PENDAHULUAN
Mual dan muntah merupakan sesuatu hal yang umum terjadi pada
kehamilan, keluhan ini didapatkan pada 70 - 80 % dari semua ibu hamil.
Meskipun kebanyakan perempuan dengan mual dan muntah pada
kehamilan (MMK) mempunyai gejala yang terbatas pada trimester pertama,
hal ini juga ditemukan pada persentase kecil menyebabkan gejala yang
memanjang sampai waktu bersalin. Wanita dengan gejala mual dan muntah
berat selama kehamilan mungkin mempunyai sindroma hiperemesis
gravidarum, sebuah istilah yang berbeda dengan MMK, jika tidak diobati
dengan benar maka akan menyebabkan resiko dan morbiditas fetomaternal
(Noel dan Sumona, 2011).
1
tromboembolisme (Bottomley dan Bourne, 2009).
2
wanita. Hal ini sering dimulai dalam beberapa minggu setelah menstruasi
yang hilang dan dengan demikian tergambar di sebagian besar budaya
sebagai tanda awal kehamilan. Gejala biasanya puncak antara 10 dan 16
minggu kehamilan dan biasanya sembuh setelah 20 minggu. Sampai 10%
wanita, bagaimanapun, terus menjadi gejala di luar 22 minggu (Lee dan
Saha, 2009).
Beban fisik dan psikis dari hiperemesis gravidarum tinggi pada kondisi
di banyak kasus, tidak hanya membutuhkan rawat inap untuk pengobatan
tetapi dapat menghasilkan sekuel termasuk jejas hepar, jejas sistem saraf
pusat, dan kerusakan ginjal, dan menyebabkan terganggunya
kesejahteraan wanita, dan keluarga (Bottomley dan Bourne, 2009).
3
referat ini membahas profil farmakologi dari jahe dalam penanganan mual
dan muntah dalam kehamilan (Lete dan Allué, 2016).
Kota Batu adalah kota pemekaran dari Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sesuai dengan topografi wilayah dan iklim, pertanian kota Batu didominasi
oleh komoditas hortikultura yang meliputi : sayur-sayuran, buah-buahan
dan tanaman bunga. Di samping itu pada beberapa wilayah juga
4
diusahakan tanaman pangan seperti : padi, jagung, palawija dan tanaman
pangan lainnya. Selain itu, di kota Batu juga membudidayakan tanaman
obat seperti : jahe, laos, kencur, kunyit, dan temulawak. Diantara tanaman
obat yang dibudidayakan di kota Batu, jahe merupakan tanaman yang
paling banyak ditanam yaitu sekitar 9.390 tanaman per triwulan pada tahun
2011 (Aditiyas et al., 2014). Untuk mendapatkan tanaman jahe dengan
kualitas yang baik, diperlukan syarat-syarat pertumbuhan tanaman jahe,
diantaranya : curah hujan yang cukup tinggi (antara 2.500-4.000 mm/tahun).
Suhu udara antara 20-35 oC, ditanam pada tanah yang banyak humus, dan
kadar keasaman tanah 4,3-7,4 (Harmono dan Andoko, 2005). Jahe dari
kota Batu memang belum ada yang meneliti, namun dari syarat
pertumbuhan jahe yang baik, lokasi, dan kontur tanah di Batu sangat
mendukung untuk tumbuhnya tanaman jahe berkualitas baik. Oleh karena
itu diharapkan ekstrak jahe (zingiberene) dari kota Batu dapat memberikan
efek terhadap muntah pada hiperemesis gravidrum.
5
1.3 Tujuan
Manfaat akademis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh
pemberian senyawa ekstrak jahe (zingiberene) terhadap
berkurangnya frekuensi dan tingkat keparahan mual, profil elektrolit
serum, dan pengurangan keton urin pada pasien hiperemesis
gravidarum
Manfaat Klinis
• Memberikan peluang untuk pengembangan penelitian lebih
lanjut memngenai senyawa ekstrak jahe (zingiberene)
terhadap mual pada hiperemesis gravidarum
6
• Memberikan peluang untuk pengembangan terapi dalam
upaya mengobatan hiperemesis gravidarum
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Awal mula dari muntah bervariasi dan mungkin oleh karena pergerakan,
kehamilan, kemoterapi, iritasi gaster atau penyebab pasca operasi. Saat
teraktivasi, muntah terjadi pada dua tingkat, perasaan ingin muntah dan
pengeluaran. Otot - otot berfungsi sebagai rangkaian kejadian muntah yang
terjadi pada pusat muntah, yang mungkin terjadi pada area pascarema dan
nukleus traktus solitarius. Obat-obatan yang menginduksi muntah termasuk
ipecacuanha, iritan gaster, dan apomorfin, obat dopamin agonis. Golongan
opioid juga merupakan penginduksi muntah, tetapi antagonis opioid tidak
berguna untuk mengobati mual dan muntah (Pleuvry, 2015).
2.1.1 Mual
2.1.2 Muntah
8
abdominal, yang diatur dengan otot - otot interkostal dan otot - otot faring
dan laring yang menutup dan mengangkat palatum molle. Otot anal
eksterna dan otot sfingter uretra berkontraksi, hal ini terdapat kontraksi
retrograde dari otot-otot usus dan fundus gaster mengalami relaksasi.
9
dan mungkin bekerjasama dengan 5HT pada traktus gastrointestinal atas
untuk menginduksi muntah. Reseptor agonis dari NK1 juga menginduksi
muntah melalui mekanisme pusat (Pleuvry, 2015).
