Anda di halaman 1dari 10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
2. Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain:
 persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea
 PPI spontan dengan selaput amnion utuh
 PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam
atau melalui seksio sesarea.
Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara
spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban
pecah dini (Harry dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada
wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion
utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini
sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15%
terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada
usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan
angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).

3. Etiologi
4. Patogenesis
Persalinan preterm diduga sebagai sebuah sindrom yang dipicu oleh berbagai
mekanisme, mekanisme pasti masih belum diketahui dengan pasti pada berbagai
kasus, sehingga berbagai faktor dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm
tetapi jalur mekanismenya masih dicari (Matthew dkk, 2015)
Beberapa ahli telah mengelompokkan penyebab terjadinya persalinan
preterm, secara umum yaitu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut
 Mekanisme Akibat Pencetus Stress dan HPA Axis
Mekanisme akibat adanya stres fisik maupun psikologi menyebabkan aktivasi
prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan
terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya
insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada
ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon
Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic
Hormone (ACTH), prostaglandin, Reseptor oksitosin (OTR), Matrix
metaloproteinase (MMP), interleukin-8, Cyclooksigenase-2,
Dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta dan pembesaran
kelenjar adrenal (Gayatri dkk, 2013).

Gambar 1. Mekanisme Persalinan Preterm akibat pencetus stress dan HPA Axis Ibu dan
janin. COX-2: Cyclooxygenase 2, MLCK: Myosin light chain kinase, OTR: Oxytocin
receptors, PG: Prostaglandin, PGDH: Prostaglandin dehydrogenase
 Mekanisme Akibat Infeksi
Hasil penelitian hewan secara in vitro dan manusia memberikan gambaran yang
konsisten bagaimana infeksi bakteri menyebabkan persalinan prematur spontan
(Gambar 2). Invasi bakteri rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan
endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk
menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk Tumor necrosis factor, Interleukin-1,
Interleukin-1ß, Interleukin-6, Interleukin-8, dan Granulocyte Colony-Stimulating
Factor (Gambar 3). Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan exotoxins merangsang
sistesis prostaglandin dan pelepasan dan juga mengawali neutrophil chemotaxis,
infiltrasi, dan aktivasi, yang memuncak dalam sistesis dan pelepasan
metalloprotease dan zat bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsang kontraksi
uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang
menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam
serviks dan melembutkannya (Goldenberg dkk, 2000).

Gambar 2. Mekanisme seluler dan biokimia yang terlibat dalam inisiasi persalinan premature
pada infeksi intrauterine
 Mekanisme Prostaglandin Dehydrogenase (PGDH)
Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai contoh,
prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi
prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai
miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik menurunkan aktivitas
dehidrogenase ini yang memungkinkan peningkatan kuantitas prostaglandin untuk
mencapai miometrium. Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan
prematur melibatkan janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan
hipotalamus fetus dan produksi corticotropin releasing hormone menyebabkan
meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang kembali meningkatkan produksi
kortisol adrenal fetus. Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya
produksi prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin
fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang (Gambar 3). Namun,
kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan
keseluruhan tidak diketahui (Goldenberg dkk, 2000).

Gambar 3. Mekanisme kolonisasi bakteri koriodesidua pada persalinan prematur

 Mekanisme Perdarahan Plasenta


Mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan plasenta dengan ditemukannya
peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan kontraksi miometrium.
Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari faktor
pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin menjadi
trombin dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi kontraksi
myometrium (Gambar 4) (Gayatri dkk, 2013).

Gambar 4. Mekanisme terjadinya persalinan premature pada perdarahan plasenta. ECM:


Extracellular matrix, MMP: Matrix Metallo Proteinase, PAI-1: Plasminogen activator
inhibitor 1, tPA: Tissue-type plasminogen activator, uPA: Urokinase plasminogen
activator
 Mekanisme Peregangan Uterus
Mekanisme peregangan berlebihan dari uterus yang bisa disebabkan oleh
kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang disebabkan oleh
kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh
IL-8, prostaglandin, dan COX-2 (Gayatri dkk, 2013).
Gambar 5. Mekanisme untuk semua persalinan premature
5. Manifestasi
6. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor
rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan, gas dan PH
darah janin.
 USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas biofisik,
cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba dan kelainan
uterus.
Oligohidramnion : berhubungan dengan korioamnionitis dan koloni bakteri pada
amnion.
Penipisan serviks : bila ketebalan serviks < 3 cm (USG), dapat dipastikan akan
terjadi persalinan preterm.
Kardiotokografi : kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi
Sonografi seviks transperineal dapat menghindari manipulasi intravagina terutama
pada kasus KPD dan plasenta previa
(Wiknjosastro, 2010).
7. Diagnosis
8. Diagnosis Banding ???
9. Tatalaksana
10. Komplikasi

 Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987) menyatakan
bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita anmionitis memiliki risiko
mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres pernafasan, sepsis neonatal,
necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler 3 kali lebih besar
 Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin).
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa bernafas
dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi oleh udara dan
tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang
disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi menurunkan
tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan
dalam jumlah yang memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka.
Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis, akibatnya terjadi
Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa menyebabkan kelainan lainnya
dan pada beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada bayi diberikan oksigen; jika
penyakitnya berat, mungkin mereka perlu ditempatkan dalam sebuah ventilator
dan diberikan obat surfaktan (bisa diteteskan secara langsung melalui sebuah
selang yang dihubungkan dengan trakea bayi).
 Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau serangan
apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi prematur juga
memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu (henti
nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk
mengurangi mengurangi frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan.
Jika oksigen maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang
sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau cedera .
 Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian
makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan membatasi
jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu
banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran
kecil mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga
pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.
 Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
 Displasia bronkopulmoner.
 Penyakit jantung.
 Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara), yang
dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi
hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan
akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.
 Infeksi atau septikemia.
 Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna. Mereka
belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya melewati plasenta.
Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi. Bayi
prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi (peradangan pada
usus).
 Anemia .
 Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa
tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
 Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
 Keterbelakangan mental dan motorik.
(Harry dkk, 2010).
11. Pencegahan
12. Prognosis
Menurut Harry dkk (2010), prognosis yang dapat terjadi pada persalinan
prematuritas adalah:
 Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi premature
 Gangguan respirasi
 Rentan terhadap kompresi kepala karena lunaknya tulang tengkorak dan
immaturitas jaringan otak
 Perdarahan intracranial 5 kali lebih sering pada bayi prematur dibanding bayi
aterm
 Cerebral palsy
 Terdapat insidensi kerusakan organik otak yang lebih tinggi pada bayi premature
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono


Prawirohardjo.

2. Harry O, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human Labor and
Birth). Yogyakarta : YEM.

3. Matthew, J dkk. 2015 "Identification of a gene in Mycoplasma hominis associated with


preterm birth and microbial burden in intra-amniotic infection." Am J Obstet Gynecol : 1-13.

4. Gayatri, dkk. 2013. "Endocrinology of Parturition." Indian Journal of Endocrinology and


Metabolism. Vol.17, No.1, pp. 50-59.

5. Goldenberg, Robert L, Hauth JC, Andrews WW. 2000. "Intrauterine Infection and Preterm
Delivery." The New England Journal of Medicine.Mechanisms of Desease : 1500-1507.

Anda mungkin juga menyukai