Abstract: Spirituality is a self-ability to recognize the power of the One mighty, like God.
Through an understanding of spirituality, one understands the meaning itself, the meaning of life
and the purpose of his life. So that the person is able to direct his self positively in any situation.
Spiritual hopes can be implemented and developed in guidance and counseling in Indonesia.
The research objective was to compare the level of spirituality adolescents by gender and majors.
This research design surveys, with descriptive analysis techniques. Participants determined by
population sampling techniques, a number of 122 adolescents (students) SMAN 1 Punggur,
Lampung. Results of this research were obtained an average score of; boys r = 115.64, and
the female r = 121.36. A significant level of 0.320, meaning that there is no difference.
Meanwhile, the average score of 119.58 science major teens and young majors for IPS at
119.09. A significant level of 1,000 and that means there is no difference. The conclusions of
the research were the level of teenage boys spiritualism relatively similar to adolescent girls, and
adolescents in the spiritualism level science majors are relatively the same as the teenagers in
the majors IPS. Recommendations are given is that research on the study and implementation
of spiritual guidance and counseling can be developed, and teacher guidance and counseling
so that this study can be considered to help develop students' independence through a spiritual
approach.
Keywords: Adolescents, Gender, IPA and IPS Majors, Spirituality.
Permalink: http://ojs.ejournal.id/index.php/ijec/article/view/122
How to cite (APA): Novitasari, Y., Yusuf, S., & Ilfiandra. (2017). Perbandingan tingkat spiritualitas remaja
berdasarkan gender dan jurusan. Indonesian Journal of Educational Counseling, 1(2), 163-178.
This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use, distribution, and
reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
PENDAHULUAN
Spiritualitas merupakan istilah yang cukup baru yang mulai muncul di
beberapa dekade terakhir dalam kajian ilmu psikologi. Sering kita dengar
istilah spiritualitas dalam momen-momen training pengembangan diri. Hal ini,
tampaknya banyak dipengaruhi oleh perkembangan kajian dan juga
pengalaman tentang spiritualitas seseorang. Miller (2002) menyebutkan
bahwa para ahli menemukan hubungan positif antara spiritualitas dan
1
Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung; Email: yunibkumm@gmail.com.
2 Universitas Pendidikan Indonesia.
163
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
164
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
165
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
166
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
167
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
168
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
METODE
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat spiritual siswa berdasarkan
gender dan jurusan (IPA dan IPS). Desain penelitian yang digunakan ialah
survey, dengan jenis penelitian deskriptif. Peneliti menghimpun fakta tentang
tingkat spiritualitas remaja berdasarkan gender dan jurusan.
Partisipan yang digunakan ialah siswa kelas XI di SMAN 1 Punggur, Lampung.
Sekolah terletak di provinsi Lampung, Indonesia, Lampung merupakan salah
satu kota di Indonesia yang dipenghuni oleh berbegai macam suku di
Indonesia. Sehingga mendekati kecocokan untuk mewakili budaya di
Indoensia. Terlebih sekolah yang dipilih terletak di kecamatan Punggur, yang
kaya akan keanekaragaman budaya.
Remaja usia sekolah menengah atas dipilih atas dasar kajian perkembangan
bahwa individu usia SMA (16-18 tahun) sudah mencapai perkembangan
pemikiran operasional formal, pemikiran abstrak lebih berkembang dari usia
sebelumnya. Individu tidak terbatas pada pengalaman nyata dan konkrit
sebagai landasan berpikir. Sehingga, individu mampu memperkirakan suatu
hal, merumuskan hipotesis dan mengolahnya dengan logika yang lebih kuat.
Meningkatnya pemikiran abstrak, masa remaja ini pun lebih tertarik pada
agama dan keyakinan spiritual dari pada masa anak-anak. Adapun kelas
yang dipilih menjadi partisipan ialah kelas XI. Kelas XI ini dipilih karena
merupakan kelas pertengahan antara kelas X dan XII. Sehingga, secara
psikologi siswa kelas XI diprediksi lebih bebas. Jika kelas X, para siswa
masih terlalu awal memasuki tahap perkembangan operasional formal,
sedangkan kelas XII sudah memasuki perkembangan operasional yang lebih
baik dari kelas X namun mereka sedang terikat pada tuntutan ujian akhir.
