Oleh:
Noviyanti Fernandy
NIM 162310101093
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 162310101093
Hari : Rabu
TIM PEMBIMBING
Ahmad Eko Wibowo, S. Kep., Ns Ira Rahmawati, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep.An
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN................................................................... ii
iii
BAB 1
KONSEP DASAR PENYAKIT
1
- Volume residu (VR) yaitu jumlah udara yang tersisa dalam paru
setelah ekspirasi maksimal. Rata-rata VR ini berkisar 1.200 ml
pada laki-laki dan 1.000 ml pada perempuan
b. Kapasitas Paru
- Kapasitas paru total (KPT) yaitu jumlah total udara dalam paru
setelah inspirasi maksimal atau merupakan penjumlahan keempat
volume utama paru. Pada orang dewasa besarnya sekitar 6 liter.
- Kapasitas vital (KV) yaitu jumlah udara yang dapat diekspirasi
maksimal setelah inspirasi maksimal atau merupakan penjumlahan
VT, VCI, dan VCE.
- Kapasitas inspirasi (KI) yaitu jumlah udara maksimal yang dapat
masuk ke dalam paru setelah akhir ekspirasi biasa atau merupakan
penjumlahan VT dan VCI. Nilai rata-ratanya adalah 3.500 ml
- Kapasitas residu fungsional (KRF) yaitu jumlah udara dalam paru
pada akhir ekspirasi biasa atau merupakan penjumlahan VCE dan
VR. Nilai rata-ratanya adalah 2.200 ml
1.2 Definisi Penyakit PPOK
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease ), di Indonesia biasa
dikenal dengan PPOK atau Penyaki Paru Obstruksi Kronik yang merupakan
penyakit yang menyerang paru-paru manusia. PPOK adalah penyakit paru
kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
semakin lama sesaknya semakin berat (progresif) dan tidak bisa kembali
normal atau membaik (nonreversibel) atau membaik sebagian (reversibel
parsial). PPOK terdiri dari bronkitis kronik (peradangan pada saluran bronkial
yang memproduksi banyak lendir) dan emfisema (suatu keadaan dimana
alveoli mengalami kehilangan elastisitasnya sehingga udara sukar
dikeluarkan) yang telah masuk atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. 2003).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi
irreversible yang berkaitan dengan dispnue saat beraktivitas dan penurunan
masuk serta keluarnya udara paru-paru (Smeltzer & Bare. 2008). PPOK
adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di
2
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat
progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas racun yang berbahaya (GOLD, 2010; Robbins et al., 2010 dalam
Saminan,2014).
Definisi PPOK menurut American Thoracic Society (ATS) adalah suatu
gangguan obstruksi dari jalan napas karena bronkitis kronik atau emfisema;
obstruksi jalan napas umumnya progresif dan dapat disertai hiperreaksi
(peningkatan produksi mukus untuk mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit) dan mungkin kembali normal sebagian (produksi mukus dalam
keadaan normal, sputum tidak berwarna kuning atau hijau, berlendir,
bercampur darah)(Saminan, 2014). Menurut Klaus et al., (2007) dalam
Saminan (2014), PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati
dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan (gagal jantung kiri)
yang dapat berkontribusi terhadap keparahan pada individu; yang ditandai
dengan keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat
progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dalam
paru dari partikel berbahaya atau gas beracun (asap rokok, asap kendaraaan
bermotor, dan gas polutan).
1.3 Epidemiologi PPOK
PPOK merupakan penyakit tidak menular yang sering ditemukan, namun
jarang di dengar atau dikenal oleh masyarakat karena kurangnya informasi yang
diberikan. Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa
prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 11,8% dan untuk perempuan 8,5%.
Prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan
prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) (Oemiati,
2013).
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang penyakit PPOK. Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak
dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan
angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Dari hasil
3
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat
dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan (3,3%).
1.4 Etiologi PPOK
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK (Mansjoer, 1999), yaitu:
1. Kebiasaan merokok
Sekitar 90% kebiaaan merokok merupakan faktor resiko utama kasus
PPOK, Hasil dari pembakaran tembakau dapat mengiritasi bronkiolus,
dan dapat memicu perubahan permanen pada kelenjar yang
meproduksi mukus sehingga dapat menyebabkan hipereksresi mukus.
Merokok juga dapat menyebabkan inflamasi pada dinding organ
saluran pernapasan dan dapat merusak dinding alveolar, serta dapat
memperparah kondisi emfisema pada pasien yang rentan.
2. Polusi udara
Polusi udara terbukti memiliki peran yang dapat memicu PPOK
meskipun resikonya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok
(Bourke, 2003). Polusi udara mengandung material berat seperti
karbon dan sulfur dioksida yang merupakan hasil pembakaran bahan
bakar fosil.Materialtersebut memilki peran pentig dalam meningkatnya
resiko PPOK.
3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
Faktor lingkungan seperti paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi
akibat kerja (logam berat, silika, bahan-bahan batu bara) dapat masuk
kedalam saluran repirasi dan dapat menyebabkan kerusakan apabila
terpapar dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang lama (Barnett,
2006).
4
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi
mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Merokok pada saat hamil
juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-paru.
b. Polusi indoor
Polusi udara didalam ruangan disebabkan oleh penggunaan biomas
termasuk batu bara, kayu, kotoran hewan, dan sisa tanaman yang
dibakar dalam api terbuka di dalam tempat tinggal dengan ventilasi
yang buruk. Penggunaan batu bara sebagai sumber energi untuk
memasak, pemanas dan kebutuhan rumah tangga lainnya
meningkatkan risiko terjadinya PPOK. Pembakaran kayu dan
bahan bakar biomassa lainnya diperkirakan membunuh dua juta
perempuan dan anak- anak setiap tahun
c. Polusi outdoor
Tingginya kadar polusi udara didaerah perkotaan berbahaya bagi
individu terutama pembakaran dari bahan bakar kendaraan,
bila ditambah dengan merokok akan meningkatkan risiko
terjadinya PPOK. Zat-zat kimia yang juga dapat menyebabkaa
bronkitis adalah zat pereduksi seperti O2, zat pengoksidasi N2O,
hidrokarbon, aldehid dan ozon
d. Polusi di tempat kerja
polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu
sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia
pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19%.
2. Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran
napas akut adalah suatu penyakit terbanyak yang diderita oleh anak-
anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat
5
memberikan kecacatan sampai masa dewasa dan dapat menyebabkan
terjadinya PPOK.
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru terkait dengan proses yang
terjadi selama kehamilan, kelahiran dan proses tumbuh kembang.
Setiap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama
kehamilan dan tumbuh kembang anak akan memiliki potensi untuk
meningkatkan risiko terserang PPOK. Dalam sebuah penelitian
terdapat hubungan positif antara berat lahir dan fungsi paru yang akan
berdampak pada saat seseorang setelah dewasa.
1.5 Klasifikasi PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia) tahun 2005 dalam Oemiati (2013) maka PPOK dikelompokkan
beberapa klasifikasi, yaitu:
1. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau
tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai
satu.
2. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk.
Dengan atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajat dua (jika
berjalan bersama teman dijalan yang datar, selalu lebih lambat atau
jika berjalan sendirian dijalan yang datar sering beristirahat untuk
mengambil napas) (modified medical research council, 2010).
3. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga
(perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan sejauh 30 m pada
jalan yang datar, atau setelah berjalan beberapa menit) atau derajat
empat (timbul sesak napas berat ketika bergerak untuk memakai baju
atau melepas baju) (modified medical research council,2010).
1.6 Patofisiologi/Patologi
Pada bronchitis kronik dan emfisema terjadi penyempitan saluran nafas.
Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas sehingga
menimbulkan sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernafasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok, dan
6
berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet. Saluran
nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjer mucus.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru (Mansjoer, 1999).
