Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mual dan muntah merupakan sesuatu hal yang umum terjadi pada
kehamilan, keluhan ini didapatkan pada 70 - 80 % dari semua ibu hamil.
Meskipun kebanyakan perempuan dengan mual dan muntah pada
kehamilan (MMK) mempunyai gejala yang terbatas pada trimester pertama,
hal ini juga ditemukan pada persentase kecil menyebabkan gejala yang
memanjang sampai waktu bersalin. Wanita dengan gejala mual dan muntah
berat selama kehamilan mungkin mempunyai sindroma hiperemesis
gravidarum, sebuah istilah yang berbeda dengan MMK, jika tidak diobati
dengan benar maka akan menyebabkan resiko dan morbiditas fetomaternal
(Noel dan Sumona, 2011).

Sebanyak 80% kehamilan normal dapat terjadi mual dan muntah.


Hiperemesis gravidarum dapat mengakibatkan dehidrasi dan ketonuria,
merupakan keadaan yang paling parah dan berpotensi mengancam nyawa
yang dapat terjadi sampai 1,5% kehamilan. Pengobatan suportif dengan
rehidrasi intravena, antiemesis, dan koreksi defisiensi vitamin, serta
pengobatan komplementer dapat mengurangi komplikasi hiperemesis
gravidarum. Terdapat data yang aman pada penggunaan antihistamine,
fenotiazine, dan metoklopramide pada hiperemesis gravidarum. Di sisi lain,
penggunaan pengobatan komplementer seperti jahe, dapat meredakan
gejala MMK yang telah diperkenalkan oleh para peneliti akhir-akhir ini.
Pencegahan komplikasi hiperemesis gravidarum merupakan hal yang
disarankan, oleh karena komplikasi serius dapat terjadi seperti
ensepafalopati wernicke, sindroma demielinisasi osmotik dan

1
tromboembolisme (Bottomley dan Bourne, 2009).

Hiperemesis gravidarum didefinisikan sebagai mual dan muntah dalam


kehamilan, biasanya terjadi pada trimester awal, menyebabkan dehidrasi
dan ketonuria berat sehingga harus menjalani rawat inap dan
membutuhkan terapi intravena. Sebanyak 80% wanita mengalami mual
atau muntah pada kehamilan awal (MMK), tetapi hiperemesis gravidarum
hanya mengenai sebanyak 0,3 - 1,5%. Gejala biasanya bermula antara
minggu ke- 5 dan ke-10 gestasi dan kebanyakan kasus terselesaikan pada
kehamilan 20 minggu. Namun, sampai jumlah 10% wanita akan berlanjut
untuk muntah sepanjang kehamilan. Angka masuk rumah sakit untuk
hiperemesis gravidarum turun dari usia kehamilan 8 minggu ke atas (Bashiri
et al., 1995; Bailit, 2005; Tsang, Katz, dan Wells, 1996; Fell, Dodds, dan
Joseph, 2006). Hiperemesis gravidarum (HG) adalah kondisi mual dan
muntah parah selama kehamilan yang menyebabkan ketidakseimbangan
cairan, elektrolit, defisiensi nutrisi dan penurunan berat badan. Beberapa
orang telah mendefinisikannya sebagai kejadian lebih dari tiga episode
muntah per hari disertai ketonuria dan penurunan berat badan lebih dari 3
kg atau 5% dari berat badan. HG adalah alasan paling umum untuk rawat
inap di awal kehamilan dan kedua setelah persalinan prematur selama
seluruh kehamilan. Di Amerika Serikat, lebih dari 36.000 wanita dirawat di
rumah sakit setiap tahun karena HG, dan biaya perawatan diperkirakan
lebih dari 250 juta dolar setiap tahun untuk dirawat di rumah sakit saja. Tidak
seperti MMK yang terkait dengan janin yang baik, HG memiliki risiko
kesehatan yang signifikan bagi ibu dan janin (Lee dan Saha, 2009; Jiang et
al., 2002).

Meskipun penggunaan istilah "morning sickness" MMK yang umum


terjadi terus berlanjut sepanjang hari di sebagian besar wanita yang terkena
dampak dan telah ditemukan terbatas pada pagi berjumlah kurang dari 2%

2
wanita. Hal ini sering dimulai dalam beberapa minggu setelah menstruasi
yang hilang dan dengan demikian tergambar di sebagian besar budaya
sebagai tanda awal kehamilan. Gejala biasanya puncak antara 10 dan 16
minggu kehamilan dan biasanya sembuh setelah 20 minggu. Sampai 10%
wanita, bagaimanapun, terus menjadi gejala di luar 22 minggu (Lee dan
Saha, 2009).

Beban fisik dan psikis dari hiperemesis gravidarum tinggi pada kondisi
di banyak kasus, tidak hanya membutuhkan rawat inap untuk pengobatan
tetapi dapat menghasilkan sekuel termasuk jejas hepar, jejas sistem saraf
pusat, dan kerusakan ginjal, dan menyebabkan terganggunya
kesejahteraan wanita, dan keluarga (Bottomley dan Bourne, 2009).

Jahe merupakan tumbuhan obat tradisional yang telah digunakan oleh


banyak wanita yang mengalami mual dan muntah pada kehamilan (MMK).
Jahe merupakan obat herbal yang kuat yang beraksi secara farmakologis
dan mempunyai indikasi spesifik, kontraindikasi, tingkat kewaspadaan dan
efek samping, yang paling dicatat sebagai antikoagulan. Terdapat banyak
para praktisi kesehatan, menyarankan wanita pada kehamilan awal tentang
strategi untuk pengobatan, dimana harus sadar mengetahui resiko dan
manfaat dari jahe untuk menyediakan informasi yang komprehensif dan
aman untuk ibu hamil (Tiran, 2011).

Tumbuhan rizoma dari jahe dengan nama ilmiah Zingiber officianale


telah digunakan sebagai terapi tradisional sejak lama untuk keluhan
gastrointestinal. Bahan paling aktif dari jahe adalah memiliki bahan yang
kuat dari segi bau dan rasa, terutama gingerol dan shogaol. Berbagai studi
preklinis dan klinis telah mengevaluasi bahwa jahe merupakan terapi efektif
dan aman untuk mual dan muntah dalam kehamilan (MMK) dan sebagai
terapi adjuvan dari mual yang diinduksi oleh kemoterapi. Sehingga, dalam

3
referat ini membahas profil farmakologi dari jahe dalam penanganan mual
dan muntah dalam kehamilan (Lete dan Allué, 2016).

Tumbuhan jahe, untuk golongan famili Zingiberaceae, telah digunakan


sebagai bahan masakan oleh keluarga benua Asia, dan sebagai bahan obat
pada negara China, India, dan adat timur lainnya. Namun, jahe sebagai
agen terapeutik tidak harus dipikirkan juga sebagai bantuan nutrisi; jahe
merupakan herbal yang kuat yang layak mendapatkan pengakuan dari
bahan aktif farmakologis lainnya (Tiran, 2011). Minyak jahe yang disuling
dari bahan kering dicirikan oleh sejumlah besar hidrokarbon seskuiterpen
dan sejumlah kecil hidrokarbon monoterpena dan senyawa beroksigen
(Govindarajan, 1982). Hidrokarbon seskuiterpen mayor adalah zingiberene,
ar-curcumene, β-bisabolene, (-) β-sesquiphellandrene dan (E, E) -α-
farnesene (Lawrence, 1995). Pada penelitian yang dilakukan oleh Yang et
al. (2009) menunjukan bahwa senyawa zingiberene merupakan senyawa
terbanyak pada jahe yaitu 35-53%.

Pengobatan menurut panduan Kementerian Kesehatan tahun 2013


menyarankan bahwa pengobatan menggunakan vitamin B6 untuk
meredakan mual dan muntah pada kehamilan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ensiyeh dan Sakineh tahun 2007 mengenai perbandingan
pengobatan jahe dengan vitamin B6 menjelaskan bahwa terdapat efek yang
signifikan pada pengobatan dengan menggunakan jahe. Penelitian tersebut
juga menjelaskan bahwa episode muntah menunjukkan penurunan pada
kehamilan dengan mengonsumsi jahe.

Kota Batu adalah kota pemekaran dari Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sesuai dengan topografi wilayah dan iklim, pertanian kota Batu didominasi
oleh komoditas hortikultura yang meliputi : sayur-sayuran, buah-buahan
dan tanaman bunga. Di samping itu pada beberapa wilayah juga

4
diusahakan tanaman pangan seperti : padi, jagung, palawija dan tanaman
pangan lainnya. Selain itu, di kota Batu juga membudidayakan tanaman
obat seperti : jahe, laos, kencur, kunyit, dan temulawak. Diantara tanaman
obat yang dibudidayakan di kota Batu, jahe merupakan tanaman yang
paling banyak ditanam yaitu sekitar 9.390 tanaman per triwulan pada tahun
2011 (Aditiyas et al., 2014). Untuk mendapatkan tanaman jahe dengan
kualitas yang baik, diperlukan syarat-syarat pertumbuhan tanaman jahe,
diantaranya : curah hujan yang cukup tinggi (antara 2.500-4.000 mm/tahun).
Suhu udara antara 20-35 oC, ditanam pada tanah yang banyak humus, dan
kadar keasaman tanah 4,3-7,4 (Harmono dan Andoko, 2005). Jahe dari
kota Batu memang belum ada yang meneliti, namun dari syarat
pertumbuhan jahe yang baik, lokasi, dan kontur tanah di Batu sangat
mendukung untuk tumbuhnya tanaman jahe berkualitas baik. Oleh karena
itu diharapkan ekstrak jahe (zingiberene) dari kota Batu dapat memberikan
efek terhadap muntah pada hiperemesis gravidrum.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa rumusan masalah yang


dapat diangkat yaitu:

a. Bagaimana pengaruh ekstrak jahe terhadap tingkat keparahan


muntah pada pasien hiperemesis gravidarum?

b. Bagaimana pengaruh ekstrak jahe terhadap profil elektrolit serum


pada pasien hiperemesis gravidarum?

c. Bagaimana pengaruh ekstrak jahe terhadap keton urin pada pasien


hiperemesis gravidarum?

5
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak jahe pada


tingkat keparahan muntah, kadar elektrolit serum, dan keton urin pada
pasien hiperemesis gravidarum

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak jahe terhadap


pengurangan tingkat keparahan muntah pada pasien hiperemesis
gravidarum

b. Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak jahe terhadap profil


elektrolit serum pada pasien hiperemesis gravidarum

c. Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak jahe terhadap keton urin


pada pasien hiperemesis gravidarum

1.4 Manfaat Penelitian

 Manfaat akademis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh
pemberian senyawa ekstrak jahe (zingiberene) terhadap
berkurangnya frekuensi dan tingkat keparahan mual, profil elektrolit
serum, dan pengurangan keton urin pada pasien hiperemesis
gravidarum
 Manfaat Klinis
• Memberikan peluang untuk pengembangan penelitian lebih
lanjut memngenai senyawa ekstrak jahe (zingiberene)
terhadap mual pada hiperemesis gravidarum

6
• Memberikan peluang untuk pengembangan terapi dalam
upaya mengobatan hiperemesis gravidarum

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patofisiologi Mual dan Muntah

Awal mula dari muntah bervariasi dan mungkin oleh karena pergerakan,
kehamilan, kemoterapi, iritasi gaster atau penyebab pasca operasi. Saat
teraktivasi, muntah terjadi pada dua tingkat, perasaan ingin muntah dan
pengeluaran. Otot - otot berfungsi sebagai rangkaian kejadian muntah yang
terjadi pada pusat muntah, yang mungkin terjadi pada area pascarema dan
nukleus traktus solitarius. Obat-obatan yang menginduksi muntah termasuk
ipecacuanha, iritan gaster, dan apomorfin, obat dopamin agonis. Golongan
opioid juga merupakan penginduksi muntah, tetapi antagonis opioid tidak
berguna untuk mengobati mual dan muntah (Pleuvry, 2015).

2.1.1 Mual

Mual merupakan perasaan ingin muntah, yang dapat dipelajari pada


manusia dan sangat sulit untuk dijelaskan. Namun Pleuvry (2015)
berpendapat bahwa salivasi berlebihan dan mengunyah berkaitan dengan
mual yang diduga berkaitan dengan sistem otonomik.

2.1.2 Muntah

Muntah terdiri dari dua fase, muntah dan pengeluaran (ekspulsi).


Ekspulsi tidak terjadi jika ada perasaan ingin muntah (retching) menurut
Pleuvry (2015):

a. Selama proses muntah (retching), otot - otot abdominal dan diafargma


secara simultan berkontraksi dan relaksasi.

b. Ekspulsi ditandai dengan kontraksi terus-menerus dari otot - otot

8
abdominal, yang diatur dengan otot - otot interkostal dan otot - otot faring
dan laring yang menutup dan mengangkat palatum molle. Otot anal
eksterna dan otot sfingter uretra berkontraksi, hal ini terdapat kontraksi
retrograde dari otot-otot usus dan fundus gaster mengalami relaksasi.

Sistem saraf otonomik juga memberikan tanda yaitu pucat, salivasi,


hipotensi dan berkeringat. Neuron luaran yang mengatur perubahan ini
disebar melalui medula oblongata dan harus diaktifkan melalui urutan yang
berurutan.

Beberapa faktor dari muntah telah digambarkan pada gambar 1.


Refleks muntah melindungi tubuh dari toksin yang termakan pada makanan
yang tidak terdeteksi oleh penglihatan, pembauan, ataupun rasa dari
makanan tersebut. Iritasi atau distensi dari traktus gastrointestinal juga
mungkin menginduksi mual dan muntah; distensi dari duodenum juga
secara khusus merupakan stimulus kuat. Maka dari itu, refleks vagal
berjalan dari traktus gastrointestinal menuju bagian bawah dari medulla
oblongata (hindbrain) dapat menginduksi muntah. Reseptor mekanis (yang
mendeteksi distensi) atau reseptor kimiawi mukosa (yang mendeteksi zat
asam, basa, iritan, dan toksin bakterial) mengawali impuls aferen, yang
menstimulasi neuro di daerah pascarema dan area terdekat nukleus traktus
solitarius. Beberapa penulis menempatkan pusat muntah pada nukleus
traktus solitarius, tetapi hal ini masih kontroversial. Tidak ada pusat muntah
yang jelas pada area otak.

Induksi dari muntah, sebagai contoh, obat sitotksik, berkaitan dengan


kerusakan mukosa dan pelepasan 5-hidroksitriptamin (5HT) dari sel
enterokromafin. Pengeluaran zat 5-hidroksitriptamin mungkin menstimulasi
saraf aferen vagal dengan berinteraksi dengan reseptor 5HT3. Substansi P,
yang dikeluarkan dari mukosa gaster, beraksi pada reseptor takikinin NK1

9
dan mungkin bekerjasama dengan 5HT pada traktus gastrointestinal atas
untuk menginduksi muntah. Reseptor agonis dari NK1 juga menginduksi
muntah melalui mekanisme pusat (Pleuvry, 2015).

Gambar 1. Faktor Penginduksi Muntah

Muntah juga bisa diinduksi oleh bahan kimia yang dibawa dalam darah
yang terdeteksi oleh zona induksi kemosensitif (ZIK) pada area pascarema
di lantai kaudal dari ventrikel empat. Pada studi hewan coba menunjukkan
bahwa area pascarema memiliki konsentrasi tinggi dari 5HT3, dopamin (D2)
dan reseptor opoid. Pada manusia, obat-obatan yang beraksi sebagai
agonis pada reseptor yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan
mual dan muntah. Sedangkan antagonis terhadap reseptor 5HT3 dan D2
merupakan agen antimuntah yang efektif, sedangkan opioid antagonis tidak
efektif (Pleuvry, 2015; Navari, 2009).

10
2.1.3 Faktor Metabolik dan Hormonal Sebagai Penyebab Hiperemesis
Gravidarum

Meskipun patogenesis pasti mengenai mual dan muntah pada


kehamilan dan hiperemesis gravidarum tidak diketahui, terdapat hal yang
dapat diterima bahwa muntah gestasional dihasilkan dari berbagai faktor
metabolik dan endokrin, banyak yang berasal dari plasenta. Faktor yang
terkait adalah hormon human chorionic gonadotropin (hCG). Hubungan ini
antara hCG dan mual muntah dalam kehamilan (MMK) berdasarkan
hubungan waktu antara 12 dan 14 minggu usia kehamilan. Sebagai
tambahan bahwa mual dan muntah adalah lebih buruk pada wanita hamil
dengan kondisi terkait tingginya level hCG seperti kehamilan mola,
kehamilan mutipel, dan sindroma Down (Lee dan Saha, 2009; Davis, 2004).
Tingginya kadar hCG di urin dan tingginya kadar serum hCG ditemukan
pada wanita dengan MMK dibandingkan pada wanita yang tidak
mempunyai gejala atau asimtomatis (Lee dan Saha, 2009).

Namun hal ini masih bertentangan juga oleh karena berdasarkan


penelitian yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa hubungan
hCG dengan MMK dan hiperemesis gravidarum tidak ada hubungan antara
serum hCG pada wanita hamil saat trimester pertama dengan frekuensi
atau intensitas mual dan muntah. Hal ini terbukti pada penelitian yang
dilakukan oleh Soules et al. (1980) dalam pemaparan Lee dan Saha (2009)
dimana kehamilan mola mempunyai kadar hCG 5 sampai dengan 10 kali
lebih tinggi daripada kontrol, namun tidak ada kaitannya mual dan muntah.
Sehingga penjelasan hubungan hormon ini masih perlu penelitian lebih
lanjut.

Terdapat pendapat juga bahwa terdapat bentuk biologis (isoform) dari


hormon hCG mungkin bisa menjelaskan keanekaragaman antara kadar

11
hCG dan mual dan muntah pada populasi normal dan sakit. Setiap
bentukan isoformis hCG mempunyai paruh waktu sendiri dan potensi pada
hormon luteinisasi dan hormon tiroid, seperti thyroid stimulating hormone
(TSH). Bentukan isoformis tanpa mempunyai bagian carboxy-terminal
mempunyai paruh waktu yang lebih pendek tetapi mempunyai stimulasi
kuat terhadap hormon luteinisasi dan TSH. Sebaliknya, hormon hCG yang
mengalami hiperglikosilasi mempunyai paruh waktu yang lebih panjang dan
durasi yang lebih lama untuk bekerja. Perbedaan bentukan isoformis dari
hCG sepertinya disebabkan oleh faktor genetik atau perubahan lingkungan
jangka panjang yang bisa menjelaskan perbedaan pada insiden
hiperemesis gravidarum (HG). Pada variasi bentukan isoformis, mutasi
reseptor hCG juga menjelaskan beberapa keanekaragaman pada
hubungan mual muntah dalam kehamilan (MMK) dan hormon hCG (Lee
dan Saha, 2009; Goodwin, 2008, Jordan, et al., 1999).

Hormon ovarium, estrogen dan progesteron, telah diimplikasikan pada


patogenesis dari MMK dan HG. Hal ini diketahui bahwa beberapa wanita
yang mengalami mual ketika mengonsumsi kontrasepsi oral. Terlebih lagi,
keadaan tingginya konsentrasi estrogen seperti rendahnya paritas dan
tingginya angka indeks massa tubuh maternal telah dikaitkan dengan
tingginya insiden dari HG. Estrogen dipikirkan sebagai faktor kontribusi
dengan menstimulasi produksi nitrit oksida melalui nitrogen oxidase
synthetase, dimana akan merelaksasi otot polos, berakibat melambatkan
waktu transit dalam gaster dan ileum, dan proses pengosongan lambung
(gastric emptying) (Lee dan Saha, 2009).

Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, peneliti


menemukan bahwa kadar rerata dari total estradiol mencapai 26% lebih
tinggi dan rerata dari kapasitas pengikatan dari sex hormon binding-globulin
mencapai 37% lebih tinggi pada pasien dengan hiperemesis gravidarum

12
daripada subjek kontrol setelah penyesuaian untuk usia kehamilan.
Hubungan antara hormon hCG dan MMK tidak konsisten dari studi. Sebuah
paparan dari 17 studi telah menunjukkan asosiasi positif antara MMK dan
estrogen hanya pada lima studi. Terlebih lagi, puncak kadar estrogen pada
trimester ketiga dalam kehamilan, sedangkan hiperemesis gravidarum
condong untuk mengalami perbaikan saat kehamilan usia tua (Lee dan
Saha, 2009; Goodwin, 2002; Verberg, et al., 2005).

Kombinasi progesteron dengan estrogen juga mempunyai peranan


dalam mual dan muntah dalam kehamilan. Progesteron menurunkan
kontraktilitas otot polos dan mengubah sistem pengosongan lambung
(gastric emptying) dan mengakibatkan peningkatan mual dan muntah. Studi
penggunaan elastogastrografi setelah memakan makanan terstandar,
Penelitian Walsh et al. (1996) telah menunjukkan bahwa kerusakan
gelombang lambat ritme gaster juga sama ditemukan pada wanita dengan
MMK dan wanita tidak hamil yang mendapatkan progesterone saja atau
kombinasi dengan estradiol.

Peranan dari prostaglandin plasenta E2 (PGE2) juga telah dievalasi


pada patogenesis dari MMK karena efeknya terhadap otot polos gaster.
Hormon hCG menstimulasi PGE2 plasenta dan hormon mirip hCG (like
hCG) mencapai kadar puncak antara usia kehamilan 9 dan 12 minggu.
North et al. (1991) mengemukakan bahwa serum PGE2 maternal terhitung
dan ditemukan lebih tinggi pada saat mual dan muntah pada 18 wanita di
awal kehamilan dibandingkan saat periode tanpa gejala. Para peneliti juga
mengevaluasi kadar maternal dari interleukin 1 beta dan tumor necrosis
factor alpha (TNF-α) dan ditemukan keduanya kadarnya mirip antara
periode dengan gejala dan periode tanpa gejala.

Serotonin juga telah dihipotesiskan berhubungan mual dan muntah

13
dalam kehamilan. Studi yang dilakukan oleh Borgeat et al. (1997), namun,
tidak menunjukkan perbedaan kadar serotonin pada wanita hamil dengan
hiperemesis gravidarum, wanita hamil tidak bergejala, dan wanita tidak
hamil. Sebagai tambahan juga, penelitian acak terkontrol membandingkan
pengobatan serotonin antagonis 5HT3, ondansentron dan promethazine
tidak signifikan meredakan gejala (Lee dan Saha, 2009).

Disregulasi sistem imun juga dipaparkan dalam terjadinya hiperemesis


gravidarum. Peningkatan konsentrasi fetal cell free DNA telah ditemukan
pada serum ibu menyebabkan response imun yang hiperaktif dan
kerusakan trofoblas. Lebih jauh, pergantian normal pada sel T penolong tipe
1 (T-helper cell type 1) yang ditemukan berlebihan pada wanita dengan
hiperemesis gravidarum. Hal ini berakibat peningkatan interleukin 4 juga
TNF-α serta berkaitan dengan hiperemesis gravidarum. Adenosin juga
ditemukan meningkat pada hiperemesis gravidarum, dan peranannya untuk
mengurangi kadar TNF-α. Kadar interleukin 6 juga ditemukan mengalami
peningkatan juga kadar immunoglobulin (IgG), IgM, dan kadar komplemen,
dan hitung limfosit pada hiperemesis gravidarum (Lee dan Saha, 2009;
Yoneyama, et al., 2002; Sugito, et al., 2003; Kuscu, et al., 2003).

2.1.4 Faktor Bakteri Helicobacter pylori

Peningkatan insiden infeksi pada Helicobacter pylori (H. pylori) telah


diobservasi pada wanita dengan hiperemesis gravidarum sekarang telah
dipikirkan mempunyai peranan dalam patogenesis mual dan muntah dalam
kehamilan. Pada penelitian yang dilakukan Frigo et al. (1998) menemukan
bahwa sebanyak 90,5% wanita hiperemesis gravidarum mempunyai IgG H.
pylori positif, dibandingkan pada kelompok kontrol sebanyak 46,5%. Di sisi
lain juga, Bagis et al. (2002) telah menggunakan pemeriksaan baku emas
dengan menggunakan pemeriksaan histologis dari biopsi sel mukosa gaster,

14
dan telah menemukan bahwa 95% dari pasien dengan hiperemesis
gravidarum didapatkan tes yang positif untuk bakteri H. pylori dibandingkan
pada kelompok kontrol 50%. Peneliti tersebut juga menemukan bahwa
densitas yang lebih besar dari bakteri H. pylori pada antrum gaster dan
korpus pada pasien hiperemesis gravidarum, hal ini menyarankan
hubungan memungkinkan antara densitas H. pylori derajat keparahan
dari gejala (Lee dan Saha, 2009).

Paparan sistematik dari tahun 2007 yang mengevaluasi percobaan 14


kasus-kontrol dari tahun 1966 sampai dengan 2007 telah menemukan
hubungan signifikan antara infeksi H. pylori maternal dan hiperemesis
gravidarum pada 10 studi. Nilai rasio odd pada studi-studi tersebut
bervariasi dari 0,55 sampai dengan 109,33. Lebih mirip lagi, paparan
sistematik dan metaanalisis pada tahun 2009 pada 25 studi telah
menemukan nilai rasio odd terkumpul sebesar 3,32 (nilai interval
kepercayaan 95%: 2,25 - 4,90) pada wanita hiperemesis gravidarum
dengan infeksi H. pylori (Lee dan Saha, 2009; Golberg, Szilagyi, dan
Graves, 2007; Sandven, et al., 2009).

Terdapat beberapa perdebatan mengapa infeksi H. pylori tidak secara


konsisten menyebabkan hiperemesis gravidarum. Alasan pertama yaitu
hampir seluruh studi telah menggunakan uji antibodi untuk mendeteksi
infeksi. Namun, pemeriksaan serologis untuk infeksi H. pylori tidak bisa
membedaka antara infeksi aktif dan infeksi lama dan perbedaan infeksi aktif
terhadap infeksi lama mungkin menimbulkan gejala berbeda. Alasan kedua
yaitu hampir seluruh studi tidak diukur jenis dari H. pylori. Protein sitotoksin
terkait gen A (Cytotoxin-associated gene A protein atau protein CagA)
sebagai penanda untuk peningkatan ulkus peptikum dan telah
berhubungan dengan jenis yang agresif dari H. pylori (Lee dan Saha, 2009;
Cutler dan Prasad, 1996; Ali, et al., 2005).

15
Pengobatan mengeradikasi H. pylori pada mayoritas pasien, namun,
sampai saat ini tidak ada petunjuk untuk evaluasi atau pengobatan H. pylori
selama kehamilan sebagai pereda gejala hiperemesis gravidaru yang tidak
banyak diteliti. Laporan kasus dan kasus serial berpendapat bahwa
pengobatan dan eradikasi dari H. pylori dapat menurunkan gejala mual dan
muntah pada kehamilan dan harus dipikirkan mengapa pasien dengan
gejala yang parah. Studi yang lebih besar, namun, diperlukan untuk
menentukan jika dan kapan pengobatan harus dimulai saat kehamilan yang
terkait dengan keamanan obat. Penelitian sekarang menunjukkan bahwa
para ahli setelah melahirkan dan periode laktasi telah selesai, pasien harus
diberikan terapi tiga kombinasi obat selama 2 minggu (Lee dan Saha, 2009;
Nashaat dan Mansour, 2010; Koch dan Frissora, 2003).

2.1.5 Dismotilitas Gastrointestinal sebagai Faktor Resiko Hiperemesis


Gravidarum

Perubahan tekanan istirahat sfingter esofagus bagian bawah (lower


esophageal sphincter resting pressure) dan peristalsis esofagus telah
dikaitkan dengan mual dan muntah dalam kehamilan. Meskipun perubahan
ini berkaitan dengan dada panas (heartburn) dalam kehamilan, penyakit
refluks gastroesofageal dapat juga menimbulkan gejala tidak khas seperti
mual dan bisa menimbulkan terjadinya mual dan muntah dalam kehamilan.
Estrogen dan progesteron merupakan mediator dismotilitas esofagus
dalam kehamilan dimana estrogen mempunyai efek primer dan progesteron
menyebabkan relaksasi pada sfingter esofagus bawah (Lee dan Saha,
2009; Brzana dan Koch, 1997; Richter, 2005).

Perubahan aktivitas ritmik lambung dapat menyebabkan MMK. Aktivitas


myoelektrik lambung normal menghasilkan propagasi gelombang lambat
dari tubuh proksimal ke antrum distal dengan kecepatan 3 siklus per menit

16
(spm). Gangguan irama, baik peningkatan atau penurunan propagasi
gelombang lambat, berhubungan dengan mual. Dengan menggunakan
elastogastrografi (EGG), Koch et al. menunjukkan bahwa individu dengan
aktivitas gelombang lambat normal, cenderung tidak mengeluh mual
selama kehamilan. Sebaliknya, individu dengan tingkat gelombang yang
lebih tinggi atau lebih lambat lebih cenderung mengeluh mual. Demikian
pula Riezzo dkk. menemukan bahwa wanita hamil tanpa gejala mual dan
muntah pada saat rekaman EGG memiliki aktivitas myoelectrical 3 siklus
per menit yang normal. Mereka juga menemukan bahwa wanita hamil
dengan MMK memiliki aktivitas EGG yang lebih tidak stabil dibandingkan
dengan wanita setelah aborsi sukarela dan subjek kontrol pada wanita tidak
hamil. Mereka berspekulasi bahwa ini mungkin karena pemulihan pola
gelombang lambat lambung normal setelah aborsi setelah normalisasi
kadar estradiol dan progesteron (Lee dan Saha, 2009; Koch dan Frissora;
2003; Riezzo; 1992).

Khususnya, bagaimanapun, banyak penelitian tidak menemukan


perbedaan dalam motilitas lambung antara wanita hamil dan tidak hamil.
Dengan menggunakan scintography lambung, tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat pengosongan cairan pada wanita hamil sebelum
aborsi sukarela, 6 minggu setelah aborsi, dan pada wanita kontrol yang
tidak hamil. Dengan menggunakan metode pengenceran zat warna dengan
phenol red, Davison dkk. menemukan pengosongan lambung mengalami
penundaan selama persalinan namun tidak pada trimester ketiga
dibandingkan dengan kontrol yang tidak hamil. Demikian pula, penelitian
yang menggunakan parasetamol tidak menunjukkan adanya pengosongan
lambung pada trimester pertama, kedua, atau ketiga (Lee dan Saha, 2009;
Macfie et al., 1991).

Perubahan dalam motilitas lambung pada kehamilan telah dikaitkan

17
dengan tingkat tinggi dari progesteron Selain itu, pada akhir kehamilan,
kompresi dari rahim yang membesar dapat menyebabkan gejala.
Komposisi makanan juga dapat berperan sebagai patogen dalam NVP.
Jednak dkk. menunjukkan bahwa makanan dominan protein dikaitkan
dengan gejala yang menurun dan disritmia gelombang lambat yang
dikoreksi. Makanan dengan karbohidrat atau lemak dominan tidak
berpengaruh pada gejala atau disritmia gelombang lambat (Lee dan Saha,
2009; Jednak et al., 1992)

Akhirnya, waktu transit usus kecil telah dievaluasi berkaitan dengan


patogenesis NVP. Dengan menggunakan uji nafas hidrogen laktulosa,
ukuran tidak langsung dari waktu transit usus kecil, Lawson et al. (1985)
menemukan waktu transit yang lebih lama pada trimester kedua dan ketiga
dibandingkan dengan trimester pertama dengan waktu terpanjang yang
ditemukan saat tingkat progesteron paling tinggi. Wald et al. menggunakan
teknik yang sama dan menemukan waktu transit untuk berkepanjangan
pada trimester ketiga saat tingkat progesteron dan estrogen tinggi
dibandingkan dengan periode postpartum. Namun, dalam kedua penelitian
ini, waktu transit usus tertunda tidak berkorelasi dengan NVP (Lee dan
Saha, 2009; Lawson et al., 1985).

2.2 Jahe sebagai Alternatif Pengobatan pada Hiperemesis Gravidarum

2.2.1 Pengenalan Jahe

Jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah ramuan abadi yang berasal


dari keluarga Zingiberaceae, terutama tumbuh di Asia dan daerah tropis,
dan merupakan salah satu ramuan yang paling penting dan banyak
dikonsumsi di seluruh dunia. Dibudidayakan untuk batang bawah tanah
yang mudah dimakan (rhizoma), jahe telah digunakan sejak zaman dahulu

18
sebagai bumbu dan sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai penyakit
gastrointestinal terutama, seperti mual, muntah (emesis), diare, dan
dispepsia, serta juga beragam penyakit, termasuk radang sendi, nyeri otot,
dan demam. Sejarah penggunaan obat yang panjang dan mapan pada
manusia ini telah merangsang uji klinis yang sedang berlangsung untuk
menilai secara ilmiah keefektifan jahe sebagai terapi ajuvan atau sebagai
obat pelengkap dan alternatif (CAM) dalam sejumlah indikasi yang
berkaitan dengan mual dan muntah; Yang paling banyak dipelajari adalah
mual dan muntah pada kehamilan (NVP), mual dan muntah kemoterapi
(CINV), mual dan muntah pasca operasi, dan pada tingkat yang lebih
rendah, mabuk perjalanan. Jahe dianggap sebagai ramuan aman untuk
konsumsi manusia. Jahe muncul di Food and Drug Administration AS yang
umumnya dikenal sebagai daftar aman dan termasuk dalam farmakope di
banyak negara Barat. Kompendium Herbal Inggris mencantumkan jahe
sebagai obat untuk muntah dengan kehamilan bersamaan dengan indikasi
lainnya. Memang, kapsul jahe telah tersedia di Inggris selama lebih dari 40
tahun sebagai obat untuk mabuk perjalanan dan sebagai karminatif. Pada
tahun 2012, European Medicines Agency menerbitkan sebuah laporan
penilaian dari panitia produk obat herbal yang menjelaskan penggunaan
jahe dalam pencegahan mual dan muntah, menyimpulkan bahwa ada bukti
klinis yang masuk akal untuk efek menguntungkan rhizoma bubuk kering
pada sejumlah kondisi. Terkait mual dan muntah. Referat ini merangkum
perkembangan jahe sebagai antiemetik untuk NVP dan CINV dan juga akan
lebih fokus pada penilaian kritis terhadap berbagai persiapan dan
presentasi jahe yang tersedia untuk pasien dan posologi yang digunakan
(Lete dan Allué, 2016; Kaul et al., 2001; Committe on Herbal Medicinal
Products, 2011).

19
2.2.2 Profil Kimia Jahe

Metabolit sekunder ditemukan dalam rimpang (rizoma) jahe dapat


secara umum dibagi menjadi senyawa volatil (diekstraksi dari distilasi uap)
dan senyawa fenolik non-volatil (tidak mudah menguap). Istilah oleoresin,
bila diaplikasikan pada jahe, mengacu pada minyak atsiri, senyawa tajam
dan senyawa lainnya yang diekstraksi dengan cara pelarut.

2.2.2.1 Senyawa Non-Volatil

Jahe berutang pada senyawa fenolik. Pada rimpang segar, jenis utama
terdiri dari serangkaian alkanon fenolik homolog yang dikenal sebagai
gingerol dan turunannya seperti gingerdiol. Pokok dari senyawa ini adalah
[6]-gingerol dengan 8- dan 10-gingerol yang terjadi pada konsentrasi yang
lebih rendah. Jika diberi perlakuan panas atau alkali, bagaimanapun,
gingerols dikonversi menjadi seri yang sesuai dari homolog shogaol dengan
dehidrasi dan / atau senyawa zingerone (Connell, 1969; Connell &
Sutherland, 1969). Senyawa shogaol memiliki tingkat ketajaman yang lebih
besar dari pada gingerol (Wohlmuth, 2008).

2.2.2.1.1 Gingerol

Membandingkan komposisi kimia oleoresin jahe yang disiapkan secara


komersial dan oleoresin yang diekstraksi dengan pelarut dingin, kelompok
Connell menemukan perbedaan yang mengejutkan. Senyawa tajam utama
yang diidentifikasi dalam oleoresin komersial adalah shogaol dan meskipun
diulang-ulang, gingerol tidak dapat diisolasi dari sampel ini. Oleoresin yang
baru disiapkan yang diekstraksi dengan pelarut dingin, bagaimanapun,
memiliki konstituen utama yang berbeda, yang diisolasi dan diidentifikasi
sebagai gingerol (Connell, 1969; Connell dan Sutherland, 1969; Wohlmuth,
2008).

20
Penemuan lebih lanjut pada oleoresin jahe menyebabkan Connell dan
Sutherland menyarankan bahwa meskipun shogaol dan zingerone telah
diisolasi dari oleoresin, keduanya merupakan artefak, atau pada unsur
rimpang jahe yang paling kecil sekalipun. Kehadiran shogaol dan zingerone
dalam jumlah yang mudah terdeteksi, menurut Connell dan Sutherland,
menunjukkan oleoresin yang terkena panas yang berlebihan dalam proses
ekstraksi (Wohlmuth, 2008; Connell dan Sutherland, 1969).

Meskipun gingerol biasanya merupakan zat berminyak, Connell dan


Sutherland dapat memperoleh padatan kristal saat menyimpan gingerol
dalam heksana pada suhu -30 ° C. Padatan ini ditunjukkan terdiri dari
campuran keton fenolik homolog, yang diidentifikasi sebagai [6] -, [8] - dan
[10]-gingerol. [4] - dan [12] -gingerol tidak diidentifikasi, namun kehadiran
mereka dalam jumlah jejak tidak dapat dikesampingkan (Wohlmuth, 2008).

2.2.2.1.2 Gingerol dalam Jahe Segar

Beberapa penelitian telah melaporkan adanya konsentrasi gingerol


pada rimpang jahe segar. Zhang dan rekannya telah menganalisis dengan
kromatografi cair kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) fase terbalik dari
Hawaii yang diekstraksi dengan metanol, dan menemukan konsentrasi [6]
-gingerol menjadi 2100 μg per gram rimpang segar. Konsentrasi yang
sesuai dari [8] - dan [10] -gingerol adalah masing-masing 288 dan 533 μg /
g (Zhang et al., 1994). Rimpang segar yang dibeli secara lokal di Amerika
Serikat, diekstraksi dengan metilena klorida dan dianalisis dengan HPLC,
menghasilkan 880, 93 dan 120 μg per gram rimpang segar masing-masing,
[6] - dan [10] -gingerol, masing-masing (Hiserodt et Al., 1998). Rimpang
segar dari Taiwan dilaporkan memiliki konsentrasi [6] -gingerol 806 μg / g
oleh HPLC (Young et al., 2002). Ekstrak CO2 jahe superkritis yang ditanam
di pantai timur Australia dan dianalisis dengan ion negatif electrospray-MS

21
mengandung 120, 19 dan 24 μg per gram rimpang segar masing-masing [6]
-, [8] - dan [10] gingerol (sebagai Dan juga shogaols yang terbentuk dari
gingerol selama pemrosesan) (Bartley, 1995). Variasi yang cukup banyak
pada konsentrasi gingerol di seluruh studi mungkin mencerminkan
perbedaan genetik atau lingkungan, serta pendekatan metodologis variabel,
atau kombinasi dari keduanya. Karena jahe adalah kultigen steril dengan
sejarah kultivasi yang sangat panjang di berbagai belahan dunia,
perbedaan genetik antara klon cenderung menjadi penentu penting variasi
metabolit sekunder.

2.2.2.2 Senyawa Non-volatil Lainnya

Berbagai senyawa lain yang terkait dengan gingerols serta beberapa


diarylheptanoid telah diisolasi dari rimpang jahe. Ini termasuk [4] -, [6] -, [8]
- dan [10] -gingerdiol, [6] -methylgingerdiol, [6] -methylgingerdiacetate, [6] -
paradol, gingerdiones, [6] asam sulfonat, [6] -hydroxyshogaol, [6] -, [8] - dan
[10] -dehydroshogaol dan hexahydrocurcumin (Wohlmuth, 2008; Kikuzaki,
2000).

Baru-baru ini, para pekerja di University of Arizona telah menerbitkan


banyak senyawa dari jahe, termasuk banyak senyawa baru (Jolad et al.,
2004; Jolad et al., 2005). Ini termasuk paradol, dihidroparadol, turunan
asetil gingerol, 3-dihidroshogaol, gingerdiol, derivat mono dan diacetyl dari
gingerdiol, 1-dehydrogingerdiones, diarylheptanoids, methyl [8] -paradol,
methyl [6] -isogingerol, methyl [4] - Shogaol, [6] -isoshogaol, 6-hidroksi- [8]
-shogaol, 6-hidroksi- [10] -shogaol, 6-dehydro- [6] -gingerol, tiga 5-methoxy-
[n] -gingerols (n = 4, 8 dan 10), 3-asetoksi- [4] -gingerdiol, 5-asetoksi- [6] -
gingerdiol, diacetoxy- [8] -gingerdiol, metil diacetoksi- [8] -gingerdiol, 5-
asetoksi-3 -deoksi- [6] -gingerol, 1-hidroksi- [6] -paradol dan lainnya.
Beberapa senyawa ini berpotensi menjadi artefak.

22
2.2.2.3 Senyawa Volatil Jahe

Minyak jahe komersial diperoleh dengan penyulingan uap rimpang jahe


kering kasar, dan analisis komposisi yang paling banyak dipublikasikan
mengacu pada minyak yang dibuat dari bahan baku kering. Minyak jahe
yang disuling dari bahan kering dicirikan oleh sejumlah besar hidrokarbon
seskuiterpen dan sejumlah kecil hidrokarbon monoterpena dan senyawa
beroksigen (Govindarajan, 1982). Hidrokarbon seskuiterpen mayor adalah
zingiberene, ar-curcumene, β-bisabolene, (-) β-sesquiphellandrene dan (E,
E) -α-farnesene (Lawrence, 1995). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Yang et al. (2009) menunjukan bahwa senyawa zingiberene merupakan
senyawa terbanyak pada jahe yaitu 35-53%.

Zingiberene dan (-) - β-sesquiphellandrene dapat dioksidasi menjadi ar-


curcumene dalam minyak yang disimpan dalam kondisi yang tidak
menguntungkan (Connell & Jordan, 1971; Govindarajan, 1982a). Tingkat
ar-curcumene yang tinggi dapat menjadi indikator minyak terdegradasi,
namun mungkin juga mencerminkan kondisi distilasi.

Konstituen lain dari minyak esensial jahe yang dilaporkan secara luas
meliputi a-pinene, camphene, 6-methyl-5-hepten-2-one, myrcene, α- dan β-
phellandrene, limonene, 1,8-cineole, linalool, borneol, α- Terpineol,
sitronelol, neral, geraniol, geranial, bornyl asetat, 2-undecanone, sitronelat
asetat, α-copaena dan geranyl asetat (Lawrence, 1995b; Lawrence, 1997;
Lawrence, 2000).

2.2.3 Efek Farmakologis Jahe

Rimpang (rizoma) jahe mengandung beragam metabolit sekunder


biologis aktif. Rimpang tersebut terdiri dari 1% -4% minyak atsiri dan
oleoresin. Bau khas dan rasa jahe disebabkan oleh minyak volatil ini dan
juga senyawa fenolik nonvolatil, yang memiliki sifat tajam. Minyak volatil

23
(uap yang diekstraksi) terutama terdiri dari Hidrokarbon sequiterpene,
terutama zingiberol, yang menimbulkan aroma khas jahe. Fitokimia fenolik
non-volatil jahe terdiri dari gingerols, shogaols, paradols, dan zingerone,
dan lebih dari 30 senyawa yang mengandung jahe dapat difraksinasi dari
jahe mentah. Gingerol sesuai dengan serangkaian homolog kimia yang
dibedakan oleh rantai rantai alkilnya yang tidak bercabang (n6-n12). Dari
semua gingerol, 6-gingerol adalah fitokimia jahe yang paling banyak dan
telah diteliti dengan baik (Lete dan Allué, 2016; Farnsworth, Fong, dan
Mahady, 1999; Govindarajan, 1982; Jiang, Solyom, Timmermann, dan
Gang, 2005).

Aktivitas farmakologis utama jahe tampaknya dikaitkan dengan gingerol


dan shogaol, yang merupakan produk dehidrasi gingerols. Akibatnya,
gingerol adalah komponen utama pada rhizoma jahe segar, sedangkan
shogaols, terutama 6-shogaol, adalah unsur polifenolik paling banyak dari
jahe kering (Lete dan Allué, 2016).

Sehubungan dengan sifat antiemetiknya, jahe (dan konstituennya)


bekerja secara perifer, di dalam saluran gastrointestinal, dengan
meningkatkan tonus lambung dan motilitas akibat tindakan antikolinergi dan
antiserotonergik. Hal ini juga dilaporkan meningkatkan pengosongan
lambung. Kombinasi fungsi ini menjelaskan kemampuan jahe yang banyak
diterima untuk meredakan gejala gangguan pencernaan fungsional, seperti
dispepsia, sakit perut, dan mual, yang sering dikaitkan dengan penurunan
motilitas lambung (Lete dan Allué, 2016; Hu et al., 2011).

Meskipun cara kerja jahe yang tepat dalam kaitannya dengan sifat
antiemetiknya masih belum terbongkar, tiga penelitian terbaru telah meneliti
tindakan jahe pada serotonin (5-hydroxytryptamine, 5HT3, dan 5HT4) dan
kolinergik (M3) reseptor kegiatan. Mengacu pada bukti bahwa obat

24
kemoterapi yang bersifat emetogenik meningkatkan konsentrasi 5HT dan
mengaktifkan aktivitas saraf aferen vagal viseral, Jin dkk menggunakan
metode penjepit tempel untuk mempelajari efek jahe dan konstituennya
yang tajam pada arus masuk ke-5HT pada nodus tikus. Ganglia neuron
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6-shogaol, 6-gingerol, dan zingerone
dapat menghambat respon 5HT dengan cara yang bergantung pada
konsentrasi, dengan 6-shogaol menunjukkan potensi terbesar. Selanjutnya,
penghambatan aktivitas 5HT terjadi secara tidak kompetitif. Dengan
menggunakan pendekatan metodologis yang berbeda (tes masuk kalsium
dan uji radioligand), Walstab et al. Menggunakan ekspresi heterolog untuk
menunjukkan, untuk pertama kalinya, efek penghambatan 6-shogaol dan 6-
gingeral pada reseptor 5HT3 rekombinan manusia dan juga reseptor asli
dari neuron enterik usus manusia. Penghambatan ini ternyata tidak
kompetitif karena antagonis reseptor 5HT3, GR65630, tidak dipindahkan
oleh ekstrak jahe. Menariknya, kedua penelitian tersebut mengemukakan
bahwa sejak pengikatan jahe ke reseptor 5HT terjadi di tempat lain selain
situs pengikat ortosterik antagonis 5HT yang kompetitif, terapi kombinasi
dengan antagonis 5HT farmasi yang diketahui dapat meningkatkan
keefektifan antiemetik. Selain itu, menggunakan bioassay untuk reseptor
kontraktil (M) 3 (marmot ileum), Pertz et al. menunjukkan bahwa 6-, 8-, dan
10-gingerol dan 6-shogaol dapat sedikit berefek tetapi secara signifikan
menekan kontraksi terinduksi karbakol. Secara kolektif, penelitian ini
memberikan bukti molekuler bahwa jahe memiliki sifat antagonistik aktivasi
reseptor (M) 3 dan 5HT3, sehingga menghambat masukan aferen ke sistem
saraf pusat yang distimulasi oleh neurotransmiter tertentu, seperti serotonin,
dilepaskan dari saluran pencernaan. Jahe juga telah dipelajari secara
ekstensif secara in vitro dan pada model hewan hipertensi, stres oksidatif,
infeksi jamur, dan kanker; Oleh karena itu, jahe telah diteliti dalam

25
pengobatan berbagai penyakit, termasuk kanker, osteoarthritis, dan
diabetes (Lete dan Allué, 2016; Jin, et al., 2014; Walstab, et al., 2013; Pertz,
Lehmann, Roth-Ehrang, dan Elz, 2011).

2.2.4 Bentuk Jahe

Jahe digunakan dalam berbagai bentuk, termasuk dalam bentuk segar,


kering, acar, diawetkan, dikristalisasi, manisan, dan bubuk atau tanah.
Presentasi dapat mencakup kapsul, tablet, tincture, teh, dan ekstrak cairan.
Terbukti, konsentrasi bahan aktif (gingerols dan shogaols) akan berbeda
antara berbagai persiapan dan langkah pengolahan yang dilakukan.
Memang, gingerol secara termal memiliki sifat labil, dan tingkat konversi
gingerol ke shogaol kemungkinan akan berdampak signifikan terhadap
manfaat obat karena kedua senyawa tersebut bervariasi dalam
bioavailabilitas dan sifat farmakologisnya. Analisis metodologis baru-baru
ini menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) yang digabungkan
dengan spektrometri massa waktu menunjukkan bahwa produk bubuk jahe
kering mengandung jumlah tertinggi senyawa yang mengandung jahe (7-
14 mg / g), diikuti oleh jahe segar (2-2,8 mg / g) dan produk teh jahe bubuk
(~ 0,8 mg / g) (Lete dan Allué, 2016; Baliga, et al., 2011; Park dan Jung,
2012).

Upaya untuk menilai keefektifan jahe dalam banyak uji klinis mungkin
telah dilemahkan oleh inkonsistensi dalam bentuk jahe yang digunakan
(segar atau kering) dan juga regimen pemberian dosis. Dari 12 penelitian
yang ditinjau dalam meta-analisis terbaru tentang penggunaan jahe pada
MMK, berbagai persiapan dijelaskan, termasuk biskuit jahe, kapsul bubuk
jahe, kapsul sari jahe, kapsul ekstrak jahe, dan sirup jahe di air. Juga, dosis
harian bervariasi dari 600 sampai 2500 mg. Demikian pula, dalam tinjauan
sistematis baru-baru ini mengenai penggunaan jahe di CINV

26
(Chemotherapy-induced Nausea and Vomiting), regimen dosis khas adalah
1-2 g jahe (Lete dan Allué, 2016; Viljoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014;
Marx, et al., 2013).

Untuk mendapatkan kepatuhan pasien, perlu dirumuskan jahe ke dalam


bentuk sediaan yang praktis digunakan, sambil mempertahankan
komponen aktif. Dalam hal ini, kapsul adalah bentuk sediaan umum yang
dipertimbangkan untuk banyak obat oral dan metodologi yang berbeda ada
untuk persiapan gingerol aktif (dan shogaols) dalam bentuk kapsul. Dalam
meta-analisis MMK di atas, 10 dari 12 penelitian menggunakan jahe dalam
bentuk kapsul dan 7 dari 7 penelitian yang diperiksa untuk CINV
menggunakan jahe yang dienkapsulasi. Mengingat dosisnya, ada
kekurangan informasi mengenai konsentrasi bahan aktif dalam berbagai
sediaan yang digunakan dalam uji klinis; Tidak satupun studi NVP yang
diulas di atas menggambarkan segala bentuk analisis kimia untuk
mengukur konsentrasi bahan aktif, dan hanya 2 dari 7 studi CINV yang
melakukannya. Ini jelas informasi penting karena persiapan komersial jahe
mungkin memiliki konsentrasi jahe yang berbeda (Lete dan Allué, 2016;
Marx et al., 2013; Tunsirikongkon, Kraisit, Seubasana, Itharat, dan Sarisuta,
2013).

Dalam sebuah penelitian suplemen akar jahe, Schwertner dkk


menggunakan HPLC untuk mengukur konsentrasi bahan aktif dalam kapsul
jahe yang dibeli secara lokal. Hasil berkisar antara 0,0 sampai 9,43 mg / g
untuk 6-gingerol, 0,16 sampai 2,18 mg / g untuk 6-shogaol, 0,00 sampai 1,1
mg / g untuk 8-gingerol, dan 0,00 sampai 1,40 mg / g untuk 10-gingerol, dan
agak Yang mengkhawatirkan, dosis harian yang disarankan bervariasi dari
250 mg sampai hampir 5 g. Tidak adanya konstituen jahe standar juga telah
disorot dalam sebuah protokol penelitian baru-baru ini untuk menilai jahe
dalam pengaturan kemoterapi yang disebabkan mual. Dalam rancangan

27
penelitian ini, Beberapa penulis telah memilih untuk menggunakan kapsul
ekstrak jahe yang disiapkan secara komersial yang telah distandarisasi
mengandung 5% gingerol (mengacu pada kekuatan total jahe), yang setara
dengan 15 mg bahan aktif per ekstrak jahe 300 mg dan merupakan jumlah
yang digunakan dalam beberapa percobaan klinis sebelumnya (Lete dan
Allué, 2016; Schwertner, Rios, dan Pascoe, 2006; Marx, et al., 2014).

Selain perbedaan jumlah jahe yang digunakan di antara penelitian,


interval pemberian dosis juga bervariasi antara uji klinis. Dalam hal ini, dua
studi klinis baru-baru ini telah menyelidiki farmakokinetik sediaan jahe yang
berbeda pada manusia. Pada penelitian pertama, relawan sehat diberi satu
dosis oral jahe, mulai dari 100 mg sampai 2 g, dan sampel darah secara
berkala diambil hingga 72 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
ada gingerols bebas atau shogaol yang dapat dideteksi di plasma; Namun,
analit ini mudah terdeteksi sebagai konjugat yang terutama berkhasiat
glukuronida dan sulfat dalam serum, menunjukkan bahwa gingerol
mengalami oksidasi rantai samping fenoliknya. Memperluas analisis ini,
penulis yang sama mengembangkan teknik yang lebih sensitif dan
menetapkan bahwa bentuk bebas dari 10-gingerol dan 6-shogaol, serta
metabolit glucuronide 6-, 8-, dan 10-gingerol dan 6-shogaol dapat
diidentifikasi satu Jam setelah pemberian oral dengan 2 g ekstrak jahe.
Menariknya, masa paruh senyawa ini dan metabolitnya ditentukan antara
satu dan tiga jam dalam plasma manusia, dan percobaan pemberian dosis
ganda menetapkan bahwa tidak ada akumulasi metabolit yang terjadi.
Dengan hasil ini, mungkin lebih bijaksana untuk memperpanjang frekuensi
pemberian dosis, sesuai harapan kepatuhan pasien (Lete dan Allué, 2016;
Zick, et al., 2009; Yu, Zick, Li, Zou, Wright, dan Sun, 2011).

Meskipun tidak ada kesepakatan kesepakatan mengenai dosis jahe


yang benar, kebanyakan studi klinis merekomendasikan dosis harian yang

28
aman 1000 mg, setidaknya pada sindroma MMK. Dengan demikian, 7 dari
12 studi yang dijelaskan dalam Viljoen dkk. Meta-analisis menggunakan
jumlah akhir ini, dan analisis subkelompok dalam laporan ini lebih menyukai
dosis harian lebih rendah <1500 mg untuk mual. Sebagai demonstrasi, Ding
dkk. telah menghitung bahwa 1000 mg setara dengan satu sendok teh (5 g)
ekstrak jahe yang baru diparut, 2 mL ekstrak jahe cair, empat cangkir (237
mL masing-masing) teh jahe kemasan, dua sendok teh sirup jahe (10 mL),
atau dua potongan jahe yang mengkristal. Monografi Obat-obatan Badan
Eropa menyebutkan dosis berikut yang paling sering digunakan (sampai
Juni 2010): MMK 500 mg tiga kali sehari selama tiga sampai lima hari, mual
pasca operasi dan muntah 1000 mg selama satu jam sebelum induksi
anestesi, dan penyakit perjalanan 1000 mg untuk satu jam sebelum
memulai perjalanan. Administrasi Makanan dan Obat Amerika Serikat
umumnya diakui sebagai daftar aman menyatakan bahwa sampai 4 g jahe
dapat dikonsumsi setiap hari, walaupun jumlah ini pada umumnya tidak
terjangkau dalam penelitian. Memang, ilustrasi oleh Ding dkk. berfungsi
untuk menarik pasien dengan mudah melebihi dosis harian maksimal
berdasarkan jenis jahe yang dikonsumsi. Menariknya, regimen ini sering
mempertimbangkan penggunaan profilaksis jahe untuk menunda emesis
akut, yang mungkin bekerja dengan cara yang terkait dengan priming
receptor. Memang, perawatan yang berhasil untuk CINV (Chemotherapy-
Induced Nausea and Vomiting) telah terbukti sebagai pengobatan sebelum
kemoterapi dimulai (Lete dan Allué, 2016; Mazzotta dan Magee, 2000;
Vutyavanich, Kraisarin, dan Ruangsri, 2001; Ozgoli, Goli, dan Simbar, 2009;
Viljoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014; Ding, Leach, dan Bradley, 2013;
Herrstedt dan Dombernowsky, 2007).

2.2.5 Efektivitas Klinis dari Jahe

Mual dan muntah mempengaruhi sebagian besar wanita pada awal

29
kehamilan. Diperkirakan bahwa 80% wanita memiliki MMK pada tingkat
tertentu selama trimester pertama kehamilan, dan untuk sebagian besar
wanita, gejala biasanya diatasi pada usia kehamilan 12-14 minggu. Secara
umum dikenal sebagai morning sickness, istilah ini jelas merupakan keliru,
karena gejala bisa terjadi kapan saja. Dalam persentase kecil kehamilan
(0,2% -5%), mual dan muntah yang terus-menerus dan berlebihan
menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan
berat badan (disebut Hyperemesis gravidarum) dapat terjadi dan
merupakan penyebab utama penerimaan rumah sakit selama paruh
pertama Kehamilan. Terbukti, kondisi yang sering melemahkan ini dapat
berdampak signifikan terhadap kualitas kehidupan seorang wanita, baik
secara pribadi maupun profesional, dan dapat secara emosional traumatis.
Penyebab pasti MMK tetap tidak jelas dan mungkin tergantung pada
beberapa faktor. Di antaranya, etiologi yang umum diterima dianggap
berasal dari perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan, seperti
peningkatan serum human chorionic gonadotrophin, estrogen, dan juga
infeksi Helicobacter pylori (Lete dan Allué, 2016; Vellacot, Cooke, dan
James, 1988; Lacroix, Eason, dan Melzack, 2000; Gadsby, Barnie-Adshead,
dan Jagger, 1993; McCarthy, Lutomski, dan Greene, 2014; Lee dan Saha,
2011; Davis, 2004; Verberg, Gillot, Al-Fardan, Grudzinskas, 2005).

Beberapa obat saat ini tersedia untuk pengobatan MMK. Emesis dapat
diobati dengan obat yang dikenal sebagai antiemetik, terutama antagonis
reseptor serotonin (5HT3). Namun, banyak wanita berhati-hati terhadap
obat-obatan karena takut melukai janin, terutama mengingat MMK biasanya
terjadi selama masa organisme organogenesis yang rentan. Oleh karena
itu, popularitas terapi komplementer, termasuk obat-obatan
nonfarmakologis dan ekstrak herbal, telah berkembang pesat dalam
beberapa tahun terakhir, dan penggunaan terapi komplementer yang tinggi

30
selama kehamilan telah dicatat. Sebuah studi multi-nasional baru-baru ini
tentang prevalensi penggunaan jamu pada kehamilan menemukan bahwa
lebih dari 28% wanita yang berpartisipasi menggunakan herbal (2735/9459).
Dari 134 jenis ramuan yang berbeda, jahe dan cranberry menyumbang
sebagian besar herbal (23,5% dan 22,7%), dengan pilihan valerian dan
raspberry juga populer (Lete dan Allué, 2016; Kore, dan Levichek, 2002;
Mathhews, Haas, OMathuna, Dowswell, dan Doyle, 2014).

Dampak penggunaan jahe sebagai antiemetik pada MMK telah banyak


diteliti dalam studi klinis paling sedikit 30 tahun. Karena heterogenitas yang
melekat dalam desain penelitian dan sesekali terdapat masalah dengan
kualitas, tidak semua uji klinis acak dapat digabungkan ke dalam meta-
analisis. Meskipun demikian, dua meta-analisis uji klinis acak (bukti Tingkat
I) telah dipublikasikan baru-baru ini. Dalam analisis meta-analisis yang lebih
kecil, enam penelitian yang dilakukan dari tahun 1991 sampai 2009
memenuhi kriteria inklusi, dan 508 subjek secara acak menerima jahe (~
1000 mg per hari) atau plasebo. Bisa ditebak, penelitian ini bervariasi dalam
formulasi dan dosis jahe: tiga studi diberikan 250 mg kapsul jahe empat kali
sehari; Satu penelitian menggunakan kapsul jahe 350 mg empat kali sehari,
satu penelitian memberi 250 mg sirup jahe empat kali sehari, dan satu
penelitian memberi 500 mg bubuk jahe dalam biskuit, lima biskuit setiap hari.
Meskipun durasi penelitian juga bervariasi (antara empat hari dan tiga
minggu), dengan menggunakan titik akhir perbaikan MMK, meta-analisis
menunjukkan bahwa jahe lebih baik daripada plasebo dalam memperbaiki
MMK bila diberikan dengan dosis ~ 1000 mg / hari setidaknya selama empat
hari (Lete dan Allué, 2016; Thomson, Corbin, dan Leung, 2014; Fischer-
Rasmussen, Kjaer, Dahl, dan Asping, 1991; Smith, Crowther, Wilson,
Hotham, dan McMillian, 2004).

Para penulis meta-analisis menyimpulkan bahwa jahe merupakan

31
pilihan nonfarmakologis yang efektif untuk MMK dan lebih baik daripada
plasebo. Dalam tinjauan sistematis kedua dan metaanalisis, Viljoen dkk.
Mempelajari keefektifan pemberian jahe oral sebagai pengobatan untuk
MMK pada ibu hamil pada setiap tahap kehamilan dan meninjau penelitian
acak dari tahun 1991 sampai 2011. Dari 302 catatan yang diidentifikasi
melalui pencarian database, 12 penelitian memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh penulis, yang melibatkan 1278 wanita hamil. Dan termasuk
enam studi yang ditinjau oleh Thomson dkk. Enam studi tambahan
menggunakan kapsul jahe dengan dosis berbeda: 125 mg empat kali sehari,
200 mg tiga kali sehari, 325 mg (X 2) tiga kali sehari, dan 500 mg dua kali
atau tiga kali sehari. Jahe versus plasebo dinilai dalam 7 dari 12 penelitian.
Hasil individu dari ketujuh penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jahe
lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi intensitas MMK pada
umumnya; Namun, hanya tiga dari tujuh penelitian yang menyimpulkan
bahwa jahe lebih efektif dalam mengurangi jumlah episode muntah
(walaupun ada kecenderungan untuk perbaikan) (Lete dan Allué, 2016;
Viljoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014; Kaul dan Joshi, 2001; Willetts,
Ekangaki, dan Eden, 2003; Mohammadbeigi et al., 2011; Chittumma,
Kaewkiattikun, dan Wiriyasiriwach, 2007; Pongrojpaw, Somprasit, dan
Chanthasenanont, 2007; Ensiyeh dan Sakineh, 2009).

Dalam empat penelitian yang menilai suplemen jahe versus vitamin B6,
pengobatan lini pertama yang umum untuk mual, tiga penelitian melaporkan
tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut, dan satu penelitian
menunjukkan bahwa jahe secara signifikan meningkatkan gejala mual dan
muntah. Selain meta-analisis ini, sebuah studi yang baru diterbitkan juga
menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok jahe (47
pasien diobati dengan 250 mg jahe empat kali sehari) dan kelompok vitamin
B6 (40 mg dua kali sehari). Satu studi menilai khasiat jahe terhadap obat

32
anti histamin dimenhydrinate dan menemukan jahe sama efektifnya,
dengan efek samping yang lebih sedikit (Lete dan Allué, 2016; Pongrojpaw,
Somprasit, dan Chanthasenanont, 2007; Ensiyeh dan Sakineh, 2009).

Terakhir, satu penelitian menggunakan metoclopramide, antagonis


reseptor dopamin, sebagai komparator. Efek jahe tidak berbeda nyata
dengan yang diperoleh pada metoklopramid. Kesimpulannya, Viljoen dkk
mengakui terbatasnya jumlah penelitian dan kualitas bukti yang rendah,
namun berdasarkan bukti, jahe bisa menjadi pilihan yang mungkin efektif
bagi wanita dengan NVP, walaupun uji coba standar yang besar diperlukan
(Lete dan Allué, 2016; Vijoen, Visser, Koen, dan Musekiwa, 2014;
Mohammadbeigi et al., 2011; Pongrojpaw, Somprasit, dan
Chanthasenanont, 2007).

Tabel 1. Perbandingan Terapi Jahe dalam mengatasi Mual dan Muntah

Studi Pengobatan Pembanding Dura Temuan

si

(hari)

Fischer- 250 mg kapsul bubuk jahe Plasebo 4 Jahe lebih signifikan efektif daripada

Rasmussen, (4x1) plasebo

1991

Vutyavanich, 250 mg kapsul bubuk jahe Plasebo 4 Jahe lebih signifikan efektif daripada

2001 (4x1) plasebo

Keating, 2002 250 mg jahe sirup (4x1) Plasebo 14 Jahe lebih efektif daripada plasebo

Sripamote, 2003 500 mg kapsul bubuk jahe 10 mg 3 Jahe dan vitamin B6 keduanya

(4x1) kapsul vit.B6 secara signifikan lebih efektif

(3x1) pengobatan MMK

33
Willets, 2003 125 mg kasul jahe ekstrak Plasebo 4 Jahe lebih efektif daripada plasebo

(4x1) untuk mengurangi mual. Tidak ada

perbedaan pada muntah.

Smith, 2004 350 mg kapsul jahe (3x1) 25 mg 21 Jahe ekuivalen dengan vitamin B6

kapsul untuk mengurangi mual

vitamin B6 x

2 (3x1)

Chittuma, 2007 325 mg kapsul X 2 jahe 12,5 mg 21 Jahe mempunyai efek ekuivalen

(3x1) vitamin B6 X dengan vitamin B6 untuk

2 ( 3x1) mengurangi mual

Pongrojpaw, 500 mg kapsul bubuk jahe 50 mg 7 Jahe sama efektif dengan

2007 (2x1) kapsul dimenhidrinat

dimenhidrin

at (2x1)

Ensiyeh dan 500 mg kapsul bubuk jahe 20 mg 4 Jahe lebih efektif daripada vitamin

Sakineh, 2009 (2x1) kapsul B6

vitamin

B6( 2x1)

Ozgoli, 2009 250 mg kapsul bubuk jahe Plasebo 4 Jahe signifikan lebih efekif daripada

(4x1) plasebo

Basirat, 2009 500 mg biskuit jahe (5x1) Plasebo 4 Jahe signifikan lebih efektif daripada

plasebo dalam meredakan mual,

dan efektif mengurangi muntah

Mohammadbeigi, 200 mg kapsul sari jahe -Plasebo 5 Jahe kurang efektif daripada

2011 (3x1) metoclopramide, tetapi


-10 mg

34
metoclopra perbedaannya tidak signifikan

mide (3x1)

Haji Seid Javadi, 250 mg kapsul jahe (4x1) 40 mg 4 Jahe ekuivalen dengan vitamin B6

2013 kapsul untuk mengurangi mual

vitamin B6

(2x1)

2.2.6 Profil Keamanan Jahe

Efek samping setelah konsumsi jahe jarang terjadi tapi bisa termasuk
komplikasi gastrointestinal ringan, seperti pirosis (heartburn atau reflux) dan
eruktasi (bersendawa). Dalam sebuah studi terhadap 27 sukarelawan sehat
yang diberi satu dosis oral jahe (berkisar antara 100 mg sampai 2 g),
gangguan saluran cerna ringan adalah toksisitas pengobatan utama yang
terkait. Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jahe dapat
mengganggu agregasi trombosit dan menyebabkan pendarahan yang
berlebihan, dalam penelitian crossover acak terhadap 12 sukarelawan
sehat yang mengkonsumsi 1,2 g rimpang atau rizoma kering tiga kali sehari
selama dua minggu, jahe tidak mempengaruhi agregasi trombosit dan tidak
berpengaruh pada farmakokinetik atau farmakodinamik dosis warfarin 25
mg tunggal yang diambil pada hari ke 7. Dari catatan, meta-analisis MMK
oleh Viljoen dkk juga mengkaji keselamatan jahe sebagai tujuan sekunder.
Para penulis menemukan bahwa jahe memang "[tidak] menimbulkan risiko
efek samping atau efek samping selama kehamilan” (Lete dan Allué, 2016;
Arfeen, et al., 1995; Smith, et al, 2004; Jiang, et al., 2005; Heitmann,
Nordeng, dan Holst, 2013)

Selain bukti Tingkat I, keamanan jahe di NVP telah dipelajari setidaknya


dalam dua studi Tingkat II (nonrandomized atau kohort). Dalam studi

35
prospektif pertama, hasil kehamilan 187 wanita dari Toronto yang terpapar
jahe pada trimester pertama kehamilan dibandingkan dengan wanita yang
pernah terkena obat nonteratogenik yang bukan antiemetik. Tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok dalam
hal kelahiran hidup, aborsi spontan, aborsi terapeutik, berat lahir, atau usia
kehamilan. Studi kohort berbasis populasi yang lebih baru dan lebih besar
di Norwegia (68.522 wanita) menemukan bahwa penggunaan jahe selama
kehamilan (1020 wanita, 1,5%) tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko
malformasi bawaan, kelahiran lahir / perinatal, kelahiran rendah Berat
badan, atau kelahiran prematur (Lete dan Allué, 2016; Heitmann, Nordeng,
dan Holst, 2013).

36
BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Teori

Ibu Hamil dengan Hiperemesis

Tingginya Tingginya
β hCG Progesteron

Relaksasi otot polos gaster


(menurunkan gastric emptying)

Zona induksi kemosensitif Iritasi / distensi


(area pascarema) saluran cerna

Pelepasan 5HT

Menempel pada
reseptor 5HT3

Otot abdomen dan diafragma


kontraksi retrograde

Mual / muntah

Gambar 2. Diagram Kerangka Teori Penelitian

37
3.2 Kerangka Konsep

Impuls muntah
- β hCG
- Progesteron

Zona induksi kemosensitif


(area pascarema)
Ekstrak Jahe

Pelepasan 5HT

Zingiberene

Menempel pada
reseptor 5HT3

Mual / muntah Tingkat Keparahan muntah

Profil elektrolit
Ketosis
serum

Keton urin

Keterangan:
: Variabel yang tidak diteliti
: Variabel yang diteliti

Gambar 3. Diagram Kerangka Konsep Penelitian

Pada ibu hamil dengan kehamilan muda (kurang dari 16 minggu) terjadi
peningkatan kadar hCG yang diduga dapat menyebabkan sensitisasi pada
zona induksi kemosensitif pada area pascarena di batang otak. Sensitisasi
tersebut menyebabkan dilepaskannya serotonin (5HT) yang kemudian
akan berikatan pada reseptor 5HT3 sehingga menyebabkan inisiasi

38
terjadinya mual dan muntah. Mual dan muntah akan terjadi terus menerus
sehingga frekuaensi muntah akan bertambah dan keparahan muntah juga
akan meningkat. Akibat hal tersebut akan terjadi ketidak seimbangan
elektrolit serum dan ketosis. Ketosis yang meningkat akan menyebabkan
diekskresikannya keton melalui urin sehingga terjadi adanya keton pada
urin. Ekstrak jahe yang diberikan terdapat zat aktif yaitu zingiberene yang
dapat berikatan pada reseptor 5HT3 sehingga 5HT yang banyak dilepaskan
tidak dapat berikatan dengan reseptor 5HT3 sehingga akan mengurangi
mual dan muntah, menyeimbangkan elektrolit serum, dan mengurangi
ketosis.

3.3 Hipotesis Penelitian

Pemberian ekstrak jahe pada pasien hiperemesis gravidarum dapat


mengurangi tingkat keparahan muntah, menyeimbangkan elektrolit serum
dan mengurangi keton urin pada pasien tersebut.

39
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental


menggunakan desain penelitian post test only control group design. Dalam
desain ini terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Kelompok perlakuan akan diberikan perlakuan lalu dilakukan
perbandingan antara hasil kelompok kontrol dan kelompok yang diberi
perlakuan.

Penelitian eksperimental ini dilakukan untuk mengetahui efek


pemberian ekstrak jahe pada pasien hiperemesis gravidarum terhadap
tingkat keparahan muntah, kadar elektrolit serum dan ketosis pada pasien
tersebut. Terdapat 3 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol dimana
kelompok perlakuan pertama adalah kelompok pasien hiperemesis
gravidarum yang diberikan ekstrak jahe 250 mg dan Metoklorpramid 10 mg,
kelompok perlakuan kedua adalah kelompok pasien hiperemesis
gravidarum yang diberikan ekstrak jahe 500 mg dan Metoklorpramid 10 mg,
sedangkan kelompok perlakuan ketiga adalah kelompok pasien
hiperemesis gravidarum yang diberikan ekstrak jahe 1000 mg dan
Metoklorpramid 10 mg. Kelompok kontrol adalah kelompok pasien
hiperemesis gravidarum yang diberikan Metoklorpramid 10 mg saja. Terapi
diberikan adalah selama 3 hari berdasarkan rata-rata dari beberapa
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu antara 2-3 hari
(Stanisiere et al., 2018). Selanjutnya dilakukan pengecekan terhadap
frekuensi dan tingkat keparahan mual, hasil pemeriksaan elektrolit serum
dan adanya ketosis pada pasien tersebut.

40
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang, RSUD


dr. Iskak Tulungagung, RSUD Gambiran Kediri, RSUD Ngudi Waluya Wlingi,
RSI Aisyiyah Pandaan, dan RSI Masyithoh Bangil. Penelitian ini dilakukan
selama bulan Oktober dan November 2018. Penelitian ini telah
mendapatkan penilaian dan pengesahan kelayakan etik dari Komisi Etik
Penelitian RSSA.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan diagnosis


hiperemesis gravidarum di RSSA Malang, RSUD dr. Iskak Tulungagung,
RSUD Gambiran Kediri, RSUD Ngudi Waluya Wlingi, RSI Aisyiyah Pandaan,
dan RSI Masyithoh Bangil. Sampel penelitian ini adalah ibu hamil dengan
diagnosis hiperemesis gravidarum yang dirawat inap di di RSSA Malang,
RSUD dr. Iskak Tulungagung, RSUD Gambiran Kediri, RSUD Ngudi Waluya
Wlingi, RSI Aisyiyah Pandaan, dan RSI Masyithoh Bangil pada waktu
penelitian.

4.3.1 Besarnya Sampel

Penghitungan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini


menggunakan rumus seperti dibawah ini : (Dahlan, 2009)
2
(Zα + 𝑍𝛽 ) 𝑆𝑔𝑎𝑏
𝑛 = 2[ ]
̅1 − X
( X ̅2)

Kelompok kasus: mean = 𝑋̅1 = 17,2 SD1 = 1,50


Kelompok kontrol: mean = 𝑋̅2= 15,3 SD2 = 1,2
Taraf signifikansi 𝛼 = 0,05 Z𝛼 = 1,960 (2 pihak)
𝑛 menunjukkan banyaknya jumlah sampel pada masing-masing kelompok

41
Kekuatan uji: 1 – 𝛽 = 80% 𝛽 = 20% Z𝛽 = 1,282 (2 pihak)

(1,960 + 1,282)2 (1,846)


𝑛 = 2[ ]
(17,2 − 15,3)2

𝑛 = 10,74 ≈ 11
Dari perhitungan menggunakan rumus tersebut maka jumlah minimum
sampel yang ditetapkan pada penelitian ini untuk setiap kelompok adalah
11 orang.
4.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik stratified


random sampling, yaitu ibu hamil dengan diagnosis hiperemesis
gravidarum yang datang ke RSSA Malang, RSUD dr. Iskak Tulungagung,
RSUD Gambiran Kediri, RSUD Ngudi Waluya Wlingi, RSI Aisyiyah Pandaan,
dan RSI Masyithoh Bangil pada bulan Oktober dan November 2018 yang
memenuhi kriteria, direkrut sampai besar sampel terpenuhi.

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.4.1 Kriteria Inklusi

 Ibu hamil dengan keluhan mual dan muntah yang terjadi pada
kehamilan dini hingga usia kehamilan 16 minggu
 Ibu hamil dengan gejala muntah yang berat dan disertai dengan
dehidrasi, gangguan elektrolit, dan ketosis

4.4.2 Kriteria Eksklusi

 Ibu hamil dengan keluhan mual dan muntah dengan usia kehamulan >
16 minggu
 Ibu hamil dengan keluhan mual muntah tanpa disertai dehidrasi,
gangguan elektrolit, dan ketosis

42
 Ibu hamil dengan keluhan mual dan muntah akibat penyakit lain yang
telah diketahui sejak sebelum hamil

4.5 Alat Ukur Penelitian

Alat ukur yang digunakan :

 Format kuisioner
Kuisioner digunakan untuk mendapatkan informasi dari responden
berdasarkan karakteristik yang dimilikinya melalui wawancara
terstruktur
 Pemeriksaan serum elektrolit dan keton urin laboratorium

Peralatan Penelitian :

 Alat tulis
 Tabung darah untuk pemeriksaan serum elektrolit
 Tabung sampel urin

4.6 Variabel peneitian

 Variabel tergantung adalah tingkat keparahan muntah, hasil


pemeriksaan elektrolit serum dan adanya keton urin pada ibu hamil
dengan hiperemesis gravidarum
 Variabel bebas adalah ekstrak jahe dengan dosis 250 mg, 500 mg,
dan 1000 mg yang diberikan pada ibu hamil dengan hiperemesis
gravidarum

43
4.7 Definisi Operasional

 Pasien dengan hiperemesis gravidarum adalah ibu hamil dengan


usia kehamilan dini hingga usia kehamilan 16 minggu yang
mengalami mual dan muntah hebat diikuti dengan ketidak
seimbangan elektrolit serum (hipokalemia, hiponatremia), dan
ketosis yang mengakibatkan ketonuria
 Tingkat keparahan muntah adalah seberapa parah keluhan muntah
tersebut dirasakan pasien yang diukur menggunakan kuesioner
dengan menentukan nilai berdasarkan durasi mual dalam 1 hari,
banyaknya muntah dengan ekspulsi dalam 1 hari, dan banyaknya
muntah tanpa ekspulsi dalam 1 hari. Nilai tersebut akan diakumulasi
dan kemudian diklasifikasikan tingkat keparahan muntahnya menjadi
tidak memiliki gejala muntah, gejala muntah ringan, gejala muntah
sedang, dan gejala muntah berat.
 Pengambilan sampel darah diambil dari vena mediana cubiti pasien
hyperemesis gravidarum sebanyak 5 cc menggunakan spuit 5 cc,
kemudian diletakkan pada plain vacutainer dan didiamkan selama 12
jam pada lemari es dengan suhu 4oC agar sel-sel darah dan serum
terpisah. Sedangkan sampel urin diambil dari mid stream saat pasien
berkemih dan ditampung dalam tabung urin sebanyak 50 – 100 cc.
 Elektrolit serum adalah kadar natrium, kalium, dan klorida serum
darah pasien yang diukur melalui pemeriksaan laboratorium.
 Ketosis adalah tingginya kadar keton pada serum darah pasien yang
diukur melalui pemeriksaan keton pada urin yang diukur melalui
pemeriksaan laboratorium.
 Ekstrak jahe yang digunakan adalah ekstrak jahe (Zingiber
officianale) yang didapatkan dari kota Batu dalam bentuk kering yang
telah dijadikan bubuk. Bubuk jahe diperoleh dengan cara

44
membersihkan jahe dari kotoran, kemudian diiris tipis dan
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Jahe kering lalu
dihaluskan hingga menjadi bubuk dengan ukuran 40 mesh dan dan
dikemas dalam kapsul dengan dosis 250 mg, 500 mg dan 1000 mg.

4.8 Alur Penelitian

Pasien hiperemesis gravidarum

Pengisian kuesioner untuk menilai frekuensi dan tingkat keparahan mual

Pengukuran elektrolit serum dan keton urin

Pemberian ekstrak Pemberian ekstrak Pemberian ekstrak Pemberian


jahe 250 mg + jahe 500 mg + jahe 1000 mg + Metoklorpramid
Metoklorpramid 10 Metoklorpramid 10 Metoklorpramid 10 10 mg selama 3
mg selama 3 hari mg selama 3 hari mg selama 3 hari hari

Pengisian kuesioner untuk menilai frekuensi dan tingkat keparahan mual

Pengukuran elektrolit serum dan keton urin

Analisis data

Hasil penelitian

Kesimpulan

Gambar 4. Diagram Alur Penelitian

4.9 Teknik Analisa Data

Data dianalisis secara statistik menggunakan program perangkat lunak

45
SPSS 16 for Windows. Sebelum dilakukan analisa data, data diuji
normalitas dan homogenitasnya. Apabila data normal dan homogen, data
tersebut diuji menggunakan analisa parametrik. Apabila data tidak normal
dan tidak homogen, data tersebut diuji menggunakan analisa non-
parametrik.

Untuk menguji data sampel apakah terdistribusi normal atau tidak, akan
digunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Kriteria keputusan
apakah data terdistribusi normal atau tidak, dapat dilihat dari nilai peluang
empirik atau p-value yang dibandingkan dengan taraf signifikansi α=0.05.
Jika peluang p-value pada uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan nilai lebih besar dari taraf signifikansi α=0.05, maka
disimpulkan bahwa data terdistribusi normal. Sedangkan bila Sig p-value
pada uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov kurang dari α=0.05, maka
disimpulkan data tidak terdistribusi normal.

Uji komparasi dilakukan untuk membandingkan tingkat keparahan


muntah, kadar elektrolit serum dan adanya keton urin pada kelompok ibu
hamil dengan hiperemesis gravidarum yang diberikan ekstrak jahe dengan
dosis 250 mg, 500 mg dan 1000 mg yang ditambahkan Metoklorpramid 10
mg, dengan kelompok ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum yang
diberikan Metoklorpramid 10 mg saja ketika sebelum diberikan terapi
maupun setelah diberikaan terapi. Uji komparasi yang digunakan adalah
ANOVA. Data ditampilkan dalam bentuk diagram batang dalam rerata ±
standar deviasi (SD). Perbedaan yang bermakna antar tiap kelompok
ditunjukkan dengan notasi yang berbeda. Nilai p<0,05 menunjukkan
perbedaan yang bermakna antar kelompok.

Selanjutnya dilakukan uji asosiasi untuk menguji ada atau tidak adanya
tingkat keeratan hubungan dua variabel terukur (minimal berskala interval).

46
Dalam penelitian ini digunakan uji asosiasi Pearson jika data terdistribusi
normal, tetapi jika tidak maka digunakan uji Spearman's rho. Jika nilai
p<0,05 menunjukkan ada asosiasi yang bermakna antar dua variabel.
Selanjutnya tingkat keeratan hubungan (koefisien korelasi / KK) dapat
diartikan ke dalam tujuh tingkatan (Hasan, 2012) sebagai berikut:
KK = 0, tidak ada korelasi.
0 < KK ≤ 0.20, korelasi sangat rendah/lemah tapi pasti.
0.20 < KK ≤ 0.40, korelasi rendah/lemah tapi pasti.
0.40 < KK ≤ 0.70, korelasi yang cukup berarti.
0.70 < KK ≤ 0.90, korelasi yang tinggi; kuat.
0.90 < KK < 1.00, korelasi sangat tinggi; kuat sekali, dapat diandalkan

47
DAFTAR PUSTAKA

Adbel-Aziz H, Windeck T, Ploch M, Verspohl EJ. Mode of action of gingerols and


shogaols on 5-HT3 receptors: binding studies, cation uptake by the receptor
channel and contraction of isolated guinea-pig ileum. Eur J Pharmacol.
2006;530(1–2):136–43.

Aditiyan, W, Haji, ATS, Rahadi, JB. Spasial Analisis For Evaluation Of Apple’s Land
Suitability In Batu City – East Java. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
2014;1:1-7.

Ali BH, Blunden G, Tanira MO, Nemmar A. Some phytochemical, pharmacological and
toxicological properties of ginger (Zingiber officinale Roscoe): a review of recent
research. Food Chem Toxicol. 2008;46(2):409–20.

Basirat Z, Moghadamnia AA, Kashifard M, Sarifi-Razavi A. The effect of ginger biscuit


on nausea and vomiting in early pregnancy. Acta Med Iran. 2009;47(1):51–6.

Bradley PR, editor. British Herbal Compendium Vol. 1: A Handbook of Scientific


Information on Widely Used Plant Drugs. Bournemouth: British Herbal Medicine
Association; 1992.

Chittumma P, Kaewkiattikun K, Wiriyasiriwach B. Comparison of the effectiveness of


ginger and vitamin B6 for treatment of nausea and vomiting in early pregnancy: a
randomized double-blind controlled trial. J Med Assoc Thai. 2007;90(1):15–20.

Committee on Herbal Medicinal Products . Assessment report on Zingiber officinale


Roscoe, rhizome. European Medicines Agency; 2011. EMA/HMPC/577856/2010.

Dahlan MS. 2009. Besar Sampel dan Pengambilan Sampel, dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Davis M. Nausea and vomiting of pregnancy: an evidence-based review. J Perinat


Neonatal Nurs. 2004;18(4):312–28.

Ding M, Leach M, Bradley H. The effectiveness and safety of ginger for pregnancy-
induced nausea and vomiting: a systematic review. Women Birth. 2013;26(1):e26–
30.

48
Ensiyeh J, Sakineh MA. Comparing ginger and vitamin B6 for the treatment of nausea
and vomiting in pregnancy: a randomised controlled trial. Midwifery.
2009;25(6):649–53.

Farnsworth RF, Fong HHS, Mahady GB. WHO Monographs on Selected Medicinal
Plants. Volume 1. Geneva, Switzerland: WHO Publications; 1999. Rhizoma
Zingiberis.

Fischer-Rasmussen W, Kjaer SK, Dahl C, Asping U. Ginger treatment of Hyperemesis


gravidarum. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 1991;38(1):19–24.

Gadsby R, Barnie-Adshead AM, Jagger C. A prospective study of nausea and vomiting


during pregnancy. Bri J Gen Pract. 1993;43(371):245–8.

Giacosa A, Morazzoni P, Bombardelli E, Riva A, Bianchi Porro G, Rondanelli M. Can


nausea be treated with ginger extract? Eur Rev Med Pharmacol Sci.
2015;19(7):1291–6.

Govindarajan VS. Ginger-chemistry, technology and quality evaluation: part-1. Crit Rev
Food Sci Nut. 1982;17(1):1–96.

Haji Seid, Javadi E, Salehi F, Mashrabi O. Comparing the effectiveness of vitamin b6


and ginger in treatment of pregnancy-induced nausea and vomiting. Obstet
Gynecol Int. 2013;2013:927834.

Hall HR, Jolly K. Women’s use of complementary and alternative medicines during
pregnancy: a cross-sectional study. Midwifery. 2014;30(5):499–505.

Harmono dan Andoko, A. 2005. Budidaya dan Peluang Bisnis Jahe. Agromedia
Pustaka. Jakarta.

Heitmann K, Nordeng H, Holst L. Safety of ginger use in pregnancy: results from a large
population-based cohort study. Eur J Clin Pharmacol. 2013;69(2):269–77.

Herrstedt J, Dombernowsky P. Anti-emetic therapy in cancer chemotherapy: current


status. Basic Clin Pharmacol Toxicol. 2007;101(3):143–50.

Hu ML, Rayner CK, Wu KL, et al. Effect of ginger on gastric motility and symptoms of
functional dyspepsia. World J Gastroenterol. 2011;17(1):105–10.

Jiang H, Solyom AM, Timmermann BN, Gang DR. Characterization of gingerol-related


compounds in ginger rhizome (Zingiber oficinale Rosc.) by high-performance liquid
chromatography/electrospray ionization mass spectrometry. Rapid Commun Mass
Spectrom. 2005;19(20):2957–64.

Jiang X, Williams KM, Liauw WS, et al. Effect of ginkgo and ginger on the
pharmacokinetics and pharmacodynamics of warfarin in healthy subjects. Bri J Clin
Pharmacol. 2005;59(4):425–32.

49
Jin Z, Lee G, Kim S, Park CS, Park YS, Jin YH. Ginger and its pungent constituents
non-competitively inhibit serotonin currents on visceral afferent neurons. Korean J
Physiol Pharmacol. 2014;18(2):149–53.

Kaul PN, Joshi BS. Alternative medicine: herbal drugs and their critical appraisal–part
II. Prog Drug Res. 2001;57:1–75.

Keating A, Chez RA. Ginger syrup as an antiemetic in early pregnancy. Altern Ther
Health Med. 2002;8(5):89–91.

Kennedy DA, Lupattelli A, Koren G, Nordeng H. Herbal medicine use in pregnancy:


results of a multinational study. BMC Complement Altern Med. 2013;13:355.

Koren G, Levichek Z. The teratogenicity of drugs for nausea and pregnancy: perceived
versus true risk. Am J Obstet Gynecol. 2002;186(suppl 5):S248–52.

Lacroix R, Eason E, Melzack R. Nausea and vomiting during pregnancy: a prospective


study of its frequency, intensity and patterns of change. Am J Obstet Gynecol.
2000;182(4):931–7.

Lee NM, Saha S. Nausea and vomiting of pregnancy. Gastroenterol Clin North Am.
2011;40(2):309–34.

Li Y, Tran VH, Duke CC, Roufogalis BD. Preventative and protective properties of
Zingiber oficinale (Ginger) in diabetes mellitus, diabetic complications and
associated lipid and other metabolic disorders: a brief review. Evid Based
Complement Alternat Med. 2012;2012:516870.

Marx W, McCarthy AL, Ried K, et al. Can ginger ameliorate chemotherapy-induced


nausea? Protocol of a randomized double blind, placebo-controlled trial. BMC
Complement Altern Med. 2014;14:134.

Matthews A, Haas DM, O’Mathúna DP, Dowswell T, Doyle M. Interventions for nausea
and vomiting in early pregnancy. Cochrane Database Syst Rev. 2014;3:CD007575.

Mazzotta P, Magee LA. A risk-benefit assessment of pharmacological and


nonpharmacological treatments for nausea and vomiting of pregnancy. Drugs.
2000;59(4):781–800.

McCarthy FP, Lutomski JE, Greene RA. Hyperemesis gravidarum: current


perspectives. Int J Womens Health. 2014;6:719–25.

Mohammadbeigi R, Shahgeibi S, Soufizadeh N, Rezaiie M, Farhadifar F. Comparing


the effects of ginger and metoclopramide on the treatment of pregnancy nausea.
Pak J Biol Sci. 2011;14(16):817–20.

Niemeijer MN, Grooten IJ, Vos N, et al. Diagnostic markers for Hyperemesis
gravidarum: a systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol.
2014;211(2):150.e1–15.

50
Ozgoli G, Goli M, Simbar M. Effects of ginger capsules on pregnancy, nausea, and
vomiting. J Altern Complement Med. 2009;15(3):243–6.

Palatty PL, Haniadka R, Valder B, Arora R, Baliga MS. Ginger in the prevention of
nausea and vomiting: a review. Crit Rev in Food Sci Nutr. 2013;53(7):659–69.

Park JS, Jung MY. Development of high-performance liquid chromatography-time-of-


flight mass spectrometry for the simultaneous characterization and quantitative
analysis of gingerol-related compounds in ginger products. J Agric Food Chem.
2012;60(40):10015–26.

Pertz HH, Lehmann J, Roth-Ehrang R, Elz S. Effects of ginger constituents on the


gastrointestinal tract: role of cholinergic M3 and serotonergic 5-HT3 and 5-HT4
receptors. Planta Med. 2011;77(10):973–8.

Pongrojpaw D, Somprasit C, Chanthasenanont A. A randomized comparison of ginger


and dimenhydrinate in the treatment of nausea and vomiting in pregnancy. J Med
Assoc Thai. 2007;90(9):1703–9.

Portnoi G, Chng L-A, Karimi-Tabesh L, Koren G, Tan MP, Einarson A. Prospective


comparative study of the safety and effectiveness of ginger for the treatment of
nausea and vomiting in pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2003;189(5):1374–7.

Ryan JL. Treatment of chemotherapy-induced nausea in cancer patients. Eur Oncol.


2010;6(2):14–6.

Schwertner HA, Rios DC, Pascoe JE. Variation in concentration and labeling of ginger
root dietary supplements. Obstet Gynecol. 2006;107(6):1337–43

Shibata C, Sasaki I, Naito H, Ueno T, Matsuno S. The herbal medicine Dai-Kenchu-


Tou stimulates upper gut motility through cholinergic and 5-hydroxytryptamine 3
receptors in conscious dogs. Surgery. 1999;126(5):918–24.

Smith C, Crowther C, Willson K, Hotham N, McMillian V. A randomized controlled trial


of ginger to treat nausea and vomiting in pregnancy. Obstet Gynecol.
2004;103(4):639–45.

Solimun. 2001. Diklat Metodologi Penelitian LKIP dan PKM Kelompok Agrokompleks.
Malang: Universitas Brawijaya.

Sripramote M, Lekhyananda N. A randomized comparison of ginger and vitamin B6 in


the treatment of nausea and vomiting of pregnancy. J Med Assoc Thai.
2003;86(9):846–53.

Stanisiere J, Mousset P, Lafay S. How Safe Is Ginger Rhizome for Decreasing Nausea
and Vomiting in Women during Early Pregnancy. Foods. 2018; 7 (50): 1-29

Thomson M, Corbin R, Leung L. Effects of ginger for nausea and vomiting in early
pregnancy: a meta-analysis. J Am Board Fam Med. 2014;27(1):115–22.

51
Tunsirikongkon A, Kraisit P, Seubsasana S, Itharat A, Sarisuta N. Formulation
development of herbal capsule containing oleoresisn of Zingiber officinale extract.
Int J Pharmacy Pharm Sci. 2013;5(4):439–45.

Vellacott ID, Cooke EJ, James CE. Nausea and vomiting in early pregnancy. Int J
Gynaecol Obstet. 1988;27(1):57–62.

Verberg MF, Gillott DJ, Al-Fardan N, Grudzinskas JG. Hyperemesis gravidarum, a


literature review. Hum Reprod Update. 2005;11(5):527–39.

Viljoen E, Visser J, Koen N, Musekiwa A. A systemic review and meta-analysis of the


effect and safety of ginger in the treatment of pregnancy-associated nausea and
vomiting. Nutr J. 2014;13:20.

Vutyavanich T, Kraisarin T, Ruangsri R. Ginger for nausea and vomiting in pregnancy:


randomized, double-masked, placebo-controlled trial. Obstet Gynecol.
2001;97(4):577–82.

Walstab J, Krüger D, Stark T, et al. Ginger and its pungent constituents non-
competitively inhibit activation of human recombinant and native 5-HT3 receptors
of enteric neurons. Neurogastroenterol Motil. 2013;25(5):439–47.

Willetts KE, Ekangaki A, Eden JA. Effect of a ginger extract on pregnancy-induced


nausea: a randomised controlled trial. Aust N Z J Obstet Gynaecol.
2003;43(2):139–44.

Yang ZN, Yang W, Peng Q, He Q, Feng Y, Luo S, Yu Z. Volatile phytochemical


composition of rhizome of ginger after extraction by headspace solid-phase
microextraction, petrol ether extraction and steam distillation extraction.
Bangladesh Journal of Pharmacology. 2009; 4(2): 136-43.

Yu Y, Zick S, Li X, Zou P, Wright B, Sun D. Examination of the pharmacokinetics of


active ingredients of ginger in humans. AAPS J. 2011;13(3):417–26.

Zick SM, Djuric Z, Ruffin MT, et al. Pharmacokinetics of 6-gingerol, 8-gingerol, 10-
gingerol, and 6-shogaol and conjugate metabolites in healthy human subjects.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2008;17(8):1930–6.

Zick SM, Ruffin MT, Lee J, et al. Phase II trial of encapsulated ginger as a treatment
for chemotherapy-induced nausea and vomiting. Support Care Can.
2009;17(5):563–72.

52

Anda mungkin juga menyukai