Sehingga dapat diprediksi masa puncak pencarian jati diri siswa SMA ialah
kelas XI.
Teknik sampling yang digunakan ialah sampel populasi, artinya seluruh
siswa kelas XI (baik jurusan IPA dan IPS) yang pada saat itu hadir di sekolah.
Jumlah keseluruhan subjek penelitian ialah sebanyak 122 siswa, laki-laki
berjumlah 44 siswa dan perempuan berjumlah 78 siswa.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah intrumen untuk mengukur
tingkat spiritualitas seseorang, yaitu Ritualistic, Teistik, Spiritual Scale (Rite
Scale). Instrumen awalnya dikembangkan oleh Jhon Webb. Skala Rits
dibangun berdasarkan asumsi bahwa ada tiga aspek perilaku yang dapat
mengindikasikan perilaku spiritualitas, yaitu perilaku spiritual ritual, spiritual
teistik, dan spiritual eksistensial. Skala Rite terdiri dari 30 item pernyataan,
yang harus di jawab dengan pilihan jawaban; sangat sesuai (5), sesuai (4),
sedikit sesuai (3), tidak sesuai (2), dan sangat tidak sesuai (1). Instrumen ini
169
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Berdasarkan uji validitas dengan model
spearman-brown, semua item dinyatakan valid dengan taraf signifikan 0.01.
Berdasarkan uji reliabilitas dengan model split-half, diperoleh koefisien korelasi
sebesar rtt = 0.953 . Artinya instrumen RITS memiliki reliabilitas yang tinggi.
170
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
171
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
172
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
detail oleh orangtua, ia ingin mengenali dirinya lebih dalam dan mengenali
kehidupan ini. Santrock (2003) mengatakan kekuatan logika pada remaja
begitu kuat sehingga sering mengalahkan fakta. Konflik batin yang di alami
remaja sangat memungkinkan masalah bagi hubungan dirinya dengan di luar
dirinya (seperti, dengan orangtua, teman, tetangga dan lainnya). Menghadapi
masa-masa sulit ini, remaja sering mencari jalan keluar dengan mencari
Tuhan. Sehingga berkembanglah spiritualitasnya. Melalui kemampuan
spiritual, individu berharap memperoleh ketenangan dan penyelesaian
terbaik. Sebagaimana, Kim (2012), berdasarkan hasil penelitiannya, bahwa
spiritualitas dapat mempromosikan pengembangan kesehatan mental bagi
remaja, menambah koping, menemukan kesehatan mental, kesejahteraan,
dan hasil belajar yang baik.
Sebagaimana yang dikemukakan, bahwa posisi tantangan dan juga koping
alami yang dimiliki remaja laki-laki dan perempuan relatif sama di usia SMA,
maka kemampuannya dalam menyesaikan masalah pun relatif sama secara
alami. Jika memang dalam fenomena sehari-hari, ditemui kemampuan koping
yang berbeda antar remaja, hal itu dimungkinkan karena ada faktor-faktor lain
seperti eksternal. Perempuan yang telah dikaruni keadaan emosi yang
senderung lebih tenang di usia SMA, memiliki kemampuan berpikir yang
dapat mengimbangi kemampuan berpikir laki-laki tentang spiritualitas.
Sehingga ketika pada masa-masa sulit pencarian jati diri, remaja umumnya
ingin lebih mengenali dirinya melalui cara spiritualitas. Daya berpikir yang
sama antara perempuan dan laki-laki ketika sama-sama mengalami masal
sulit, membuatnya menggunakan pemikiran abstrak, salah satunya dengan
mencari Tuhan (spiritual). Dengan demikian, sikap spiritualitas remaja di usia
SMA bisa dipahami relatif sama antara laki-laki dan perempuan.
Dapat diuraikan kembali, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
spiritualitas remaja perempuan dan laki-laki sama ialah; (1) semua remaja
(baik laki-laki maupun perempuan) di usia SMA mulai berkembang pemikiran
operasional formal (abstrak), pemikiran ini memicu berkembangnya
kemampuan spiritualitas terutama dalam mengahadapi masa-masa sulit
pencarian jati diri, (2) perempuan mengalami masa kematangan 4 tahun lebih
cepat dari laki-laki, puncak stress masa remaja perempuan berusia 14
tahun dan mengalami masa lebih tenang usia 17 tahun (saat SMA), sehingga
pada usia SMA keadaan jiwa perempuan sudah lebih tenang, maka
perempuan memiliki kemampuan berpikir sama baiknya dengan laki-laki
mengenai spiritualitas, perasaan tenang memicu spiritualitas dengan labih
baik, (3) Meskipun laki-laki mengalami kematangan lebih lambat dari
perempuan, sehingga dimungkinkan laki-laki akan mengalami masa sulit di
usia SMA, akan tetapi karena secara alami kemampuan logikanya kuat, maka
173
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
174
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
jurusan IPS. Pelajar jurusan IPS justru banyak yang tampak lincah, stylis, dan
suka bersenang-senang. Secara keterampilan, remaja IPS lebih demokratis,
bebas berpendapat, sosialis, lebih banyak berpikir abstrak. Kemampuan
spiritual begitu membutuhkan kemampuan berpikir operasional formal
(abstrak), yakni melihat sesuatu yang tidak nyata, namun meyakininya,
sehingga bisa memberikan makna hidup. Sekalipun demikian, ternyata
tingkat spiritualitas remaja jurusan IPS tidak selalu lebih tinggi dari remaja
IPA. Dalam penelitian ini, remaja jurusan IPS memiliki tingkat spiritualitas
yang sama dengan remaja IPA.
Dengan demikian, spiritualitas merupakan suatu yang tidak terlalu terkait
dengan bakat belajar seseorang. Berdasarkan fenomena kehidupan pada
masyarakat di Indonesia, kemampuan spiritualitas sering muncul manakala
seseorang sedang mengalami masalah. Sebagaimana, Lambie, et al (2008)
spiritualitas sering berkembang melalui aspek-aspek penggerak manusia
(misalnya, fisik, emosional, kognitif, dan intelektual), mungkin juga
dipengaruhi oleh pengalaman seperti pengalaman menjelang kematian, dan
perubahan spiritual. Misalnya, seorang ibu yang bangkrut jualannya, ia bisa
lebih banyak menangis dan berdoa kepada Tuhan.
Fowler (Desmita, 2009) mengatakan tahap synthetic-conventional faith
merupakan tahap spiritualitas pada masa remaja SMA, dengan ciri sebagai
berikut: (1) kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran
tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui
kebenaran, (2) Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan
masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap
operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-
ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya, (3) Pada
tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang
transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral, (4)
Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri, (5) Allah dipandang sebagai
“pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka, (6) Lebih dari
itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa Allah lebih dekat dengan dirinya
sendiri, dan (7) Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa
komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik.
Chae et al (2004) Identitas suku dan perkembangan spiritual merupakan faktor
internal yang memiliki pengaruh besar terhadap tata cara spiritual individu.
Fowler (1981), Oser, Scarlett, &Bucher (2006) memandang spiritualitas
merupakan proses perkembangan yang terjadi sepanjang hidup, dan terus
akan bersifat maju. Spritualitas pada diri seseorang akan berkembang
sepanjang hidupnya, semakin tua sewajarnya akan semakin memiliki sikap
175
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
spiritual yang lebih matang. Demikian halnya pada masa remaja, spiritualitas
memiliki tugas perkembangannya sendiri. Spiritualitas seseorang dipengaruhi
oleh aspek intelegensi, emosi, dan pengalaman hidup.
SIMPULAN
Simpulan hasil penelitian ini ialah bahwa tingkat spiritualitas remaja laki-laki
dan remaja perempuan relatif sama. Dan, tingkat spiritualitas remaja pada
jurusan IPA relatif sama dengan remaja pada jurusan IPS. Kesamaan tingkat
spiritualitas remaja laki-laki dan perempuan ini dikarenakan semua orang
pada usia remaja SMA mulai mengalami masa perkembangan berpikir
operasional formal, dimana pemikiran abstrak sudah berkembang dengan
lebih baik dari pada usia sebelumnya. Perkembangan spiritual berkembang
baik mulai di usia remaja SMA, bersamaan dengan masa pencarian jati diri.
Usia SMA diperkirakan, perempuan memiliki emosi yang lebih stabil dari usia
sebelumnya. Sedangkan laki-laki mulai mengalami puncak pubertas, namun
laki-laki memiliki koping baik melalui pertimbangan logikanya yang kuat. Disini
perempuan sebagai makhluk yang perasa pun bisa mengimbangi sama
pemikiran laki-laki tentang spiritualitas, karena perempuan sudah mengalami
masa yang lebih tenang. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan memiliki
tingkat spiritualitas yang relatif sama.
Kesamaan tingkat spiritualitas pun terjadi antara remaja di jurusan IPA dan
remaja di jurusan IPS. Hal ini menandakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat
spiritualitas dari kecenderungan bakat IPA maupun bakat IPS.
Rekomendasi yang bisa disampaikan dari penelitian ini ialah: (1) bagi
penelitian selanjutnya, agar lebih meneliti tentang fenomena spiritual peserta
didik, dan pengembangan pendekatan spiritual dalam keilmuan bimbingan
dan konseling, dan (2) bagi guru bimbingan dan konseling, kajian dan hasil
penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk membantu mengambangkan
kemandirian siswa melalui pendekatan spiritual.
REFERENSI
Ahimsa-Putra, H. S. (2012). Spriritualitas bangsa dan moralitas bangsa.
Makalh disampaikan dalam “Sarasehan Budaya Spiritual dan Moralitas
Bangsa 2012”, diselenggarakan oleh BPSNT Yogyakarta.
Chae, M. H., Kelly, D. B., Brown, C. F., & Bolden, M. A. (2004). Relationship
of ethnic identity and spiritual development: An exploratory
study. Counseling and Values, 49(1), 15-26.
176
Perbandingan Tingkat Spiritualitas Remaja berdasarkan Gender dan Jurusan
177
Yuni Novitasari, Syamsu Yusuf, dan Ilfiandra
Lambie, G. W., Davis, K. M., & Miller, G. (2008). Spirituality: Implications for
professional school counselors' ethical practice. Counseling and
Values, 52(3), 211-223.
Meuwese, R., Crone, E. A., Rooij, M., & Güroğlu, B. (2015). Development of
equity preferences in boys and girls across adolescence. Child
development, 86(1), 145-158.
Miller, W. R., & Thoresen, C. E. (1999). Spirituality and health. In W. Miller
(Ed.) Integrating spirituality into treatment: Resources for practitioners (pp. 3-
15). Washington, DC: American Psychological Association.
Miller, W. R. (1999). Integrating spirituality into treatment: Resources for
practitioners. American Psychological Association.
Miller, W. R., & Thoresen, C. E. (2003). Spirituality, religion, and health: An
emerging research field. American psychologist, 58(1), 24-35.
Myers, J. E., & Williard, K. (2003). Integrating spirituality into counselor
preparation: A developmental, wellness approach. Counseling and
Values, 47(2), 142-155.
Palmer, P. J. (2004). A hidden wholeness: The journey forward on individual
life. San Francisco CA: Jossey-Bass.
Richards, P. S., & Bergin, A. E. (1997). A spiritual strategy for counseling and
psychotherapy. Washington, DC: American Psychological Association.
Selvam, S. G. (2013). Towards religious-spirituality: a multidimensional matrix
of religion and spirituality. Journal for the Study of Religions and
Ideologies, 12(36), 129.
Shapiro, S., Lee, G., & Gross, P. (2002). The Essence of Transpersonal
Psychology:: Contemporary Views, 21, 19-32.
Sink, C. A. (1997). Spirituality and Faith Development of Schoolchildren
Implications for School Counseling. Religion & Education, 24(2), 59-67.
Slife, B. D., & Richards, P. S. (2001). How separable are spirituality and
theology in psychotherapy?. Counseling and Values, 45(3), 190-206.
Webb, J. R., Toussaint, L., & Dula, C. S. (2014). Ritualistic, theistic, and
existential spirituality: Initial psychometric qualities of the RiTE measure
of spirituality. Journal of religion and health, 53(4), 972-985.
178