Anda di halaman 1dari 10

Identifikasi Karstifikasi Pada Karakteristik Dolina ......................................................................................................... (Sari, dkk.

IDENTIFIKASI KARSTIFIKASI PADA KARAKTERISTIK DOLINA


Studi Kasus: Kecamatan Ponjong dan Kecamatan Semanu,
Kabupaten Gunung Kidul
(Identify Karstification of Doline Characteristics)

Diah Fitri Novita Sari, Astrid Damayanti, Rokhmatullah


Program Sarjana Geografi, Universitas Indonesia, Depok – Indonesia
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok
E-mail: diah.fitri@ui.ac.id

ABSTRAK
Karst Wonosari merupakan bagian paling penting dalam megasistem Karst Gunung Sewu yang memiliki
morfologi beragam. Kecamatan Semanu dan Ponjong termasuk dalam kawasan Karst Wonosari di
Kabupaten Gunung Kidul. Morfologi karst seperti gua, dolina, bukit, dan sebagainya terjadi karena
karstifikasi atau proses pembentukan karst di kawasan tersebut. Perubahan morfologi dolina dapat
berdampak negatif, seperti terjadinya amblesan tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
karstifikasi dengan menggunakan suhu permukaan tanah dan morfometri dolina dengan mengukur panjang,
lebar, dan dalam tiap dolina di Kecamatan Ponjong dan Semanu . Diharapkan dengan adanya penelitian ini,
perencanaan wilayah dan pembangunan dapat memperhatikan wilayah dolina yang berpotensi terjadi
perubahan bentuk. Penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh untuk pengolahan citra Landsat 8
menghasilkan data suhu permukaan tanah. Selanjutnya dengan metode sistem informasi geografis
digunakan analisis overlay untuk menggabungkan data suhu permukaan tanah dan karaktersitik dolina.
Karakteristik dolina ini terbagi menjadi dolina berair dan dolina kering. Sementara menurut bentuknya dibagi
menjadi dolina oval, bulat, dan tidak beraturan. Jumlah dolina berair dan kering yang memiliki rata-rata
suhu permukaan tanah dengan klasifikasi tinggi, sebesar 40% dan 39% dari jumlah tiap jenis dolina. Jumlah
dolina berair dengan klasifikasi suhu permukaan tanah sedang lebih banyak dari pada dolina kering, yakni
perbandingan keduanya sebesar 29:18. Sebaliknya, pada klasifikasi rendah dan sangat tinggi, jumlahnya
lebih sedikit daripada dolina kering, dengan perbandingan 9:11 dan 23:32. Dolina yang berbentuk bulat
memiliki rasio panjang/lebar paling kecil dari jenis dolina lain, yaitu 0,8 – 1,57, tetapi dolina tersebut
memiliki rasio lebar/kedalaman yang paling tinggi dari jenis dolina lain, yaitu 0,2 – 7,5.

Kata Kunci: Dolina, Karst Wonosari, karstifikasi, Landsat 8

ABSTRACT
Wonosari Karst is the most important part in Gunung Sewu Karst megasystem which has variety of
morphologies. Semanu and Ponjong district in Gunung Kidul regency are included in Wonosari Karst region.
Karst morphologies such as caves, doline, hills, and the others were formed as result of karstification or
karst forming. The morphological changes in doline could have negative impacts, such as sinkholes. The aim
of this research is to identify karstification by determining surface temperature and doline’s morphometry by
measuring the length, height, and depth of each doline in Ponjong and Semanu district. This research aims
to support regional planning and development by observing potential change of doline. This research used
Landsat 8 remote sensing to obtain surface temperature data and doline characteristics. Furthermore, the
geographic information system method is used for overlay analysis of the surface temperature data and
doline characteristics. Based on its characteristic, doline is divided into wet and dry. Doline has three
different shapes, which are oval, round, and irregular. The amount of wet and dry doline, which has average
surface temperature with high classification, is 40% and 39% of the amount of all each type of doline. The
amount of wet doline with medium classification is more than the amount of dry doline, which the ratio is
29:18. In contrast, at low and very high classification, the amount is less than dry doline, which the ratio are
9:11 and 23:32. The round doline has the smallest length/width ratio of the other types of doline is 0.8 –
1.57, but has the highest width/depth ratio of the other types of doline is 0.2 – 7.5.

Key Words: Doline, karstification, Landsat 8, Wonosari Karst

115
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kawasan karst merupakan salah satu kawasan yang paling unik yang menyimpan beragam
bentukan alam yang eksotis. Kawasan karst ini juga merupakan salah satu kawasan yang telah
banyak dijadikan menjadi tempat wisata disamping keberagaman bentukan alam tersebut.
Kawasan karst tersebar di dunia, menurut Ford dan Williams (2007) mencapai 25% dari seluruh
permukaan bumi, dan di Indonesia tersebar seluas 15,4 juta hektar kawasan dari batuan karbonat
ini, sehingga kehidupan di dunia dan di Indonesia bergantung pada kawasan karst. Menurut Adji
dkk. (1999), keunikan lain yang dimiliki kawasan karst adalah kawasan tersebut dikenal dengan
kawasan yang berdaya dukung lingkungan yang rendah. Hal tersebut dikarenakan karst selalu
mengalami perubahan dengan adanya proses pembentukan lahan karst atau yang dikenal dengan
karstifikasi. Perubahan yang terjadi untuk pembentukan lahan karst tersebut jika mengalami
kerusakan maka kawasan karst tersebut tidak dapat diperbaiki lagi. Selain itu, karena banyaknya
rekahan pada batuan gamping yang merupakan salah satu batuan karbonat, batuan penyusun
kawasan karst, menyebabkan pori-pori pada batuan tersebut membesar dan menjadikannya
permeabilitas sekunder dan mengalami pelarutan batuan yang tinggi. Sehingga masuknya zat atau
materi sekecil apapun akan diterima dan terlokasi melalui pori-pori dari rekahan batuan tersebut
dan memasuki lorong-lorong sungai bawah tanah serta tersebar dengan mudah. Hal ini
menjadikan kawasan tersebut sangat rentan terhadap pencemaran.
Salah satu penyebab terjadinya perubahan di kawasan karst adalah proses pembentukan karst
yang dikenal dengan proses karstifikasi. Karstfikasi merupakan proses pembentukan lahan karst
yang didominasi oleh proses pelarutan. Karstifikasi salah satu syarat terbentuknya kawasan karst
baik di permukaan ataupun di bawah permukaan bumi. Dalam proses karstifikasi yang melibatkan
faktor fisika, kimiawi, dan biologi, dapat memberikan ketahanan terhadap pelarutan dan pelapukan
sehingga dapat memberikan ciri yang khas pada setiap kawasan karst. Karstifikasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain curah hujan, ketinggian, kemiringan lereng, serta batuan kompak
dan memiliki porositas sekunder. Selain itu juga, dapat dipengaruhi oleh kadar CO2 dalam proses
karstifikasi tersebut. Semakin besar kadar CO2 yang masuk dalam batuan, semakin besar tingkat
pelarutan dalam batuan tersebut. Kadar CO2 yang akan larut dalam batuan dapat dikontrol oleh
suhu permukaan dan indeks vegetasi dari kawasan karst tersebut (Maryanto, 2006).
Pembentukan kawasan karst sangat berpengaruh dengan bagaimana proses pelarutan batuan
yang ditentukan oleh iklim. Iklim yang merupakan salah satu faktor terjadinya karstifikasi dapat
mempengaruhi temperatur dan penguapan yang menghasilkan kadar karbon dioksida (CO2) yang
mendorong untuk terjadinya karstifikasi dengan tanah sebagai media dari proses tersebut. Kadar
karbon dioksia didapatkan dari aktivitas biologi atau organisme yang terdapat di kawasan karst
tersebut. Melalui aktivitas organisme, didapatkan kadar CO2 yang membentuk keasaman pada
tanah dan memperkuat reaksi kimia untuk mendorong tingkat kelarutan dari batuan gamping.
Selain aktivitas biologis, faktor yang dapat memperkuat tingkat pelarutan batu gamping adalah
aliran air hujan yang memiliki aliran efektif. Hal tersebut dapat mendorong tingkat pelarutan
batuan dengan kecepatan aliran efektif t (Haryono dan Adji, 2004).
Karstifikasi menyebabkan perubahan-perubahan yang terjadi di permukaan maupun di dekat
permukaan batuan, baik perubahan yang terjadi di permukaan (eksokarst) maupun perubahan
yang terjadi di bawah permukaan (endokarst). Salah satu contoh dari eksokarst adalah dolina.
Pembentukan dolina merupakan salah satu hasil dari karstifkasi. Dolina merupakan cekungan
tertutup berbentuk bulat, lonjong, ataupun memanjang sebagai salah satu bentuk morfologi yang
sering dijumpai di kawasan karst selain gua dan bukit. Dolina juga dapat menjadi salah satu
penyebab terjadinya amblesan tanah di kawasan karst karena memiliki daya serap air yang dapat
melarutkan batu gamping yang membuat dolina tersebut mengalami perubahan bentuk (Waltham
et al., 2005).
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam gugusan
Karst Gunung Sewu, yang merupakan bagian paling penting dalam megasistem Karst Gunung
Sewu. Kecamatan Ponjong dan Semanu termasuk dalam kawasan Karst Wonosari. Dolina
merupakan salah satu morfologi yang banyak terdapat di kawasan karst tersebut. Dolina juga
merupakan fenomena eksokarst negatif dan menjadi salah satu morfologi yang menunjukan
terjadinya karstifikasi di wilayah tersebut serta merupakan faktor terjadinya amblesan tanah.

116
Identifikasi Karstifikasi Pada Karakteristik Dolina ......................................................................................................... (Sari, dkk.)

Dolina banyak tersebar di Kecamatan Ponjong dan Semanu dan memiliki jenis yang beragam, hal
tersebut dikarenakan proses karstifikasi di tiap wilayah berbeda, sesuai dengan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya karstifikasi. Jenis-jenis dolina yang terdapat di kedua kecamatan tersebut
antara lain dolina berair dan dolina kering, sedangkan menurut bentuknya dolina terbagi menjadi
tiga, yaitu dolina bulat, dolina oval, dan dolina tidak beraturan.
Tujuan pada penelitian difokuskan terhadap karakteristik morfometri dolina dengan suhu
permukaan tanah sebagai faktor pendorong dari karstifikasi guna mengetahui potensi terjadinya
perubahan bentuk di wilayah dolina-dolina yang tersebar di Kecamatan Ponjong dan Semanu,
Kawasan Karst Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Sehingga dapat meminimalisasi dampak negatif
dari kejadian perubahan dolina tersebut, seperti amblesan tanah. Selain itu, juga dapat menjadi
masukan dan rekomendasi bagi perencanaan dan pengembangan kawasan karst di Kabupaten
Gunungkidul bagi pemerintah untuk pembangunan berkelanjutan di kawasan Karst Wonosari.

METODE
Wilayah Studi

Wilayah studi terletak di bagian tengah Kabupaten Gunungkidul yang termasuk dalam
kawasan Karst Wonosari yang tercakup dalam dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Ponjong dan
Semanu. Secara administratif, kedua kecamatan tersebut meliputi 16 desa yang memiliki total luas
wilayah sebesar 213.08 km2. Wilayah tersebut termasuk dalam sub megasistem karst Gunung
Sewu yang memiliki beragam morfologi karst, salah satunya adalah dolina.

Data yang diperlukan

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data sekunder dengan sumber dari berbagai
instansi dan lembaga terkait (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis dan sumber data.


Data Output Sumber
Citra Landsat 8 rekaman 28 Juni
Peta suhu permukaan tanah Situs USGS Earth Explorer
2017 path/row 119/66
Peta Rupa Bumi Indonesia skala
1:25.000 Lembar 1407-633
(Karangduwet), 1407-634 Peta Persebaran Dolina Badan Informasi Geospasial
(Semanu), dan 1408-312
(Karangmojo)

Data yang digunakan (Tabel 1) yaitu data Citra Landsat 8 rekaman 28 Juni 2017 digunakan
untuk mengidentifikasi suhu permukaan tanah dan peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000
untuk mengidentifikasi karakteristik dolina.

PENGOLAHAN DATA

Identifikasi Dolina

Seperti yang digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 2, untuk memperoleh
persebaran dan karaterisik dolina dilakukan prosedur sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi keberadaan dolina dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.00 dari Badan
Informasi Geospasial (BIG) pada lembar Peta 1407-633 (Karangduwet), 1407-634 (Semanu),
dan 1408-312 (Karangmojo) dengan identifikasi jenis dolina, yaitu jenis berair dan kering.

117
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

b. Setelah mengidentifikasi jenis dolina berair dan kering, dibuat jenis-jenis sesuai bentuk yang
terdapat di peta rupa bumi. Dolina terbagi menjadi tiga macam bentuk, yaitu bentuk bulat,
oval, dan tidak beraturan. Ketiga bentuk tersebut dapat dilihat dari perbedaan bentuk setiap
dolina serta dari morfometri tiap dolina yakni panjang, lebar, dan kedalaman dari dolina
tersebut yang dapat dilihat ilustrasi dari penampakan perbedaan bentuk dolina pada Gambar 1

Gambar 1. Ilustrasi bentuk dolina bulat, oval, dan tidak beraturan.

c. Setelah dilakukan identifikasi dari morfometri dolina, dilakukan pengkuran rasio panjang
dan lebar dolina serta lebar dan kedalaman dolina untuk mengetahui bagaimana
karakteristik dari tiap dolina.

Suhu Permukaan Tanah

Hal yang dilakukan untuk pengolahan citra adalah dengan pemotong citra sesuai dengan
wilayah penelitian seperti yang terdapat pada Gambar 3, lalu data dikonversi dengan Digital
Number (DN) ke Spektral Radian menggunakan rumus (USGS, 2015):

Lʎ = MLQcal + AL…………………………………………………………………………………………………………..(1)

dimana:
Lʎ = TOA Spektral Radian (Watts/(m2*srad*μm)
ML = Faktor skala dari metadata RADIANCE_MULT_BAND_x, dimana x merupakan nomor
band
AL = Faktor penambah dari metadata RADIANCE_ADD_BAND, dimana x merupakan nomor
band
Qcal= Nilai standar Digital Number

Hasil dari konversi nilai spectral radian tersebut lalu diolah untuk mendapatkan nilai suhu
dengan rumus (USGS,2015):

…….…………………………………………………………………………………………….(2)

dimana:
T = Suhu
Lʎ = TOA Spektral Radian (Watts/(m2*srad*μm)
K1 = Konversi konstan thermal dari metadata K1_CONSTANT_BAND_x, dimana x merupakan
nomor band
K2 = Konversi konstan thermal dari metadata K1_CONSTANT_BAND_x, dimana x merupakan
nomor band

Selanjutnya, untuk menentukan bagaimana karakteristik karstifikasi di wilayah penelitan,


digunakan variabel suhu permukaan tanah yang merupakan faktor pendorong terjadinya
karstifikasi. Adapun klasifikasi yang dibuat dalam peneltian ini dibuat dalam empat kelas, yaitu

118
Identifikasi Karstifikasi Pada Karakteristik Dolina ......................................................................................................... (Sari, dkk.)

klasifikasi suhu rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi seperti yang tertera pada Tabel 2. Dari
tabel klasifikasi tersebut, dapat dilihat bagaimana karakteristik karstifikasi dari tiap dolina.

Tabel 2. Klasifikasi Suhu Permukaan Tanah.


Klasifikasi Suhu Permukaan Tanah Suhu (˚C)
Rendah < 20
Sedang 20 - 22
Tinggi 22 – 24
Sangat Tinggi > 24

Croping Data Citra


Landsat 8

Koreksi Radiometrik

Koreksi Digital Number


ke Spektral Radian

Koreksi Atmosfer

Peta Rupa Bumi


Alogaritma Suhu Indonesia
Permukaan

Peta Suhu Peta Karakteristik Dolina


Permukaan

Output
Identikasi Karstifikasi pada Dolina

Gambar 2. Diagram Alir Metodologi Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Identifikasi Karstifikasi

Karstifikasi merupakan proses dari pembentukan lahan karst. Banyak faktor yang
mempengaruhi proses karstifikasi tersebut, salah satunya adalah suhu permukaan yang dapat
membantu proses dari penyerapan karbondioksida (CO2) yang mempercepat pelarutan batu
gamping. Proses karstifikasi dapat terjadi pada wilayah dengan iklim tropis basah dengan suhu
kondusif (Blair dan Robert, 1986).

119
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

Setelah data citra landsat 8 pada band 10 dan 11 diolah, didapatkan hasil suhu yang terdapat
dalam wilayah penelitian di wilayah penelitian, Kecamatan Semanu dan Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul memiliki suhu 19,67 – 22,59 °C. Suhu minimum yang didapatkan dalam
olahan citra di wilayah penelitian adalah 19,67 °C dan suhu maksimum dari wilayah penelitian
adalah 26,77 °C. Di mana suhu permukaan dalam rentang 23,46 – 24,32 °C dan 22,59 – 23,46 °C
yang mendominasi wilayah tersebut.
Seperti yang terdapat pada Tabel 3, wilayah yang memiliki suhu 19,67 – 22,59 °C yang
mencakup 18% dari wilayah penelitian terdapat dibagian utara Kecamatan Ponjong. Suhu dengan
nilai 22,59 – 23,46 °C yang merupakan salah satu kelas yang mendominasi di wilayah penelitian,
yaitu 31% dari wilayah penelitian ini banyak terdapat di bagian selatan Kecamatan Semanu dan
Kecamatan Ponjong, banyak juga yang tersebar di tengah wilayah penelitian atau di tengah kedua
Kecamatan tersebut. Sama dengan suhu kelas yang mendominasi di nilai 23,46 – 24,32 °C dengan
presentase wilayah yang mencakup 37% dari wilayah penelitian mendominasi di Kecamatan
Semanu dan hanya sedikit yang terdapat di Kecamatan Ponjong. Lalu di kelas terakhir dengan nilai
suhu 24,32 – 26,77 °C yang mencakup 17% wilayah penelitian banyak terdapat di utara
Kecamatan Semanu.

Tabel 3. Suhu permukaan di Kecamatan Ponjong dan Semanu.


Suhu (˚C) Klasifikasi Suhu Luas Wilayah (km2) Presentase (%)
19,67 – 22,59 Rendah 37,20 19
22,59 – 23,46 Sedang 65,34 31
23,46 – 24,32 Tinggi 70,27 34
24,32 – 26,77 Sangat Tinggi 34,90 17

Secara umum pola spasial suhu permukaan tanah yang terjadi, wilayah yang memiliki kelas
suhu paling tinggi terdapat mayoritas di Kecamatan Semanu. Berlawanan dengan kelas suhu
paling tinggi, kelas suhu paling rendah yang terdapat di wilayah penelitian terdapat di Kecamatan
Ponjong. Suhu sangat berpengaruh dalam proses karstifikasi. Adapun suhu yang sedang sangat
sesuai untuk melarutkan batu gamping. Suhu yang diketahui dalam karstifiksai tersebut dapat
mempermudah analisis evaporasi aktual dan evapotranspirasi potensial yang dibantu oleh hujan
(Sayekti, dkk, 2017).

Identifikasi Dolina

Persebaran dolina di Kawasan Karst Wonosari yang berkarakteristik sebagai cone karst
umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu bulat, oval, dan tidak beraturan. Pada wilayah penelitian,
terdapat 97 telaga dan cekungan dengan perbandingan dari jumlah dolina berair dan kering,
dolina kering mayoritas terdapat wilayah penelitian dibandingkan dengan dolina berair, yakni
dolina kering berjumlah 62 dan dolina berair berjumlah 35 dolina. Dolina tersebut antara lain
berjenis berair dan kering, berbentuk bulat, oval, dan tidak beraturan. Berdasarkan hasil dari
Tabel 4, jumlah dari dolina bentuk bulat yang berair adalah 12 dolina, dengan 34,29% dari
seluruh dolina berair, dolina bulat yang kering berjumlah 18, dengan 29,03% dari seluruh dolina
kering, sedangkan dolina oval yang berair berjumlah 17 dolina, 48,57% dari seluruh dolina berair
dan dolina oval yang kering berjumlah 31 dolina, 50% dari seluruh dolina kering. Jumlah paling
sedikit yakni dolina tidak beraturan yang berair berjumlah 6, dengan presentase 17,14% dari
seluruh dolina berair dan yang kering berjumlah 13 dolina dengan 20,97% dari seluruh dolina
kering.

Tabel 4. Perbandingan Jumlah Tiap Jenis Dolina.


Air Tidak Berair
Jumlah
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Bulat 12 34,29 18 29,03 30
Oval 17 48,57 31 50 48
Tidak Beraturan 6 17,14 13 20,97 19
JUMLAH 35 62 97

120
Identifikasi Karstifikasi Pada Karakteristik Dolina ......................................................................................................... (Sari, dkk.)

Adapun rasio perbandingan panjang dengan lebar dari setiap macam bentuk dolina yang
terdapat pada Tabel 5, antara lain: dolina berbentuk bulat berasio 0,8 – 1,5 dengan 31% dari
seluruh jumlah dolina yang terdapat di wilayah penelitian, bentuk oval berasio 1,59 – 5,93 dengan
49% dari jumlah seluruh dolina, dan tidak beraturan berasio 1,13 – 23,05 dengan 20% dari
jumlah seluruh dolina. Selain rasio panjang dan lebar, macam bentuk dolina dibedakan dalam
lebar dan kedalaman dalam tiap dolina. Dolina bulat memiliki rasio perbandingan 0,2 – 7,5, dolina
oval memiliki 0,1 – 2,0, dan dolina tidak beraturan memiliki 0,1 – 3,9.

Tabel 5. Perbandingan Rasio Bentuk Dolina.


P/L L/D Persentase (%)
Bulat 0.84 - 1.57 0.2 - 7.5 31
Oval 1.59 - 5.93 0.1 - 2.0 49
Tidak Beraturan 1.13 - 23.05 0.1 - 3.9 20

Secara umum dengan dilihatnya karakteristik dari kedua rasio pada bentuk dolina,
kemungkinan terbesar dolina bentuk bulat dapat mengalami perubahan kedalaman dengan
melihat perbandingan rasio lebar dan kedalaman dolina bulat yang cukup jauh dari bentuk lainnya.
Selain itu, kemungkinan dolina oval dalam mengalami perubahan dari panjang maupun lebarnya
dapat membentuk dolina tersebut menjadi dolina tidak beraturan, yang dilihat dari rasio keduanya.
Dolina tidak beraturan memiliki kemungkinan untuk tetap berubah bentuk menjadi uvala atau
yang merupakan gabungan dari beberapa dolina yang membentuk cekungan berbentuk lonjong
dan memanjang, yang dapat dilihat dari rasio terbesar panjang dan lebar dari dolina tidak
beraturan mencapai 23,05.

Hubungan Karstifikasi Dengan Karakteristik Dolina

Untuk memvalidasi hasil dari identifikasi karstifikasi pada karakteristik dolina yang dihasilkan
dari citra Landsat 8, dilakukan validasai langsung terhadap pengukuran dolina yang telah
disampling menggunakan metode purposive sampling dengan variabel yang digunakan dalam
penentuan dolina adalah variabel suhu. Berdasarkan hasil validasi langsung ke lapangan,
dihasilkan:

Bindo

Telaga Bindo merupakan telaga yang memiliki klasifikasi suhu rendah dan berada di Desa
Karangasem, Kecamatan Ponjong. Telaga ini memiliki panjang 20,31 meter, lebar 11,56 meter,
kedalaman 6,5 meter, dengan luas 0,012 km2. Telaga Bindo yang termasuk dalam dolina bentuk
tidak beraturan ini pada tahun 1987 merupakan salah satu DAM pengendali penghijauan dan
reboisasi di Desa Karangasem, Kecamatan Ponjong, tetapi sekarang telaga ini telah beralih fungsi
sebagai kebun tumbuhan Sengon karena air pada telaga Bindo telah menyusut, seperti yang dapat
dilihat pada gambar pertama di Gambar 3. Selain itu, di sekitar telaga ini juga terdapat amblesan
yang dalamnya sekitar 2 meter.

Jambe
Telaga Jambe merupakan dolina yang termasuk dalam klasifikasi suhu sedang. Dolina ini,
terdapat di Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu yang memiliki panjang 14,51 meter, lebar 4,51
meter, dan kedalaman 22,50 meter. Dolina oval ini memiliki luas 0.,0056 km2. Telaga Jambe ini
sudah kering dan di sekitarnya terdapat batuan terekspos serta vegetasi di telaga ini masih cukup
rapat, seperti yang dapat dilihat pada gambar kedua di Gambar 3. Di sekitar telaga ini terdapat
amblesan, membentuk cekungan yang dalamnya sekitar 15 meter yang tidak terdapat di Peta
Rupa Bumi Indonesia lembar Karangduwet, Karangmojo, maupun Semanu.

121
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

Cekungan B3

Cekungan B3 termasuk dalam dolina berklasifikasi suhu sangat tinggi yang terletak di Desa
Pancarejo, Kecamatan Semanu. Cekungan tersebut termasuk dolina kering yang tidak menampung
banyak air. Cekungan ini dikelilingi oleh kebun tanaman warga dengan pohon Jati. Cekungan ini
termasuk cekungan yang berbentuk tidak beraturan dan kompleks karena terdapat cekungan di
dalam cekungannya, seperti yang dapat dilihat pada gambar ketiga di Gambar 3. Secara
keseluruhan, Cekungan B3 memiliki panjang 215,99 meter, lebar 137,42 meter, dan kedalaman
dolina 35 serta memiliki luas 0.932 km2. Mulut cekungan tersebut terlihat seperti longsoran yang
terdapat dalam satu cekungan besar dan terdapat sedikit air yang tergenang.

(a) (b) (c)


Gambar 3. Situasi Dolina Bindo (a), Jambe (b), dan Cekungan B3 (c)

Tabel 6. Jumlah Dolina Berdasarkan Jenis Dan Suhu Permukaan Tanah.


Berair Kering
Suhu (0C) Persentase (%) Jumlah Presentase (%) Jumlah
Bulat: 1 Bulat: 1
19,67 – 22,59
(Rendah) 9 Oval: 1 11 Oval: 6
Tidak Beraturan: 1 Tidak Beraturan: -
Bulat: 2 Bulat: 5
22,59 – 23,46
(Sedang) 29 Oval: 8 18 Oval: 2
Tidak Beraturan: - Tidak Beraturan: 4
Bulat: 6 Bulat: 4
23,46 – 24,32
40 Oval: 5 39 Oval: 14
(Tinggi)
Tidak Beraturan: 3 Tidak Beraturan: 6
Bulat: 3 Bulat: 8
24,32 – 26,77
23 Oval: 3 32 Oval: 9
(Sangat Tinggi)
Tidak Beraturan: 2 Tidak Beraturan: 3

Berdasarkan hasil pengukuran yang dapat dilihat pada Tabel 6, klasifikasi suhu 19,67 –
22,59˚C memiliki jumlah dolina terendah dari klasifikasi lain, yaitu 9% dan 11%. Klasifikasi suhu
terendah ini memiliki jumlah dolina bulat, oval, dan tidak beraturan yang sama yaitu berjumlah 1
untuk dolina berair, sedangkan untuk dolina kering memiliki jumlah dolina bulat berjumlah 1 dan
oval 6. Pada klasifikasi suhu 22,59 – 23,46˚C memiliki dolina berair bentuk bulat berjumlah 2 dan
bentuk oval berjumlah 8, sedangkan dolina kering bentuk bulat berjumlah 5, oval berjumlah 2, dan
tidak beraturan berjumlah 4. Klasifikasi suhu ini, memiliki presentase jumlah dolina berair kedua
paling besar yakni 29% dan memiliki presentase jumlah dolina kering terkecil kedua, yakni 18%.
Lain halnya dengan suhu kelas 23,46 – 24,32˚C yang memiliki presentase terbesar dalam
persebaran berdasarakan jenis dan suhu permukaan, yaitu 40% untuk dolina berair dan 39%
untuk dolina kering, memiliki dolina berair bentuk bulat 6, bentuk oval 5, dan tidak beraturan 3,
serta dolina kering dengan bentuk bulat berjumlah 4, oval 14, dan tidak beraturan 6. Klasifikasi
suhu yang paling tinggi adalah 24,32 – 26,77˚C memiliki jumlah dolina berair bentuk bulat
berjumlah 3, bentuk oval 3, dan tidak beraturan 2, sedangkan dolina kering pada bentuk bulat
adalah 8, bentuk oval 9, dan bentuk tidak beraturan 3. Klasifikasi suhu tertinggi ini memiliki
presentase jumlah dolina berair 23% dan jumlah dolina kering 32%.

122
Identifikasi Karstifikasi Pada Karakteristik Dolina ......................................................................................................... (Sari, dkk.)

Banyak faktor yang mempengaruhi proses dari karstifikasi, salah satunya adalah suhu
permukaan yang dapat membantu proses dari penyerapan karbondioksida (CO2) yang
mempercepat pelarutan batu gamping. Menurut Hartono dan Adji, kecepatan reaksi karstifikasi
lebih besar di daerah temperatur rendah, hal tersebut karena konsentrasi CO2 akan lebih besar
pada temperatur rendah. Tetapi tingkat pelarutan di daerah tropis lebih tinggi karena ketersediaan
air hujan yang melimpah dan aktivitas organisme yang lebih besar. Dari hasil pengolahan tersebut,
secara umum dolina dapat terbentuk di wilayah dengan suhu di bawah 30˚C, atau suhu tersebut
terdapat dikisaran 19 – 26˚C dan mayoritas dolina terdapat diklasifikasi suhu sedang hingga
sangat tinggi. Dengan dolina yang paling banyak tersebar adalah dolina berbentuk oval.
Persebaran bentuk dolina dengan klasifikasi suhu permukaan tanah dapat dilihat pada peta kedua
di Gambar 4.

(a) (b)
Gambar 4. Peta Persebaran Dolina Menurut Administrasi (a) dan Menurut Suhu Permukaan Tanah (b).

KESIMPULAN
Dolina tersebar di wilayah dengan suhu permukaan 19,67 – 26,77˚C, dan mayoritas dolina
terdapat di klasifikasi suhu 23,46 – 24,32˚C atau klasifikasi tinggi. Jumlah dolina berair dengan
klasifikasi suhu permukaan tanah sedang lebih banyak dari pada dolina kering, yakni perbandingan
keduanya sebesar 29:18. Sebaliknya, pada klasifikasi rendah dan sangat tinggi, jumlahnya lebih
sedikit daripada dolina kering, dengan perbandingan 9:11 dan 23:32. Suhu permukaan merupakan
faktor terpenting dalam karstifikasi mengingat suhu permukaan dapat mempercepat pelarutan
batu gamping dengan membantu proses penyerapan karbondioksida (CO2) dengan suhu yang
lebih tinggi. Selain suhu permukaan, banyak faktor lain yang dapat mempercepat pelarutan batu
gamping di kawasan karst, salah satunya adalah air hujan yang menjadi media pelarut yang
bereaksi dengan kandungan CO2 yang dapat melarutkan batu gamping.
Jika dilihat karakteristik dari kedua rasio pada bentuk dolina, kemungkinan dolina oval telah
mengalami perubahan dari panjang maupun lebarnya yang dapat membentuk dolina tersebut
menjadi dolina tidak beraturan. Dolina tidak beraturan memiliki kemungkinan untuk tetap berubah
bentuk menjadi uvala atau yang merupakan gabungan dari beberapa dolina yang membentuk
cekungan berbentuk lonjong dan memanjang. Selain itu, kemungkinan terbesar dolina bentuk
bulat dapat mengalami perubahan kedalaman dengan melihat perbandingan rasio lebar dan
kedalaman dolina bulat yang cukup jauh serta dapat pula menyebakan terjadinya amblesan tanah
atau sinkhole. Adapun dolina yang berbentuk bulat memiliki rasio panjang/lebar paling kecil dari
jenis dolina lain, yaitu 0,8 – 1,57, tetapi dolina tersebut memiliki rasio lebar/kedalaman yang
paling tinggi dari jenis dolina lain, yaitu 0,2 – 7,5.

123
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Astrid Damayanti, M.Si yang telah
membimbing dalam penelitian dan penulisan, serta ucapan terima kasih pula kepada rekan-rekan
yan telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA00
Adji, T. N., Haryono, E., dan Woro, S. (1999). Kawasan Karst dan Prospek Pengembangannya di Indonesia .
Prosiding Seminar PIT IGI. Depok.
Andana, E. K. (2015). Pengembangan Data Citra Satelit Landsat-8 Untuk Pemetaan Area Tanaman
Hortikultura Dengan Berbagai Metode Alogaritma Indeks Vegetasi. Prosiding Seminar Nasional
Manajemen Teknologi XXII. Surabaya.
Blair, R. & Short, N. (1986). Geomorphology From Space: A Global Overview of Regional Landforms .
Scientific and Technical Information Branch, National Aeronautics and Space. California: University of
California.
Bogli, A. (1980). Karst Hydrology and Physical Speleology. Springer. Verlag.
Ford, D. & Williams, P. (2007). Karst Hydrogeology and Geomorphology. England: John Wiley & Sons Ltd.
Haryono, E. dan Adji, T. N. (2004). Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Yogyakarta: Kelompok
Studi Karst Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Haryono, Eko, M. L. A. (2001). Geomorfolgi Karst Mayor di Karst Gunungsewu, Gunungsewu. Indonesian
Cave and Karst Journal, Vol. 66/2, pp. 62-68.
Kusumayudha, S. B. (2004). Mengenal Hidrogeologi Karst. Yogyakarta: Pusat Studi Karst Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat UPN “Veteran” Yogyakarta.
Kusumayudha, S. B. (2005). Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah Gunung Sewu. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Maryanto, Ibnu, M. N. (2006). Manajemen Bioregonal: Karst, Masalah, dan Pemecahannya . Bogor: Puslit
Biologi-LIPI.
Putri, I. M. G. (2010). Persebaran Gua dan Morfometri Endokarst di Kawasan Karst Tajur-Klapanunggal,
Kabupaten Bogor Jawa Barat. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia.
Samodra, H. (2005). Potensi Sumberdaya Alam Kars Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta . Pusat Penelitian
Pengembangan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumberda Meneral, Bandung.
Saputra, B. D. (2008). Morfometri Dolina di Kawasan Karst Gombong Selatan. Depok: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Sayekti, RR., Suprayogi, S., dan Cahyadi, A. (2017). Estimasi Potensi Penyerapan Karbondioksida Atmosfer
di Daerah Tangkapan Air Sistem Sungai Bawah Tanah Goa Pindul sebagai Upaya untuk Menekan
Pemanasan Global. INA-RXIV. Vol 1. Yogyakarta. Cited in http://sinta.ristekdikti.go.id/affiliations. [10
Oktober 2017]
White, W. B. (1988). Geomorphology and Hydrogeology of Karst Terrains. New York: Oxford University
Press.
Widyaningtyas, C. P. dan Putra, D.P.E. (2014). Pemetaan Bahaya Amblesan di Daerah Karst Kecamatan
Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional
Kebumian Ke-7. Yogyakarta.

124

Anda mungkin juga menyukai