Anda di halaman 1dari 12

Nama : Vit Joshua Putra Semester VIII (delapan)

Kelas : A-1 (NPM 41151010150005)


Mata Kuliah : Kapita Selekta Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu : Dani Durahman, S.H., M.H.

 Soal :

Buat analisis apakah anda setuju Undang-Undang Dasar 1945

yang sudah di amandemen sebanyak 4 (empat) kali sekarang ini di

kembalikan ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli (yang pertama

kali di buat)? Atau setuju tetap di amandemen yang ke-4 sekarang?

Atau setuju ke amandemen yang ke-5?

 Jawaban analisis :

Menurut hemat saya, saya lebih setuju dengan Undang-Undang

Dasar 1945 yang sekarang (yang sudah di amandemen sebanyak 4

(empat) kali) atau apabila akan di amandemen untuk ke-5 kalinya dan

seterusnya, saya juga setuju.

Tetapi apabila dikembalikan ke UUD 1945 yang semula (pertama

kali di buat), saya pribadi tidak setuju.

Mengapa demikian? Karena apabila UUD 1945 dikembalikan ke

UUD 1945 yang pertama kali di buat, maka lembaga-lembaga Negara

yang baru muncul setelah UUD 1945 mengalami amandemen

beberapa kali, seperti di antaranya Mahkamah Konstitusi (Pasal III

aturan peralihan : “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya

pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya

dilakukan oleh Mahkamah Agung.”/amandemen ke-4 UUD 1945),

Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C ayat (1) s/d (4) amandemen ke-3

UUD 1945), dan Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat (1) s/d (4) amandemen
ke-3 UUD 1945), lembaga-lembaga baru tersebut akan hilang apabila

UUD 1945 dikembalikan ke yang pertama kali di buat.

Kemudian, saya juga ingin sedikit menyinggung soal teori Konstitusi

rigid dan flexible, serta determinasi politik dan hukum.

Flexible atau rigid adalah sifat suatu Konstitusi, yang dalam bahasa

Indonesia dapat diterjemahkan dengan luwes atau kaku.

Menentukan suatu Konstitusi bersifat flexible atau rigid dapat

dipakai ukuran sebagai berikut:

1. Cara merubah Konstitusi

2. Apakah Konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan

zaman.

Ad.1.Cara merobah Konstitusi.

Setiap Konstitusi yang tertulis mencantumkan pasalnya tentang

perobahan. Hal ini disebabkan karena suatu Konstitusi, walaupun ia

dirancangkan untuk jangka waktu yang lama, selalu akan tertinggal dari

perkembangan masyarakat, sehingga pada suatu saat kemungkinan

perkembangan itu terjadi, maka Konstitusi itu perlu dirobah. Suatu

Konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang

merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya. Karena

tingkatannya yang lebih tinggi, dan juga yang menjadi dasar bagi

peraturan-peraturan hukum lainnya, maka pembuat Konstitusi

menetapkan cara perobahan yang tidak mudah, dengan maksud agar

tidak mudah pula orang merobah hukum dasarnya. Kalau memang


suatu perobahan diperlukan, maka perobahan itu harus benar-benar

dianggap perlu oleh rakyat banyak. Tetapi sebaliknya ada pula

Konstitusi yang mensyaratkan perobahan tidak seberat seperti cara di

atas, dengan pertimbangan bahwa, perkembangan tidak perlu

mempersulit perobahan Konstitusi. Konstitusi yang demikian sifatnya

flexible, karena untuk perobahannya tidak memerlukan cara yang

istimewa, cukup dilakukan oleh badan pembuat Undang-Undang biasa.

Sebaliknya ada pula Konstitusi yang menetapkan syarat perobahan

dengan cara yang istimewa, umpamanya perobahan itu harus disetujui

lebih dahulu oleh kedua perwakilannya. Konstitusi itu bersifat rigid.

Negara-negara yang mempunyai Konstitusi yang bersifat flexible

umpamanya New Zealand, dan Inggeris (Konstitusi yang tidak tertulis),

sedangkan Konstitusi yang sifatnya rigid, terdapat antara lain di

Amerika Serikat, Australia, Canada, dan Swiss.

Ad.2.Apakah Konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan

masyarakat.

Menentukan sifat flexible atau rigid suatu Konstitusi dari segi cara

merobah Konstitusi, tidak seluruhnya tepat. Sebab dapat saja suatu

Konstitusi sifatnya rigid, tetapi dalam kenyataannya dapat dirobah

tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh Konstitusi yang

bersangkutan yaitu dengan Convention. Resminya sesuatu pasal dalam

Konstitusi itu masih berlaku, tetapi praktek ketatanegaraan sudah tidak


memakai pasal tersebut. Umpamanya mengenai pemilihan Presiden di

Amerika Serikat. Pasal 2 dari Konstitusi Amerika Serikat sekarang tidak

lagi dijalankan –walaupun secara resmi belum pernah dinyatakan tidak

berlaku– karena presiden Amerika Serikat dipilih langsung oleh rakyat,

dari calon yang dipilih oleh partai politik yang bersangkutan melalui

convention partai tersebut, yang oleh Bernard Schwartz disebut

sebagai “a Wholly extra constitutional manner”.

Pada akhirnya yang menentukan perlu atau tidaknya suatu

Konstitusi dirobah adalah kekuatan politik yang berkuasa pada suatu

waktu. Betapapun rigidnya suatu Konstitusi, namun apabila kekuatan

politik yang berkuasa pada waktu itu menghendaki Konstitusi itu perlu

dirobah, maka Konstitusi itu akan dirobah. Akan tetapi sebaliknya

walaupun Konstitusi itu mudah berobah, namun jika kekuatan politik

yang berkuasa tidak menghendaki adanya perobahan, Konstitusi itu

tetap tidak akan berobah.

Jadi diukur dari segi yang pertama, apakah suatu Konstitusi itu

flexible atau rigid, tidak dapat ditentukan dengan pasti. Karena itu untuk

menentukan sifat tersebut, dapat pula dipakai ukuran yang kedua yaitu

dengan mengajukan pertanyaan apakah Konstitusi itu mudah atau tidak

mudah mengikuti perkembangan zaman? Kalau Konstitusi itu mudah

mengikuti perkembangan zaman maka Konstitusi itu bersifat flexible,

dan sebaliknya kalau tidak mudah mengikuti perkembangan zaman

maka Konstitusi itu sifatnya rigid. Suatu Konstitusi yang hanya


mengatur hal-hal yang pokok adalah Konstitusi yang mudah mengikuti

perkembangan masyarakat, sebab peraturan lebih lanjut dari hal-hal

yang pokok tersebut diserahkan kepada peraturan perundangan yang

lebih rendah, yang lebih mudah dibuat dan dirobahnya. 1)

Bagaimana halnya dengan Undang-Undang Dasar 1945? Apakah

ia bersifat flexible ataukah rigid? Dilihat dari pasal 37 yang menentukan

persyaratan tentang perobahan Undang-Undang Dasar, yaitu bahwa

2/3 dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan 2/3

dari yang hadir harus menyetujui perobahan tersebut, maka Undang-

Undang Dasar 1945 dapat digolongkan kepada Konstitusi yang sifatnya

rigid. Kendatipun demikian dilihat dari kekuatan yang ada di Majelis

Permusyawaratan Rakyat sekarang, rasanya tidaklah terlalu sulit untuk

mencapai quorum 2/3 x 2/3. Kenyataannya kekuatan politik yang

berkuasa tidak menghendaki adanya perobahan, dan dengan demikian

maka Undang-Undang Dasar 1945 tetap bersifat rigid.

Sebaliknya kalau dilihat dari sudut Undang-Undang Dasar 1945

hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, dan pengaturan selanjutnya

diserahkan kepada peraturan perundangan yang lebih rendah

derajatnya, maka Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Konstitusi

yang mudah mengikuti perkembangan masyarakat, dan dengan

1)
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, Jakarta,
1983, hlm. 75-77.
demikian maka Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Konstitusi yang

sifatnya flexible.2)

Jika di dengar secara sekilas pernyataan “hukum sebagai produk

politik” dalam pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan

tersebut memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang

ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tataran ide atau cita hukum, lebih-

lebih di Negara yang menganut supremasi hukum, politiklah yang harus

diposisikan sebagai variable yang terpengaruh (dependent variable)

oleh hukum. Mana yang benar dari kedua pernyataan tersebut? Hukum

yang determinan atas politik ataukah politik yang determinan atas

hukum?

Secara metodologis-ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari

pernyataan tersebut, semuanya benar, tergantung pada asumsi dan

konsep yang dipergunakan. Ini pula yang melahirkan dalil bahwa

kebenaran ilmiah itu bersifat relative, tergantung pada asumsi dan

konsep-konsep yang dipergunakan. Dengan asumsi dan konsep

tertentu satu pandangan ilmiah dapat mengatakan bahwa hukum

adalah produk politik, tetapi dengan asumsi dan konsep tertentu yang

lain satu pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya, bahwa,

politik adalah produk hukum. Artinya, secara ilmiah, hukum dapat

determinan atas politik, tetapi sebaliknya dapat pula politik determinan

2)
Ibid., hlm 78.
atas hukum. Jadi dari sudut metodologi, semuanya benar secara ilmiah

menurut asumsi dan konsepnya sendiri-sendiri.

Haruslah diingat bahwa kebenaran ilmiah, terutama, di dalam

ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak ada yang mutlak, yang ada

hanyalah kebenaran relative. Artinya kebenaran ilmiah itu hanya benar

menurut asumsi dan konsep serta indikator yang dipergunakan untuk

istilah atau variable tertentu dalam suatu karya ilmiah. Sebuah

pernyataan bisa benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsep

tertentu, tetapi menjadi salah jika dipergunakan asumsi dan konsep lain

untuk hal itu. Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah

benar jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hukum

sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan

sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak

seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik

sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari

kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui

kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang

terbesar. Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran

pernyataan bahwa “hukum merupakan produk politik.” Siapa yang

dapat membantah bahwa hukum dalam arti undang-undang merupakan

produk dari pergulatan politik? Itulah sebabnya von Kirchman

mengatakan bahwa karena hukum merupakan produk politik maka

kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang


tak berguna jika lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau

pembatalannya.

Memang pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” seperti

pengertian di atas akan menjadi lain atau menjadi salah jika dasarnya

adalah das sollen atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-

undang. Seperti diketahui bahwa hubungan antara hukum dan politik

bisa didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan, keharusan)

atau das sein (kenyataan).

Begitu juga hukum bisa diartikan sebagai peraturan perundang-

undangan yang mencakup UU, bisa juga diartikan sebagai putusan

pengadilan, dan bisa juga diberi arti lain yang jumlahnya bisa puluhan.

Jika seseorang menggunakan das sollen adanya hukum sebagai

dasar mencari kebenaran ilmiah dan memberi arti hukum di luar

undang-undang maka pernyataan “hukum merupakan produk politik”

tentu tidak benar. Mungkin yang benar “politik merupakan produk

hukum.” Bahkan bisa saja keduanya tidak benar jika dipergunakan

asumsi dan konsep yang lain lagi yang berdasar pada das Sollen-Sein

seperti asumsi tentang interdeterminasi antara hukum dan politik. Di

dalam asumsi yang disebutkan terakhir ini dikatakan bahwa hukum dan

politik saling mempengaruhi, tak ada yang lebih unggul. Jika politik

diartikan sebagai kekuasaan maka dari asumsi yang terakhir ini bisa

lahir pernyataan seperti yang sering dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, bahwa, “politik dan hukum itu interdeterminan,” sebab


“politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu

lumpuh.”3)

Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum

dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang memengaruhi

politik ataukah politik yang memengaruhi hukum, maka paling tidak ada

tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum

determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur

oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik

determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau

kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan

(bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai

subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat

determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena

meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu

hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-

aturan hukum.4)

Moh. Mahfud MD dalam official account Twitter dan Instagramnya

mengatakan “Banyak yang sering usul perubahan sistem dan aturan

hukum kalau ada kegagalan dalam menyelesaikan sesuatu. Hukum itu

resultant, memang bisa diubah-ubah asal ada kesepakatan. Buktinya

3)
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia edisi revisi cet. 2, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009, hlm. 4-5.
4)
Ibid., hlm 16.
sering juga hukum dan konstitusi diubah tapi nyatanya tak

menyelesaikan masalah. Sebab, masalahnya adalah moral.”5)

Kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah saya setuju UUD 1945

kembali ke yang pertama kali di buat? Atau tetap di amandemen ke-4?

Atau setuju dengan amandemen yang ke-5 dan seterusnya?

Untuk amandemen yang ke-4 dan apabila akan terjadi

amandemen lagi saya setuju, karena biar bagaimanapun hukum itu

harus mengikuti dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

(dinamis), tetapi jika dikembalikan ke UUD 1945 yang pertama kali

dibuat, itu sama saja memundurkan perkembangan hukum. Lagipula

apakah alasan untuk mengembalikan UUD 1945 yang sudah

diamandemen empat kali ini ke yang pertama kali dibuat? Apakah

karena UUD 1945 yang sudah di amandemen sebanyak empat kali itu

dipandang gagal akibat masih banyaknya kejahatan? Jika kita

berasumsi demikian, maka sama saja dengan kita mengatakan “agama

itu telah gagal dan kita tidak memerlukannya, karena masih saja

banyak kejahatan!” sebab sebenarnya bukan agama yang salah,

melainkan manusianya yang tidak mau mengenal Tuhan.

Jika kita perhatikan Negara adidaya seperti Amerika Serikat,

Konstitusi Negara tersebut sudah seringkali dirobah (dua puluh tujuh

kali sampai tahun 1992), namun pada kenyataannya masih sering

terjadi kejahatan di Negara tersebut, sebab bukan sistem atau


5
Moh. Mahfud MD, “banyak yang usul perubahan sistem dan aturan hukum…”,
https://www.twitter.com/mohmahfudmd/status/1052540633200513024?s=20, diakses pukul
22:00 wib pada hari selasa 12 maret 2019.
hukumnya yang salah melainkan moral masyarakatnya sebagaimana

pendapat dari Moh Mahfud MD.

Apakah UUD 1945 dapat dikembalikan ke yang pertama kali

dibuat? Atau dirubah? Sebagaimana dijelaskan dalam uraian

sebelumnya, UUD 1945 dapat saja dikembalikan ke bentuk yang

pertama kali dibuat, ataupun dirobah untuk diamandemen, namun itu

semua tergantung dari kekuatan politik yang sedang berkuasa, apabila

pihak penguasa ingin merobah UUD 1945 atau mengembalikannya ke

bentuk pertama walaupun sifat dari UUD 1945 itu rigid, maka UUD

1945 dapat dirobah atau dikembalikan ke bentuk yang pertama kali

dibuat, sebaliknya apabila UUD 1945 bersifat flexible tetapi kekuatan

politik yang sedang berkuasa tidak menghendaki adanya perubahan,

maka perubahan itu tidak akan terjadi. Karena secara das sollen hukum

itu determinan atas politik, sedangkan secara das sein politik itu

determinan atas hukum, dan tak dapat disangkal bahwa hukum

merupakan produk pergulatan politik di lembaga legislatif.


DAFTAR PUSTAKA

 Buku

Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata

Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”

Moh. Mahfud MD. 2009. Politik Hukum di Indonesia edisi revisi cet.

2. Jakarta: Rajawali Pers

 Undang-Undang

Undang-Undang Dasar 1945

 Lain-lain

Moh. Mahfud MD “banyak yang usul perubahan sistem dan aturan

hukum…” 12 maret 2019.

https://www.twitter.com/mohmahfudmd/status/105254063320051302

4?s=20

Anda mungkin juga menyukai