Anda di halaman 1dari 30

`

Bahan Ajar
KMB
BAHAN AJAR I I
KMB
Asuhan Keperawatan COPD

KELOMPOK 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha kuasa,


karena dengan pertolongan-Nya bahan ajar bagi mahasiswa dapat
diselesaikan.

Penulisan bahan ajar ini disusun dengan tujuan menyediakan


materi pembelajaran untuk mahasiswa DIV Keperawatan Reguler II.
Bahan ajar ini disusun secara ringkas untuk lebih memudahkan
memahami isi dari satu bab bahan ajar.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak


yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Penulis
berharap semoga bahan ajar ini dapat memberikan manfaat yang
besar bagi para pembaca khususnya mahasiswa DIV Keperawatan
Reguler II.

Hormat kami.

Kelompok 1

1
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................................1
DAFTAR ISI ..................................................................................................................2
TINJAUAN BAHAN AJAR ......................................................................................... 3
Tujuan penulisan bahan ajar ........................................................................................ 4
Tujuan instruksional khusus ........................................................................................ 4
Analisis Instruksional ..................................................................................................5
Petunjuk awal penggunaan bahan ajar.........................................................................6
Rencana kegiatan belajar mengajar .............................................................................7

BAB I ASUHAN KEPERAWATAN COPD ............................................................ 10


A. Konsep Penyakit COPD ...................................................................................... 10
1. Pengertian ......................................................................................................10
2. Klasifikasi COPD .......................................................................................... 10
3. Etiologi COPD ............................................................................................... 16
4. Patofisiologi COPD ....................................................................................... 17
5. Manifestasi Klinis .......................................................................................... 17
6. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................17
7. Komplikasi ....................................................................................................18

B. Konsep Asuhan Keperawatan COPD ..................................................................18

C. Ketrampilan Keperawatan ...................................................................................25


1. Pemeriksaan WSD ( Water Seal Drainase) ..................................................25

2
Bahan ajar ini akan menguraikan tentang asuhan keperawatan pada
sistem pernapasan khususnya COPD (PPOM). Fokus pembahasan
mencakup beberapa konsep asuhan keperawatan COPD baik yang
belum atau telah muncul komplikasi akut dan kronis mulai dari
pengkajian, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi, selain itu fokus
pembahasan meliputi ketrampilan keperawatan terkait WSD (Water
Seal Drainase).

3
TUJUAN PENULISAN BAHAN AJAR

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:

Setelah menyelesaikan membaca bahan ajar ini, pembaca/mahasiswa


mampu memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem pernapasan yaitu COPD (PPOM).

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Mahasiswa/pembaca mampu:

1. Menjelaskan Konsep Penyakit COPD.


2. Menjelaskan penyebab terjadinya penyakit COPD
3. Menjelaskan tanda dan gejala Penyakit COPD
4. Menjelaskan komplikasi penyakit COPD
5. Menyusun asuhan keperawatan penyakit COPD
6. Mendemonstrasikan ketrampilan keperawatan:
a. Water Seal Drainase (WSD)

4
ANALISIS INSTRUKSIONAL

Setelah menyelesaikan membaca bahan ajar ini, pembaca/mahasiswa mampu


menjelaskan asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan
yaitu COPD ( PPOM )

Mahasiswa/
pembaca mampu
Mahasiswa/ Mahasiswa/ Mahasiswa/ menjelaskan
pembaca mampu pembaca mampu konsep asuhan
pembaca mampu
menjelaskan menjelaskan menjelaskan keperawatan
konsep penyakit penyebab COPD komplikasi COPD COPD mulai
COPD pengkajian
hingga evaluasi

Mahasiswa/pembaca mampu mengintegrasikan asuhan keperawatan pada klien


COPD baik yang tidak atau ada komplikasi akut/ kronis mulai dari pengkajian,
perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi

5
PETUNJUK AWAL PENGGUNAAN BAHAN AJAR

MEMBACA SECARA RUNUT:

1. Bahan ajar ini disusun secara bertahap dari yang umum


sampai khusus sehingga mahasiswa/pembaca mudah
memahami secara keseluruhan.
2. Bahan ajar ini disertai daftar istilah agar mahasiswa/
pembaca lebih mengerti istilah-istilah yang digunakan
dalam bahan ajar.
3. Setiap penyelesaian membaca satu bagian materi
mahasiswa/ pembaca langsung melakukan latihan yang
berkaitan dengan teori yang dibaca.
4. Mahasiswa/ pembaca dapat mencocokkan jawaban dengan
kunci jawaban yang disediakan pada bagian lampiran bahan
ajar ini.

6
RENCANA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

Mg BAB Topik Bahasan


I I Kontrak Perkuliahan dan Persepektif Keperawatan Medikal Bedah
II II Pengkajian sistem pernafasan
III III Askep COPD, Pneumonia, Tuberkulosa Paru, ISPA, Efusi Pleura
IV IV Pengkajian sistem kardiovaskular
V V Askep: Hipertensi, Decompensatio cordis, Anemia
VI VI Askep: Infark miocard, Angina pektoris, PJK/ CAD
VII VII Askep: SARS, Avian Flu, Ebola
VIII VIII Askep: DHF, Malaria, Typus Abdominalis, Filariasis
IX IX Askep Diabetes Melitus
X X Askep ulkus kaki diabetik
XI XI Pengkajian sistem pencernaan
XII XII Askep: hepatitits, serosis hepatis
XIII XII Askep: Ca Paru, Ca Kolon, Ca Rektum

7
SESI/PERKULIAHAN KE III

TIK
Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menyusun asuhan keperawatan COPD.
2. Mendemonstrasikan ketrampilan:
a. Water Seal Drainase (WSD)

POKOK BAHASAN: COPD

Deskripsi singkat: Perkuliahan pada sesi ini akan Saudara lalui dengan
memahami tentang COPD . Dan dilanjutkan dengan sesi praktikum dengan
mempraktekkan Water Seal Drainase (WSD).

BAHAN BACAAN

1. Muttaqih Arif, 2008, Asuhan Keperawatn Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan, Jakarta: Salemba Medika.
2. Robbins & Kumar, 1995, Buku Ajar Patologi II Edisi 4, Jakarta: EGC.
3. Tim Penulis Poltekkes Maluku, 2010, Penuntun Praktikum
Keterampilan Kritis III, Maluku: Salemba Medika.

PERTANYAAN KUNCI

Pertanyaan pemandu:

1. Mengapa di Indonesia angka terjadinya COPD masih tinggi ?

8
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN COPD

PENDAHULUAN

Perkuliahan pada sesi ini membahas asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem pernapasan COPD. Pada akhir perkuliahan, diharapkan
mahasiswa mampu mengkaji klien dengan COPD, menyusun diagnosa
keperawatan pada klien dengan COPD, menyusun perencanaan keperawatan
klien COPD dan menyusun evaluasi asuhan keperawatan klien COPD.
Perkuliahan ini bermanfaat nanti pada saat praktik klinik keperawatan di
rumah sakit, puskesmas, klinik dan di masyarakat.

9
PENYAJIAN

A. KONSEP PENYAKIT COPD

1. Pengertian
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) merupakan sejumlah gangguan yang
memengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah
bronkhitis obstruksiemfisema dan asma bronkhial.

