SYAIFFUDIN AMIRULLAH
Pendahuluan
Disain jalan akan dirancang berdasarkan pada standar yang sesuai dan dikembangkan
oleh Association of American State Highway Officials (AASHTO) dan Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) tetapi tidak terbatas pada geometri jalan, perkerasan jalan
(pavements), pekerjaan tanah, saluran air, perlengkapan jalan, rambu-rambu jalan, dan
pembuatan aspal, jembatan dan struktur lainnya, struktur pondasi, tanggul jalan dan
pelindung batas pantai, pengontrolan erosi dan sedimentasi, perlindungan lingkungan,
pengukuran dan penentuan daerah milik jalan (damija), pemberhentian bis, dan rambu-rambu
lalu lintas. Ketentuan ini berlaku untuk 2-jalur , 1 lajur jalan raya dengan lebar perkerasan
7m, lebar bahu jalan 2,5m (2m untuk daerah pegunungan) dan total daerah milik jalan
(damija) menjadi 30m termasuk gorong-gorong dan saluran drainase. Total panjang jalan
mencapai 240 km dan perkerasan jalan akan dilapisi dengan campuran bitumin dan aspal
(hotmix), 110 konstruksi bangunan perlintasan air akan diperbaiki atau direkonstruksi
termasuk jembatan, gorong-gorong, struktur drainase dan lain-lain. Jembatan, gorong-gorong
dan struktur drainase menggunakan konstruksi beton.
Dari hasil pencatatan di stasiun BMG Iskandar Muda didapatkan data rata-rata
suhu maksimum 31,2 oC, suhu minimum 20,5 oC dan suhu udara rata-rata 26,1oC. rata-rata
kelembaban relatif maksimum 93 , kelembaban minimum 70 % dan kelembaban rata-rata
81,3 %, tekanan udara rata-rata 1010,3 mbar dan penyinaran matahari rata-rata 69,6 %.
b. Wilayah Aceh Barat dan Aceh Jaya
Suhu maksimum maksimum, suhu minimum 21,5 oC dan suhu udara rata-rata,
kelembaban relatif maksimum, kelembaban minimum dan kelembaban ratarata, tekanan udara
rata-rata 1010 mbar dan penyinaran matahari rata-rata dari daerah Kabupaten Aceh Barat
dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Dari hasil pencatatan di stasiun BMG Cut Nyak Dhien didapatkan data ratarata suhu
maksimum 30,2 oC, suhu minimum 21,5 oC dan suhu udara rata-rata 26,0 oC. rata-rata
kelembaban relatif maksimum 93 , kelembaban minimum 70 % dan kelembaban rata-rata 81
%, tekanan udara rata-rata 1010 mbar dan penyinaran matahari rata-rata 69 %.
3.2.4 Geologi
Keterangan tentang geologi daerah yang dilewati jalur jalan Banda Aceh-Meulaboh
didapatkan dari data sekunder , yaitu dari literatur Bennet, et.al., 1981); Cameron, et.al.,
1982) ; Cameron, et.al., 1982), akan tetapi data dan informasi tersebut akan dilengkapi
dengan hasil pengamatan lapangan. Jalur jalan dari Banda Aceh melewati formasi Endapan
Tertier dan Kuarter aluvium (Qh) sampai di daerah Gle Gajah dan Gle Joning kemudian
melali Anggota Terumbu (Murlr) dsmpsi mencapai daerah Ujung Labuhan di daerah tersebut
jalur jalan ini melintasi patahan (fault) pada koordinat 5 o 28` N dan 95o 15` E`. Jalur jalan ini
terus melalui Endapan Tertier (Qh) lagi sampai di Desa Layeun yang pada koordinat 5 o 17` N
dan 95o 14` E` melewati sebuah ujung dari suatu patahan. Setelah itu melewati Formasi
Gunung Api Bentaro (Muvb).
Dari Desa tanah Ano jalur jalan melalui Formasi Batu Gamping Lamno (Mull)
sampai ke esa Meunasah Tengoh dan melalui Endapan Tertier lagi (Qh) sampai ke Desa Pasi
dan selanjutnya melewati Formasi Batu Gamping Lamno dan Endapan tertier (Qh) lagi
sampai sampai pada Formasi Bentaro (Muvb) di Kraeng Tanong. Dari desa ini selanjutnya
jalur jalan ini melewati dua patahan (fault) yaitu pada koordinat 5 o 15` N dan 95o 16` E`
kemudian melalui Formasi Meulaboh (Qpm) di daerah Lamno dan melalui Formasi Tangla
(Tlt) dan Formasi Gunung Api Calang (Tmvc), kemudian jalur ini melalui dua sesar tidak
pasti yaitu pada koordinat 5 o 03` N dan 95o 23` E. Jalur jalan ini kemudian melalui Formasi
Tangla Fasies Volkanik (Tltv) di daerah Ceumamprong di mana tidak berapa jauh dari desa
ini jalur jalan ini melalui sutu patahan pada koordinat 4 o 53` N dan 95o 24` E dan kemudian di
dekat Desa Lho Jumeut ada sebuah patahan lagi pada koordinat 5 58` N dan 95o 26`
o
Setelah melalui perbukitan yang agak bergelombang ini kemudian jalur jalan ini
melalui daerah dataran dan rawa dari Endapan Tertier (Qh) di Paqya Sialit, Paya Meurebo,
Pungkis, sampai ke Seunebok Langat sampai di kaki Gle Betong menuju Desa Padang . Dari
Desa Padang ini jalur jalan ini melalui Formasi Tangla dan Formasi Tangla Fasies Volkanik
sampai mencapai Desa Lingkang. Jalur jalan baru ini nantinya terus melewati Formasi
Gunung Api Calang (Tmvc) selanjutnya bertemu lagi dengan endapan Tertier (Qh) dan
Formasi Meul;aboh (Qpm) dan Formasi Tutut (QTt). Setelah melewati ketiga formasi geologi
ini jalan menuju ke Meulaboh tidak lagi suatu bentuk geologi struktur, seperti sesar atau
patahan dan hanya Formasi Meuaboh (Qpm) dan Endapan Tertier (Qh).
3.2.3 Fisiografi
Uraian mengenai Fisiografi daerah dan topografi didasarkan pada Peta Topografi Skala 1
: 50.000 dari Bakorsurtanal (1975). Fisiogarfi dari Banda Aceh sampai ke Lhoknga dengan
fisiografi datar 0 – 3%, kemudian melalui berfisiografi gelombang sampai daerah gunung
Paroe setelah itu jalur jalan ini melintasi daerah berfisiografi bergunung (15 – 25%). Setelah
melewati gunung Paroe, jalur jalan ini pada wilayah berfisiografi berbukit (8 - 15%) sampai
bergelombang (3 – 8%). Selanjutnya jalur jalan ini melalui daerah dataran 0 – 3%, yaitu di
daerah Lhoong sampai di kaki Gunung Gerutee. Memasuki kawasan Gerutee fisiografi
daerah beralih dari fisiografi dataran ke fisiografi bergunung. Dari Gerutee menuju ke
Lamno merupakan fisiografi datar sampai bergelombang (0 – 8%). Jalur jalan baru ini tidak
melewati jalur jalan yang lama yang berfisiografi relatif datar, yaitu pada daerah pesisir.
Jalur jalan baru dari Lamno sampai Teunom mempunyai fisiografi berbukit (8 – 15%).
Sedangkan jalur jalan Teunom menuju Meulaboh sebagian besar merupakan daerah
bergelombang (3 – 8%) sampai datar (0 – 3%).
3.2.4 Tanah
Data jenis-jenis tanah yang dilalui jalur jalan baru Banda Aceh – Meulaboh dan trase
jalan yang diperbaiki adalah berdasarkan sumber Peta Jenis Tanah (Dir. Tata Guna Tanah,
1986). Dari banda Aceh sampai ke daerah Lhoknga jalur jalan ini melalui jenis tanah alluvial
kemudian daerah dengan jenis tanah yang merupakan asosiasi dari regosol sampai podsolik
merah kuning dan latosal dan kemudian jenis tanah litosol pada daerah Geuretee dan Paroe.
Dari Lamno setelah melewati tanah alluvial, jalan baru melalui daerah dengan jenis tanah
podsolik merah kuning, latosol dan litosol. Daerah berbukit dari Lamno dengan jenis tanah
podsolik merah kuning dan latosol di daerah sekitar Calang. Setelah melewati Calang jalur
baru jalan ini melewati jenis tanah asosiasi organosol (gambut) dan tanah glei humus rendah.
Jenis tanah yang terakhir ini dijumpai sampai ke Meulaboh. Dari hasil Reconaisansance,
didapatkan bahwa tanah gambut yang terdapat di sepanjang jalur jalan pada umumnya
merupakan tanah gambut dangkal yang digunakan sebagai tanah perkebunan karet dan kelapa
sawit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta tanah.
3.2.5 Penggunaan Lahan
Data dari Analisis Sistem Geografis (SIG) dan digabungkan dengan peta penggunaan
tanah dari BPN Prov.NAD. Dari Banda Aceh sampai ke Lhoknga sebagian besar areal
permukiman pada jalur jalan telah hancur oleh tsunami. Dari permukiman yang tidak rusak
terdapat di daerah Lamno. Hutan lindung di daerah Paroe dan Geuretee adalah kawasan
lindung yang juga telah dilalui trase jalan lama yang tetap dipakai dan tidak menambah lebar
jalan yang dijanjikan. Pada daerah sekitar Paroe, jalur jalan ini juga melewati hutan sekunder
dimana sebenarnya ini adalah termasuk ke dalam kawasan lindung. Dari daerah Lamno
kemudian jalur jalan baru melalui penggunaan tanah hutan primer dan hutan sekunder dan
daerah permukiman yang telah terkena tsunami di Desa Ceumamprong.
Penggunaan tanah berupa hutan semak belukar pada daerah Lhok Kruet tidak
dilintasi jalan baru ini, akan tetapi melintasi daerah rawa di Drien Bangkok dan Keude
Teunom, Suaksemaseh dan daerah Reusak. Dari hasil pengamatan yang dilakukan
pada saat tim studi melakukan reconaisance, memang terlihat terdapat masyarakat
yang memanfaatkan untuk mencari ikan. Namun dari wawancara menunjukkan bahwa
kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan atau mata pencaharian pokok.
Masyarakat tetap melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan sebagai kegiatan
pokok mereka. Kemudian dari daerah Reusak ke Cot Seumeureung sampai ke daerah
Gampa di Meulaboh sebagian besar penggunaan tanah adalah berupa hutan karet dan
permukiman.
3.2.6 Kegempaan
Daerah lokasi proyek yang berada di area rawan gempa, tidak stabil karena
berdekatan dengan beberapa garis patahan. Sebelum dan setelah tsunami, Pulau
Sumatra mengalami gempa bumi dengan basis konsisten sekitar 4.0 sampai 6.0.
Gempa bumi pada daerah ini umumnya disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik
sepanjang Zona Patahan Sumatra. Daerah pantai yang datar yang berupa endapan
yang mengendap dari pengikisan alami dari pegunungan dan endapan pasir dari laut.
Area dataran pantai ini dicirikan dengan tekstur lempung pasir berdebu dan gambut
dangkal di area rawa-rawa. Setelah tsunami, beberapa longsoran batuan besar terjadi
di daerah pegunungan karena gempa bumi dan kondisi geologi di beberapa tempat
berubah menjadi kondisi yang baru dan bagaimanapun kondisi ini tidak stabil.
Dataran rendah telah mengalami perubahan secara signifikan juga adanya pengikisan
tanah dan pengendapan tanah pucuk akibat tsunami.
3.2.7 Hidrologi dan Kualitas Air Permukaan
Pada jalur jalan Banda Aceh – Meulaboh ini melintasi beberapa sungai besar
dan kecil, seperti Krueng Raba, Kr Sarah, Kr Lambesoi, Kr Teunom, Kr Arongan, Kr.
Woyla, dan Kr Bubon. Sungai-sungai tersebut berhulu di pegunungan Bukit Barisan
dan bermuara di lautan Hindia. Penggunaan air sungai tersebut untuk pertanian di
beberapa daerah selama ini dilakukan baik dengan irigasi teknis maupun dengan
irigasi pedesaan. Sungai-sungai dan daerah banjir berubah menjadi area baru dengan
sistim aliran banjir yang belum jelas sebagaimana aliran ini menemukan alur sendiri
di lingkungan yang mengalami pengendapan yang berat.
3.2 Komponen Biologi
3.2.1 Flora Darat
Flora darat yang di ditemukan di lokasi sepanjang jalur jalan Banda Aceh –
Meulaboh pada umumnya merupakan tanaman dari ekosistem mangrove, pantai, areal
pertanian/kebun campuran dan hutan alam sekunder yang terdapat di sekitar lokasi
jalur jalan. UNEP (After Tsunamy Rapid Environmental Assesment, 2005)
memperkirakan hutan pantai dan hutan bakau lainnya yang rusak akibat tsunami
mencapai 48.925 hektar.
Jenis-jenis tanaman yang masih terdapat di ekosistem pantai antara lain
formasi Nipah (Nypa fructicans), Bakau (Rhizopora sp), waru (Hibiscus tiliaceus),
cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan beringin (Ficus benjamina). Selain itu di
sepanjang pantai juga ditemukan sisa-sisa tanaman kelapa (Cocos nucifera) baik yang
hidup dan yang telah mati/tumbang.
Dari pengamatan jenis-jenis tanaman budidaya masyarakat yang dominan
untuk wilayah yang tidak terkena tsunami yang ditemukan disepanjang jalur antara
lain: mangga (Mangifera indica), nangka (Arthocarpus heterophylla ), jambu mete
(Anacardium ocidentale), kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa paradisiaca),
rambutan (Nephelium lappaceum), pepaya (Carica papaya), duren (Durio zibethinus),
pinang (Arecha catechu), mlinjo (Gnetum gnemon). Selain tanaman yang bernilai
ekonomis, juga terdapat tanaman yang berfungsi sebagai pelindung/peneduh jalan
seperti mahoni (swietenia mahagoni), akasia (Acacia auriculiformis), angsana
(Pterocarpus indica), ketapang (Terminalia catappa), sengon (Albizzia chinensis) dan
asam (Tamarindus indica). Sedangkan di beberapa lokasi terdapat lahan pertanian
berupa sawah-sawah dan perkebunan masyarakat.
Sedangkan jenis-jenis tanaman yang banyak terdapat sekitar hutan sekunder
antara lain : jati (Tectona grandis), trembesi (Samanea samans), duren (Durio
Zibethinus), waru (Hibiscus tiliaceus), dadap (Erythrina sp), pete (Parkia speciosa),
tampu (macaranga sp), pinang (Arecha catechu), ketapang (Terminalia catappa),
sengon (Albizzia chinensis) dan bambu (Bambussa sp).
3.2.2 Fauna Darat
Pengamatan terhadap satwa liar dan peliharaan yang dijumpai antara lain :
monyet ekor panjang (Macaca fasculiformis), sapi (Bos sp), kerbau (Bubalu sp),
beberapa jenis burung, seperti : kuntul (Egretta sp), layang-layang (Hirundo sp) dan
hewan reptil, seperti : biawak (Varanus sp.
3.3 Komponen Sosial Ekonomi Budaya
3.3.1 Kependudukan dan Pendidikan
Data kependudukan akhir tahun 2003 mengungkapkan bahwa keempat
kabupaten/kota di pantai barat Aceh berpenduduk 807.918 jiwa, dengan nisbah jenis
kelamin 100,46. Struktur kependudukan menurut umur terlihat berbentuk distribusi
juling positif. Ini berarti bahwa persentase jumlah penduduk usia muda relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan usia lanjut. Tetapi dengan hilangnya lebih dari 224.000
jiwa akibat tsunami akhir Desember 2004, data dan struktur kependudukan seperti di
kemukakan, tentu telah mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Hal serupa juga dihadapi untuk data kependidikan. Dari hasil sensus penduduk
2000 (BPS, 2001) diketahui bahwa lebih dari separuh penduduk pantai barat Aceh
berpendidikan SD ke bawah, tamat ataupun tidak. Agaknya hal ini berkolerasi dengan
kondisi perekonomian penduduk, sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia, serta
keadaan penyebaran penduduk.
3.3.2 Sosial Ekonomi
Perekonomian lokal dan regional Aceh umumnya masih bertumpu pada sector
primer, yaitu pertanian serta pertambangan dan penggalian. Hal ini dapat dilihat pada
jumlah tenaga kerja yang terserap maupun sumbangan terhadap PDRB Aceh. Hasil
Sensus Penduduk tahun 2000 (BPS, 2001) mengindentifikasikan bahwa lebih dari
40% penduduk keempat Kabupaten/kota dipantai barat Aceh bekerja di sector primer.
PDRB yang bersumber dari sektor primer mencapai lebih dari 43%.
PDRB per kapita, tanpa migas dan atas harga konstan adalah sebesar Rp.
2.710.529,-. Dengan tingkat PDRB demikian, 24% penduduk pantai barat Aceh
berada dalam kelompok pendapatan rendah, 39% termasuk kelompok berpendapatan
sedang dan selebihnya 37% tergolong berpendapatan tinggi. Bagian terbesar dari
pendapatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan komsumsi, yaitu
mencapai 70%.
Angka penerimaan tertinggi keempat kabupaten/kota pantai barat Aceh
tersebut bersumber dari dana bagian dari perimbangan. Dibandingkan dengan total
penerimaan ketiga kabupaten/kota tanpa Aceh Jaya yang berjumlah lebih dari 706.231
juta rupiah, maka kemampuan daerah (PAD) tahun 2003 baru menyumbang 2,58%
untuk membiayai kegiatan rutin dan pembangunan daerahnya.
3.3.3 Kebudayaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pernah memiliki sejarah masa lampau
yang gemilang. Pada abad ke-16 hingga 19 Aceh merupakan pusat kebudayaan Islam
dan pusat perdagangan antar bangsa yang penting di kawasan Asia. Transaksi
perdagangan dalam skala besar antara lain berlangsung dengan Cina, Timur Tengah
dan Eropa. Melalui Aceh, Islam disebarluaskan ke seluruh kepulauan Nusantara.
Karena itu, untuk kerajaan Aceh juga dilekatkan sebutan “Aceh Seuramoe Mekkah”.
Penyerbuan Belanda yang berawal tahun 1873 telah melibatkan Aceh kedalam konflik
yang berkepanjangan. Beberapa lokasi di sepanjang lokasi proyek menjadi wilayah
pertahanan yang penting, diantaranya adalah lembah Braden, Teluk Rigaih,
Kecamatan Johan Pahlawan dan Calang. Bahkan jauh sebelum itu, LamNo pernah
menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Jaya.
3.3.4 Komponen Kesehatan Masyarakat
Akhir tahun 2003, pada keempat kabupaten/kota pantai barat Aceh terdapat
258 Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang dikelola oleh 1.868 tenaga dokter,
bidan dan paramedik lainnya. Angka kunjungan berobat yang tergolong tinggi antara
lain meliputi penyakit-penyakit ISPA, infeksi penyakit usus, Diare, penyakit kulit,
scabies, penyakit rongga mulut, penyakit tekanan darah tinggi, asma dan penyakit
mata. Sejak akhir tahun 2004 yang lalu, sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia
tersebut hancur akibat gelombang tsunami. Tingkat morbiditas juga meningkat, baik
jumlah maupun jenisnya. Namun penanganan kesehatan masyarakat tetap berfungsi
antara lain melalui bantuan organisasi dan relawan dari dalam maupun luar negeri.
BAB IV
RUANG LINGKUP STUDI
Lampiran 1
Lampiran 2