Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH ILMU KALAM

’’MUTAZILAH’’

Disusun Oleh:
Ayu Lestari (31501402028)
Dina Asanti (31501402037)
Fitri Hidayanti (31501402052)

Progam Studi: Pendidikan Agama Islam


Jurusan: Tarbiyyah (A)
Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Tahun 2015

KATA PENGANTAR
Allhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta karunia-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Ilmu Kalam yang
berjudul “MU’TAZILAH”
Saya menyadari sepenuhnya di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan,
oleh karena itu saya mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan khususnya
bisa bermanfaat bagi penyusun dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari ‘ilmu
kalam.Amin.

Semarang, 10 Juni 2015

Penyusun
DAFTAR ISI
MAKALAH ILMU KALAM
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Mu’tazilah
B. Penamaan Aliran Mu’tazilah
C. Pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah
D. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filofofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khowarij
dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat
nama “Kaum Rasionalis Islam”.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun 105 – 110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan
aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang
mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.
Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai
mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang
ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya
mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara
mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara
keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang
itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan
orang kafir.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana sejarah Mu’tazilah?
B. Bagaimana penanaman aliran Mu’tazilah?
C. Bagaimana ajaran aliran Mu’tazilah?
D. Siapa tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Mu’tazilah
2. Untuk mengetahuiajaran aliran Mu’tazilah
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin
Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru,
dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi
pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah
Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,
Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut
kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok
ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang
tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji
dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
B. Penamaan Aliran Mu’tazilah
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka.
Uraian yang bisa disebut buku-buku ‘ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara
Wasil ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari
datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar.
Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum murji’ah
memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan
pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak
mukmin dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke
tempat lain di masjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-
Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’ anna)”. Dengan demikian ia serta
teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[1]
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan
pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak
dan Hasan al-Basri daripihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat
bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan juga kafir, tetapi mengambil posisi
diantara kedua posisi itu (al-Manzilah bain al-Manzilatain).[2] Menurut versi ini mereka disebut
kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak
masuk) golongan mukmin dan kafir.
Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan dalam
pendapat Ahmad Amin, Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga
mempunyai corak politikkarena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah. Perbedaan
antara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan
falsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.
An-Nasysyar berpendapat bahwa nama Mu’tazilah timbul dalam pertentangan-
pertentangan politik islam terutama antara ‘Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak di pakai
untuk satu golongan tertentu. Argumentasi yang diajukan An-Nasysyar ialah bahwa kata-
kata i’tazala dan al-Mu’tazilahterkadang di pakai untuk orang yang menjauhkan diri dari
peperangan, orang yang menjauhkan diri dari ‘Ali dan sebagainya. Orang yang demikian pada
hakikatnya menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pemikiran pada ilmu
pengetahuan dan ibadat. Jadi menurut an-Nasysyar, golongan Mu’tazilah kedua timbul dari
orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadat, dan bukan dari
golongan Mu’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.[3]
Untuk mengetahui asal usul nama Mu’tazilah itu sebenarnya memang sulit. Berbagai
pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah
bahwa nama Mu’tazilah sebagai aliran teologi rasional dan liberal dalam islam timbul sesudah
peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa
Basrah itu telah pula terdapat kata-kata i’tazala, al-Mu’tazilah. Tetapi apa hubungna antara
Mu’tazilah pertama dan Mu’tazilah kedua, fakta-fakta yang ada belum memberikan kepastian.
Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan nama Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikut-
pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang mengatakan golongan lawanlah yang memberikan nama
itu kepada mereka. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri,
akan kita jumpai disana keterangan-keterangan yang dapat memberikan kesimpulan bahwa
mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka; atau setidaknya mereka
setuju dengan nama itu. Al Qadi’ Abd al-Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata-
kata i’tazala yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak
benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian.[4]Selanjutnya ia
menerangkan adanya hadits Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah menjadi 73
golongan dan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah golongan
Mu’tazilah.[5] Bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum Mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang
lain yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.[6]
Dengan demikian mereka tidak memandang nama Mu’tazilah itu sebagai nama ejekan.
Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka
sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl, golongan yang
mempertahankan keESAan murni dan Keadilan Tuhan. Lawan mereka memakai nama-nama
seperti al-Qadariah, karena mereka menganut pahamfree willdan free act; al Mu-‘attilah, karena
mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud
diluar zat Tuhan; dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan
terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti akan menimpa diri mereka.
Dari uraian-uraian diatas dapat di ketahui bahwa orang yang pertama membina aliran
Mu’tazilah adalah Wasil bin Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi ia ialah Syaikh al-Mu’tazilah
wa qadilmuha,[7]yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan
meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-
Hanifah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.
C. Pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah
Abu huzail Al-Allaf,merumuskan lima prinsip pokok-pokok ajaran mu’tazilah antara lain
:
1) At-Tauhid (Keesaan Allah)
Ar-Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan
demikian prinsip ini bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan
tetapi mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat diantaranya
a) Menafikan sifat-sifat Allah.
dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang
sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak
mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat
berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan
dzatnya bukan dengan sifatnya.
b) Al-Qur’an adalah makhluk.
Dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini
bahwa segala sesuatu selain allah itu adalah makhluk.
c) Allah tidak dapat dilihat dengan mata.
Karena allah adalah dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan
tetapi kita harus meyakininya dengan keyakinan yang pasti.
d) Berbeda dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)
2) Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Prinsip ini mengajarkan bahwa, allah tidak menghendaki keburukan bagi hambanya,
manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan
dalam kedaan fitrah (Suci). Hanya dengan kemampuan yang diberikan tuhanlah, manusia dapat
melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu sendirilah
yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah, timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal
dengan nama Al-Shalah Wa Al-Ashlah, artinya allah hany menghendaki sesuatu yang baik,
bahkan sesuatu terbaik untuk kemaslahatan manusia.

3) Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik dan ancaman)


Dalam hal ini Allah menjanjikan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat
baik dan akan menyiksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan
karena Allah tidak akan ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya
syafa’at atau pertolonagn dihari kiamat. Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.

4) Al-Manzilah Bain Al-ManzilatainD. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah BAB


IIIPENUTUPA. KESIMPULANDAFTAR
PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai