Anda di halaman 1dari 61

1

PEMODELAN SISTEM
1. PENDAHULUAN TENTANG PENDEKATAN SISTEM

1.1. Filosofi

Suatu “sistem” dapat dipandang sebagai gugusan elemen-elemen


yang saling berhubungan dan terorganisir ke arah suatu sasaran tertentu
atau gugus sasaran. Dalam problem-problem interdisipliner yang
kompleks, "pendekatan sistem" dapat menyediakan alat bantu bagi
penyelesaian masalah dengan metode dan peralatan logis yang
memungkinkannya untuk mengidentifikasikan komponen-komponen
(subsistem) yang saling berinteraksi untuk mencapai beberapa sasaran
tertentu. Pengetahuan-pengetahuan ini memungkinkan seseorang untuk
mengambil pilih-an-pilihan rasional di antara alternatif-alternatif yang
tersedia dalam problem-problem yang kritis dan trade-off.
Tiga macam kondisi yang menjadi prasyarat agar supaya aplikasi
pen-dekatan sistem dapat memberikan hasil yang memuaskan adalah:
(1). sasaran sistem didefinisikan secara jelas dan dapat dikenali,
meskipun ka-dangkala tidak dapat dikuantifikasikan.
(2). proses pengambilan keputusan dalam sistem riil dilakukan dengan
cara sen-tralisasi yang logis
(3). skala perencanaannya jangka panjang.

1.2. Prosedur

Pada hakekatnya pengembangan sistem merupakan suatu proses


pengam bilan keputusan degan menggunakan fungsi-struktur, outcomes,
evaluasi, dan keputusan. Tahap-tahap pokok dalam pendekatan sistem ini
adalah: (i) evaluasi kelayakan, (ii) pemodelan abstrak, (iii) disain
implementasi, (iv) implementasi sistem, dan (v) operasi sistem.
Seperti yang lazim diikuti, prosedur dari proses tersebut diawali
dengan gugus "kebutuhan" yang harus dipenuhi, menuju kepada suatu
sistem operasional yang mampu memenuhi kebutuhan. Proses-proses
tersebut diikuti dengan suatu evaluasi untuk menentukan apakah outcome
dari suatu tahapan memuaskan atau tidak. Proses tersebut pada
kenyataannya bersifat interaktif.

1.3. Alat Bantu

Suatu alat bantu yang sangat penting ialah model abstrak yang
perilaku esensialnya mencerminkan perilaku dunia nyata (realita) yang
diwakilinya. Model digunakan dalam banyak cara, dalam mendisain dan
mengelola sistem sebagai fungsi analisis. Analisis ini didefinisikan sebagai
determinasi output model, dengan menggunakan input dan struktur model
yang telah diketahui.
2

Suatu model matematik, terutama model komputer, dapat dengan


cepat menganalisis dan menghitung output dari berbagai alternatif yang
sangat penting dalam proses kreatif pengelolaan sistem dan disain sistem.
Pada kenyataannya kebanyakan model abstrak ini mempunyai struktur
internal yang terdiri atas simbol-simbol mate-matik yang harus dipahami
arti dan maknanya. Suatu model disebut analitik apabila model tersebut
mempunyai penyelesaian umum pada berbagai kisaran input sistem dan
nilai-nilai parameter sistem. Model simulasi merupakan model yang
menghitung alur-waktu dari peubah-peubah model untuk seperangkat
tertentu input model dan nilai parameter model. Karena seringkali tidak
mungkin untuk menye-lesaikan model analitik bagi sistem yang kompleks,
maka model-model simulasi (yang lebih mudah diselesaikan) banyak
digunakan dalam mengkaji dan menganalisis sistem dinamik yang
kompleks.

www.strategy-at-risk.com/2009/02/21/fish-farming/

2. Simulasi Sistem

2.1. Operasi
3

Bagian yang sangat penting dalam analisis sistem adalah


penggunaan komputer. Kemampuan komputasionalnya sangat memper-
mudah dalam pengo-lahan sejumlah besar peubah dan interaksi-
interaksinya. Simulasi komputer lazimnya berarti bahwa kita mempunyai
suatu program komputer atau model-sistem lainnya dimana kita dapat
mencoba berbagai disain sistem dan strategi pengelolaannya. Dengan
menggunakan komputer, aplikasi simulasi menjadi sangat luas terutama
oleh para menejer dan pengambil keputusan akhir. Teknik simulasi yang
dikenal sebagai penciptaan peubah random Montecarlo, banyak digunakan
dalam bidang bisnis dan pertanian.
Dalam mengimplementasikan suatu model sistem pada kompu ter
maka para pengguna mempunyai pilihan bahasa pemrograman seperti
BASICS, Fortran, atau bahasa simulasi khusus.

davidszondy.com/ephemeral/labels/Science.html

2.2. Metodologi

Karena matematika telah dipilih sebagai suatu bahasa dasar, dan


karena simulasi seringkali menjadi alat bantu kita, maka akan diperlukan
tahap-tahapan proses untuk menjabarkan model grafis menjadi model
matematika:
(1). Mengisolasikan komponen atau subsistem. Seringkali subsistem-
subsistem atau komponen-komponen tersebut secara fisik berbeda
dengan jelas.
4

(2). Menetapkan peubah-peubah input U(t) untuk setiap sub- sistem. Input
stimuli ini akan menyebabkan perubahan perilaku subsistem.
Termasuk di sini adalah input-input pengelolaan yang dapat
digunakan untuk memperbaiki keragaan sistem yang sedang dikaji.
(3). Menetapkan peubah-peubah internal atau keubah-peubah keadaan
X(t). Pada dasarnya ini merupakan faktor-faktor dalam subsistem
yang diperlukan untuk men-cerminkan sejarah masa lalu dari perilaku
subsistem.
(4). Menetapkan peubah-peubah output Y(t). Kuantitas-kuantitas respon
yang menghubungkan subsistem dengan subsistem lain yang
merupakan ukuran penting dari keragaan sistem. Output atau respon
seperti ini dapat berfungsi sebagai stimuli atau input bagi subsistem
lain.
(5). Dengan cara observasi, eksperimen atau teori, menentukan hubungan
matematika di antara U(t), X(t), dan Y(t). Dalam suatu model statis,
hubungan-hubungan ini merupakan fungsi aljabar. Kalau melibatkan
feno mena laju, penundaan atau simpanan, maka akan dihasilkan
persamaan-persamaan diferensial atau integral, dan subsistem yang
dinamik.
(6). Menjelaskan peubah-peubah input lingkungan eksogenous dalam
bentuk matematika. Ini akan merupakan peubah-peubah stimulus
bagi keseluruhan sistem yang sedang dimodel.
(7). Memperhitungkan interaksi-interaksi di antara subsistem-subsistem
dengan metode agregasi seperti diagram kotak (block diagram), teori
jaringan, dan grafik-grafik linear.
(8). Verifikasi model dengan serangkaian uji dan inspeksi. Hal ini biasanya
melibatkan serangkaian revisi dan perbaikan model.
(9). Aplikasi model dalam problematik perencanaan atau pengelolaan
dalam dunia nyata.

www.emeraldinsight.com/.../0400240605.html
2.3. Pemodelan Sistem

Merekayasa struktur model merupakan fase yang paling sulit dalam


pendekatan sistem terutama dalam problem-problem yang kompleks. Oleh
5

karena itu disarankan utnuk memulai dengan mengidentifikasikan sub-


divisi yang besar dari suatu model dan menggabungkannya bersama
dalam suatu pola diagramatik. Hal ini sangat membantu untuk mengetahui
arus informasi secara keseluruhan melalui model.

https://consultations.southglos.gov.uk/inovem...

https://consultations.southglos.gov.uk/inovem...

2.4. Aplikasi Komputer

Kemajuan teknik-teknik penggunaan sistem penyimpanan logik


yang diprogram pada "memori" komputer guna mmecahkan masalah
secara otomatis, menyebabkan transformasi dari metode kuno pencarian
6

pola (pattern seeking) dan pengujiannya, menjadi potensi analisis sistem


yang mempunyai kemampuan jauh lebih besar. Hal ini didorong pula oleh
kemampuan pada pengolahan data, serta kemampuannya untuk
mengontrol peralatan yang lain seperti pada peralatan komunikasi.
Komputer dalam seper-sekian detik mampu mensimulasi berbagai
pekerjaan sehingga berdayaguna ganda. Dengan aplikasi berbagai teori
serta model matematika, seorang analis dapat menduga serta menguji
karakteristik sistem melalui simulasi komputer perhitungan matematis
sebelum membentuk yang sebenarnya (actual).
Kecenderungan ke arah pandangan sistem secara menyeluruh
(total system viewpoints) banyak menimbulkan akibat-akibat besar pada
disain dan integrasi dari bermacam operasi di berbagai lapangan, sehingga
pengaruh dari para analis sistem juga dilembagakan pada berbagai
aplikasi . Reaksi yang cepat dan kemampuan dari suatu komputer untuk
mempertimbangkan beberapa interaksi sekaligus menyebabkan seorang
analis mampu merancang pabrik yang akan beroperasi dengan kapasitas
lebih dari 99% kapasitas teoritis. Komputer-komputer akan selalu
membaca informasi dan bereaksi langsung, dan hal ini merupakan sebab
mengapa pabrik tersebut dapat mencapai efisiensi tinggi.

https:/.../computer_applications.htm

2.5. Sistem dan Teori Menejemen

Permasalahan yang dihadapi oleh para eksekutif dan administrator


telah berubah dalam jenis maupun isinya. Akhir-akhir ini, pertanyaan untuk
para menejer dan supervisor adalah sederhana: "Dapatkah pekerjaan ini
dilakukan?". Berbagai cara teknis untuk mencapai tujuan yang sangat
7

bervariasi dengan bermacam derajat efektivitas dan efisiensinya sekarang


ini telah tersedia . Namun demikian, situasi yang sebaliknya juga sering
dijumpai para menejer. Banyak sekali alternatif-alternatif yang harus
dipertimbangkan, terlalu banyak kombinasi yang harus diseleksi, terlalu
banyak penyimpangan-penyimpangan yang harus dicegah sehingga
membingungkan para pengambil keputusan. Di lain pihak terlalu banyak
hal-hal yang dapat menjadi kesalahan dengan adanya operasi yang
kompleks serta harus dikelola. Pada saat ini, pertanyaan berubah menjadi
"Apakah Pekerjaan ini perlu dilaksanakan?" , "Alternatif mana yang
harus dipilih?" dan sebagainya.
Cara pengambilan keputusan tidak lagi dapat dilakukan secara
intuisi dan tidak lagi hanya mengandalkan pada pengalaman masa lalu
saja. Spektrum dari alternatif sangat luas dan pilihan-pilihan menjadi
semakin banyak. Oleh karena itu timbullah pemikiran untuk mene-rapkan
ilmu sistem pada menejemen, yang secara khas dapat di-deskripsikan
sebagai pemikiran alternatif.

The steps in system analysis:

www.icsu-scope.org/.../scope34/chapter4.html
Systems analysis was not formally defined by the Expert Panel, but
the members' interpretation of systems analysis may be derived from
the following considerations. First, there was a need to develop a
predictive understanding of the functioning of the complex natural
systems upon which man depends. When faced with complex and
highly interactive systems, human judgement and intuition may lead
to wrong decisions, sometimes with results that cannot be reversed.
Numerous examples of these wrong decisions exist in the history of
8

man's management of his natural resources, and, if anything, the


number and the gravity of these errors have increased in the recent
past. Mere increase of knowledge, without predictive understanding
of the functioning of complex systems, is not sufficient for the
management of such systems.

There has been extensive study of the behaviour of complex


interacting systems in such fields as engineering, physiology and
economics. Resulting from this study has been the development of
methods for understanding the dynamics of systems, and the impact
of stresses upon them. Such methods can be adapted to systems,
ecology, with the assumptions that the state of an ecosystem at any
particular time can be expressed quantitatively, and that changes in
the system can be described by mathematical expressions.
Understanding of any system depends on translation of its variables
and properties into a generalized form so that is becomes an
abstract, or model. Such models are essentially simplifications of the
system, but are nevertheless more comprehensive and more precise
than the mental models of the field scientist or the resource manager.

Interrelations of theory, experience and data with the tasks of


statistical, simulation and optimization modelling towards improved
recommendations for natural resource management. Solid lines
represent direct flows of information, dashed lines represent
feedbacks. The central (shaded) portion of the figure includes many
of the kinds of models used in a systems analysis and operational
research approach. The elements of the more conventional approach
to research management decision-making lie outside the dotted
portion.

Modelling of the complex, dynamic interrelationships of the various


facets of a problem may be attempted for many of the alternative
strategies. A full awareness of the inherent uncertainities in the
various processes to be modelled, or of feedback mechanisms which
may complicate both understanding and practicability of the model,
can often be gained by practical experience. An experienced analyst
may be able to contribute much to the shortening of this phase of
systems analysis. There may, too, be a complex series of rules which
will be used to reach a decision about appropriate courses of action.
These rules must also be incorporated into the model.
9

www.icsu-scope.org/.../scope34/chapter4.html

Lazimnya para analis sistem menelaah permasalahan yang


kompleks dan rumit serta mensortir faktor-faktor yang penting. Mereka
bertujuan untuk membantu para pengambil keputusan dengan
memperlengkapi optimasi kuantitatif dari efektivitas serta biaya dari setiap
alternatif yang dapat dipilih. Menghadapi pilihan yang semakin banyak,
maka para menejer beralih pada teknik analisis untuk membantu
mengambil keputusan.
Dengan alasan tersebut di atas, para menejer modern membu-
tuhkan teori-teori jaringan kerja struktural dan filsafat berorganisasi agar dia
dapat melaksanakan pekerjaannya, memformulasikan permasalahan
yang ada dan memecahkannya dalam menghadapi bertambahnya ragam
kondisi, aksi dan pilihan. Kunci persoalan adalah "keragaman" (variety),
dalam hal ini tujuan analisis sistem adalah pengelolaan serta kontrol
keragaman sebelum keragaman tersebut mengontrol dan mengelola para
menejer.
Sebagai kesimpulannya, dalam mempelajari ilmu sistem, seseorang
harus bersedia menelaah tidak hanya sejumlah karakteristik sistem yang
khas, teknik dan metodanya, namun juga meliputi hal-hal yang akan
menjadi perhatian utamanya, suatu pertimbangan yang meluas dari kontrol
pada tingkat yang lebih tinggi. Cakupan studi beragam dari studi inter-
10

disiplin yang sederhana hingga pada permasalahan yang dihadapi oleh


perancang Sistem Total.

