Anda di halaman 1dari 23

Pendahuluan

Berhasil mendidik anak-anak dengan baik adalah impian semua guru dan orang tua. Setiap guru
dan orang tua pasti ingin agar anaknya bisa sukses dan bahagia. Namun pada kenyataannya, hal
tersebut tidaklah mudah dan sesederhana yang kita bayangkan. Mayoritas orangtua pernah
mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka.

Sebagai orang tua, menjadi sangat penting untuk menaruh perhatian tinggi dan peduli pada setiap
perkembangan anak. Hal-hal sederhana yang dilakukan oleh para orang tua, pada hakikatnya
akan selalu terekam pada memori anak dan biasanya akan menjadi acuan bagi anak dalam
berperilaku. Ucapan yang keluar dari mulut dan sikap serta perilaku yang “berbahaya” bagi anak
kita akan menjadi bahan pelajaran pertama dan utama bagi seorang anak dan menentukan
perilaku mereka ke depan. Harus disadari betul bahwa anak tidak hanya perlu diajarkan sesuatu
melalui komunikasi verbal, namun juga yang lebih penting adalah dengan komunikasi visual
yang langsung maupun tak langsung, yang dilakukan secara sadar maupun tak sadar, akan
menjadi bagian dari proses belajar anak dan terekam dalam otaknya.

Pada prinsipnya bagaimana pola ideal yang terjadi pada setiap anak sudah diteliti oleh para ahli
psikologi selama bertahun-tahun. Pola-pola tersebut terekam dalam apa yang disebut sebagai
tugas masa perkembangan anak. Apa yang secara umum terjadi pada anak, baik secara fisik,
motorik, kognitif atau kecerdasan, kepribadian dan perilaku sebetulnya sudah memiliki pola
yang baku. Namun permasalahannya, adalah pengetahuan tersebut tidaklah dimiliki oleh setiap
orang. Padahal sudah begitu banyak buku, catatan, berita dan wawancara para tokokh mengenai
hal tersebut yang bisa ditemui baik dalam jurnal-jurnal ilmiah maupun tulisan-tulisan sederhana,
melalui opini para ahli dalam media massa. Bagaimana catatan-catatan tentang itu lebih banyak
menjadi konsumsi ilmiah dibandingkan sebagai rujukan teknis bagi para orang tua untuk
mencoba membangun pola asuh yang baik bagi anak-anaknya.

Apa itu pola asuh? Pola asuh pada prinsipnya adalah sebuah pola pembelajaran dan pendidikan
sehari-hari yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya, yang bia membentuk karakter dan
kepribadian anak ke depan. Model karakter dan kepribadian seperti apa yang tertanam pada anak
adalah hasil dari pola asuh orang tua dan lingkungan terdekatnya. Apa yang terjadi sehari-hari
dalam sebuah keluarga, akan menjadi sumber pembelajaran pertama dan utama bagi seorang
anak dalam banyak hal, seperti perangai, kepribadian, karakter, kemampuan fisik dan emosional
serta kemampuan dalam hal bersosialisasi. Proses pembelajaran yang berasal dari perilaku orang
tua dalam kehidupannya sehari-hari, baik sengaja maupun tidak, akan secara otomatis terjadi
pada anak dalam sebuah rumah tangga.

Untuk itu, sangatlah bermanfaat bagi perkembangan seorang anak, ketika sebuah keluarga,
khususnya orang tua, memiliki pemahaman ini dan mengetahui secara garis besar mengenai apa-
apa saja yang memang secara alamiah terjadi pada seorang anak dalam setiap fase
perkembangannya. Sehingga orang tua dapat menyikapinya dengan perilaku dan mengerti pola
asuh seperti apa yang mereka anggap ideal bagi anak-anaknya.

Belum lagi misalnya pemahaman orang tua pada perilaku anak-anaknya yang telah memasuki
masa remaja, di mana lingkungan di luar keluarga sangat mendominasi perkembangan karakter
dan mempengaruhi perilaku anak tersebut. Gambaran umum seorang remaja yang pada fase
tersebut memang cenderung untuk mencari nilai-nilai baru di luar lingkungan keluarga dan
membanding-bandingkannya dengan nilai-nilai yang selama ini dia terima dalam keluarga.
Kemudian bagaimana seorang remaja memiliki kecenderungan memberontak pada nilai-nilai
keluarga dan lebih cenderung untuk mengambil nilai-nilai lingkungan di luar keluarga sebagai
pegangan dalam berperilaku, ini juga harus dipahami dengan baik oleh para orang tua agar tidak
salah memahami dan menyikapi apa yang terjadi pada anak-anaknya yang berada pada fase
remaja tersebut.

Masih sangat relevan sebetulnya istilah “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya” dan sebetulnya itu
bukan hanya sebagai sebuah definisi dari persoalan genetikal dan fisik, namun juga hasil dari
pemahaman seorang anak atas perilaku orang tua dan pola asuh yang dilakukan oleh orang tua
terhadap anak-anaknya. Karena pada prinsipnya, seorang anak akan selalu belajar dari
lingkungan terdekatnya, yaitu orang tua atau keluarga. Mereka menyerap informasi dengan baik
dari kelima indra mereka dan membuat definisi serta mengintepretasikan informasi menjadi
nilai-nilai yang pada gilirannya mereka simpan sebagai sebuah acuan berperilaku. Bukan hanya
perkataan orang tua tapi sikap serta perilaku orang tua yang akan mereka serap, bahkan
kebanyakan tidak disadari oleh para orang tua.
Periodesasi Perkembangan Anak

Setiap orang akan mengalami periodisasi dalam perkembangannya, begitu juga sebaliknya
perkembangan masa anak-anak akan mengalami periodisasi dari mulai lahir, bicara dan mulai
merangkak. Menurut Munorang tuar (1985), ditinjau dari sudut psikologi anak dibagi antara lain:

1. Masa bayi, yaitu sejak lahir sampai akhir tahun kedua.


2. Masa anak awal atau masa kanak-kanak, yaitu permulaan tahun ketiga sampai usia 6
tahun. Masa ini disebut pula masa anak prasekolah.
3. Masa anak lanjut atau masa anak sekolah, yaitu dari usia 6-12 tahun atau 13 tahun, masa
ini disebut pula masa anak usia sekolah dasar pada usia ini biasanya anak duduk di
sekolah dasar.
4. Masa remaja, yaitu dari usia 13-18 tahun.

Hurlock (1990), membagi periodisasi masa anak menjadi dua, yaitu : early childhood pada usia
2-6 tahun dan late childhood pada usia 6 -12 tahun, sedangkan usia 0-1 tahun merupakan masa
bayi, dimana pada masing-masing periode mempunyai ciri-ciri yang dapat membedakan
pengertian anak dengan orang dewasa. Lebih lanjut lagi Havighust (dalam Kasiram, 1994),
membagi masa anak menjadi dua juga, yaitu : 1-6 tahun sebagai masa kanak-kanak (infancy dan
early childhood), dan usia 6-12 tahun yang merupakan masa sekolah atau periode intelektual
(middle childhood). \

Secara kronologis (menurut urutan waktu), masa kanak-kanak (early childhood) adalah masa
perkembangan dari usia 1 atau 2 tahun hingga 5 atau 6 tahun. Perkembangan biologis pada masa-
masa ini berjalan pesat, tetapi secara sosiologis ia masih sangat terikat oleh lingkungan dan
keluarganya. Oleh karena itu , fungsionalisasi lingkungan keluarga pada fase ini penting sekali
untuk mempersiapkan anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas terutama lingkungan
sekolah.

Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami perkembangan dengan
baik adalah memulai apa yang disebut dengan tugas-tugas perkembangan atau Development
Task. Tugas perkembangan masa anak menurut Munorang tuar (1985) adalah belajar berjalan,
belajar mengambil makanan yang padat, belajar berbicara, toilet training, belajar membedakan
jenis kelamin dan dapat kerja kooperatif, belajar mencapai stabilitas fisiologis, pembentukan
konsep-konsep yang sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik, belajar untuk
mengembangkan diri sendiri secara emosional dengan orang tua, sanak saudara dan orang lain
serta belajar membedakan baik dan buruk.

Masa Bayi (0-2 Tahun)

Setiap aspek dalam tahap perkembangan bayi amat menarik untuk diperhatikan. Entah itu saat
dia mulai bisa tersenyum, tertawa, merangkak, duduk, berdiri, berespon ketika diajak bicara,
ataupun menunjukkan kemampuan lain yang sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Walaupun setiap bayi memiliki keunikannya sendiri, namun pada umumnya, setiap bayi
memiliki tahapan perkembangan emosi yang dapat diprediksi polanya.

Bayi yang berusia 0-3 bulan sudah mulai dapat beraksi terhadap porang tuangan dan suara.
Untuk beberapa detik, bayi sudah mulai bisa melihat dan menata, bahkan memberikan respon
jika diajak bicara atau tersenyum. Bayi mungkin seringkali menangis, namun biasanya bisa
segera diatasi dengan memberinya rasa nyaman melalui pelukan, diberi makan, diganti
popoknya, digendong ataupun diajak bicara. Selain itu mereka juga sudah mulai dapat mengenali
orang-orang yang sering dilihat atau berada di dekatnya.

Karena pada 3 bulan pertama ini bayi sepenuhnya bergantung pada orang tua, maka
kebutuhannya untuk mengatasi perasaan negatif yang dialaminya, seperti stres, takut, frustrasi
dan lain sebagainya juga sepenuhnya berada pada orang tua. Pada saat ini, yang terpenting
baginya adalah merasakan bahwa orangtuanya selalu ada untuknya, setiap kali ia membutuhkan.
Dengan begitu, kepercayaannya terhadap orang tua pun mulai terbentuk.

Rene Brummage, pakar perkembangan anak mengatakan, Lingkungan anak memegang peranan
yang penting dalam membentuk kepribadiannya. Lingkungan yang penuh kasih sayang akan
mendorongnya memiliki emosi yang stabil. Sebaliknya, lingkungan yang penuh dengan tekanan
akan membuatnya tumbuh dalam ketakutan.
Pada masa 3-6 bulan, bagian otak bayi yang membantunya mengatasi dan mengontrol emosi
mulai tumbuh. Dia pun menikmati interaksi dengan orang lain dan menunjukkan minat yang
sangat besar dalam melihat wajah orang lain. Para ahli meyakini, ekspresi dan aneka simbol yang
ditunjukkan oleh wajah tak hanya dapat membantunya membangun hubungan dengan dunia
tetapi juga dapat menolongnya membangun ikatan emosi yang kuat dengan orang-orang yang
menyayanginya, terutama orangtuanya. Dari setiap respon yang diberikan orang-orang dewasa di
sekitarnya, ia belajar bahwa senyuman, tangisan, dan hal-hal lain yang dilakukannya dapat
memberinya respon emosional balik.

Untuk membantu perkembangannya, cobalah untuk melakukan permainan kata atau mencoba
membuat bunyi-bunyian bersama. Kemudian doronglah dia untuk mencoba menirukan bunyi-
bunyian yang disukainya. Walaupun dia belum mengerti, Orang tua harus berusaha untuk terus
berinteraksi dengannya melalui obrolan, membacakan cerita ataupun bernyanyi untuknya. Cara
lain yang bisa Orang tua lakukan adalah bermain si kecil di depan kaca. Rene mengatakan, Cara
ini tak hanya dapat memberinya porang tuangan yang lebih baik tentang dirinya tapi juga dapat
mendorong perkembangan emosi yang positif terhadap sosok yang dilihatnya di cermin.?

Untuk menunjukkan perasaan tidak senang, bayi sudah mulai dapat menunjukkannya dengan
mengeluarkan suara-suara lain selain menangis. Jika ia merasa senang, ia pun dapat
menunjukkannya dengan senyum, tertawa atau memperdengarkan suara-suara menyenangkan
lainnya. Intinya, bayi sangat suka diperhatikan dan tersenyum pada orang-orang yang
dikenalnya. Sebaliknya ia pun bisa menunjukkan rasa takut jika berada dekat dengan orang-
orang baru.

Pada usia 6-9 bulan, bayi yang diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang yang konsisten
sudah memiliki ikatan sosial emosi yang kuat dengan orangtua dan pengasuh lain yang penting
dalam hidupnya. Semakin kuat ikatan, semakin kuat pula kepercayaan si kecil. Dalam
memorinya, ia pun telah membeda-bedakan orang di sekitarnya menjadi dua yaitu, orang yang
disukainya atau orang asing. Karena itu, ia pun mulai menunjukkan rasa kehilangan dan protes
yang kuat (separation anxiety) jika berada jauh dari orang yang dekat dengannya.

Hillary Kruger MD, pakar perkembangan dan perilaku anak menambahkan, bayi pada periode ini
sudah dapat mengetahui jika orangtuanya meninggalkan ruangan lalu kemudian mencarinya.
Ketakutan dan ketidaksukaannya terhadap orang asing pung semakin kuat ditunjukkan (stranger
anxiety), misalnya dengan menangis atau dengan berlindung pada dewasa yang dikenalnya.
Mereka juga sudah mulai menunjukkan penolakan terhadap sesuatu hal yang tidak disukai. Saat
terbangun di malam hari, beberapa bayi pada usia ini berusaha mengatasi ketidaknyamanannya
dengan memegang atau menggigit mainan yang disukai atau bahkan jarinya sendiri. Menginjak
usia 8 bulan ke atas, bayi mulai menyukai permainan petak umpet. Sembunyikanlah mainan
kesukaannya di bawah selimut, dan lihatlah bagaimana ia berusaha untuk menemukannya.

Pada usia 9-12 bulan, rasa takut terhadap orang asing dan kelekatan terhadap orang-orang yang
memiliki arti khusus buatnya masih akan terus berlanjut tapi akan berangsur-angsur berkurang.
Ekspresi, gerakan tubuh dan suara untuk menunjukkan perasaannya pun sudah berkembang
semakin kompleks. Interaksi sosialnya pun makin berkembang. Hal ini ini ditunjukkan dengan
ketertarikannya untuk mulai bermain dengan orang lain.

Hillary mengatakan, mendekati usia satu tahun anak mulai menikmati permainan yang bersifat
resiprokal (berbalasan), seperti menggelindingkan dan menangkap kembali bola. Sejalan dengan
pertumbuhan fisiknya yang memungkinkan dia untuk bergerak lebih bebas ke sana-ke mari,
ketertarikannya pun tumbuh semakin besar untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya. Menurut
Hillary, hal itu biasanya ditunjukkannya dengan menunjuk suatu objek yang menarik agar
orangtuanya pun ikut memberikan fokus dan perhatiannya.

Pada usia 13-15 bulan, begitu banyak hal baru yang mulai dilakukannya, terutama berkaitan
dengan fungsi motorik kasarnya. Salah satu hal baru yang mulai dilakukan anak pada usia di atas
1 tahun ialah keterampilan berjalan. Grafik Milestone mencatat pada umumnya anak memulai
proses belajar berjalan sejak usianya minimal 9 bulan sampai maksimal 18 bulan.

Proses anak belajar berjalan antara lain ditandai dengan anak merangkak, berjongkok, berdiri
sendiri, menjaga keseimbangan dan mulai berjalan sedikit demi sedikit. Namun jangan terkejut
bila salah satu implikasi dari proses ini anak akan sangat sulit digendong, dipangku atau ditahan
di satu tempat. Hal ini wajar, karena ia baru saja merasakan kebebasan untuk menjelajah.
Tidak perlu terlalu panik apabila anak sering terjatuh, tahanlah keinginan untuk segera bergegas
mengangkat dan mengobatinya, kecuali jika dia memang benar-benar terluka. Terjatuh
sesungguhnya merupakan bagian dari proses belajar berjalan itu sendiri. Bersabarlah dan
sediakan tempat yang aman bagi si kecil untuk bereksplorasi dalam kebebasan barunya.

Ketika anak sudah bisa berjalan selama beberapa minggu atau bahkan bulan, maka kepercayaan
diri dan kemapanan anak pun semakin bertambah tiap harinya. Biasanya pada usia ini anak mulai
senang memindahkan objek dari satu tempat ke tempat lain, sepertinya mereka tidak pernah lelah
mendorong kotak atau ember mengelilingi ruangan. Bahkan anak akan mulai memanjat ke kursi
atau meja. Antusiasmenya dalam menjelajah bisa saja melebihi kemampuannya, jadi orang tua
perlu memonitor eksplorasinya dengan lebih waspada.

Anak mulai membiasakan diri menggunakan tangannya. Umumnya pada usia ini anak menyukai
pekerjaan tangan berupa memasukkan dan mengeluarkan, misalnya meletakkan mainan ke dalam
kotak lalu melemparkannya kembali ke luar. Atau terkadang anak akan menyusun menara kecil
dari 2-3 kotak kecil kemudian meruntuhkannya. Anak sedang mengasah indera perabanya
terhadap berbagai macam sentuhan. Mereka ingin menyentuh dan merasakan apapun dengan
tangan mereka: hewan peliharaan, tanaman di halaman rumah, atau kucuran air dari keran.

Memasuki usia 16-18 bulan tentunya akan ada hal-hal baru yang dialami dan dipelajari oleh
anak. Anak pada usia ini, rasa ingin tahunya sangat besar. Umumnya mereka akan merebut
benda apa saja yang ada di sekitarnya, mengamati dengan cermat, memasukkan ke dalam mulut
atau membantingnya ke lantai. Umumnya anak juga berambisi untuk menguji kemampuan
mereka sendiri.

Menyadari dirinya sudah bisa berjalan, anak kemudian berusaha untuk berjalan sambil membawa
beban. Begitu pula jika anak sudah yakin dia bisa memanjat ke atas sofa, ia akan berusaha
memanjat ke kursi atau meja yang letaknya lebih tinggi. Jika ambisi petualangannya ini tidak
diawasi dengan cermat, anak bisa terancam bahaya. Namun petualangannya tersebut juga
sebaiknya jangan dihalang-halangi, sebab hal tersebut bermanfaat untuk mengasah keahlian anak
dalam bergerak.
Untuk itu, langkah yang paling bijaksana ialah memberi kesempatan dan tempat yang aman dan
nyaman bagi anak untuk memenuhi ambisi petualangannya. Pada usia ini anak juga dapat Orang
tua ajak dalam permainan jongkok, berdiri dan melompat-lompat.

Pada rentang usia ini, anak mulai menunjukkan kecenderungannya, lebih sering menggunakan
tangan kanan atau tangan kiri. Oleh sebab itu, pada usia ini pula Orang tua dapat mulai
melatihnya membedakan fungsi tangan kanan dan kiri. Yang perlu diingat, orangtua jangan
terlalu keras menegur dan memaksa anak untuk menggunakan tangan yang benar, misalnya
tangan kanan saat memegang makanan. Proses pemilihan tangan untuk melakukan suatu
aktivitas akan berjalan secara natural meskipun pola pembiasaan juga berpengaruh. Tidak perlu
bereaksi berlebihan kalaupun anak Orang tua ternyata kidal dan lebih nyaman menggunakan
tangan kiri.

