PENDAHULUAN
2.1 Denifisi
Retensio Plasenta adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya plasenta Hingga
atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. (Taufan Nugroho, 2011:158).
Retensio Plasenta adalah plasenta lahir terlambat lebih dari 30 menit (Manuaba, 2007)
2.2 Etiologi
Pada sebagian besar kasus plasenta terlepas secara spontan dari tempat implantasinya
dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah
waktu ini tidak selalu jelas, tetapi tampaknya cukup sering adalah gangguan pelepasan
plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.
Plasenta yang sudah lepas tetapi belum dilahirkan juga merupakan salah satu
penyebab dari retensio plasenta. Keadaan ini dapat terjadi karena atonia uteri dan dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak dan adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim.
Hal ini dapat disebabkan karena penanganan kala III yang keliru/salah dan terjadinya
kontraksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi placenta (placenta inkaserata).
2.3 Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum
sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan
terhenti. Pada kondisi retensio plasenta, lepasnya plasenta tidak terjadi secara bersamaan
dengan janin, karena melekat pada tempat implantasinya. Menyebabkan terganggunya
retraksi dan kontraksi otot uterus sehingga sebagian pembuluh darah tetap terbuka serta
menimbulkan perdarahan.
2.4 Penatalaksanaan
a) Retensio plasenta dengan sparasi parsial
1) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan
yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk
mengedan. Bila ekspulsi tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
2) Beri drips oksitosin dalam infuse NS/RL. Bila perlu kombinasikan
dengan misoprostol per rectal. (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin
karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta
terperangkap dalam kavum uteri)
3) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya
perforasi dan perdarahan. Lakukan trasnfusi darah apabila di perlukan.
4) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin IV/ oral + metronidazol
supositoria/oral)
5) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi syok
neurogenik.
b) Plasenta inkaserata
1) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan.
2) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kontriksi serviks dan melahirkan plasenta.
3) Pilih fluethane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat, siapkan drips
oksitosin dalam cairan NS/RL untuk mengatasi gangguan kontraksi yang
diakibatkan bahan anestesi tersebut.
4) Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilakukan cunam
ovum, lakukan maneuver skrup untuk melahirkan plsenta.
Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital,
kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan
pemantauan yang di perlukan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi
dari bahan –bahan sedative, analgetika atau anastesi umum misalnya mual,
muntah, hipo/ atonia uteri, pusing/ vertigo, halusinasi, mengantuk
c) Plasenta akreta
1) Tanda penting untuk diagnosis pada pemerisaan luar adalah ikutnya
fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit
di tentukan tepi plasenta karena imolantasi yang dalam.
2) Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit
rujukan karena kasus ini memerlukan operatif bagan.
d) Sisa plasenta
1) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar
pasien akan kemabali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi
uterus
2) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang di pilih adalah ampisilin IV dilanjutkan oral
dikombinasikan dengan metronidazol supositoria.
3) Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan
bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase.
4) Bila kadar Hb<8g/dL berikan transfuse darah. Bila kadar Hb> 8g/ dL,
berikan ferosus.
Pada kelainan yang luas, perdarahan menjadi berlebihan sewaktu
dilakukan upaya untuk melahirkan plasenta. Pada sebagian kasus plasenta
menginfasi ligamentum latum dan seluruh serviks (Lin dkk., 1998).
Pengobatan yang berhasil bergantung pada pemberian darah pengganti
sesegera mungkin dan hampir selalu dilakukan tindakan histerektomi (operasi
pengangkatan rahim).
Pada plasenta akreta totalis, perdarahan mungkin sangat sedikit atau
tidak ada. Paling tidak sampai di lakukan upaya pengeluaran plasenta secara
manual. Kadang-kadang tarikan tali pusat dapat menyebabkan inversion uteri.
Inversion uteri adalah uterus terputar balik sehingga fundus uteri terapat
dalam vagina dengan selaput lendirnya sebelah luar. Inversion uteri paling
sering menimbulkan perdarahan akut yang mengancam nyawa.