Muntah juga bisa diinduksi oleh bahan kimia yang dibawa dalam darah
yang terdeteksi oleh zona induksi kemosensitif (ZIK) pada area pascarema
di lantai kaudal dari ventrikel empat. Pada studi hewan coba menunjukkan
bahwa area pascarema memiliki konsentrasi tinggi dari 5HT3, dopamin (D2)
dan reseptor opoid. Pada manusia, obat-obatan yang beraksi sebagai
agonis pada reseptor yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan
mual dan muntah. Sedangkan antagonis terhadap reseptor 5HT3 dan D2
merupakan agen antimuntah yang efektif, sedangkan opioid antagonis tidak
efektif (Pleuvry, 2015; Navari, 2009).
10
2.1.3 Faktor Metabolik dan Hormonal Sebagai Penyebab Hiperemesis
Gravidarum
11
hCG dan mual dan muntah pada populasi normal dan sakit. Setiap
bentukan isoformis hCG mempunyai paruh waktu sendiri dan potensi pada
hormon luteinisasi dan hormon tiroid, seperti thyroid stimulating hormone
(TSH). Bentukan isoformis tanpa mempunyai bagian carboxy-terminal
mempunyai paruh waktu yang lebih pendek tetapi mempunyai stimulasi
kuat terhadap hormon luteinisasi dan TSH. Sebaliknya, hormon hCG yang
mengalami hiperglikosilasi mempunyai paruh waktu yang lebih panjang dan
durasi yang lebih lama untuk bekerja. Perbedaan bentukan isoformis dari
hCG sepertinya disebabkan oleh faktor genetik atau perubahan lingkungan
jangka panjang yang bisa menjelaskan perbedaan pada insiden
hiperemesis gravidarum (HG). Pada variasi bentukan isoformis, mutasi
reseptor hCG juga menjelaskan beberapa keanekaragaman pada
hubungan mual muntah dalam kehamilan (MMK) dan hormon hCG (Lee
dan Saha, 2009; Goodwin, 2008, Jordan, et al., 1999).
12
daripada subjek kontrol setelah penyesuaian untuk usia kehamilan.
Hubungan antara hormon hCG dan MMK tidak konsisten dari studi. Sebuah
paparan dari 17 studi telah menunjukkan asosiasi positif antara MMK dan
estrogen hanya pada lima studi. Terlebih lagi, puncak kadar estrogen pada
trimester ketiga dalam kehamilan, sedangkan hiperemesis gravidarum
condong untuk mengalami perbaikan saat kehamilan usia tua (Lee dan
Saha, 2009; Goodwin, 2002; Verberg, et al., 2005).
13
dalam kehamilan. Studi yang dilakukan oleh Borgeat et al. (1997), namun,
tidak menunjukkan perbedaan kadar serotonin pada wanita hamil dengan
hiperemesis gravidarum, wanita hamil tidak bergejala, dan wanita tidak
hamil. Sebagai tambahan juga, penelitian acak terkontrol membandingkan
pengobatan serotonin antagonis 5HT3, ondansentron dan promethazine
tidak signifikan meredakan gejala (Lee dan Saha, 2009).
14
dan telah menemukan bahwa 95% dari pasien dengan hiperemesis
gravidarum didapatkan tes yang positif untuk bakteri H. pylori dibandingkan
pada kelompok kontrol 50%. Peneliti tersebut juga menemukan bahwa
densitas yang lebih besar dari bakteri H. pylori pada antrum gaster dan
korpus pada pasien hiperemesis gravidarum, hal ini menyarankan
hubungan memungkinkan antara densitas H. pylori derajat keparahan
dari gejala (Lee dan Saha, 2009).
15
Pengobatan mengeradikasi H. pylori pada mayoritas pasien, namun,
sampai saat ini tidak ada petunjuk untuk evaluasi atau pengobatan H. pylori
selama kehamilan sebagai pereda gejala hiperemesis gravidaru yang tidak
banyak diteliti. Laporan kasus dan kasus serial berpendapat bahwa
pengobatan dan eradikasi dari H. pylori dapat menurunkan gejala mual dan
muntah pada kehamilan dan harus dipikirkan mengapa pasien dengan
gejala yang parah. Studi yang lebih besar, namun, diperlukan untuk
menentukan jika dan kapan pengobatan harus dimulai saat kehamilan yang
terkait dengan keamanan obat. Penelitian sekarang menunjukkan bahwa
para ahli setelah melahirkan dan periode laktasi telah selesai, pasien harus
diberikan terapi tiga kombinasi obat selama 2 minggu (Lee dan Saha, 2009;
Nashaat dan Mansour, 2010; Koch dan Frissora, 2003).
16
(spm). Gangguan irama, baik peningkatan atau penurunan propagasi
gelombang lambat, berhubungan dengan mual. Dengan menggunakan
elastogastrografi (EGG), Koch et al. menunjukkan bahwa individu dengan
aktivitas gelombang lambat normal, cenderung tidak mengeluh mual
selama kehamilan. Sebaliknya, individu dengan tingkat gelombang yang
lebih tinggi atau lebih lambat lebih cenderung mengeluh mual. Demikian
pula Riezzo dkk. menemukan bahwa wanita hamil tanpa gejala mual dan
muntah pada saat rekaman EGG memiliki aktivitas myoelectrical 3 siklus
per menit yang normal. Mereka juga menemukan bahwa wanita hamil
dengan MMK memiliki aktivitas EGG yang lebih tidak stabil dibandingkan
dengan wanita setelah aborsi sukarela dan subjek kontrol pada wanita tidak
hamil. Mereka berspekulasi bahwa ini mungkin karena pemulihan pola
gelombang lambat lambung normal setelah aborsi setelah normalisasi
kadar estradiol dan progesteron (Lee dan Saha, 2009; Koch dan Frissora;
2003; Riezzo; 1992).
