Perang Diponegoro
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search
Perang Diponegoro
Nicolaas Pieneman
Tanggal 1825-1830
Lokasi Jawa
Hasil Pangeran Diponegoro dibuang
ke Magelang;[1] pemberontakan berakhir
Pihak terlibat
Belanda
Kekuatan
50.000 100.000
Korban
Serdadu Eropa: 20,000 tewas dalam perang[3]
~8.000
Serdadu Jawa:
7.000[2]
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java
War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-
1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu
pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya
di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de
Kock[7] yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara
korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.
Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[8]
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 16 tahun sebelumnya,
pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target
penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya
untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir
utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang
rata-rata beragama Islam.[8]
Daftar isi
1Latar belakang
o 1.1Pemerintahan Daendels dan Raffles
o 1.2Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert
o 1.3Mulainya perang
o 1.4Perang sabil
2Jalan peperangan
3Akhir Perang
o 3.1Sinofobia
4Referensi
5Lihat pula
6Pranala luar
Diponegoro
Alibasah Sentot
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh
Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat
dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu
wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh
kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi
perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah
hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan.
Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan
senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak",
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika
gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-
mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan
bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang
berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak
gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumidan panglima
utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Pertempuran di Pluntaran.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk
Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon
keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat
bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan
diusir.
1. Kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat oleh Keraton Yogyakarta akibat intervensi
pemerintah Belanda dijalankan melalui perantaraan etnis Tionghoa[11]
2. Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809) menyebabkan
bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-
pengusaha Tionghoa.[8]
3. Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan
tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).[8]
4. Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk
uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa
pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para
renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.[8]
5. Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya
fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak
pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.[8]
6. Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa
sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.[8]
7. Anggapan Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam Babadnya bahwa dirinya tergoda
oleh tukang pijat beretnis Tionghoa pada malam sebelum perang Gawok (Oktober 1986)
sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kekebalan tubuhnya (mendapat luka saat
perang) dan mengalami kekalahan.[8]
8. Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar
pangeran, di bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah
menjamahi seorang peranakan Tionghoa di Lasem.[8]
Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal
peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas
Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas
Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke
Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan
Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa
tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro).
Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa
tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama
perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa
yang mengungsi agar kembali.[8]