2. Klasifikasi
a. Bronkithis kronis
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan dalam
bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum
selama 3 bulan selama setahun. Minimal 2 tahun berturut-turut.
b. Emfisema
Perubahan anatomi parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus,
duktus aveolar, dan dektruksi dinding aveolar.
c. Asma bronkial
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggapan reaksi yang meningkat dari trakhea
dan brokhus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernapas yang di sebabkan oleh penyempitan menyeluruh dari saluran pernapasan.

a. Bronkitis Kronis
Terlibatnya saluran pernapasan dapat mengenai terutama bronki yang lebih besar
atau bronkioli kecil kurang dari diameter 2 mm, tetapi seringkali semua tingkat terkena
secara simultan. Tingkat iritasi tertentu saluran udara besar adalah begitu universal di
kalangan perokok dan penghuni kota dalam masa polusi udara ini, sehingga sulit
membedakan iritasi tersebut secara morfologi dari bronkitis. Jadi definisi klinis, yaitu:
Bronkitis kronis terjadi bila terdapat batuk produktif yang persisten sedikitnya tiga bulan
berturut-turut selama minimal dua tahun berurutan. Subklasifikasi lebih lanjut dapat
digunakan, seperti “bronkitis kronis sederhana”,”bronkitis mukopurulenta kronis”, bila
diduga terjadi superinfeksi, dan “bronkitis asmatis kronis”apabila gangguan dasar
berkomplikasi serangan spasme bronkus. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa semuanya
merupakan variasi. Bila keterlibatan terbatas pada saluran udara yang lebih besar, biasanya
tidak ada pembatasan aliran udara yang kronis, paling tidak pada saat kejadian, namun
apabila diikuti dengan bronkitis (“penyakit saluran udara kecil”) atau emfisema, PPOM

10
adalah paling sering menyertai. Namun, bronkiolitis kronis yang berat tanpa disertai
dengan bronkitis kronis atau emfisema amat tidak lazim.
Patogenesis. Keadaan klinis yang jelas dari bronkitis bronkiolitis kronik adalah
hiperseksresi dari mukos. Faktor penyebab tunggal yang paling penting adalah perokok,
walaupun polusi udara yang lain seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida iritan ini
secara langsung atau melalui jalur neurohumoral dapat menyebabkan hiperseksresi kelenjar
mokusbronkus, diikuti oleh hiperplasia dan metaplasia, pembentukan sel-sel goblet yang
mengeluarkan musin pada efitel permukaan kedua saluran udara besar ataupun yang kecil.
Sekret ini bila banyak akan menyebabkan hambatan aliran udara pada saluran yang lebih
besar. Dalam saluran udara kecil bahkan dapat lebih membuntu, karena adanya emfisema
sering menimbulkan hilangnya jaringan penyangga, dan perubahan tekanan udara di dalam
bronkioli alveoli menyempitkan jalan udara dan membatasi aliran udara. Keradangan
mikribial seringkali terjadi, tetapi berperan sekunder. Organisme tuan rumah telah dapat
diisolasi dari penderita, namun yang paling sering adalah spesies Klebsiela dan
Stapilokokus koagulase posistif. Agen virus seperti adenovirus dan rhinovirus sincitia dari
pernapasan kadang-kadang juga dapat diidentifikasi.
Morfologi. Pada pemeriksaan mikroskopis, lapisan mukosa dari saluran udara yang
lebih besar biasanya hiperemis, membengkak dan gembos. Seringkali dilapisi oleh lapisan
sekret musinus atau mukopurolen. Bronki yang lebih kecil dan bronkhioli dapat juga di
penuhi oleh sekret yang sama. Secara histologis, gambaran diagnostik dari bronkitis kronis
pada saluran udara utama termasuk trakea berupa pembesaran dari kelenjar yang
mengeluarkan mukus. Pembesaran ini disebabkan oleh keduanya baik hiperaktivitas dan
hiperplasia dari epitel kelenjar. Besar pertmabahan ukuran ditaksir dengan indeks dari
Reid-rasio ketebalan lapisan kelenjar submukosa terhadap dinding bronkus dengan
keadaan klinik bronkhitis kronis, rasio umunya keluar 1:2. Secara bersamaan seringkali
terdapat penambahan jumlah sel goblet yang melapisi sel epitel dengan hilangnya silia sel
epitel. Salah satu dari konsekuensi kebiasaan merokok dan bronkitis kronis yang berlarut-
larut adalah pembentukan metaplasia skuamosa dan perubahan displasia yang melapisi sel
epitel ; perubahan ini merupakan prekursor penting karsinoma bronkogenik. Infitrat
peradangan sering terdapat pada mukosa bronkus, terbanyak mengandung sel-sel
mononuklir tanpa adanya proses peradangan, bercampur dengan neutrofil bila terdapat
bersamaaan dengan peradangan mikrobial dan mengandung eosinofil bila terdapat
komponen alergi. Bronkiolitis kronis ditandai dengan gambaran metaplasia sel-sel goblet
yang melapisi sel epitel. Peradangan dan fibrosis dinding yang bersamaaan, menyebabkan
penyempitan lumen, dan kadang-kadang menyebabkan obliterasi lengkap (bronkiolitis
fibrosa obliterans). Perubahan morfologi ini, terutama terjadi pada saluran napas kecil
dapat menyebabkan hambatan aliran udara yang kronis.
Kedaan klinik. Pentakit dari kedua saluran udara yang besar maupun kecil yang
berperan dalam terjadinya PPOM (COPD) telah dibahas. Perlu ditekankan kembali bahwa
itu adalah “penyakit saluran udara kecil” yang terutama dapat menyebabkan hambatan
aliran udara. Bronkitis sendiri dapat terjadi untuk beberapa saat tanpa menyebabkan
disfungsi ventilasi. Namun dapat menybabkan batuk prominen dan dahak yang produktif.
Bila terjadi sesak napas, hipoksemia, dan hiperkapnea, oksigenasi tidak adekuat dari darah
dapat menimbulkan sianosis. Hipoksemia kronis dapat juga menyebabkan vasokontriksi
paru persisten dan akhirnya kor pulmonale. Kombinasi dari sianosis dan kegagalan jantung
kanan dengan edema diperifer yang menyertainya, menyebabkan penderita ini dikatakan
sebagai “Blue bloaters” yang berbeda dengan keadaan “pink puffers” Emfisematosa.
Namun, prototipe klasik ini tak lazim dan hingga kini istilah yang kurang luwes perlu
disingkirkan. Bahkan konsekuensi yang lebih menakutkan dari bronkitis kronis dan
metaplasia skuamosa adalah karsinoma bronkogenik. Jadi,bronkitits kronis yang umum