3. PEMODELAN SISTEM

3.1. Ruang Lingkup

Konsep dan teknik analisis sistem semula dikembangkan oleh para


ahli militer untuk keperluan mengeksplorasi dan mengkaji keseluruhan
implikasi yang diakibatkan oleh alternatif-alternatif strategi militer.
Pendekatan ini merupakan suatu strategi penelitian yang luas dan
sistematik untuk menyelesaikan suatu problem penelitian yang kom-pleks.
Obyek penelitian biasanya merupakan suatu sistem dengan kerumitan-
kerumitan yang sangat kompleks sehingga memerlukan pengabstraksian.
Dalam hubungan inilah dikenal istilah "model dan pemodelan".

openlearn.open.ac.uk/.../view.php?id=209082

Istilah pemodelan adalah terjemahan bebas dari istilah


"modelling". Untuk menghindari berbagai pengertian atau penafsiran
yang berbeda-beda, maka istilah "pemodel-an" dapat diartikan sebagai
suatu rangkaian aktivitas pem-buatan model. Sebagai landasan untuk
lebih memahami pengertian pemodelan maka diperlukan suatu
penelaahan tentang "model" secara spesifik ditinjau dari pendekatan
sistem.
Dalam konteks terminologi penelitian operasional (operation
research), secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan
11

atau abstraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model melukiskan
hubungan-hubungan langsung dan tidak langsung serta kaitan timbal-balik
dalam terminologi sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah abstraksi
dari realita, maka pada wujudnya lebih sederhana dibandingkan dengan
realita yang diwakilinya . Model dapat disebut lengkap apabila dapat
mewakili berbagai aspek dari realita yang sedang dikaji.
Salah satu syarat pokok untuk mengembangkan model adalah
menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan
peubah-peubah ini sangat erat hubungannya dengan pengkajian
hubungan-hubungan yang terdapat di antara peubah-peubah. Teknik
kuantitatif seperti persamaan re-gresi dan simulasi digunakan untuk
mempelajari keterkaitan antar peubah dalam sebuah model.
Memang dimungkinkan untuk dapat merancang-bangun dengan
baik berbagai model sistem tanpa matematik, dan /atau mengetahui
matematika tanpa analisis sistem. Namun demikian, perumusan mate-
matika yang terpilih dapat mempermudah pengkajian sistem, yang pada
umumnya merupakan suatu kompleksitas. Sifat universalitas dari
matematik dan notasi-notasinya akan memperlancar komunikasi dan
transfer metode yang dikembangkan di suatu negara atau bidang ilmu
tertentu ke bidang lainnya.
Kebanyakan para pengguna analisis sistem menjumpai kesukaran
untuk mengimplementasikan notasi-notasi matematika ke dalam format
konsepsi disiplin ilmunya . Mereka kemudian memilih alternatif pembuatan
model konsepsi (conceptual model) yang sifatnya informal karena terasa
lebih mudah. Bagaimanapun juga, para ahli sistem berpendapat bahwa
keuntungan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang diperlukan dalam
megkaji permasalahan penelitian secara matematis. Hal ini disebabkan
adanya daya guna yang berlipat ganda pada proses rancang bangun dan
analisis dalam bentuk bahasa matematika yang sangat penting dalam teori
ekonomi, keteknikan, ilmu alam hingga ilmu-ilmu sosial. Meskipun teknik-
tekniknya sangat beragam dan filosofinya masih dipandang kontraversi
namun ide dasarnya adalah sederhana yaitu menjabarkan keterkaitan-
keterkaitan yang ada dalam dunia nyata menjadi operasi-operasi
matematis.
12

www.hallbaravfallshantering.se/innehall/datab...
This figure is a conceptual model describing what will be included in the final
environmental life cycle assessment model.

System boundary
The system boundary encloses the processes that are included in the LCA of
Swedish waste management. The shaded fields within the system boundary
are those for which process models are documented at this web site.

Waste generation
Waste generation is not part of the LCA model. Instead, the generation of
waste is calculated in Project 7 “Future waste quantities", in which a
model of the Swedish economy, EMEC, is being further developed to include
a description of how waste quantities depend on the production and
consumption in society, and as a result of different waste policy instruments.
EMEC calculates waste flows from 26 different sectors: industrial sectors,
government, and households. Each waste flow can be divided in 20 different
waste fractions. The LCA model will be developed to handle waste flows
according to the same structure.

Waste management processes


Waste management processes are those involved in collecting, reloading,
transporting, and treating the waste. These processes models are
documented in Process data".

Resources from waste


Most waste treatment processes recover resources from waste in some form,
for instance heat and electricity from incineration, fertiliser from biological
treatment, or materials from material recycling. The amount of these
resources are calculated. In a few cases, the use of these resources
generates emissions, eg. application of biological fertiliser to land. Process
models of the utilisation of resources from waste are then also included.
These processes models are documented in “Process data".
13

Avoided processes
When resources are recovered from waste, it is assumed that they replace
the production and use of a similar resource produced by conventional
means. The model includes the avoided burdens of these replaced resources.
This means that there will be a negative contribution from these process
models to the emissions and resource use of the system. Avoided process
are not considered as being part of the waste management system, although
intimately linked to. These process models are not documented at this web
site.

Resources from the environment


All process models within the system require input of resources from the
environment in some form, either fuels or material. The amount of resources
extracted from the environment are calculated.

Emissions to the environment


All process models within the system generate emissions to the environment.
The amount of these emissions is calculated.

Potential environmental impacts


The potential environmental impacts are calculated based on the emissions
to the environment and the resources derived from the environment.
Characterisation factors for Life Cycle Impact Assessment (LCIA) are applied
for this purpose. In this project, the XXX method will be used.

3.2. Jenis-Jenis Model

Pengelompokkan model akan mempermudah upaya pemahaman


akan makna dan kepentingannya. Model dapat dikatagorikan menurut
jenis, dimensi, fungsi, tujuan, pokok kajian, atau derajat keabstrakannya.
Kategori umum yang sangat praktis adalah jenis model yang pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi (i) ikonik, (ii) analog, dan (iii)
simbolik.

3.2.1. Model Ikonik (Model Fisik)


Model ikonik pada hakekatnya merupakan perwakilan fisik dari
beberapa hal, baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda.
Model ikonik ini mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang
diwakilinya, dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada
waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto, peta, cetak-
biru) atau tiga dimensi (prototipe mesin, alat, dan lainnya). Apabila model
berdimensi lebih dari tiga tidak mungkin lagi dikonstruksi secara fisik
sehingga diperlukan kategori model simbolik.

3.2.2. Model Analok (Model Diagramatik)


Model analog dapat digunakan untuk mewakili situasi dinamik, yaitu
keadaan yang berubah menurut waktu. Model ini lebih sering digunakan
daripada model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan
karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog sangat sesuai dengan
penjabaran hubungan kuantitatif antara sifat dari berbagai komponen.
Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya, maka kemampuan
14

untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan. Contoh dari model analog


ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan
diagram alir. Model analog digunakan karena kesederhanaannya namun
efektif pada situasi yang khas, seperti pada proses pengendalian mutu
dalam industri (operating characteristic curve).

www.wbdg.org/design/animal_research.php

psycnet.apa.org/index.cfm?fa=fulltext.journal...
15

www.wholebrainproductions.com/blog/

3.2.3. Model Simbolik (Model Matematik)

Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada model


simbolik sebagai perwakilan dari realita yang dikaji. Format model simbolik
dapat berupa bentuk angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang
umum dipakai adalah suatu persamaan (equation).
Bentuk persamaan adalah tepat, singkat dan mudah dimengerti.
Simbol persamaan tidak saja mudah dimanipulasi didbandingkan dengan
kata-kata, namun juga lebih cepat dapat ditanggap maksudnya. Suatu
persamaan adalah bahasa yang universal pada penelitian operasional dan
ilmu sistem, dimana di dalamnya digunakan suatu logika simbolis.

www.ipod.org.uk/reality/reality_mathematical_...
16

Why does Physics follow Mathematics?


The principle of axioms might go some way to explain the almost uncanny
match between mathematics and physics. Mathematics has been almost
uncannily useful in explaining the natural sciences. It is almost weird the
way that developments in mathematics, and the discovery of new
mathematical structures, has been later matched by discoveries in physics
which involve the similar structures in the physical world. For example, in
1931 Paul Dirac predicted the existence of the positron purely by
considering mathematics - the first time a particle had been predicted from
purely mathematical considerations. For this reason, mathematics has been
called the "language of nature".
In order to get a better understanding of this apparently uncanny match, we
should consider the origin of mathematics. Mathematics tools were
originally developed for analysing the physical world. Geometry, for
example, was developed as a tool for measuring plots of land and
constructing buildings, while counting and arithmetic were developed for
commerce and trading of goods. So mathematics was developed as an
abstraction from physical reality. We would do well to remember that at the
start it was physical reality that provided the motive for developments in
mathematics, as the axiomatic principles behind mathematics were
established in those early days. I believe that provides a clue as to why we
now find developments in mathematics are later being shown to have
equivalent counterparts in physics.

Dalam mempelajari ilmu sistem diperlukan suatu pengertian yang


mendasar tentang simbol-simbol matematika; karena kalau tidak demikian
akan menambah kompleksitas dari konsep pengkajian itu sendiri.
Bagaimanapun juga sebagaimana mempelajari suatu hal maka kunci dari
kelancaran dan pemahamannya adalah frekuensi latihan aplikasinya.
Dengan demikian diharapkan para pengguna dapat secara efisien
menangkap arti dari setiap notasi matematis yang disajikan. Misalnya ,
notasi ai dapat diartikan faktor peubah a, dan Aij dapat digambarkan
sebagai Tabel matriks peubah A dengan baris i dan kolom j.

www.processoutcome.org/2008/01/job-analysis-a...
17

sags.bio.ed.ac.uk/docs/science/piosphere.html

3.3. Karakteristik Model Matematika

Proses pemodelan mencakup pemilihan karakteristik dari


perwakilan abstrak yang paling tepat bagi situasi yang sedang dikaji .
Pada umumnya model matematika dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu model statik dan model dinamik. Model statik memberikan
informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari
waktu. Sedangkan model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari
peubah-peubah model. Model dinamik lebih sulit dan mahal
pembuatannya, namun mempunyai kekuatan yang lebih hebat untuk
analisis dunia nyata.

soilphysics.okstate.edu/software/water/infil.html
18

www.gisdevelopment.net/.../sar/ma04182pf.htm

elpub.wdcb.ru/.../2007ES000273-fig02.shtml
Mathematical model for calculation of sustainable development
index (Model 1).

Klasifikasi lain tergantung apakah model abstrak tersebut meng-


gunakan pandangan mikro atau makro. Model mikro bertujuan untuk
mempernyatakan suatu unit individu yang ada pada dunia nyata, sebagai
contoh sebuah mobil pada aliran transportasi atau seorang pembeli pada
antrian pasar. Pada model makro, unit individu kehilangan identitasnya
karena peubah model secara khas dikaitkan dengan agregat dari unit
sistem. Contoh dari pandangan makro adalah peubah pada aliran listrik,
kecepatan aliran mobil pada jalan raya dan aliran bahan dan pelayanan
pada struktur ekonomi.
Ditinjau dari cara klasifikasinya maka model abstrak dapat
dikelompokkan menjadi: (i) mikro-statik, (ii) makro-statik, (iii) mikro-dinamis,
19

dan (iv) makro-dinamis. Penggunaan model- model ini tergantung pada


tujuan pengkajian sistem dan terlihat jelas pada formulasi permasalahan
pada tahap evaluasi kelayakan.
Sifat model juga tergantung pada teknik pemodelan yang
digunakan. Model yang mendasarkan pada teknik peluang dan
memperhitungkan adanya ketidak pastian (uncertainty) disebut model
probabilistik atau model stokastik. Pada ilmu sistem model ini sering
digunakan karena masalah yang dikaji pada umumnya megandung
keputusan yang mengandung ketidak-menentuan. Lawan dari model ini
adalah model kuantitatif yang tidak mempertimbangkan peluang kejadian,
dikenal sebagai model deterministik. Contohnya adalah model pada
"program linear". Model ini memusatkan penelaahannya pada faktor-
faktor kritis yang diasumsikan mempunyai nilai yang eksak dan tertentu
pada waktu yang spesifik. Sedangkan model probabilistik biasanya
mengkaji ulang data atau informasi yang terdahulu untuk menduga peluang
kejadian tersebut pada keadaan sekarang atau yang akan datang dengan
asumsi terdapat relevansi pada jalur waktu.
Dalam hal-hal tertentu, sebuah model dibuat hanya untuk semacam
deskripsi matematik dari kondisi dunia nyata. Model ini disebut model
deskriptif dan banyak dipakai untuk mempermudah penelaahan suatu
permasalahan. Model ini dapat diselesaikan secara eksak serta mampu
mengevaluasi hasilnya dari berbagai pilihan data input. Apabila model
digunakan untuk memperbandingkan antar alternatif, maka model disebut
model optimalisasi. Solusi dari model ini merupakan nilai optimum yang
tergantung pada kriteria input yang digunakan. Sebagai teladan adalah
"Program Dinamik dan Goal Programming"; sedangkan model deskriptif
yang hanya memper-nyatakan pilihan peubah adalah persamaan regresi
multi-variate.

www.emeraldinsight.com/Insight/viewContentIte...
The purpose of this paper is to use a conceptual model from literature for
designing value recovery (VR) networks for three categories of post-
consumer product returns.
Design/methodology/approach: A bi-level optimization model is developed to
20

determine the disposition decision for refrigerators, washing machines and


passenger cars in the Indian context using data for product returns from
literature. Using standard off-the-shelf software, the break-even values of
returns are calculated for setting up various VR facilities under different
scenarios to maximize profits for a ten-year time-horizon.

Apabila sistem telah diekspresikan dalam bentuk no-tasi


matematika dan format persamaan, maka timbullah keuntungan yang
berasal dari kapasitas manipulatif dari matematik. Seorang analis dapat
memasukkan nilai-nilai yang berbeda-beda ke dalam model matematika
dan kemudian mempelajari perilaku sistem tersebut. Pada pengkajian ma-
salah-masalah tertentu, uji sensitifitas dari sistem dilakukan dengan
pengubahan peubah-peubah sistem itu sendiri.
Bahasa simbolik juga sangat membantu dalam komunikasi karena
pernyataannya yang singkat dan jelas dibandingkan dengan deskripsi
lisan. Penggunaan format matematika membuat penjelasan lebih
komprehensif dan seringkali mampu mengungkapkan hubungan-hubungan
yang tidak dapattercermin pada deskripsi lisan dari suatu sistem. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pemodelan sistem (System Modelling)
adalah pembentukan rangkaian logika untuk menggambarkan karakteristik
sistem tersebut dalam format matematis. Oleh karena itu, proses ini sering
disebut juga pemodelan abstrak (abstract modelling) karena hasilnya
adalah gugus persamaan-persamaan yang saling berkaitan secara
fungsional. Pada beberapa jenis sistem, proses pemodelan abstrak ini
lebih mudah pengerjaannya, seperti model biofisik dan keteknikan.

xabierbarandiaran.wordpress.com/.../
21

commons.wikimedia.org/wiki/File:Linear_progra...

3.4. Tahapan Dalam Pemodelan

Para ahli penelitian operasional dan ilmu sistem te-lah mem-berikan


konsepsi dan teknik pemodelan sistem. Para ahli ini menya rankan untuk
mengawali pemodelan dengan penguraian seluruh komponen yang akan
mempengaruhi efektivitas dari operasi sistem. Setelah daftar komponen
tersebut lengkap, langkah selanjutnya adalah penyaringan komponen
mana yang akan dipakai dalam pengkajian tersebut. Hal ini umumnya sulit
karena adanya interaksi antar peubah yang seringkali menyulitkan isolasi
suatu peubah. Peubah yang di-pandang tidak penting ternyata bisa saja
mempengaruhi hasil studi setelah proses pengkajian selesai. Untuk
menghindarkan hal ini, diper lukan percobaan pengujian data guna memilih
komponen-komponen yang kritis. Setelah itu dibentuk gugus persamaan
yang dapat dievaluasi dengan merubah-rubah komponen tertentu dalam
batas-batas yang diperkenankan. Salah satu contoh pemodelan seperti ini
adalah Program Linear (Linear Programming) dan Program Dinamik
(Dynamic Programming).
Dalam konteks pendekatan sistem, tahap-tahap pemodel-annya
lebih kompleks namun relatif terlalu beragam, baik ditinjau dari jenis sistem
ataupun tingkat kecanggihan model. Manetsch dan Park (1984)
mengembangkan tahap pemodelan abstrak ini sebagai bagian dari
pendekatan sistem.
Pemodelan abstrak menerima input berupa alternatif sistem yang
layak. Proses ini membentuk dan mengimplementasikan model-model
22

matematika yang dimanfaatkan untuk merancang program terpilih yang


akan dipraktekkan di dunia nyata pada tahap berikutnya. Output utama
dari tahap ini adalah deskripsi terinci dari keputusan yang diambil berupa
perencanaan, pengendalian atau kebijakan lainnya.

www.mfe.govt.nz/.../html/page7.html

3.4.1. Tahap Seleksi Konsep


Lazimnya langkah awal dari pemodelan abstrak adalah melakukan
seleksi alternatif hasil dari tahap evaluasi kelayakan. Seleksi ini dilakukan
untuk menetukan alternatif-alternatif mana yang bermanfaat dan bernilai
cukup besar untuk dilakukan pemodelan abstraknya. Hal ini erat kaitannya
dengan biaya dan penampakan dari sistem yang dihasilkan. Interaksi
dengan para pengambil keputusan serta pihak lain yang amat terlihat pada
sistem sangat diperlukan dalam tahap seleksi ini.

3.4.2. Tahap Pemodelan


Sebagai langkah awal dari pemodelan adalah menetapkan jenis
model abstrak yang akan digunakan, sejalan dengan tujuan dan
karakteristik sistem. Setelah itu, aktivitas pemodelan terpusat pada pem
bentukan model abstrak yang realistik. Dalam hal ini ada dua cara
pendekatan untuk membentuk suatu model abstrak, yaitu:

a. Pendekatan Kotak Hitam (Black box)


Metode ini digunakan untuk melakukan identifikasi model sistem
dari data yang menggambarkan perilaku masa lalu dari sistem (past
behavior of the existing system). Melalui berbagai teknik statistik dan
matematik, maka model yang paling cocok (fit) dengan data operasional
dapat diturunkan. Sebagai contoh adalah model ekonometrik pada
pengkajian ilmu-ilmu sosial. Metoda ini tidak banyak berguna pada
23

perancangan sistem yang kenyataannya belum ada, dimana tujuan sistem


masih berupa konsep.

b. Pendekatan Struktural
Metode ini dimulai dengan mempelajari secara teliti struktur sistem
untuk menentukan komponen basis sistem serta keterkaitannya. Melalui
pemodelan karakteristik dari komponen sistem serta kendala-kendala yang
disebabkan oleh adanya keterkaitan antara komponen, maka model sitem
keseluruhan dapat disusun secara berantai. Pendekatan struktural ini
banyak digunakan dalam rancang-bangun dan pengendalian sistem fisik
dan non fisik.
Dalam beberapa kasus tertentu, kedua pendekatan ini dipakai
secara bersama-sama, misalnya pembuatan model pengendalian industri
dimana karakteristik setiap unit industri dianggap kotak hitam . Dengan
demikian penggunaan dua pendekatan tersebut dapat memberikan
informasi lebih baik serta menghasilkan model yang lebih efektif dari pada
memakai hanya salah satu pendekatan saja. Tahap permodelan ini
mencakup juga penelaahan secara teliti tentang :
1. asumsi model
2. konsestensi internal pada struktur model
3. data input untuk pendugaan parameter
4. hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual
5. memperbandingkan model dengan kondisi aktual sejauh mungkin .

Hasil dari tahapan ini adalah deskripsi model abstrak yang telah
melalui uji permulaan taraf validitasnya.

3.4.3. Tahap Implementasi Komputer


Pemakaian komputer sebagai pengolah data, penyimpan data dan
komunikasi informasi tidak dapat diabaikan dalam pendekatan sistem ;
model abstrak diwujudkan dalam berbagai bentuk persamaan, diagram alir
dan diagram blok. Tahap ini seolah-olah membentuk model dari suatu
model, yaitu tingkat abstraksi lain yang ditarik dari dunia nyata. Hal yang
penting di sini adalah memilih teknik dan bahasa komputer yang digunakan
untuk implementasi model. Masalah ini akan mempengaruhi :
1. Ketelitian dari hasil komputasi
2. Biaya operasi model
3. Kesesuaian dengan komputer yang tersedia
4. Efektifitas dari proses pengambilan keputusan yang akan meng-
gunakan hasil pemodelan tersebut.

Setelah program komputer dibuat dan format input /output telah


dirancang secara memadai, maka sampailah pada tahap pembuktian
(verifikasi) bahwa model komputer tersebut mampu melakukan simulasi
dari model abstrak yang dikaji. Pengujian ini mungkin berbeda dengan uji
validitas model itu sendiri.
3.4.4. Tahap Validasi
Validasi model pada hakekatnya merupakan usaha untuk me-
nyimpulkan apakah model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan
24

yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan
yang meyakinkan. Validasi merupakan proses iteratif yang berupa
pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model .
Umumnya validasi dimulai dengan uji sederhana seperti pengamatan atas:
1. tanda aljabar (sign)
2. kepangkatan dari besaran (order of magnitude)
3. format respon (linear, eksponensial, logaritmik,
4. arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti
5. nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem.

Setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan sesuai


dengan jenis model. Apabila model mempernyatakan sistem yang sedang
berlaku (existing system) maka dipakai uji statistik untuk mengetahui
kemampuan model dalam mereproduksi perilaku masa-lalu dari sistem. Uji
ini dapat menggunakan koefisien determinasi, pembuktian hipotesis, dan
sebagainya. Seringkali dijumpai kesulitan pada tahap ini karena kurangnya
data yang tersedia ataupun sempitnya waktu yang tersedia guna
melakukan validasi. Pada permasalahan yang kompleks dan mendesak,
maka disarankan proses validasi parsial, yaitu tidak dilakukan pengujian
keseluruhan model sistem. Hal ini mengakibatkan rekomendasi untuk
pemakaian model yang terbatas (limited application) dan apabila perlu
menyarankan penyempurnaan model pada pengkajian selanjutnya.
Validitas model hanya bergantung pada bermacam teori dan
asumsi yang menentukan struktur dari format persamaan pada model
serta nilai-nilai yang ditetapkan pada parameter model. Umumnya
disarankan untuk melakukan uji sensitivitas dari koefisien model melalui
iterasi simulasi pada model komputer. Di sini dipelajari dampak
perubahan koefisien model terhadap output sistem. Informasi yang didapat
akan digunakan untuk menentukan prioritas pengumpulan informasi
lanjutan, koleksi data, perbaikan estimasi dari koefisien penting dan
penyempurnaan model itu sendiri. Usaha ini akan berperan banyak dalam
menyeimbangkan aktivitas perekayasaan model dan aktivitas
pengumpulan informasi, yang prinsipnya mencari efisien waktu, biaya dan
tenaga untuk studi sistem tersebut. Model yang digunakan untuk
perancangan keputusan dan menentukan kebijakan operasional akan
mencakup sejumlah asumsi, misalnya asumsi tentang karakteristik
operasional dari komponen serta sifat alamiah dari lingkungan. Asumsi-
asumsi tersebut harus dimengerti betul dan dievaluasi bilamana model
digunakan untuk perancangan atau operasi. Manipulasi dari model dapat
menuju pada modifikasi model untuk mengurangi kesenjangan antara
model dengan dunia nyata. Proses validasi ini mempunyai pola berulang
seperti metode ilmiah lainnya. Proses validasi seyogyanya dilakukan
kontinyu sampai kesimpulan bahwa model telah didukung dengan
pembuktian yang memadai melalui pengukuran dan observasi. Suatu
model mungkin telah mencapai status valid (absah) meskipun masih
menghasilkan kekurang-beneran output. Di sini model adalah absah
karena konsistensinya, dimana hasilnya tidak bervariasi lagi.
Istilah verifikasi dan validasi sering digunakan secara sinonim
dalam kaitannya dengan model simulasi, meskipun masing- masing
25

mempunyai aplikasi yang berbeda. Secara literal "to verify" berarti


menetapkan kebenaran atau kebaikan atau keabsahan, sehingga verifikasi
model berkenaan dengan penetapan apakah model merupakan perwakilan
yang benar dari suatu realita. Sementara itu, "validasi" tidak terlalu
banyak berhubungan dengan kebenaran suatu model, tetapi lebih
berhubungan dengan apakah model efektif atau sesuai untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian suatu model divalidasi
dalam hubungannya dengan tujuan penyusunannya, sedangkan model
diverifikasi dalam hubungannya dengan kebenaran mutlak.

3.4.5. Analisis Sensitivitas


Tujuan pokok analisis ini dalam proses pemodelan adalah untuk
menentukan peubah keputusan mana yang cukup penting untuk dikaji lebih
lanjut dalam tahap aplikasi model. Peubah keputusan ini dapat berupa
parameter rancang-bangun atau input yang terkendali. Analisis ini mampu
menghilangkan faktor yang kurang penting sehingga studi lebih dapat
ditekankan pada peubah kebijakan kunci serta memperbaiki efisiensi
proses pengambilan keputusan. Pada beberapa kasus, dengan
mengetahui peubah yang kurang mempengaruhi penampakan output
sistem, maka akan dapat dikurangi pengaruh kendala sistem.

3.4.6. Analisis Stabilitas


Sistem dinamik sudah sering diketahui mempunyai pe-rilaku tidak
stabil yang bersifat destruktif untuk beberapa nilai parameter sistem.
Analisis untuk identifikasi batas kestabilan dari sistem diper-lukan agar
parameter tidak diberi nilai yang bisa megarah pada perilaku tidak stabil
apabila terjadi perubahan struktur dan lingkungan sistem. Perilaku tidak
stabil ini dapat berupa fluktuasi random yang tidak dapat mempunyai pola
atau berupa nilai output yang eksplosif sehingga besarannya tidak realistik
lagi. Analisis stabilitas dapat menggunakan studi analitis berdasar teori
stabilisasi, atau menggunakan simulasi secara berulang-kali untuk
mempelajari batasan stabilitas sistem.

3.4.7. Aplikasi Model


Para pengambil keputusan merupakan aktor utama dalam tahap ini,
dimana model dioperasikan untuk mempelajari secara mendalam kebijakan
yang sedang dikaji . Mereka berlaku sebagai pengarah dalam proses
kreatif-interaktif ini, yang juga melibatkan para analis sistem serta
spesialis dari beragam bidang keilmuan. Apabila tidak terdapat kriteria
keputusan yang khas seperti maksimisasi atau minimisasi, proses interaktif
tersebut dapat menuju kepada suatu pengkajian normatif yang bertalian
dengan trade-off antar peubah-peubah sistem. Lebih jauh, dapat dite-
tapkan pula kebijakan untuk secara efisien menilai kombinasi antar
beberapa output sistem.
4. Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Sumberdaya

4.1. Pengelolaan Sumberdaya


Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup meru pakan
hal yang mengandung banyak tantangan. Hal ini mencakup sumberdaya
26

lahan, air, udara, vegetasi, dan enerji yang sangat berpe ngaruh terhadap
aktivitas dan sikap manusia. Suatu masalah pokok adalah bahwa setiap
komponen dari lingkungan saling berkaitan dan dapat menghasilkan
kejadian-kejadian yang tidak dikehendaki. Misalnya pencemran perairan
sungai berhubungan dengan keluaran limbah cair yang berkaitan dengan
berbagai faktor, seperti sumber limbah, karakteristik limbah, akumulasi
limbah, proses penanganan limbah, cara dan lokasi pembuangannya,
trans-portyasi limbah pada aliran sungai, serta pengaruh limbah terhadap
bioa akuatik, dan penggunaan air oleh manusia. Pada umumnya setiap
komponen tersebut dapat dianalisis secara terpisah, namun permasalahan
pencemaran perairan sungai sebenarnya merupakan hasil interaksi dan
pengaruh kolektif dari suatu sistem pencemaran limbah cair.
Permasalahan lingkungan apabila dikaji secra sistem akan banyak
memberikan kegunaan. Problematik dapat diper-hitungkan secara totalitas
dimana kerja pengendalian yang paling efektif dapat diketemukan. Dalam
teladan pence-maran perairan sungai, pende-katan sistem akan mampu
menghasilkan kombinasi dari pengu-rangan sumber limbah, metode
penanganan, dan lokasi buangan yang lebih efektif serta memungkinkan
biaya lebih rendah melalui perbaikan penanganan saja. Suatu
konsekwensi dari perspektif sistem pada mutu lingkungan adalah
memperlebar kemungkinan alternatif pengendalian serta kesempatan
penerapan strategi menejerial yang efisien dan terpadu.

4.2. Elemen analisis


Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan membutuh- kan
tujuan atau kriteria untuk mengukur keberhasilan atau manfaat dari
alternatif-alternatif solusi permasalahan. Salah satu tujuan yang lazim
adalah maksimisasi dari manfaat tersebut dalam terminologi moneter,
seperti misalnya dalam analisis rasio manfaat dan biaya. Analisis ini
mempunyai dua komponen utama, yaitu (i) alokasi sumberdaya dimana
komponen lingkungan (lahan, air, udara, dan enerji) dipandang sebagai
sumberdaya yang mampu me-ningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan
(ii) perhitungan sosial yang mencakup manfaat da biaya dari seluruh
pengguna dari sumberdaya yang dipengaruhi oleh perma-salahan
lingkungan.
Sebagai ilustrasi maka suatu peristiwa pencemaran perairan sungai
diskemakan seperti Gambar 1. Satu aktivitas industri mengeluarkan limbah
yang mencemari perairan sungai dimana airnya digunakan untuk usaha
perikanan. Limbah dengan dampaknya adalah suatu teladan dari
eksternalitas ekonomi, yang didefinisikan sebagai manfaat atau beban
biaya yang dihasilkan oleh satu unit ekonomi yang mempengaruhi unit
ekonomi lainnya. Dalam hal ini, limbah industri mempunyai beban biaya
dimana biaya tersebut ditanggung oleh usaha perikanan dan bukan oleh
industri itu sendiri. Biaya tersebut adalah "eksternal" untuk anggaran dan
pendapatan industri.
27

limbah

Ikan mabuk

Skematik Pencemaran Perairan Sungai.

Implisit dari konsep eksternalitas adalah ide adanya ketidak-adilan


(unfairness). Adalah tidak adil bahwa usaha perikanan harus dibebani
biaya penanganan limbah dari industri. Namun demikian mencari titik
keadilan merupakan kebijakan yang amat rumit. Penyederhanaan
kebijakan bisa dilakukan dengan dua alternatif. Alter-natif pertama adalah
membiarkan pencemaran buangan industri sebagaimana adanya; dengan
anggapan bahwa buangan industri adalah suatu hal yang tidak dapat
dicegah sebagai konsek wensi aktivitas manusia.
Secara logis maka limbah industri tersebut disalurkan ke dalam
aliran sungai dimana telah menjadi pengetahuan umum bahwa lingkungan
mempunyai kemampuan yang impresif untuk mengasimilasi limbah
buangan. Kapasitas asimilasi ini menjadi per-timbangan penting dalam
upaya pendaya-gunaan lingkungan. Kesulitan pada alternatif ini adalah
kapasitas asimilasi dari sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah
terbatas. Limbah yang berlebihan tidak mungkin dapat diasimilasi
sehingga apabila oksigen yang larut dalam air sungai habis, maka perairan
akan menjadi kotor dan berbau busuk. Dampak lanjutannya adalah
pemus-nahan ikan serta membahayakan pemakaian air untuk konsumsi
domestik rumah tangga, seperti untuk mandi, masak, air minum, mencuci,
dan lainnya. Alternatif sebaliknya adalah larangan untuk pembuangan
limbah dengan asumsi tertentu. Hal ini akan mengambalikan status sungai
menjadi kondisi alamiah tidak tercemar. Alternatif ini sangat logis ditinjau
dari preferensi dan citarasa masyarakat yang selalu mengingin-kan air
bersih, kebersihan alamiah, perlindungan marga-satwa, dan lainnya.
Namun demikian alternatif ini mencegah pendayagunaan sungai untuk
maksud lainnya seperti tempat buangan limbah industri.
Kedua macam eksremitas alternatif tersebut di atas dapat diako-
modasikan melalui analisis manfaat/biaya. Pendekatan ini berdasarkan
pada konsep bahwa sungai merupakan sumberdaya yang dapat diman-
faatkan melalui tatacara yang menguntungkan. Hal ini membutuhkan
28

penelitian tentang konsekwensi moneter dari pembuangan limbah pada


kedua belah pihak pengguna sungai. Oleh karena masing-masing
pengguna mempunyai tatacara yang spesifik dalam perhitungan
manfaat/biaya, maka diperlukan suatu ukuran , yaitu Indeks Mutu
Lingkungan, environmental quality index. Indeks ini merupakan
pembakuan dari peraturan tentang baku mutu lingkungan minimum yang
diperbolehkan dalam bentuk parameter yang terukur dari sumberdaya
alam dan lingkungan. Indeks ini juga dapat merupakan mekanisme untuk
menangani preferensi sosial untuk distribusi manfaat dan biaya. Misalnya,
kalau pemerintah menganggap bahwa usaha perikanan harus berjalan
maka diperlukan baku mutu air minimum agar ikan tidak mati. Setelah
baku mutu ditetapkan maka alternatif solusi yang terbaik baru dapat
diselesaikan secara sistematis.

4.3. Teladan Model Pengelolaan

Dalam setiap konteks perencanaan lingkungan maka pe-ngaruhnya


terhadap sistem lingkungan, sumberdaya alam, dan juga manusia sebagai
penghuninya harus dapat diperkirakan. Analisis pendugaan dan evaluasi
pengaruh yang mungkin terjadi dapat dilakukan dengan menggunakan alat
bantu model-model yang sederhana atau model yang sangat kompleks.
Pada umumnya, berbagai faktor lingkungan akan menentukan ruang
lingkup dan tipe analisis yang digunakan. Oleh karena itu penentuan
analisis terhadap sistem lingkungan dan sumberdaya alam membutuhkan
pertim bangan yang menyangkut proses analisis dan perencanaan ling-
kungan, termasuk analisis aktivitas.
Dengan mengasumsikan bahwa analisis awal dari perihal yang
dipertimbangkan tersebut di atas sudah dilakukan, maka langkah
berikutnya adalah menentukan secara terinci tingkat kompleksitas yang
dibutuhkan untuk membangkitkan informasi yang diperlukan mengenai
setiap elemen sistem lingkungan yang diana lisis, termasuk komponen
sumberdaya alamnya seperti lahan, air, udara, dan vegetasi. Tingkat
kompleksitas tersebut didefinsiikan pada selang waktu analisis dan ruang
lingkup sistem. Langkah berikutnya adalah menentukan apakah analisis
pada tingkat kom-pleksitas tertentu layak dilakukan berdasarkan
pertimbangan : (i) ketersediaan data, (ii) ketersediaan personil, (iii)
ketersediaan waktu dan dana, (iv) ketersediaan fasilitas komputer, dan (v)
ketersediaan perangkat lunak.
Beberapa teladan model pengelolaan sumberdaya alam dan ling-
kungan adalah sebagai berikut:

(1). Model Indeks Mutu Lingkungan (IML)


Model ini dirancang dengan harapan dapat dijadikan sebagai early
warning system dan alternatif penanganan dengan biaya yang optimal
oleh para pengambil keputusan (Eriyatno dan Ma'arif, 1989). Sebagai
suatu indeks, model ini harus memberikan indikator yang dapat
menyatakan mutu dan kualitas dari suatu sumberdaya alam dan/atau
lingkungan. Oleh karena itu dalam model ini indeks tersebut dapat
dinyatakan dengan kisaran nilai 0 hingga 100, dimana pada nilai indeks
29

100 menunjukkan mutu dan kualitas sumberdaya alam dan/atau kondisi


lingkungan yang diharapkan.
Penetapan model ini ditentukan oleh maksud dan kegunaan dari
pemakaian indeks itu sendiri. Indeks pada dasarnya adalah ukuran
kuantitatif untuk pembandingan menurut skala. Mengingat indeks mutu
lingkungan merupakan bagian dari sistem pemantauan dan evaluasi
lingkungan, maka model IML ini dapat dibedakan menurut fungsinya sbb:

(2). Model Ukuran Keragaan (Appearance Index)


Model ukuran ini dapat dirancang untuk tujuan analisis lingkungan
dan sumberdaya alam yang dikaitkan dengan karakteristik dan kualitas
sumberdaya alam dan mutu lingkungan.

UK = A. (  Wj. (  Zi. Iij)B )C

dimana:
Zi : Pembobot obyektif/empiris bagi parameter (I) yang ke-i dalam
kelompok indikator lingkungan yang ke-j
Wj : Pembobot subyektif/logik untuk kelompok indikator lingkungan yang
ke-j, dimana W j = 0

Dalam perhitungan pembobotan disarankan untuk Zi meng gunakan


konversi secara fisik atau moneter, W j menggunakan metode Delphi atau
Bayes dengan hitungan peluang, sedangkan A,B, dan C adalah koefisien
penormalan matematis untuk kesesuaian indeks, misalnya bilangan integer
non-negatif.

(3). Indeks Pengendalian


Indeks pengendalian ini harus dapat dirancang untuk tujuan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang dikaitkan dengan
program-program tertentu. Karena aplikasinya yang erat dengan kerangka
menejerial, maka IP bukan merupakan formula baku, namun lebih
merupakan model simulasi agar dapat digunakan untuk keperluan
pengkajian alternatif-alternatif kebijakan. Model yang berupa diagram blok
dapat dilukiskan seperti berikut.

U(t)

galat
+ Ge
30

I(T) + Gp
O(T)

I(t): input sistem berupa kondisi lingkungan yang diinginkan sesuai dengan
peruntukan seperti: air minum, pertanian dan per ikanan, nilai ambang
batas sungai.
O(t):output sistem berupa kondisi aktual
Gp :fungsi alih (transfer function) dari input-output
Ge :fungsi pengendali yang menguasai faktor teknologi dan biaya
U(t):input buangan/polutan
H : informasi umpan balik

Dalam proses perhitungann dan kuantifikasinya, maka:

UP = O(t) dan
O(t) adalah indeks mutu lingkungan yang diinginkan.

Metodologi yang disarankan untuk membentuk model simu lasi


adalah Descrete Time Model dengan Feed-back Control System.
Estimasi peubah acak dapat dilakukan dengan simulasi Montecarlo dengan
pembangkit bilangan acak sesuai dengan sebaran peluangnya.

(4). Model Optimasi


Pengelolaan sumberdaya lahan merupakan program berke-sinam-
bungan jangka panjang yang mempunyai karakteristik sasaran ganda
(multiple goals) dan tujuan ganda (multiple objectives). Program
tersebut dapat dilaksanakan semenjak inventarisasi dan evaluasi
sumberdaya hingga arahan penggunaan dan pelestariannya. Untuk
melihat dan mengendalikan kondisi lingkungan pada berbagai proses
konversi sumberdaya, maka dapat digunakan model IML. Sedangkan
untuk mengoptimumkan proses konversi tersebut yang mempunyai
sasaran dan tujuan ganda, maka dapat digunakan "Model Optimasi
Multi-kriteria".
Salah satu model optimasi seperti ini yang dapat digunakan adalah
Pemrograman Sasaran ("Goal Programming"). Program sasaran ini
merupakan salah satu program mate-matika dalam penelitian operasioanl
yang diusulkan sebagai salah satu pendekatan untuk menganalisis
persoalan-persoalan yang berkenaan dengan tujuan dan sasaran ganda
dan di antara tujuan tersebut terdapat kondisi bertentangan (tidak saling
menenggang) serta mempunyai susunan prioritas.
31

Multiobjective optimization
A goal programming function with multiple constraints is set up,
drawing information from the economic parameters of decision
variables. The goal programming model for the entire watershed or
area studied meets the criteria represented by single-objective
functions. These functions are built into the goal programming
function by sequentially optimizing such single-objective functions in
the order of priority established by consensus from the participatory
process implemented through the AHP.
The goal programming model is developed by setting up goals with
corresponding levels of “overachievement” and “underachievement”
over the initial objective functions. It is beyond the scope of this report
to explore the theoretical and mathematical details of goal
programming. Readers may refer to Romero and Rehman (1989) for an
example of the use of goal programming.

Structure of the model built for the trial area in the Amazon. Example
of structuring of a hierarchy. Global goal: "minimize environmental
and economic conflict".

Computer software programs for solving this type of problem (known


as “solvers”) are standard. Models can be developed and processed
interactively using, for example, the LINDO optimization software
(Lindo Systems, 1995). Figure 33 illustrates the optimal land-use
scenarios developed after linking the AHP and the results of the goal
programming model to the GIS. Figure 34 shows an example of the
32

steps for processing a goal programming model with the LINDO


software.
The procedures presented in the previous seven chapters describe a
methodological framework that has been tested in three locations in
Latin America and the Caribbean region. Results from the case studies
illustrating the application of the methods described in these chapters
are presented in the Appendix.

Example of AHP model for gathering stakeholder preferences and


participatory decision-making

www.fao.org/docrep/007/y5490e/y5490e0d.htm

Dalam proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan maka


kedua model tersebut dapat digunakan untuk melihat berbagai kondisi
seperti, (i) penampilan/keragaan sistem lingkungan, (ii) pengendalian
sistem lingkungan, dan (iii) pengoptimalan pengelolaan lingkungan. Dalam
banyak perihal dan kasus, para pengambil ke-putusan seringkali
dihadapkan pada masalah-masalah yang sifatnya tidak-saling-
menenggang sehingga sulit untuk segera diputuskan. Program sasaran
33

dapat membantu memecahkan permasalahan tersebut, yaitu dengan cara


menyusun sasaran-sasaran ke dalam bentuk urutan prioritas. Urutan
prioritas tersebut dapat disusun berdasarkan tingkat kepentingan sasaran-
sasaran dari pengelolaan lingkungan.

Model umum dari program sasaran adalah:

Meminimumkan: a= W i (di- + di+)

(terhadap/dengan aij Xj + di- - di+ = bi


pembatas)
Xj, di-, di+ >= 0

dimana: Xj = peubah keputusan ke-j; W i = Faktor pembobot fungsi


sasaran ke-i (ditentukan berdasarkan urutan prioritas); di- : peubah
simpangan negatif fungsi sasaran ke-i; di+ : peubah simpangan positif
fungsi sasaran ke-i; aij : parameter (koef. teknologi) dari fungsi sasaran ke-i
dan peubah keputusan ke-j; bi : nilai target sasaran ke-i.
Teladan aplikasi model program sasaran ganda tersebut dalam
program pengendalian erosi adalah sbb. :
(a). Sasaran : tingkat erosi minimum, kesuburan tanah maksimum, dan
teknik pengairan memadai.
(b). Peubah keputusan : tingkat kemiringan tanah, struktur tanah,
intensitas hujan, dan usahatani.

Berdasarkan urutan prioritas sasaran yang hendak dicapai, suatu


model optimasi multi-kriteria dapat disusun. Dengan demikian para
pengambil keputusan dapat melakukan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan secara optimal berdasarkan ketersediaan sumberdaya.

5. PEMODELAN SISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI

5.1. Pendahuluan
Daerah aliran sungai merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh
batas-batas topografis yang menyalurkan air hujan melalui suatu sistem
sungai. DAS ini merupakan unit hidrologis yang telah digunakan sebagai
unit biofisik dan sebagai unit sosial-ekonomi serta sebagai unit sosial politik
dalam perencanaan dan implementasi aktivitas-aktivitas pengelolaan
sumberdaya (Easter dan Hufschmidt, 1985). Selanjutnya dikemukakan
bahwa pengelolaan DAS merupakan suatu proses memformulasikan dan
megimplementasikan aktivitas-aktivitas yang melibatkan sumberdaya alam
dan manusia dalam suatu DAS, dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sosial, politik, ekonomi dan institusional yang ada, dengan maksud untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan .
34

5.2. Identifikasi Sistem DAS


Teknik diagramatis sangat membantu dalam identifikasi sistem DAS
yang kompleks. Beberapa macam diagram dapat dikemukakan berikut ini:

(1). Diagram Lingkar Sebab-Akibat (causal-loop)


Pengabstraksian beberapa fenomena pokok yang terjadi dalam
sistem DAS dapat dilukiskan seperti bagan berikut.

www.auditor.leg.state.mn.us/.../watersheds.pdf

www.kingstongreens.ca/mainPages/Kingston2025.htm
35

Pemanfaatan
Sumberdaya:
Lahan,
+
Air
+ +
+
Dayadukung
Lahan Pendapatan
+ Penduduk
+
Hasil :
Air, sedimen,
Limbah, dll
+ - +
-
Kelestarian Kesejahtera-
Sumberdaya: an penduduk
Lahan, air
Hutan setempat
+
+ Teknologi
Industri
Pertanian
SDA Air
SDA Tanah + +
SDA Vegetasi +
SDA Fauna
Investasi:
Privat, Publik:
Subsidi
Bantuan

Diagram lingkar sebab-akibat sistem DAS.

(2). Diagram kotak-hitam I/O Sistem DAS

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari diagram lingkar dapat


disusun diagram input/output sistem DAS (Gambar 3).
36

Input Lingkungan

Input tidak Output yg


terkendali diinginkan

SISTEM DAS

Input yang Output yg


terkendali parameter diinginkan

Umpan
balik

Gambar 3. Diagram kotak-hitam I/O sistem DAS

Keterangan:
(1). Output yang diinginkan: Tersedianya air sepanjang tahun; Swa-sem-
bada pangan; Tersedianya kesempatan kerja; Terkendalinya degra-
dasi lingkungan
(2). Output yang tidak diinginkan : Kerusakan hutan, Banjir dan
kekeringan; Erosi dan sedimentasi berlebihan; Kemiskinan/pe-n-
gangguran
(3). Input terkendali: Investasi, alokasi lahan, teknologi
(4). Input tak terkendali: harga komoditi,informasi pasar
(5). Input lingkungan : fisik, perundangan, sistem budaya
(6). Umpan balik: Bappeda, Pemda
(7). Parameter DAS: luas, ukuran, lokasi DAS.

(3). Diagram Umpan Balik Pengendalian


Secara umum diagram umpan balik pengendalian dapat dilukiskan
seperti Gambar 4. Diagram ini menggambarkan suatu sistem yang tertutup
dimana mekanisme umpan balik dapat bekerja dengan lancar. Gangguan
atau disturbansi (D(t)) dalam beberapa subsistem cukup besar sehingga
kalau ini terjadi maka fungsi pengendali tidak dapat bekerja secara efektif.

5.3. Pemodelan Sistem DAS


Lima tahapan yang lazim ditempuh dalam pemodelan sistem
adalah: (i) mengisolasi komponen-komponen atau subsistem-subsistem
yang pokok, (ii) definisi peubah-peubah input ("causal variable"), (iii) defi-
nisi peubah-peubah respons atau status ("response variables"), (iv)
definisi peubah-peubah output ("output variables"), lazimnya ini berkaitan
langsung dengan peubah status, dan (v) menentukan struktur sistem,
bagaimana peubah-peubah berinteraksi menghasilkan proses.
37

U(t)

I(t) O(t)
FP FT

D(t)

MI
Information lag

Gambar 4. Diagram Umpan Balik Pengendalian Sistem DAS (Soemarno,


1991).

I(t): Control-index, merupakan input sistem berupa kondisi yang menjadi


sasaran pengelolaan DAS:misalnya laju erosi tanah dan kandungan
sedimen air sungai.
FP: Fungsi pengendali, mengendalikan bekerjanya fungsi transfer (FT).
Fungsi pengendali ini menguasai teknologi, dana, dan otorita:
misalnya petani.
FT: Fungsi transfer, tugasnya mengubah input sistem menjadi output
sistem. Fungsi ini mempunyai struktur dan mekanisme spesifik yang
bisa mendukung fungsinya, misalnya lahan tegalan dengan tanaman
jagung.
U(t):Input sistem DAS: material, kapital, teknologi; misalnya hujan, pupuk,
benih, tenakerja.
D(t):Gangguan terhadap sistem, biasanya tidak dapat dikendalikan oleh FP
dan FT: misalnya gunung meletus
O(t):Output sistem aktual: hasil sedimen
MI : Menejemen informasi: Dinas Pengairan, Pengelola Waduk, BRLKT.

Sebagian dari informasi tentang komponen sistem, peubah-peubah


sistem dan dtruktur sistem telah diuraikan dalam bagian identifikasi sistem.
Oleh karena itu tahap pemodelan ini biasanya diawali dengan menyusun
diagram alir yang menya takan rangkaian antara input sistem, komponen
sistem dan output.
Berdasarkan diagram alir tersebut kemudian dilakukan penjabaran
masing-masing komponen secara lebih mendetail. Misalnya model
usahatani yang dikhususkan untuk menentukan alternatif pola pergiliran
tanaman yang aman erosi dan layak ekonomi. Diagram alir deskriptif
model ini dapat dilukiskan seperti Gambar 5. Untuk mencapai tujuan
seperti yang dilukiskan dalam Gambar 6, maka dapat disusun strategi
bertahap sbb: (1). Penetapan batas toleransi erosi, (2). Evaluasi jenis-jenis
38

tanaman yang sesuai, (3). Analisis usahatani tanaman yang sesuai, (4).
Pendugaan kehilangan tanah potensial dan aktual , (5). Evaluasi alternatif
pola pergiliran tanaman (B/C-ratio dan faktor C), (6). Menemukan alternatif
pola pergiliran tanaman yang aman, (7). Menemukan alternatif pola
pergiliran tanaman yang layak.

4. Implementasi Komputer
Untuk menjabarkan model-model matematik tersebut di atas
menjadi model komputer maka diperlukan dua macam alat bantu, yaitu
block-diagram untuk mengarahkan algoritme perhitungan dan bahasa
pemrograman yang bersifat umum, seperti BASIC, FORTRAN, atau
PASCAL. Sebagai teladan ilustratif adalah perhitungan dugaan kehilangan
tanah di suatu lokasi lahan tertentu dengan menggunakan model
Wischmeier dan Smith (1978). Block diagramnya dapat disajikan dalam
Gambar 8.

Mulai

Komponen Bio-ekonomi:
Persiapan dan input data: Model-model usahatani
Biofisik, sosek, sosbud, Model-model usahata-ternak
demografis, dan lainnya

Model Alokasi/Optimasi
Sumberdaya air :
Model-model hidrologi
Model-model hujan Output sistem DAS

Sumberdaya lahan: Selesai


Model-model kualitas lahan
Model-model produktivitas
Model-model degradasi

Sumberdaya Manusia:
Model-model demografi
Model-model kependudukan
Model-model dinamika sosial

Gambar 5. Diagram alir deskriptif sistem DAS


39

Tujuan: Pola tanam aman erosi


dan layak ekonomi

Jenis tanaman yang sesuai


secara agroekologi dan
sosial-budaya

Pola pergiliran tanaman di


lahan tegalan

B/C ratio Faktor Pengelo-


laan tanaman
(Faktor C)

Evaluasi kelayakan Evaluasi keamanan


ekonomi erosi

Pola pergiliran tanaman


yang aman erosi dan layak Toleransi erosi
ekonomi

Gambar 6. Diagram alir deskriptif penentuan pola pergiliran tanaman yang


aman erosi dan layak ekonomi .
40

Data hujan, tanah, topo


grafi, tanaman, landuse

Evaluasi Erosivitas
Faktor R

Evaluasi erodibilitas
Faktor K Tanaman yg
Kesesuaian lahan
sesuai

Pemetaan dan eva-


Faktor LS
luasi satuan lereng

Pendugaan erosi
Indeks bahaya erosi

RKLS,
Evaluasi neraca le-
IBE
ngas lahan setahun

Evaluasi pola pergi-


liran tanaman Faktor P

EVALUASI AGROTEKNOLOGI

Saran agrotekno-
logi yg sesuai

Gambar 7. Diagram alir formulatif untuk menemukan agro teknologi yang


aman erosi dan layak ekonomi (Soemarno, 1991).
41

C P

R RKLSCP

LS
K

Gambar 8. Diagram kotak perhitungan dugaan kehilangan tanah di suatu


bidang lahan (Soemarno, 1991).

www.anra.gov.au/topics/soils/pubs/national/ag...
42

KETERKAITAN DAN DAMPAK MULTIPLIER SEKTOR AGROINDUSTRI


DI INDONESIA

Tri Haryanto, Candra F. Ananda dan Munawar Ismail


AGRITEK VOL. 16 NO. 8 AGUSTUS 2008

Pembangunan pertanian sangat penting dalam proses


industrialisasi di Indonesia, terutama dalam menjamin ketahanan pangan
selama proses industrialisasi berlangsung, meningkatkan pendapatan riil
per kapita di sektor ini sebagai sumber permintaan terhadap produk-produk
non pertanian, sebagai sumber pertumbuhan bagi industri manufaktur
melalui keterkaitan produksi, keterkaitan pendapatan dan keterkaitan
invetasi.
Peran sektor pertanian dalam per-ekonomian nasional secara
empiris telah terbukti cukup nyata baik dalam kondisi perekonomian yang
normal maupun pada saar perekonomian menghadapi krisis. Hal ini dapat
dilihat dari 2 (dua) indicator penting, yaitu kontribusi sektor pertanian
terhadap Produk Domestik Bruto dan penyerapan tenaga kerja. Peran
sektor pertanian dalam pembangunan nasional, antara lain (a) sebagai
penghasil pangan yang tidak dapat digantikan secara sempurna oleh
sektor ekonomi lainnya, (b) komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas
harga, (c) akselerasi pemba-ngunan pertanian sangat penting untuk
mendorong ekspor dan mengurangi impor, (d) komoditas pertanian
merupakan bahan baku industri manufaktur pertanian, (e) keterkaitan
sektor pertanian dengan sektor lainnya dapat menjadi titik temu keterkaitan
antar sektor yang lebih efektif.

Model input-output

Output yang dihasilkan oleh suatu sektor (i) terdistribusi dalam dua
cara, yaitu sebagai input antara (intermediate input) baik oleh sektor itu
sendiri (i) maupun oleh sektor lainnya (j), dan yang langsung dikonsumsi
sebagai permintaan akhir (final demand). Distribusi output dari sektor (i)
secara sederhana dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matematis
sebagai berikut:

Xi = zi1 + zi2 + ... + zin + Yi ........................…… (1)

dimana: Xi = total ouput sektor i; Yi = total permintaan akhir sektor i; zij =


nilai arus barang dari sektor i ke sektor j.

Permintaan akhir terhadap output sektor i, berasal dari para pelaku


ekonomi yang secara umum berupa konsumsi rumah tangga, investasi
perusahaan,konsumsi pemerintah dan permintaan akhir dari sektor luar
negeri, yaitu ekspor. Dengan demikian jika terdapat n sektor dalam
perekonomian, maka akan terdapat n persamaan, dapat dituliskan
43

X1 = z11 + z12 + ... + z1n + Y1


X2 = z21 + z22 + ... + z2n + Y2
................

Xn = zn1 + zn2 + ... + znn + Yn ........................................... (2)

Hubungan antara output suatu sektor j dengan input yang berasal


dari sektor i tercermin dalam koefisien input-output (aij) atau yang lazim
disebut koefisien teknis serta dapat dinyatakan sebagai:

zij
aij 
Xj zij  aij X j …................ (3)
atau

dan memasukkan nilai koefisien zij persamaan (3) pada sistem


persamaan (2) diperoleh:

X 1  a11 X 1  a12 X 2  . . . a1n X n  Y1

X 2  a 21 X 1  a 22 X 2  . . . a 2 n X n  Y2

X n  a n1 X 1  a n 2 X 2  . . . a nn X n  Yn
……………………………. (4)

Dengan memindahkan seluruh elemen ruas kanan persamaan (3)


ke ruas kiri kecuali Yi, dan mengelompokkan Xi yang sama, maka akan
diperoleh:

(1 a 1 1)X 1 a 1 2X 2 . . .a 1 nX n  Y1
a 2 1X 1  (1 a 2 2 )X 2 . . .a 2 nX n  Y 2

a n 1X 1 a n 2X 2 . . .(1 a n n )X n  Y n
…………………….. (5)

Sistem persamaan (5) dapat ditulis dalam notasi matriks sederhana,


sebagai:

(I - A)X = Y …………….. (6)

dimana I adalah matriks identitas berukuran n x n. Sedangkan A, X


dan Y jika dinyatakan dalam bentuk matriks adalah
44

 a11 a12  a1n 


 a21 a 22  a 2 n 
A 
    
a  a nn 
 n1 an2

 Y1 
 Y2 
Y 

 Yn 
 X1 
 X2 

X
  
 X n 

sehingga elemen-elemen diagonal utama matriks (I - A) adalah (1 -


a11), (1 - a22), ...(1 - ann). Adapun di luar diagonal utama berisi elemen - aij.
Perubahan yang terjadi dalam per mintaan akhir akan
mengakibatkan perubahan pada total output, sehingga dari kondisi pada
persamaan (6) dapat ditu liskan:

X = (I - A)-1 Y …………………. (7)

atau yang dikenal sebagai bentuk umum model input-output terbuka


(opened input-output analysis).

Berbeda dengan model input-output terbuka dimana rumah tangga


termasuk dalam faktor eksogen, maka pada model tertutup rumah tangga
dimasukkan sebagai salah satu sektor endogen dalam komponen matriks
input antara. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan satu baris yang
menunjukkan output rumah tangga yaitu jasa tenaga kerja (labor services)
yang digunakan sebagai input oleh berbagai sektor produksi dan
penambahan kolom yang menunjukkan struktur konsumsi rumah tangga
yang terdistribusi diantara sektor-sektor produksi.
Matriks koefisien teknis yang baru A merupakan matriks bujur
sangkar ber-dimensi (n+1) x (n+1) serta merupakan matriks yang terpartisi,
yaitu:

 A  Hr 
A       
 hl  h 

dimana HC adalah vektor kolom konsumsi rumah tangga berdimensi nx1,


HL adalah vektor baris balas jasa faktor produksi tenaga kerja berdimensi
nx1, dan h adalah skalar yang menunjukkan jumlah tenaga kerja yang
45

digunakan oleh rumah tangga sendiri. Dengan menggunakan alur analisis


seperti diuraikan di muka, maka dihasilkan suatu sistem persamaan

( I  A) X  Y ……………. (8)

dimana:

 X1 
I  A  HC      X 
( I  A)  
  H L 1  h 
X
 X n    X n1 
 X n1 

 Y1* 
 
    Y* 
Y 
 Yn*   Yn*1 
 * 
 Yn1 

Vektor kolom Y* menunjukkan vektor kolom Y yang telah dikurangi


konsumsi rumah tangga. Sedangkan Y*n+1 merupakan skalar yang
menunjukkan permintaan akhir terhadap tenaga kerja setelah dikurangi
permintaan terhadap tenaga kerja oleh rumah tangga.
Penguraian persamaan (8) secara utuh akan berisi n persamaan,
masing-masing untuk setiap sektor produksi ditambah satu persamaan
untuk sektor rumah tangga yang dapat dilukiskan sebagai berikut:

(I - A)X - HCXn+1 = Y*

- HLX + (1 - h)Xn+1 = Y*n+1 ….....................................................… (9)

sehingga penyelesaian sistem persamaan (8):

1
 X   1  A  HC   Y* 
 X n 1    H L 1  h   Yn 1 
*
………………………………….. (10)

atau
1
X  ( I  A) Y

dimana (I - A)-1 adalah pengganda Leontief model input-output tertutup.


46

Identifikasi variabel

Variabel yang digunakan dalam pene litian diidentifikasikan ke dalam


variabel endogen dan variabel eksogen. Variabel eksogen mencakup
semua elemen permin taan akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga,
konsumsi pemerintah, investasi domestik bruto dan perubahan stok serta
ekspor barang dan jasa. Sedang kan vaiabel endogen mencakup semua
input antara termasuk output rumah tangga yaitu input tenaga kerja.

Jenis dan sumber data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersumber dari Tabel Input-Output Indonesia tahun 1998 dengan klasifikasi
66 x 66 sektor produksi, yang diterbitkan oleh Biro Pusat Statiktik (BPS).

Metode analisis data


Analisis dilakukan terhadap hasil perhitungan tingkat keterkaitan total
baik ke depan maupun ke belakang dan hasil perhitungan angka
pengganda tipe II baik output, pendapatan maupun kesempatan kerja
terkait dengan permasalahan pertama dan kedua yang diajukan dalam
penelitian ini. Sedangkan terkait dengan permasalah an ke tiga, dilakukan
baik dengan membandingkan antara hasil perhitungan tingkat keterkaitan
dan pengganda dari tabel I-O tahun 1998 dengan hasil pene litian
sebelumnya maupun menggunakan korelasi rank Spearman.
Adapun perhitungan tingkat keter-kaitan antarsektor dan angka
penggan-danya dilakukan dengan formula sebagai berikut:

a. Keterkaitan ke depan total

n
F ( d  i ) i   q ij
j 1
……………………… (11)

dimana q ij adalah elemen matriks (I - )-1.

b. Keterkaitan ke belakang total

n
B ( d  i ) j   ij
i 1 …………………… (12)

dimana αij adalah elemen matriks kebalikan Leontief (I-A)-1

c. Pengganda output total

n1
Oij    ij
i 1 ………………………….. (13)
47

Dimana  ij adalah elemen matriks kebalikan Leontief model input-output


tertutup.

d. Pengganda pendapatan rumahtangga

n1
 a  ij
i 1 n 1,i  ij
Yj  
a n 1, j a n 1, j

dimana an+1,j adalah koefisien input-output

e. Pengganda kesempatan kerja

n1
 w  ij
Ej i 1 n 1,i
Wj  
wn 1, j wn 1, j
……………….. (15)

dimana Ej adalah total pengganda kesempatan kerja, sedangkan wn+1


adalah koefisien tenaga kerja.

Analisis Keterkaitan

Dilihat dari hubungan suatu sektor dengan sektor lainnya, keterkaitan antar
sektor dapat dikatagorikan menjadi 2 (dua), yaitu keterkaitan ke belakang
(backward linkages) atau lazim disebut sebagai daya penyebaran dan
keterkaitan ke depan (forward linkages) atau yang lazim disebut derajat
kepekaan. Hubungan antara keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke
belakang sektor-sektor dalam agroindustri Indonesia disajikan pada Tabel
1.
48

Tabel 5. Hubungan Keterkaitan Kedepan dan Keterkaitan Kebelakang


Sektor Agroindustri di Indonesia Tahun 1998.

Keterkaitan Ke Depan
Tinggi Rendah
29 Industri Penggilingan Padi 7 Karet
19 Pemotongan hewan 32 Industri Makanan lainnya
31 Industri Gula 37 Ind. Barang dari bambu,
kayu, rotan
11 Tembakau 27 Ind. Pengolahan &
Pengawetan Mak.
33 Industri Minuman 28 Industri Minyak & Lemak
8 Tebu 35 Industri Pemintalan
20 Unggas & hasil-hasilnya
13 Teh
Tinggi

18 Peternakan
39 Industrui Pupuk & Pestisida
12 Kopi
17 Tanaman lainnya 10 Kelapa sawit
34 Industri Rokok 42 Industri barang dari karet &
30 Industri Tepung 21 plastik
Keterkaitan Ke Belakang

23 Perikanan 15 Kayu
22 Hasil hutan lainnya 38 Hasil tanaman serat
1 Padi 36 Industri kertas
14 Cengkeh 16 Ind. Tekstil, pakaian jadi &
3 Jagung 47 kulit
6 Ind. bahan bakanan lainnya Tanaman perkebunan lainnya
9 Kelapa Industri barang dari logam
Rendah

2 Tanaman kacang-kacangan
5 Sayur & buah-buahan
4 Tanaman umbi-umbian
Sumber: diolah dari Tabel Input-Output tahun 1998.

Berdasarkan hubungan tingkat keterkaitan tersebut, sektor agroindustri


di Indonesia dapat diklasifi kasikan menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Kelompok I, mencakup sektor-sektor yang mempunyai
keterkaitan ke depan dan keterkaitan kebelakang tinggi.
b. Kelompok II, terdiri dari sektor-sektor dengan keterkaitan
kedepan rendah, tetapi keterkaitan ke belakangnya tinggi.
c. Kelompok III, mencakup sektor-sektor dengan keterkaitan
kedepan tinggi, tetapi keterkaitan ke belakangnya rendah.
d. Kelompok IV, meliputi sektor-sektor yang keterkaitan kedepan
dan ke terkaitan kebelakangnya rendah.

Dari pengelompokan di atas, maka dapat diidentifikasikan sektor-sektor


prio ritas yang layak untuk dikembangkan adalah sebagai berikut:
a. Prioritas utama (top priority) adalah sektor-sektor yang termasuk dalam
kelompok I. Dilihat dari keterkaitan kedepan dan kebelakangnya yang
tinggi, sektor-sektor dalam kelompok ini pada dasarnya merupakan
inter mediate agroindustry serta menunjuk kan baik tingginya
penyebaran dampak perubahan dari sektor-sektor tersebut terhadap
sektor hulu (penye dia input) maupun distribusi output sektor-sektor ini
49

terhadap sektor hilirnya. Berdasarkan kriteria ini, maka tercatat sebelas


sektor termasuk dalam sektor-sektor yang mendapat prioritas utama
untuk pengembangan nya.
b. Prioritas kedua (second priority) dapat dipilih sektor industri pengolah
hasil pertanian yang keterkaitan ke belakangnya tinggi atau yang lebih
spesifik termasuk katagori final manu facture dan sektor pertanian
primer yang keterkaitan kedepannya tinggi atau yang lebih spesifik
termasuk dalam katagori intermediate primary production. Dengan kata
lain untuk prioritas kedua dapat dipilih beberapa sektor yang termasuk
dalam kelompok II dan III, tetapi tidak termasuk dalam kelompok I serta
memenuhi spesifikasi di atas.

