Anda di halaman 1dari 58

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala
puji dan syukur bagi Allah swt yang dengan ridho-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Sholawat dan salam tetap
kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw dan untuk
para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi
beliau. Terima kasih kepada keluarga, dosen pembimbing, dan teman-teman
yang terlibat dalam pembuatan makalah ini yang dengan do'a dan bimbingannya
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.
Dalam makalah ini, saya membahas tentang Trombosit” yang saya buat
berdasarkan refrensi yang kami ambil dari berbagai sumber, diantaranya buku
dan internet. Makalah ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan
yang selama ini kita cari. Saya berharap bisa dimafaatkan semaksimal dan
sebaik mugkin.
Demikian pula makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar, 15 Oktober 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I..............................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumus Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan ...................................................................................................2

BAB II.............................................................................................................3

PEMBAHASAN.............................................................................................3

A. Pengertian Antigen................................................................................3
B. Pengertian Antibodi...............................................................................3
C. Struktur Antigen....................................................................................3
D. Struktur Antibodi...................................................................................4
E. Klasifikasi Antigen................................................................................5
F. Klasifikasi Antibodi..............................................................................6
G. Interaksi Antigen dan Antibodi.............................................................7
H. Mekanisme Masuknya Antigen.............................................................8
I. Mekanisme Antibodi.............................................................................9

BAB III............................................................................................................10

PENUTUP.......................................................................................................10

A. Kesimpulan...........................................................................................10
B. Saran......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah yang
warnanya merah. Warna merah keadaannya tidak tetap tergantung pada
banyaknya O2 dan CO2 di dalamnya. Darah yang banyak mengandung CO 2
warnanya merah tua. Adanya O2 dalam darah diambil dengan jalan pernapasan,
dan zat ini sangat berguna pada peristiwa pembongkaran atau metabolisme di
dalam tubuh.

Darah merupakan jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu:

1. Bahan intraseluler adalah cairan yang disebut dengan plasma.plasma


darah adalah cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit
alkali. Kandungan dari plasma terdiri dari gas O 2 dan CO2, hormone-
hormon, enzim, antigen.

2. Unsur-unsur padat, yaitu sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis:

v Eritrosit (sel darah merah)

v Lekosit (sel darah putih)

v Trombosit (keeping-keping darah)

Volume darah secara keseluruhan kira-kira merupakan satu perdua belas berat
badan atau kira-kira 5 liter. Sekitar 55 % adalah cairan, sedangkan 45 % sisanya
dari sel darah. Dan jumlah ini dinyatakan dalam nilai hematokrit atau volume
sel darah yang dipadatkan yang berkisar antara 40-47. Volume darah dalam
kondisi sehat adalah konstan dan sampai batas tertentu diatur oleh tekanan
osmotik dalam pembuluh darah dan dalam jaringan.

Susunan darah, serum darah atau plasma terdiri atas:

 Air terdiri dari 91 %.

 Protein terdiri dari 8 % (Albumin, globulin, protrombin dan fibrinogen)

 Mineral terdiri dari 0,9 % (NaCl, Na 2CO3, garam dari kalsium,fosfor, Mg


dan Fe, dan seterusnya).

Sisanya diisi oleh sejumlah bahan organic, yaitu glukosa, lemak, urea, asam
urat, kreatinin, cholesterol, dan asam amino.

Fungsi darah adalah sebagai berikut:

1) Sebagai sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia,


O2, dan zat makanan yang diperlukan untuk tubuh fungsinya normal dapat
dijalankan dan menyingkirkan CO2 dan hasil buangan lainnya.

2) Mengantarkan O2 ke jaringan dan menyingkirkan sebagian dari karbon


dioksida.

3) Sel darah putih menyediakan bahan pelindung dan karena gerakan


fagositosis dari beberapa sel untuk melindungi tubuh terhadap serangan bakteri.

4) Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan,


menstabilkan cairan jaringan karena melalui cairan sel tubuh menerima
makanannya dan sebagai pengangkut bahan buangan ke berbagai organ
exkretorik untuk dibuang.
5) Hormon, dan enzim diantarkan dari organ ke organ dengan perantaraan
darah.

Pembekuan darah. Bila darah keluar dari vaskulernya maka cepat menjadi lekat
dan segera mengendap sebagai zat kental berwarna merah. Gumpalan mengerut
dan keluar cairan bening berwarna kuning jerami, yang disebut serum. Bila
darah tersebut diperiksa dibawah mikroskop, terlihat benang-benang fibrin yang
tak larut yang terbenttuk dari fibrinogen dalam plasma oleh kerja thrombin.
Benang tersebut, jerat sel darah dan bersamaan membentuk gumpalan, dan
dikumpulkan dalam tabung reaksi maka akan terapung dalam serum.

Trombin adalah alat dalam mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin.


Trombin tidak ada dalam darah normal yang berada dalam pembuluh darah,
tetapi yang ada adalah protombin, yang kemudian diubah menjadi zat aktif
thrombin oleh kerja trombokinase. Trombokinase atau tromboplastin adalah zat
penggerak yang dilepaskan ke darah di tempattt yang luka. Dan ini terbentuk
karena terjadinya kerusakan pada trombosit, yang selama ada garam kalsium
dalam darah akan mengubah protombin menjadi thrombin sehingga terjadi
pengumpalan darah. Penggumpalan darah diperlukan empat factor yaitu:

1. a. Garam kalsium yang dalam keadaan normal ada dalam darah,

2. Sel yang terluka yang membebaskan trombokinase,

3. Trombin yang terbentuk dari protombin bila ada trombokinase, dan

4. Fibrin yang terbentuk dari fibrinogen

Protombin dihasilkan dalam hati. Vitamin K diperlukan untuk mengahasilkan


protombin. Pengumpalan (koagulasi) darah dipercepat oleh panas yang sedikit
lebih tinggi dari suhu badan, kontak dengan bahan kasar, atau dengan pembalut.
Diperlambat karena dingin, kalau disimpan dalam tabung berlapis lilin
disebelah dalamnya sebab darah memerlukan kontak dengan permukaan yang
dapat menjadi basah oleh air sebelum dapat mengumpal sedangkan parafin tidak
memiliki permukaan yang basah oleh air, dapat ditambah kalium sitrat atau
natrium sitrat yang meyingkirkan garam kalsium yang dalam keadaan normal.

Trombus adalah penggumpalan yang terbentuk dalam sirkulasi darah. Keadaan


adanya trombus ini disebut trombosis. Trombosis femoral dapat terjadi sesudah
operasi. Gumpalan dalam arteri koroner menyebabkan trombosis koroner. Bila
sebagian dari gumpalan ini dilepas dan masuk sirkulasi darah disebut embolus.
Bila gumpalan ini melewati jantung dan masuk ke paru-paru melalui salah satu
arteri pulmonalis, maka sebuah pembuluh kecil atau besar dapat tersumbat, dan
terjadilah emboli paru-paru.

1.2.Rumusan masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa itu trombosit?

2. Bagaimana proses pembekuan darah?

3. Patofisiologi dari trombosit?

4. Penyakit yang ditimbulkan akibat kelainan dari trombosit?

1.3.Batasan masalah

Dalam penyusunan makalah ini, hanya dibahas tentang trombosit terhadap


indikasi penyakit.

1.4.Tujuan masalah
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berkut:

1. Untuk mengetahui lebih luas tentang trombosit terhadap indikasi


penyakit.

2. Sebagai pengetahuan tambahan bagi rekan-rekan mahasisiwa baik teman


sekelas maupun yang lainnya yang membaca makalah ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Umum

Trombosit (keping-keping darah) adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti


berdiameter 2-4 mm yang berasal dari megakariosit. Hitung trombosit normal
dalam darah tepi adalah 150.000 – 400.000/µl dengan proses pematangan
selama 7-10 hari di dalam sumsum tulang. Trombosit dihasilkan oleh sumsum
tulang (stem sel) yang berdiferensiasi menjadi megakariosit. Megakariosit ini
melakukan reflikasi inti endomitotiknya kemudian volume sitoplasma
membesar seiring dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatannya,
kemudian sitoplasma menjadi granula dan trombosit dilepaskan dalam bentuk
platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi trombosit adalah
trombopoetin yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-MPL serta
suatu reseptor lain, yaitu interleukin-11. Trombosit berperan penting dalam
hemopoesis, penghentian perdarahan dari cedera pembuluh darah.

Trombosit atau platelet sangat penting untuk menjaga hemostasis tubuh. Adanya
abnormalitas pada vaskuler, trombosit, koagulasi, atau fibrinolisis akan
menggangu hemostasis sistem vaskuler yang mengakibatkan perdarahan
abnormal/gangguan perdarahan (Sheerwood,2001).

Penegakkan diagnosis tentang penyebab utama gangguan perdarahan amat


penting dan hal ini dibutuhkan ketelitian yang cermat, efektif, dan efisien dalam
hal anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang semata-
mata untuk menghindari kesalahan diagnosis. Apapun penyebab gangguan
perdarahan, ternyata memberikan gambaran klinis yang hampir sama. Maka
dari itu, hampir semua kasus gangguan perdarahan membutuhkan pemeriksaan
yang lanjut demi tegaknya diagnosis penyakit tersebut (Candrasoma,2005).

Trombosit memiliki zona luar yang jernih dan zona dalam yang berisi organel-
organel sitoplasmik. Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang
digunakan untuk reaksi adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan
sumbat hemostasis. Membran plasma dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami
invaginasi membentuk sistem kanalikuler. Membran plasma ini memberikan
permukaan reaktif luas sehingga protein koagulasi dapat diabsorpsi secara
selektif. Area submembran, suatu mikrofilamen pembentuk sistem skeleton,
yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur dan berubah bentuk. Sitoplasma
mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa, granula a, lisosome yang
berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi granula disekresikan
melalui sistem kanalikuler. Energi yang diperoleh trombosit untuk kelangsungan
hidupnya berasal dari fosforilasi oksidatif (dalam mitokondria) dan glikolisis
anaerob (Aster,2007; A.V Hoffbrand et al, 2005; Candrasoma,2005).

Kelainan Perdarahan ditandai dengan kecenderungan untuk mudah


mengalami perdarahan, yang bisa terjadi akibat kelainan pada pembuluh darah
maupun kelainan pada darah. Kelainan yang terjadi bisa ditemukan pada faktor
pembekuan darah< atau trombosit. Dalam keadaan normal, darah terdapat di
dalam pembuluh darah (arteri, kapilerdan vena). Jika terjadi perdarahan, darah
keluar dari pembuluh darah tersebut, baik ke dalam maupun ke luar tubuh.
Tubuh mencegah atau mengendalikan perdarahan melalui beberapa cara.
Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh
darah yang mengalami cedera.

Hal ini melibatkan 3 proses utama:

1. Konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah

2. Aktivitas trombosit (partikel berbentuk seperti sel yang tidak teratur, yang
terdapat di dalam darah dan ikut serta dalam proses pembekuan)

3. Aktivitas faktor-faktor pembekuan darah (protein yang terlarut dalam


plasma).

Kelainan pada proses ini bisa menyebabkan perdarahan ataupun pembekuan


yang berlebihan, dan keduanya bisa berakibat fatal.