17
dengan tingkat tinggi dari progesteron Selain itu, pada akhir kehamilan,
kompresi dari rahim yang membesar dapat menyebabkan gejala.
Komposisi makanan juga dapat berperan sebagai patogen dalam NVP.
Jednak dkk. menunjukkan bahwa makanan dominan protein dikaitkan
dengan gejala yang menurun dan disritmia gelombang lambat yang
dikoreksi. Makanan dengan karbohidrat atau lemak dominan tidak
berpengaruh pada gejala atau disritmia gelombang lambat (Lee dan Saha,
2009; Jednak et al., 1992)
18
sebagai bumbu dan sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai penyakit
gastrointestinal terutama, seperti mual, muntah (emesis), diare, dan
dispepsia, serta juga beragam penyakit, termasuk radang sendi, nyeri otot,
dan demam. Sejarah penggunaan obat yang panjang dan mapan pada
manusia ini telah merangsang uji klinis yang sedang berlangsung untuk
menilai secara ilmiah keefektifan jahe sebagai terapi ajuvan atau sebagai
obat pelengkap dan alternatif (CAM) dalam sejumlah indikasi yang
berkaitan dengan mual dan muntah; Yang paling banyak dipelajari adalah
mual dan muntah pada kehamilan (NVP), mual dan muntah kemoterapi
(CINV), mual dan muntah pasca operasi, dan pada tingkat yang lebih
rendah, mabuk perjalanan. Jahe dianggap sebagai ramuan aman untuk
konsumsi manusia. Jahe muncul di Food and Drug Administration AS yang
umumnya dikenal sebagai daftar aman dan termasuk dalam farmakope di
banyak negara Barat. Kompendium Herbal Inggris mencantumkan jahe
sebagai obat untuk muntah dengan kehamilan bersamaan dengan indikasi
lainnya. Memang, kapsul jahe telah tersedia di Inggris selama lebih dari 40
tahun sebagai obat untuk mabuk perjalanan dan sebagai karminatif. Pada
tahun 2012, European Medicines Agency menerbitkan sebuah laporan
penilaian dari panitia produk obat herbal yang menjelaskan penggunaan
jahe dalam pencegahan mual dan muntah, menyimpulkan bahwa ada bukti
klinis yang masuk akal untuk efek menguntungkan rhizoma bubuk kering
pada sejumlah kondisi. Terkait mual dan muntah. Referat ini merangkum
perkembangan jahe sebagai antiemetik untuk NVP dan CINV dan juga akan
lebih fokus pada penilaian kritis terhadap berbagai persiapan dan
presentasi jahe yang tersedia untuk pasien dan posologi yang digunakan
(Lete dan Allué, 2016; Kaul et al., 2001; Committe on Herbal Medicinal
Products, 2011).
19
2.2.2 Profil Kimia Jahe
Jahe berutang pada senyawa fenolik. Pada rimpang segar, jenis utama
terdiri dari serangkaian alkanon fenolik homolog yang dikenal sebagai
gingerol dan turunannya seperti gingerdiol. Pokok dari senyawa ini adalah
[6]-gingerol dengan 8- dan 10-gingerol yang terjadi pada konsentrasi yang
lebih rendah. Jika diberi perlakuan panas atau alkali, bagaimanapun,
gingerols dikonversi menjadi seri yang sesuai dari homolog shogaol dengan
dehidrasi dan / atau senyawa zingerone (Connell, 1969; Connell &
Sutherland, 1969). Senyawa shogaol memiliki tingkat ketajaman yang lebih
besar dari pada gingerol (Wohlmuth, 2008).
2.2.2.1.1 Gingerol
20
Penemuan lebih lanjut pada oleoresin jahe menyebabkan Connell dan
Sutherland menyarankan bahwa meskipun shogaol dan zingerone telah
diisolasi dari oleoresin, keduanya merupakan artefak, atau pada unsur
rimpang jahe yang paling kecil sekalipun. Kehadiran shogaol dan zingerone
dalam jumlah yang mudah terdeteksi, menurut Connell dan Sutherland,
menunjukkan oleoresin yang terkena panas yang berlebihan dalam proses
ekstraksi (Wohlmuth, 2008; Connell dan Sutherland, 1969).
21
mengandung 120, 19 dan 24 μg per gram rimpang segar masing-masing [6]
-, [8] - dan [10] gingerol (sebagai Dan juga shogaols yang terbentuk dari
gingerol selama pemrosesan) (Bartley, 1995). Variasi yang cukup banyak
pada konsentrasi gingerol di seluruh studi mungkin mencerminkan
perbedaan genetik atau lingkungan, serta pendekatan metodologis variabel,
atau kombinasi dari keduanya. Karena jahe adalah kultigen steril dengan
sejarah kultivasi yang sangat panjang di berbagai belahan dunia,
perbedaan genetik antara klon cenderung menjadi penentu penting variasi
metabolit sekunder.
22
2.2.2.3 Senyawa Volatil Jahe
Konstituen lain dari minyak esensial jahe yang dilaporkan secara luas
meliputi a-pinene, camphene, 6-methyl-5-hepten-2-one, myrcene, α- dan β-
phellandrene, limonene, 1,8-cineole, linalool, borneol, α- Terpineol,
sitronelol, neral, geraniol, geranial, bornyl asetat, 2-undecanone, sitronelat
asetat, α-copaena dan geranyl asetat (Lawrence, 1995b; Lawrence, 1997;
Lawrence, 2000).
23
(uap yang diekstraksi) terutama terdiri dari Hidrokarbon sequiterpene,
terutama zingiberol, yang menimbulkan aroma khas jahe. Fitokimia fenolik
non-volatil jahe terdiri dari gingerols, shogaols, paradols, dan zingerone,
dan lebih dari 30 senyawa yang mengandung jahe dapat difraksinasi dari
jahe mentah. Gingerol sesuai dengan serangkaian homolog kimia yang
dibedakan oleh rantai rantai alkilnya yang tidak bercabang (n6-n12). Dari
semua gingerol, 6-gingerol adalah fitokimia jahe yang paling banyak dan
telah diteliti dengan baik (Lete dan Allué, 2016; Farnsworth, Fong, dan
Mahady, 1999; Govindarajan, 1982; Jiang, Solyom, Timmermann, dan
Gang, 2005).
Meskipun cara kerja jahe yang tepat dalam kaitannya dengan sifat
antiemetiknya masih belum terbongkar, tiga penelitian terbaru telah meneliti
tindakan jahe pada serotonin (5-hydroxytryptamine, 5HT3, dan 5HT4) dan
kolinergik (M3) reseptor kegiatan. Mengacu pada bukti bahwa obat
24
kemoterapi yang bersifat emetogenik meningkatkan konsentrasi 5HT dan
mengaktifkan aktivitas saraf aferen vagal viseral, Jin dkk menggunakan
metode penjepit tempel untuk mempelajari efek jahe dan konstituennya
yang tajam pada arus masuk ke-5HT pada nodus tikus. Ganglia neuron
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6-shogaol, 6-gingerol, dan zingerone
dapat menghambat respon 5HT dengan cara yang bergantung pada
konsentrasi, dengan 6-shogaol menunjukkan potensi terbesar. Selanjutnya,
penghambatan aktivitas 5HT terjadi secara tidak kompetitif. Dengan
menggunakan pendekatan metodologis yang berbeda (tes masuk kalsium
dan uji radioligand), Walstab et al. Menggunakan ekspresi heterolog untuk
menunjukkan, untuk pertama kalinya, efek penghambatan 6-shogaol dan 6-
gingeral pada reseptor 5HT3 rekombinan manusia dan juga reseptor asli
dari neuron enterik usus manusia. Penghambatan ini ternyata tidak
kompetitif karena antagonis reseptor 5HT3, GR65630, tidak dipindahkan
oleh ekstrak jahe. Menariknya, kedua penelitian tersebut mengemukakan
bahwa sejak pengikatan jahe ke reseptor 5HT terjadi di tempat lain selain
situs pengikat ortosterik antagonis 5HT yang kompetitif, terapi kombinasi
dengan antagonis 5HT farmasi yang diketahui dapat meningkatkan
keefektifan antiemetik. Selain itu, menggunakan bioassay untuk reseptor
kontraktil (M) 3 (marmot ileum), Pertz et al. menunjukkan bahwa 6-, 8-, dan
10-gingerol dan 6-shogaol dapat sedikit berefek tetapi secara signifikan
menekan kontraksi terinduksi karbakol. Secara kolektif, penelitian ini
memberikan bukti molekuler bahwa jahe memiliki sifat antagonistik aktivasi
reseptor (M) 3 dan 5HT3, sehingga menghambat masukan aferen ke sistem
saraf pusat yang distimulasi oleh neurotransmiter tertentu, seperti serotonin,
dilepaskan dari saluran pencernaan. Jahe juga telah dipelajari secara
ekstensif secara in vitro dan pada model hewan hipertensi, stres oksidatif,
infeksi jamur, dan kanker; Oleh karena itu, jahe telah diteliti dalam
25
pengobatan berbagai penyakit, termasuk kanker, osteoarthritis, dan
diabetes (Lete dan Allué, 2016; Jin, et al., 2014; Walstab, et al., 2013; Pertz,
Lehmann, Roth-Ehrang, dan Elz, 2011).
Upaya untuk menilai keefektifan jahe dalam banyak uji klinis mungkin
telah dilemahkan oleh inkonsistensi dalam bentuk jahe yang digunakan
(segar atau kering) dan juga regimen pemberian dosis. Dari 12 penelitian
yang ditinjau dalam meta-analisis terbaru tentang penggunaan jahe pada
MMK, berbagai persiapan dijelaskan, termasuk biskuit jahe, kapsul bubuk
jahe, kapsul sari jahe, kapsul ekstrak jahe, dan sirup jahe di air. Juga, dosis
harian bervariasi dari 600 sampai 2500 mg. Demikian pula, dalam tinjauan
sistematis baru-baru ini mengenai penggunaan jahe di CINV
26
(Chemotherapy-induced Nausea and Vomiting), regimen dosis khas adalah
1-2 g jahe (Lete dan Allué, 2016; Viljoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014;
Marx, et al., 2013).
27
penelitian ini, Beberapa penulis telah memilih untuk menggunakan kapsul
ekstrak jahe yang disiapkan secara komersial yang telah distandarisasi
mengandung 5% gingerol (mengacu pada kekuatan total jahe), yang setara
dengan 15 mg bahan aktif per ekstrak jahe 300 mg dan merupakan jumlah
yang digunakan dalam beberapa percobaan klinis sebelumnya (Lete dan
Allué, 2016; Schwertner, Rios, dan Pascoe, 2006; Marx, et al., 2014).
28
aman 1000 mg, setidaknya pada sindroma MMK. Dengan demikian, 7 dari
12 studi yang dijelaskan dalam Viljoen dkk. Meta-analisis menggunakan
jumlah akhir ini, dan analisis subkelompok dalam laporan ini lebih menyukai
dosis harian lebih rendah <1500 mg untuk mual. Sebagai demonstrasi, Ding
dkk. telah menghitung bahwa 1000 mg setara dengan satu sendok teh (5 g)
ekstrak jahe yang baru diparut, 2 mL ekstrak jahe cair, empat cangkir (237
mL masing-masing) teh jahe kemasan, dua sendok teh sirup jahe (10 mL),
atau dua potongan jahe yang mengkristal. Monografi Obat-obatan Badan
Eropa menyebutkan dosis berikut yang paling sering digunakan (sampai
Juni 2010): MMK 500 mg tiga kali sehari selama tiga sampai lima hari, mual
pasca operasi dan muntah 1000 mg selama satu jam sebelum induksi
anestesi, dan penyakit perjalanan 1000 mg untuk satu jam sebelum
memulai perjalanan. Administrasi Makanan dan Obat Amerika Serikat
umumnya diakui sebagai daftar aman menyatakan bahwa sampai 4 g jahe
dapat dikonsumsi setiap hari, walaupun jumlah ini pada umumnya tidak
terjangkau dalam penelitian. Memang, ilustrasi oleh Ding dkk. berfungsi
untuk menarik pasien dengan mudah melebihi dosis harian maksimal
berdasarkan jenis jahe yang dikonsumsi. Menariknya, regimen ini sering
mempertimbangkan penggunaan profilaksis jahe untuk menunda emesis
akut, yang mungkin bekerja dengan cara yang terkait dengan priming
receptor. Memang, perawatan yang berhasil untuk CINV (Chemotherapy-
Induced Nausea and Vomiting) telah terbukti sebagai pengobatan sebelum
kemoterapi dimulai (Lete dan Allué, 2016; Mazzotta dan Magee, 2000;
Vutyavanich, Kraisarin, dan Ruangsri, 2001; Ozgoli, Goli, dan Simbar, 2009;
Viljoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014; Ding, Leach, dan Bradley, 2013;
Herrstedt dan Dombernowsky, 2007).
29
kehamilan. Diperkirakan bahwa 80% wanita memiliki MMK pada tingkat
tertentu selama trimester pertama kehamilan, dan untuk sebagian besar
wanita, gejala biasanya diatasi pada usia kehamilan 12-14 minggu. Secara
umum dikenal sebagai morning sickness, istilah ini jelas merupakan keliru,
karena gejala bisa terjadi kapan saja. Dalam persentase kecil kehamilan
(0,2% -5%), mual dan muntah yang terus-menerus dan berlebihan
menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan
berat badan (disebut Hyperemesis gravidarum) dapat terjadi dan
merupakan penyebab utama penerimaan rumah sakit selama paruh
pertama Kehamilan. Terbukti, kondisi yang sering melemahkan ini dapat
berdampak signifikan terhadap kualitas kehidupan seorang wanita, baik
secara pribadi maupun profesional, dan dapat secara emosional traumatis.
Penyebab pasti MMK tetap tidak jelas dan mungkin tergantung pada
beberapa faktor. Di antaranya, etiologi yang umum diterima dianggap
berasal dari perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan, seperti
peningkatan serum human chorionic gonadotrophin, estrogen, dan juga
infeksi Helicobacter pylori (Lete dan Allué, 2016; Vellacot, Cooke, dan
James, 1988; Lacroix, Eason, dan Melzack, 2000; Gadsby, Barnie-Adshead,
dan Jagger, 1993; McCarthy, Lutomski, dan Greene, 2014; Lee dan Saha,
2011; Davis, 2004; Verberg, Gillot, Al-Fardan, Grudzinskas, 2005).
Beberapa obat saat ini tersedia untuk pengobatan MMK. Emesis dapat
diobati dengan obat yang dikenal sebagai antiemetik, terutama antagonis
reseptor serotonin (5HT3). Namun, banyak wanita berhati-hati terhadap
obat-obatan karena takut melukai janin, terutama mengingat MMK biasanya
terjadi selama masa organisme organogenesis yang rentan. Oleh karena
itu, popularitas terapi komplementer, termasuk obat-obatan
nonfarmakologis dan ekstrak herbal, telah berkembang pesat dalam
beberapa tahun terakhir, dan penggunaan terapi komplementer yang tinggi
30
selama kehamilan telah dicatat. Sebuah studi multi-nasional baru-baru ini
tentang prevalensi penggunaan jamu pada kehamilan menemukan bahwa
lebih dari 28% wanita yang berpartisipasi menggunakan herbal (2735/9459).
Dari 134 jenis ramuan yang berbeda, jahe dan cranberry menyumbang
sebagian besar herbal (23,5% dan 22,7%), dengan pilihan valerian dan
raspberry juga populer (Lete dan Allué, 2016; Kore, dan Levichek, 2002;
Mathhews, Haas, OMathuna, Dowswell, dan Doyle, 2014).
31
pilihan nonfarmakologis yang efektif untuk MMK dan lebih baik daripada
plasebo. Dalam tinjauan sistematis kedua dan metaanalisis, Viljoen dkk.
Mempelajari keefektifan pemberian jahe oral sebagai pengobatan untuk
MMK pada ibu hamil pada setiap tahap kehamilan dan meninjau penelitian
acak dari tahun 1991 sampai 2011. Dari 302 catatan yang diidentifikasi
melalui pencarian database, 12 penelitian memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh penulis, yang melibatkan 1278 wanita hamil. Dan termasuk
enam studi yang ditinjau oleh Thomson dkk. Enam studi tambahan
menggunakan kapsul jahe dengan dosis berbeda: 125 mg empat kali sehari,
200 mg tiga kali sehari, 325 mg (X 2) tiga kali sehari, dan 500 mg dua kali
atau tiga kali sehari. Jahe versus plasebo dinilai dalam 7 dari 12 penelitian.
Hasil individu dari ketujuh penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jahe
lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi intensitas MMK pada
umumnya; Namun, hanya tiga dari tujuh penelitian yang menyimpulkan
bahwa jahe lebih efektif dalam mengurangi jumlah episode muntah
(walaupun ada kecenderungan untuk perbaikan) (Lete dan Allué, 2016;
Viljoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014; Kaul dan Joshi, 2001; Willetts,
Ekangaki, dan Eden, 2003; Mohammadbeigi et al., 2011; Chittumma,
Kaewkiattikun, dan Wiriyasiriwach, 2007; Pongrojpaw, Somprasit, dan
Chanthasenanont, 2007; Ensiyeh dan Sakineh, 2009).
Dalam empat penelitian yang menilai suplemen jahe versus vitamin B6,
pengobatan lini pertama yang umum untuk mual, tiga penelitian melaporkan
tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut, dan satu penelitian
menunjukkan bahwa jahe secara signifikan meningkatkan gejala mual dan
muntah. Selain meta-analisis ini, sebuah studi yang baru diterbitkan juga
menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok jahe (47
pasien diobati dengan 250 mg jahe empat kali sehari) dan kelompok vitamin
B6 (40 mg dua kali sehari). Satu studi menilai khasiat jahe terhadap obat
32
anti histamin dimenhydrinate dan menemukan jahe sama efektifnya,
dengan efek samping yang lebih sedikit (Lete dan Allué, 2016; Pongrojpaw,
Somprasit, dan Chanthasenanont, 2007; Ensiyeh dan Sakineh, 2009).
si
(hari)
Fischer- 250 mg kapsul bubuk jahe Plasebo 4 Jahe lebih signifikan efektif daripada
1991
Vutyavanich, 250 mg kapsul bubuk jahe Plasebo 4 Jahe lebih signifikan efektif daripada
Keating, 2002 250 mg jahe sirup (4x1) Plasebo 14 Jahe lebih efektif daripada plasebo
Sripamote, 2003 500 mg kapsul bubuk jahe 10 mg 3 Jahe dan vitamin B6 keduanya
33
Willets, 2003 125 mg kasul jahe ekstrak Plasebo 4 Jahe lebih efektif daripada plasebo
Smith, 2004 350 mg kapsul jahe (3x1) 25 mg 21 Jahe ekuivalen dengan vitamin B6
vitamin B6 x
2 (3x1)
Chittuma, 2007 325 mg kapsul X 2 jahe 12,5 mg 21 Jahe mempunyai efek ekuivalen
dimenhidrin
at (2x1)
Ensiyeh dan 500 mg kapsul bubuk jahe 20 mg 4 Jahe lebih efektif daripada vitamin
vitamin
B6( 2x1)
Ozgoli, 2009 250 mg kapsul bubuk jahe Plasebo 4 Jahe signifikan lebih efekif daripada
(4x1) plasebo
Basirat, 2009 500 mg biskuit jahe (5x1) Plasebo 4 Jahe signifikan lebih efektif daripada
Mohammadbeigi, 200 mg kapsul sari jahe -Plasebo 5 Jahe kurang efektif daripada
34
metoclopra perbedaannya tidak signifikan
mide (3x1)
Haji Seid Javadi, 250 mg kapsul jahe (4x1) 40 mg 4 Jahe ekuivalen dengan vitamin B6
vitamin B6
(2x1)
Efek samping setelah konsumsi jahe jarang terjadi tapi bisa termasuk
komplikasi gastrointestinal ringan, seperti pirosis (heartburn atau reflux) dan
eruktasi (bersendawa). Dalam sebuah studi terhadap 27 sukarelawan sehat
yang diberi satu dosis oral jahe (berkisar antara 100 mg sampai 2 g),
gangguan saluran cerna ringan adalah toksisitas pengobatan utama yang
terkait. Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jahe dapat
mengganggu agregasi trombosit dan menyebabkan pendarahan yang
berlebihan, dalam penelitian crossover acak terhadap 12 sukarelawan
sehat yang mengkonsumsi 1,2 g rimpang atau rizoma kering tiga kali sehari
selama dua minggu, jahe tidak mempengaruhi agregasi trombosit dan tidak
berpengaruh pada farmakokinetik atau farmakodinamik dosis warfarin 25
mg tunggal yang diambil pada hari ke 7. Dari catatan, meta-analisis MMK
oleh Viljoen dkk juga mengkaji keselamatan jahe sebagai tujuan sekunder.
Para penulis menemukan bahwa jahe memang "[tidak] menimbulkan risiko
efek samping atau efek samping selama kehamilan” (Lete dan Allué, 2016;
Arfeen, et al., 1995; Smith, et al, 2004; Jiang, et al., 2005; Heitmann,
Nordeng, dan Holst, 2013)
35
prospektif pertama, hasil kehamilan 187 wanita dari Toronto yang terpapar
jahe pada trimester pertama kehamilan dibandingkan dengan wanita yang
pernah terkena obat nonteratogenik yang bukan antiemetik. Tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok dalam
hal kelahiran hidup, aborsi spontan, aborsi terapeutik, berat lahir, atau usia
kehamilan. Studi kohort berbasis populasi yang lebih baru dan lebih besar
di Norwegia (68.522 wanita) menemukan bahwa penggunaan jahe selama
kehamilan (1020 wanita, 1,5%) tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko
malformasi bawaan, kelahiran lahir / perinatal, kelahiran rendah Berat
badan, atau kelahiran prematur (Lete dan Allué, 2016; Heitmann, Nordeng,
dan Holst, 2013).
36
BAB III
Tingginya Tingginya
β hCG Progesteron
Pelepasan 5HT
Menempel pada
reseptor 5HT3
Mual / muntah
37
3.2 Kerangka Konsep
Impuls muntah
- β hCG
- Progesteron
Pelepasan 5HT
Zingiberene
Menempel pada
reseptor 5HT3
Profil elektrolit
Ketosis
serum
Keton urin
Keterangan:
: Variabel yang tidak diteliti
: Variabel yang diteliti
Pada ibu hamil dengan kehamilan muda (kurang dari 16 minggu) terjadi
peningkatan kadar hCG yang diduga dapat menyebabkan sensitisasi pada
zona induksi kemosensitif pada area pascarena di batang otak. Sensitisasi
tersebut menyebabkan dilepaskannya serotonin (5HT) yang kemudian
akan berikatan pada reseptor 5HT3 sehingga menyebabkan inisiasi
38
terjadinya mual dan muntah. Mual dan muntah akan terjadi terus menerus
sehingga frekuaensi muntah akan bertambah dan keparahan muntah juga
akan meningkat. Akibat hal tersebut akan terjadi ketidak seimbangan
elektrolit serum dan ketosis. Ketosis yang meningkat akan menyebabkan
diekskresikannya keton melalui urin sehingga terjadi adanya keton pada
urin. Ekstrak jahe yang diberikan terdapat zat aktif yaitu zingiberene yang
dapat berikatan pada reseptor 5HT3 sehingga 5HT yang banyak dilepaskan
tidak dapat berikatan dengan reseptor 5HT3 sehingga akan mengurangi
mual dan muntah, menyeimbangkan elektrolit serum, dan mengurangi
ketosis.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
40
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
41
Kekuatan uji: 1 – 𝛽 = 80% 𝛽 = 20% Z𝛽 = 1,282 (2 pihak)
𝑛 = 10,74 ≈ 11
Dari perhitungan menggunakan rumus tersebut maka jumlah minimum
sampel yang ditetapkan pada penelitian ini untuk setiap kelompok adalah
11 orang.
4.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Ibu hamil dengan keluhan mual dan muntah yang terjadi pada
kehamilan dini hingga usia kehamilan 16 minggu
Ibu hamil dengan gejala muntah yang berat dan disertai dengan
dehidrasi, gangguan elektrolit, dan ketosis
Ibu hamil dengan keluhan mual dan muntah dengan usia kehamulan >
16 minggu
Ibu hamil dengan keluhan mual muntah tanpa disertai dehidrasi,
gangguan elektrolit, dan ketosis
42
Ibu hamil dengan keluhan mual dan muntah akibat penyakit lain yang
telah diketahui sejak sebelum hamil
Format kuisioner
Kuisioner digunakan untuk mendapatkan informasi dari responden
berdasarkan karakteristik yang dimilikinya melalui wawancara
terstruktur
Pemeriksaan serum elektrolit dan keton urin laboratorium
Peralatan Penelitian :
Alat tulis
Tabung darah untuk pemeriksaan serum elektrolit
Tabung sampel urin
43
4.7 Definisi Operasional
44
membersihkan jahe dari kotoran, kemudian diiris tipis dan
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Jahe kering lalu
dihaluskan hingga menjadi bubuk dengan ukuran 40 mesh dan dan
dikemas dalam kapsul dengan dosis 250 mg, 500 mg dan 1000 mg.
Analisis data
Hasil penelitian
Kesimpulan
45
SPSS 16 for Windows. Sebelum dilakukan analisa data, data diuji
normalitas dan homogenitasnya. Apabila data normal dan homogen, data
tersebut diuji menggunakan analisa parametrik. Apabila data tidak normal
dan tidak homogen, data tersebut diuji menggunakan analisa non-
parametrik.
Untuk menguji data sampel apakah terdistribusi normal atau tidak, akan
digunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Kriteria keputusan
apakah data terdistribusi normal atau tidak, dapat dilihat dari nilai peluang
empirik atau p-value yang dibandingkan dengan taraf signifikansi α=0.05.
Jika peluang p-value pada uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan nilai lebih besar dari taraf signifikansi α=0.05, maka
disimpulkan bahwa data terdistribusi normal. Sedangkan bila Sig p-value
pada uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov kurang dari α=0.05, maka
disimpulkan data tidak terdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji asosiasi untuk menguji ada atau tidak adanya
tingkat keeratan hubungan dua variabel terukur (minimal berskala interval).
46
Dalam penelitian ini digunakan uji asosiasi Pearson jika data terdistribusi
normal, tetapi jika tidak maka digunakan uji Spearman's rho. Jika nilai
p<0,05 menunjukkan ada asosiasi yang bermakna antar dua variabel.
Selanjutnya tingkat keeratan hubungan (koefisien korelasi / KK) dapat
diartikan ke dalam tujuh tingkatan (Hasan, 2012) sebagai berikut:
KK = 0, tidak ada korelasi.
0 < KK ≤ 0.20, korelasi sangat rendah/lemah tapi pasti.
0.20 < KK ≤ 0.40, korelasi rendah/lemah tapi pasti.
0.40 < KK ≤ 0.70, korelasi yang cukup berarti.
0.70 < KK ≤ 0.90, korelasi yang tinggi; kuat.
0.90 < KK < 1.00, korelasi sangat tinggi; kuat sekali, dapat diandalkan
47
DAFTAR PUSTAKA
Aditiyan, W, Haji, ATS, Rahadi, JB. Spasial Analisis For Evaluation Of Apple’s Land
Suitability In Batu City – East Java. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
2014;1:1-7.
Ali BH, Blunden G, Tanira MO, Nemmar A. Some phytochemical, pharmacological and
toxicological properties of ginger (Zingiber officinale Roscoe): a review of recent
research. Food Chem Toxicol. 2008;46(2):409–20.
Dahlan MS. 2009. Besar Sampel dan Pengambilan Sampel, dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Ding M, Leach M, Bradley H. The effectiveness and safety of ginger for pregnancy-
induced nausea and vomiting: a systematic review. Women Birth. 2013;26(1):e26–
30.
48
Ensiyeh J, Sakineh MA. Comparing ginger and vitamin B6 for the treatment of nausea
and vomiting in pregnancy: a randomised controlled trial. Midwifery.
2009;25(6):649–53.
Farnsworth RF, Fong HHS, Mahady GB. WHO Monographs on Selected Medicinal
Plants. Volume 1. Geneva, Switzerland: WHO Publications; 1999. Rhizoma
Zingiberis.
Govindarajan VS. Ginger-chemistry, technology and quality evaluation: part-1. Crit Rev
Food Sci Nut. 1982;17(1):1–96.
Hall HR, Jolly K. Women’s use of complementary and alternative medicines during
pregnancy: a cross-sectional study. Midwifery. 2014;30(5):499–505.
Harmono dan Andoko, A. 2005. Budidaya dan Peluang Bisnis Jahe. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Heitmann K, Nordeng H, Holst L. Safety of ginger use in pregnancy: results from a large
population-based cohort study. Eur J Clin Pharmacol. 2013;69(2):269–77.
Hu ML, Rayner CK, Wu KL, et al. Effect of ginger on gastric motility and symptoms of
functional dyspepsia. World J Gastroenterol. 2011;17(1):105–10.
Jiang X, Williams KM, Liauw WS, et al. Effect of ginkgo and ginger on the
pharmacokinetics and pharmacodynamics of warfarin in healthy subjects. Bri J Clin
Pharmacol. 2005;59(4):425–32.
49
Jin Z, Lee G, Kim S, Park CS, Park YS, Jin YH. Ginger and its pungent constituents
non-competitively inhibit serotonin currents on visceral afferent neurons. Korean J
Physiol Pharmacol. 2014;18(2):149–53.
Kaul PN, Joshi BS. Alternative medicine: herbal drugs and their critical appraisal–part
II. Prog Drug Res. 2001;57:1–75.
Keating A, Chez RA. Ginger syrup as an antiemetic in early pregnancy. Altern Ther
Health Med. 2002;8(5):89–91.
Koren G, Levichek Z. The teratogenicity of drugs for nausea and pregnancy: perceived
versus true risk. Am J Obstet Gynecol. 2002;186(suppl 5):S248–52.
Lee NM, Saha S. Nausea and vomiting of pregnancy. Gastroenterol Clin North Am.
2011;40(2):309–34.
Li Y, Tran VH, Duke CC, Roufogalis BD. Preventative and protective properties of
Zingiber oficinale (Ginger) in diabetes mellitus, diabetic complications and
associated lipid and other metabolic disorders: a brief review. Evid Based
Complement Alternat Med. 2012;2012:516870.
Matthews A, Haas DM, O’Mathúna DP, Dowswell T, Doyle M. Interventions for nausea
and vomiting in early pregnancy. Cochrane Database Syst Rev. 2014;3:CD007575.
Niemeijer MN, Grooten IJ, Vos N, et al. Diagnostic markers for Hyperemesis
gravidarum: a systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol.
2014;211(2):150.e1–15.
50
Ozgoli G, Goli M, Simbar M. Effects of ginger capsules on pregnancy, nausea, and
vomiting. J Altern Complement Med. 2009;15(3):243–6.
Palatty PL, Haniadka R, Valder B, Arora R, Baliga MS. Ginger in the prevention of
nausea and vomiting: a review. Crit Rev in Food Sci Nutr. 2013;53(7):659–69.
Schwertner HA, Rios DC, Pascoe JE. Variation in concentration and labeling of ginger
root dietary supplements. Obstet Gynecol. 2006;107(6):1337–43
Solimun. 2001. Diklat Metodologi Penelitian LKIP dan PKM Kelompok Agrokompleks.
Malang: Universitas Brawijaya.
Stanisiere J, Mousset P, Lafay S. How Safe Is Ginger Rhizome for Decreasing Nausea
and Vomiting in Women during Early Pregnancy. Foods. 2018; 7 (50): 1-29
Thomson M, Corbin R, Leung L. Effects of ginger for nausea and vomiting in early
pregnancy: a meta-analysis. J Am Board Fam Med. 2014;27(1):115–22.
51
Tunsirikongkon A, Kraisit P, Seubsasana S, Itharat A, Sarisuta N. Formulation
development of herbal capsule containing oleoresisn of Zingiber officinale extract.
Int J Pharmacy Pharm Sci. 2013;5(4):439–45.
Vellacott ID, Cooke EJ, James CE. Nausea and vomiting in early pregnancy. Int J
Gynaecol Obstet. 1988;27(1):57–62.
Walstab J, Krüger D, Stark T, et al. Ginger and its pungent constituents non-
competitively inhibit activation of human recombinant and native 5-HT3 receptors
of enteric neurons. Neurogastroenterol Motil. 2013;25(5):439–47.
Zick SM, Djuric Z, Ruffin MT, et al. Pharmacokinetics of 6-gingerol, 8-gingerol, 10-
gingerol, and 6-shogaol and conjugate metabolites in healthy human subjects.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2008;17(8):1930–6.
Zick SM, Ruffin MT, Lee J, et al. Phase II trial of encapsulated ginger as a treatment
for chemotherapy-induced nausea and vomiting. Support Care Can.
2009;17(5):563–72.
52