1.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PPOK, antara lain:
1. Dispnue
Dipsnue sering menjadi alasan utama pasien PPOK mencari bantuan
tenaga kesehatan. Dipsnue digambarkan sebagai usahabernafas yang
meningkat, berat, kelaparan udara atau gasping. Sesak nafas pada PPOK
bersifat persisten dan progresif. Awalnya sesak nafas hanya dirasakan
ketika beraktifitas seperti berjalan, berlari dan naik tangga yang dapat
dihindari, tetapi ketika fungsi paru memburuk, sesak nafas menjadi lebih
progresif dan mereka tidak dapat melakukan aktifitas sebagaimana orang
lain dengan usia yang sama dapat melakukannya. (GOLD, 2006)
2. Batuk
Batuk kronis menjadi gejala pertama dari pasien PPOK, setelah merokok
atau terpapar oleh polutan lingkungan. Pada awalnya batuk hanya sebentar
kemudian lama kelamaan hadir sepanjang hari (Price & Wilson, 2006;
GOLD, 2006)
3. Produksi sputum
Pasien PPOK umumnya disertai batuk produktif. Batuk kronis dan
pembentukan sputum mukoid atau mukopurulen selama sedikitnya 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut merupakan
gejala klinis dari bronchitis kronis (Price & Wilson, 2006; GOLD, 2006).
4. Wheezing dan sesak dada(chesttightness)
Wheezing dan sesak dada adalah gejala yang spesifik dan bervariasi dari
satu pasien dengan pasien yang lain. Gejala ini dijumpai pada PPOK
ringan yang lebih spesifik kepada asma atau pada PPOK berat atau sangat
berat. Percabangan trakeobronlial melebar dan memanjang selama
inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang
sempit (mengalami oedem dan berisi mukus), yang dalam kondisi normal
7
akan berkontraksi sampai pada tingkat tertentu pada saat ekspirasi. Udara
terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan sehingga terjadi
hiperinflasi progresif paru. Sewaktu pasien berusaha memaksakan udara
keluar akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas
asma. Sedangkan sesak dada adalah kondisi yang buruk sebagai konstraksi
isometrik otot-otot interkostal (Price & Wilson, 2006; GOLD, 2006).
5. Perubahan bentuk dada
Pada pasien PPOK dengan stadium lanjut akan ditemukan tanda- tanda
hiperiinflasi paru seperti barrel chest dimana diafragma terletak lebih
rendah dan bergerak tidak lancar, kifosis, diameter antero-posterior
bertambah jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal
kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subcostal bertambah
(Price & Wilson, 2006).
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan untuk pasien PPOK menurut
(Mansjoer, 1999 antara lain):
1. Pemeriksaan radiologi
Foto toraks pada bronchitis kronik memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apeks
paru dan corakan paru yang bertambah.Pada emfisema paru, foto toraks
menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang
rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, penambahan
corakan distal.
2. Pemeriksaan fungsi paru
- Volume residu (VR), kapasiti residu fungsional (KRF), kapasiti paru
total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti harian APE kurang dari 20%
3. Pemeriksaan gas darah terutama ntuk menilai gagal napas kronik stabil
dan gagal napas akut pada gagal napas kronik.
8
4. Pemeriksaan EKG untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang
ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
5. Pemeriksaan laboratorium darah: hitung sel darah putih, Ht, dan Hb.
1.9 Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis
Berikut adalah penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis dari
PPOK adalah sebagai berikut:
1. Pencegahan: mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
Menghindari penyebab timbulnya PPOK.
2. Terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan:
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H.Influenza dan S.Pneumonia,
maka digunakan ampisilin 4x0,25-0.5 g/hari atau eritromisin 4x0,5
g/hari. Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan
jika kuman penyebab infeksinya dalah H.Influenza dan B.catarhalis
yang memproduksi β-laktamase. Pemberian antibiotic seperti
kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya
dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
b. Terapi Oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia (keadaan tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2 yang
tidak normal dalam darah, > 45mmHg) yang dapat menyebabkan
peningkatan kontraksi jantung, peningkatan tekanan darah dan
kecenderungan aritmia jantung.
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
cara clapping.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik β dan antikolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratropium bromide 250
9
μg diberikan setiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5g
iv secara perlahan.
e. Latihan fisik untuk meningkatkan tolerensi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan
untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan, dan endurance
exercise.
3. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
nafastipe II (jika berjalan bersama dengan dengan teman dijalan yang
datar, selalu lebih lambat, atau jika berjalan sendirian dijalan yang datar
sering beristirahat untuk mengambil napas) (modified medical research
council,2010) dengan PaO2<7,3 kPa (55mmHg).
a. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah
rehabilitasi dirumah: latihan dinamik dan menggunakan otot secara
ritmis, misalnya: jalan, joging, dan bersepeda.
b. Rehabilitasi rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per
minggu. Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut
nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan
keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil
pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah
6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang
obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk
penderita dirumah adalah ergometri dan walking-jogging.
Ergometri lebih baik daripada walking-jogging. Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit yang
cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.
Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung
60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan
10
2-4 menit istirahat. Setelah bebrapa minggu latihan ditambah
sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu.
1.10 Komplikasi
1) Insufisiensi pernafasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal nafas kronis secara bertahap ketika
struktur paru mengalami kerusakan secara irreversible. Gagal nafas
terjadi apabila penurunan oksigen terhadap karbon dioksida dalam paru
menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju kebutuhan oksigen. Hal
ini akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mmHg
(hipoksia) tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia) (Smelzer & Bare, 2008).
2) Atelektasis
Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya
kolap pada alveolus, lobus, atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan akan
mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara dari bronkus. Udara
alveolar yang terperangkap menjadi terserap kedalam pembuluh darah
tetapi udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap karena
obstruksi. Akibatnya paru menjadi terisolasi karena kekurangan udara
danukurannya menyusut dan bagian sisa paru lainnya berkembang secara
berlebihan (Smelzer & Bare, 2008).
3) Pneumonia
Pneumoni adalah proses inflamatori parenkim paru yang disebabkan oleh
agen infeksius. PPOK mendasari terjadinya pneumoni karena flora normal
terganggu oleh turunnya daya tahan hospes. Hal ini menyebabkan tubuh
menjadi rentan terhadap inferksi termasuk diantaranya mereka yang
mendapat terapi kortikosteroid dan agen imunosupresan lainnya (Smelzer
& Bare, 2008).
4) Pneumotorak
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari PPOK
karena adanya ruptur paru yang berawal dari pneumotorak tertutup (Black
& Hawk, 2005). Pneumotorak terjadi apabila adanya hubungan antara
bronkus dan alveolus dengan rongga pleura, sehingga udara masuk
11
kedalam rongga pleura melalui kerusakan yang ada (Price & Wilson,
2006).
5) Hipertensi paru
Hipertensi pulonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul pada
kasus PPOK karena hipoksia yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah kecil paru. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan struktural
yang meliputi hiperplasia intimal dan hipertrophi atau hiperplasia otot
halus. Pada pembuluh darah saluran udara yang sama akan mengalami
respon inflamasi dan sel endotel mengalami disfungsi. Hilangnya
pembuluh darah kapiler paru pada emfisema memberikan kontribusi
terhadap peningkatan tekanan sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal
yang progresif akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya
menyebabkan gagal jantung kanan (cor pulmonale) (GOLD, 2006).
6) Masalah sistemik
PPOK dalam perjalanan penyakitnya melibatkan beberapa efek sistemik
terutama pasien dengan penyakit berat. Hal ini akan berdampak besar
pada kelangsungan hidup bagi pasien PPOK. Pasien dengan PPOK juga
mengalami peningkatan terjadinya osteoporosis, depresi dan anemia
kronis. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-α,
IL-6, dan turunan dari radikal bebas oksigen lainnya, dapat memediasi
beberapa efek sistemik untuk terjadinya penyakit kardiovaskular yang
berhubungan dengan peningkatan Protein C-Reaktif (CRP) (GOLD,
2006).
12
1.11 Clinical parhway
Defisit energi
Gangguan pertukaran gas
Intoleransi aktivitas
13
keletihan
Lelah, lemah
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
0. Identitas klien meliputi : nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, umur,
pekerjaan, pendidikan, alamat, agama, suku bangsa, bahasa yang
digunakan sehari-hari, tanggal masuk rumah sakit, no register/MR, serta
penanggung jawab.
1. Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa Medik
Diagnosa medik jelas yaitu PPOK, bisa karena bronkitis kronik atau
emfisema.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien PPOK biasanya mengeluh
adanya sesak nafas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat sekarang berisi tentang perjalanan penyakit yang dialami
pasien dari rumah sampai dengan masuk ke Rumah Sakit.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami
penyakit tertentu, khususnya penyakit yang mengenai paru. Selain itu
penting diketahui adanya alergi obat, makanan atau yang lain, riwayat
imunisasi, kebiasaan pasien, yang biasanya penderita PPOK
kebiasaannya kurang baik, misalnya riwayat merokok atau lain-lain.
riwayat obat-obatan yang digunakan juga harus diketahui.
e. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluraga ada
yang pernah mengalami sakit yang sama dengan pasien atau penyakit
yang lain yang ada di dalam keluarga.
14
Genogram
Keterangan :
: Laki-laki : Menikah
: Perempuan : Meninggal
: Klien
I. Pengkajian Keperawatan
15
mengalami penurunan nafsu makan yang disertai
adanya mual muntah, maka mempengaruhi asupan
nutrisi pada tubuh yang berakibat adanya
penurunan BB dan penurunan massa otot.
3 Pola eliminasi Pola eliminasi klien yang harus dikaji oleh perawat
meliputi :
4 Pola aktivitas dan Pola aktivitas dan latihan perlu dikaji karena pada
latihan klien dengan PPOK mengalami keletihan, dan
kelemahan dalam melakukan aktivitas gangguan
karena adanya dispnea yang dialami.
5 Pola tidur dan Gangguan yang terjadi pada pasien dengan Bronkhitis
istirahat salah satunya adalah gangguan pola tidur, pasien
diharuskan tidur dalam posisi semi fowler.
Sedangkan pada pola istirahat pasien diharuskan
untuk istirahat karena untuk mengurangi adanya
16
sesak yang disebabkan oleh aktivitas yang
berlebih.
17
pentingnya keluarga, pengambil keputusan dalam
keluarga, orang-orang terdekat pasien, pola
hubungan orang tua dan anak. Akibat dari proses
inflamasi tersebut secara langsung akan
mempengaruhi hubungan baik intrapersonal
maupun interpersonal.
11 Pola tata nilai dan Latar belakang etnik dan budaya pasien, status
kepercayaan ekonomi, perilaku kesehatan terkait nilai atau
kepercayaan, tujuan hidup pasien, pentingnya
agama bagi pasien, akibat penyakit terhadap
aktivitas keagamaan. Adanya kecemasan dalam
sisi spiritual akan menyebabkan masalah yang baru
18
yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan
kematian dan akan mengganggu kebiasaan
ibadahnya.
Gejala
- Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
Tanda :
- Terjadi peningkatan tekanan darah karena mengalami hipertrofi dan
gangguan fungsi ventrikel kanan akibat tekanan yang berlebihan
- Peningkatan frekuensi jantung karena sesak napas berat
- Distensi vena leher dan edema dependen (tungkai) menunjukkan bahwa
ada kelainan jantung. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel
19
kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam
arteri pulmonal. Sehingga terjadi gagal jantung sebelah kanan
(korpumonal)
- Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
- Membran mukosa untuk melihat adanya pucat (anemia) dan kebiruan
(sianosis). Pasien yang mengalami sesak biasanya mengalami sianosis
sentral.
c. Integritas ego
Gejala :
- Peningkatan faktor resiko
- Perubahan pola hidup
Tanda :
- Ansietas
- Ketakutan
- peka rangsang
d. Makanan atau cairan
Gejala :
- Mual atau muntah.
- Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
- Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
Tanda :
- Turgor kulit buruk.
- Edema dependen
- Berkeringat
- Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan
(emfisema).
- Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).
e. Hygiene
Gejala :Penurunan kemampuan personal hygiene
Tanda :Kebersihan buruk, bau badan
20
f. Pernafasan
Gejala :
- Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan
untuk bernafas (asma).
- Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun
selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun.
Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali
(bronkhitis kronis).
- Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini
meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
- Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan
pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau
asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
- Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin
(emfisema).
- Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
Tanda :
- Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang
dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
- Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi
fosa supraklavikula, melebarkan hidung.
- Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk
barrel chest), gerakan diafragma minimal.
- Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema),
menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi,
sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi
berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
- Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara
dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi,
cairan, mukosa.
21
- Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
- Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan
keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung).
Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna
kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.
- Tabuh pada jari-jari (emfisema).
g. Keamanan
Gejala :
- Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
- Adanya atau berulangnya infeksi.
h. Seksualitas
Gejala :Penurunan libido
i. Interaksi social
Gejala :
- Hubungan ketergantungan.
- Kurang sistem pendukung
- Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat
- Penyakit lama atau kemampuan membaik.
Tanda :
- Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena
distress pernafasan.
- Keterbatasan mobilitas fisik.
- Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
j. Penyuluhan atau pembelajaran tentang :
- Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
- Kesulitan menghentikan merokok.
- Kegagalan untuk membaik.
Rencana pemulangan :
- Bantuan dalam beraktivitas
- Perubahan pengobatan atau program terapeutik.
22
Data Tambahan pada pengkajian PPOK menurut (Engram, 1999), yaitu:
a. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :
- Merokok produk tembakau
- Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
- Riwayat alergi pada keluarga.
- Riwayat asma pada masa kanak-kanak.
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi,
seperti alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional,
aktivitas fisik berlebihan, polusi udara, infekasi saluran nafas, kegagalan
program pengobatan yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan
(Apendiks A) yang meliputi :
Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
- Peningkatan dispnea (paling sering ditemukan).
- Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
- Penurunan bunyi nafas.
- Takipnea.
- Ortopnea.
23
adalah serangan bronkitis dengan perjalanan penyakit yang
singkat(beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14
hari. Ditandai dengan :
a) demam,
b) nyeri dada (terutama disaatbatuk),
c) dyspnea, dan
d) batuk (Depkes RI, 2005).
2) Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang
ditandaioleh batuk kronikberdahak minimal 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya (PDPI, 2003).
a) Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah
yang banyak. Dahak makin banyak dan berwarna
kekuningan (purulen) pada serangan akut (eksaserbasi).
Kadang dapat dijumpai batuk darah.
b) Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat
beraktifitas.
c) Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
d) Pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi)
terdengar suara krok-krok terutama saat inspirasi
(menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak di
saluran napas.
c. Emfisema
1) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks
anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
2) Fase ekspirasi memanjang.
d. Emfisema (Tahap Lanjut)
1) Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis pasien ini sering
digambarkan secara klinis sebagai “pink puffers“.
2) Jari-jari tabuh.
e. Pemeriksaan diagnostik
24
1) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi
(Asidosis Respiratorik).
2) Sinar x dada menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran
jantung dan bendungan pada area paru-paru.
3) Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan peningkatan kapasitas paru-
paru total (KPT) dan volume cadangan paru (VC), penurunan
kapasitas vital (KV), dan volume ekspirasi kuat (VEK).
4) Jumlah Darah Lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah darah merah (JDM).
5) Kultur sputum positif bila ada infeksi.
6) Esei imunoglobin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum
(Immunoglobulin E) jika asma merupakan salah satu komponen dari
penyakit tersebut.
f. Kaji persepsi diri sendiri tentang mengalami penyakit kronis.
g. Kaji berat badan dan rata-rata masukkan cairan dan diet harian.
Klasifikasi Data
a. Data Subyektif :
- Klien mengatakan sesak napas
- Klien mengatakan batuknya berdahak
- Klien mengatakan berat badannya menurun,
- Klien mengatakan kurang nafsu makan
- Klien mengatakan tidak bisa beraktivitas
- Klien mengatakan sesak bertambah saat beraktivitas
- Klien mengatakan cemas
b. Data Obyektif :
- Suara paru ronkhi
- Klien nampak batuk berdahak
- Frekuensi napas cepat
- Klien bernapas menggunakan otot – otot pernapasan
- Klien nampak batuk
- Porsi makan tidak dihabiskan
25
- Badan tampak kurus
- Berat badan menurun
- Nampak aktivitas dibantu
- Klien nampak sesak saat beraktivitas
- Klien nampak gelisah
Analisa Data
DO
Batuk
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan
Napas
26
sesak napas
sesak nafas, nafas
- Klien mengatakan
sesak bertambah saat pendek dan batuk
beraktivitas
- Klien mengatakan
batuknya berdahak
Pola nafas tidak
DO
efektif
- Suara paru ronkhi
- Frekuensi napas
cepat
- Klien nampak sesak
saat beraktivitas
- Klien nampak batuk
- Klien bernapas
menggunakan otot
- otot pernapasan
3 Ds: Refluk laring Ketidakseimbangan
27
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan reflux faring ditandai dengan mual dan muntah
28
2.3 Intervensi/Nursing Care Plan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan Rasional
1.
Domain 11. Setelah dilakukan tindakan 1. posisi semi fowler akan
Keamanan/ perawatan 3x24 jam, jalan mempermudah pasien
1. Berikan posisi semi
perlindungan napas bersih dan efektif untuk bernafas
fowler
setelah hari perawatan,
Kelas 2. Cedera 2. Auskultasi bunyi 2. bersihan jalan nafas
dengan kriteria hasil:
fisik nafas,catat adanya yang tidak efektif dapat
a) Tidak ada dypsneu, bunyi nafas misalnya: dimanisfestasikan
Ketidakefektifan
sianosis, mengi,krekels dan dengan adanya bunyi
bersihan jalan nafas
b) Tidak ada ronchi dan ronkhi nafas ronkhi
berhubungan dengan
suara krek-krek 3. Kaji frekuensi
penumpukan sputum 3. Takipnea biasanya ada
pernafasan, catat rasio
pada jalan napas pada beberapa derajat
inspirasi/ekspirasi dan dapat ditemukan
4. Memberikan minum pada penerimaan atau
hangat sedikit sedikit selama stres/ adanya
tapi sering.
proses infeksi akut.
5. Ajarkan teknik relaksasi Pernafasan dapat
6. Ajarkan teknik batuk melambat dan frekuensi
efektif ekspirasi memanjang
29
7. Melaksanakan tindakan dibanding inspirasi.
delegatif : 4. Hidrasi menurunkan
Bronchodilator, kekentalan sekret dan
mukolitik, untuk mempermudah
mencairkan dahak pengeluaran.
sehingga mudah
5. untuk memperbaiki pola
dikeluarkan.
pernafasan
6. untuk membantu
mengeluarkan sekret
7. Pemberian obat-obatan
pengerncer dahak
memudahkan proses
evakuasi jalan nafas
30
monal efektif sudah teratasi 2. Observasi tanda-tanda 2. peningkatan RR dan
Kriteria hasil : vital takikardi merupakan
Ketidakefektifan 1) Menunjukkan pola 3. Identifikasi indikasi adanya
pola nafas napas normal/efektif etiologi/faktor pencetus penurunan fungsi paru
berhubungan dengan 2) Suhu, nadi, RR, dan (kolaps paru) distress pernafasan dan
air trapping tekanan darah dalam 4. Ajarkan batuk efektif perubahan pada tanda
batas normal 5. Jelaskan kepada pasien vital dapat terjadi
Suhu: 36,5°C-37,5°C dan keluarga fungsi sebagai akibat stress
RR: 12-20x/menit pemasangan oksigen fisiologi dan nyeri
TD: 80/120 nasal pada pasien dapat menunjukkan
3) Tidak ada sianosis dan 6. Kolaborasi pemberian terjadinya syok
tanda/gejala hipoksia oksigen tambahan sehubungan dengan
melalui nasal kanul hipoksia
sesuai indikasi
3. pemahaman penyebab
kolaps paru perlu
untuk pemasangan
selang dada yang tepat
dan memilih tindakan
teraupetik lain
4. untuk membersihkan
31
jalan nafas dan
membantu mencegah
komplikasi pernafasan
5. memperbaiki status
oksigenasi pasien dan
memenuhi kekurangan
oksigen
6. mengkaji status
pertukaran gas dan
ventilasi, perlu untuk
kelanjutan terapi
3 Domain 2. Nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji pola makan klien 1. Mengkaji pola makan
Kelas 1. Makan keperawatan selama 3x24 2. Observasi dan catat klien akan
jam pemenuhan kebutuhan makanan klien. memudahkan dalam
Ketidakseimbangan nutrisi terpenuhi dengan 3. Anjurkan makan memenuhi kebutuhan
nutrisi: kurang dari kriteria : makanan yang hangat dan membantu dalam
kebutuhan tubuh a) Porsi makan dan bervariasi. intervensi selanjutnya.
dihabiskan 4. Anjurkan klien untuk 2. Mengetahui seberapa
32
b) BB bertambah makan sedikit tapi sering banyak makanan yang
c) tidak terjadi 5. Berikan informasi yang dapat dihabiskan klien
penurunan BB tepat terhadap pasien sehingga member
tentang kebutuhan nutrisi gambaran tentang
yang tepat dan sesuai intake makanan klien
6. Diskusikan dengan 3. Makanan yang hangat
keluarga dan pasien dan bervariasi dapat
pentingnya intake nutrisi menambah selera
dan hal-hal yang makan klien sehingga
menyebabkan penuruna kebutuhan nutrisi
berat badan terpenuhi
7. Kolaborasi dengan ahli
4. Memaksimalkan
gizi terkait pemberian
masakan nutrisi tanpa
makanan TKTP dan
kelemahan
kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian vitamin 5. informasi yang diberikan
dapat memotivasi
pasien untuk
meningkatkan intake
nutrisi
6. membantu memilih
33
alternatif pemenuhan
nutrisi yang adekuat
7. Memonitor intake
kalori, insufisiensi
kualitas makanan dan
suplemen penunjang.
34
2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah Tindakan yang dilakukan dari rencana keperawatan yang telah
di susun pada tahap perencanaan. Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada
klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki
kondisi, pendidikan untuk klien maupun keluarga, atau tindakan untuk mencegah
masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan
implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus
mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan
interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategiimplementasi keperawatan, dan kegiatan
komunikasi.
35
2.6 Discharge Planning
Discharge planning yang bisa dilakukan untuk klien dengan PPOK adalah
sebagai berikut:
1. Berikan informasi pada klien untuk tetap rutin minum air 8 gelas sehari yang
bermanfaat untuk mengencerkan sekret;
2. Berikan informasi pada klien untuk menghindari minuman dingin dan
makanan berminyak karena dapat menyebabkan batuk menjadi parah;
3. Berikan informasi pada klien untuk makan sedikit tapi sering agar tidak
merasa mual dan muntah serta kebutuhan nutrisi tubuh tetap terpenuhi;
4. Berikan informasi pada klien untuk memakai masker saat bekerja agar debu
tidak masuk kedalam tubuh;
5. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.
36
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh, G.Y., dan Christantie Effendy. 2001. Keperawatan Medikal Bedah:Klien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:EGC
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. LITBANG DEPKES RI.
Jakarta.2013.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., & C. M. Wagner. Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi 6. (2013). Nursing Interventions
Classification ( Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah,volume
I.Jakarta: EGC
37
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/download/3130/310
4
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia .2003.Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2006). Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC
Saminan. 2014. Efek Paparan Partikel Terhadap Kejadian Penyakit Paruobstruktif
Kronik (Ppok).Idea Nursing Journal Vol. V No. 1 2014 ISSN : 2087 – 2879.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed
8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
38