Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan darah. Kadang-kadang
organ-organ lain juga terkena kerusakan dari obat ini. Ada juga kemungkinan trauma
tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk mendengar retak tulang rusuk.
Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompresi jantung dengan sternum dan tulang rusuk
yang berada di sampingnya. Terutama orang tua biasanya mengalami kerusakan karena
ini. Kejutan listrik juga dapat menyebabkan traumatis. Jadi bahkan jika Pasien bangkit
kembali, kemungkinan Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat berpotensi
jauh lebih rendah daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien
berakhir pada ventilator setelah RJP. Jika pasien memiliki organ yang rusak,
kerusakannya terutama pada otak, ada kemungkinan bukan karena ventilator tapi
karena terlambatnya oksigen masuk ke otak.
1.2 TujuanPenulisan
Tujuan penulisan disusunnya makalah ini adalah :
1) Untuk mengetahui konsep teori Do Not Resuscitate
2) Untuk membahas jurnal yang telah kita pilih
3) Untuk menanggapi jurnal yang telah kita bahas
1.3 Manfaat
1. Mengetahuikonsepteori Do Not Resuscitate
2. Memahamijurnal yang telahkitapilih
3. Dapatmenanggapijurnal yang telahkitabahas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Pengertian DNR (Do Not Resuscitate)
DNR atau Do Not Resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat dan
tenaga emergency medis tidak akan melakukan usaha CPR bila pernafasan maupun
jantung pasien berhenti. (Academia.edu)
3
menyakitkan. Bayangkan saja tubuh yang sudah sakit parah atau renta
diberikan kompresi jantung, atau bahkan diberikan DC shock, pasti sakit sekali.
makanya terkadang keluarga pasien yang meminta DNR alias dibiarkan
meninggal dengan tenang.
4
BAB III
TINJAUAN KASUS
Gara-gara sebuah tato di dada pasien, tim medis kebingungan untuk bertindak.
Akhirnya, dokter meganggap bahwa tato itu cerminan dari pilihan hidup pasien dan dokter
pun membiarkannya meninggal.Tim dokter dalam kasus ini, yakni Gregory E. Holt, Bianca
Sarmento, Daniel Kett, dan Kenneth W. Goodman, melaporkan kasus, proses pengambilan
keputusan, dan keputusan akhir dalam makalahnya di New England Journal of Medicine,
Kamis(30/11/2017).
Pasien yang dimaksud adalah seorang pria berusia 70 tahun yang tak sadarkan diri dan
mendapatkan perawatan di ICU rumah sakit di Florida, Amerika Serikat.
Pasien tanpa nama ini memiliki riwayat penyakit paru kronis, diabetes melitus atau kencing
manis, dan fibrilasi atrium atau detak jantung yang berdetak tidak beraturan dan cepat. Selain
itu, para medis juga menemukan kadar alkohol dalam darahnya yang cukup tinggi.
Tato yang tertulis pada dada pasien adalah "Do Not Resuscitate" yang berarti larangan untuk
melakukan resusitasi untuk mengembalikan fungsi jantung pasien.Kondisi pasien sangat
memprihatinkan. Tensinya rendah. Keasaman darahnya tinggi, dengan pH 6,81. Normalnya,
keasaman atau pH-nya adalah 7,35. Dokter telah siap untuk menolong tetapi tato pada dada
tersebut membuat tim dokter bingung menentukan langkah. Kebingungan bertambah sebab
pria itu tak punya keluarga.
Awalnya, tim medis kemudian mengambil langkah untuk mengabaikan tulisan tato dan
segera melakukan pertolongan pertama.
"Namun keputusan itu membuat kami berkonflik batin, menimbang bahwa pasien telah
berupaya keras memberi tahu langsung petunjuk tersebut," tulis tim medis dalam
publikasinya.
Di tengah kebingungan, mereka lantas meminta pertimbangan komite etik. Sambil menunggu
5
kepastian, pasien diberikan antibiotik empirik, menerima cairan, dan dirawat dengan Bilevel
Positive Airway Pressure (BPAP) untuk membantunya bernafas.
Akhirnya, setelah melihat riwayat pasien, konsultan etika menyarankan untuk tetap
menghormati tulisan tato tersebut. Alasannya, tato tersebut dianggap sebagai pilihan hidup
dari pasien.
Entah bagaimana, akhirnya petugas dari Departemen Sosial juga mendapat salinan tertulis
dari pasien terkait permintaan untuk tidak disadarkan.
Setelah itu, kondisi pasien semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia. Kasus
permintaan DNR tato pasien ini cenderung membuat bingung tim medis mengingat adanya
kekhawatiran tentang legalitas dan keyakinan yang tidak berdasar. Apalagi tim medis tidak
tahu sejarah pasien tersebut membuat tato tersebut.
"Namun demikian, kami merasa lega menemukan permintaan DNR-nya yang tertulis, karena
pernah suatu kasus seseorang dengan tato DNR-nya tidak mencerminkan keinginannya saat
ini. Laporan kasus ini tidak mendukung atau tidak menentang penggunaan tato untuk
mengekspresikan pilihan hidup mereka dengan tato," tulis tim medis.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien-pasien dengan DNR dapat dikatakan sebagai pasien end of life atau pasien menjelang
ajal. Terlepas dari dilema yang dirasakan perawat dalam merawat pasien DNR, tentunya
perawat harus memberikan asuhan keperawatan yang optimal bagi pasien.
Dalam kaitannya dengan fungsi advokasi perawat juga dilakukan komunikasi yang efektif
yang dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi real atau nyata tentang kondisi
pasien.
Masih dalam Amestiasih T.el al (2015) penentuan DNR diputuskan oleh dokter sesuai hasil
pemeriksaan maupun berdasarkan usulan perawat. Pengalaman dalam pengambilan
keputusan DNR terkait siapa yang berhak menentukan diagnosa DNR tersebut didukung oleh
6
Brizzi (2010) bahwa diagnosa DNR ditentukan oleh dokter dengan melihat berbagai
pertimbangan seperti kondisi pasien, keinginan pasien dan rekomendasi perawat.
Dalam pembahasan kasus diatas, pendapat dari kelomok kami adalah petugas kesehatan harus
memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan
keinginan (preferensi) pasien.Otonomi pasien harus dihormati secara etik termasuk
tato yang terdapat pada dada pasien. Akan tetapi hal itu membutuhkan kemampuan
komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk
RJP. Tetapi pada kasus ini pasien datang dengan keadaan tidak sadar dan tidak mempunyai
keluarga. Dilihat dari riwayat penyakit pasien yaitu paru konis, diabetes melitus dan fibrilasi
atrium atau detak jantng yang berdetak tidak beraturan dengan cepat dan paramedis juga
menemukan kadar alkohol dalam darahnya yang cukup tinggi dapat disimpulkan peluang
hidup pasien rendah.
Jadi, kita sependapat dengan perlakuan tenaga medis diatas dengan tetap
menghargai tato yang terdapat pada dada pasien dan menganggap tato tersebut adalah
cerminan hidup pasien dengan membiarkan pasien meninggal.
BAB V
KESIMPULAN
7
DAFTAR PUSTAKA
Calvin, A.O., Kite-Powel, D,M., & Hickey ., J.V, (2007). The neuroscience ICU
nurse’s perceptions about and of life care. Journal of Neuroscience Nursing, 39
(3) , 143-150)
Chan, G.K. (2005). Understanding end-of-life caring practices in the emergency departement.
Nursing Philosophy,6 (1), 19-32.
Wismabrata, Michael Hangga. 2017. ‘’Karena Tato, Dokter Memutuskan untuk Membiarkan
Pasien Memilih Mati’’
. https://sains.kompas.com/read/2017/12/04/132251123/karena-tato-dokter-memutuskan-
untuk-membiarkan-pasien-memilih-mati. diakses pada tanggal 2 Oktober 2018