Fungsi Trombosit

Trombosit memiliki banyak fungsi, khususnya dalam mekanisme hemostasis.


Berikut fungsi dari trombosit (A.V Hoffbrand et al, 2005): mencegah kebocoran
darah spontan pada pembuluh darah kecil dengan caraadhesi, sekresi,
agregasi, dan fusi (hemostasis).Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan
jaringan.

Berperan dalam respon inflamasi.

Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut :


Adanya pembuluh darah yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel
endotelnya rusak dan terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara
alamiah, pembuluh darah yang mengalami trauma akan mengerut
(vasokontriksi). Kemudian trombosit melekat pada jaringan ikat subendotel
yang terbuka atas peranan faktor von Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX
(proses adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi granula trombosit mencakup
ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom (degranulasi).
Trombosit membengkak dan melekat satu sama lain atas bantuan ADP dan
tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan pembentukan
kompleks protein pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini terbentuklah
hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan ini akan dilisiskan jika
jaringan yang rusak telah mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru.
(Candrasoma,2005; Guyton,1997; A.V Hoffbrand et al, 2005).

MENCEGAH PENDARAHAN

Pembuluh darah merupakan penghalang pertama dalam kehilangan darah. Jika


mengkerut sehingga aliran darah keluar menjadi lebih lambat dan proses
pembekuan bisa dimulai. Pada saat yang sama, kumpulan darah diluar
pembuluh darah (hematom) akan menekan pembuluh darah dan membantu
mencegah perdarahan lebih lanjut.

Segera setelah pembuluh darah robek, serangkaian reaksi akan mengaktifkan


trombosit sehingga trombosit akan melekat di daerah yang mengalami cedera.
Perekat yang menahan trombosit pada pembuluh darah ini adalah faktor von
Willebrand, yaitu suatu protein plasma yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam
pembuluh darah. Kolagen dan protein lainnya (terutama trombin), akan muncul
di daerah yang terluka dan mempercepat perlekatan trombosit.

Trombosit yang tertimbun di daerah yang terluka ini membentuk suatu jaring
yang menyumbat luka; bentuknya berubah dari bulat menjadi berduri dan
melepaskan protein serta zat kimia lainnya yang akan menjerat lebih banyak
lagi trombosit dan protein pembekuan.

Trombin merubah fibrinogen (suatu faktor pembekuan darah yang terlarut)


menjadi serat-serat fibrin panjang yang tidak larut, yang terbentang dari
gumpalan trombosit dan membentuk suatu jaring yang menjerat lebih banyak
lagi trombosit dan sel darah.

Serat fibrin ini akan memperbesar ukuran bekuan dan membantu menahannya
agar pembuluh darah tetap tersumbat. Rangkaian reaksi ini melibatkan
setidaknya 10 faktor pembekuan darah. Suatu kelainan pada setiap bagian
proses hemostatik bisa menyebabkan gangguan. Pembuluh darah yang rapuh
akan lebih mudah mengalami cedera atau tidak dapat mengkerut.
Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika jumlah trombosit terlalu
sedikit, trombosit tidak berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada
faktor pembekuan. Jika terjadi kelainan pembekuan, maka cedera yang ringan
pun bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Sebagian besar faktor
pembekuan dibuat di dalam hati, sehingga kerusakan hati yang berat bisa
menyebabkan kekurangan faktor tersebut di dalam darah.

Vitamin K (banyak terdapat pada sayuran berdaun hijau) sangat penting dalam
pembuatan bentuk aktif dari beberapa faktor pembekuan. Karena itu kekurangan
zat gizi atau obat-obatan yang mempengaruhi fungsi normal vitamin K
(misalnya warfarin) bisa menyebabkan perdarahan. Kelainan perdarahan juga
bisa terjadi jika pembekuan yang berlebihan telah menghabiskan sejumlah besar
faktor pembekuan dan trombosit atau jika suatu reaksi autoimun menghalangi
aktivitas faktor pembekuan.

Reaksi yang menyebabkan terbentukan suatu gumpalan fibrin diimbangi oleh


reaksi lainnya yang menghentikan proses pembekuan dan melarutkan bekuan
setelah keadaan pembuluh darah membaik. Tanpa sistem pengendalian ini,
cedera pembuluh darah yang ringan bisa memicu pembekuan di seluruh tubuh.
Jika pembekuan tidak dikendalikan, maka pembuluh darah kecil di daerah
tertentu bisa tersumbat. Penyumbatan pembuluh darah otak bisa menyebabkan
stroke; penyumbatan pembuluh darah jantung bisa menyebabkan serangan
jantung dan bekuan-bekuan kecil dari tungkai, pinggul atau perut bisa ikut
dalam aliran darah dan menuju ke paru-paru serta menyumbat pembuluh darah
yang besar di paru-paru (emboli pulmoner).

GANGGUAN PERDARAHAN

Gangguan Perdarahan adalah sebagai berikut:

1.Cacat Vaskular

a. Purpura sederhana dan senilis(peningkatan fragilitas kapiler, khususnya pada


usia lanjut)

b. Vaskulitis hipersensitivitas, banyak gangguan autoimun (peradangan)

c. Kekurangan vitamin C (skorbut, kolagen defektif)

d. Amiloidisis (pembuluh yang gagal berkontriksi)

e. Adenokortikosteroid berlebih (terapeutik atau penyakit Cushing)

f. Telanglektasia hemoragik herediter (sindrom osler-weber-rendut)

g. Penyakit Ehlers-dahlons (kolagen defektif)

h. Purpura Henoch-schonlein
i. Sindrom marfan (elastin defektif)

2.Gangguan Trombosit

a. Menurun (trombositopenia)

b. Fungsi trombosit abnormal

3.Gangguan Koagulasi

a. Defesiensi faktor koagulasi

b. Keberadaan faktor antikoagulan

4.Fibrinolisis Berlebihan

a. Koagulasi intravaskular diseminata

b. Fibrinolisis primer

Perdarahan ke dalam kulit

a. Petekie : perdarahan fokal berukuran sebesar pentul

b. Purpura : multipel, berbentuk tidak beraturan atau lesi ungu oval (2-5 mm
atau lebih besar).

c. Ekimosis (memar) : purpura konfluen; semuanya menunjukkan perubahan


warna berurutan-merah, ungu, coklat-ketika eritrosit yang terekstavasasi terurai
dalam jaringan.

d. Hematom : ekimosis meliputi daerah yang luas.

Perdarahan berlebihan atau memanjang.


Pasca trauma, sering trauma minimal : pasca bedah (misalnya, pencabutan gigi),
perdarahan spontan(tanpa riwayat trauma) ke dalam otot rangka, sendi, dan
otak.
Perdarahan dari permukaan mukosa.Epistaksis, perdarahan pada gusi,
hemoptisis, hematuria, dan melena.Perdarahan dari berbagai lokasi

OBAT-OBAT YANG MEMPENGARUHI PEMBEKUAN

Jenis-jenis obat tertentu bisa membantu seseorang yang memiliki resiko tinggi
membentuk bekuan darah yang berbahaya. Pada penyakit arteri koroner yang
berat, gumpalan kecil dari trombosit bisa menyumbat arteri yang sebelumnya
telah menyempit dan memutuskan aliran darah ke jantung, sehingga terjadi
serangan jantung.

Aspirin dosis rendah (dan beberapa obat lainnya) bisa mengurangi perlengketan
antar trombosit sehingga tidak akan terbentuk gumpalan yang akan menyumbat
arteri.

Antikoagulan mengurangi kecenderungan terbentuknya bekuan darah dengan


cara mencegah aksi dari faktor pembekuan. Antikoagulan seringkali disebut
sebagai pengencer darah, meskipun sesungguhnya tidak benar-benar
mengencerkan darah.

Antikoagulan yang sering digunakan adalah warfarin (per-oral) dan heparin


(suntikan).

Seseorang yang memiliki katup jantung buatan atau harus menjalani tirah baring
selama berbulan-bulan, seringkali mendapatkan antikoagulan sebagai tindakan
pencegahan terhadap pembentukan bekuan. Orang yang mengkonsumsi
antikoagulan harus diawasi secara ketat. Pemantauan terhadap efek obat ini
dilakukan melalui pemeriksaan darah untuk mengukur waktu pembekuan dan
hasil pemeriksaan ini dipakai untuk menentukan dosis selanjutnya. Dosis yang
terlalu rendah tidak dapat mencegah pembekuan, sedangkan dosis yang terlalu
tinggi bisa menyebabkan perdarahan hebat.

Fibrinolitik adalah obat-obat yang membantu melarutkan bekuan yang telah


terbentuk.

Segera melarutkan bekuan bisa mencegah kematian jaringan jantung karena


kekurangan darah akbiat penyumbatan pembuluh darah. Fibrinolitik yang biasa
digunakan untuk melarutkan bekuan pada penderita serangan jantung adalah
streptokinase, urokinase dan aktivator plasminogen jaringan.

MUDAHMEMAR

Seseorang bisa mudah memar karena kapiler yang rapuh di dalam kulit. Setiap
pembuluh darah kecil ini robek maka sejumlah kecil darah akan merembes dan
menimbulkan bintik-bintik merah di kulit (peteki) atau cemar ungu kebiruan
(purpura).

Wanita lebih mudah mengalami memar akibat cedera ringan, terutama pada
paha, bokong dan lengan atas. Kadang hal ini merupakan keturunan.
Kebanyakan keadaan ini tidak serius, tetapi bisa merupakan suatu pertanda
bahwa ada sesuatu yang salah dalam elemen pembekuan darah, terutama
trombosit. Untuk mengetahuinya bisa dilakukan pemeriksaan darah.

Pada usia lanjut (terutama jika banyak terkena sinar matahari), memar biasanya
timbul di punggung tangan dan lengan bawah (purpura senilis). Usia lanjut
sangat mudah membentuk memar jika terbentur atau jatuh karena pembuluh
darahnya rapuh dan lapisan lemak dibawah kulitnya tipis. Darah yang
merembes dari pembuluh darah yang rusak akan membentuk bercak ungu tua
(hematom). Memar ini bisa menetap selama beberapa waktu, dan pada akhirnya
menjadi hijau muda, kuning atau coklat. Mudah memar bukan merupakan
penyakit dan tidak memerlukan pengobatan. Untuk mengurangi memar,
sebaiknya hindari cedera.

KELAINAN JARINGAN IKAT

Pada penyakit tertentu, misalnya sindroma Ehlers-Danlos, terdapat kolagen


(serat protein yang kuat di dalam jaringan ikat) yang lemah. Kolagen
mengelilingi dan menyokong pembuluh darah yang melewati jaringan ikat,
karena itu kelainan pada kolagen bisa menyebabkan pembuluh darah sangat
peka terhadap robekan.

Tidak ada pengobatan khusus, penderita sebaiknya menghindari cedera dan jika
terjadi perdarahan harus segera diatasi.

Penyebab tidak terjadinya bekuan darah:

1. Trombositopenia : konsentrasi trombosit yang rendah di dalam darah

2. Penyakit von Willebrand : trombosit tidak melekat pada lubang di dinding


pembuluh darah

3. Penyakit trombosit herediter : trombosit tidak melekat satu sama lain


untuk membentuk suatu sumbatan

4. Hemofilia : tidak ada faktor pembekuan VII atau IX


5. DIC (disseminated intravascular coagulation) : kekurangan faktor
pembekuan karena pembekuan yang berlebihan.

2.2.Patofisiologi Trombosit

 Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit kurang dari


200.000/mm3 dalam sirkulasi. Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan
risiko pendarahan hebat, bahkan dengan cedera ringan atau perdarahan
spontan kecil.

Trombositopenia primer dapat terjadi akibat penyakit otoimun yang ditandai


oleh pembentukan antibody terhadap trombosit. Misalnya pada:

v Penggantian darah yang masif atau transfuse ganti (karena platelet tidak dapat
bertahan di dalam darah yang ditransfusikan)

v Pembedahan bypass kardiopaskuler

v Keadaan-keadaan yang melibatkan pembekuan dalam pembuluh


darah(komplikasi kebidanan, kanker, keracunan darah, akibat bakteri gram
negative, kerusakan otak traumatic.

Sebab-sebab Trombositopenia sekunder adalah berbagai obat atau infeksi virus


atau bakteri tertentu. Misalnya pada penyakit:

v Infeksi HIV

v Obat-obatab (heparin, kunidin,kuinin, antibiotic yang mengandung sulfa,


beberapa obat diabetesper-oral, garam emas, rifamicin)

v Infeksi berat disertai septicemia (keracunan darah)

v Keukemia kronik pada bayi


v Limpoma

v Purpura trombositopenik idiopatik (ITP)

Koagulasi intravaskuler diseminata (disseminated intravascular coagulation,


DIC) timbul apabila terjadi trombositopenia akibat pembekuan yang meluas
akibat:

v Anemia aplastik

v Hemoglobinuria noktural paroksismal

v Leukemia

v Pemakaian alcohol yang berlebihan

v Anemia megaloblastik

v Kelainan sumsum tulang

Manisfestasi Klinis

Pendarahan pada kulit bisa merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit
yang berkurang, bintuk-bintik keunguan seringkali muncul di tungkai bawah
dan cederaringan bisa menyebabkan memar yang menyebar.

Penyakit ini dapat menyebabkan pendarahaan pada gusi. Di dalam tinja dan air
kemih juga dapat ditemukan darah. Pada penderita wanita, darah pada waktu
menstruasi sangat banyak. Pendarahan sulit berhenti sehingga pembedahan dan
kecelakaan bisa berakibat fatal bagi penderita. Jika jumlah trombosit semakin.
menurun, maka pendarahan akan semakin memburuk. Jumlah trombosit kurang
dari 5.000-10.000/ml bisa menyebabkan hilangnya sejumlah besar darah
melalui saluran pencernaan atau terjadi pendarahan di otak ( meskipun otaknya
tidak mengalami cedera ) yang dapat berakibat sangat fatal bagi kehidupan
penderita. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

 Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit diatas 400.000/mm3


dalam sirkulasi. Dan ini berkaitan dengan peningkatan risiko trombosit
dalam system pembuluh. Apabila terjadi berkepanjangan akan mengalami
memar dan perdarahan, karena trombosit habis terpakai.

Trombositosis dibagi menjadi dua yaitu:

1. Trombositosis primer

Trombositosis primer dapat terjadi pada polisitemia vera atau leukemia


grunulomasitik kronik dimana bersama kelompok sel lainnya mengalami
poliferasi abnormal sel megakariosit dalam sumsum tulang.

1. Trombositosis sekunder

Terjadi akibat infeksi, olahraga, ovulasi, dan stress atau kerja fisik disertai
pengeluaran trombosit dari pool cadangan ( dari limpa) atau saat terjadinya
peningkatan permintaan sumsum tulang seperti pada pendarahan atau pada
anemia hemolitik. Jumlah trombosit yang meningkat juga ditemukan pada orang
yang limpanya sudah dibuang dengan pembedahan. Limpa adalah tempat
penyimpanan dan penghancuran utama trombosit, splenektomi tanpa disertai
pengurangan pembentukan sumsum tulang juga dapat menyebabkan
trombositosis. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003.)

2.3. Penyakit Akibat Gangguan Pembekuan Darah

A.HEMOFILI
Hemofilia adalah gangguan koagulasi herediter akibat terjadinya mutasi atau
cacat genetik pada kromosom X. Kerusakan kromosom ini menyebabkan
penderita kekurangan faktor pembeku darah sehingga mengalami gangguan
pembekuan darah. Dengan kata lain, darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secara normal. (Dr.Umar zein, 2008)

Hemofilia tak mengenal ras, perbedaan warna kulit ataupun suku bangsa.
Namun mayoritas penderita hemofilia adalah pria karena mereka hanya
memiliki satu kromosom X. Sementara kaum hawa umumnya hanya menjadi
pembawa sifat (carrier). Seorang wanita akan benar-benar mengalami hemofilia
jika ayahnya seorang hemofilia dan ibunya pun pembawa sifat. Akan tetapi
kasus ini sangat jarang terjadi. Meskipun penyakit ini diturunkan, namun
ternyata sebanyak 30 persen tak diketahui penyebabnya. (Dr.Umar zein, 2008)

Ada dua jenis utama Hemofilia , yaitu:

1. Hemofilia A:

Disebut Hemofilia Klasik. Pada hemofilia ini, ditemui adanya defisiensi atau
tidak adanya aktivitas faktor antihemofilia VIII, protein pada darah yang
menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah. ( Gugun,2007)

1. Hemofilia B :

Disebut Christmas Disease. Ditemukan untuk pertama kalinya pada seorang


bernama Steven Christmas yang berasal dari Kanada.pada Christmas Disease
ini, dijumpai defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor IX. (Gugun, 2007)

Penyakit hemofilia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

1. Hemofilia berat, jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1 %.

2. Hemofilia sedang, jika kadar aktivitas faktor antara 1-5 %.


3. Hemofilia ringan, jika kadar aktivitas faktor antara 6-30 %.

Gangguan pembekuan darah terjadi karena kadar aktivitas faktor pembeku


darah jenis tertentu kurang dari jumlah normal, bahkan hampir tidak ada.
Sementara tingkat normal faktor VIII dan IX adalah 50-200 %. Pada orang
normal, nilai rata-rata kedua faktor pembeku darah adalah 100%. (Gugun,2007)

Faktor penyebab Hemofilia

1. Faktor Genetik

Hemofilia atau pennyakit gangguan pembekuan darah memang menurun dari


generasi ke generasi lewat wanita pembawa sifat (carier) dalam keluarganya,
yang bisa secara langsung, bisa tidak. Seperti kita ketahui, di dalam setiap sel
tubuh manusia terdapat 23 pasang kromosom dengan bebagai macam fungsi dan
tugasnya. Kromosom ini menentukan sifat atau ciri organisme, misalnya tinggi,
penampilan, warna rambut, mata dan sebagainya. Sementara, sel kelamin adalah
sepasang kromosom di dalam initi sel yang menentukan jenis kelamin makhluk
tersebut. Seorang pria mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y,
sedangkan wanita mempunyai dua kromosom X. Pada kasus hemofilia,
kecacatan terdapat pada kromosom X akibat tidak adanya protein faktor VIII
dan IX (dari keseluruhan 13 faktor), yang diperlukan bagi komponen dasar
pembeku darah (fibrin). (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi
klinik proses-proses penyakit vol.1.)

1. Faktor komunikasi antar sel


Sel-sel di dalam tubuh manusia juga mempunyai hubungan antara sel satu
dengan sel lain yang dapat saling mempengaruhi. Penelitian menunjukkan,
peristiwa pembekuan darah terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem yang sangat
rumit. Terjadi interaksi atau komunikasi antar sel, sehingga hilangnya satu
bagian saja yang membentuk sistem ini, atau kerusakan sekecil apa pun
padanya, akan menjadikan keseluruhan proses tidak berfungsi.. Jalur intrinsik
menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam sistem vaskular atau plasma.
Dalam rangkaian ini, terdapat reaksi air terjun, pengaktifan salah satu
prokoagulan akan mengakibatkan pengaktifan bentuk seterusnya. Faktor XII,
XI, dan IX harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan
sebelum faktor X dapat diaktivasi. Zat prekalikein dan kiininogen berat molekul
tinggi juga ikut serta dan juga diperlukan ion kalsium. Koagulasi terjadi di
sepanjang apa yang dinamakan jalur bersama. Aktivasi faktor X dapat terjadi
sebagai akibat reaksi jalur ekstrinsik atau intrinsik. Pengalaman klinis
menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut berperan dalam hemostasis. Pada
penderita hemofilia, dalam plasma darahnya kekurangan bahkan tidak ada
faktor pembekuan darah, yaitu faktor VIII dan IX. Semakin kecil kadar aktivitas
dari faktor tersebut maka, pembentukan faktor Xa dan seterusnya akan semakin
lama. Sehingga pembekuan akan memakan waktu yang lama juga (terjadi
perdarahan yang berlebihan). (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003.)

1. Faktor epigenik

Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII dan hemofilia B disebabkan


kekurabgab faktor IX. Kerusakan dari faktor VIII dimana tingkat sirkulasi yang
fungsional dari faktor VIII ini tereduksi. Aktifasi reduksi dapat menurunkan
jumlah protein faktor VIII, yang menimbulkan abnormalitas dari protein. Faktor
VIII menjadi kofaktor yang efektif untuk faktor IX yang aktif, faktor VIII aktif,
faktor IX aktif, fosfolipid dan juga kalsium bekerja sama untuk membentuk
fungsional aktifasi faktor X yang kompleks (”Xase”), sehigga hilangnya atau
kekurangan kedua faktor ini dapat mengakibatkan kehilangan atau
berkurangnya aktifitas faktor X yang aktif dimana berfungsi mengaktifkan
protrombin menjadi trombin, sehingga jiaka trombin mengalami penurunan
pembekuanyang dibentuk mudah pecah dan tidak bertahan mengakibatkan
pendarahan yang berlebihan dan sulit dalam penyembuhan luka. (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson,2003

Patogenesis penyakit hemofilia

Proses kejadian dimulai dari terjadinya cedera pada permukaan jaringan,


kemudian dilanjutkan pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami
agregasi. Ada proses utama homeostatis pada pembekuan darah

1. Fase kontriksi sementara (respon langsung terjadi cedera)

2. Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, seperti factor III dari membrane
trombosit juga mempercepat reaksi.

3. Pengaktifan factor-faktor pembekuan, seperti factor III dari membrane


trombosit, juga mempercepat pembekuan darah dengan cara ini,
terbentuklah sumbatan trombosit yang kemudian diperkuat oleh protein
filamentosa yang dikenal dengan fibrin.(Sylvia A.Price & Lioraine M.
Wilson,2003)

Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa (belum aktif).


Rangkaian reaksi pertama memerlukan faktor jaringan (tromboplastin) yang
dilepas endotel pembuluh saat cedera. Faktor jaringan ini tidak terdapat dalam
darah, sehingga disebut faktor ekstrinsik. Sedangkan faktor VIII dan IX terdapat
dalam darah, sehingga disebut jalur intrinsik. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)

Dalam proses ini, pengaktifan salah satu prokoagulan akan mengakibatkan


pengaktifan bentuk penerusnya. Jalur intrinsik diawali dengan keluarnya plasma
atau kolagen melalui pembuluh yang rusak dan mengenai kulit. Faktor-faktor
koagulasi XII, XI, dan IX harus diaktifkan berurutan. Faktor VIII harus
dilibatkan sebelum faktor X diaktifkan. Namun pada penderita hemofilia faktor
VIII mengalami defisiensi, akibatnya proses pembekuan darah membutuhkan
waktu yang lama untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.Kondisi seperti inilah
yang menghambat pengaktifan jalur intrinsik. Secara tidak langsung juga
menghambat jalur bersama, karena faktor X tidak bisa diaktifkan.Pembentukan
fibrin, walaupun dibantu oleh fosfolipid, trombosit tidak berarti tanpa faktor Xa.
Untaian fibrin tidak terbentuk maka dinding pembuluh yang cedera menutup.
Dan perdarahan pun sulit dihentikan, hal ini dapat diuji dengan tingginya
(lamanya) PTT (partial tromboplastin time). (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson., 2003)

Manisfestasi klinik

Hemofilia A atau hemofilia klasik berkarakteristik perdarahan berlebihan


sebagian besar bagian tubuh. Hematoma dan Hemarthroses dapat terjadi pada
penyakit ini. Gejala klinis dapat berupa perdarahan spontan yang berulang
dalam sendi, otot, maupun anggota tubuh yang lain. Hal ini dapat berakibat
kecacatan pada sendi dan otot, bahkan perdarahan berlanjut dapat menyebabkan
kematian pada usia dini. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

Di sisi lain jika luka sobek di permukaan kulit, darah akan terlihat mengalir
keluar perlahan kemudian pasti menjadi kumpulan darah yang lembek. Tetapi
bila lukanya di bawah kulit, akan terjadi memar atau lebam kebiruan kendati
luka itu berasal dari benturan. Beda lagi jika perdarahan terjadi di persendian
dan otot. Jaringan di sekitarnya bisa rusak. Itulah sebabnya mengapa hemofilia
bisa menyebabkan kelumpuhan. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

Hemofilia A dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu : ringan, sedang, dan berat.
Berikut ini akan menjelaskan manifestasi klinis berdasarkan klasifikasi
hemofilia:

a) Hemofilia berat tingkat faktor VIII : ≤ 1% dari normal (≤ 0,01 U/ml)

Manifestasi klinis :

 Perdarahan spontan sejak awal masa pertumbuhan (masa infant).

 Lamanya perdarahan spontan dan perdarahan lainnya membutuhkan


faktor pembekuan pengganti.

 Frekuensi perdarahan sering dan terjadi secara tiba-tiba.

b)Hemofilia sedang tingkat faktor VIII : 1-5 % dari normal (0,01-0,05 U/ml)

Manifestasi klinis :

 Perdarahan karena trauma atau pembedahan.

 Frekuensi perdarahan terjadi kadang-kadang.hemofilia.

c)Hemofilia ringan tingkat faktor VIII : 6-30 % dari normal (0,06-0,30 U/ml)

Manifestasi klinis :

 Perdarahan karena trauma atau pembedahan.


 Frekuensi perdarahan jarang.

 ØGejala penyakit Hemofilia

 Apabila terjadi benturan pada tubuh akan mengakibatkan kebiru-biruan


(pendarahan dibawah kulit).

 Apabila terjadi pendarahan di kulit luar maka pendarahan tidak dapat


berhenti.

 Pendarahan dalam kulit sering terjadi pada persendian seperti siku tangan
maupun lutut kaki sehingga mengakibatkan rasa nyeri yang hebat.
Sendi dan otot yang mengalami pendarahan terlihat bengkak dan nyeri
bila disentuh.(andra. 2007)

Dampak Psikologis Penderita

Timbulnya suatu penyakit yang kronis – seperti pada hemofilia – dalam suatu
keluarga memberikan tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut
adanya penyesuaian antara si penderita sakit dan anggota keluarga yang lain.
Penderita sakit ini sering kali harus mengalami hilangnya otonomi diri,
peningkatan kerentanan terhadap sakit, beban karena harus berobat dalam
jangka waktu lama. Sedangkan anggota keluarga yang lain juga harus
mengalami “hilangnya” orang yang mereka kenal sebelum menderita sakit
(berbeda dengan kondisi sekarang setelah orang tersebut sakit), dan kini
(biasanya) mereka mempunyai tanggungjawab pengasuhan terhadap anggota
keluarga yang mengalami penyakit hemofilia. ( Dr. Ika Widyawati SpKJ, 2007)
Kondisi penyakit yang kronis ini menimbulkan depresi pada anggota keluarga
yang lain dan mungkin menyebabkan penarikan diri atau konflik antar mereka.
Kondisi ini juga menuntut adaptasi yang luar biasa dari keluarga.Hemofilia
tidak hanya merupakan masalah medis atau biologis semata, namun juga
mempunyai dampak psikososial yang dalam.Pengaruh orang dengan hemofilia
sebaiknya tidak hanya memperhatikan masalah fisiologi-nya saja – misal
mengontrol perdarahannya dan mencegah timbulnya disabilitas fisik – tetapi
juga diharapkan mempunyai perhatian pada berbagai gangguan alam
perasaannya, rasa tidak amannya, rasa terisolasi dan masalah keluarga
terdekatnya (orangtua, istri, anak dan saudara kandung).( Dr. Ika Widyawati
SpKJ, 2007)

B. Penyakit Von Willebrand

Penyakit von willebrand adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh


kekurangan atau kelainan pada vaktor von willebrand di dalam darah yang
sifatnya diturunkan. Faktor von willebrand adalah suatu protein yang
mempengaruhi fungsi trombosit.

Faktor von Willebrand ditemukan di dalam plasma, trombosit dan dinding


pembuluh darah. Jika faktor ini hilang atau jumlahnya kurang, maka tidak akan
terjadi penyumbatan pembuluh darah yang terluka (proses melekatnya trombosit
ke dinding pembuluh yang mengalami cedera). Sebagai akibatnya, perdarahan
tidak akan segera terhenti sebagaimana mestinya, meskipun pada akhirnya
biasanya akan berhenti

Biasanya penderita memiliki orang tua dengan riwayat gangguan perdarahan.


Anak mudah mengalami memar atau mengalami perdarahan yang berlebihan
setelah kulitnya tergores, pencabutan gigi, pengangkatan amandel maupun
pembedahan lainnya.

Pada wanita, darah menstruasinya sangat banyak. Di lain fihak, perubahan


hormonal, stres, kehamilan peradangan dan infeksi bisa merangsang tubuh
untuk meningkatkan pembentukan faktor von Willebrand dan untuk sementara
waktu bisa memperbaiki pembentukan bekuan.

Gen yang membuat VWF bekerja pada dua jenis sel yaitu :
– Sel endotel yaitu yang melapisi pembuluh darah, dan

– Trombosit

Jika tidak terdapat cukup VWF dalam darah, atau tidak bekerja dengan baik,
maka dalam proses pembekuan darah memerlukan waktu lebih lama. Penyakit
ini tidak sama dengan hemofilia dan sering dialami oleh wanita. (Sylvia A.Price
&Lloraine M.Wilson.2003)

 Ø Patogenesis

Dalam tubuh darah diangkut dalam pembuluh darah. Jika ada cedara jaringan,
terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah
melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat
permukaan seperti saat terpotong. Atau ia dapat rusak di bagian dalam tubuh
sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)

Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah
yang normal adalah sebagai berikut:
1. pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.

2. Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah

yang luka.

1. Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang


rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan
zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan
menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini
disebut agregasi trombosit.

2. Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat


terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam
darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan
fibrin.
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan
darah. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki
cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor
tersebut tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat
bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah
pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat
melapisi dinding pembuluh darah. (Gugun,2007)

Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu
protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya
faktor VIII dalam dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan darah
akan memakan waktu yang lebih lama. (Gugun,2007)

-patogenesis
Apabila konsentrasi trombosit tinggi, terjadi agregasi spontan pada trombosit,
menyumbat kapiler-kapiler darah yang lembut. Pada proses ini, dinding kapiler
akan rusak yang dapat menimbulkan . pemeriksaan masa pendarahan dan fungsi
trombosit lain pada umumnya dalam batas normal. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003.)

 Ø Manisfestasi klinis

Penderita penyakit ini akan mudah mengalami pendarahan karena faktor


perekatnya dalam proses pembekuan darah berkurang atau proses penutupan
luka berlangsung lama dikarenakan proses pembekuan darahnya memerlukan
waktu yang lebih lama dibanding orang normal. (Gugun,2007)

Meningkatnya jumlah trombosit di dalam plasma darah, dapat menyebabkan


pendarahan di mukosa, khususnya di dalam mukosa saluran cerna., pendarahan
juga terjadi di pembuluh darah vena dan arteri. Fungsi abnormal dari trombosit
dapat menyebabkan pendarahan yang panjang. (Sylvia A.Price &Lloraine
M.Wilson,2003)

Aspirin dan obat artritis lainnya bisa memperburuk perdarahan karena obat
tersebut mempengaruhi fungsi trombosit.

Untuk mengurangi nyeri, kepada penderita penyakit von Willebrand bisa


diberikan asetaminofen karena obat ini tidak mengganggu fungsi trombosit.
Pemeriksaan laboratorium bisa menunjukkan bahwa jumlah trombosit normal
tetapi waktu perdarahan menjadi lama. Bisa dilakukan pemeriksaan untuk
mengukur jumlah faktor von Willebrand di dalam darah. Faktor von Willebrand
adalah protein yang membawa faktor VII, karena itu kadar faktor VII juga bisa
menurun.Jika terjadi perdarahan hebat, diberikan transfusi faktor pembekuan
darah yang mengandung faktor von Willebrand.

Pada penyakit yang ringan, diberikan desmopressin untuk meningkatkan jumlah


faktor von Willebrand, sehingga penderita bisa menjalani pembedahan atau
prosedur gigi tanpa transfusi.

Penyebabnya bisa keturunan (contohnya penyakit von Willebrand) atau didapat


(misalnya akibat obat-obat tertentu).

Kelainan platelet herediter

Angka Beratnya
Penyakit Keterangan
kejadian perdarahan
Kekurangan atau tidak
Ringan sampai
ada faktor von Willebrand
sedang; bisa berat
(protein yg mengikat
Penyakit von Relatif pada penderita yg
trombosit pada dinding
Willebrand sering memiliki faktor
pembuluh darah yg
von Willebrand
robek) atau kekurangan
sangat sedikit
faktor VII
Kekuarangan granul
trombosit yg
Penyakt storage Relatif
menyebabkan gangguan Ringan
pool jarang
pada pembentukan
gumpalan trombosit
Sindroma Ch?
Merupakan bentuk
diak-Higashi &
Jarang penyakit storage poll yg Bervariasi
Hermansky-
khusus
Pudlak
Disfungsi Sangat Gangguan respon Ringan
trombosit terhadap
tromboksan A2 jarang rangsangan untuk
membentuk gumpalan
Hilangnya protein di
permukaan trombosit yg
Trombastenia Jarang diperlukan untuk Bervariasi
pembentukan gumpalan
trombosit
Hilangnya protein di
permukaan trombosit &
Sindroma trombosit yg berukuran
Jarang Bervariasi
Bernard-Soulier besar yg tidak menempel
pada dinding pembuluh
darah

B. D.I.C( Disseminated Intravascular Coagulation ) atau pembekuan


intravaskuler tersebar.

Pembekuan intravaskuler tersebar (DIC) adalah sindrom multifaset, sindrom


kompleks dimana homeostatik normal dan sistem fisiologik yang
mempertahankan darah agar tetap cair berubah menjadi sistem yang patologik,
sehingga terjadi trombi fibrin yang menyumbat miovaskuler dari tubuh.
Keadaan ini sering timbul akibat banyaknya jaringan yang cedera atau mati
yang melepaskan faktor jaringan dalam jumlah besar kedalam darah, seringkali
bekuan ini ukurannya kecil-kecil tapi banyak dan bekuan ini menyumbat
sejumlah besar darah perifer yang kecil, terutama terjadi pada syok septikemik.
(Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,2003)
Faktor penyebab antara lain:

1. Mikroorganisme : bakteri dan jamur.Misalnya : pada syok septikemik.Bakteri


mengiritasi lapisan pembukuh darah (terutama endotoksin) sehingga
mengaktifkan mekanisme pembekuan darah.

2. Luka Bakar

Luka bakar yang terlalu parah dapat menyebabkan banyak sekali sumbatan
pembuluh darah.

3. Leukimia Promielositik

4. Produk – produk tumor

5. Cedera remuk

6. Solusio plasenta (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

Patogenesis

Diawali dengan masuknya materi atau aktivasi proakoagulasi ke dalam sirkulasi


darah. Ini dapat ditemukan pada setiap keadaan dimana tromboplastin jaringan
dibebaskan karena terjadi perusakan jaringan yang mengalami pembekuan-
pembekuan ekstrinsil. Karena plasenta banyak mengandung tromboplastin
jaringan, maka salah satu penyebab DIC yang paling sering adalah solusio
plasenta (pelepasan plasenta yang prematur) sehingga menyebabkan
tertahannya hasil – hasil konsepsi ( plesenta fetus ) yang menyebabkan nekrosis
dan kerusakan jaringan lebih lanjut.Produk – produk tumor, luka bakar, cedera
remuk dan leukemia promielositik semuanya menyebabkan pelepasan
tromboplastin. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-
proses penyakit vol.1.)
Awal jaras intrinsik juga terjadi bila proakogulan intrinsik kontak dengan
endotel pembuluh yang rusak seperti pada vaskulitis, septic dan syok. Selama
proses pembekuan, trombosit akan beragregasi dan bersama-sama dengan
faktor-faktor pembekuan, sehingga jumlah trombosit berkurang. Hasil trombi
fibrin dapat menyebabkan sumbatan pada mikrovaskular jika jumlahnya
banyak, jika jumlahnya sedikit maka tidak akn menyebabkan sumbatan di
mikrovaskular. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)

 Ø Manisfestasi Klinis

Manisfestasi klinis yang terjadi pada DIC tergantung dari luas dan lamanya
pembentukan trombofibrin organ-organj yang terlibat ( ginjal, jantung, hipofise,
paru-paru, dan mukosa saluran cerna), nekrosis dan pendarahan yang
ditimbulkan.
Dampaknya adalah, penderita akan mengalami perdarahan pada membran
mukosa dan jaringan – jaringan bagian dalam, pendarahan disekitar bagian yang
cedera, hipotensi ( syok ), oliguri atau anuria, kejang dan koma, mual dan
muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispnea dan sianosis. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson,2003).

C. KELAINAN VASKULER

Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap tingkat mekanisme hemostatik. Pasien
dengan kelainan pada system vascular biasanya datang dengan perdarahan kulit,
dan sering mengenai membrane mukosa. Perdarahan dapat diklasifikasikan
menjadi purpura alergik dan purpura nonalerik. Pada kedua keadaan ini, fungsi
trombosit dan factor koagulasi adalah normal.Terdapat banyak bentuk purpura
nonalergik, yaitu pada penyakit-penyakit ini tidak terdapat alergi sejati tetapi
terjadi berbagai bentuk vaskulitis. Yang paling sering ditemukan adalah lupus
eritematosus sistemik. Kelainan ini merupakan penyakit vascular-kolagen, yaitu
pasien membentuk autoantibody. Vaskulitis, atau peradangan pembuluh darah
terjadi dan merusak integritas pembuluh darah, mengakibatkan purpura. (Sylvia
A.Price &Lloraine M.Wilson., Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)

Jaringan penyokong pembuluh darah yang mengalami perburukan, dan tidak


efektif, yang terjadi seiring proses penuaan, mengakibatkan purpura senilis.
Umumnya terlihat perdarahan kulit pada dorsum manus dan lengan bawah serta
diperburuk oleh trauma. Kecuali mengganggu secara kosmetik, keadaan ini
tidak membahayakan jiwa. Manifestasi kulit yang serupa juga terlihat pada
terapi kortikosteroid jangka lama, yang diyakini diakibatkan dari katabolisme
protein di dalam jaringan penyokong pembuluh darah. Skorbut, yang berkaitan
dengan malnutrisi, dan alkoholisme, sama-sama mempengaruhi integritas
jaringan ikat dinding pembuluh darah.Bentuk purpura vascular yang dominant
autosomal, telangiektasia hemoragik herediter (penyakit Osler-Weber-Rendu),
terdapat pada epistaksis dan perdarahan saluran cerna yang intermiten dan
hebat. Telangiektasia difus umumnya terjadi pada masa dewasa, ditemukan pada
mukosa bukal, lidah, hidung dan bibir dan tampaknya meluas ke seluruh saluran
cerna. Pengobatan terutama suportif. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson.,
Patofisioogi klinik proses-proses penyakit vol.1.)

Sindrom Ehlers-Danlos, suatu penyakit herediter lain, meliputi penurunan daya


pengembangan (compliance) jaringan perivascular yang menyebabkan
perdarahan berat. Purpura alergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan
oleh kerusakan imunologik pada pembuluh darah, ditandai dengan perdarahan
petekie pada bagian tubuh yang tergantung dan juga mengenai bokong. Purpura
Henoch-schÖnlein, suatu trias purpura dan perdarahan mukosa, gejala-gejala
salurancerna, dan arthritis, merupakan bentuk purpura alergik yang terutama
mengenai anak-anak. Mekanisme penyakit ini tidak diketahui dengan baik.
Gejala-gejalanya sering didahului oleh keadaan infeksi. Pasien-pasien
mengalami peradangan pada cabang-cabang pembuluh darah, kapiler dan vena,
mengakibatkan pecahnya pembuluh, hilangnya sel-sel darah merah, dan
perdarahan. Glomerulonefritis merupakan komplikasi yang sering terjadi.
Pengobatan bersifat suportif dengan menghindari aspirin serta senyawa-
senyawanya. (Sylvia A.Price &Lloraine M.Wilson,2003)Top of Form

PURPURA TROMBOSITOPENIK IDIOPATIK (ITP)

Purpura Trombositopenik Idiopatik adalah suatu penyakit dimana terjadi


perdarahan abnormal akibat rendahnya jumlah trombosit tanpa penyebab yang
pasti.
Penyebab dari kekurangan trombosit tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini
diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang
menyerang trombositnya sendiri.

Meskipun pembentukan trombosit di sumsum tulang meningkat, persediaan


trombosit yang ada tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Pada anak-anak, penyakit ini biasanya terjadi setelah suatu infeksi virus dan
setelah bebeerapa minggu atau beberapa bulan akan menghilang tanpa
pengobatan.
Gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba (akut) atau muncul secara perlahan
(kronik).
Gejalanya berupa:

– bintik-bintik merah di kulit sebesar ujung jarum

– memar tanpa penyebab yang pasti

– perdarahan gusi dan hidung


– darah di dalam tinja.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta hasil pemeriksaan darah dan


sumsum tulang yang menunjukkan rendahnya jumlah trombosit dan adanya
peningkatan penghancuran trombosit.

Pada penderita dewasa, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis


tinggi untuk mencoba menekan respon kekebalan tubuh. Pemberian
kortikosteroid hampir selalu bisa meningkatkan jumlah trombosit, tetapi
efeknya hanya sekejap.
Obat-obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya azatioprin) juga kadang
diberikan.
Jika pemberian obat tidak efektif atau jika penyakitnya berulang, maka
dilakukan pengangkatan limpa (splenektomi).

Imun globulin atau faktor anti-Rh (bagi penderita yang memiliki darah Rh-
positif) dosis tinggi diberikan secara intravena kepada penderita yang
mengalami perdarahan hebat akut.

Obat ini juga digunkan untuk periode yang lebih lama (terutama pada anak-
anak), guna mempertahankan jumlah trombosit yang memadai untuk mencegah
perdarahan.

TROMBOSITOPENIA AKIBAT PENYAKIT

Infeksi HIV (virus penyebab AIDS) seringkali menyebabkan trombositopenia.


Penyebabnya tampaknya adalah antibodi yang menghancurkan trombosit.
Pengobatannya sama dengan ITP. Zidovudin (AZT) yang diberikan untuk
memperlambat penggandaan virus AIDS, seringkali menyebabkan
meningkatnya jumlah trombosit.
Lupus eritematosus sistemik menyebabkan berkurangnya jumlah trombosit
dengan cara membentuk antibodi.

Disseminated intravascular coagulation (DIC) menyebabkan terbentuknya


bekuan-bekuan kecil di seluruh tubuh, yang dengan segera menyebabkan
berkurangnya jumlah trombosit dan faktor pembekuan.

PURPURA TROMBOSITOPENIK TROMBOTIK

Purpura Trombositopenik Trombotik adalah suatu penyakit yang berakibat fatal


dan jarang terjadi, dimana secara tiba-tiba terbentuk bekuan-bekuan darah kecil
di seluruh tubuh, yang menyebabkan penurunan tajam jumlah trombosit dan sel-
sel darah merah, demam dan kerusakan berbagai organ.

Penyebab penyakit ini tidak diketahui. Bekuan darah bisa memutuskan aliran
darah ke bagian otak, sehingga terjadi gejala-gejala neurologis yang aneh dan
hilang-timbul.

Gejala lainnya adalah:

– sakit kuning (jaundice)

– adanya darah dan protein dalam air kemih

– kerusakan ginjal

– nyeri perut

– irama jantung yang abnormal.

Jika tidak diobati, penyakit ini hampir selalu berakibat fatal; dengan
pengobatan, lebih dari separuh penderita yang bertahan hidup.
Plasmaferesis berulang atau transfusi sejumlah besar plasma (komponen cair
dari darah yang tersisa setelah semua sel-sel darah dibuang) bisa menghentikan
penghancuran trombosit dan sel darah merah.

Bisa diberikan kortikosteroid dan obat yang menghalangi fungsi trombosit


(misalnya aspirin dan dipiridamol), tetapi efektivitasnya belum pasti.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan darah
yang

menunjukkan jumlah trombosit dibawah normal.

Pemeriksaan darah dengan mikroskop atau pengukuran jumlah dan volume


trombosit dengan alat penghitung elektronik bisa menentukan beratnya penyakit
dan penyebabnya.

Aspirasi sumsum tulang yang kemudian diperiksa dengan mikroskop, bisa


memberikan informasi mengenai pembuatan trombosit.

PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka menghentikan pemakaian obat
tersebut biasanya bisa memperbaiki keadaan.

Jika jumlah trombositnya sangat sedikit penderita seringkali dianjutkan untuk


menjalani tirah baring guna menghindari cedera.

Jika terjadi perdarahan yang berat, bisa dibeTrombosit Turun Tak Selalu
Demam Berdarah

Selain demam berdarah, ada beberapa penyakit lain yang ditandai


olehpenurunan kadar trombosit. Apa sajakah itu? Pada mulanya, Desi (empat
tahun) memang menderita demam. Ketika diperiksa lebih jauh, kadar
trombositnya ternyata turun sampai 30 ribu/mm3. Dokter pun mendiagnosis
Desi mengidap demam berdarah. Setelah delapan hari, suhu tubuh yang tadinya
mencapai 39 derajat Celsius berangsur turun. Heni (30 tahun), sang ibu, tentu
saja lega.Tapi ia mendeteksi keanehan. Pasalnya, pemeriksaan ulang
menunjukkan, trombosit Desi anjlok, hingga tinggal 9.000/mm3. ”Saya sampai
kaget, karena tidak demam lagi, saya pikir dia sudah sembuh dari demam
berdarah (DB),” kata Heni. Ternyata rendahnya kadar trombosit dalam darah
Desi memang bukan karena DB. Tapi karena tubuh menghasilkan antibodi yang
menyerang trombosit. ”Ternyata anak saya menderita ITP (Immunologic
Thrombocytopenia Purpura), bukan DB. Syukur Alhamdulillah, setelah diberi
obat oleh dokter, si kecil kini sudah sehat, ‘jelas Heni lega. Penurunan trombosit
hingga di bawah batas normal memang kerap diidentikkandengan demam
berdarah, khususnya di kalangan awam. Padahal tidak selamanya demikian.
Dalam keadaan normal, trombosit dalam darah mencapai 150 ribu-450
ribu/mm3. Dalam keadaan tidak normal, trombosit yang berperan
dalampembekuan darah ini bisa turun. Keadaan ini disebut dengan
trombositopenia,yakni trombosit berada dalam keadaan rendah. Demam
berdarah hanyalah salah satu penyakit yang ditandai oleh turunnya kadar
trombosit.

Menurut Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM, ahli hematologi dari


FakultasKedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo
(RSCM),trombosit rendah bisa disebabkan oleh bermacam hal. Tapi secara garis
besar,penurunan kadar trombosit disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan
trombosit di peredaran darah, atau kurangnya produksi trombosit di sumsum
tulang.Kerusakan trombosit Demam berdarah merupakan jenis kerusakan
trombosit yang populer di masyarakat. Menurut kepala divisi Hematologi-
Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini, penyebab kerusakan
trombosit dalam DB adalah infeksi.Selain demam berdarah, infeksi yang juga
mengurangi trombosit adalah tifus.Kerusakan trombosit juga bisa terjadi pada
penyakit ITP. Ini merupakanpenyakit auto-imun di mana zat anti yang dibentuk
tubuh malah menyerang trombosit.”Melalui mekanisme imunologi tadi,
trombosit menjadi berkurang,” jelasZubairi. Pada ITP, gejalanya bisa berupa
bercak-bercak perdarahan di kulit.Sementara pada DB, penderita mengalami
demam dan penurunan trombosit tapi berangsur normal dalam delapan hari.
”Jika (trombosit rendah) lebih dari delapan hari, kita harus pikirkan
kemungkinan yang lain. Salah satunya adalah ITP,” jelas hematolog yang juga
dikenal sebagai salah satu dari sedikit pakar AIDS di Indonesia ini. ITP
seringkali menyerang wanita usia reproduksi, yakni di bawah 35 tahun. Tapi
bukan berarti, ITP tak bisa menyerang kelompok usia lanjut. Hanya saja, kasus
ITP pada kelompok usia lanjut, terbilang jarang. ”Seperti penyakit lupus, ITP
lebih sering ditemui pada wanita, laki-laki hanya sekitar dua persen,” kata
Zubairi. Penurunan kadar trombosit juga bisa ditemui dalam kasus DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation). Biasanya, ini terjadi pada pasien
dengan penyakit berat. ”Seperti pasien dengan sirosis hati, shock, infeksi kuman
apapun dalam darah yang berat sekali, serta penyakit lupus,” lanjutnya.
Trombosit yang rendah bisa juga dikarenakan produksi yang
kurang.Penyakitnya bisa berupa anemia aplastik. Anemia aplastik terjadi jika sel
yang memproduksi butir darah merah yang terletak di sumsum tulang, tidak
dapat menjalankan tugasnya. ”Pada anemia aplastik, trombosit yang rendah juga
disertai leukosit yang rendah sehingga sumsum tulangnya kosong,” jelas
Zubairi. Selain anemia aplastik, trombosit yang rendah juga kerap ditemui pada
penderita penyakit leukemia. Sering juga ditemui pada penderita penyakit
mielofibrosis. Menurut Zubairi, pada penyakit ini keadaan limfa dan liver
membesar. Sebenarnya, sewaktu kita lahir, trombosit diproduksi oleh limfa dan
liver.Seiring pertambahan usia, fungsi ini kemudian dijalankan oleh sumsum
tulang. Karena muncul penyakit mielofibrosis, sumsum tulang tidak berfungsi
sehingga limfa dan liver kembali bekerja dan membesar. Untuk mengetahui
penyakit mana yang diderita, perlu dilakukan tes. ”Tidak bisa karena trombosit
rendah langsung dikatakan ITP,” ujar Zubairi. Menurutnya, dalam prinsip
kedokteran semakin sedikit data maka akan semakin banyak kemungkinan.
Pengobatan Pengobatan setiap penyakit berbeda. Pada penderita ITP, karena ada
zat yang menyerang trombosit, tidak dilakukan transfusi trombosit. Pada ITP,
transfusi trombosit justru akan merangsang zat anti untuk berproduksi. Jadi,
pengobatan utamanya adalah dengan menghilangkan mekanisme auto-imun
tadi. ‘ Produksi antibodi ditekan dengan obat yang bersifat kortikosteroid seperti
prednison,” tambah kepala Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia (PHTDI) ini. Jika tidak mempan dengan prednison, biasanya
dilakukan operasi kecil untuk membuang limfa. Angka kematian akibat
trombosit rendah cenderung kecil. Seperti demam berdarah, angka kematian
pada orang dewasa di bawah 10 persen, dan sedikit lebih besar pada bayi dan
anak-anak. ”Kecuali pada anemia aplastik yang berat dan leukemia”. ITP sendiri
jarang menyebabkan kematian. ”Kecuali pada saat trombosit rendah, pasien
terpeleset dan jatuh sehingga terjadi perdarahan di otak,” Zubairi memberikan
contoh. Sampai batas berapa seseorang bisa bertahan dengan trombosit rendah?
”Tergantung,” jawabnya. Pada leukemia dan anemia aplastik, pasien dengan
trombosit 20 ribu/mm3 sudah berdarah-darah. Sedangkan pada DB, hanya
berupa bintik-bintik. ”Pada penderita ITP, meski trombositnya mencapai 15 ribu
hingga 10 ribu, tidak ada perdarahan sama sekali, apalagi jika diberikan
pengobatan”. Sedangkan penderita DIC bisa berdarah pada tempat infus hingga
gusi. Menurut Zubairi, selain melihat jumlah trombosit, dokter juga akan
melihat fungsinya, yakni masa perdarahan (bleeding time) yang normalnya
mencapai 1-4 menit.Dari sisi jumlah, ada beberapa titik penting yakni 0, 20
ribu, 40 ribu, 100 ribu, dan 150 ribu. Untuk penderita DB misalnya, jika
trombositnya sudah di bawah 100 ribu/mm3 sebaiknya diopname. Biasanya
diberikan infus. Perlukahc transfusi trombosit? Tidak perlu karena trombosit
akan naik sendiri, kecuali jika trombosit sudah di bawah 20 ribu/mm3 dan
terjadi perdarahan. Pemberian transfusi juga dilakukan dengan melihat masa
perdarahan. ”Jika sudah lebih dari 10 menit, misalnya, berikan transfusi
trombosit”. Sedangkan pada anemia aplastik dan leukemia, karena seringkali
menyebabkan perdarahan, maka transfusi trombosit harus sering diberikan. Tapi
ingat, transfusi trombosit sebaiknya diambil dari donor tunggal.

PURPURA TROMBOSITOPENI IDIOPATIK

1. Batasan

Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) atau purpura trombositopeni autoimun


adalah sindrom yang ditandai dengan trombositopenia akibat dekstruksi
trombosit yang meningkat sebab proses imunologik (RS dr. Soetomo,2008).

1. Etiologi

Etiologi Purpura Trombositopeni Idiopatik (PTI) adalah adanya autoantibodi


terhadap trombosit. Autoantibodi ini adalah platelet associated immunoglobulin
G (PAIgG) yang disintesis di limpa. PTI dapat merupakan menifestasi awal
suatu penyakit misalnya SLE, leukemia, dan limfoma (RS dr. Soetomo,2008).
Riwayat penyakit purpura trombositopeni idiopatik atau autoimun ini terbagi
dalam 2 bentuk yaitu akut dan kronis (Supandiman,1997).

3. Gejala klinis

Gejala utama adalah petekie dan perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau
perdarahan di tempat lain. Bentuk Akut gejala perdarahan selaput lendir disertai
petekie berjalan singkat. Bentuk kronis gejalanya berupa petekie diekstremitas
bawah, jarang ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita menorhagia
satu-satunya gejala penyakit ini. Hendaknya disingkirkan trombositopenia
sekunder/akibat obat (aspirin, barbiturat, kina, laksansia), infeksi, anemia
aplastik (Supandiman,1997).
4. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan menyingkirkan faktor-faktor sekunder


yang dapat mengakibatkan trombositopenia kriteria Difino (1998), yaitu :

 Perdarahan/ purpura/ purpura lebih pada satu lokasi.

 Tidak ada perbesaran limpa.

 Trombositopenia kurang dari 150.000/uL.

 Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat,


eritropoesis,dan mielopoesis normal.

 Antiplatelet antibodi dapat positif.

 Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat,


sepsis, koagulasi intravaskuler doseminata, SLE, leukemia,
trombositopeni pasca transfusi.

Pada 75 % penderita terdapat peningkatan titer palsu yang terjadi karena


antibodi nonspesifik misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik
autoimun. Negatif palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi
sangat rendah karena antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik
imunoflueresen : paling sensitif 92%, tetapi kurang spesifik 30%. Kadar
antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat penyakit, hanya membantu
diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah trombosit sangat
berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai dasar diagnosis
(RS dr. Soetomo,2008).
a. Anamnesis
1. Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin)
dan bahan kimia.

2. Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan.

3. Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.

4. Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status

5. kehamilan, riwayat transfusi, riwayat keluarga (trombositopenia, gejala


perdarahan, dan kelainan autoimun).

6. Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan


(kelainangastrointestinal, sistem saraf pusat, dan urologi).

7. Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik.

b. Pemeriksaan fisik

1. Perdarahan (lokasi, dan beratnya).

2. Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati


kronis.

3. Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)

4. Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)

c. Pemeriksaan penunjang

1. Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya,


morfologi darah tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar.

2. Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella).


3. Pemeriksaan ACA, Coom’s test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA.

4. Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang


memanjang dan komplikasi.

5. Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau


meningkat.

6. Pemeriksan autoantibodi trombosit.

1. Diagnosis banding

Dengan trombositopenia sekunder misal pada hipersplenisme, dan kelainan


infiltrasi sumsum tulang oleh penyakit tertentu dapat diselesaikan dengan
pemeriksaan sumsum tulang. Waktu perdarahan memanjang pada kelainan
vaskuler, seperti purpura nontrombositopenia. Tes konsumsi protrombin
abnormal dapat ditemui pada penyakit defisiensi faktor pembekuan (faktor IX,
faktorVIII/vWF dan lain-lain), (Supandiman,1997).
Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding
dengan trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi.
Endokarditis bakteria subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI,
tetapi endokarditis ada febris dan kelainan jantung. Trombositopeni sekunder
biasanya dilakukan atas dasar kelainan fisik tidak ditemukan pada PTI
hepatosplenomegali. Limfadenopati pada leukemia (Supandiman,1997).

Yang sering digunakan prednison, dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan.
Bila diperlukan parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari
selama 3 hari (RS dr. Soetomo,2008).
Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka
kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila
responsif dosis diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau
dipertahankan sekitar 50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian
prednison maksimal selama 6 bulan. Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak
berespon dengan prednison, prednison jangan diberikan lagi.
Hasil terapi :

Respon lengkap : ada perbaikan klinis + trombosis tercapai ≥100.000/mm3 dan


tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis steroid diturunkan.
Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan
memerlukan terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan
jangka waktu 6 bulan.

Respon minimal : perbaikan klinis + trombosis mencapai 50.000/mm3 dan


memerluka steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dengan jangka
waktu > 6 bulan

Tidak ada respon : tidak ada perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak
dapat mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal (RS dr.
Soetomo,2008).
e. Splenektomi

Bila terapi steroid dianggap gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka


keberhaslan 70-100%. Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi
trombosit yang telah diliputi antibodi dan menurunkan sintesis antibodi platelet
(RS dr. Soetomo,2008).

Indikasi Spelektomi : Gagal remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan,


perlu dosis maintance steroid yang tinggi, dan adanya kontraindikasi/intoleransi
terhadap steroid (RS dr. Soetomo,2008)..
f. Imunosupresi lain
Bila terjadi refrakter tehadap terapi kortikoteroid dan splenektomi, maka akan
diberikan imunosupresi lain. Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil
perlu penelitian lebih lanjut. Bila terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak,
dan persalinan) dapat diberikan imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi
trombosit, dan splenoktomi darurat (RS dr. Soetomo,2008).

g. Terapi suporti PTI kronis

Membatasi aktivitas yang berisiko trauma.Hindari obat yang ganggu fungsi


trombosit.Transfusi PRC sesuai kebutuhan.Transfusi perdarahan bila :
perdarahan masif, adanya ancaman perdarahan otak/SSP, persiapan untuk
operasi besar (RS dr. Soetomo,2008).

f. Perawatan rumah sakit untuk pasien dengan:Perdarahan berat yang


mengancam jiwa.Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa
bermakna.Trombosit >50.000/ul asimtomatik/dengan purpura minimal tidak
diterapi.Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan
perdarahan bermakna, Kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang
mengancam jiwa (RS dr. Soetomo,2008).

g. Komplikasi

Peradarahan masif: saluran cerna, otak, DIC Anemia Berkembang ke arah


keganasan atau penyakit autoimun lain (20%) Menjadi leukemia dan limfoma
(3,8 %) Menjadi SLE (4 %)Kasus fatal dengan sebab kematian :
1) Perdarahan intrakranial (11%)

2) Sepsis pasca splenoktomi atau pasca terapi imunosupresif (RS dr.


Soetomo,2008.

h. Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi immunocompromised (RS


dr. Soetomo,2008).
7. Prognosis

Faktor yang berpengaruh Umur : pada orang muda prognosis lebih baik
Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif
menentukan risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko
perdarahan intrakranial meningkat, semakin tinggi pada usia lanjut.
Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan
splenektomi. Menurunnya kadar antibodi menunjukkan respon terapi yang baik
Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau
imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008).

2.4. POLA JUMLAH TROMBOSIT PENDERITA DEMAM BERDARAH


DENGUE (DBD)

Dilingkungan Forum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia


(PAPDI) maupun ditingkat Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM,
sudah pernah membahas tuntas mengenai hal ini bahwa transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien dengan perdarahan yang berat seperti muntah
darah, mimisan yang terus menerus atau perdarahan dari saluran cerna bawah
berupa BAB berdarah segar.Jumlah trombosit yang rendah bahkan sampai
dibawah 20.000 tanpa pendarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi
untuk diberikan trombosit sehingga kadar trombosit yang rendah saja tidak
memerlukan transfusi trombosit.Membicarakan mengenai transfusi trombosit
ini akan menguraikan sedikit tentang penyakit demam berdarah ini. Menurut
WHO secara klinis jika seseorang terinfeksi dengan virus dengue sebagai
penyebab penyakit Demam berdarah bisa tanpa gejala maupun dengan gejala.
Yang bergejala dibagi 2 lagi yaitu Demam dengue (DD) dan Dengue
Haemorhagic fever (DHF). Pasien dengan DHF biasanya dengan gejala yang
lebih berat dan gejala perdarahan yang lebih jelas. Saat ini sesuai dengan
klasifikasi WHO terakhir yang diterbitkan pada tahun 1997: derajat berat
ringannya DHF dibagi menjadi 4. Berat ringannya penyakit ini didasarkan atas
perdarahan yang terjadi, serta ada tidaknya gangguan sistim sirkulasi pada saat
pasien tersebut masuk rumah sakit. Semakin berat kondisi pada saat masuk
semakin tinggi derajat sakitnya dan tentunya hal ini berhubungan dengan
terjadinya kematian pada pasien tersebut. Selain demam tinggi yang mendadak
pasien kadang kala juga merasakan nyeri di ulu hati, mual bahkan muntah,
kepala pusing seperti melayang, pegal dan rasa nyeri di otot. Setelah 2-5 hari
bisa terjadi manifestasi perdarahan baik berupa bintik merah pada kulit terutama
di tangan, kaki dan dada, mimisan, gusi berdarah bahkan sampai muntah darah.

Sebagai mana diketahui dan umumnya masyarakat juga sudah mengetahui,


pasien DHF selalu dihubungkan dengan trombosit yang rendah. Kadar
trombosit yang rendah juga menjadi patokan kapan pasien tersebut harus
dirawat. Walau sebenarnya selain trombosit yang rendah adanya darah yang
semakin pekat (hemokonsentrasi) ditandai oleh hematokrit yang meningkat
serta tanda-tanda perdarahan merupakan hal lain yang juga dilihat sebelum
memutuskan apakah pasien tersebut perlu dirawat atau tidak.

Pada pasien demam berdarah selain jumlah trombosit yang menurun fungsi
trombosit juga menurun. Oleh karena itu biasanya disebutkan bahwa pada
pasien DHF trombosit terganggu baik secara jumlah maupun secara kualitas.
Sebagai mana kita ketahui bahwa trombosit merupakan salah satu sel darah
yang berperan pada sistim keseimbangan proses pembekuan dan perdarahan
(hemostasis) di dalam tubuh kita. Oleh karena adanya gangguan pada trombosit
ini juga akan meningkatkan terjadinya proses pendarahan.
Adanya trombosit yang rendah bukan berarti kita harus meningkatkan trombosit
sesegara mungkin. Ada 3 hal yang diduga sebagai penyebab penurunan kadar
trombosit didalam darah yaitu penurunan produksi trombosit karena
penekanan produksi di sumsum tulang, penggunaan trombosit yang berlebihan
dan adanya antibodi anti trombosit dalam darah. Jika melihat hal-hal yang
menjadi penyebab kenapa trombosit turun ini, maka transfusi trombosit yang
tidak pada tempatnya justru akan memperburuk keadaan karena akan
merangsang proses inflamasi lebih lanjut sehingga penghancuran trombosit
akan lebih meningkat.

Seperti telah saya sebutkan tadi, indikasi pemberian trombosit telah


dibicarakan beberapa kali di Forum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PAPDI) dan di tingkat Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM. Protokol mengenai tatalaksana pasien dengan DHF khususnya
mengenai kapan transfusi trombosit ini diberikan, juga pernah disampaikan oleh
pakar dari Divisi Penyakit Trofis dan Infeksi Departemen Ilmu penyakit Dalam
serta pakar dari Divisi Hematologi dan Onkologi Medis Departemen Ilmu
Penyakit FKUI-RSCM. Pada protokol tersebut disampaikan bahwa transfusi
trombosit diberikan pada pasien dengan perdarahan spontan dan massif
(banyak). Pemberian transfusi trombosit juga harus dilakukan dengan hati-hati
dengan melihat komponen sistim pembekuan darah yang lain. Oleh karena itu
jumlah trombosit yang rendah bahkan lebih rendah dari 20.000 tanpa
perdarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi dilakukan transfusi
trombosit. Pada pengalaman dilapangan karena ketidak tahuan kadang kala
keluarga pasien meminta kepada dokter agar keluarganya yang sedang dirawat
untuk segera ditransfusi trombosit padahal tidak ada indikasi untuk pemberian
transfusi trombosit.

Pengalaman penulis dalam merawat pasien dengan DBD biasanya trombosit


akan naik dengan sendirinya setelah hari ke-7 sejak mulai terjadinya demam.
Selama perawatan jika tidak terjadi syok atau perdarahan massif, cairan infus
yang diberikan yaitu cairan kristaloid seperti cairan ringer laktat atau asering
yang diberikan untuk menjaga agar volume cairan didalam pembuluh darah
tetap baik.

Pada akhinya jika penanganan pasien DBD sesuai protocol yang telah
ditetapkan, pemberian komponen darah trombosit dapat diberikan secara
selektif. Sehingga pada saat dibutuhkan oleh pasien sesuai indikasi tentunya
komponen trombosit tetap tersedia. Karena selain pada kasus DBD dengan
perdarahan yang massif, transfusi trombosit dibutuhkan juga untuk pasien-
pasien dengan kelainan darah yang lain dan juga pasien dengan gangguan liver
yang berat yang akan dilakukan tindakan.

Penelitian-penelitian yang berfokus pada mekanisme-mekanisme molekuler


yang meregulasi atherosklerosis telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-
jurnal ilmiah selama beberapa dekade. Sekarang ini atherosklerosis telah
dikenali sebagai sebuah penyakit berperantara inflamasi yang melibatkan
berbagai interaksi antara leukosit, sel-sel dinding pembuluh darah, dan
trombosit. Data terbaru menunjukkan bahwa CD40L bisa menjadi pemain inti
dalam proses atherosklerosis. CD40L merupakan sebuah protein yang sangat
melimpah dalam trombosit dan bisa memiliki peranan dalam aspek-aspek
inflammatory perkembangan lesi atherosklerosis, trombosis, dan dalam
restenosis.
CD40L
CD40L merupakan sebuah protein transmembran terimerik yang termasuk ke
dalam famili faktor nekrosis tumor yang pada awalnya ditemukan pada sel-sel
sistem imun (sel-sel CD4+ teraktivasi, sel mast, basofil, eosinofil, dan sel NK).
Peranan CD40L dalam respon imun melibatkan pengikatan ke reseptor-
reseptornya pada sel-sel B, CD40, untuk menginduksi proliferasi sel B,
menghasilkan sel B memori, menghambat apoptosis sel B, dan memperantarai
perubahan kelas antibodi. Akan tetapi kemudian ditemukan bahwa CD40L dan
CD40 kedua-keduanya terdapat pada beberapa sel pembuluh darah, termasuk
sel-sel endotelium, sel otot halus, monosit, dan makrofage. Disamping itu
penelitian menunjukkan bahwa CD40L dan CD40 juga terdapat dalam
trombosit. CD40L yang diekspresikan pada permukaan selanjutnya membelah
selama beberapa menit sampai jam, menghasilkan sebuah fragmen terlarut yang
disebut sCD40L yang tetap trimerik strukturnya. Penelitian tentang distribusi
CD40L dalam sel menunjukkan bahwa >95% CD40L yang bersirkulasi
terdapat dalam trombosit. Ini menunjukkan bahwa kejadian-kejadian stimulatori
trombosit harus dipertimbangkan dalam konteks biologi dan patologi fungsi
CD40L.

CD40L dan sCD40L diketahui memiliki domain struktural yang memungkinkan


protein-protein ini memiliki banyak fungsi. Pertama, domain homologi faktor
nekrosis tumor memungkinkan pengikatan ke reseptornya, yakni CD40. Kedua,
motif lysin-arginin-asam glutamat (KGD), yang tetap menjadi bagian dari
produk pembelahan sCD40L, memungkinkan pengikatannya ke glikoprotein
(GP) IIb/IIIa. Ketiga, struktur trimerik dari CD40L dan produk pembelahan
yang terlarut memungkinkan untuk induksi reaksi pensinyalan ketika terikat ke
reseptor. Aktivitas fungsional dari CD40L merupakan refleksi dari domain-
domain yang banyak ini. Ketika diekspresikan pada permukaan trombosit dan
dipaparkan terhadap sel-sel vaskular yang membawa CD40, CD40L yang terkait
trombosit mampu menginisiasi berbagai respons inflammatory, termasuk
ekspresi reseptor adhesi inflammatory, ekspresi faktor jaringan, dan pelepasan
chemokin. Telah diketahui bahwa sCD40L juga proinflammatory, walaupun
penelitian-penelitian lain gagal mengamati aktivitas-aktivitas ini. Penelitian-
penelitian tentang mencit yang membawa penghapusan gen CD40L telah
menunjukkan bahwa motif KGD terhadap protein ini juga bersifat fungsional.
Dengan demikian, sCD40L memiliki potensi untuk memperantarai beberapa
kejadian dalam pembuluh darah. Mediator Inflammatory Atherosklerosis:
Peranan Kunci CD40L

Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan model mencit untuk


atherosklerosis menekankan peranan penting dari leukosit. Defisiensi-defisiensi
molekul yang terlibat baik dalam rolling leukosit, perekrutan leukosit, atau
penahanan leukosit mengurangi ukuran plak atherosklerosis, utamanya melalui
pengurangan deposisi lipid, proliferasi sel otot halus, dan migrasi. Penelitian
tambahan menunjukkan limfosit T dan B yang berinfiltrasi juga terlibat. Sel-sel
ini, disamping makrofage dan sel-sel vaskular, melepaskan berbagai sitokin dan
faktor-faktor pertumbuhan untuk mempromosikan migrasi dan proliferasi sel-sel
otot halus dan menginduksi ekspresi reseptor adhesi leukosit. Pada akhirnya,
faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel-sel ini menginduksi sintesis matriks
metaloproteinase yang bisa mengarah pada kerusakan plak. Banyak dari
mediator inflammatory ini yang telah dibuktikan terlibat dalam restenosis dan
atherosklerosis imbas graf. Karena produksi mediator-mediator inflammatory
ini merupakan sebuah penyebab utama perkembangan lesi atherosklerosis,
maka pertanyaan mendasar muncul tentang identitas pemicu produksinya.
Karena banyak dari protein yang diidentifikasi di atas bisa diinduksi oleh
CD40L, maka sangat menarik jika hubungan protein ini dengan perkembangan
lesi atherosklerosis bisa ditunjukkan. Mach dan rekan-rekannya menemukan
bahwa gangguan fungsi CD40L pada mencit dengan memberikan antibodi
CD40L pemblokir dapat mencegah perkembangan penyakit atherosklerosis.
Litgens dkk menargetkan gen CD40L pada mencit ApoE-/-, yang juga sangat
menghambat perkembangan lesi. Interaksi CD40-CD40L juga terlibat dalam
kestabilan plak, kemungkinan besar karena pelepasan matriks metaloproteinase.

Hubungan Trombosit-CD40L
Keterlibatan trombosit dan unsur-unsur lain dari sistem hemostatik/trombotik
pada atherosklerosis merupakan sebuah bagian dari konsep yang perta akali
dicetuskan oleh Dr Russell Ross. Konsep ini menyebutkan bahwa aktivasi
dinding pembuluh darah secara terus menerus berkontribusi bagi perekrutan
trombosit, yang pada gilirannya memungkinkan kerusakan endotelium lebih
lanjut. Teori perekrutan trombosit pada endotelium yang utuh secara fisik tetapi
terdisregulasi secara fungsional kelihatannya lebih relevan, karena sel-sel
endotelium teraktivasi mendukung rolling trombosit, translokasinya, dan
terkadang, perlekatannya.

Akan tetapi, trombosit juga merupakan sumber utama CD40L bersirkulasi,


sehingga melahirkan pertanyaan tentang peranannya dalam perkembangan
penyakit atherosklerosis, termasuk pembentukan oklusi trombotik. Penelitian-
penelitian terbaru menunjukkan bahwa CD40L terombosit menjadi termobilisasi
dalam indikasi trombotik koroner akut. Kadar sCD40L yang meningkat juga
ditemukan pada pasien dengan sindrom koroner akut, dan penyakit oklusif arteri
perifer. Kadar sCD40L plasma yang meningkat merupakan sebuah faktor risiko
untuk kejadian-kejadian kardiovaksular di masa mendatang pada wanita yang
sehat. Penyimpanan konsentrat tombosit untuk transfusi klinis diketahui
melepaskan ≤50% CD40L trombosit: Transfusi konsentrasi ke pasien
menghasilkan respons demam yang tergantung CD40L.

Produksi sCD40L dari trombosit dan aktivitas trombotiknya yang tampak terkait
erat dengan integrin trombosit GP IIb/IIIa diketahui terlibat dalam produksi
sCD40L karena antagonis IIb/IIIa memperkecil pelepasan CD40L dari
trombosit teraktivasi in vitro. Antagonis-antagonis ini memblokir pelepasan dari
trombosit-trombosit terstimulasi bahkan tanpa agregasi, yang menunjukkan
peranan langsung untuk GP IIb/IIIa dalam mekanisme pembelahan. Kedua,
pengikatan langsung sCD40L ke GP IIb/IIIa menunjukkan bahwa kemampuan
sCD40L untuk mempromosikan dan menstabilkan trombosis dibawah laju
gesekan yang tinggi merupakan akibat dari interaksi langsung antara kedua
protein ini.

Restenosis
Dengan adanya hubungan dekat antara inflamasi dan restenosis, mungkin tidak
mengherankan bahwa ada sebuah hubungan antara CD40L dan respons terhadap
cedera vaskular. Bagaimana CD40L bisa terlibat dalam restenosis? Disamping
itu, apakah CD40L yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas ini berasal dari
trombosit? PCI diketahui mengganggu endotelium, menghasilkan keterpaparan
permukaan trombogenik yang mendukung adhesi, aktivasi, dan agregasi
trombosit. Trombi yang kaya trombosit bisa menjadi sumber konsentrasi
CD40L proinflammatory tinggi yang terlokalisasi, baik pada permukaan
trombosit atau pada lingkungan sekitarnya karena mereka melepaskan sCD40L.
Artikel yang ditulis oleh Urbich kk memberikan sebuah mekanisme bagaimana
sCD40L yang dihasilkan yang dihasilkan oleh trombosis bisa mempromosikan
restenosis. Para penulis ini menunjukkan bahwa CD40L yang diekspresikan
pada permukaan sel T dan trombosit teraktivasi, dan sCD40L yang dilepaskan
dari trombosit, menghambat migrasi sel endotelium vena umbilikal manusia
yang diinduksi faktor pertumbuhan sedangkan tidak mempengaruhi proliferasi
sel dan kematian sel. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa inhibisi
migrasi yang diinduksi CD40L dicapai dengan pembentukan radikal-radikal
bebas dan inhibisi produksi NO. Dari pengamatan-pengamatan ini, mereka
berspekulasi bahwa interaksi sCD40L dengan CD40 bisa menghambat
reendotelisasi sebuah pembuluh darah yang cedera, sehingga meningkatkan
proses restenotik.

DBD Pada Anak-anak


Pola Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Anak-
Anak yang Petanda Serologinya Positif Anak Agung Ngurah Subawa, I Wayan
Putu Sutirta Yasa 217

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi akut yang


disebabkan

oleh 4 serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN- 3, DEN-4) dengan daya
infeksi tinggi pada manusia.Menurut jumlah kasus DBD di wilayah Asia
Tenggara, Indonesia mendapatkan peringkat kedua setelah Thailand.
Dilaporkan sebanyak 58.301 kasus DBD terjadi di Indonesia sejak 1 Januari
hingga 30 April

2004 dan 658 kematian, yang mencakup 30 provinsi dan terjadi kejadian luar
biasa (KLB) pada 293 kota di 17 provinsi.1Bebepapa penelitian lain

menunjukkan kejadian DBD lebih banyak terjadi pada anak-anak yang lebih
muda dari 15 tahun.2 Trombositopenia merupakan salah satu kriteria
laboratorium non spesifik untuk menegakkan diagnosis DBD yang ditetapkan
oleh WHO.3 Hasil penelitian Shah GS dkk4 tahun 2006 di Bangladesh,
menunjukkan dari 100 penderita anak-anak yang positif infeksi dengue, 52
(61,7%) menunjukkan trombositopenia pada penderita DBD dan DSS (Dengue
Syock Syndrome). Sedangkan penelitian Celia C Carlos dkk5 pada tahun
2005,anak-anak yang menderita infeksi dengue menunjukkan penurunan jumlah
trombosit sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Umar zein, kepala dinkes kota medan. 2008. Www.waspada.online.com

Canadian Hemophilia Society, What is Hemophilia ? – 1999


World Federation of Hemophilia, Hemophilia in Pictures – 1998. Copyright
Indonesian Hemophilia Society – 2007 Created By Gugun

Price.Sylvia A &Lloraine M.Wilson,2003. Patofisioogi klinik proses-proses


penyakit vol.1.)

Andra.majalah farmacia vol.6no7, februari 2007

Anda mungkin juga menyukai