11
dan bronkhiolitis bukan kondisi yang sepele.
b. Emfisema
Emfisema di definisikan sebagai suatu pelebaran normal ruang-ruang udara paru
disertai dengan destruksi dindingnya. Secara tradisional, empat subvariasi dari emfisema
telah dipisahkan, tergantung dari lokasi sebelumterjadi perubahan paru dalam asinus,
bagian dari struktur paru distal sampai bronkioli terminalis, dimana pertukaran udara.
Emfisema sentrilobuler termasuk kelainan pada asinus proksimal seperti yang
tersebut pada stadium awal ruang udara yang lebih distal. Namun, bila progresif, dilatasi
dan destruksi dari dinding distal alveoli juga akan terjadi. Secara khas, perubahan akan
lebih sering dan lebih berat dibagian atas daripada dibagian zone bawah lobus. Bentuk
emfisema ini adalah penyakit yang paling dominan pada pria perokok.
Emfisema panasinar, seperti tertera pada namanya, termasuk mengenai kurang lebih
segala sinus dengan pelebaran alveoli yang progresif dan duktus alveoli serta hilangnya
dinding batas antara duktus alveoli dan alveoli. Dengan progresivitas dan dekstrusi dari
dinding alveoli, ada simflikasi dari struktur paru. Bila proses menjadi difus, biasanya lebih
jelas tandanya lobus bawah. Bentuk emfisema ini lebih sering pada wanita dewasadan
bentuk ini ditemukan dalam hubungannya dengan defisiensi genetik dari inhibitor alfa 1 an
titripsin. Walaupun pada perokok dapat menyebabkan bentuk emfisema ini, namun
hubungan tersebut tidak sesering seperti emfisema sentrilobuler.
Emfisema parasepta atau subpleura, biasanya terbatas padazona subpleura dan
sepanjang septa interlobaris. Ini ditandai dengan keterlibatan dominan dari asinus distal
dan kadang-kadang dari duktus alveoli. Varian ini terbatas eksistensinya, tanpa kecuali
pada contoh langka dengan fungsi paru sangat berkurang, walaupun bentuk ini kadang-
kadang dapat menyebabkan timbulnya gelembung bula yang besar langsung di bawah
pleura dan kadang kadang menimbulkan pneumotoraks pada dewasa muda.
Emfisema ireguler lebih dikenal dengan emfisema yang dihubungkan dengan parut paru.
Asinus terkena yang teratur dan seringkali parut mengenai dinding ruang-ruang udara yang
melebar. Bentuk emfisema ini biasanya terbatas esktensinya, karena itu biasanya
menyebabkan dampak yang kecil pada fungsi pernapasan. Namun dengan penyebaran itu
dapat terjadi tuberkolosis dan pneumokoniosis.
Patogenesis. Teori dari penyebab emfisema harus dapat menjelaskan dua fakta
sentral: (1) dasar pada jejas dinding dari rongga udara, dan (2) hubungan erat antara
perokok dan emfisema, terutama varian sentrilobuler. Walaupun ketidakpastian masih
berlangsung, perhatian difokuskan pada kemungkinan berikut, terutama yang pertama.
o Ketidakseimbangan elastase-antielastase
o Jejas pada epitel alveoli
o Perusakan sintesis jaringan penyanggah
Morfologi. Walaupun mungkin dapat diduga ada nya emfisema dai pemeriksaan
makroskopik paru, terutama bila berat, konfrimasi diagnosis membutuhkan 2 mm sediaan
besar (irisan Gough) dari jaringan paru yang invasi, yang akan menampakkan fokus
dilatasi abnormal pada pemeriksaan mikroskopis. Prinsip gambaran diagnostik adalah:
1. Pembesaran abnormal dari rongga udara.
2. Penipisan dan destruksi dari dinding septa atau kadang hanya pelebaran dari
fenestra antar alveoli.
3. Kompresi dari septa kapiler dan kadang-kadang jalan udara kecil.
4. Akumulasi dari makrofag yang mengandung pigmen karbon, terutama tentang
saluran udara kecil pada perokok.
5. Bronkhiolitis termasuk bronkhiolus respiratorik dan terminalis, terutama pada
emfisema sentrilobuler.
Keadaan Klinik. Kedua emfisema sentrilobuler dan panasiner membentuk PPOM

12
(COPD) apabila telah meluas. Namun bila kurang parah dapat asimptomatik. Ada korelasi
umun antara keparahan gangguan fungsional dan keparahan penyakit paru, tetapi variabel-
variabel lain juga dapat menyebabkan kesulitan aliran udara seperti dibicarakan berikut.
Yang khas, keluhan pertama adalah mula-mula sesak napas yang tersembunyi, yang
menjadi lebih berat kalau penyakitnya menjadi progresif. Seringkali penderita dengan
respirasi yang berbunyi dengan ekspirasi yang memanjang dan harus menekan udara kelaur
dari paru dengan kesukaran pada ekspirasi karena untuk mengurangi kepegasan tersebut.
Kadang-kadang pada penderita ini ventilasi berlebihan karena itu, istilah “pink puffers”----
-tidak akurat dan tak terasa, seperti telah ditunjukkan sebelumnya. Batuk dan ekspektorasi
bisa atau tidak ada, tergantung dari adanya bronkitis kronis dan penyakit dari saluran udara
kecil. Memang, beberapa penderita dengan emfisema paru yang berat mungkin bebas dari
keluhan, apabila terlibatnya bronki dan bronkiolus sedikit atau tidak ada. Jadi, walaupu
kedua emfisema pada bentuk yang murni dan bronkitis termasuk bronkiolitis pada bentuk
yang murni dapat menimbulkan PPOM (COPD), itu dapat tak timbul sampai kedua bentuk
itu terjadi.
Studi spirometri biasanya perlu ditentukan berapa banyak dari limitasi kronis aliran
udara berhubungan dengan terlibatnya bronki dan bronkioli atau pada abnormalitas dari
ruang udara. Foto dada dapat memperlihatkan “hiperlusemsi” lapang pandang paru, dan
diafragma yang rendah dan rata, tetapi hasil tersebut juga dapat disebabkan karena
hiperinflasi (terutama pada lanjt usia). Jadi bukan diagnostik dari emfisema. Dengan
progresifnya penyakit, masalah pernapasan menjadi lebih buruk, sianosis bisa nampak, dan
hilangnya berat badan dapat begitu parah seperti “cachexia” maligna.
Penyebab kematian pada penyakit ini mungkin:
o Hipoksemia progresif dengan kerusakan otak hipoksik
o Asidosis paru dan koma
o Superinfeksi paru
o Payah jantung kanan (kor pulmonale kronis)
o Pemburukan tiba-tiba pada hipoksemia sekunder, karena pneumotoraks
akibat kolaps masif paru
c. Asma Bronkial
Asma ditandai dengan respons bronkoreseptor yang berlebihan terhadap banyak
stimuli yang menyebabkan limitasi (kesulitan) paroksimal aliran udara, terutama saat
ekspirasi, dengan ditandai dengan sesak nafas dan “mengi” (wheezing). Khas serangan
dapat berhenti sendiri atau dengan terapi dan diselingi dengan interval tanpa gejala, yang
lamanya bervariasi (dari hari kebulan). Kadang-kadang, serangan asma tidak dapat
dihentikan (status asmatikus) dan berakibat fatal. Asma adalah keadaan bisa, yang
menyerang 5% dari penduduk Amerika Serikat. Pada banyak contoh tampak pada dua
dekade pertama. Namun, adanya jumlah besar penderita yang didiagnosis pertama kali
setelah 30 tahun.
Klasisfikiasi. Tergantung dari stimuli yang menyebabkan serangan asma, dua
kartegori timbal balik dapat dipisahkan: (1) imunologik ekstrinsik asma, dan (2)
nonimunologik intrinsik asma. Bentuk ekstrinsik terhitung kurang dari 10% dari semua
kasus, biasanya terlihat pada anak-anak, umunya kurang berat dan lebih dapat ditangani
daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita dengan sama ekstrinsik, adalah atopik dan
mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan mungkin asma
bronkial. Asma intrinsik dapat terjadi pada segala umur, dan ada kecendrungan lebih sering
kambuh dan berat, namun banyak penderita juga mempunyai kedua bentuk tersebut.
Patogenesis. Walaupun banyak dapat dipelajari tentang jalur-jalur yang
menyebabkan serangan bronkokonstruktif, namun masih banyak kekurangan-kekurangan
dalam pengetahuan kita. Dengan istilah yang sangat disederhanakan, maka ada dua jalur

13
yang saling terkait timbal balik.
a) Interaksi alergen dengan ikatan antibodi-antibodi IgE spesifik dengan sel mast,
yang melepaskan mediator kimiawi.
b) Hiperaktivitas autonom atau ketidakseimbangan penyempitan neurologis dari jalan
udara.
Asma imunologik ekstrinsik adalah penyakit hipersensitivitas tipe I yang diperantai
IgE. Terjadi pada individu yang atopik dan membentuk antibodi IgE bila terkena alergen
biasa. Antibodi-antibodi ini terikat pada sel Mast (dan mungkin basofil) dalam mukosa
trakeobronkial. Sel-sel yang peka bila terkena alergen dengan cepat dikeluarkan histamin
dan dengan simultan merangsang pembentukan mediator lain, diantaranya prostaglandin
PGD2 dan leukotrien LTD, yang paling penting. Yang terakhir ini adalah
bronkokonstriktor yang lebih paten seribu kali dari histamin. Tetapi derivat lain asam
arakhidonat juga lepas, termasuk LTB4 (suatu kemoatraktan yang poten) dan tromboksan
A2 (aktivator dan agregator dari platelat). Dengan cara ini sel Mast, segala bentuk sel
darah putih dan platelat, ikut serta pada reaksi alergi bronkus. Sel-sel ini kemudian
merangsang telepasnya lebih banyak mediator primer dan sekunder seperti serotonin dan
mungkin kinin. Berbagai mediator juga bereaksi menguatkan efeknya.
Asma intrinsik nonimunologik dipostulasikan sebagai hasil dari beberapa
abnarmalitas dari kontrol parasimpatik dari fungsi saluran udara otot polos saluran udara,
kelenjar submukosa dan kapiler diatur oleh sistem saraf otonom rangsangan kolinergik dan
alfa-adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan sekresi mukosa, dimana rangsangan
beta-adrenergik terjadi sebaliknya. Jadi kenaikan respon alfa-adrenergik atau naiknya
jumlah alfa reseptor dalam sel mukosa bronkial dapat menyebabkan banyak gejala asma.
Kemungkinan lain, beberapa intervensi yang menghambat jalur beta-adrenergik, dapar juga
menyebabkan bronkokonstruksi. Menurut teori, bahwa terpapar pada suhu dingin,
kenaikan ventilasi dengan olah raga, polusi udara dan rangsangan non-imunologik lain
menyebabkan vegal eferen kolinergik dan alfa-adrenergik mengadakan perubahan
karakteristik dari asma. Yang menarik dari konsep ini adalah tidak biasa bahwa
abnormalitas otonom adalah mekanisme primer.
Banyak sekali interaksi antara dua jalur dasar patogen, karena banhyak bentuk
asma bereaksi pada kedua rangsangan alergi dan non-alergi. Histamin yang dikeluarkan
dari sel Mast dapat mencetuskan aktivitas vagus. Lebih lanjut, baik sel mast maupun
basofil mempunyai reseptor membran yang responsif pada obat-obat otonom. Contohnya,
beta-adrenergik agonis seperti epinefrin menghambat keluarnya mediator sel Mast, dimana
agonis kolinergik dan alfa-adrenergik meningkatkan pengeluaran mediator. Seperti contoh
lain dari hubungan kedua bentuk asma, kadang-kadang pada individu non-alergik timbul
serangan asma setelah minum aspirin. Walaupun aspirin dipertimbangkan sebagai
rangsangan non-imunologik yang menyebabkan asma intrinsik, efek dari bahan ini adalah
sebagai mediator melalui jalan asma arakhidonat dengan menghambat siklo-oksigenase,
dari mediator lekotrien. Dapat dikatakan bahwa asma menolak untuk mematuhi teori
patogenetik dengan lengkap.
Morfologi. Gambaran makroskopis yang penting dari asma yang berlanjut adalah:
(1)mukus penyumbat dalam bronki, (2) inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan
emfisema yang nyata, dan (3) kadang-kadang ada daerah bronkiektasis terutama dalam
kasus yang berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus,
yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi musin sering mengandung komponen
seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki
tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka
superinfeksi dan bronkitis harus diwapadai. Secara histologis, terdapat hiperplasia dari

14
kelenjar mukus, bertambah tebalnya otot polos bronkus dan hipertrofi dan hiperplasia dari
sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung epitel respirasi sering
ditemukan, ditambahkan dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit
peradangan yang agak banyak, dan terutama eosinofil terdapat pula mukasa yang edema.
Sumbatan dijalan udara mengandung: (1) gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein
yang membetuk spiral Curschmann, (2) eusinofil yang padat dengan kristal Charcot-
Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eusinofil, dan (4) debris
seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi kearah bronkitis.
Keadaan Klinik. Dengan dasar perubahan anatomi, seorang dapat mengharapkan
bahwa serangan asma ditandai dengan sesak dan berat yang berbunyi. Karena cabang
trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, kesulitan penting adalah dengan
ekspirasi. Penderita harus bekerja keras mengambil udara masuk keparu-paru, dan tidak
mudah keluar, sehingga terdapat hiperinflasi progresif paru, sehingga udara terperangkap
dibagian distal dari sumbatan mukus. Hasilnya adalah khas perpanjangan ekspirasi dengan
ekspirasi mengi.
Pada kasus yang biasa, serangan berlangsung dari satu sampai beberapa jam, dan
reda dengan spontan atau dengan terpai, biasanya bronkodilator. Interval antara serangan
adalah khas yaitu bebas dari kesulitan nafas, tetapi berkepanjangan, defisit pernafasan yang
tidak kentara dapat dideteksi dengan metode spirometri. Pembantu diagnosa klinik adalah
ditemukannya eosinofil, spiral Curschmann dan kristal Charcot-Leyden didalam dahak.
Keadaan obstruksi bronkus yang sebentar-sebentar dan fakta, bahwa efisema destruktif
jarang terjadi dengan asma tanpa komplikasi ini membedakan asma dengan penyakit paru
obstruktif menahun dari efisema kadang-kadang serangan yang berat terjadi beberapa hari
bahkan beberapa minggu (status asmatikus). Pada keadaan ini fungsi ventilasi dapat begitu
terganggu sehingga berakibat sianosis yang berat dan bahkan kematian. Namun ada bnayak
kasus, penyakit ini lebih menimbulkan ketidakmampuan daripada kematian. Bila terjadi
kematian, khas terjadi karena superinfeksi atau dari kegagalan pernafasan selama status
asmatikus.
d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis, yang menyebabkan atau
mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk, demam dan
dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau. Terjadi pada semua usia pada kedua jenis
kelamin, dan sering pada anak. Saat ini, terapi dengan antibakteri yang efektif,
pembentukan bronkiektasis biasnya secara lansung untuk gangguan yang mendasarinya.
Yang mengganggu keadaan fisiologi normal saluran udara yang menyebabkan penderita
rentan terhadap infeksi. Keadaan yang paling sering sebagai predisposisi pada
bronkiektasis pada negara maju. Pada negara berkembang, keadaan penting yang
menyertainya adalah terbalik dan kebanyakan kasus bronkietasis menyertai pneumonia
supuratif, tuberkolosis dan penyakit virus anak.
Patogenesis. Terpusat pada penyebab dari bronkiektasis ada dua proses: (1)
penyumbatan atau dilatasi abnormal dari bronkhi, dan (2) infeksi kronis yang persisten.
Yang mana dari proses ini yang terdahulu tidaklah jelas, tetapi mereka sangat erat
hubungannya. Pada penyumbatan atau dilatasi bronkhi, mekanisme bersihan normal
terganggu dan infeksi sekunder segera terjadi sebaliknya, infeksi kronis akan merusak
dinding bronkus yang menyebakan pelunakan dan dilatasi. Contohnya, penyumbatan
seperti ini juga terdapat pada karsinorma bronkogenik atau benda asing tidak hanya
menggangu sekresi bersihan, tetapi begitu udara disorbsi parenkim paru, hilangnya
dukungan pada saluran udara yang tersumbat, menyebakan dilatasi. Walaupun perubahan
ini dapat kembali reversibel, superinfeksi merusak dinding, dan penumpukan eksudasi
lebih melebarkan saluran udara menyebabkan dilatasi yang tidak revesibel. Sebaliknya,

15
keradangan nekrosis yang persisten dalam bronki atau bronkioli dapat menyebabkan
obstruksi sekret, peradangan pada dinding (dengan fibrosis peribronkial dan penarikan
parut pada dinding) dan akhirnya serentetan peristiwa yang telah digambarkan terjadi.
Pada kasus yang biasa, flora campuran dapat dibiakkan dari bronki yang terkena,
termasuk stafilokoki, streptokoki, pneumokoki, organisme usus, bakteri anaerob dan
mokroaerofilik, dan sering terutama pada anak, hemofilus influenza dan pseudomonas
aeruginosa. Yang mana dari ini. Yang mana dari ini yang patogen primer dan yang
sekunder saprofit, berjumlah jelas.
Morfologi. Keterlibatan dapat unilateral atau bilateral. Lobus bawah-terutama
lobus bawah kiri-adalah yang paling peka, tetapi lobus medius kanan dan lingua sering
juga terkena. Yang paling berat terlibat terletak pada bronki yang lebih kecil dan bronkioli.
Saluran udara ini mengalami dilatasi, kadang-kadang sampai empat kali ukuran normal dan
sering hampir sampai keluar kepermukaan pleura. Segmen yang mengalami dilatasi dapat
memanjang dan menyerupai pipa (silindroid), atau mereka mungkin fusiformi atau sakular
bentuknya. Kelainan anatomi terbaik ditemukan dengan melakukan irisan paru pada sudut
kanan sepanjang sumbu saluran udara yang terkena. Permukaaan irisan paru dapat
menunjukan suatu bentuk yang hampir kistik yang dibuat oleh bronkiolus yang mengalami
dilatasi luas dan penekanan pada parenkim paru. Lumen bronki yang terkena, khas terisi
dengan eksudat yang suparatif, hijau kekuningan kadang mengandung darah, apabila
terlepas, meningalkan suatu mukosa yang hijau kemerahan, nekrotik, edematosa, sering
ulseratif, apabila infeksi menyebar kepleura, seperti yang sering terjadi, menyebabkan
suatu pleuritis fibrinosa atau supuratifa.
Keadaan Klinik. Di dunia Barat, pada masa praantibiotik, bronkiektasis paling
sering terjadi pada dekade awal dari kehidupan, akibat dari beberapa bentuk pneumonia
intersisisal atau nekrosis yang berat kadang-kadang terjadi sebagai komplikasi dari infesi
anak seperti batuk rejan, morbili atau influenza. Adanya bronkiektasis ditandai dengan
batuk produktif dan kronis, dahak yang banyak sekali, berbau dan kadang mengandung
darah dan predisposisi arah infeksi parenkim yang kambuh. Kelanjutan bronkiektasis
kadang-kadang menyebabkan abses paru. Keadaan yang menguruskan, jari-jari tubuh,
amiloidosis sekunder dan kehidupan yang memendek adalah konsekuensi yang khas.
Bentuk penyakit ini masih menonjol pada penduduk dengan perawatan kesehatan yang
kecil. Dengan terapi antibakteri yang efektif dibeberapa negara, manifestasi menjadi lebih
ringan, tetapi masih ada batuk yang produktif, hemoptisis dan predisposisi infeksi pada
segmen paru yang terlibat. Batuk memburuk, bila penderita berbaring karena penumpukan
dari eksudat kerandang. Yang jarang saat ini adalah abses paru sekunder, “clubing”, dan
amiloidosis lebih jauh terapi medis yang efektif, kebersihan pernafasan dan reseksi bedah
telah memperpanjang kehidupan pada banyak kasus dimana rangsangan predisposisi dapat
dikendalikan. Walaupun demikian, pada anak dengan gangguan yang menyertainya seperti
fibrosis kritik imunodefesiensi berat, atau silia yang tidak bergerak, kematian karena
infeksi pogresif dapat erjadi sebelum umur 30 tahun.
3. Etiologi
Kerusakan paru-paru pada Chronic Obstructive Pulmonary Disease disebabkan oleh
emphysema ataupun chronic asthmatic bronchitis. Sebagian besar penderita chronic
obstructive pulmonary disease mengidap kedua penyakit tersebut. Chronic obstructive
pulmonary disease dipicu oleh rokok, debu, asap bahan kimia dari pabrik, dan polusi udara.
Faktor Resiko COPD / PPOK :
a. Terpapar asap rokok.
b. Terpapar asap, debu, dan bahan kimia di tempat kerja.
c. Umur. Penderita penyakit ini biasanya berumur di atas 40 tahun.

16
d. Faktor genetis. Kekurangan protein tertentu yang diturunkan dalam keluarga
membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit ini.
4. Patofisiologi
Onstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam tergantung
pada penyakit. Pada bronkhitis kronis dan bronkhiolitis, terjadi penumpkan lendir dan
sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi
pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang
disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru-paru. Protokol pengobatan tertentu
digunakan dalam semua kelainan ini, meski patofisiologgi dari masing-masing kelainan ini
membutuhkan pendekatan spessifik.
PpoM dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interraksi genetik dengan
lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan di tempat kerja merupakan faktor resiko
penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Proses dapat terjadi pada individu yang
tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh
jaringan tertentu.
PPOM merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan waktu
bertahun-tahununtuk menunjukan awitan gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru.
PPOM sering menjadi simpotamik selama tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat
sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru terteentu seperti
kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan penuaan
dan mengakibatkan usia, PPOM dapat memeperburuk perubahan funsi fisiologis yang
berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada
brokhitis serta kehilangan daya pengembangan paru misalnya pada emfisema. Oleh karena
itu, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien lansia dengan
PPOM.

5. Manisfestasi Klinis
Gejala gejala COPD meliputi:
a. Sesak nafas terutama setelah olah raga
b. Pada kasus yang berat penderita juga menderita sesak nafas saat istirahat
c. Wheezing: nafas bersuara tempo tinggi
d. Batuk
e. Batuk berdahak
f. Badan lemah dan tidak bertenaga
g. Cyanosis: Selaput bibir dan kulit berwarna kebiruan
h. Sangat mudah terjangkit infeksi pada paru paru.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pengukuran fungsi paru
1). Kapasitas inspirasi menurun
2). Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkhitis dan asma
3). FEV, selalu menurun= derajat obstruksi progrsif penyakit paru abnormal kronis.
4). FVC awal normal= menurun pada bronchitis dan asma.
5).TLC normal sampai meningkat sedang (pendominan pada emfisema)
b. Analisis gas darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH
normal,asidosis, alkalosis,repiratorik ringan sekunder.
c. Pemeriksaan laboratorium
1) Hemoglobin dan hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.

17
2) Jumlah darah merah meningkat
3) Eosinofil dan total IeG serum menngkat.
4) Pulse oksimetri=>SaO2 oksigenasi menurun.
5) Elektrolit menurun karena pemakain obat diuretic.
d. Pemeriksaan sputum
Pemerikaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen yang
biasa ditemukan adalah streptococcus pneumonia, hemophylusinfluenzae, dan moraxella
cattarallis.

e. Pemeriksaan radiologi thoraks foto (AP dan lateral)


Menunjuan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru
didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar, ruang udara retrosternal,
jantung tampak bergntung, menanjang dan menyempit.
f. Pmeriksaan bronkhogram
Menunjukan dilatasi bronchus, kolap bronkiale pada eksirasi kuat.
g. EKG
Keainan EKG yang paling awal adalah rotasi clockwise jantung, bila sudah terdapat
ke pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II,III dan aVF.
Voltare QRS rendah. Di VI rasio R/S lebih dari I dan di V6 V1 rasio R/S kurng dari 1.
Sering terdapat RBBB inkomplet.

7. Komplikasi
a. Infeksi paru paru
b. Pneumoni
c. Paru paru kolaps
d. Kelainan jantung
e. Osteoporosis
f. Depresi
g. Bengkak pada kaki dan pergelangannya

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Anamnesis
Dispnea adalah keluhan utama PPOM. Klien biasanya memounyai riwayat merokok
dan batuk kronis, bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat, adanya
riwayat alergi pada keluarga, adanya riwayat asma pada saat kanak-kanak.
Perawat perlu mengkaji riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi yang meliputi
alergi, stress emosional, penibngkatan aktivitas yang berlebih terpapar dengan polusi
udara, serta infeksi saliuran pernapasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang biasa
di minum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih releevan untuk
digunakan kembali.
Pengkajian opada tahap lanjut penyakit, didapatkan kadar oksigen yang rendah
(hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea). Klien rentan terhadap
reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi. Setelah infeksi terjadi, klien
mengalami mengi yang berkempanjangan saat ekspirasi.
Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal yang umum terjadi. Vena
jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Pada pengkaian yang dilakukan di
tangan. Sering di dapatkan adanya jari tubuhebagai dampak dari hipksima yang

18
berkempanjangan.
Sebagai pngkajian untk menentukan prediposisi penyakit yang mendasari, perawat
perlu merujuk kembali pada penyakit yan mendasari yaitu asam bronchial, bro nkitis
kronis, dan emisema pada pembahasan selanjutnya.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inpeksi
Pada klien dengan PPOM, terlibat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas, pada saat infeksi, biasanya dapat terlihat
klien mempunyai bentuk dada barrel chest aibat udara yang terperangkap, penipisan masa
otot, bernapas dngan bibir yang dirapatkan, dan ernapasan abnormal yang tidak efektif.
Pada tahap lanjut, dispea terjadi pada saat beraktifita bahkan pada aktifitas kehidupan
sehari-hari seperti makan dan mandi. Pngkajian batuk prouktif dengan demam
mengindikasikan adanya tanda petama infeksi pernapasan.
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkatankan dan taktif fremitus biasanya menurun.
c. Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hiersonor sedangkan dafragma
mendatar atau menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhil dan wheezing sesuai tingkat keparahan
obstruksi pada bronkhiolus.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan
sekresi, peningkatan pernapasan, dan proses penyakit.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya
bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan
batuk efektif.
c. Resiko tinggi infeksi pernapasan (pneumonia) yang berhubungan dengan
akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
d. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
e. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.
f. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurangnya sosialisasi,
kecemasan, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.
g. Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yangakan dilakukan dirumah.

4. Perencanaan Keperawatan
a. Rencana Intervensi
Tujuan utama bagi klien mencakup perbaikan dalam pertukaran gas, pencapaian
bersihan jalan napas, kemandirian dalam aktivitas perawatan diri, perbaikan dalam
kemampuan koping, kepatuhan pada program teraupetik dan perawatan di rumah, serta
tidak adanya komplikasi infeksi pernapasan tambahan seperti adanya pneumonia.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan brokhokontriksi,
akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi jalan napas kembali efektif,
ditandai dengan berkurangnya kuantitas dan viskositas sputum untuk memperbaiki
ventilasi paru dan pertukaran gas.

19
Kriteria evaluasi : Dapat menyatakan dan mendemonstrasikan batuk efektif, tidak ada
suara napas tambahan, wheezing (-), dan pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa
ada penggunaan obat bantu napas.
Rencana Intervensi Rasional
Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputu Karakteristik sputum dapat menunjukkan
berat ringannya obstruksi
Atur posisi semi fowler Meningkatkan ekspansi dada
Ajarkan cara batuk efektif Batuk yang terkontrol dan efektif dapat
memudahkan pengeluaransekret yang
melekat pada jalan napas
Bantu klien latihan napas dalam Ventilasi maksimal membuka lumen jalan
napas dan meningkatkan gerakan sekret ke
dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan
Pertahankan intake cairan sedikitnya Hidrasi yang adekuat membantu
2500ml/ hari kecuali tidak diindikasikan mengencerkan sekret dan mengefekifkan
pembersihan jalan napas
Lakukan fisioterapi dada dengan teknik Postural drainase dengan perkusi dan vibrai
postural, drainase, perkusi, dan fibrasi menggunakan bantuan gaya gravitasi untuk
dada membantu menaikkan sekresi sehingga
dapat dikeluarkan atau diisap dengan
mudah. Terapi aerosol, bronkodilator
aerosolisasi, atau tidakan pernapasan
tekanan positif intermiten (IPPB), harus
diberikan sbelum postural drainase karena
sekresi akan mengalir lebih mudah setelah
percabangan trakeobronkhialberdilatai.
Klien diinstruksikan bernapas dan batuk
efektif untuk membantu mengeluarkan
sekresi. Postural drainase biasanya
dilakukan ketika klien bangun, untuk
membuang sekresi yang telah terkumpul
sepanjang malam dan sebelum istirahat,
utnuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
tidur
Kolaborasi peberian obat : Pemberian bronkodilator via inhalansi akan
Bronkodilator langsung menuju ara bronkhus yang
Nebulizer (via inhalansi) dengan golongan mengalami spasme sehingga lebih cepat
terbutalisme 0,25 mg. Fenoterol HBr 0,1% berdilatasi.
solution, orcipenaline sulfur 0,75 mg
Agen mukolitik dan ekspektoran Agen mukolitik menurunkan kekentalan
dan perlengketan sekret paru serta
memudahkan pembersihan
Kortikosteroid Kortikosteroid berguna dengan keterlibatan
luas pada hipoksemia menurunkan reaksi
inflamasi akibat edema mukosa dan
dinding bronkhus

Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO 2, peningkatan


sekresi, peningkatan pernapasan dan proses penyakit

20
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi pertukaran gas membaik.
Kriteria evaluasi : Frekuensi napas 16-20 x /menit, frekuensi nadi 70-90 x /menit, dan
warna kulit normal, tidak ada dispnea dan GDA dalam batas normal
Rencana Intervensi Rasional
Kaji keefektifan jalan napas Bronkhospasme dideteksi ketika terdengar
mengi saat diauskultasi dengan stetoskop.
Peningkatan pembntukan mukus sejalan
dengan penurunan aksi mukosiliaris
menunjang penurunan lebih lanjut
diameter bronkhidan mengakibatkan
penurunan aliran udara serta penurunan
pertukaran gas, yang diperburuk oleh
kehilangan daya elasitisitas paru
Kolaborasi untuk pemberian bronkodilator Terapi aerosol membantu mengencerkan
secara aerosol sekresi sehingga dapat dibuang.
Bronkodilator yang sering dihirup sering
ditambahkan ke dalam nebulizer untuk
memberikan aksi bronkodlator langsung
pada jalan napas, dengan demikian
memperbaiki ventilasi paru dan dengan
demikian mengurangi keletihan yang
menyertai aktivitas makan
Melakukan fisioterapi dada Setelah inhalansi bronkodilator nebulizer,
klien disarankan untuk meminum air putih
untuk lebih mengencerkan sekresi,
kemudian membatukkan dengan ekspulsif
dan posturaldrainase akan membantu
dalam pengeluaran sekresi. Klien dibantu
untuk melakukan hal ini dengan cara yang
tidak membuatnya keletihan
Kolaborasi untuk pemantauan analisi gas Sebagai bahan evaluasi setelah melakukan
arteri intervensi
Kolaborasi pemberian oksigen via nasal Oksigen diberikan ketika terjadi
hipoksemia. Perawat harus memantau
kemanjuran terapi oksigen dan memastikan
bahwa klien patuh dalam menggunakan
alat pemberi oksigen. Klien diinstruksikan
tentang pengguanaan oksigen yang tepat
dan tentang bahaya peningkatan laju aliran
oksigen tanpa ada arahan yang eksplisit
dari perawat

Risiko tinggi infeksi pernapasan (pneumonia) yang berhubungan dengan


akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif
Tujuan : Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan untuk memungkinkan penyembuhan aksi silians normal. Infeksi
pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru
normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria evaluasi : Frekuensi napas 16-20x /menit, frekuensi nadi 70-90 x /menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.

21
Rencana Intervensi Rasional
Kaji kemampuan batuk klien Batk yang berkaitan dengan infeksi
bronkhial memulai siklus yang ganas
dengan trauma dan kerusakan pada paru
lebih lanjut, kemajuan gejala, peningkatan
bronkhospase,dan peningkatan lebuh
lanjut, terhadap kerentanan infeksi
bronkhial. Infeksi mengganggu fungsi paru
dan merupakan penyebab umum gagal
napas pada klien dengan PPOM

Monitor adanya perubahan yang mengarah Klien diinstruksikan untuk melapor dengan
pada tanda-tanda infeksi pernapasan. segera jika sputum mengalami perubahan
warna, karena pengeluaran sputum purulen
atau perubahan karakter, warna, atau
jumlah adalah tanda dari infeksi.Segala
gejala yang memburuk ( peningkatan
kesesakan di dada, peningkatan dispnea,
dan keletihan) juga menandakann infeksi
dan harus dilaporkan, infeksi virus sangat
berbahaya bagi klien ini karena infeksi ini
terlalu sering disertai oleh infeksi yang
disebabkan oleh organism seperti S.
Pneumonia dan H. Influenza.
Ajarkan latihan bernapas dan training Latihan bernapas. Sebagian besar individu
pernapasan. dengan PPOM bernapas dalam dari dada
bagian atas dengan cara yang cepat dan
tidak efisien. Jenis bernapas dengan dada
atas ini dapat diubah menjadi bernapas
diafragmatik dengan latihan.
Training pernapasan diagfragmatik
mengurangi frekuensi pernapasan,
meningkatkan ventilasi alveolar, dan
kadang membantu mengeluarkan udara
sebanyak mungkin selama ekspirasi.
Bernapas dengan bibir yang dirapatkan
melambatkan ekspirasi, mencegah kolaps
unit paru, dan membantu klien untuk
mengendalikan frekuensi serta kedalaman
pernapasan dan untuk rileks, yang
memungkinkan klien untuk mencapai
control terhadap dispnea dan pernapasan
panic.

22
Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.
Tujuan: Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan untuk memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi
pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru
normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria evaluasi: frekuensi napas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.

Rencana intervensi Rasional


Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi
melakukan aktivitas selanjutnya.
Atur cara beraktivitas klien Klien dengan PPOM mengalami penurunan toleransi
sesuai kemampuan. terhadap olahraga pada periode yang pasti dalam satu
hati. Hal ini terutama tampak nyata pada saat bangun
di pagi hari, karena sekresi bronchial dan edema
menumpuk dalam paru selama malam hari ketika
individu berbaring. Klien sering tidak dapat mendi
dan mengenakan pakaian. Aktivitas yang
membutuhkan mengangkat lengan ke atas setinggi
thoraks dapat menyebabkan keletihan atau distress
pernapasan. Aktivitas ini mungkin akan dapat di
toleransi lebih baik setelah klien bangun daan
bergerak-gerak sebentar sekitar setengah jam atau
lebih. Karena keterbatasan ini, klien harus ikut serta
dalam perencanaan aktivitas perawatan diri dengan
perawat dan dalam menentukan waktu yang palling
tepat untuk mandi dan berpakaian. Minuman hangat
saat bangun, dibarengi dengan pernapasan
diafragmatik, akan membantu untuk mengeluarkan
sekresi dan akan mempersingkat periode kesulitan
yang dialami saat bangun pagi.
Ajarkan latihan otot-otot Setelah klien mempelajari pernapasan diagframatik,
pernapasan. suatu program pelatihan otot-otot pernapasan dapat
diberikan untuk membantu menguatkan otot-otot
yang digunakan dalam bernapas. Program ini
mengharuskan klien bernapas terhadap suatu tahanan
selama 10-15 menit setiap hari. Resisten secara
bertahap ditingkatkan dan otot-otot menjadi
terkondisi lebih baik. Mengondisikan otot-otot
pernapasan membutuhkan waktu yang lama dank
lien diinstruksikan untukk melanjutkan latihan di
rumah.

Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di


rumah
Tujuan: klien dan keluarga mengetahui intervensi mandiri dalam melakukan perawatan
di rumah.
Kriteria evaluasi: klien dan keluarga mampu mengulang apa yang telah diajarkan.

23
Rencana intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan klien Menjadi data dasar bagi perawat untuk menjelaskan
dan keluarga tentang perawatan sesuai tingkat pengetahuan yang dimiliki.
rumah.
Tetapkan tujuan realistik Kien dengan PPOM dapat memperbaiki kualitas
hidupnya dengan mengetahui tentang proses
penyakit yang dialaminya. Salah satu factor-faktor
penyuluhan utama adalah penjelasan tentang
pentingnya penetapan; dan penerimaan tujuan jangka
pendek dan jangka panjang yang realistic. Jika klien
sangat kesuitan, objektif dari pengobatan adalah
untuk memulihkan fungsi paru sebelumnya dan
menghilangakan gejala-gejala sebanyak mungkin.
Jika penyakitnya ringan, objektifnya adalah untuk
meningkatkan toleransi latihan dan mencegah
kehilangan fungsi parulebih jauh. Tujuan dan
perkiraan tentang pengobatan harus dibicarakan dan
direncanakan bersama klien. Klien dan mereka yang
memberikan perawatan harus sabar untuk mencapai
tujuan.
Hindari perubahan suhu yang Klien diinstruksikan untu menghindari panas atau
ekstrim dingin yang ekstrem. Panas meningkatkan suhu
tubuh, karenanya meningkatkan kebutuhan oksigen
tubuh; dingin cenderung meningkatkan
bronkhospasme.
Anjurkan agar klien untuk Merokok menekan aktivitas sel-sel pemangsa
berhenti merokok (makrofag) dan memengaruhi mekanisme
pembersihan siliaris dari saluran pernapasan, yaitu
fungsi untuk menjaga saluran pernapasan bebas dari
iritan, bakteri, dan benda asing lainnya yang terhirup.
Fungsi ini merupakan salah satu mekanisme
pertahanan utama tubuh. Jika mekanisme
pembersihan ini rusak karena merokok, aliran udara
menjadi tersumbatdan udara menjadi terjebak dibalik
jalan napas yang tersumbat. Distensi alveoli sangat
melebar dan kapasitas paru menghilang. Merokok
juga mengiritasi sel-sel goblet dan kelenjar mukosa,
menyebabkan peningkatan akumulasi lender.
Akumulasi lender menyebabkan iritasi lebih lanjut,
infeksi, dan kerusakan pada paru.

Evaluasi Hasil yang Diharapkan


1. Menunjukan perbaikan pertukaran gas dengan menggunakan bronkodilator dan
terapi oksigen
a. Tidak menunjukan tanda-tanda kegelisahan, konfusi, atau agitasi.
b. Hasil pemeriksaan gas darah arteri stabil tetapi tidak harus nilai-nilai yang
normal karena perubahan kronis dalam kemampuan pertuaran gas dari paru.
2. Mencapai bersih jalan napas.

24
a.Berhenti merokok
b.Menghindari bahan-bahan yang merangsang dan suhu yang ekstrem
c.Meningkatkan intake cairan hingga 6-8 gelas sehari
d.Melakukan postural drainase dengan benar
e.Mengetahui tanda-tanda awal terjadinya infeksi dan waspada terhadap
pentingnya melaporkan tanda-tanda ini jika terjadi
3. Memperbaiki pola pernapasan
a. Berlatih dan menggunakan pernapasan diafragma dan bibir yang dirapatkan
b. Menunjukkan penurunan tanda-tanda upaya bernapas.
4. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam batasan toleransi
a. Mengatur aktivitas untuk menghindari keletihan dan dispnea

KETRAMPILAN KEPERAWATAN
WSD ( Water Seal Drainase)
1. Ketrampilan Wsd (Water Seal Drainase)
A. Pengertian
Drainase toraks merupakan metoda yang penting untuk mencegah dan mengobati
kolaps dari paru-paru. Keadaan ini dapat timbul karenaobstruksi bronkial akibat
sekresi karena tekanan oleh udara, cairan, darah, dan pus. Kendati terdapatberbagai
metode yang diperlukan untuk kedua sebab, kedua tipe tersebut dapat terjadi secara
bersama, misalnya pneumotoraks yang menyebabkan kolaps parsial dari paru-paru
akibat kompresi (pasif) dapat di ikuti oleh drainase bronkial yang adekuat. Sekresi
yang meningkat tidak dapat diabsorpsi sehingga menyebabkan terjadinya kolaps
paru-paru. Kavum pleura kemudian harus di aspirasi atau di drainase. Jika
diperlukan adanya drainase, maka digunakan WSD. Seal mencegah masuknya
udara melalui susunan drainase dan memungkinkan paru-paru mengembang.
Udara, darah, atau eksudat lainnya akan di drainase.

B. Tujuan
Drainase pleura dilakukan dengan alasan sebagai berikut
1. Drainase dilakukan secara rutin setelah pembedahan toraks untuk mencegah
terjadinya tegangan akibat penumotoraks.
a. Jika jaringan paru-paru dipotong dan udara dari permukaan yang terpotong
tetap bocor.
b. Untuk mempermudah drainase jika terdapat kemungkinan terjadinya
pendarahan pada area yang luas saat masa pascaoperasi.

25
c. Mempermudah drainase jika esofagus dibuka dan kemungkinan terjadinya
kontaminasi atau kebocoran dari garis jahitan.
2. Mempermudah drainase setelah cedera ketika ditemukan hemotoraks atau
pneumotoraks
3. Untuk mengurangi tegangan pneumotoraks setelah suatu pneumotoraks spontan
4. Untuk mengurangi empiema
5. Terapi : drainase cairan dan udara pada rongga pleura
6. Pemantauan : untuk mengetahui fungsi paru dan menentukan perlu/tidaknya
tindakan pembedahan toraks.
C. Indikasi Pemasangan Selang Dada
1. Pneumotoraks > 20%
2. Pneumotoraks < 20%
3. Hematoraks
4. Hematopneumotoraks
5. Empiema toraks
6. Fluidotoraks yang tidak dapat diatasi dengan tindakan punksi
7. Pascatorakomi
D. Jenis sistem WSD (Water Seal Drainase)
1. Sistem WSD 1 botol
2. Sistem WSD 2 botol
3. Sistem WSD 3 botol
Ketiga sistem tersebut dapat digunakan dengan atau tanpa pengisapan (suction)
yang kontinu. Selain mempunyai kegunaan yang sangat baik, pemasangan selang dada
dengan WSD juga mempunyai berbagai kemungkinan komplikasi, seperti berikut :
1. Peradangan pleura
2. Hematoma paru-paru dan dinding dada
3. Tension pneumotoraks
4. Kegagalan pengambangan paru
5. Infeksi

2. Persiapan Alat
a) Perlak
b) Pengalas
c) Bengkok
d) Klem selang
e) Kasa steril
f) Betadine
g) Plester
h) Cairan disinfektan
i) Botol WSD
3. Persiapan Klien
a. Jelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan
b. Berikan klien posisi senyaman mungkin dengan posisi semifowler

26
4. Prosedur Kerja
Prosedure kerja
1. Berikan kesempatan pada klien untuk bertanya sebelum kegiatan dilakukan
2. Menanyakan keluhan utama klien
3. Jaga privasi klien
4. Atur posisi tidur klien semifowler dengan posisi kepala mengarah berlawanan
dengan letak selang dada
5. Letakan pengalas perlak dan alasnya di bawah punggung klien sesuai dengan
letak selang dada
6. Dekatkan bengkok pada dada klien
7. Periksa balutan luka pada insersi selang terhadap adanya rembesan cairan
8. Periksa alat WSD dan yakinkan alat tersebut berfugsi baik (rusak/pecah/cairan
dalam botol tumpah)
9. Periksa selang dada terhadap kebocoran terutama pada daerah konektor dan
kemungkinan selang tertekuk/terpelintir.
10. Cek produk drainase (warna/jumlah/dan lain lain)
11. Anjurkan klien untuk latihan tarik napas panjang sebanyak 5 kali
12. Lakukan klem pada selang dada selama perawatan
13. Lepaskan balutan dan cek daerah insersi
14. Bersihkan luka dengan kasa betadine di bagian insersi dan selang dada
sepanjang 10 cm. Bersihkan dengan kasa kering dan tutup dengan kasa steril.
Hati-hati terhadap benang jahitan jangan sampai tertarik simpulnya
15. Lakukan fiksasi selang dada dengan baik dan benar
16. Buka klem selang dada dan yakinkan alat WSD berfungsi kembali
17. Ganti botol WSD dan cairan disinfektan jika diperlukan
18. Rapikan kembali alat yang dipakai
19. Rapikan posisi klien

27
RANGKUMAN

Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) merupakan sejumlah


gangguan yang memengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru.
Gangguan yang penting adalah bronkhitis obstruksiemfisema dan asama
bronkhial.
Kerusakan paru-paru pada Chronic Obstructive Pulmonary Disease
disebabkan oleh emphysema ataupun chronic asthmatic bronchitis. Sebagian
besar penderita chronic obstructive pulmonary disease mengidap kedua
penyakit tersebut. Chronic obstructive pulmonary disease dipicu oleh rokok,
debu, asap bahan kimia dari pabrik, dan polusi udara.
Faktor Resiko COPD / PPOK :
a. Terpapar asap rokok.
b. Terpapar asap, debu, dan bahan kimia di tempat kerja.
c. Umur. Penderita penyakit ini biasanya berumur di atas 40 tahun.
d. Faktor genetis. Kekurangan protein tertentu yang diturunkan dalam
keluarga membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit ini.

PENUTUP

LATIHAN BAB I

1. Pada kasus PPOK terdapat pasien yang mengalami gangguang pernapasan


berupa bronkospasme dengan auskultasi berupa mengi, peningkatan produksi
mokus (lendir) mengakibatkan penurunan jalan napas dan penurunan
pertukaran gas. Untuk itu, perawat sebaiknya memantau pasien jika beresiko
dipsnea dan hipoksemia dalam pemasangan bronkodilator, perawat juga harus
memperhatikan efek samping pada klien dan membatasi toleransi aktivitas
klien. Diagnosis keperawatan utama yang di terapkan yakni :
a. Ketidakefektifan pola napas
b. Gangguan ventilasi spontan
c. Ketidakefektifan jalan napas
d. Resiko intoleransi aktivitas
e. Gangguan pertukaran gas

28
2. Pada proses rehabilitasi paru-paru untuk pasien PPOK sangat di sarankan
untuk mengoptimalisasi fungsi dari pernapasan. Tujuan utama dari rehabilitasi
ini ialah mengurangi tanda dan gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan
meningkatkan kemampuan fisik dan emosional pasien. Berikut ini merupakan
tahapan rehabilitasi pasien PPOK kecuali .......................
a. Edukasi Pasien
b. Latihan pernapasan
c. Terapi oksigen
d. Self-care activities
e. Terapi keluarga
3. Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda
fisik hambatan aliran uadara biasanya tidak muncl hingga terdapat keresahan
yang bermakna dari fungsi paru muncul dan deteksi memiliki nilai sensitivitas
dan spesivisitas yang rendah. Pada inspeksi pasien PPOK dapat ditemukan
tanda-tanda di bawah ini,kecuali
a. Bentuk dada “Barel-Shaped”
b. Sentral cianosis
c. Takipnea
d. Edema tungkai bawah
e. Mengi
4. Pada pasien PPOK terdapat gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa
lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas
hidup pasien. Hasil spirometri menunjukan VEP/KVP<70% dan VEP 1 30%-
50% nilai prediksi. Dari gejala di atas maka dapat disimpulkan bahwa pasien
termasuk ke dalam PPOK stadium......
a. Kronik
b. Ringan
c. Sedang
d. Berat
e. Sangat berat
5. Jika anda menderita PPOK, langkah apakah yang harus anda lakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan memperlambat progres penyakit ....
a. berhenti merokok dan menghindari menjadi perokok pasif
b. menjauhi iritan-iritan paru seperti polusi udara, debu, dan sebagainya
c. melakukan posisi duduk fowler
d. A dan B benar
e. B dan C benar

KUNCI JAWABAN

1. C
2. E
3. E
4. D
5. D

29

Anda mungkin juga menyukai