Berdasarkan hasil analisis dan pemba hasan seperti telah diuraikan


pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
a. Industri penggilingan padi (29), industri minyak dan lemak (28), industri
makanan lainnya (32) dan industri bambu, kayu dan rotan (37)
merupakan empat sektor sebagai prioritas utama untuk dikembangkan
berdasarkan kriteria bahwa sektor-sektor tersebut mempunyai keter-
kaitan dan pengganda baik output, kesem patan kerja maupun penda-
patan yang tinggi. Sektor lain yang juga mempu nyai potensi untuk
dikembangkan yaitu karet (7), pemotongan hewan (19), industri
pengolahan dan pengawetan makan (27), industri minuman (33) dan
industri rokok (34).
b. Dampak perubahan permintaan akhir tehadap sektor-sektor prioritas
terpilih pada dasarnya sebagian besar ter distribusi kapada sektor-
sektor pendu kung utamanya. Disamping itu, keter-kaitan antara sektor
pertanian primer, industri pengolah hasil dan penyedia input sektor
pertanian pada kenyata annya telah menjadi titik temu bagi
berkembangnya sektor-sektor lain dalam perekonomian.
c. Secara empiris telah terjadi perubahan yang mendasar pada struktur
keter kaitan agroindustri di Indonesia pada rentang tahun 1990-1998,
yaitu menunjukkan dominasi intermediate agroindustry dan intermediate
primary production dan keterkaitan sektor pertanian primer baik ke
depan maupun kebelakang yang semakin tinggi. Sedangkan dari hasil
per hitungan koefisien korelasi rank Spearman untuk pengganda output,
kesempatan kerja dan pendapatan menurun secara signifikan selama
1980-1998 dan perubahan komposisi sektor yang menempati peringkat
sepuluh besar menunjukkankan bah-wa telah terjadi perubahan yang
mendasar terhadap efek keterkaitan antar sektor (pengganda) dalam
konstelasi agroindustri di Indonesia.
50

ANALISIS PENGELOLAAN BENDUNG GERAK MRICAN KANAN


DENGAN SISTEM POLA TANAM

M. Janu Ismoyo
AGRITEK VOL. 16 NO. 12 DESEMBER 2008

Bendung Gerak Mrican merupakan salah satu bendungan yang


didirikan pada wilayah DAS Sungai Brantas, berada di bagian hilir
Bendungan Ludoyo, tepatnya di wilayah Kabupaten Kediri Kecamatan
Gampengrejo Desa Gampengrejo atau berada pada wilayah DAS Brantas
Tengah . Bendungan gerak Mrican dibangun untuk tujuan diantaranya: (a)
Penyediaan air Irigasi daerah Warujayeng-Turi Tunggo rono seluas 23.160
ha ; (b) Pengontrol sedimen masuk ke saluran irigasi ; (c) Pengendali banjir
; (d) Pencegah degradasi berlebihan di sungai. Namun dalam operasi
pemenuhan layanannya sering didapati masalah. Masalah utama yaitu
kekurangan air di beberapa daerah layanannya, khususnya daerah layanan
bagian hilir yaitu wilayah irigasi Jombang.
Pengaturan pola tata tanam diperlukan untuk memudahkan
pengelolaan air agar air tanaman yang dibutuhkan tidak mele bihi air yang
tersedia. Pola tata tanam memberikan gambaran tentang waktu dan jenis
tanaman yang akan diusahakan dalam satu tahun.
Menurut standart perencanaan irigasi, rumus umum untuk
menghitung besarnya kebutuhan air irigasi adalah:

NFR = CT + CPL + CP + CPLA - Reffektif

dimana: NFR = kebutuhan air bersih disawah; CT = kebutuhan air untuk


tanaman; CPL = Kebutuhan air untuk pengolahan lahan; CP = kebutuhan
air untuk perkolasi; CPLA = penggantian lapisan air; Reffektif = curah hujan
effektif.

Kebutuhan Air Tanaman

Kebutuhan air tanaman adalah se-jumlah air yang dibutuhkan untuk


meng-ganti air yang hilang akibat penguapan. Rumus yang digunakan
untuk menghitung besarnya kebutuhan air tanaman adalah sebagai berikut
:

CT = k x Eto x Luas rasio tanam

dimana : CT = Kebutuhan air tanaman (mm/hari); k = Koefisien


tanaman; Eto = Evaporasi potensial ( mm/hari).

Kebutuhan Air Penyiapan Lahan

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan bertujuan untuk menyiapkan


lahan agar dapat segera ditanami setelah sebelumnya dilakukan panen
51

tanaman. Langkah yang digunakan untuk menghitung besarnya kebutuhan


air untuk penyiapan lahan adalah sebagai berikut :

CPL= Cpenj.lahan x Luas rasio tanam

Dalam hal ini : CPL= Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari);
Cpenj.lahan =Kebutuhan air untuk penjenuhan lahan (mm/hari).

Perhitungan Kebutuhan Air Perkolasi

Perkolasi merupakan kecepatan ma-suknya air dari lapisan tanah tak


jenuh ke lapisan tanah jenuh.

CP = P x Rasio luas perkolasi

dalam hal ini: CP = Kebutuhan air untuk perkolasi; P = Besarnya nilai


perkolasi.

Perhitungan Kebutuhan Air untuk Penggantian Lapisan Air

Penggantian lapisan air erat hubung annya dengan kesuburan tanah.


Hal ini dikarenakan setelah beberapa saat pena naman, air yang
digenangkan di permu kaan sawah akan kotor dan mengandung zat-zat
yang tidak diperlukan lagi oleh tanaman, bahkan akan merusak. Air
genangan tersebut perlu dibuang agar tidak merusak tanaman yang ada di
lahan. Oleh karenanya diperlukan penggantian lapisan air untuk
mengurangi kerusakan tanaman yang ada di lahan. Langkah yang digu
nakan untuk menghitung besarnya kebu tuhan air untuk penggantian
lapisan air adalah sebagai berikut :

1. Menghitung besarnya kebutuhan air selama periode yang telah


ditentukan sebelumnya. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
C
CP=
n

dalam hal ini : CP = Kebutuhan air untuk penggantian lapisan per periode
(mm/hari); C = Kebutuhan air untuk penggantian lapisan (mm); n = jangka
waktu pergantian lapisan air (hari).

2. Menghitung besarnya kebutuhan air untuk penggantian lapisan air


dengan menggunakan rumus berikut :

CPLA= CP x Luas rasio tanam


dalam hal ini : CPLA = Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari);
CP = Kebutuhan air untuk penjenuhan lahan (mm/hari).

Perhitungan Kebutuhan Air Kotor di Sawah


52

Kebutuhan air kotor di sawah adalah besarnya jumlah air yang


dibutuhkan di sawah yang dipengaruhi oleh besarnya kebutuhan air
tanaman, kebutuhan air untuk penyiapan lahan, kebutuhan air akibat
perkolasi dan kebutuhan air untuk penggantian lapisan air.

Ckeb.air kotor = CT + CPL + CPLA + CP

dalam hal ini : CT = Kebutuhan air tanaman (mm/hari); CPL = Kebutuhan


air untuk penyiapan lahan (mm/hari); CPLA = Kebutuhan air untuk
penggantian lapisan air (mm/hari); CP = Kebutuhan air untuk perkolasi
(mm/hari).

Perhitungan Kebutuhan Air Bersih di Sawah

Kebutuhan air bersih di sawah adalah besarnya kebutuhan air kotor di


sawah dikurangi dengan besarnya curah hujan efektif.:

NFR = Ckeb.air kotor - Reffektif

Dalam hal ini : Ckeb.air kotor = Kebutuhan air kotor (mm/hari); Reffektif =
Curah hujan efektif (mm/hari).

Perhitungan Kebutuhan Air di Intake

Kebutuhan air di intake adalah besarnya kebutuhan air yang harus ada
di saluran intake. Besarnya dipengaruhi oleh berbagai macam kebutuhan
air di lahan dan efisiensi saluran irigasi.
NFR
IRpadi = xA
effisiensi
CT  Reffektif
IRpalawija = xA
effisiensi

Dalam hal ini: IRpadi = kebutuhan air irigasi untuk tanaman padi;
Irpalawija =kebutuhan air irigasi untuk tanaman palawija; A = luas lahan
(ha).

Sistim Pemberian Air

Terdapat dua Sistim pokok tentang pemberian air irigasi, yaitu :


a. Sistim pengaliran terus menerus (continuing flowing), yang azim dipakai
di Indonesia
b. Sistim giliran tetap (permanent rotation) yang dipakai di negara-negara
maju, karena dapat menghemat pemakaian air.

Perencanaan jaringan tersier di Indonesia pada saat ini umumnya


dipakai Sistim continuing flowing, namun pada saat air irigasi tidak
mencukupi, harus dilakukan Sistim gilir.
53

Sistimatika pemberian nama blok rotasi, sesuai dengan arah aliran


dan putaran jarum jam. Cara pembagian air yang dibagi atas empat blok
rotasi (Blok A, B, C, D) terdapat kemungkinan-kemungkinan cara
pemberian airnya yaitu :
a. Pembagian air secara terus menerus dilakukan bila debit air Q
80% Q max
b. Rotasi I (satu blok tidak diairi, tiga blok lainnya diairi) dilakukan
bila Q = 60 % - 80 %Qmax. Pemberian air pada blok rotasi A,B,C
dan D dibagi menjadi 4 periode selama waktu 14 hari 336 jam

Periode I : A,B,C diairi, sedangkan D tidak diairi : lamanya pemberian air =

A BC 336
x jam
ABC D 3

c. Rotasi II (dua blok tidak diairi, dua blok lainnya diairi) dilakukan
bila Q = 40 % - 60 %Qmax

Pembagian air dibagi menjadi dua periode selama waktu 7 hari atau
168 jam. Agar mendapatkan hasil yang baik maka supaya diatur agar
kedua blok yang digabungkan memiliki total luas yang sama.

Periode I : A dan C diairi dan B dan D tidak diairi lamanya pemberian air =
AC
x 168 jam .
ABCD

d. Rotasi III (tiga blok tidak diairi, satu blok lainnya diairi) dilakukan bila
Q = 40 % Qmax

Periode I : A diairi dan B,C,D tidak diairi lamanya pemberian air =

A
x 168 jam
ABCD

demkian seterusnya hingga periode 4 yakni blok D yang diairi.

Analisis Kebutuhan Air

Kebutuhan air untuk pertanian yang diperhitungkan hanya


kebutuhan air irigasi, yaitu sesuai tujuan layanan Bendung gerak Mrican
kanan. Besarnya kebutuhan air layanan iri-gasi Bendung gerak Mrican
Kanan ditentukan berdasarkan tahapan berikut:
1) Menentukan luas baku sawah yang masuk ke dalam wilayah layanan
Bendung Gerak Mrican intake kanan.
2) Menghitung kebutuhan air irigasi tiap baku sawah yang ada dari data
dengan interval 10 harian, menjadi total bulanan.
54

3) Menghitung total kebutuhan air irigasi dari jumlah kebutuhan air irigasi
masing-masing baku sawah layanan Bendung Gerak Mrican intake
kanan.
4) Data luasan area layanan irigasi didapatkan dari Dinas Pengairan wi-
layah kabupaten Kediri dan Jombang serta didapatkan pada kantor
pengelola Bendung gerak Mrican dan kantor Perum. Jasatirta.

Analisis Ketersediaan Air


Ketersediaan air sebagai sumber in-flow debit untuk Bendung gerak
Mrican dihitung berdasarkan hasil pengukuran di lapangan selama periode
10 tahun.

Analisa Klimatologi, Evapo-transpirasi

Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan berupa pengolahan tanah dilakukan bersamaan


dengan perse maian selama 20-30 hari sebelum masa tanam padi.
Pekerjaan ini dilakukan dalam dua tahap pekerjaan, yaitu pekerjaan
membajak dan menggaru. Kebutuhan air untuk pengolahan lahan termasuk
pembi bitan adalah 250 mm, 200 mm digunakan untuk penjenuhan dan
pada awal pembi bitan akan ditambahi 50 mm.

CPL = (M x ek) / (ek – 1)


55

Tabel 1 Rekapitulasi Evapotranspirasi

ET* Eto
Bulan
22 23
Januari 5.142 5.657
Februari 5.137 5.651
Maret 5.009 5.009
April 4.687 4.687
Mei 4.121 3.915
Juni 3.856 3.663
Juli 3.913 3.913
Agustus 4.224 4.224
September 4.783 5.261
Oktober 5.199 5.719
November 5.232 6.016

Tabel 2. Perhitungan Kebutuhan Air Selama Penyiapan Lahan

Eo P M CPL
Bulan k=MT/S
mm/hr mm/hr mm/hr mm/hr
Jan 6.22 2 8.22 0.99 13.110
Feb 6.22 2 8.22 0.99 13.105
Mar 5.51 2 7.51 0.90 12.645
Apr 5.16 2 7.16 0.86 12.417
Mei 4.31 2 6.31 0.76 11.880
Jun 4.03 2 6.03 0.72 11.708
Jul 4.30 2 6.30 0.76 11.879
Agust 4.65 2 6.65 0.80 12.094
Sept 5.79 2 7.79 0.93 12.825
Okt 6.29 2 8.29 0.99 13.155
Nop 6.62 2 8.62 1.03 13.372
Des 6.92 2 8.92 1.07 13.577
56

Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Simulasi Pola Tata Tanam

Alternatif Alternatif Alternativ


Alternatif I
Bulan II III IV
lt/det/ha
Oktober 2.37 1.59 0.57 0.07
II 2.74 1.69 1.69 0.28
III 3.14 2.80 2.80 0.56
November 2.67 2.67 2.67 0.29
II 2.77 2.77 2.77 1.00
III 2.58 2.58 2.58 1.24
Desember 2.72 2.72 2.72 1.39
II 0.84 0.84 0.84 0.00
III 2.99 2.99 2.99 1.18
Januari 0.81 0.81 0.81 0.00
II 1.49 1.49 1.49 0.00
III 0.38 0.38 0.38 0.00
Februari 1.24 1.24 0.68 0.00
II 1.57 1.57 0.00 0.00
III 2.04 2.04 0.00 0.00
Maret 2.40 0.00 0.00 0.00
II 1.81 0.00 0.00 0.00
III 0.37 1.03 0.00 0.00

Efisiensi Irigasi

Efisiensi irigasi adalah presentasi jumlah air yang keluar dibandingkan


dengan jumlah air yang masuk. Besarnya efisiensi pada daerah studi saat
ini adalah 45%.

Simulasi Pola Tata Tanam

Dalam studi ini dipergunakan bebe rapa alternatif pola tata tanam, yaitu
:
1. Padi – Padi – Padi
2. Padi – Padi – Palawija
3. Padi – Palawija – Palawija
Palawija – Palawija – Palawija

Ketersediaan Debit Andalan

Debit ketersediaan Bendung Gerak Mrican Kanan ini diambil dengan


ke-andalan 80% yakni debit yang selalu ada dengan peluang keandalan
80%. Data debit yang digunakan adalah data historis pencatatan debit
Bendung Gerak Mrican Kanan selama 18 tahun terakhir (1990-2007).
Pencarian debit andalan dalam studi ini menggunakan methode
Weibull :
57

Rumusan peluang yang diberikan:

m
P(Xm) = , atau
N 1

N 1
T(Xm) =
m

Evaluasi Keseimbangan Air Bendung Gerak Mrican Kanan

Sesuai dengan perhitungan-per-hitungan diatas maka hasil


perbandingan antara kebutuhan air irigasi setiap alternatif pola tata tanam
dengan ketersediaan debit andalan pada bendung mrican kanan,
disimpulkan bahwa layanan bendung gerak mrican kanan tidak mampu
secara ke-seluruhan periode layanan irigasi dengan menggunakan
alternatif tata tanam I, II, dan III, namun untuk alternatif IV dapat terpenuhi
kecuali bulan Juli-September.

Tabel 4. Debit Andalan 80 % Bendung Gerak Mrican Kanan

Tahun Debit (m3/dt)


Januari 12.596
Februari 9.296
Maret 8.156
April 8.144
Mei 12.646
Juni 9.056
Juli 10.756
Agustus 9.59
September 8.616
Oktober 7.684
November 6.564
Desember 14.062

Setelah diketahui analisa keseimbang an tersebut, maka dalam studi


ini dilanjutkan analisa berikutnya yaitu analisa kecukupan layanan dengan
menerapkan Sistim pemberian irigasi rotasi/gilir.

Sistimatika Pembagian Blok dan Penjadwalan Pemberian Layanan


Air Irigasi

Hasil analisa keseimbangan keterse diaan debit andalan dengan


tingkat kebu tuhan layanan air dengan masing-masing pola tata tanam,
menunjukkan besaran debit ketersediaan adalah dominan 25% dari debit
kebutuhan, sehingga pembagian blok rotasi/gilir dibagi menjadi 4 Blok
Rotasi/Gilir.

Blok A : BPP.1 – BPP24, total luas 3829 ha


Blok B : BPP.25-BPP35, TGR1-TGR4 luas 4041 ha
Blok C : BPP36,TGR5-TGR14, Melik, Mojokerto luas 4137 ha
58

Blok D : Dam Kedung total luas 4032 ha

Berdasarkan hasil penjadwalan sistim gilir/rotasi disimpulkan bahwa


Bendung gerak mrican Kanan dapat mencukupi layanan irigasi wilayah
mrican kanan untuk semua simulasi alternatif pola tata tanam kecuali
alternatif I. Pembagian Sistim gilir/rotasi tersebut juga tidak mempengaruhi
Sistim pola tata tanam, yaitu semua blok dapat menerapkan pola tata
tanam yang sama.

Kebijakan Pengelolaan Bendung Gerak Mrican Kanan

Hasil pada studi ini telah mengha silkan beberapa analisa yang terkait
dengan operasi pemenuhan layanan irigasi Mrican Kanan, yaitu
diantaranya adalah :
1. Debit Ketersediaan debit andalan 80 % adalah tidak cukup untuk meme
nuhi kebutuhan layanan irigasi Mrican Kanan seluas 16.309 ha
2. Simulasi penjadwalan sistim gilir/ rotasi berdampak perubahan
terhadap kecukupan pelayanan irigasi oleh Bendung Gerak Mrican
Kanan(untuk semua pola Sistim tata tanam pada studi ini), dengan
pembagian 4 Blok Rotasi dan Sistim rotasi yang dominan diterapkan
adalah rotasi III, meskipun sebagian waktu periode bisa juga
diterapkan Sistim rotasi II.

Berdasarkan hal kesimpulan diatas maka pada studi ini didapatkan


beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan suatu bentuk rekomendasi
kebijakan pengelolaan layanan irigasi Bendung Gerak Mrican Kanan,
sebagi berikut :

1) Pola Tata Tanam yang dapat direkomendasikan untuk wilayah


irigasi Bendung Gerak Mrican Kanan dari hasil studi ini adalah pola tata
tanam padi-padi-palawija. Pola tata tanam tersebut di pilih berdasar alasan
bahwa :
a. Semua alternatif pola tata tanam dapat tercukupi tingkat pelayanannya,
de-ngan menggunakan Sistim gilir/ rotasi, kecuali alternatif I (Padi-Padi-
Padi).
b. Masyarakat disekitar sudah terbiasa menggunakan pola tata tanam
padi-padi-palawija (kondisi eksisting), dan juga Sistim pola tata tanam
tersebut dirasa akan lebih diyakini oleh masya rakat tani dibanding
dengan Sistim pola tata tanam yang lainnya, se-hingga dalam
penentuan rekomendasi kebijakan studi ini dipilih simulasi pola tata
tanam Padi-Padi-Palawija, walapun semua pola tata tanam kebutuhan
airnya dapat tercukupi.

2). Sistem pembagian air layanan yang direkomendasikan adalah


Sistim rotasi / gilir dengan pembagian 4 blok. Pembagian tersebut sbb :
Blok A : BPP.1 – BPP24, total luas 3829 ha.
Blok B : BPP.25-BPP35,dan TGR1-TGR4 total luas 4041 ha.
Blok C : BPP36,TGR5-TGR14, Melik dan Mojokerto total luas 4137 ha
Blok D : Dam Kedung total luas 4032 ha.
59

Sistim pembagian air yang dilakukan adalah sistim rotasi II (satu


blok diairi dan 3 tidak diairi) dan rotasi III (dua diairi dan dua lainnya tidak
diairi). Sebagai bentuk rekomendasi ini adalah penentuan scedul jadwal
pemberian air irigasi gilir, seperti pada tabel jadwal pemberian air pada
laporan studi ini.
Jika dibandingkan dengan jadwal gilir yang ada pada saat ini, maka
hasil rekomendasi ini dapat menjadikan acuan baru terhadap jadwal
pemberian air irigasi yang lama, dimana pada jadwal pemberian air irigasi
gilir saat ini ditemukan adanya pembagian blok yang tidak setimbang
luasannya, sehingga memberi dampak bagian blok yang lain mendapat
jatah gilir hingga menunggu selama 8 hari untuk diairi. Hal tersebut dapat
menyebabkan tanaman padi akan mengalami titik layu permanen,
sehingga tanaman padi pada blok tersebut akan mengalami titik kekeringan
yang permanen.

BAHAN BACAAN

Arsham H., 1990. What-if Analysis in Computer Simulation Models: A


Comparative Survey with Some Extensions, Mathematical and
Computer Modelling, 13(1), 101-106, 1990.
Arsham H., 1991. Perturbation Analysis in Discrete-Event Simulation,
Modelling and Simulation, 11(1), 21-28, 1991.
Arsham H., 1992. A Simulation Technique for Estimation in Perturbed
Stochastic Activity Networks, Simulation, 58(8), 258-267, 1992.
Arsham H., 1996. Performance Extrapolation in Discrete-event Systems
Simulation, Journal of Systems Science, 27(9), 863-869, 1996.
Arsham H., Algorithms for Sensitivity Information in Discrete-Event
Systems Simulation, Simulation Practice and Theory, 6(1), 1-22,
1998.
Arsham H., Feuerverger, A., McLeish, D., Kreimer J. and Rubinstein R.,
1989. Sensitivity analysis and the what-if problem in simulation
analysis, Mathematical and Computer Modelling, 12(1), 193-219,
1989.
Batmaz I., and S. Tunali, 2003. Small response surface designs for
metamodel estimation, European Journal of Operational Research,
145(3), 455-470, 2003.
Bossel H., 1994. Modeling & Simulation, A. K. Peters Pub., 1994.
Delaney W., and E. Vaccari, 1989. Dynamic Models and Discrete Event
Simulation, Dekker, 1989.
Fishman G., 2001. Discrete-Event Simulation: Modeling, Programming and
Analysis, Springer-Verlag, Berlin, 2001.
Fishwick P., 1995. Simulation Model Design and Execution: Building Digital
Worlds, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, 1995.
Fu M., and J-Q. Hu, 1997. Conditional Monte Carlo: Gradient Estimation
and Optimization Applications, Kluwer Academic Publishers, 1997.
60

Fu M., and J-Q. Hu, 1997. Conditional Monte Carlo: Gradient Estimation
and Optimization Applications, Kluwer Academic Publishers, 1997.
Ghosh S., and T. Lee, 2000. Modeling & Asynchronous Distributed
Simulation: Analyzing Complex Systems, IEEE Publications, 2000.
Gimblett R., 2002. Integrating Geographic Information Systems and Agent-
Based Modeling: Techniques for Simulating Social and Ecological
Processes, Oxford University Press, 2002.
Haas P., 2002. Stochastic Petri Net Models Modeling and Simulation,
Springer Verlag, 2002.
Harrington J., and K. Tumay, 1998. Simulation Modeling Methods: An
Interactive Guide to Results-Based Decision, McGraw-Hill, 1998.
Headrick, T. 2002. Fast fifth-order polynomial transforms for generating
univariate and multivariate nonnormal distributions, Computational
Statistics and Data Analysis, 40 (4), 685-711.
Hill D., 1996. Object-Oriented Analysis and Simulation Modeling, Addison-
Wesley, 1996.
Ibidapo-Obe O., O. Asaolu, and A. Badiru, 2002. A New Method for the
Numerical Solution of Simultaneous Nonlinear Equations, Applied
Mathematics and Computation, 125(1), 133-140, 2002.
Karian Z., and E. Dudewicz, 1998. Modern Statistical Systems and GPSS
Simulation, CRC Press.
Kleijnen J., and W. van Groenendaal, 1992. Simulation: A Statistical
Perspective, Wiley, Chichester.
Korn G., 2005. Real statistical experiments can use simulation-package
software, Simulation Modelling Practice and Theory, 13(1), 39-54.
Kouikoglou V., and Y. Phillis, 2001. Hybrid Simulation Models of Production
Networks, Kluwer Pub., 2001.
Lamb J., and R. Cheng, 2002. Optimal allocation of runs in a simulation
metamodel with several independent variables, Operations
Research Letters, 30(3), 189-194, 2002.
Law A., and W. Kelton, Simulation Modeling and Analysis, McGraw-Hill,
2000.
Lewis P., and E. Orav, Simulation Methodology for Statisticians, Operations
Analysts, and Engineers, Wadsworth Inc., 1989.
Madu Ch., and Ch-H. Kuei, 1993. Experimental Statistical Designs and
Analysis in Simulation Modeling, Greenwood Publishing Group.
Nelson B., Stochastic Modeling: Analysis & Simulation, McGraw-Hill, 1995.
Oakshott L., Business Modelling and Simulation, Pitman Publishing,
London, 1997.
Pang K., Z. Yang, S. Hou, and P. Leung, 2002, Non-uniform random
variate generation by the vertical strip method, European Journal of
Operational Research, 142(3), 595-609.
Pidd M., Computer Simulation in Management Science, Wiley, 1998.
Rajasethupathy, P., S. J. Vayttaden, U. S. Bhalla, 2005. Systems modeling:
A pathway to drug discovery. Curr. Opin. Chem. Biol. 9, 400–406
(2005).
Robert C., and G. Casella, 1999. Monte Carlo Statistical Methods,
Springer.
61

Rollans S. and D. McLeish, 2002. Estimating the optimum of a stochastic


system using simulation, Journal of Statistical Computation and
Simulation, 72, 357 - 377.
Rubinstein R., and A. Shapiro, 1993. Discrete Event Systems: Sensitivity
Analysis and Stochastic Optimization by the Score Function
Method, John Wiley & Sons.
Rubinstein R., and A. Shapiro, 1993. Discrete Event Systems: Sensitivity
Analysis and Stochastic Optimization by the Score Function
Method, John Wiley & Sons.
Rubinstein R., and B. Melamed, 1998. Modern Simulation and Modeling,
Wiley, 1998.
Severance F., 2001. System Modeling and Simulation: An Introduction,
Wiley, 2001.
Simpson T., J. Poplinski, P. Koch, and J. Allen, 2001. Metamodels for
Computer-based Engineering Design: Survey and
Recommendations, Engineering with Computers, 17(2), 129-150,
2001.
Tsai C-Sh., 2002. Evaluation and optimisation of integrated manufacturing
system operations using Taguch's experiment design in computer
simulation, Computers And Industrial Engineering, 43(3), 591-604,
2002.
Van den Bosch, P. and A. Van der Klauw, 1994. Modeling, Identification &
Simulation of Dynamical Systems, CRC Press, 1994.
Whitt W., 1984. Minimizing delays in the GI/G/1 queue, Operations
Research, 32(1), 41-51, 1984.
Woods R., and K. Lawrence, Modeling and Simulation of Dynamic
Systems, Prentice Hall, 1997.

Anda mungkin juga menyukai