Atas, bawah, depan, belakang, di luar, atau di dalam, anak akan mulai belajar hal-hal ini sekitar
usia ini. Untuk semakin menstimulasinya, orang tua dapat membuat berbagai permainan
sederhana, misalnya menyuruh anak mencari suatu benda yang letaknya di bawah meja di dalam
kamar kemudian memintanya untuk memindahkan benda itu ke atas kursi di bawah lukisan di
ruang tamu, dan seterusnya.

Anak pada usia 19-21 bulan sepertinya semakin sulit dikendalikan, terutama dengan
kesukaannya memanjat serta mencorat-coret, tapi sebenarnya dia sedang mulai melatih
keseimbangan dan motorik halus. Pada usia ini, anak sedang melanjutkan pengujian terhadap
daya penggeraknya. Dia akan semakin semangat berjalan ke belakang (backward), menyamping,
menaiki dan menuruni tangga. Dia juga akan berusaha berlari ke sama kemari. Gerakan-
gerakannya cenderung antusias sehingga bisa terkesan grasak-grusuk dan membuat Orang tua
tidak tenang.

Akan tetapi hal ini sesungguhnya normal, termasuk jika ia sedikit demi sedikit tersandung dan
jatuh. Yang penting Orang tua menyediakan tempat yang cukup nyaman dan aman baginya
untuk berlari ke sana kemari, mengingat kemampuannya untuk mengendalikan belum sempurna,
dia belum bisa memperkirakan kecepatan dan jarak yang ideal untuk berlari maupun berhenti.
Yang sulit dikendalikan umumnya adalah kesukaannya untuk mencorat-coret. Biasanya pada
usia ini anak tertarik menggambar garis-garis vertical dan horizontal, juga lingkaran. Meski
terlihat sebagai bentuk-bentuk sederhana, namun hal ini juga memiliki pengaruh baik bagi
perkembangan anak. Menggenggam krayon saat menggambar melibatkan kerja motorik halus,
serta koordinasi mata dan tangan, serta melatih imajinasi anak.

Kita mungkin sebenarnya tidak memiliki keberatan apapun untuk mendukung hobi baru anak ini,
akan tetapi masalahnya seringkali anak sangat suka mencorat-coret tembok dan wajar saja bila
orang tua merasa keberatan pada hal tersebut. Kita dapat memberi penjelasan secara perlahan
pada anak bahwa tembok bukanlah tempatnya dia berkreasi, sediakan kertas, kanvas atau white
board sebagai gantinya. Atau juga bisa menyediakan space khusus di tembok (misalnya Orang
tua berikan batas bingkai dengan kayu atau kain) sebagai tempat anak bergraffiti.

Orang tua akan direpotkan dengan kebiasaan barunya yakni memanjat dan menguji
keseimbangan tubuh. Meski hal ini pasti membuat Okhawatir, namun dengan menyediakan
tempat yang aman baginya untuk berlatih memanjat dan melatih keseimbangan sesungguhnya
sangat baik untuk menyalurkan energi anak dan mendukung perkembangan balita secara fisik.

Menjelang dan memasuki usia 2 tahun beberapa hal ini dapat ditemukan dalam tumbuh
kembangnya. Jari-jari tangannya akan semakin cekatan, dia akan belajar berpakaian sendiri, dan
dia akan siap untuk Toilet Training. Pada usia 22 bulan kemampuan motorik halus anak akan
semakin dilatih dan disempurnakan. Untuk mendukung perkembangan ini, Orang tua dapat
menyediakan berbagai mainan dengan bahan empuk yang mudah dibentuk seperti bahan-bahan
dough, clay atau lilin mainan. Si kecil akan menikmati aktivitas yang menyibukkan jarinya
seperti menekan, meremas, atau menggulung.

Lebih jauh lagi, bukan hanya jari-jarinya yang akan terlatih. Seluruh otot tangan dan pergelangan
akan turut bergerak. Selain meningkatkan kemampuan motorik halusnya, hal ini juga
mendukung pertumbuhan fisik dan mental anak. Misalnya saat akan menyusun balok menjadi
suatu bangunan, maka sebelumnya anak akan terlatih untuk berpikir kreatif dalam menentukan
bentuk bangunan yang akan disusun.
Sekitar usia 23 bulan, anak akan mulai ingin berpakaian sendiri. Biasanya dia akan mulai dengan
mencoba menepis tangan orang tuanya dan membuka pakaiannya sendiri. Biarkan anak
melakukannya, meskipun dia akan menghabiskan waktu lebih lama. Perhatikan cara anak saat
melepaskan pakaiannya, karena dia bisa saja mengalami beberapa kesulitan. Setelah bisa
membuka pakaian, biasanya anak juga akan mencoba memakai pakaiannya sendiri. Untuk
memudahkan dia (dan orang tua juga sebenarnya), pilih pakaian yang relatif lebih sederhana dan
mudah, misalnya dengan kancing yang besar dan tidak terlalu banyak, atau dengan retsleting.

Sebetulnya tidak ada patokan umur bagi seorang anak harus mulai melakukan toilet training.
Namun umumnya sekitar usia 2 tahun bisa menjadi usia yang ideal untuk mencoba mengajari
anak mengontrol BAB dan BAK-nya, serta belajar menggunakan toilet untuk buang air.
Jangan terburu-buru dan terlalu memaksakan si kecil, karena toilet training adalah proses yang
memerlukan waktu yang tidak sama pada masing-masing anak. Sebaliknya, Orang tua justru
harus memperhatikan kesiapan si kecil. Karena bagaimanapun, itulah kunci utama keberhasilan
toilet training. Semakin siap anak maka akan semakin mudah juga untuk melatihnya.
Langkah paling sederhana bagi anak dalam belajar ialah melalui imitasi. Biarkan anak
mengamati orang tua saat ke kamar mandi dan menggunakan toilet. Sebaiknya anak laki-laki
melihat ayahnya dan sebaliknya anak perempuan melihat ibu, agar mereka tidak dibingungkan
dengan perbedaan jenis kelamin.

Masa Anak Awal atau Kanak-kanak (2-6 Tahun)

Pada masa ini, perkembangan fisik anak meliputi perubahan-perubahan dalam tubuh (seperti
pertumbuhan otak, sistem saraf, organ-organ indrawi, pertambahan tinggi dan berat, hormon dll),
dan perubahan-perubahan dalam cara-cara individu dalam menggunakan tubuhnya (seperti
perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual), serta perubahan dalam
kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi jantung, penglihatan dan sebagainya.

