Demam berdarah (DHF) adalah suatu penyakit yang mempunyai sejarah panjang
dengan peningkatan dan penurunan pada mortalitas dan morbiditasnya. Cecara pendekatan
kependudukan dan epidemiologi mengindikasikan bahwa pencegahan merupakan prioritas
utama yang harus ditingkatkan.
Gejala klinis yang “misterius” dari demam berdarah biasanya muncul dari saat berada
di rumah sakit. Selam ini, demam berdarah telah menjadi perhatian besar bagi dokter-dokter
spesialis, terdapat berbagai kondisi klinis yang berbeda dengan hasil dan peningkatan
kesehatan yang berbeda pula. Contohnya pasien dengan hemodinamik yang stabil, biasanya
mempunyai hematemesis dan demam encepalopathy, sedangkan pasien degan edema paru
dan efusi pleura yang luas, tetapi dengan penanganan yang maksimal, apakah pasien dapat
memperoleh hasil yang baik?
Pada penanganan demam berdarah, terdapat prinsip bahwa “segalanya dapat terjadi”.
Hal ini tidak dapat dipisahkan dari prinsip proses host-agen-lingkungan, yang secara spesifik
dari mekanisme pada host yang terjadi di lingkungan telah terjadi proses imun yang berubah
dan berbeda. Selanjutnya, penanganan dari demam berdarah adalah sebuah seni, yang
didasarkan pada patogenesis dan patofisiologi dan diikuti dengan pembelajaran yang
berlanjut mengenai kasus yang berbeda.
Patogenesis dari spektrum demam berdarah dimulai dari gejala klinis demam berdarah
yang diukur dari proses. Ketika kami melakukan evaluasi pada gejala klinis dari demam
berdarah berdasarkan WHO 2009, kita dapat melihat 3 fase. Ketiga fase tersebut menjelaskan
dari proses natural infeksi virus, yaitu fase febris yang terdapat viremia, sedangkan pada fase
kritis terdapat gejala khas virus demam berdarah yang menyebabkan pembocoran di plasma
dan pada fase pemulihan, terdapat respon imun dan peningkatan endotelial yang sejalan
dengan perbaikan kondisi.
Terdapat beberapa teori yang berkembang mengenai demam berdarah, yaitu :
Seperti yang telah kita ketahui, nyamuk betina aedes aeygypti menggigt manusia dan
memasukan virus ke sirkulasi darh. Virus dengue akan menempel pada monosit melalui
resptor dan akan masuk ke dalam monosit. Pada kondisi ini, terdapat mekanisme yang mana
virus telah berkembang dan dapat menembus gen-gen. Selanjutnya mekanisme eferen akan
terjadi, yaitu monosit yang mengandung virus didistribusikan ke hepar, ginjal, pencernaan
dan sumsum tulang, yang menyebabkan terjadinya viremia. Pada langkah selanjutnya,
terdapat mekanisme efektor, yang mana monosit yang terinfeksi akan mengalami interaksi
dengan beberapa sistem tubuh seperti sitokin dan tromboplastin yang akan berpengaruh
terhadap permeabilitas kapiler dan aktivitas dari faktor koagulan.
Pada pendekatan lain menyarankan bahwa virus dengue akan menyerang makrofag
dan akan membelah diri di sel langerhans dan di makrofag pada ginjal. Selain itu, virus
dengue menstimulasi sel T. Pada fase selanjutnya, terdapat stimulasi silang antara antibodi
dan platelet seperti reaksi silang pada plasmin dan produk yang spesifik. Sementara itu,
stimulasi dari beberapa mediator juga bermunculan, yaitu TNFα, IFNγ, IL-1, IL-2, IL-6, IL8,
IL-10, IL13, IL 18, TGFβ, C3a, C4b,C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, NO yang mana
menyebabkan dari ketidakseimbangan sitokin dan mediator lainnya.
Di hepar, pembelahan akan terjadi di hepatosit dan sel kuppfer. Nekrosis dan
apoptosis mulai menurunkan fungsi dari hepar, melepaskan racun ke dalam sirkulasi dan
meningkatkan koagulasi, platelet, dan mengaktifkan sistem fibrinolitik. Virus dengue yang
menyerang makrofag di hepatosit akan meningkatkan SGOT dan SGPT, dan memproduksi
secara berlebihan IL-6. Kerusakan endotelial oleh virus akan menyebabkan produksi sitokin
yang sangat banyak. Produksi sitokin yang berlebihan dan IL-6 akan menstimulasi
pembentukan limfositemia atipikal yang akan mengaktivasi platelet, Anti DV Ab dan anti EC
antibodi. Perdarahan merupakan suatu tanda yang disebabkan oelh tiga kalainan hemostasis
yaitu vaskulopati, kelainan platelet dan penurunan level serum dari faktor
koagulasi.Manifestasi klinis pada vaskulopati adalah adanya peteki, dan hasil positif pada
pemeriksaan rumple leed, kebocoran plasma, dan kebocoran protein.
Dengan melakukan evaluasi mengenai diskusi diatas, sangat jelas terlihat bahwa
gejala klinis pada demam berdarah merupakan fenomena gunung es, yaitu dimana terdapat
banyak masalah imunopatogenesis yang rumit yg terjadi dan kita belum mengetahuinya.
Mekanisme autoimun pada demam berdarah adalah proses patofisiologi yang selama
ini telah mencoba untuk menyediakan jawaban dari mekanisme-mekanisme variasi klinis
pada suatu penyakit. Sebuah studi oleh Falconar menjelaskan bahwa respon autoimun dari
infeksi demam berdarah terdiri dari molekuler mimikri. Dengan menggunakan eksperimen
terhadap hewan, menunjukan bahwa antibodi DEN-V NSI menyebabkan reaksi silang dengan
koagulasi pada protein di manusia. Tetapi sangat disayangkan, aktivasi kembali secara silang
menyebabkan terjadinya perdarahan. Pada studi ini juga mengungkapkan bahwa antibodi
pada serum di pasien dengna demam berdarah akan memungkinkan terjadinya reaksi silang
terhadap sel endotel. Pada studi ini juga mendemonstrasikanbahwa anti DEN V NSI memiliki
reaksi silang terhadap sel endotel. Dari studi ini didapatkan bahwa level dari antibodi
mengalami peningkatan dan DEN V NSI telah mengalami reaksi silang dengan mimetik
epitop.