Beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmiter


asetilkolin merupakan hal yang merendahkan potensial membran

16
postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-
waktu. Apabila sudah cukup asetilkolin tertimbun di permukaan otak, maka
pelepasan muatan listrik neuron-neuron kortikal dipermudah. Penimbunan
asetilkolin setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat
merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan dapat terjadi.
Mungkin karena harus menunggu waktu hingga mencapai konsentrasi
tersebutlah maka fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara
berkala. Inilah ciri manifestasi epilepsi yaitu timbulnya serangan secara
berkala tetapi tidak teratur.
Pada epilepsi tipe grand mal mekanisme hilangnya kesadaran dapat
dijelaskan sebagai adanya pelepasan muatan listrik pada nuclei
intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centercephalic. Inti
tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan
asendens ekstralemniskal. Input dari korteks serebri melalui lintasan
tersebut menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada
input, maka timbulah koma. Pada grand mal terjadilah lepas muatan listrik
dari inti intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan
talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh
(konvulsi umum) sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran
menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.

5. DIAGNOSIS 7,8,9,10
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan
klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan
1) Anamnesis
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu . Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi:

17
a. Gejala sebelum, selama dan paska serangan
b. Faktor pencetus
c. Frekuensi serangan
d. Pola / bentuk serangan
e. Lama serangan
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan terjadinya pertama
h. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
i. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
j. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
k. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan Fisik Umum Dan Neurologis 3,5,6,7


Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda defisit


neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi.
Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan
tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat
menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal

18
3) Pemeriksaan Penunjang 2,4,7,9
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah
yang sama di kedua hemisfer otak.
 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada
anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),
paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku
ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku/
tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara
serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang
penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG,
serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran

19
klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG.
Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
d. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung
jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan
OAE
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE
 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis
akibat efek samping OAE.
b) Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam
plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah

20
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor
kepatuhan pasien.
e. Gold standar :
a) EEG iktal dengan subdural atau depth EEG
b) Longterm video EEG monitoring

6. DIAGNOSIS BANDING3,4,8,9,10
a. Kejadian paroksismal
Diagnosis banding untuk kejadian yang bersifat paroksismal meliputi
sinkrop, migren, TIA (TransientIschaemic Attack), paralisis periodik,
gangguan gastrointestinal, gangguan gerak dan breath holding spells.
b. Epilepsi parsial sederhana
Diagnosis ini meliputi TIA, migren, hiperventilasi, tics, mioklonus, dan
spasmus hemifasialis. TIA dapat muncul dengan gejala sensorik yang
dibedakan dengan epilepsi parsial sederhana. Keduanya paroksimal,
bangkitan dapat berupa kehilangan pandangan sejenak, dan mengalami
penderita lanjut usia.
c. Epilepsi parsial kompleks
Diagnosis banding ini berkaitan dengan tingkat kehilangan kesadaran,
mulai dari drop attacks sampai dengan pola prilaku yang rumit.secara
umum diagnosis ini meliputi sinkrop, migren, gangguan tidur,
bangkitan non epileptik, narkolepsi, gangguan metabolik dan transient
global amnesia.

7. PENATALAKSANAAN5,6,8,9,10
a. Non Farmakologi
a) Amati faktor pemicu
b) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

21
b. Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni OAE mulai diberikan bila
diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan
dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan
dan kemungkinan efek sampingnya. Terapi dimulai dengan monoterapi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat
mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah
mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-
lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan
tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi


a) Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
b) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+,
Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Syarat umum untuk menghentikan OAE :


 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
 Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai
dari satu OAE yang bukan utama

22
Tabel 1: pemilihan obat anti epilepsi (OAE) berdasarkan jenis
bangkitan:
Jenis OAE lini OAE lini OAE yang OAE yang
bangkitan pertama kedua dipertimbang dihindari
kan
Tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate

Atonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine


Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate Acetazolamide Phenytoin

Fokal Carbamazepine Clobazam Clonazepam


Dengan / Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
Tanpa Sodium Levetiracetam Acetazolamide
Umum Valproate Phenytoin
Sekunder Topiramate Tiagabine
Lamotrigine
Tonik Carbamazepine Clobazam Clonazepam
Klonik Phenobarbital Levetiracetam Acetazolamide
Phenytoin Oxcarbazepine
Valproate Lamotrigine
Topiramate
Absance Sodium Clobazam Carbamazepine
Valproate Topiramate Gabapentin
Lamotrigine Oxcarbazepine

Mioklonik Sodium Clobazam Carbamazepi ne


Valproate Topiramate Gabapentin
Topiramate Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam

23
Tabel 2: Mekanisme kerja OAE
Obat Mekanisme kerja
Karbamazepin Blok sodium channel konduktan pada neuro, bekerja juga pada reseptor
NMDA, asetilkolin
Fenitoine Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan konduktan
natrium, kalsium, kalium
Valproate Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium
Gabapentine Modulasi kalsium channel
Lamotrigine Blok konduktan natrium
Topiramate Blok sodium channel, meningkatkan refluks GABA

Anti konvulsan utama :


a. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
b. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
c. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
d. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari

Gambar 2: Efek samping OAE

24
Pemberian OAE pada Wanita Hamil
Semua wanita yang menderita epilepsi dan termasuk golongan mampu
hamil harus diberi nasehat (terutama sebelum konsepsi) bahwa insidensi
malformasi pada bayi yang ibunya menderita epilepsi dan diobati dengan OAE
lebih tinggi 2-3 kali lipat dari pada bayi yang ibunya tidak memiliki epilepsi.
Dari OAE yang termasuk golongan first line (fenitoin, karbamazepin,
valproat dan phenobarbital) belum diketahui pasti mana yang paling bersifat
tetratogenik. Apabila pemberian OAT tak dapat dihindari, maka obat pilihan
pertama disesuaikan dengan jenis serangan dan dipilih yang kadar serum paling
rendah dan berikan secara monoterapi. Diet sebelum konsepsi dan selama
organogenesis harus dilengkapi dengan asam folat yang cukup. Petunjuk
pemberian OAE selama hamil :
 Gunakanlah obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis dan
sindrom epilepsi.
 Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar serum
paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik
klonik.
 Hindari penggunaan valproat atau karbamazepin apabila ada riwayat
keluarga defek neurl-tube.
 Hindari politerapi khususnya kombinasi dengan valproat,
karbamazepin dan fenobarbital.
 Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila
mungkin periksalah kadar OAE bebas atau tak terikat.
 Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya, dan
pastikanlah bahwa kadar folat dalam serum dan eritrosit dalam batas
normal selama periode orgogenesis pada trimester pertama.
 Apabila diberikan valproat hindarilah kadar dalam serum yang
tinggi. Bagilah obat 3-4 kali pemberian setiap harinya.

25
8. KOMPLIKASI6,7,8,10
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress
emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian
seperti:
1. Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah
2. Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena
adanya gangguan pada hippocampus, anomia (
ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda)
3. Kepribadian keras : agresif dan defensive
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
a. Aspirasi atau muntah
b. Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
c. Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
d. Status epileptikus (SE)
Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang terus
menerus, berulang tanpa kembalinya kesadaran diantara kejang selama
lebih dari 30 menit. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe
kejang tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status
epileptikus mungkin menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi
kognitif dan mungkin fatal. Dikenal dua tipe SE yaitu SE konvusif
(terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat
bangkitan motorik).
1.Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi
lebih dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa
pulihnya kesadaran diantara bangkitan.
2.Status Epileptikus Nonkonvulsif
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat
aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan
memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku
atau “ awareness”.

26
9. PROGNOSIS 6,7,9
Ketika pasien telah bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini
mungkin untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada
umur pasien dan tipe epilepsy yang diderita. Hampir seperempat pasien
yang bebas kejang selama tiga tahun akan tetap bebas kejang setelah
menghentikan pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara
bertahap. Lebih dari setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat
menghentikan pengobatan tanpa perkembangan pada kejang.

27
BAB IV
ANALISA KASUS

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi dapat


didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, dan memiliki risiko tinggi untuk
mengalami kejang lagi atau berulang. Telah dilaporkan kasus seorang pasien
perempuan usia 40 tahun yang datang ke poli syaraf RSUD Abdul Aziz pada
tanggal 28 September 2018 untuk kontrol kejang berulang yang dialami selama 2
tahun. Pasien mengalami kejang dalam tahun ini (2018) sebanyak 2 kali. Terakhir
kali kejang dialami 5 bulan yang lalu. Kondisi sebelum terjadi kejang pasien sadar dan
merasa dirinya melihat sinar putih yang masuk ke dalam tubuhnya disertai rasa takut dan
jantung berdebar. Saat terjadi kejang pasien merasa badan sedikit kaku sehingga pasien
hanya bisa terdiam, terbengong seperti hilang ingatan, dan tak mampu berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya, tetapi masih dapat mendengar suara disekelilingnya.
Kejadian tersebut berlangsung selama 5 menit. Setelah selesai kejang, pasien merasa
badannya lemah selama 30 menit hingga 1 jam, namun langsung dapat bicara dan
mengerti bila diajak komunikasi. Berdasarkan klasifikasi kejang menurut lILAE 2017
dari hasil anamnesis, gejala pasien mengarah pada epilepsi serangan parsial yang
mana pasien mengalami kejang dengan onset focal-nonmotor tanpa gangguan
kesadaran. 2,4,5
Epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor atau juga disebut epilepsi
partial kompleks, yaitu kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial
atau lateral lobus temporalis, biasanya berupa kejang parsial kompleks dengan atau
tanpa penurunan kesadaran dan dapat berupa kejang parsial sederhana tanpa
gangguan kesadaran, dengan atau tanpa aura. 3,6,7
Epilepsi lobus temporal merupakan jenis epilepsi yang banyak ditemukan
pada orang dewasa, pada kebanyakan kasus region epileptogenik melibatkan
struktur mesial lobus temporal, terutama hippocampus, amygdala, girus
parahipocampus. Hampir semua pasien epilepsi lobus temporal, memiliki tipe
kejang parsial kompleks dan beberapa diantaranya kejang umum sekunder. Disebut
epilepsi lobus temporalis karena berhubungan dengan lobus temporalis atau

28
epilepsi psikomotor karena bangkitannya meliputi bermacam gejala motorik dan
mental. Dinamakan “epilepsi partial kompleks” karena serangan disebabkan oleh
letupan fokal abnormal yang menimbulkan kehilangan kesadaran, amnesia atau
bingung selama ataupun setelah serangan. 6,7,8
Tabel 3. Karakterisitik Epilepsi Lobus Temporal

Karakteristik Epilepsi Lobus Temporal

History
History of febrile seizures Rare secondarily generalized seizures
Family history of epilepsy Seizures may remit and reappear
Early onset Seizures often intractable

Clinical observations
Aura common Postictal disorientation, memory loss,
Behavioral arrest/stare dysphasia (with focus in dominant
Complex automatisms hemisphere)
Unilateral posturing

Laboratory studies
Unilateral or bilateral anterior temporal spikes on EEG
Hypometabolism on interictal PET
Hypoperfusion on interictal SPECT
Material-specific memory deficits on intracranial amobarbital (Wada) test

MRI findings
Small hippocampus with increased signal on T2-weighted sequences
Small temporal lobe
Enlarged temporal horn

29
Penentuan dalam diagnosis epilepsi selain daripada anamnesis dan
pemeriksaan fisik, diperlukan adanya pemeriksaan penunjang terutama EEG.
Berdasarkan EEG terakhir kali (bulan Agustus 2018) pada kasus ini ditemukan hasil
yang abnormal dan disimpulkan sebagai epilepsi lobus temporal, yang mana pasien
mengalami epilepsi atau kejang partial yang didahului dengan aura, tanpa
kehilangan kesadaran dan bermanifestasi klinis setelah serangan pasien merasa
badan lemah dan bingung. 4,7,8
Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang harus diperhatikan adalah
terapi. Tujuan terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat
hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal untung penyandang epilepsi
sesuai perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Harapannya adalah “bebas bangitkan, tanpa efek samping”. Untuk tercapainya
tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping yang
minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Terapi epilepsi dapat berupa
terapi farmakologi dan nonfarmakologi. 5,8,9
Prinsip terapi farmakologi pada pemberian OAE bila : diagnosis epilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun, penyandang dan
atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan,
penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE, bangkitan terjadi berulang walaupun faktor
pencetus sudah dihindari misalnya alkohol, kurang tidur, stress. Pemberian terapi
dimulai dengan monoterapi yaitu penggunaan OAE pilihan sesuai jenis bangkitan
dan jenis sindrom epilepsi. 6,9,10

30
Gambar 3. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan

Gambar 4. Dosis OAE untuk orang dewasa

31
Inisiasi pemberian OAE idealnya menggunakan 1 jenis obat dengan dosis
terendah yang efektif untuk mengontrol bangkitan, atau disebut juga dengan
pemberian monoterapi. Pemberian monoterapi secara umum mampu mencegah
timbulnya bangkitan pada 70% pasien. Pemilihan OAE idealnya memperhatikan
profil efek samping obat, tipe bangkitan, pengalaman dokter dalam menggunakan
obat, namun juga memperhatikan ketersediaan obat tersebut dilingkungan tempat
tinggal pasien. Monoterapi yang paling banyak digunakan saat ini adalah fenitoin,
asam valproat, dan karbamazepin. 5,9,10
Pemberian kombinasi dari 2 atau lebih OAE juga dipertimbangkan bila
pemberian monoterapi OAE masih belum memberikan kontrol bangkitan yang
baik. Sekitar 30-40% pasien epilepsi tidak terkontrol dengan baik dengan
pemberian monoterapi, sehingga harus dipertimbangkan untuk diberikan terapi
kombinasi OAE, meskipun terapi kombinasi umumnya lebih efektif dalam
mengontrol bangkitan dibandingkan dengan penggunaan monoterapi, resiko
terjadinya efek samping serius pada penggunaan terapi kombinasi tentunya menjadi
lebih tinggi. Oleh karena itu, pemilihan OAE untuk terapi kombinasi harus hati-
hati dengan mempertimbangkan aspek interaksi antarobat, mekanisme kerja obat,
dan efek samping obat. Kombinasi OAE yang paling sering digunakan adalah
kombinasi antara fenitoin dan asam valproat, karbamazepin dan asam valproat,
fenitoin dan karbamazepin, karbamazepin dan luminal, asam valproat dan
luminal.6,7,9,10
Tatalaksana medikamentosa pada kasus ini, pasien diberikan monoterapi
OAE dengan merk dagang Divalpi EC 250 mg yang mangandung asam valproat
dengan frekuensi pemberian 2 x1 kaplet dalam sehari. Selain itu, tatalaksana
nonmedikamentosa dilakukan dengan edukasi pada pasien tentang penyakit
epilepsi, edukasi mengenai teratur dalam minum obat dan kontrol bulanan, serta
menghindari pencetus dan istirahat yang cukup. 8,9,10

32
BAB V
KESIMPULAN

Kejang adalah kejadian paroksismal yang terjadi karena abnormal,


berlebihan, dan hipersinkronisasi dari neuron sistem saraf pusat. Kejang dapat
digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya
area otak yang terpengaruh. Penegakan diagnosis epilepsi jika terjadi adanya kejang
berulang. minimal 2 kali dalam setahun. Kejadian epilepsi dapat dikontrol dengan
pemberian monoterapi atau kombinasi OAE secara rutin. Edukasi mengenai gaya
hidup sehat dan menghindari pencetus dapat menunjang pengobatan lebih baik.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat: 2010
2. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2008
3. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. ILAE official report: a practical
clinical definition of epilepsy. Epilepsia 2014; 55(4): 475-82.
4. Koutroumanidis M, Arzimanoglou A, Caraballo R, et al. The role of EEG in
the diagnosis and classification of the epilepsy syndromes: a tool for clinical
practice by the ILAE Neurophysiology Task Force (Part 1). Epileptic Disord
2017a; 19(3): 233-98.
5. Koutroumanidis M, Arzimanoglou A, Caraballo R, et al. The role of EEG in
the diagnosis and classification of the epilepsy syndromes: a tool for clinical
practice by the ILAE Neurophysiology Task Force (Part 1). Epileptic Disord
2017b; 19(4): 385-437.
6. Fisher RS, Cross JH, French JA, et al. Operational classification of seizure
types by the International League against Epilepsy. Epilepsia 2017a; 58: 522-
30.
7. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, et al. Instruction manual for the ILAE 2017
operational classification of seizure types. Epilepsia 2017b; 58: 431-542.
8. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, et al. ILAE classification of the
epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification and
Terminology. Epilepsia 2017; 58: 512-21.
9. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
10. Gunawan sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007

34

Anda mungkin juga menyukai