Masa kanak-kanak awal terjadi pada rentang usia 2-6 tahun, masa ini sekaligus merupakan masa
prasekolah, dimana anak umumnya masuk Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak.
Pada masa kanak-kanak awal, rata-rata anak bertambah tinggi 6,25 cm setiap tahun, dan
bertambah berat 2,5 – 3,5 kg setiap tahun. Pada usia 6 tahun berat harus kurang lebih mencapai
tujuh kali berat pada waktu lahir.

Keterampilan umum yang sering dilakukan anak biasanya menyangkut keterampilan tangan dan
kaki. Keterampilan dalam aktivitas makan dan berpakaian sendiri biasanya dimulai pada masa
bayi dan disempurnakan pada masa kanak-kanak awal. Kemajuan terbesar keterampilan
berpakaian antara usia 1,5 dan 3,5 tahun. Pada saat anak-anak mencapai usia TK, mereka sudah
harus dapat mandi dan berpakaian sendiri, mengikat tali sepatu dan menyisir rambut dengan
sedikit bantuan atau tanpa bantuan sama sekali. Antara usia 5 dan 6 tahun sebagian besar anak-
anak sudah pandai melempar dan menangkap bola. Mereka dapat menggunakan gunting, dapat
membentuk tanah liat, bermain membuat kue-kue dan menjahit, mewarnai dan menggambar
dengan pensil atau krayon. Mereka juga sudah dapat menggambar orang.

Keterampilan kaki dapat dilakuan anak dengan belajar gerakan-gerakan kaki. Antar usia 3-4
tahun anak dapat mempelajari sepeda roda tiga dan berenang. Keterampilan kaki lain yang
dikuasai anak adalah lompat tali, keseimbangan tubuh dalam berjalan di atas dinding atau pagar,
sepatu roda, bermain sepatu es, menari. Usia 5 atau 6 tahun anak belajar melompot dan berlari
cepat, dan mereka sudah dapat memanjat.

Pada masa kanak-kanak awal ini, anak berpikir konvergen menuju ke suatu jawaban yang paling
mungkin dan paling benar terhadap suatu persoalan. Menurut teori Piaget, anak pada masa
kanak-kanak awal berada pada tahap perkembangan praoperasional (2-7 tahun), istilah
praoperasional menunjukkan pada pengertian belum matangnya cara kerja pikiran. Pemikiran
pada tahap praoperasional masih kacau dan belum terorganisasi dengan baik, yang sering
dikatakan anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Adapun ciri-ciri berpikir
pada tahap praoperasional adalah semakin berkembangnya fungsi simbolis, tingkah laku imitasi
langsung maupun tertunda, cara berpikirnya masih egosentris, centralized atau terpusat pada satu
dimensi saja, serta cara berpikir yang tak dapat dibalik dan terarah statis.

Pada usia ini, anak (peserta didik) berada dalam periode “praoperasional” yang dalam
menyelesaikan persoalan, ditempuh melalui tindakan nyata dengan jalan memanipulasi benda
atau obyek yang bersangkutan. Peserta didik belum mampu menyelesaikan persoalan melalui
cara berpikir logik sistematik. Kemampuan mengolah informasi dari lingkungan belum cukup
tinggi untuk dapat menghasilkan transformasi yang tepat.

Pada masa usia ini pula, perkembangan bahasa pada anak dipengaruhi Teori Belajar sosial, yakni
anak belajar bahasa dengan model-model yang ada di lingkungannya. Melalu imitasi dan respon
dari lingkungan, akhirnya anak menguasai keterampilan bicara. Namun menurut Chomsky,
perkembangan bahasa anak juga terjadi karena faktor pembawaan; bahwa anak lahir sudah
disertai dengan LAD (Language Aquisition Device) yang membuat anak sering mengekspresikan
sesuatu dengan kata yang tidak ditemukan dari lingkungannya.

Perkembangan sosial emosional terintegrasi dengan perkembangan aspek lainnya seperti


perkembangan kognitif dan perkembangan motorik. Dalam bermain anak mengalami perubahan
dari permaianan solitair, paralel, sampai ke permainan asosiatif. Dari bermain, anak belajar
sejumlah peraturan sosial. Menurut teori perkembangan psikososial Erikso, anak usia ini berada
pada tahap perkembangan otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu, serta perkembangan inisiatif vs
rasa bersalah. Perkembangan diri diawali dari perasaan secara fisik kemudian berkembang
menjadi perasaan yang lebih bersifat psikologis.

Anak-anak populer terbukti memiliki keterampilan sosial lebih tinggi dibanding dengan anak
yang kurang populer. Anak yang populer terlibat dalam hubungan dengan teman sebaya yang
lebih kompleks, dan hal ini lebih menguntungkan dan meningkatkan lagi bagi perkembangan
kognitifnya. Anak-anak yang mengalmi konflik dan tidak mampu menyatakan secara verbal akan
mencoba menyelesaikan konfliknya dengan kekuatan fisik

Perilaku prososial dapat berkembang apabila anak diajarkan untuk berpikir dengan cara sudut
pandang orang lain, hal ini dapat diperoleh melalui permainan sosiodrama. Anak mengalami
perkembangan emosi dari senang, marah, malu, kecewa dan sebagainya. Pada masa ini anak
tidak hanya perlu belajar bagimana cara mengekspresikan emosinya, tetapi juga perlu belajar
mengendalikannya.

Anak masa kanak-kakak awal sering mengembangkan stereotipe tentang gender yang salah,
seperti anak perempuan tidak boleh menjadi polisi. Pada tahap inilah orang tua mempunyai peran
penting untuk mengajarkan anak sadar akan gendernya sendiri, menentang berkembangnya
sterotipe tentang gender yang salah, serta mendorong anak-anak bermain secara lintas gender.

Adapun tugas perkembangan pada masa anak-kanak awal ini antara lain:

1. Belajar berjalan
2. Belajar makan makanan padat
3. Belajar mengendalikan gerakan badan
4. Mempelajari peran yang sesuai dengan jenis kelaminnya
5. Memperoleh stabilitas fisiologis
6. Membentuk konsep sederhana tentang kenyataan sosial dan fisik
7. Belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang tua, kakak adik dan orang
lain
8. Belajar membedakan yang benar dan salah

Masa anak lanjut atau masa anak sekolah (6-12/13 Tahun)

Anak Usia 6-12 tahun adalah masa usia sekolah tingkat SD bagi anak yang normal.
Perkembangan anak masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Sebagai orang tua
harus mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anaknya terutama pada usia ini karena
pertumbuhan anak-anak sangat pesat yang harus diimbangi dengan pemberian nutrisi dan gizi
yang seimbang.

Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun), anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau
melaksanakan tugas-tugas belajar yang menurut kemampuan intelektual atau kemampuan
kognitifnya (membaca, menulis, menghitung). Pada masa pra-sekolah pola pikirnya masih
bersifat imajinatif (khayalan), sedangkan pada masa sekolah dasar daya pikirnya sudah merujuk
kepada hal-hal yang bersifat kongkrit dan rasional. Piaget menamakannya sebagai masa operasi
kongkrit, masa berakhirnya berpikir khayal dan mulai berpikir nyata.
Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru yakni; mengklasifikasikan,
menghubungkan angka-angka. Kemampuan menghitung, menambah, mengurangi. Kemampuan
selanjutnya anak sudah bisa memecahkan masalah yang sederhana.

Kemampuan intelektual anak pada masa ini sudah cukup untuk menjadikan dasar diberi berbagai
kecakapan yang dapat mengembangkan daya pikir dan daya nalarnya seperti, membaca, menulis,
dan berhitung seta diberi pengetahuan tentang manusia, hewan, alam serta lingkungan.

Bahasa adalah sarana komunikasi dengan orang lain. Usia sekolah dasar merupakan masa
berkembang pesatnya kemampuan mengenal, dan menguasai vocabulary atau perbendaharaan
kata. Terdapat dua faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa yaitu;

1. Proses jadi matang, dengan kata lain anak itu menjadi matang (organ suara sudah
berfungsi) untuk berkata-kata.
2. Proses belajar, yang berarti anak telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa
orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan yang didengarnya.

Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak
memasuki usia sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat dapat membuat kalimat yang lebih
sempurna, dapat membuat kalimat majemuk dan dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.
Di sekolah sengaja diberi pelajaran bahasa untuk menambah menambah perbendaharaan katanya
serta belajar menyusun struktur kalimat, pribahasa, kesusastraan dan keterampilan mengarang.
Hal ini dilakukan agar anak mampu menguasai dan mempergunakan bahasanya dengan baik.

Pada usia ini, anak juga mengalami peningkatan dari sisi perkembangan sosial, dimana
perkembangan sosial ini diartikan sebagai proses pencapaian kematangan dalam hubungan
interaksi social, atau dapat dikatakan sebagai proses belajar penyesuaian diri terhadap norma-
norma kelompok, tradisi dan moral. Perkembangan sosial anak usia ini ditandai dengan adanya
perluasan hubungan, baik hubungan keluarga, teman sebaya, atau lingkungan sekolah. Pada fase
ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap
kooperatif (kerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak
merasa senang jika ia diterima dalam suatu kelompok dan merasa tidak senang jika ia ditolak
dalam kelompoknya.
Berkat perkembangan sosialnya ini anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman
sebayanya maupun lingkungan sekitarnya.

Menginjak usia anak sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar
tidaklah diterima dimasyarakat. Oleh karena itu ia mulai belajar untuk mengendalikan dan
mengontrol emosinya. Kemampuan kontrol ini diperoleh melalui peniruan dan latihan-latihan
(pembiasaan). Apa bila anak dikembangkan dalam lingkungan yang suasananya stabil, maka
perkembangan emosi anak cenderung stabil dan sebaliknya.

Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah
marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (senang, nikmat,
bahagia). Emosi merupakan faktor dominan yang memengaruhi tingkah laku, dalam hal ini
tingkah laku belajar. Emosi yang positif, akan memengaruhi individu untuk mengonsentrasikan
dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca, berdiskusi
dan sebagainya. Dan sebaliknya, apabila yang menyertai proses itu emosi yang negatif, maka
proses belajar akan terganggu dalam arti individu tidak bisa memustkan perhatiannya untuk
belajar.

Anak mulai mengenal konsep moral (mengenal benar dan salah) pertama kali dari lingkungan
keluarga. Usaha menanamkan konsep moral sejak dini adalah keharusan karena informasi yang
diterima anak mengenai benar salah, baik buruk, akan menjadi pedoman pada tingkah lakunya
dihari kemudian. Pada usia sekolah dasar ini anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntunan
dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini anak sudah dapat memahami alasan
yang mendasari suatu peraturan.

Dismping itu anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk prilaku dengan konsep benar
salah. Misalnya ia memandang bahwa perbuatan nakal atau dusta dan tidak hormat pada orang
tua adalah perbuatan yang salah. Sedagkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang
tua dan guru merupakan suatu yang benar.

Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik
anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan
kebutuhannya. Pada fase ini ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas motorik yang lincah.
Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan yang berkaitan
dengan motorik ini, seperti menulis, menggambar, melukis, mengetik, berenang dsb.

Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar,
baik di bidang pengetahuan maupun keterampilan. Oleh karena itu perkembangan motorik sangat
menunjang keberhasilan belajar pserta didik. Pada usia sekolah dasar kematangan perkembangan
motorik ini pada umumnya dicapai, karena mereka sudah siap menerima pelajaran keterampilan.

Pengalaman pertama yang sangat berat bagi anak pada usia ini adalah mulai belajar berdisiplin di
sekolah dan harus patuh peraturan. Bagi anak yang senantiasa mendapat perhatian lebih dirumah
maka pengalaman sekolah bukan hal yang menyenangkan. Apalagi guru yang tidak memberikan
perhatian peralihan maka akan mempengaruhi sikap si anak seterusnya terhadap sekolah. Orang
tua juga hendaknya memberikan dorongan moril kepada anak untuk bersekolah dan belajar. Hal
itu akan menambahkan sesuatu dalam pertumbuhannya.

Sebelum menstimulasi kognisi anak, orang tua harus mengetahui terlebih dulu perkembangan
kognitifnya sesuai usia. Misalnya, untuk anak balita perkembangan kognitifnya berkaitan dengan
perkembangan berbagai konsep dasar seperti mengenal bau, warna, huruf, angka, serta
pengetahuan umum yang akrab dengan kehidupan sehari-harinya. Disamping itu perkembangan
kognitif berkaitan erat dengan perkembangan bahasa.

Aneka kegiatan yang bisa orang tua lakukan guna menstimulasi kognisi anak adalah:

1. Mengadakan acara mendongeng.


2. Membaca buku cerita, baik dilakukan oleh orang tua atau si anak sendiri.
3. Menceritakan kembali suatu kisah dari buku cerita yang sudah dia baca.
4. Sharing mengenai pengalaman sehari-hari yang bisa dilakukan secara verbal, gambar
atau tulisan.
5. Berdiskusi tentang suatu tema.

Kegiatan-kegiatan tersebut sangat baik jika divariasikan dengan berbagai kegiatan, seperti
membuat kerajinan tangan atau games menarik.
Sedangkan untuk anak 6-12 tahun, perkembangan kognitifnya sangat berkaitan dengan
kemampuan akademis yang dipelajari di sekolah. Akan tetapi kemampuan kognitif bisa menjadi
lebih optimal apabila otak kanan anak mendapat stimulasi. Anak yang memiliki fungsi otak
seimbang akan lebih responsif, kreatif, dan fleksibel.

Kegiatan yang bisa dilakukan oleh anak 6-12 tahun adalah:

- Ketika mempelajari berbagai kemampuan akademis, guru dan orang tua hendaknya
memperhatikan kondisi anak. Contohnya, saat anak sudah terlihat bosan seharusnya secara
otomatis materi yang disampaikan pada anak dibumbui atau diselingi dengan permainan atau hal
jenaka yang bisa membuat anak tertantang dan gembira. Ingat, selingan seperti ini sebaiknya
tetap pada konteks pembicaraan atau pembahasan.

- Stimulasi otak kanan untuk menstimulasi kemampuan kognitif dapat dilakukan melalui
kegiatan music & movement (gerak dan lagu) atau dengan memainkan alat musik tertentu. Bisa
juga dengan melakukan kegiatan drama.

Berkaitan dengan stimulasi afeksi, bisa dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan


interpersonal maupun intrapersonal anak balita maupun 6-12 tahun. Manfaat utamanya adalah
mengembangkan rasa percaya diri, memupuk kemandirian, mengetahui dan menjalani aturan,
memahami orang lain, dan mau berbagi.

Cara memberikan stimulasi bisa dengan cara sebagai berikut:

1. Biarkan anak melakukan sendiri apa yang bisa ia lakukan.


2. Buatlah kesepakatan tentang berbagai hal yang baik/boleh dan tidak, serta
konsekuensinya. Tentu dengan bahasa yang bisa dipahami anak.
3. Berikan penghargaan untuk hal-hal yang dapat dilakukanya dengan baik atau lebih baik
dari sebelumnya. Bisa juga ketika anak dapat mengikuti aturan (terutama pada awal mula
diterapkan suatu aturan).
4. Berikan konsekuensi negatif atau punishment terhadap tingkah laku anak yang kurang
baik atau tidak sesuai dengan aturan. Untuk hal ini perlu mempertimbangkan usia anak.
5. Berikan perhatian untuk berbagai reaksi emosi anak. Contoh, saat dia sedih, gembira,
marah, berikanlah respons yang sesuai dengan kebutuhannya kala itu.
6. Anak difasilitasi untuk bermain peran.
7. Biasakan anak untuk mampu mengungkapkan perasaanya, baik secara verbal, tulisan,
ataupun gambar.
8. Biasakan mau berbagi dalam setiap kesempatan.
9. Khusus untuk anak 6-12 tahun, mulai perkenalkan dengan berbagai permainan dalam
rangka mengenalkan aturan main, sportivitas, dan kompetisi.

Namun tak hanya itu yang bisa menjamin anak menjadi cerdas. Lingkungan di mana anak berada
sangat memegang peranan penting untuk membentuknya menjadi anak yang bahagia dan sehat.
Jika bicara ideal, beginilah seharusnya lingkungan anak balita dan anak usia 6-12 tahun:

1. Dilengkapi dengan fasilitas yang mendukung, di antaranya arena bermain lengkap


dengan prasarananya.
2. Lingkungan harus ramah anak, sekaligus memberi jaminan atas kesehatan, keamanan,
kenyamanan, dan keleluasaan bergerak.
3. Jika hal tersebut tidak memungkinkan untuk diwujudkan, cukuplah membuat lingkungan
yang bisa menerima dan memberi toleransi pada anak dalam berkegiatan. Temanilah
selalu anak saat berekplorasi. Biarkan dia bebas memilih apa yang akan dikerjakan
sepanjang tetap dalam koridor keamanan, kesehatan, dan kebaikan.
4. Jawablah sebisa mungkin setiap pertanyaan anak. Jika tidak bisa, ajak anak bersama-
sama mencari tahu jawaban dari sumber yang bisa dipercaya, semisal mencarinya dalam
kamus atau bertanya pada pakarnya.

Masa Remaja (13-18 Tahun)

Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat
membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap
untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada
di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif
dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan-peraturan
yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya.

Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi
bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik
bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi
terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya. Pada tahap ini pula, pemahaman diri atau
konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui
karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal.

Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka
berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak
menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan
suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan
ketrampilan sosial.

Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya
mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan
terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak tidak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal
ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.

Seorang remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan ke dalam tiga
tahap secara berurutan (Kimmel, 1995: 16). Tahap yang pertama adalah remaja awal, di mana
tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sebagai remaja adalah pada penerimaan
terhadap keadaan fisik dirinya dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Hal ini karena
remaja pada usia tersebut mengalami perubahan-perubahan fisik yang sangat drastis, seperti
pertumbuhan tubuh yang meliputi tinggi badan, berat badan, panjang organ-organ tubuh, dan
perubahan bentuk fisik seperti tumbuhnya rambut, payudara, panggul, dan sebagainya.

Tahapan yang kedua adalah remaja madya, di mana tugas perkembangan yang utama adalah
mencapai kemandirian dan otonomi dari orang tua, terlibat dalam perluasan hubungan dengan
kelompok baya dan mencapai kapasitas keintiman hubungan pertemanan; dan belajar menangani
hubungan heteroseksual, pacaran dan masalah seksualitas.
Tahapan yang ketiga adalah remaja akhir, di mana tugas perkembangan utama bagi individu
adalah mencapai kemandirian seperti yang dicapai pada remaja madya, namun berfokus pada
persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung
jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga
meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.

Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya, Ciri-ciri
remaja menurut Hurlock (1992), antara lain :

1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa
remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Di sini berarti perkembangan masa kanak-kanak
lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan
ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan
pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh,
minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut,
serta keinginan akan kebebasan.
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk
menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena
sulit diatur,cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang
tua menjadi takut.
6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memorang tuang
kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain
sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan
didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan
kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman
keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap
bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Sedangkan menurut Havighurst, tugas-tugas perkembangan seorang remaja adalah sebagai
berikut:
1. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.
2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
3. Mencapai suatu hubungan dan pergaulan yang lebih matang antara lawan jenis yang
sebaya.
4. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin. Peran sosial yang dimaksud di
sini adalah seperti yang diharapkan masyarakat, dan bergeser sesuai dengan peralihan
zaman.
5. Berperilaku sosial yang bertanggung jawab.
6. Mempersiapkan diri untuk memiliki karier atau pekerjaan yang mempunyai konsekuensi
ekonomi dan finansial.
7. Mempersiapkan perkawinan dan membentuk keluarga.
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku sesuai
dengan norma yang ada di masyarakat.

Penjelasan mengenai tugas-tugas perkembangan remaja ini adalah sebagai salah satu bagian
dalam memahami remaja sebagai suatu masa transisi. Diharapkan, pada saat ini kita telah sampai
pada pemahaman bahwa sesungguhnya masa remaja adalah masa transisi yang menjembatani
masa kanak-kanak yang tidak matang ke masa dewasa yang matang. Macam transisi yang
berbeda akan membawa pengaruh yang berbeda pula bagi individu yang mengalaminya.

Demikian pula dengan bagaimana cara kita melihat transisi tersebut akan mempengaruhi
bagaimana kita dapat memahami apa yang dialami dan dirasakan oleh remaja. Selanjutnya, kita
akan melihat perubahan dan perkembangan apa yang dialami oleh individu selama masa
remajanya. Dengan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja mendorong
kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal
ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh
tanggung jawab.
Pelatihan Bagi Kaum Ibu Terhadap Tugas Perkembangan Anak

Berkaitan dengan penjelasan gamblang tentang tugas perkembangan anak, gambaran secara
umum tentang apa yang dialami oleh anak-anak mulai dari umur 0 tahun hingga 18 tahun, kita
bisa menilai bahwa bukanlah sebuah hal yang mudah dan sederhana untuk memahami tentang
kecenderungan perilaku anak secara ideal maupun pada tataran fakta yang terjadi serta
melakukan pendidikan pada anak kita secara langsung sebagai orang tua dan membangun pola
asuh yang sesuai bagi anak. Padahal kemampuan memahami tugas perkembangan pada tiap
urutan umur pada anak, proses mendidik dan membangun pola asuh yang sesuai itu akan
menentukan karakter, kepribadian dan perilaku anak-anak di kemudian hari.

Ketidakmengertian dan ketidaktahuan akan tugas perkembangan anak ini seringkali


menyebabkan pertumbuhan anak yang kurang sehat, baik secara fisik maupun secara mental
psikologis. Kita bisa melihat dalam kehidupan sehari-hari bagaimana seorang anak memiliki
perilaku negatif, yang bahkan bisa melebihi perilaku orang tuanya karena diperkuat dengan
kondisi lingkungan luar rumah yang memang juga parah. Ketidaktahuan dan ketidakmengertian
orng tua ini seringkali menyebabkan anak memiliki orientasi yang salah dalam memahami nilai
dan norma yang secara universal diterima oleh masyarakat, sehingga anak memiliki tingkat
ambiguitas dan absurditas dalam berperilaku sebagai akibat dari penyimpangan dan gangguan
fisik serta mental psikologis, yang bisa saja menyebabkan anak tidak dapat diterima oleh
lingkungannya.

Untuk itulah maka pelatihan yang berkaitan dengan pengenalan tugas perkembangan anak secara
komprehensif serta pemahaman pola perilaku anak yang muncul pada tiap tingkatan usia,
menjadi sangat penting. Hal ini bertujuan agar orang tua mampu memiliki pemahaman yang
cukup untuk membentuk pola asuh dan proses pendidikan pada anak yang memang
menghasilkan perkembangan, pertumbuhan fisik dan mental yang positif dan lebih baik. Hal ini
juga bisa mendorong para orang tua agar lebih memahami bahwa pola asuh dan proses
pendidikan yang mereka lakukan terhadap anak tidak bisa hanya berdasarkan naluri belaka
sebagai orang tua tanpa memahami setiap proses alami yang terjadi pada anak dari mulai umur 0
tahun hingga 18 tahun.
Model pelatihan yang bisa dilakukan dapat dilaksanakan dengan banyak sekali cara dan
penyesuaian yang dianggap perlu terkait dengan persoalan kultural masyarakat setempat, status
sosial ekonomi, tingkat pendidikan yang dimiliki serta kemampuan financial yang
memungkinkan dalam perencanaan penyelenggaraan pelatihan.

Pelibatan lembaga-lembaga formal dan organisasi-organisasi yang memang memiliki bidang


kerja dan kegiatan yang terkait, juga bisa dilakukan sebagai salah satu cara dalam mewujudkan
proses kegiatan pelatihan ini yang lebih formal, memiliki kekuatan hukum dan yang lebih
penting adalah berkelanjutan, sehingga proses pelatihan ini tidak hanya berhenti pada rumah
tangga-rumah tangga yang memang mengikuti pelatihan tapi juga bisa menciptakan kader-kader
pelatih yang bisa memberikan dan membagikan setiap pengalamannya dalam
mengimplementasikan hasil dari pelatihan ini kepada orang lain di luar peserta pelatihan.

Dan tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan generasi penerus bangsa yang lebih baik,
yang dimulai sejak dini, di mana setiap peserta pelatihan yang berkelanjutan ini bisa membangun
pola asuh yang baik pada anak-anaknya di kemudian hari serta menghasilkan generasi penerus
yang tangguh dan memiliki kualitas yang lebih mumpuni, baik secara fisik maupun psikologis
untuk menghadapi masa depan dan era globalisasi yang berisikan tingkat kompetisi yang tinggi
serta menuntut pemenuhan kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas dalam
kompetensi hidup sehari-hari dan dalam menjalani kehidupan pekerjaan professional. Terakhir,
bahwa kegiatan ini diusulkan sebagai salah satu cara yang memang bisa dianggap tepat sasaran
dalam proses menciptakan “National Character Building” yang idealnya memang harus
diciptakan dalam lingkungan keluarga. Membangun generasi penerus yang lebih baik daripada
generasi sekarang haruslah dimulai dari unit lingkungan sosial terkecil, yaitu keluarga.

Anda mungkin juga menyukai