2.7. Komplikasi
Kompikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain infeksi / komplikasi
yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan, multiple organ failure yang
berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ dan sepsis, ialah apabila
ditemukan plasenta akreta. Dalam hal ini villi korialis menembus desidua dan memasuki
miometrium dan tergantung dari dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta
dan plasenta perkreta. Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan melainkan
sepotong demi sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika disadari adanya plasenta akreta
sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta dengan tangan dihentikan dan segera
dilakukan histerektomi dan mengangkat pula sisa-sisa dalam uterus.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 Pengkajian
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam asuhan keperawatan pada ibu dengan retensio
placenta adalah sebagai berikut:
a. Identitas klien
Data biologis/fisiologis meliputi; keluhan utama, riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat penyakit keluarga, riwayat obstetrik (Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas)
b. Keluhan Utama
Klien mengatakan panas
c. Sirkulasi :
1) Perubahan tekanan darah dan nadi (mungkin tidak tejadi sampai kehilangan
darah bermakna)
2) Pelambatan pengisian kapiler
3) Pucat, kulit dingin/lembab
4) Perdarahan vena gelap dari uterus ada secara eksternal (placentaa tertahan)
5) Dapat mengalami perdarahan vagina berlebihan
6) Haemoragi berat atau gejala syok diluar proporsi jumlah kehilangan darah.
d. Eliminasi:
Kesulitan berkemih dapat menunjukan haematoma dari porsi atas vagina.
e. Nyeri/Ketidaknyamanan :
Sensasi nyeri terbakar/robekan (laserasi), nyeri tekan abdominal (fragmen placenta
tertahan) dan nyeri uterus lateral.
f. Keamanan :
Laserasi jalan lahir: darah memang terang sedikit menetap (mungkin tersembunyi)
Dengan uterus keras, uterus berkontraksi baik; robekan terlihat pada labia
mayora/labia minora, dari muara vagina ke perineum; robekan luas dari episiotomie,
ekstensi episiotomi kedalam kubahvagina, atau robekan pada serviks.
g. Seksualitas :
1) Uterus kuat; kontraksi baik atau kontraksi parsial, dan agak menonjol (fragmen
placentayang tertahan)
2) Kehamilan baru dapat mempengaruhi overdistensi uterus (gestasi multipel,
polihidramnion, makrosomia), abrupsio placenta, placenta previa. Pemeriksaan fisik
meliputi; keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan obstetrik (inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi).
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Risiko tinggi terhadap deficit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang di butuhkan untuk pengiriman oksigen/ nutrient ke sel.
c. Risiko sepsis berhubungan dengan infeksi pada pengambilan placenta.
d. Gangguan aktifitas berhubungan dengan penurunan sirkulasi, kelemahan.
e. Kecemasan berhubungan dengan tindakan invasive.
3.3 Intervensi
a. Diagnosa 1 : Risiko tinggi terhadap deficit volume cairan berhubungan
dengan perdarahan
Tujuan : Agar tidak terjadi deficit volume cairan, seimbang antara inteks
dan output baik jumlah maupun kualitas.
Intervensi :
a) Kaji kondisi status hemodinamika,
R/ Memberikan pengukuran lebih langsung dari volume sirkulasi dan
kebutuhan penggantian.
b) Pantau pemasukan dan pengeluaran ciran harian
R/ Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi kehilangan cairan.
Volume perfusi/sirkulasi adekuat ditunjukan dengan keluaran 30-50 ml/jam
atau lebih besar.
c) Observasi nadi dan tekanan darah
R/ Hal ini dapat menunjukan hipovolemi dan terjadinya syok. Perubahan pada
tekanan darah tidak dapat dideteksi sampai volume cairan telah menurun
sampai 30 - 50%. Sianosis adalah tanda akhir dari hipoksia.
d) Berikan diet makanan berstektur halus
R/ mudah untuk diabsorbsi sistem pencernaan sehingga tidak membutuhkan
energi banyak untuk metabolisme.
e) nilai hasil lab HB/HT
R/ Membantu dalam menentukan kehilangan darah. Setiap ml darah membawa
0,5mgHb.
f) Berikan sejumlah cairan IV sesuai indikasi
R/ untuk meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah pembekuan.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohadjo, Sarwono. 2001. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta
:Yayasan Bina Pustaka
JNPK – KR. 2008. Asuhan persalinan normal. Jakarta IBI. 2006. Bidan Menyonsong Masa
Depan.Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia