Anda di halaman 1dari 44

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran umum lokasi penelitian menguraikan tentang kondisi umum dua lokasi
penelitian, adapun isi dari bagian ini mencakup letak geografis, topografi, jumlah
kabupaten/kota, jumlah dan kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan ekonomi, penganggaran,
indeks pembangunan manusia, umur harapan hidup, pelayanan publik dan kondisi kemiskinan.

1.1. Sulawesi Selatan

4.1.1 Letak Geografis


Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh garis
khatulistiwa yang terletak antara 0012’~80 lintang selatan dan 1160 48’~122’ 36’ bujur
timur, yang berbatasan dengan provinsi Sulawesi barat di sebelah utara dan teluk bone
serta provinsi sulawesi tenggra di sebelah timur, serta berbatasan dengan Selat Makassar
di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 45.519,24 km2 persegi,
dimana sebagian besar wilayah daratnya berada pada jasirah pulau barat daya Sulawesi
serta sebagian wilayahnya pada jasirah pulau tenggara sulawesi.
4.1.2 Topografi
Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran
tinggi. Kondisi kemiringan tanah 0 sampai 3 % merupakan tanah yang relatif datar, 3
sampai 8 % merupakan tanah relatif bergelombang, 8 sampai 45 % merupakan tanah
yang kemiringannya agar curam, lebih dari 45 % tanahnya curam dan bergunung.
Wilayah daratan terluas berada pada 100 hingga 400 meter DPL, dan sebahagian
merupakan dataran yang berada pada 400 hingga 1000 meter DPL. Terdapat sekitar 65
sungai yang mengalir di provinsi ini, dengan jumlah sungai terbesar ada di bagian utara
wilayah provinsi ini. Lima danau besar menjadi rona spesifik wilayah ini, yang tiga di
antarnya yaitu Danau Matana, Danau Towuti dan Danau Mahalona di Kabupaten Luwu

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Timur, serta dua danau lainnya yaitu Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang berada di
Kabupaten Wajo.
4.1.3 Kabupaten/Kota
Jumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan sebanyak 23, yaitu Tana Toraja, Bone,
Gowa, Luwu, Makassar, Bulukumba, Maros, Jeneponto, Pangkajene Kepulauan, Pinrang,
Bantaeng, Enrekang, Wajo, Takalar, Luwu Utara, Sinjai, Sidenreng Rappang, Selayar,
Soppeng, Barru, Palopo dan Pare-Pare.
4.1.4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 7.496.701 jiwa dengan rincian laki-
laki 3.641.844 jiwa (48,58%) dan perempuan 3.852.857 jiwa (51,42%) dengan tingkat
kepadatan 165 jiwa/km2
4.1. 5 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun, pada tahun 2004 tumbuh sebesar -3,0%, tahun 2005 sebesar 15,1%, tahun
2006 tumbuh 6,7%, tahun 2007 tumbuh 6,3% dan pada tahun 2008, pada saat resesi
ekonomi dunia yang begitu buruk, laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan masih
dapat bertahan pada angka di atas 7%. Hal ini menunjukan bahwa instrumen
perekonomian Sulawesi Selatan relatif baik. Instrumen yang ada telah mampu menjaga
stabilitas, termasuk stabilitas politik dan keamanan, yang mampu menjaga kegairahan
perekonomian Sulawesi Selatan. Usaha-usaha pemerintah dalam pembangunan
infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan), bidang pertanian seperti perbaikan irigasi,
pencetakan sawah baru, perbaikan tanaman kakao cukup berperan signifikan dalam
menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Pengembangan sektor
parawisata juga turut berpengaruh dalam menjaga pertumbuhan ekonomi.
4.1. 6 Pengangguran
Persentase pengangguran di Sulawesi Selatan terus mengalami penurunan dari
tahun ke tahun, pada tahun 2006 persentase pengangguran sebesar 12,76%, tahun 2007
berjumlah 11,25% dan semakin menurun pada tahun 2008 menjadi 9,04%.

4.1. 7 Indeks Pembangunan Manusia

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


IPM Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan dari tahun ketahun, kecuali
tahun 2008 mengalami penurunan sedikit. Secara berturut IPM Sulawesi Selatan pada
tahun 2004 hingga 2008 adalah 67,8, 68,1, 68,8, 69,62, dan tahun 2008 sebesar 69,27.
Tren IPM juga mengalami penurunan pada tahun 2007 sebesar 0,56% kemudian tahun
2008 mengalami penurunan sedikit sebesar -0,25%. Tren peningkatan IPM Sulawesi
Selatan pada 2007 sebagian besar terkait dengan program pendidikan gratis serta
pemberantasan buta aksara yang berjalan sejak 2007. Pendidikan gratis dapat menekan
angka putus sekolah yang pada gilirannya memperbaiki angka rata-rata lama sekolah,
sementara pemberantasan buta huruf dapat meningkatkan angka melek aksara. Kedua
indikator ini amat menentukan kecenderungan naik pada IPM Sulawesi Selatan. Adapun
penurunan tren yang terjadi pada 2008 karena pemerintahan baru hasil pemilihan
gubernur baru menyesuaikan diri sehingga aktivitas pembangunan dan pelayanan cukup
terganggu
4.1.8 Umur Harapan Hidup
UHH Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun, pada
tahun 2006 sebesar 69,2, tahun 2007 sebesar 69,4 dan tahun 2008 menjadi 70,4 tahun.
4.1.9 Pelayanan Publik
Persentase kabupaten/kota yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap di Provinsi
Sulawesi Selatan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tahun 2004 sebesar
8,70%, tahun 2005 sebesar 13,04%, tahun 2006 sebesar 17,39%, tahun 2007 sebesar
21,74%, tahun 2008 meningkat menjadi 52,17%. Peningkatan jumlah kabupaten/kota
yang telah memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada
tahun 2008. Peningkatan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
4.10 Kondisi Sosial Budaya
Kekayaan dan keragaman budaya dalam tatanan Sulawesi Selatan sangat bervariasi
sebagai satu rumpun budaya yang terdiri dari Bugis, Makassar, Toraja. Rumpun
Makassar dominan berada di Kabupaten pada wilayah Selatan Sulawesi Selatan. Rumpun
Toraja tersebar di Kabupaten Tana Toraja dan Luwu. Rumpun Bugis tersebar wilayah
utara Sulawesi Selatan. Gambaran ini menunjukkan keragaman budaya yang tersebar
pada wilayah yang beragam pula. Di balik keragaman tersebut, terdapat pula keragaman

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


sistem nilai dan norma serta adat-istiadat yang spesifik. Variasi-variasi ini terkait pula
dengan potensi kearifan lokal yang bisa berkembang dalam tatanan sosial budaya. Selain
itu, terkandung pula potensi berkembangnya interaksi sosial dan komunikasi lintas
budaya, yang dapat mendorong dinamika perubahan secara lebih kreatif dalam
menanggapi spirit zaman.
Komunitas pedesaan terdiri dari nelayan, petambak, petani, pengrajin suatu
komunitas berskala kecil tetap memiliki kearifan lokal. Komunitas petani yang terbesar di
seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Disamping itu berapa komunitas yang berbasis pada
aktivitas ekonomi sekunder, antara lain pengrajin besi di Massepe Sidrap dan pengrajin
perahu di Bira Bulukumba yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada
disekitarnya. Komunitas petani misalnya, memahami kapan waktu yang tepat untuk
mulai menanam serta bagaimana menangani hama, demikian pula dengan komunitas
nelayan yang telah menyatu dengan pantai dan laut, sehingga mereka dapat memprediksi
lebih awal kondisi dan permasalahan yang akan terjadi baik pantai maupun dilaut.
Pada era globalisasi eksistensi keberadaan beberapa komunitas yang terkait dengan
sektor pertanian masih ada yang mengalami ketertinggalan akibat dari ketidakmampuan
bersaing dengan berbagai produk pilihan yang beredar dipasaran. Disamping itu juga
umumnya masih mengalami masalah persyaratan dalam mengakses permodalan pada
kelembagaan keuangan seperti Bank Rakyat yang ditawarkan pemerintah melalui
berbagai program perkreditan.
Disamping itu komunitas tradisional yang mampu bertahan di antaranya adalah
komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba, Karangpuang di Sinjai, Tolotang di Sidrap,
Aluk Todolo di Toraja, Pua Cerekang di Luwu. Senyatanya, komunitas ini benar-benar
merupakan suatu komunitas yang memilki karakteristik tersendiri. Komunitas ini masih
tetap eksis walaupun secara sosial dikelilingi oleh berbagai informasi dan iptek namun
karakteristik tetap dipertahankan.

4.1.11 Kemiskinan
• Perkembangan Tingkat Kemiskinan 2006 – 2009

Angka Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan selama periode Maret 2006-

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Maret 2009 terus mengalami penurunan baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun
2006 penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah sebanyak 1 112,0 orang (14,57 %)
turun menjadi 1 083,4 orang (14,11 %) pada tahun 2007. Pada bulan Maret 2008 turun
menjadi 1 031,7 orang (13,34 %), dan pada bulan Maret 2009 turun lagi menjadi di
bawah satu juta yaitu 963,6 ribu (12,31 %). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada
Maret 2008, berarti selama kurun waktu 2008-2009 jumlah penduduk miskin turun
sebesar 68 100 orang.
Penduduk miskin di Provinsi Sulawesi Selatan lebih tinggi di daerah perdesaan.
Pada tahun 2006, penduduk miskin di perdesaan mencapai 18,25 % sementara di daerah
perkotaan hanya 6,83 %. Pada periode 2006-2009, penduduk miskin di daerah perdesaan
menurun menjadi 15,81 % sedangkan di daerah perkotaan turun menjadi 4,94 %.
Secara absolut selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 26 300 orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 41 800
orang.
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (85,38 %) penduduk miskin berada di
daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2009 persentase ini sedikit mengalami
kenaikan menjadi 87,08 %.

• Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2006 – Maret 2009

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis


Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Selama Maret 2008 -Maret 2009, Garis Kemiskinan mengalami kenaikan, yaitu
dari Rp.138 334,- per kapita per bulan pada Maret 2008 menjadi Rp.153 715,-per kapita
per bulan pada Maret 2009. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK),
yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-
Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar
dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan). Pada bulan Maret 2008, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 76,12 %,
tetapi pada bulan Maret 2009, peranannya menurun sedikit menjadi 75,93 %.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan
Maret 2009, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 41,1 % di
perdesaan dan 32,9 % di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain
yang berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (5,6 % di
perdesaan, 4,8 % di perkotaan), telur (2,3 % di perdesaan, 3,6 % di perkotaan), mie instan
(3,7 % di perdesaan, 4,2 % di perkotaan) dan minyak goreng (2,7 % di perdesaan, 2,5 %
di perkotaan).

• Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan


Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase
penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan
keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin,
kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan
keparahan dari kemiskinan.
Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks
Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,44 pada keadaan Maret 2008 menjadi 2,08 pada
keadaaan Maret 2009. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,67
menjadi 0,55 pada periode yang sama (Tabel 3). Penurunan nilai kedua indeks ini
mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin
mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga
semakin menyempit.
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
di daerah perdesaan jauh lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Maret 2009, nilai
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 0,67 sementara di daerah
perdesaan mencapai 2,74. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan
hanya 0,15 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,74. Dapat disimpulkan bahwa
tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dari pada daerah perkotaan.

1.2. Kalimantan Barat

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


4.2.1 Letak Geografis
Secara geografis wilayah darat Kalimantan Barat tepat di atasnya dilalui oleh
garis khatulistiwa yang terletak antara 200 08’ Lintang Utara – 30 05’ Lintang Selatan dan
1 30’ – 1140 bujur timur, yang berbatasan dengan sebelah utara Sarawak (Malaysia),
sebelah selatan Kalimantan Tengan, sebelah timur Sarawak dan Kalimantan Timur,
sebelah barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Luas wilayah Provinsi Kalimantan
Barat khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 146.807,00 km2 persegi,
membentang dari utara ke selatan sepanjang 600 km, dan dari timur ke barat sepanjang
850 km.
4.2.2 Topografi
Secara umum Kalimantan Barat merupakan dataran rendah dengan sedikit
berbukit, sekitar 36% merupakan areal datar, sisanya adalah dataran dengan kemiringan
masing-masing 2-15% seluas 24% dari tital wilayah Kalimantan Barat, kemiringan 15-
40% seluas 20%, dengan kemiringan 40% seluas 20% dari wilayah Kalimantan Barat
terdapat di Kab. Kapuas Hulu. Provinsi ini juga diapit oleh 2 pegunungan yaitu
pegunungan Kalingkang dan Pegunungan Schwener, serta dialiri oleh ratusan sugai yang
aman untuk dilayari. Sebagian besar daerah daratannya berawa-rawa bercampur gambut
dan hutan mangrove. Dari sekian banyak danau yang ada, danau yang terpenting
diantaranya Danau Sentarum yang nyaris kering dimusim kemarau dan Danau Luar.
4.2.3 Kabupaten/Kota

Jumlah kabupaten/kota di Kalimantan Barat sebanyak 14, yaitu Kapuas Hulu,


Pontianak, Sintang, Sanggau, Bengkayang, Sambas, Ketapang, Landak, Kota
Singkawang dan Kota Pontianak.

4.2. 4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk


Jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 4.120.000 jiwa dengan rincian laki
2.110.000 jiwa (51,21%) dan perempuan 2.010.000 jiwa (48,79%) dengan tingkat
kepadatan 28 jiwa/km2
4.2.5 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Kinerja pertumbuhan ekonomi Kalimantan Baratr terus membaik sejak tahun
2004-2007. Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2004 sebesar 4,79%, meningkat menjadi
4,69% tahun 2005. Periode 2006-2007, Kalimantan Barat berhasil mencapai
pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,23% tahun 2006
berhasil ditingkatkan menjadi 6,02% pada tahun 2007. Sementara, pada tahun 2008
pertumbuhan ekonomi sedikit mengalami penurunan yakni 5,42%. Melemahnya
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 dikarenakan perekonomian Kalimantan Barat
mengalami lonjakan inflasi yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
4.2.6 Pengangguran
Persentase pengangguran di Kalimantan Barat terus mengalami penurunan dari
tahun ke tahun, pada tahun 2006 persentase pengangguran sebesar 8,53%, tahun 2007
berjumlah 6,47% dan semakin menurun pada tahun 2008 menjadi 5,41%.
4.2.7 Indeks Pembangunan Manusia
Angka harapan hidup Penduduk Kalimantan Barat pada tahun 2004 adalah 64,8
tahun, lima tahun kemudaian meningkat menjadi 67,3 tahun. Angka Melek Huruf (AMH)
usia 15 tahun ke atas dalam kurun waktu 2004-2008 meningkat, pada tahun 2004 AMH
Kalimantan Barat adalah 85,7%, dan meningkat menjadi 91,5% pada tahun 2008.
Capaian rata-rata lama sekolah (RLS) juga meningkat dari tahun ke tahun, namun masih
tergolong rendah. Tahun 2004 penduduk Kalimantan Barat rata-rata berpendidikan kelas
6 SD (RLS = 6,4). Pada tahun 2009, RLS penduduk Kalimantan Barat meningkat
menjadi 7,0 dengan rata-rata berpendidikan kelas 1 SMP. Faktor-faktor tersebutlah yang
mempengaruhi peningkatan nilai IPM di Kalimantan Barat, dimana IPM dari tahun 2004
hingga 2008 adalah 65.4, 66.2, 67.53, dan 68.96, sementara itu tren pertumbuhan tahun
2007 sebesar 0,29% dan tahun 2008 sebesar 0,96%.

4.2.8 Umur Harapan Hidup


UHH Kalimantan Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun, pada
tahun 2006 sebesar 66, tahun 2007 sebesar 66,1 dan tahun 2008 menjadi 70,4 tahun.
4.2.9 Pelayanan Publik
Persentase jumlah Kabupaten/Kota yang telah memiliki Perda pelayanan satu
atap sampai tahun 2008 hanya 33,70% saja. Nilai tersebut tidak menunjukkan

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


perkembangan yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2004 yang jumlahnya
20,31%. Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota membuat Sistem Pelayanan Satu Pintu
(SIMPTU) dan Sistem Pelayanan Satu Atap (SIMPTAP) masih terlalu kecil. Sehingga
sistem pelayanan prima yang berasaskan pada efisien, cepat dan memuaskan sulit untuk
terwujud saat ini di beberapa Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat.
4.2.10 Kondisi Sosial Budaya
Banyak sekali rumpun budaya di Kalimantan Barat, tetapi terdapat 4 rumpun
budaya yang besar yaitu Dayak, Melayu, Jawa dan Tionghoa. Melihat sosial budaya
Kalimantan Barat, kita bagaikan melihat mosaik yang berdenyut dinamis. Terdapat 164
bahasa daerah, 152 diantaranya bahasa adalah bahasa Subsuku Dayak dan 12 sisanya
bahasa Subsuku Melayu. Aneka ragam bahasa ini dituturkan oleh sedikitnya 20 suku atau
etnis, tiga di antaranya suku asli dan 17 sisanya suku pendatang. Sejumlah adat istiadat
masih lestari, terutama ketika berlangsung acara melahirkan, peringatan tujuh bulan
jabang bayi di kandungan, kematian, menanam padi, panen, pengobatan, anisiasi,
mangkok merah. Dalam kaitan itu, nilai-nilai budaya seperti semangat gotong royong,
religiuslitas, kejujuran, toleransi, keadilan sosial, perdamaian, kompetisi, kritis, dan
ksatria masih tetap di pelihara di tengah-tengah masyarakat.
4.2.11 Kemiskinan
• Perkembangan Tingkat Kemiskinan 2006 – 2009

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode Maret 2008 ke Maret 2009
menunjukkan kecenderungan menurun, Maret 2008 sebesar 11,07 % menjadi 9,30 % atau
turun 1,77 poin . Pada periode tahun 2008 ke tahun 2009 jumlah penduduk miskin turun
dari 508,78 ribu orang menjadi 434,77 ribu orang. Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk
miskin berkurang sekitar 74,01 ribu.
Jika dilihat menurut daerah, persentase penurunan jumlah penduduk miskin di
perkotaan lebih tinggi yaitu 2,74 % sementara di pedesaan turun 1,40 %. Namun secara
jumlah dipedesaan turun sebanyak 40,5 ribu orang dan diperkotaan sebanyak 33,51 ribu
orang.
Untuk menentukan jumlah penduduk miskin, BPS menggunakan konsep
”kemampuan memenuhi kebutuhan dasar”, jadi kemiskinan yang dimaksud adalah
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan (diukur

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


dari sisi pengeluaran) yang di konversi dengan nilai uang yang disebut sebagai garis
kemiskinan.
Dengan demikian yang disebut penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

• Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2006 – Maret 2009

Garis kemiskinan pada tahun 2008 sebesar Rp. 158.834,- perkapita/bulan


selanjutnya pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp. 174.617,- perkapita/bulan. Jika
dibedakan berdasarkan daerah, garis Kemiskinan kota tahun 2008 sebesar Rp.179.261
naik menjadi Rp.194.881,- pada kondisi Maret 2009. Sementara di daerah pedesaan
Rp.150.968 pada Maret 2008 naik menjadi Rp.166.815,- pada Maret 2009.
Tidak berbeda dengan kondisi 2008, pada tahun 2009 Garis Kemiskinan Makanan
juga mempunyai peranan yang sangat dominan terhadap Garis Kemiskinan yaitu sebesar
79,15 %, dan selebihnya 20,85 % adalah Garis Kemiskinan Bukan Makanan.
Komoditi makanan yang berpengaruh terhadap kenaikan garis kemiskinan tahun
2009 antar lain beras, gula pasir, telur, minyak goreng, mie instan, tahu dan tempe.
Sedangkan komoditi non makanannya antara lain perumahan, listrik, minyak tanah dan
angkutan

• Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan


Persoalan kemiskinan bukan hanya menyangkut berapa jumlah dan persentase
penduduk miskin tetapi ada dimensi lain yang harus juga menjadi perhatian yaitu tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan. Jadi kebijakan dalam penanganan masalah
kemiskinan seharusnya tidak hanya memperkecil jumlah penduduk miskin, tetapi juga
sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan itu
sendiri.
Indek Kedalaman Kemiskinan (IKK) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Sedangkan

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Indek Keparahan Kemiskinan merupakan ukuran ketimpangan pengaeluaran penduduk
miskin.
Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
menunjukkan adanya penurunan yaitu turun dari 1,66 pada keadaan Maret 2008 menjadi
1,55 pada Maret 2009. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk
miskin cenderung meningkat mendekati garis kemiskinan. Adapun dari sisi Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) tampak relatif stabil yaitu dari 0,42 menjadi 0,40. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk miskin
relatif tidak mengalami perubahan yang berarti selama tahun 2008-2009.
Apabila disimak menurut daerah untuk tahun 2009 berbanding terbalik
dibandingkan kondisi 2008, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perkotaan lebih rendah dibanding daerah
perdesaan. Pada bulan Maret 2008, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk
perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar sebesar 1,84 dan 1,59 sementara
keadaan Maret 2009 di daerah perkotaan turun menjadi 1,20 dan perdesaan naik menjadi
1,68. Demikian juga dengan Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perdesaan
sebesar 0,37 sementara di daerah perkotaan mencapai 0,54 pada Maret 2008, keadaan
Maret 2009 untuk perdesaan naik menjadi 0,45 sementara perkotaan turun menjadi 0,28.
Hal ini perlu dicermati karena kondisi didaerah perdesaan kondisinya lebih parah dari
daerah perkotaan, rata-rata pengeluaran penduduk miskin didesa semakin dalam dan jauh
dari garis kemiskinan, demikian juga dengan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin
juga semakin timpang.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


BAB V

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN


KEMISKINAN
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DAN
PROVINSI KALIMANTAN BARAT

5.1 Identifikasi Basis evaluasi

Identifikasi basis evaluasi dilakukan dua tahap yaitu tahap pertama; identifikasi
dokumen perencanaan yang didalamnya mencakup penanggulangan kemiskinan, tahap
kedua; dari fokus dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang teridentifikasi akan dipilih
fokus dan kegiatan yang berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan sebab jika
program jenis ini berhasil dilaksanakan maka seluruh manfaatnya bisa dinikmati orang
miskin dan program yang diperuntukkan untuk semua orang akan tetapi jika dilaksanakan
dengan baik maka kelompok miskin akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dari
kelompok lainnya.

Tahap I. Identifikasi dokumen perencanaan

Perencanaan penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada saat ini didasarkan pada


berbagai isi dokumen perencanaan formal, yang dapat berupa:

• Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005 – 2025

• Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang RPJMN Tahun 2004 – 2009

• Peraturan Daerah yang berkaitan dengan RPJM Daerah dan RKPD

• Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009

5.1.1 RPJPN 2005 -2025

Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005 – 2025 merupakan


dokumen perencanaan pembangunan nasional jangka panjang yang seharusnya
menjadi pondasi dari semua dokumen perencanaan pembangunan di Indonesia.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Undang-undang ini merupakan dokumen

perencanaan yang didalamnya mencakup penanggulangan kemiskinan yang


paling kuat posisinya dari tata urutan peraturan perundang-undangan.

RPJP dinilai memberi arah kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan dalam


jangka panjang secara memadai, namun sifatnya sangat global dan tidak menetapkan
milestone sasaran penanggulangan kemiskinan dalam beberapa periode waktu,
sehingga sulit dijadikan sebagai basis evaluasi untuk penanggulangan kemiskinan pada
tataran kebijakan operasional. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka RPJP belum
dapat dijadikan sebagai basis evaluasi utama dari pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan.

5.1.2. RPJMN 2004 – 2009

RPJMN 2004 – 2009 merupakan perencanaan pembangunan nasional yang


komprehensif dan bersifat lintas instansi dan merupakan formalisasi dari visi
pembangunan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonno selama kampanye pemilihan
presiden pada tahun 2004. Perencanaan penanggulangan kemiskinan selama periode
tahun 2004 – 2009 diatur secara lugas dalam Bab 16 RPJMN.

RPJM telah menetapkan 56 program penanggulangan kemiskinan untuk


mencapai 11 sasaran di atas. Jika diamati 56 program penanggulangan dalam RPJM
telah selaras dan merupakan penjabaran dari RPJPN.

Program-program yang ditetapkan dalam RPJM dijabarkan dalam bentuk


berbagai kegiatan strategis untuk penanggulangan kemiskinan. RPJM merupakan
landasan bagi berbagai instansi pemerintah dan daerah dalam menyusun rencana
pembangunan daerah. RPJM dinilai sebagai dokumen perencanaan penanggulangan
kemiskinan yang paling lengkap dan bersifat lintas instansi. Salah satu kelemahan
RPJM adalah tidak menetapkan milestone sasaran penanggulangan kemiskinan setiap
tahunnya, sehingga RPJM sulit dijadikan basis evaluasi tahunan dan banyaknya
program-program yang ada didalam RPJMN yang tidak langsung terkait dengan
penduduk miskin.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


5.1.3 RPJMD dan RKPD Provinsi

RPJMD dan RKPD Provinsi bidang penanggulangan kemiskinan di daerah


merupakan dokumen perencanaan penanggulangan kemiskinan yang seharusnya dapat
dijadikan sebagai basis untuk mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan
pada setiap daerah. Namun, setiap daerah memiliki prioritas program yang berbeda
satu daerah dengan daerah lainnya, sehingga relatif sulit menggunakan RPJMD dan
RKPD sebagai basis untuk mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan,
apalagi dalam melihat perbedaan dua daerah.

5.1.4 RKP 2009

RKP adalah dokumen perencanaan tahunan yang merupakan penjabaran dari


RPJMN yang dalam penyusunannya dilakukan penyelarasan dengan pemerintah
provinsi melalui kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
(Musrenbangnas). Tema RKP 2009 adalah Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan
pengurangan Kemiskinan. Perencanaan dalam RKP cukup komprehensif dan
mencakup segala bidang dalam penanggulangan kemiskinan dengan proporsi program
yang langsung pada sasaran penduduk miskin cukup besar, RKP ini juga merupakan
acuan bagi daerah dalam menyempurnakan RKPD 2009, dengan demikian diharapkan
adanya keselarasan antara program pemerintah dengan program pemerintah daerah.
Dokumen ini cukup komprehensif dan tema didalamnya merupakan tema yang akan
menjadi objek penelitian..

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka RKP 2009 merupakan


dokumen perencanaan penanggulangan kemiskinan yang terlengkap dan berterima
umum sebagai basis evaluasi pelaksanaan kemiskinan. Untuk itu, kajian ini
menggunakan RKP sebagai basis untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2009.

Penilaian didasarkan pada relevansi program dan kegiatan serta penilaian


pemangku kepentingan mengenai pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dengan
program dan kegiatan yang ditetapkan dalam RKP, serta keberhasilan proses dan
output, outcome penanggulangan kemiskinan untuk mengetahui tingginya tren

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


penurunan penduduk miskin di Kalimantan Barat yang berbeda dengan Sulawesi
Selatan. Dan hasil dari ini semua akan memberikan kontribusi dalam menyusun
kerangka perbaikan kebijakan perencanaan dan penganggaran penanggulangan
kemiskinan secara nasional.

Tahap II. Identifikasi fokus/program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam


RKP 2009

Berdasarkan hasil pemilihan dokumen perencanaan yang dijadikan sebagai


basis evaluasi maka fokus/program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam
RKP 2009 yang dipilih untuk dievaluasi adalah:

Fokus/Program 1: Pembangunan dan Penyempurnaan Sistem Perlindungan Sosial


Khususnya Bagi Masyarakat Miskin

• Penyediaan Beasiswa
1. Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin jenjang SMP
2. Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin jenjang SD
3. Beasiswa untuk siswa miskin MI
4. Beasiswa untuk siswa miskin MTs
5. Beasiswa untuk siswa miskin SMA
6. Beasiswa untuk siswa miskin SMK
7. Beasiswa untuk siswa miskin MA
• Pelayanan Kesehatan Gratis
8. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit
9. Pelayanan kesehatan dasar bagi seluruh penduduk miskin di Puskesmas
10. Jaminan pelayanan KB berkualitas bagi rakyat miskin
• Subsidi Beras
11. Penyediaan dan pelaksanaan subsidi beras untuk masyarakat miskin
• Bantuan Langsung Tunai (BLT)
12. Penyediaan dan pelaksanaan bantuan langsung tunai bagi rumah tangga sangat
miskin, rumah tangga miskin dan rumah tangga hampir miskin

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Fokus/Program II: Penyempurnaan dan Perluasan Cakupan Program Pembangunan
Berbasis Masyarakat

1. Peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM Perdesaan


2. Penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM Perkotaan)
3. Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah (PNPM PISEW)
4. Peningkatan infrastruktur pedesaan skala komunitas (PPIP/RIS-PNPM)
5. Percepatan pembangunan daerah tertinggal (PNPM Daerah Tertingal)
Fokus/Program III: Pemberdayaan usaha mikro dan kecil
1. Menyediakan skim pinjaman kredit UMKM
2. Menyediakan dana bergulir untuk kegiatan produktif
3. Bimbingan teknis pengelolan LKM/KSP
4. Pembinaan sentra produksi UMKM
5. Fasilitasi pengembangan pemasaran usaha mikro
6. Penyediaan dana melalui koperasi

Berdasarkan pilihan fokus dan kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut di


atas maka dapat digambarkan pilihan kluster program penanggulangan kemiskinan
yang akan dijadikan sebagai basis evaluasi sebagai berikut:

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Gambar 5.1
Kluster Program Penanggulangan Kemiskinan dalam RKP 2009

Program-Program
Penanggulangan Kemiskinan

Kluster I (Fokus I) Kluster II (Fokus II) Kluster III (Fokus III)


Program Bantuan dan Program Pemberdayaan Program Kredit Mikro,

KEMANDIRIAN
Jaminan Sosial Masyarakat UKM dsb

Sasaran: Sasaran: Sasaran:


Individu/RT Miskin Kelompok Masyarakat UMKM
Miskin

Terpilih Terpilih Terpilih

Berdasarkan penjelasan pada pragraf pertama bagian 5.1 bahwa “akan dipilih fokus
dan kegiatan yang berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan sebab jika
program jenis ini berhasil dilaksanakan maka seluruh manfaatnya bisa dinikmati orang
miskin dan program yang diperuntukkan untuk semua orang akan tetapi jika dilaksanakan
dengan baik maka kelompok miskin akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dari
kelompok lainnya”, dengan demikian ketiga kluster di atas akan dijadikan sebagai basis
evaluasi.

5.2 Kesesuaian Antara Program/Kegiatan RKP dengan RKPD 2009


Kesesuaian antara perencanaan nasional dan daerah terdapat pada setiap tingkatan
perencanaan. Berdasarkam Peraturan Pemerntah No. 20 Tahun 2004 tentang RKP,
dikemukan bahwa sebagai tindaklanjut kebijakan desentralisasi, maka kegiatan Pemerintah
Pusat di daerah menjadi salah satu perhatian utama. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


kegiatan Pemerintah Pusat di daerah terdistribusi secara adil dan dapat menciptakan
sinergitas secara nasional. Untuk mencapai tujuan ini maka dalam rangka penyusunan RKP
dilaksanakan musyawarah perencanaan baik antar kementerian/lembaga maupun antar
kementerian/lembaga dengan Pemerintah Provinsi.
Keserasian hubungan dalam pengelolaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berarti bahwa pengelolaan bagian urusan Pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat
pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung
(interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan dengan memperhatikan
cakupan kemanfaatan.
Dalam UU 25 tahun 2004 dinyatakan bahwa RKP daerah merupakan penjabaran dari
RPJMD dan mengacu pada RKP Nasional yang memuat: prioritas pembangunan daerah,
rancangan kerangka ekonomi makro daerah, arah kebijakan fiskal, program SKPD, lintas
SKPD, kewilayahan dan lintas kewilayahan yang memuat kegiatan dalam kerangka regulasi
dan kerangka anggaran yang diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat
nasional maupun provinsi.
Dalam melakukan analisa terhadap kesesuaian ini, akan difokuskan pada program dan
kegiatan dalam RKPD 2009 yang mendukung program dan kegiatan RKP 2009.

Tabel 5.1
Kesesesuain Antara RKP 2009 dengan RKPD 2009
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat

Fokus/Program dan
Kegiatan RKPD yang
Mendukung Program dan
No Fokus/Program dan Kegiatan RKP 2009
Kegiatan RKP 2009
Sulawesi Kalimantan
Selatan Barat
A Kluster 1: Pembangunan dan
Penyempurnaan Sistem Perlindungan Sosial
Khususnya Bagi Masyarakat Miskin
1 Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin Ada Ada
jenjang SMP
2 Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin Ada Ada
jenjang SD

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Fokus/Program dan
Kegiatan RKPD yang
Mendukung Program dan
No Fokus/Program dan Kegiatan RKP 2009
Kegiatan RKP 2009
Sulawesi Kalimantan
Selatan Barat
3 Beasiswa untuk siswa miskin MI Ada Ada
4 Beasiswa untuk siswa miskin MTs Ada Ada
5 Beasiswa untuk siswa miskin SMA Tidak Ada Tidak Ada
6 Beasiswa untuk siswa miskin SMK Tidak Ada Tidak Ada
7 Beasiswa untuk siswa miskin MA Tidak Ada Tidak Ada
10 Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin Ada Ada
di kelas III rumah sakit
11 Pelayanan kesehatan dasar bagi seluruh Ada Ada
penduduk miskin di Puskesmas
12 Jaminan pelayanan KB berkualitas bagi Tidak Ada Ada
rakyat miskin
13 Penyediaan dan pelaksanaan subsidi beras Ada Tidak Ada
untuk masyarakat miskin
14 Penyediaan dan pelaksanaan bantuan Tidak Ada Tidak Ada
langsung tunai bagi rumah tangga sangat
miskin, rumah tangga miskin dan rumah
tangga hampir miskin
B Kluster II: Penyempurnaan dan Perluasan
Cakupan Program Pembangunan Berbasis
Masyarakat
1 Peningkatan keberdayaan masyarakat dan Ada Ada
PNPM Perdesaan
2 Penanggulangan kemiskinan perkotaan Ada Ada
(PNPM Perkotaan)
3 Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi Ada Ada
wilayah (PNPM PISEW)
4 Peningkatan infrastruktur pedesaan skala Ada Ada
komunitas (PPIP/RIS-PNPM)

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Fokus/Program dan
Kegiatan RKPD yang
Mendukung Program dan
No Fokus/Program dan Kegiatan RKP 2009
Kegiatan RKP 2009
Sulawesi Kalimantan
Selatan Barat
5 Percepatan pembangunan daerah tertinggal Ada Ada
(PNPM Daerah Tertingal)
C Kluster III: Pemberdayaan usaha mikro dan
kecil
1 Menyediakan skim pinjaman kredit UMKM Tidak Ada Tidak Ada
2 Menyediakan dana bergulir untuk kegiatan Tidak Ada Tidak Ada
produktif
3 Bimbingan teknis pengelolan LKM/KSP Ada Ada
4 Pembinaan sentra produksi UMKM Ada Ada
5 Fasilitasi pengembangan pemasaran usaha Ada Ada
mikro
6 Penyediaan dana melalui koperasi Tidak Ada Tidak Ada
7 Pengembangan kawasan transmigrasi kota Tidak Ada Ada
terpadu
8 Percepatan pembangunan kawasan produksi Tidak Ada Tidak Ada
daerah tertinggal
9 Percepatan pusat pertumbuhan daerah Tidak Ada Ada
tertinggal
10 Pengembangan sarana dan prasarana desa Tidak Ada Tidak Ada
agropolitan.

Sumber: RKP 2009 dan RKPD 2009 Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat

Berdasarkan tabel tersebut di atas maka jumlah program/kegiatan yang relevan


dengan 14 kegiatan dalam kluster 1 RKP 2009 di Sulawesi Selatan adalah sebanyak 9
kegiatan, hal yang sama pula terjadi di Kalimantan Barat. Sedangkan pada kluster 2 semua
program kegiatan dalam RKP 2009 relevan dengan kegiatan yang ada di Sulawesi Selatan
maupun Kalimantan Barat. Dari 10 kegiatan RKP 2009 pada kluster 3 terdapat 3 kegiatan

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


yang relevan dengan kegiatan Sulawesi Selatan dan di Kalimantan Barat terdapat 5 kegiatan
yang relevan dengan fokus/program dan kegiatan RKP 2009.

Berdasarkan identifikasi data sekunder pada dokumen RKPD maka kegiatan kluster
1 yang relevan dengan RKP 2009 dari RKPD 2009 di Sulawesi Selatan adalah pendidikan
gratis SD dan setara SMP kepada seluruh penduduk Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dibiayai
oleh Bantuan Operasional Sekolah dengan didukung APBD Provinsi dan Kab/Kota. Porsi
pemerintah provinsi adalah maksimun sebesar 40% dari sisa kebutuhan dana yang tidak
tercover oleh dana BOS, pelayanan kesehatan gratis kepada seluruh penduduk Sulawesi
Selatan, rujukan di kelas III rumah sakit, pelayanan kesehatan gratis kepada seluruh
penduduk Sulawesi Selatan di Puskesmas, peningkatan layanan penduduk miskin,
khususnya berkaitan dengan mekanisme distribusi beras miskin (Raskin), kegiatan RKPD
2009 Sulawesi Selatan yang relevan dengan kluster 2 RKP 2009 adalah kegiatan dalam
rangka mewujudkan desa sebagai komunitas yang utuh dan mandiri melalui pembangunan
Baruga Sayang (Balai Rujukan Keluarga dan Pusat Layanan Pembangunan) - program ini
memberikan dukungan kepada lembaga pemberdayaan masyarakat dan dukungan bagi
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), kegiatannya lebih bersifat regulasi
dan koordinasi, penguatan kelembagaan masyarakat – mewujudkan desa sebagai komunitas
mandiri, entitas sosial ekonomi yang berkeadilan-sementara itu pembangunan perkotaan
diarahkan pada upaya mewujudkan kota sebagai kawasan produksi, pusat pelayanan sosial
ekonomi sekaligus sebagai hunian yang nyaman, entitas sosial ekonomi yang berkeadilan-
menggalakkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat perdesaan dengan pembangunan jalan
desa dan irigasi desa sehingga masyarakat desa tumbuh menjadi komunitas yang mandiri
dan tangguh, Pembangunan berbasis komunitas lebih diarahkan pada penguatan
kelembagaan masyarakat seperti lembaga kepemudaan dengan sasaran sebagai basis
tumbuhnya pemimpin baru, lembaga keagamaan, lembaga olahraga, organisasi profesi
(komponen ini dimasukkan dalam komponen sasaran prioritas penguatan kelembagaan
masyarakat (kepemudaan, agama). Kegiatan Sulawesi Selatan yang relevan dengan kluster
3 adalah penetapan kerangka pembiayaan, kelembagaan dan regulasi koperasi dan UMKM,
pengembangan kewirausahaan dan keunggulangan kompetitif UMKM, pembangunan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana koperasi dan UMKM, berdirinya pasar lelang komoditas
pada sejumlah kabupaten/kota dan berkembangnya sistem informasi pasar yang transparan.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Sementara itu program dan kegiatan RKPD 2009 Kalimantan Barat yang relevan
dengan kluster 1 RKP 2009 adalah program pendidikan anak usia dini, program wajib
belajar 9 tahun, program pendidikan menengah, program pendidikan non formal, program
pendidikan luar biasa, program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan,
program pengembangan budaya baca dan pembinaan kepustakaan, program manajemen
pelayanan pendidikan, program pendidikan tinggi, program obat dan pembekalan kesehatan,
program upaya kesehatan masyarakat, program pengawasan obat dan manakan, program
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, program perbaikan gizi masyarakat,
program pengembangan lingkungan sehat, program sumber daya kesehatan, program upaya
kesehatan perorangan, program keluarga berencana, program pelayanan kontrasepsi,
program penyiapan tenaga pendamping kelompok bina keluarga, program pengembangan
model operasional BKB-Posyandu-PADU.

Kegiatan yang relevan dengan kluster 2 adalah program pemberdayaan masyarakat


miskin, program penguatan ekstensitas dan cakupan pelayanan lembaga keuangan mikro
dan perlindungan usaha masyarakat miskin, sementara itu kegiatan yang relevan dengan
kluster 3 adalah program penciptaan iklim usaha dan penguatan UKM untuk masyarakat
miskin, program koordinasi pembinaan koperasi dan UMKM, pengembangan
kewirausahaan dan keunggulan kompetitif UMKM, pengembangan kualitas kelembagaan
koperasi dan program fasilitasi pengembangan kemampuan dan perlindungan usaha mikro
dan kecil bagi masyarakat miskin di pedesaan dan kota.

Berdasarkan program dan kegiatan yang ada dalam RKPD 2009 di dua provinsi
tersebut, maka dapat diketahui tingkat relevansi RKP 2009 dengan RKPD 2009 berdasarkan
persepsi pemangku kepentingan (seperti pada tabel 5.2), dimana informan diminta untuk
melakukan penilaian berdasarkan skala nilai yang telah disiapkan dan memberikan alasan
penilaian seperti:

1. Skala nilai 1: jika tidak ada keserasian (tidak relevan) kegiatan dengan RKPD Provinsi

2. Skala nilai 5: jika terdapat keserasian fokus tetapi tidak memiliki keserasian kegiatan
dengan RKPD Provinsi

2. Skala nilai 10: jika terdapat keserasian fokus dan kegiatan dengan RKPD Provinsi

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Adapun rata-rata skor penilaian tiga informan (Bappeda, LSM, Akademis) tentang
relevansi kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam RKP 2009 dengan RKPD dapat
dilihat pada tabel 5.2 di bawah ini.
Tabel 5.2
Evaluasi Pemangku Kepentingan Terhadap Relevansi
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinana dalam RKPD 2009 Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Barat dengan RKP 2009
No Provinsi Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Rerata Skor
1 Sulawesi Selatan 7,42 8,00 4,67 6,70
2 Kalimantan Barat 7,78 8,40 5,27 7,15
Sumber: Diolah dari hasil evaluasi pemangku kepentingan

Berdasarkan penelusuran data sekunder pada tabel 5.1 di atas dan hasil evaluasi
pemangku kepentingan terhadap relevansi kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam
RKPD 2009 Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat dengan RKP 2009 tabel 5.2 di atas,
terdapat kesamaan jumlah kegiatan di RKPD 2009 didua provinsi yang mendukung
kegiatan kluster 1 RKP 2009 dan hasil penilaian pemangku kepentingan juga hampir
menunjukkan kesamaan yakni skor 7,42 di Sulawesi Selatan dan 7, 78 di Kalimantan Barat,
skor ini menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan sudah menunjukkan adanya keserasian
fokus dan kegiatan, demikian halnya dengan kluster 2 sedangkan kluster 3 terdapat
perbedaan jumlah kegiatan yang mendukung, dimana di Sulawesi Selatan terdapat 3
kegiatan sedangkan di Kalimantan Barat terdapat 5 kegiatan dan hasil evaluasi pemangku
kepentingan juga menunjukkan perbedaan yakni di Sulawesi Selatan rata-rata skor untuk
kluster 3 sebesar 4,67 dan di Kalimantan Barat dengan skor 5,27, skor ini menunjukkan
bahwa pada kluster 3 tidak ada keserasian fokus, namun menunjukkan adanya keserasian
kegiatan. Rata-rata skor jika semua kluster digabung maka total rerata skor Sulawesi
Selatan 6,70, sedangkan Kalimantan Barat sebesar 7,15, dengan demikian dapat diketahui
bahwa RKPD 2009 Kalimantan Barat memiliki tingkat relevansi fokus dan kegiantan
dengan RKP yang cukup bagus. Sementara itu RKPD 2009 Sulawesi Selatan, memiliki
keserasian yang cukup rendah dengan RKP. Tingginya keserasian RKPD Kalimantan Barat
seperti yang diungkapkan oleh informan di Bappeda bahwa:

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


”Bukan kegiatan yang sama, tetapi kegiatan yang saling mendukung, terkadang
nomenklatur kegiatan berbeda tetapi saling mendukung, kami terus menerus
koordinasi dengan K/L untuk merumuskan kegiatan kami, karena dalam RKPD
terdapat kegiatan yang kami alokasikan dananya dari APBD dan terdapat kegiatan
yang kami alokasikan dananya dari APBN. Kalau tidak ada koordinasi dengan pusat,
kan susah untuk dialokasikan dari APBN nantinya” (Hasil Wawancara dengan
Informan Bappeda, pada tanggal 29 April 2010).

Sementara itu di Sulawesi Selatan, rendahnya tingkat relevansi seperti diungkapkan


oleh informan di Bappeda:

”Proses perencanaan RKPD dimulai dari bawah yaitu dari tingkat Desa/Kelurahan,
Kecamatan, Kabupaten, kemudian hasil musyawarah di Kabupaten/Kota disampaikan
pada forum Musrenbang di Provinsi, disinilah sarana pemerintah daerah untuk
menyusun RKPD, disamping itu kami tetap memperhatikan RKP Nasional, kami
lebih mengutamakan kegiatan bersifat lokal, walaupun sebenarnya mendukung juga
program/kegiatan pemerintah pusat. Pemerintah pusat kadang memaksa kita untuk
menyamakan programnya tetapi ini tidak mungkin, karena yang dibutuhkan di
Sulawesi Selatan berbeda” (Hasil Wawancara dengan informan Bappeda, pada
tanggal 30 Maret 2010).

5.3 Proses Pelaksanaan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah


Pelaksanaan 3 kluster program penanggulangan kemiskinan, dilaksanakan oleh K/L
bersama dengan daerah dengan sistem anggaran yang digunakan adalah Dana Urusan
Bersama dan ada beberapa yang menggunakan mekanisme Tugas Pembantuan dan
Dekonsentrasi. Proses pelaksanaan kegiatan ini lebih banyak diserahkan ke daerah,
sementara pemerintah pusat menyiapkan petunjuk teknis dan melakukan monitoring atas
pelaksanaan kegiatan tersebut dan juga pemerintah pusat yang melakukan pengadaan
konsultan untuk pelaksanaan pekerjaan teknis di lapangan.
Proses pelaksanaan Kluster 1, berdasarkan hasil wawancara dengan 3 informan
(Bappeda, LSM dan Akademisi) di Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa:

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


“Hampir bisa dipastikan bahwa proses kegiatan kluster 1 berjalan dengan baik karena
hal ini juga merupakan komitmen/janji Gubernur saat kampanye PEMILUKADA,
dimana fokus utama kegiatan di Sulawesi Selatan adalah beasiswa dan kesehatan
gratis, untuk penerima manfaat beasiswa sudah dilakukan pendataan oleh Dinas
Pendidikan, sedangkan untuk pelayanan kesehatan gratis proses pelaksanaanya sudah
terbangun kemitraan antara pihak Rumah Sakit dengan Puskesmas dan Pemda untuk
klaim pembayaran sedangkan penyaluran Raskin dilakukan dengan sistem basis
kelurahan sehingga lebih tepat sasaran” (Dirangkum dari Hasil Wawancara dengan 3
Informan di Sulawesi Selatan)

Sementara itu di Kalimantan Barat informan menilai bahwa fokus/program kegiatan


kluster 1 dianggap sebagai program pusat sehingga proses yang dijalankan di daerah tidak
sepenuhnya berjalan sesuai harapan, dimana masih terdapat penyimpangan dalam
pelaksanaannya, seperti yang disampaikan oleh akademisi bahwa:

“Hampir seluruh kegiatan /program di daerah dapat terlaksana dengan baik, namun
saya melihat kendala yang dihadapi adalah kurangnya koordinasi antar pemerintah
daerah, penyaluran dari dana yang ada sangat diperlukan koordinasi dan pengawasan
yang lebih jelas, semua program kluster 1 sudah terlaksana dengan baik, namun
dalam penyampaian kepada penerima manfaat masih berbelit-belit” (Hasil
Wawancara dengan Informan Akademisi Kalimantan Barat tanggal 5-11 Mei 2010).

Pada proses pelaksanaan fokus/program kegiatan kluster 2,. Hasil wawancara dengan
3 informan di Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa “terdapat tim panitia pelaksana di
tingkat kelurahan/desa sehingga pelaksanaannya lebih tepat sasaran”. Sementara itu di
Kalimantan Barat informan menyampaikan bahwa:

”Pembentukan kelembagaan desa yang interaktif dan pemanfaatan sumberdaya yang


lebih maksimal, pencapaian partisipasi masyarakat melalui sosialisasi dari instansi

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


terkait dan lembaga swadaya masyarakat, melalui sosialisasi, pendampingan dan
pembangunan yang lebih terarah sehingga proses pelaksanaan PNPM di Kalimantan
Barat berjalan dengan baik” (Hasil Wawancara dengan Akademisi Kalimantan Barat
tanggal 5-11 Mei 2010).

Pada proses pelaksanaan fokus/program kegiatan kluster 3, Hasil wawancara dengan


3 informan di Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa:

“Proses pelaksanaan fokus dan kegiatan kluster 3 di Sulawesi Selatan telah


dilaksanakan di semua kabupaten/kota seperti kegiatan bimbingan teknis pengelolan
LKM, pembinaan sentra produksi UMKM dan fasilitasi pengembangan pemasaran
usaha mikro” (Rangkuman dari Hasil Wawancara 3 Informan di Sulawesi Selatan)

Hal yang sama pula telah dilaksanakan dengan proses yang cukup baik di Kalimantan
Barat dimana “kegiatan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kebutuhan daerah termasuk
didalamnya kegiatan percepatan pertumbuhan daerah tertinggal”, ungkap informan LSM
Kalimantan Barat.
Selain hasil wawancara dengan informan di atas, dalam melakukan evaluasi pada
proses pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Barat, informan diminta untuk menjawab kuesioner dengan skala penilaian
sebagai berikut:

• Skala nilai 1: jika rencana penanggulangan kemiskinan dalam RKP tidak dilaksanakan
• Skala nilai 5: jika kegiatan penanggulangan kemiskinan dilaksanakan tetapi
pelaksanaannya tidak sesuai dengan rencana.
• Skala nilai 10: jika kegiatan penanggulangan kemiskinan mampu dijabarkan secara
baik dan pelaksanaannya dinilai telah baik dan sesuai kebutuhan daerah.
Berdasarkan skala nilai tersebut maka diketahui hasil evaluasi proses pelaksanaan
kebijakan penanggulangan kemiskinan RKP 2009 di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat
berdasarkan rata-rata penilaian tiga pemangku kepentingan (Bappeda, LSM, Akademisi)
seperti pada tabel di bawah ini.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Tabel 5.3
Evaluasi Pemangku Kepentingan Terhadap Proses
Pelaksanaan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat
Total Rerata
No Provinsi Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3
Skor
1 Sulawesi Selatan 8,06 8,67 6,13 7,62
2 Kalimantan Barat 7,25 8,33 6,07 7,22
Sumber: Diolah dari hasil evaluasi pemangku kepentingan
Informan menilai bahwa proses pelaksanaan fokus/program kegiatan kluster 1 di
Sulawesi Selatan dilaksanakan dengan proses yang lebih baik dengan skor 8,06, skor ini
menunjukkan proses pelaksanaan kegiatan sudah seseuai dengan rencana, seperti yang
diungkapkan oleh informan pada hasil wawancara di atas bahwa pelaksanaan kegiatan
berjalan dengan baik karena memang merupakan janji gubernur. Sementara di Kalimantan
Barat dengan skor 7,25, ini menunjukkan sudah berjalan dengan baik, namun mengalami
kendala kurangnya koordinasi antar lembaga pelaksana.
Informan di Sulawesi Selatan menilai bahwa pelaksanaan fokus/program kegiatan
kluster 2 dilaksanakan dengan proses yang baik dengan skor 8,67 yang menunjukkan
bahwa PNPM Mandiri terlaksana sesuai dengan rencana, demikian pula halnya di
Kalimantan Barat.
Kluster 3, Informan di Sulawesi Selatan menilai bahwa pelaksanaan fokus/program
kegiatan di Sulawesi Selatan dengan rata-rata skor 6,13 ini menunjukkan bahwa proses
pelaksanaan beberapa kegiatan tidak sesuai dengan rencana pelaksanaannya, dimana
pelaksanaannya lebih lambat dari waktu yang telah ditentukan, hal ini juga terjadi di
Kalimantan Barat dengan rata-rata skor 6,07, lambatnya pelaksanaan kegiatan kluster 3 ini
karena lambatnya Kementerian UMKM dalam mensosialisasikan programnya ke daerah.
Dengan demikian total rata-rata skor proses pelaksanaan fokus/program kegiatan
penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan sebesar 7,62, ini menunjukkan proses
pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan masih perlu ketepatan waktu dalam
pelaksanaannya dan di Kalimantan Barat perlu diperbaiki koordinasi pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan, dimana rata-rat skor 7,22 di Kalimanta Barat.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


5.4 Keluaran Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah
Keluaran atau output dalam penelitian ini adalah segala hal yang berkaitan dengan
hasil dari sebuah kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui tingkat keberhasilan pencapaian
output penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.
Pada kluster 1, walaupun di Kalimantan Barat pada proses pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan terjadi masalah koordinasi namun outputnya cukup
memberikan output yang baik, dimana informan (LSM, Akademisi, Bappeda) di Kalimantan
Barat menilai bahwa “telah terjadi peningkatan mutu pendidikan dan peningkatan APS
untuk SMP-SMA-SMK, meningkat prestasi siswa dan minat berusaha siswa semakin tinggi
serta adanya peningkatan kreatifitas mahasiswa dalam bidang penelitian”. Pada aspek
kesehatan terjadi peningkatan tingkat kesehatan masyarakat sesuai dengan program nasional
dan target MDGs Kalimantan Barat 2015 yaitu 12,25%, penurunan tingkat kematian ibu dan
anak, sosialisasi pola hidup sehat terutama untuk daerah tertinggal dan pedesaan dan
penurunan tingkat kelaparan dan gizi buruk hampir ditiap daerah yang mencapai 75%”.
Output kluster 2 di Kalimantan Barat menurut penilaian informan Akademisi cukup
berhasil karena “adanya kemandirian desa dalam mengelola pemerintahan desa dan
kelembagaan desa, terciptanya masyarakat yang mempunyai jiwa kewirausaahan,
percepatan pembangunan daerah melalui komunitas desa dan partisipasi antar kelembagaan
desa”. Pada kluster 3 Kalimantan Barat juga menunjukkan keberhasilan cukup bagus, dari
rangkupan jawaban informan Akademisi“semakin efektifnya pemerintah daerah dalam
menjalankan kegiatan UMKM dari RKP 2009, sehingga target keluaran yang diharapkan
dapat lebih tinggi”.
Sementara itu di Sulawesi Selatan, proses pelaksanaan kegiatan cukup baik, karena
kegiatan yang dilaksanakan merupakan janji dari Gubernur, sehingga keluaran untuk
masing-masing kluster penanggulangan kemiskinan menurut responden Akademisi,
menyampaikan bahwa:

“Ini merupakan komitmen Gubernur, dan kelihatannya para pelaksana serius untuk
melakukannya, sehingga hasilnya cukup menggembirakan, di beberapa kab/kota,
pendidikan dan kesehatan gratis telah mampu untuk diakses oleh penduduk miskin,

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


dimana dulunya tidak ada program seperti ini”. (Hasil Wawancara dengan Informan
Akademisi Sulawesi Selatan pada Tanggal, 10 April 2010).

Sementara itu informan LSM menyampaikan bahwa “namun untuk beasiswa


SMA/SMK belum terlihat outputnya, peserta KB dari masyarakat miskin belum mendapat
pelayanan kesehatan gratis dan masih banyaknya warga tidak miskin mendapat RASKIN
dan BLT”

Output kluster 2 di Sulawesi Selatan dinilai oleh informan walaupun terdapat yang
tepat sasaran tetapi menurut informan LSM “Lurah lebih dominan dalam menentukan
lokasi dan penerima manfaat PNPM Mandiri”.
Sedangkan output kluster 3 di Sulawesi Selatan dinilai cukup bagus oleh informan
LSM, namun pemerintah daerah tidak memiliki data kuantitatif tentang jumlah koperasi
yang telah dibina termasuk peningkatan kesejahteraan anggotanya.
Selain informan diminta untuk memberikan komentarnya terhadap output
pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan, informan juga diminta untuk menjawab
kuesioner dengan skala penilaian sebagai berikut:

• Skala nilai 1: jika kegiatan tidak dilaksanakan sehingga tidak ada keluaran sama sekali

• Skala nilai 5: jika kegiatan dilaksanakan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan keluaran
yang diharapkan

• Skala nilai 10: jika kegiatan dilaksanakan dan keluarannnya sesuai dengan yang
diharapan

Berdasarkan skala tersebut maka diketahui hasil evaluasi keluaran pelaksanaan


kebijakan penanggulangan kemiskinan RKP 2009 di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat
berdasarkan penilaian pemangku kepentingan seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.4
Evaluasi Pemangku Kepentingan Terhadap Keluaran
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Barat

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Total
Kluster
No Provinsi Kluster 1 Kluster 2 Rerata
3
Skor
1 Sulawesi Selatan 7,61 7,73 6,20 7,18
2 Kalimantan Barat 7,94 8,00 6,37 7,44
Sumber: Diolah dari hasil evaluasi pemangku kepentingan

Dengan demikian total rata-rata skor keluaran pelaksanaan fokus/program kegiatan


penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat sebesar 7,44, ini berarti kegiatan telah
dilaksanakan dan hasilnya sesuai dengan rencana, namun belum mencapai hasil yang
maksimal. Sementara itu di Sulawesi Selatan sebesar 7,18, hasil inipun menunjukkan masih
perlunya pelaksanaan yang lebih baik sehingga hasilnya dapat lebih bagus.

5.5 Hasil Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah


Yang dimaksud dengan hasil dari penelitian ini adalah pendayagunaan dari output
yang telah dihasilkan dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan hasil evaluasi, diketahui kinerja hasil pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan kluster 1 Sulawesi Selatan berdasarkan komentar dari 3
informan bahwa “siswa miskin jenjang SMP, SMA dan orangtuanya merasakan dampak
dari program ini, sebagian besar masyarakat miskin merasakan program kesehatan gratis,
namun tidak optimalnya pencapaian kluster 1 karena pelayanan KB tidak semua mencover
masyarakat miskin”.
Sementara itu pada kluster 2 Kalimantan Barat menurut komentar informan PNPM
cukup berhasil karena dapat ”mengadopsi nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat”, di
Sulawesi Selatan pelaksanaan PNPM masih di dominasi elite masyarakat dan kurang
melibatkan masyarakat grossrot serta tidak adanya kebijakan lokal untuk ekonomi pedesaan
mandiri.
Hasil kluster 3 berdasarkan komentar informan Akademisi bahwa ”hampir bisa
dipastikan bahwa UMKM di Sulawesi Selatan kurang mencapai hasil yang diharapkan, hal
ini terkait dukungan pemerintan provinsi dalam pelaksanaan kegiatan UMKM, dimana
pemerintah provinsi lebih terkonsentrasi dalam menjalankan program pendidikan dan
kesehatan gratis yang merupakan program dari Gubernur”. UMKM di Kalimantan Barat
menghasilkan kinerja yang cukup bagus, walaupun sebenarnya kegiatan UMKM lebih

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


banyak dilaksanakan melalui kegiatan yang dibangun oleh masyarakat melalui Credit
Union, ungkap informan Bappeda.
Selain komentar informan tersebut di atas, evaluasi pada hasil pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat, informan diminta
untuk menjawab kuesioner dengan skala penilaian sebagai berikut:

• Skala nilai 1: jika program tidak dilaksanakan sehingga tidak ada hasil sama sekali

• Skala nilai 5: jika program dilaksanakan tetapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan

• Skala nilai 10: jika program dilaksanakan dan hasilnya sesuai dengan hasil yang
diharapan

Berdasarkan skala tersebut maka diketahui hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan


penanggulangan kemiskinan RKP 2009 di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat
berdasarkan hasil penilaian pada tiga pemangku kepentingan seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.5
Evaluasi Pemangku Kepentingan Terhadap Hasil
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Barat

Total Rerata
No Provinsi Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3
Skor
1 Sulawesi Selatan 8,03 7,60 5,53 7,05
2 Kalimantan Barat 7,08 7,87 6,90 7,28
Sumber: Diolah dari hasil evaluasi pemangku kepentingan

Berdasarkan tabel tersebut di atas total rata-rata skor hasil pelaksanaan fokus/program
kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat sebesar 7,28, ini berarti
kesuksesan hasil pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan telah mampu
mendayagunakan output yang diperoleh, walaupun belum menunjukkan nilai yang maksimal,
hal ini terjadi pula di Sulawesi Selatan yang mampu mendayagunakan secara maksimal dari
output di kluster 1 terutama terkait dengan pendidikan dan kesehatan gratis yang juga
merupakan komitmen Gubernur.

5.6 Efektivitas Biaya

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Berdasarkan isi buku Perencanaan dan Penganggaran untuk Penanggulangan
Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bappenas menyebutkan bahwa ”idealnya, proporsi
anggaran yang diperuntukkan bagi pengentasan kemiskinan sama atau melampaui persentase
masyarakat miskin dalam masyarakat luas”.

Dalam menguji efektifitas biaya penanggulangan kemiskinan pada dua lokasi tersebut
maka evaluasi efektifitas biaya akan fokus pada program kegiatan kluster 2: Penyempurnaan
dan Perluasan Cakupan Program Pembangunan Berbasis Masyarakat dengan 5 program yaitu
1) Peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM Perdesaan, 2) Penanggulangan
kemiskinan perkotaan (PNPM Perkotaan), 3) Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi
wilayah (PNPM PISEW), 4) Peningkatan infrastruktur pedesaan skala komunitas (PPIP/RIS-
PNPM) dan 5) Percepatan pembangunan daerah tertinggal (PNPM Daerah Tertingal).

Untuk menguji efektifitas biaya pelaksanaan PNPM tersebut, maka dilakukan


identifikasi alokasi dana masing-masing kabupaten/kota di dua provinsi lokasi penelitian. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui proporsi anggaran PNPM dibandingkan dengan proporsi
penduduk miskin di seluruh kabupaten/kota provinsi lokasi penelitian.

Untuk mengetahui proporsinya maka mekanisme yang digunakan adalah


menggabungkan alokasi anggaran dan jumlah penduduk miskin dari 5 program PNPM
Mandiri, dari penggabungan tersebut selanjutnya disusun hitungan proporsi anggaran
dibandingan dengan proporsi penduduk miskin per kabupaten/kota. Adapun hasil pengolahan
data seperti pada bagian berikut ini.

5.6.1 Perbandingan proporsi BLM APBD Kab/Kota dengan proporsi penduduk miskin per
Kab/Kota
Gambar di bawah ini menunjukkan proporsi Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) dalam APBD dibandingkan dengan proporsi penduduk miskin di Sulawesi
Selatan.
Gambar 5.2

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Proporsi BLM APBD Dibandingkan Proporsi
Penduduk Miskin Sulawesi Selatan

16,00 
14,00 
12,00 
10,00 
8,00 
6,00 
4,00  Proporsi 
Penduduk 
2,00  Miskin

Proporsi BLM 
APBD

Sumber:
Diolah dari data alokasi dana PNPM perkabupaten/kota
Berdasarkan grafik tersebut di atas maka dari 22 kabupate/kota terdapat 9
kabupaten/kota dii Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak efektif dalam pengalokasian
dana BLM dari APBD untuk penanggulangan kemiskinan atau sebanyak 41%
kabupaten/kota yang tidak efektif pembiayaannya.
Gambar di bawah ini menunjukkan proporsi Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) dalam APBD dibandingkan dengan proporsi penduduk miskin di Kalimantan
Barat.

Gambar 5.3
Sumber:
Proporsi BLM APBD Dibandingkan Proporsi Penduduk Miskin
Provinsi Kalimantan Barat Diolah
dari data
25,00
alokasi
20,00

15,00
dana

10,00 PNPM
5,00 perkabup
- aten/kota
Proporsi
Penduduk
Miskin

Proporsi BLM
APBD

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Berdasarkan grafik tersebut di atas maka diketahui terdapat 4 kabupaten/kota
dari 10 kabupaten/kota yang tidak efektif dalam alokasi dana PNPM melalui APBD,
dengan demikian persentase kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat yang tidak
efektif dalam pengalokasian dana BLM dari APBD untuk penanggulangan
kemiskinan sebanyak 40% kabupaten/kota.

5.6.2 Perbandingan proporsi BLM APBN untuk kab/kota dengan proporsi penduduk
miskin per Kab/Kota
Gambar di bawah ini menunjukkan proporsi Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) dalam APBN dibandingkan dengan proporsi penduduk miskin kabupateb/kota
di Sulawesi Selatan.

Gambar 5.4

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Proporsi BLM APBN Dibandingkan
Proporsi Penduduk Miskin Sulawesi Selatan

16,00 
14,00 
12,00 
10,00 
8,00  Proporsi 
6,00  Pendudu
k Miskin
4,00 
2,00  Proporsi 
‐ PANGKAJENE … BLM 

SIDENRENG …
BULUKUMBA

PARE‐PARE
BANTAENG
APBN
MAKASSAR

JENEPONTO

ENREKANG

TAKALAR

SINJAI
BONE

PINRANG

BARRU
GOWA

MAROS

SOPPENG
Wajo

LUWU UTARA

SELAYAR

PALOPO
LUWU
TANA TORAJA

Sumber:
Diolah dari data alokasi dana PNPM perkabupaten/kota

Berdasarkan grafik tersebut di atas diketahui terdapat 9 kabupaten/kota dari 22


kabupaten/kota yang tidak efektif pengalokasian dana PNPM dari BLM APBN, dengan
demikian persentase kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak efektif
dalam pengalokasian dana BLM dari APBN untuk penanggulangan kemiskinan sebanyak
41%.
Gambar di bawah ini menunjukkan proporsi Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) dalam APBN dibandingkan dengan proporsi penduduk miskin kabupateb/kota di
Kalimantan Barat

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Gambar 5.5

Proporsi BLM APBN Dibandingkan


Proporsi Penduduk Miskin Kalimantan Barat

25,00 
20,00 
15,00 
10,00 
5,00  Proporsi 
Penduduk 

Miskin

Proporsi 
BLM APBN

Sumber:
Diolah dari data alokasi dana PNPM perkabupaten/kota
 
Berdasarkan grafik tersebut di atas diketahui terdapat 4 kabupaten/kota dari 10
kabupaten/kota yang tidak efektif pengalokasian dana PNPM dari BLM APBN, dengan
demikian persentase kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat yang tidak efektif
dalam pengalokasian dana BLM dari APBN untuk penanggulangan kemiskinan sebanyak
40%.
Sementara itu untuk mengkombinasikan antara data sekunder di atas dengan hasil
penilaian pemangku kepentingan, maka berikut adalah hasil pengolahan penilaian
pemangku kepentingan terhadap efektifitas biaya kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Dengan skal penilaian sebagai berikut:
• Skala nilai 1: jika tidak ada alokasi biaya untuk penanggulangan kemiskinan.
• Skala nilai 5: jika alokasi biaya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk
miskin.
• Skala nilai 10: jika alokasi dana proporsional dibandingkan dengan jumlah penduduk
miskin.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Tabel 5.6
Evaluasi Pemangku Kepentingan Terhadap Efektifitas Biaya
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat

Total Rerata
No Provinsi Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3
Skor
1 Sulawesi Selatan 7,33 8,67 6,23 7,41
2 Kalimantan Barat 7,61 8,47 5,93 7,34
Sumber: Diolah dari hasil evaluasi pemangku kepentingan

Berdasarkan persepsi informan di Sulawesi Selatan maka efektifitas biaya


penanggulangan kemiskinan baik memiliki rata-rata skor 7,41. Ini menunjukkan persepsi
responden bahwa tidak semua pembiayaan penanggulangan kemiskinan efektif, tetapi
masih ada yang lebih kecil proporsinya dibandingkan proporsi penduduk miskin, hal ini
juga terjadi di Kalimantan Barat dengan total skor persepsi responden sebesar 7,34.
Sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data sekunder maka dapat diketahui
tingkat efektifitas biaya penanggulangan kemiskinan (BLM APBD) yang tidak efektif
sebesar 41% kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dan 40% di Kalimantan Barat.
Sedangkan untuk efektifitas biaya BLM yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
perkabupaten/kota di Sulawesi Selatan mencapai 41% yang tidak efektif, sedangkan
alokasi dana penanggulangan kemiskinan yang tidak efektif dan di Kalimantan Barat
sebesar 40%. Berdasarkan hasil kajian dari 2 sumber tersebut maka dapat diketahui
bahwa pengalokasian biaya penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan maupun di
Kalimantan Barat sama-sama kurang efektif.

5.7 Penanggulangan Kemiskinan Lainnya Di Daerah


Provinsi Sulawesi Selatan

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Berdasarkan hasil wawancara dengan Bappeda, saat ditanya tentang apakah ada
program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan sendiri oleh Pemda?:

“Ada, yaitu program perumahan untuk penduduk miskin, tapi ini tidak saya
rekomendasikan untuk menjadi program nasional. Mengapa? Pelaksanaan program
ini kurang berdampak baik terhadap penduduk miskin, bahkan lebih banyak
masyarakat yang mampu yang mengajukan diri untuk mendapatkan program ini,
sehingga menjadikan masyarakat sangat tergantung kepada pemerintah” (Hasil
Wawancara dengan Informan Bappeda Sulawesi Selatan, tanggal 30 Maret 2010).

Program/kegiatan penanggulangan kemiskinan yang berbasis lokal yang bukan


merupakan kegiatan dalam RKP 2009 adalah program perumahan yang layak, aman dan
terjangkau bagi penduduk miskin dan kalangan berpendapatan rendah, tersedianya
prasarana dan sarana dasar bagi kawasan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana
yang sehat, serta terlaksananya pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat.

Provinsi Kalimantan Barat


Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat,
menyampaikan bahwa:

“Program-program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan di Kalimantan


Barat pada umumnya adalah kegiatan dari pemerintah pusat, walaupun demikian
terdapat kegiatan yang dikelola oleh masyarakat yang patut diduga menjadi faktor
tingginya penurunan persentase penduduk miskin di Kalimantan Barat yaitu Credit
Union” (Hasil Wawancara dengan Informan Bappeda, tanggal 29 April 2010).

Berdasarkan informasi inilah, kemudian peneliti lebih intensif melakukan


penelusuran terhadap kegiatan yang berbasis lokal ini. Berikut adalah rangkuman hasil
wawancara dan pengamatan pelaksanaan Credit Union Pancur Kasih, diuraikan di bawah
ini dengan informan YO (anggota CU), Z (anggota CU) dan PF (penggagas pendirian CU
Pancur Kasih) pada tanggal 12 Mei 2010.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


“Credit Union (CU) yang cukup mengakar di masyarakat dan keberadaannya sejak
tahun 1970an”.Di ruang tunggu CU Pancur Kasih seorang anggota yang hendak
berkonsultasi terdengar sangat bersemangat saat menceritakan pengalamannya ke satu
daearah di Kabupaten Sanggau beberapa bulan lalu. Anggota CU Pancur Kasih yang
bernama YO itu mengungkapkan, “Di Bodok ada fenomena menarik. Orang-orang yang
dulunya menjadi nasabah setia satu bank, sekarang banyak melirik CU, bahkan ada yang
telah pindah ke CU,”.
YO bahkan mengamati transaksi di beberapa bank di Kota Sanggau terkadang sepi,
karena masyarakat lebih memilih CU. Alasannya, untuk pembiayaan sebuah usaha, CU
memberikan syarat yang tidak terlalu memberatkan, hanya saling percaya saja. Seperti
semboyan CU “kamu Susah Saya Bantu, Saya Susah Kamu Bantu” para anggota CU tidak
perlu menitipkan sertifikat tanah atau rumahnya untuk meminjam dari CU.
Pengalaman Z, mengungkapkan pengalamannya mengajukan pinjaman ke sebuah
bank untuk pengembangan usaha Kopra. Syaratnya sangat memberatkan dan bunga yang
dibebankan kepada peminjam sangat besar. “Jadi saya mengurungkan niat saya sementara
ini,” katanya. Zsecara eksplisit mengungkapkan ketertarikannya terhadap lembaga
keuangan micro seperti CU, “Saya telah banyak mendengar dari beberapa rekan saya
terutama di daerah Sei. Kakap, menjadi anggota CU telah banyak menolong mereka,”
katanya.
CU sebagai praktek nyata dari ekonomi kerakyatan memegang prinsip-prinsip
keterbukaan, keadilan sosial dan belajar tidak membedakan pelayanan pada para
anggotanya. Setiap anggota berhak atas pelayanan yang disediakan. Ini yang membedakan
CU dengan lembaga keuangan lainnya.
Pemberdayaan kaum miskin dalam aspek ekonomi merupakan rangkaian kegiatan
penyadaran dan motivasi. Dalam hal ini pendidikan menjadi bagian yang sangat penting.
Sebuah CU dengan asset 1 Milyar Rupiah kemudian meminjamkan Rp 800 juta kepada
anggotanya memiliki resiko kebangkrutan yang sangat besar bila kredit yang diberikan
mengalami kemacetan. Namun dengan sebuah kepercayaan dimana sebelumnya setiap
anggota telah diberikan pendidikan sehingga sadar bahwa mereka adalah pemilik, maka
resiko itu dirasakan tidak terlalu membahayakan.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Di Kalimantan berdasarkan klasifikasi perkembangan asset dan anggota kekuatan
rakyat itu menjelma dalam 38 buah CU yang tergabung dalam Badan Koordinasi Koperasi
Kredit Kalimantan (BK3D) Kalimantan. Sesuai namanya BK3D Kalimantan CU
anggotanya tersebar di seluruh Kalimantan.
Menurut salah seorang anggota CU yang diwawancarai, ia menilai CU telah terbukti
berhasil menjadi pelopor dan mampu menumbuh kembangkan berbagai kegiatan ekonomi
masyarakat di Kalimantan Barat, khususnya masyarakat pedalaman. "CU juga telah
terbukti mampu berperan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi pedesaan yang
merupakan basis ekonomi kerakyatan,".
CU bukan hanya melayani masyarakat yang ada di daerah perkotaan tapi telah
merambah di daerah-daerah pedesaan. CU juga mempunyai kepedulian yang sangat tinggi
terhadap nasib penduduk miskin, yaitu dengan memberikan peran yang lebih besar kepada
masyarakat dalam mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi.
PF, salah seorang penggagas berdirinya CU Pancur Kasih Pontianak. Menurutnya,
CU adalah pilihan utama dalam penghimpunan modal (CU sebagai lembaga keuangan). Di
satu sisi, CU bukan hanya sebagai lembaga keuangan yang menata modal ekonomi rakyat
tapi juga dapat mengatur tata kuasa sumber daya alam dan tata produksi. “Di Kalimantan
Barat, CU tetap akan berkembang dan terus menjadi pendorong utama gerakan ekonomi
kerakyatan”,
Keunikan dan keistimewaan CU dibanding dengan badan keuangan lainnya antara
lain, setiap anggota bisa meminjam 3 kali lipat dari jumlah tabungan yang sudah
mengendap di CU. Apabila anggota akan meminjam, tidak diperlukan jaminan khusus,
tetapi cukup hanya menyerahkan buku tabungan. CU juga menawarkan suatu produk
simpan pinjam dengan pola kemitraan.
Keunikan dan keistimewaan CU lainnya terletak pada pendidikan yang
menyadarkan. Karena motto CU dimulai dengan pendidikan, berkembang melalui
pendidikan, dikontrol melalui pendidikan dan bergantung pada pendidikan.
Melalui CU, setiap anggota berjuang agar bebas secara finansial dengan memiliki
sumber pendapatan ganda (SPG), yakni (1) memiliki pendapatan dari hasil keringat seperti
gaji, upah, keuntungan bisnis dll. Uang datang hanya kalau orang bekerja; (2) memiliki
pendapatan dari bunga tabungan atau deviden dari simpanan saham (uang bekerja untuk

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


manusia); (3) memiliki pendapatan dari sektor realestate (memiliki tanah atau rumah baik
untuk disewakan/dijual lagi setelah nilainya meningkat).
Ada 3 komponen utama yang membedakan CU dan bank. Pertama, CU lebih
mengutamakan manusia (modal sosial), sedangkan bank hanya mengutamakan uang
(modal ekonomi). Kedua, CU sebagai praksis ekonomi kerakyatan sedangkan bank
kapitalisme. Ketiga, CU sebagai koperasi sejati, sedangkan bank adalah pedagang uang
sejati.
Filosofi CU yakni menolong diri sendiri dengan kerjasama, solidaritas, saling
percaya, pembelajaran dan secara swadaya/mandiri. “CU punya prinsip bahwa uang hanya
sebagai alat, yang terpenting adalah manusianya. Kalau manusianya sudah tidak memegang
teguh nilai dasar kemanusiaannya maka saat itu juga CU akan kolap. Hal terpenting lainnya
yang membuat CU tetap eksis di Kalimantan Barat adalah kemampuannya dalam
memanfaatkan nilai-nilai lokal seperti semangat gotong royong, religiusitas, kejujuran,
toleransi, keadilan sosial, perdamaian, kompetisi, kritis, dan ksatria masih tetap di pelihara
di tengah-tengah masyarakat.

5.8 Hasil Studi Evaluasi


Berdasarkan komponen hasil penelitian di atas, maka hasil studi evaluasi kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan
adalah dapat dilihat pada tabel 5.7 dan gambar 5.6 di bawah ini.
Tabel 5.7
Perbandingan Kinerja Penanggulangan Kemiskinan
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat
Hasil
No Komponen Evaluasi Sulawesi Kalimantan
Selatan Barat

1 Relevansi RKP dengan RKPD 6,70 7,15


2 Proses pelaksanaan 7,62 7,22
3 Keluaran pelaksanaan 7,18 7,44
4 Hasil pelaksanaan 7,05 7,28
5 Efektivitas biaya 7,41 7,34
• (Dana PNPM) Proporsi BLM APBD 41% 40%
Kab/Kota dengan proporsi penduduk

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


Hasil
No Komponen Evaluasi Sulawesi Kalimantan
Selatan Barat
miskin kab/kota (% tidak efektif)
• (Dana PNPM) Proporsi BLM APBN 41% 40%
Kab/Kota dengan Proporsi penduduk
miskin kab/kota (% tidak efektif)
6 Kebijakan/Program/Kegiatan lokal Lihat bagian
5.7
Sumber: Hasil rata-rata skor persepsi informan

Gambar 5.6
Perbandingan Kinerja Penanggulangan Kemiskinan
di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat
45
42 40 40
39 41 41
36
33
30
27
24
21
18
15
12 7.44 7.28
9 7.15 7.22 7.34
6 6.7 7.62 7.18 7.05 Sulsel
7.41
3
0 Kalbar

Sumber:
Hasil rata-rata skor persepsi informan

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan informan, maka dapat diketahui
faktor-faktor penyebab tren penurunan penduduk miskin di Kalimantan Barat dan Sulawesi
Selatan dalam penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan RKP 2009 adalah:

• Tingkat relevansi dokumen RKP 2009 dengan RKPD Kalimantan Barat memiliki
sinergitas yang cukup bagus dengan skor 7,15, hal ini didukung dengan intensifnya
koordinasi Pemda Provinsi Kalimantan Barat ke Pemerintah Pusat, sedangkan Sulawesi
Selatan dengan skor 6,7, hal ini disebabkan oleh adanya keinginan kuat dari pemerintah

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


provinsi untuk menyusun program-program berbasis lokal. Walaupun keduanya telah
menunjukkan relevansi, namun belum menunjukkan relevansi yang baik.
• Proses pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat mencapai
skor 7,22 dan di Sulawesi Selatan mencapai skor 7,62, tingginya capaian proses di
Sulawesi Selatan disebabkan oleh komitmen Gubernur yang cukup kuat karena sesuai
dengan janji Gubernur saat kampanye misalnya pendidikan dan kesehatan gratis.
Sementara itu di Kalimantan Barat terdapat masalah dalam hal koordinasi antar lembaga.
Walaupun keduanya telah menunjukkan proses yang hampir sama dengan yang
direncanakan, namun belum menunjukkan hasil yang maksimal.
• Keluaran pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat
sebesar 7,44 dan di Sulawesi Selatan mencapai skor 7,18. Cukup baiknya keluaran di
Kalimantan Barat didukung oleh semakin berdayanya desa dalam menyelenggarakan
kegiatan pemberdayaan dan semakin efektifnya dalam melaksanakan/mendukung
kegiatan UMKM
• Hasil pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan menunjukkan skor 7,28 di
Kalimantan Barat dan 7,05 di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan hasil pelaksanaan
kebijakan yang tidak bagus adalah pelayanan KB yang tidak mengkover semua
masyarakat miskin. Sementara itu keberhasilan kluster 2 di Kalimantan Barat karena
pelaksana di lapangan mampu mengadopsi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, lain
halnya di Sulawesi Selatan untuk kluster ini kurang sukses karena pelaksanaan PNPM
masih di dominasi elite masyarakat.
• Efektifitas pembiayaan penanggulangan kemiskinan dari APBN maupun APBD
menunjukkan nilai kurang efektif, baik di Sulawesi Selatan maupun di Kalimantan Barat.
Di Sulawesi Selatan menunjuk pada angka 41% proporsi pembiayaan yang tidak efektif
dan di Kalimantan Barat sebesar 40%. Hal ini pula didukung oleh penilaian pemangku
kepentingan bahwa pembiayaan kegiatan penanggulangan kemiskinan belum sepenuhnya
efektif dimana rata-rata skor persepsi pemangku kepentingan di Sulawesi Selatan sebesar
7,41 dan di Kalimantan Barat sebesar 7,34.

Dengan demikian berdasarkan persepsi pemangku kepentingan terhadap pelaksanaan


penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan maka diketahui
faktor penyebab lebih cukup tingginya penurunan tren penduduk miskin di Kalimantan Barat

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.


yaitu faktor relevansi, keluaran, hasil dan efektifitas biaya pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan RKP 2009. Namun jika dinilai dari skor maksimal yaitu 10,
maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di kedua
lokasi belum maksimal memberikan kontribusi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.

Atas dasar inilah kemudian faktor lain diidentifikasi, berdasarkan hasil identifikasi
kebijakan lokal dan identifikasi kegiatan masyarakat yang mendukung penurunan persentase
penduduk miskin maka ditemukan faktor lain yang secara kualitatif dinilai cukup
berpengaruh terhadap penurunan persentase penduduk miskin di Kalimantan Barat yaitu
adanya Credit Union yang dikembangkan oleh masyarakat.

Walaupun penelitian ini telah menemukan salah satu aspek lokal yang mendorong
penurunan penduduk miskin di Kalimantan Barat tetapi tidak menutup kemungkinan masih
ada faktor lainnya yang berpengaruh, diluar jangkauan peneliti untuk mengidentifikasinya
karena keterbatasan waktu dan biaya penelitian. Selanjutnya dapat dilakukan penelitian
lanjutan tentang Credit Union tersebut untuk mengetahui secara pasti tingkat kontribusinya
terhadap penanggulangan kemiskinan di Kalimantan Barat.

Kebiajkan penanggulangan..., Andi Erwing, FISIP UI, 2010.

Anda mungkin juga menyukai