Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering
mengalami dilema dalam kode etik kesehatan maupun masalah moral. Dimana kita
dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak
melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien kita. Salah
satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal ini akan
berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti sebuah
perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika tiba-tiba
pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam melakukan
RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tapi masalahnya jika kita memiliki
hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh pasien dan
keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema dan hal ini terjadi pada pasien-pasien
dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun
pasien yang di cap euthanasia (dibiarkan mati ataupun suntik mati karena karena
kehidupan yang sudah tidak terjamin).
Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya
resusitasi yang biasanya pasien mengenakan gelang berwarna ungu . Pasien DNR tidak
benar-benar mengubah perawatan medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan
dengan cara yang sama. Semua ini dimaksudkan hanya jika tubuh pasien meninggal
(berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan
CPR/RJP.
Menjadi pasien DNR tidak berarti obat berhenti untuk diberikan.Konsekuensi
menjadi diresusitasi, salah satu konsekuensi potensial utama dilakukan RJP adalah
kekurangan oksigen ke organ-organ tubuh. Meskipun penekanan dada sedang dilakukan
untuk mengedarkan darah melalui tubuh, masih belum seefektif detak jantung biasa.
Meskipun oksigen dipompa ke paru-paru mekanik, penyakit itu sendiri dapat mencegah
beberapa oksigen mencapai aliran darah. Semakin lama RJP berlangsung, semakin
besar kemungkinan kerusakan pada organ-organ. Tapi jika tidak dilakukan RJP akan
berdampak dari kerusakan otak, kerusakan ginjal, hati, atau kerusakan paru-paru.
Obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuh juga dapat berkontribusi untuk
kerusakan organ. Obat ini dirancang dengan satu organ adalah hati sebagai pusat
metabolisme dan penetral racun. Obat ini berfungsi untuk me-restart jantung dan

1
mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan darah. Kadang-kadang
organ-organ lain juga terkena kerusakan dari obat ini. Ada juga kemungkinan trauma
tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk mendengar retak tulang rusuk.
Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompresi jantung dengan sternum dan tulang rusuk
yang berada di sampingnya. Terutama orang tua biasanya mengalami kerusakan karena
ini. Kejutan listrik juga dapat menyebabkan traumatis. Jadi bahkan jika Pasien bangkit
kembali, kemungkinan Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat berpotensi
jauh lebih rendah daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien
berakhir pada ventilator setelah RJP. Jika pasien memiliki organ yang rusak,
kerusakannya terutama pada otak, ada kemungkinan bukan karena ventilator tapi
karena terlambatnya oksigen masuk ke otak.

1.2 TujuanPenulisan
Tujuan penulisan disusunnya makalah ini adalah :
1) Untuk mengetahui konsep teori Do Not Resuscitate
2) Untuk membahas jurnal yang telah kita pilih
3) Untuk menanggapi jurnal yang telah kita bahas

1.3 Manfaat
1. Mengetahuikonsepteori Do Not Resuscitate
2. Memahamijurnal yang telahkitapilih
3. Dapatmenanggapijurnal yang telahkitabahas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Pengertian DNR (Do Not Resuscitate)
DNR atau Do Not Resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat dan
tenaga emergency medis tidak akan melakukan usaha CPR bila pernafasan maupun
jantung pasien berhenti. (Academia.edu)

2.2 Tata Laksana


a. DNR dilakukan berdasarkan permintaan dari pasien dalam kondisi sadar
penuh
b. Apabila ada permintaan DNR dari pasien yang dirawat, petugas memberikan
formulir DNR untuk diisi oleh pasien dengan kesadaran penuh dan tanpa
paksaan.
c. Formulir DNR yang sudah diisi oleh pasien dimasukkan di dalam berkas
rekam medis dan petugas menandai secara khusus berkas rekam medis pasien
tersebut.
d. Seluruh petugas medis, apabila menemui pasien dalam kondisi henti jantung
dan henti nafas, dilarang melakukan tindakan resusitasi pada pasien yang di
berkas rekam medisnya ditandai dengan tanda DNR. (Academia.edu)
2.3 Prosedur Menolak Resusitasi (DNR)
Dalam panduan DNR dari (Academia.edu) dalam menentukan status
DNR ini diperlukan konsultasi dan kesepakatan para dokter yang merawat
pasien dan tentu saja persetujuan dari keluarga pasien. Karena apabila
walaupun menurut para dokter yang merawat si pasien bahwa keadaan pasien
sudah tidak memungkinkan untuk dapat survive dan status DNR diperlukan,
tetapi keluarga pasien tidak menghendaki status DNR tersebut, maka status
DNR tidak dapat diberikan. Karena hal itu dapat dianggap neglecting
patient, dan pihak keluarga dapat menuntut dokter yang merawat pasien dan
rumah sakit tempat pasien dirawat. Jadi sebelum menentukan DNR, maka
keluarga pasien perlu diberitahu tentang keadaan pasien.
Tetapi terkadang, keluarga pasien sendiri yang meminta status DNR,
walaupun pasien masih sadar. Pertimbangan mereka biasanya karena mereka
tidak ingin pasien mengalami kesakitan, mengingat bagaimanapun juga keadaan
pasien sudah parah, atau karena pasien sudah lanjut usia. Karena apabila
kita ingat dan bayangkan proses resusitasi itu sebenarnya memang

3
menyakitkan. Bayangkan saja tubuh yang sudah sakit parah atau renta
diberikan kompresi jantung, atau bahkan diberikan DC shock, pasti sakit sekali.
makanya terkadang keluarga pasien yang meminta DNR alias dibiarkan
meninggal dengan tenang.

2.4 Prosedur yang direkomendasikan :


a) Meminta informed consent dari pasien atau walinya
b) Mengisi formulir DNR. Tempatkan kopi atau salinan pada rekam medis
pasien dan serahkan juga salinan pada pasien atau keluarga
c) Menginstruksikan pasien atau caregiver memasangformulir DNR di tempat -
tempat yang mudah dilihat seperti headboard, bedstand, pintu kamar atau
kulkas
d) Dapat juga meminta pasien mengenakan gelang DNR di pergelangan tangan
atau kaki (jika memungkinkan)
e) Tinjau kembali status DNR secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi
bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis.Bila
keputusan DNR dibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang DNR
dimusnahkan.
f) Perintah DNR harus mencakup hal-hal di bawah ini :
 Diagnosis
 Alasan DNR
 Kemampuan pasien untuk membuat keputusan
 Dokumentasi bahwa status DNR telah ditetapkan dan oleh siapa
 Perintah DNR dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau
dokter yang merawat, atau oleh wali yang sah.Dalam hal ini, catatan
DNR di rekam medis harus pula dibatalkan dan gelang DNR (jika ada)
di musnahkan.
2.5 Dokumentasi
1. Pengisian formulir DNR dilakukan setelah informasi diberikan dan keluarga atau
wali.
2. Formulir DNR harus berada di Berkas Rekam Medis sehingga semua tenaga
medis mengetahui bahwa pasien tidak boleh dilakukan CPR henti nafas atau henti
jantung. (Academia.edu)

4
BAB III
TINJAUAN KASUS

KARENA TATO, DOKTER MEMUTUSKAN UNTUK MEMBIARKAN PASIEN


MATI

Gara-gara sebuah tato di dada pasien, tim medis kebingungan untuk bertindak.
Akhirnya, dokter meganggap bahwa tato itu cerminan dari pilihan hidup pasien dan dokter
pun membiarkannya meninggal.Tim dokter dalam kasus ini, yakni Gregory E. Holt, Bianca
Sarmento, Daniel Kett, dan Kenneth W. Goodman, melaporkan kasus, proses pengambilan
keputusan, dan keputusan akhir dalam makalahnya di New England Journal of Medicine,
Kamis(30/11/2017).
Pasien yang dimaksud adalah seorang pria berusia 70 tahun yang tak sadarkan diri dan
mendapatkan perawatan di ICU rumah sakit di Florida, Amerika Serikat.
Pasien tanpa nama ini memiliki riwayat penyakit paru kronis, diabetes melitus atau kencing
manis, dan fibrilasi atrium atau detak jantung yang berdetak tidak beraturan dan cepat. Selain
itu, para medis juga menemukan kadar alkohol dalam darahnya yang cukup tinggi.
Tato yang tertulis pada dada pasien adalah "Do Not Resuscitate" yang berarti larangan untuk
melakukan resusitasi untuk mengembalikan fungsi jantung pasien.Kondisi pasien sangat
memprihatinkan. Tensinya rendah. Keasaman darahnya tinggi, dengan pH 6,81. Normalnya,
keasaman atau pH-nya adalah 7,35. Dokter telah siap untuk menolong tetapi tato pada dada
tersebut membuat tim dokter bingung menentukan langkah. Kebingungan bertambah sebab
pria itu tak punya keluarga.
Awalnya, tim medis kemudian mengambil langkah untuk mengabaikan tulisan tato dan
segera melakukan pertolongan pertama.
"Namun keputusan itu membuat kami berkonflik batin, menimbang bahwa pasien telah
berupaya keras memberi tahu langsung petunjuk tersebut," tulis tim medis dalam
publikasinya.
Di tengah kebingungan, mereka lantas meminta pertimbangan komite etik. Sambil menunggu

5
kepastian, pasien diberikan antibiotik empirik, menerima cairan, dan dirawat dengan Bilevel
Positive Airway Pressure (BPAP) untuk membantunya bernafas.
Akhirnya, setelah melihat riwayat pasien, konsultan etika menyarankan untuk tetap
menghormati tulisan tato tersebut. Alasannya, tato tersebut dianggap sebagai pilihan hidup
dari pasien.
Entah bagaimana, akhirnya petugas dari Departemen Sosial juga mendapat salinan tertulis
dari pasien terkait permintaan untuk tidak disadarkan.
Setelah itu, kondisi pasien semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia. Kasus
permintaan DNR tato pasien ini cenderung membuat bingung tim medis mengingat adanya
kekhawatiran tentang legalitas dan keyakinan yang tidak berdasar. Apalagi tim medis tidak
tahu sejarah pasien tersebut membuat tato tersebut.
"Namun demikian, kami merasa lega menemukan permintaan DNR-nya yang tertulis, karena
pernah suatu kasus seseorang dengan tato DNR-nya tidak mencerminkan keinginannya saat
ini. Laporan kasus ini tidak mendukung atau tidak menentang penggunaan tato untuk
mengekspresikan pilihan hidup mereka dengan tato," tulis tim medis.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pengambilan keputusan DNR cenderung meningkat setiap tahunnya. Fenomena peningkatan


label DNR dapat menimbulkan dilema bagi perawat yang bertugas (Orser, 2008) Dalam
Amestiasih T.el al (2015). Hal ini menunjukkan bahwa fungsi advokasi perawat sangat
diperlukan.

Pasien-pasien dengan DNR dapat dikatakan sebagai pasien end of life atau pasien menjelang
ajal. Terlepas dari dilema yang dirasakan perawat dalam merawat pasien DNR, tentunya
perawat harus memberikan asuhan keperawatan yang optimal bagi pasien.

Dalam kaitannya dengan fungsi advokasi perawat juga dilakukan komunikasi yang efektif
yang dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi real atau nyata tentang kondisi
pasien.

Masih dalam Amestiasih T.el al (2015) penentuan DNR diputuskan oleh dokter sesuai hasil
pemeriksaan maupun berdasarkan usulan perawat. Pengalaman dalam pengambilan
keputusan DNR terkait siapa yang berhak menentukan diagnosa DNR tersebut didukung oleh

6
Brizzi (2010) bahwa diagnosa DNR ditentukan oleh dokter dengan melihat berbagai
pertimbangan seperti kondisi pasien, keinginan pasien dan rekomendasi perawat.

Dalam pembahasan kasus diatas, pendapat dari kelomok kami adalah petugas kesehatan harus
memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan
keinginan (preferensi) pasien.Otonomi pasien harus dihormati secara etik termasuk
tato yang terdapat pada dada pasien. Akan tetapi hal itu membutuhkan kemampuan
komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk
RJP. Tetapi pada kasus ini pasien datang dengan keadaan tidak sadar dan tidak mempunyai
keluarga. Dilihat dari riwayat penyakit pasien yaitu paru konis, diabetes melitus dan fibrilasi
atrium atau detak jantng yang berdetak tidak beraturan dengan cepat dan paramedis juga
menemukan kadar alkohol dalam darahnya yang cukup tinggi dapat disimpulkan peluang
hidup pasien rendah.

Jadi, kita sependapat dengan perlakuan tenaga medis diatas dengan tetap
menghargai tato yang terdapat pada dada pasien dan menganggap tato tersebut adalah
cerminan hidup pasien dengan membiarkan pasien meninggal.

BAB V
KESIMPULAN

Pengambilan keputusan DNR (Do Not Resuscitate) membutuhkan pertimbangan dan


pemahaman pada kriteria DNR. Selain itu, perawat harus terlibat dalam kolaborasi dengan
tim yang merawat pasien dengan menjalankan fungsi advokasi sebagai perawat, sehingga
keputusan DNR tepat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Tri Sulistyowati. PELAKSANAAN ADVOKASI PERAN PERAWAT DALAM


INFORMED CONSENT DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG, diakses pada tanggal 2 Oktober 2018

Calvin, A.O., Kite-Powel, D,M., & Hickey ., J.V, (2007). The neuroscience ICU
nurse’s perceptions about and of life care. Journal of Neuroscience Nursing, 39
(3) , 143-150)

Chan, G.K. (2005). Understanding end-of-life caring practices in the emergency departement.
Nursing Philosophy,6 (1), 19-32.

Wismabrata, Michael Hangga. 2017. ‘’Karena Tato, Dokter Memutuskan untuk Membiarkan
Pasien Memilih Mati’’
. https://sains.kompas.com/read/2017/12/04/132251123/karena-tato-dokter-memutuskan-
untuk-membiarkan-pasien-memilih-mati. diakses pada tanggal 2 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai