Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE HEMORAGIK

A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh
darah di otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir.
Penyebab stroke hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya
aneurisma, malformasi arteri venosa. Biasanya kejadiannya saat
melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat
istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Ria Artiani, 2009).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular (Muttaqin, 2008).
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah
sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes
ke dalam suatu daerah di otak dan kemudian merusaknya (M. Adib,
2009).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbulkarena
terjadi gangguan perdarahan di otak yang menyebabkan
terjadinyakematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang
menderitakelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008).
Menurut Muttaqin (2008), ada beberapa faktor risiko stroke
hemoragik, yaitu :
1. Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah
tinggi yang menekan dinding arteri sampai pecah.
2. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung.
3. Peningkatan hemotokrik meningkatkan risiko infark serebral.
4. Kontasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan
kadar estrogen tinggi).
5. Konsumsi alkohol.
6. Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh
seperti payudara, kulit, dan tiroid.
7. Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid
dalam dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi
stroke lebih besar.
8. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
9. Overdosis narkoba, seperti kokain.

2. Etiologi
Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan
intracranial dengan gejala peningkatan tekana darah systole > 200 mmHg
pada hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah
keunguan, sianosis, dan pernafasan mengorok.
Penyebab stroke hemoragik, yaitu :
a) Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak.
b) Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah
otak.
c) Adanya sumbatan bekuan darah di otak. (Batticaca 2008).
Penyebab stroke hemoragik biasanya diakibatkan dari: Hemoragi
serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan kedalam
jaringan otak atau seluruh ruang sekitar otak ). Akibatnya adalah
penghentian suplai darah ke otak . Hemoragi serebral dapat terjadi di
berbagai tempat yaitu :
a) Hemoragi obstrudural
b) Hemoragi subdural
c) Hemoragi subakhranoid
d) Hemoragi intraserebral
Faktor resiko penyakit stroke menyerupai faktor resiko penyakit
jantung iskemik :
a) Usia
b) Jenis kelamin: pada wanita premonophous lebih rendah, tapi pada
wanita post monophous sama resiko dengan pria
c) Hipertensi
d) DM
e) Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung
f) Koagulopati karena berbagai komponen darah antara lain
hiperfibrinogenia
g) Keturunan
h) Hipovolemia dan syook ( Aru W, Sedoyo dkk, 2006)

Menurut Sylvia dan Lorraine (2006), SH terjadi akibat :


a) Perdarahan intraserebrum hipertensif.
b) Perdarahan subaraknoid (PSA): ruptura aneurisma secular (berry),
rupture malformasi arteriovena (MAV), trauma.
c) Penyalahgunaan kokain, amfetamin
d) Perdarahan akibat tumor otak
e) Infark hemoragik
f) Penyakit perdarahan sistemik termasuk penggunaan obat
antikoagulan.

3. Patofisiologi
Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya
arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial
dan berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya
berupa anyaman kapiler. Aterosklerosis dapat terjadi dengan
bertambahnya umur dan adanya hipertensi kronik, sehingga sepanjang
arteri penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan diameter 1 mm.
Peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan
pecahnya aneurisme ini, sehingga dapat terjadi perdarahan dalam
parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembas
kesekitarnya bahkan dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang
intrakranial.
Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh karena ruptur
arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau
subaraknoid, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan tergeser dan
tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga dapat
mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme ini
dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis. Bekuan
darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak
disekitar bekuan darah dapat membengkak dan mengalami nekrosis,
karena kerja enzim-enzim maka bekuan darah akan mencair, sehingga
terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik
akan diganti oleh astrosit dan kapiler-kapiler baru sehingga terbentuk
jalinan desekitar rongga tadi. Akhirnya rongga-rongga tersebut terisi oleh
astroglia yang mengalami proliferasi (Sylvia & Lorraine 2006).
Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya
aneurisma. Kebanyakan aneurisma mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi
atau gangguan perdarahan mempermudah kemungkinan terjadinya ruptur,
dan sering terdapat lebih dari satu aneurisma. Gangguan neurologis
tergantung letak dan beratnya perdarahan. Pembuluh yang mengalami
gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti cabang
lentikulostriata dari arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari
3 ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna. Timbulnya penyakit
ini mendadak dan evolusinya dapat cepat dan konstan, berlangsung
beberapa menit, beberapa jam, bahkan beberapa hari.
Gambaran klinis yang sering terjadi antara lain; sakit kepala berat,
leher bagian belakang kaku, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang.
90% menunjukkan adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila
perdarahan besar dan atau letak dekat ventrikel), dari semua pasien ini 70-
75% akan meninggal dalam waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena
meluasnya perdarahan sampai ke system ventrikel, herniasi lobus
temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau mungkin disebabkan
karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital (Smletzer & Bare,
2005).
Penimbunan darah yang cukup banyak (100 ml) di bagian
hemisfer serebri masih dapat ditoleransi tanpa memperlihatkan gejala-
gejala klinis yang nyata. Sedangkan adanya bekuan darah dalam batang
otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat mengakibatkan kematian. Bila
perdarahan serebri akibat aneurisma yang pecah biasanya pasien masih
muda, dan 20 % mempunyai lebih dari satu aneurisma (Black & Hawk,
2005).
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di
dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteria karotis
interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit maka akan
terjadi infark atau kematian jaringan. Akan tetapi dalam hal ini tidak
semua oklusi di suatu arteri menyebabkan infark di daerah otak yang
diperdarahi oleh arteri tersebut. Mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai di daerah tersebut. Dapat juga karena keadaan penyakit pada
pembuluh darah itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis atau
robeknya dinding pembuluh darah dan terjadi peradangan, berkurangnya
perfusi akibat gangguan status aliran darah misalnya syok atau
hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat bekuan atau infeksi
pembuluh ektrakranium dan ruptur vaskular dalam jaringan otak. (Sylvia
A. Price dan Wilson, 2006).

4. Manifestasi Klinis
a) Kehilangan motorik
1) Hemiplegis, hemiparesis.
2) Paralisis flaksid dan kehilangan atau penurunan tendon profunda
(gambaran lklinis awal ).
b) Kehilangan komunikasi
1) Disartria
2) Difagia
3) Afagia
4) Afraksia
c) Gangguan konseptual
1) Hamonimus hemia hopia (kehilanhan sitengah dari lapang
pandang)
2) Gangguan dalam hubungan visual-spasial (sering sekali terlihat
pada pasien hemiplagia kiri)
3) Kehilangan sensori : sedikit kerusakan pada sentuhan lebih buruk
dengan piosepsi, kesulitan dalam mengatur stimulus visual, taktil
dan auditori.
d) Kerusakan aktivitas mental dan efek psikologis :
1) Kerusakan lobus frontal : kapasitas belajar memori, atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin mengalami
kerusakan disfungsi tersebut. Mungkin tercermin dalam rentang
perhatian terbatas, kesulitan dalam komperhensi, cepat lupa dan
kurang komperhensi.
2) Depresi, masalah psikologis-psikologis lainnya. Kelabilan
emosional, bermusuhan, frurtasi, menarik diri, dan kurang kerja
sama.
e) Disfungsi kandung kemih :
1) Inkontinansia urinarius transia
2) Inkontinensia urinarius persisten / retensi urin (mungkin
simtomatik dari kerusakan otak bilateral)
3) Inkontinensia urin dan defekasi berkelanjutan (dapat menunjukkan
Kerusakan neurologisekstensif) (Brunner & Suddart, 2002).

5. Pathways
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan stroke hemoragik adalah sebagai
berikut :
a) Posisi kepala dan badan atas 20 – 30 derajat, posisi miring apabila
muntah dan boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
b) Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila
perlu diberikan oksigen sesuai kebutuhan.
c) Tanda – tanda vital diusahakan stabil.
d) Bed rest.
e) Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia.
f) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
g) Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu kateterisasi.
h) Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari
penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonok.
i) Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction berlebih
yang dapat meningkatkan TIK.
j) Nutrisi peroral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. apabila
kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang
NGT.
k) Penatalaksanaan spesifiknya yaitu dengan pemberian obat
neuroprotektor, antikoagulan, trombolisis intraven, diuretic,
antihipertensi, dan tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang
tinggi.

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Batticaca (2008), Pemeriksaan penunjang diagnostik yang
dapat dilakukan adalah :
a) Laboratorium : darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan
serebrospinal, analisa gas darah, biokimia darah, elektolit.
b) CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan
juga untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan
adanya infark.
c) Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena (
masalah sistem arteri karotis ).
d) Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
e) MRI ( magnetic resonance imaging ) : menunjukan daerah yang
mengalami infark, hemoragik ).
f) EEG ( elektroensefalogram ) : memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
g) Sinar-X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas; klasifikasi
karotis interna terdapat pada trombosit serebral ; klasifikasi parsial
dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a) Identitas Klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat,
pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal
pengkajian diambil.
b) Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat
kesadaran.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya
terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi latergi, tidak responsif, dan koma.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat – obat antib koagulan, aspirin, vasodilator, obat
– obat adiktif, kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang
sering digunakan klien, seperti pemakaian antihipertensi,
antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi
oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,
diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dan generasi
terdahulu.
f) Riwayat Psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang
jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecemasan, rasa cemas, rasa tidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola
persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak
berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.
Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan,
klien biasanya jarang melakukan ibadah spritual karena tingkah
laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu
sisi tubuh.
g) Pemeriksaan Fisik
(1) Keadaan umum
Melangalami penurunan kesadaran, suara bicara : kadang
mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak
bisa bicara/ afaksia. Tanda – tanda vital : TD meningkat, nadi
bervariasi.
(a) B1 (breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan obat bantu
napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compas mentis,
peningkatan inspeksi pernapsannya tidak ada kelainan.
Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan
dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
(b) B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskulardidapatkan
renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada
klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan
dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg.
(c) B3 (Brain)
Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis,
tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang
tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat,
dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi
otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian
B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(d) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinesia
urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk mengendalikan kandunf kemih karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode
ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinesia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
(e) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah pada pasien akut. Mual
sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi
asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinesia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
(f) B6 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan
buruk. Selain itu, perlu juga tanda-tanda dekubitus
terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke
mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan
untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
(2) Pengkajian tingkat kesadaran
Pada klien lanjut usia tingkat kesadaran klien stroke biasanya
berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomantosa.
(3) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
(4) Pengkajian saraf kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII
central.
(5) Pengkajian sistem motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan / kelemahan pada salah
satu sisi tubuh.
(6) Pengkajian refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologi akan
muncul kembali di dahului dengan refleks patologis.
(7) Pengkajian sistem sensori
Dapat terjadi hemihipertensi.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial.
b) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol
otot facial atau oral.
c) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular
d) Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan.
e) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi.
f) Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan
penekanan pada saraf sensori.
g) Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan,
imobilisasi.
h) Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama.
i) Gangguan eliminasi uri (incontinensia urin) yang berhubungan dengan
penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi.
3. Rencana Tindakan
a) Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
gangguan aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan
intracranial.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam,
diharapkan Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil :
- Klien tidak gelisah
- Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
- GCS 456
- Pupil isokor, reflek cahaya (+)
- Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-
36,7 C, Pernafasan 16-20 kali permenit).
Intervensi :
(1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab
peningkatan TIK dan akibatnya
Rasional : Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses
penyembuhan
(2) Anjurkan kepada klien untuk bed rest total
Rasional : Untuk mencegah perdarahan ulang
(3) Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan
intrakranial tiap 2 Jam.
Rasional : Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien
secara dini dan untuk penetapan tindakan yang tepat.
(4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung (
beri bantal tipis)
Rasional : Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan
drainage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral.
(5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan
berlebihan
Rasional : Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra
kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang
(6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjunng
Rasional : Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat
meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan
mingkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam
kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya.

(7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat


neuroprotektor
Rasional : Memperbaiki sel yang masih viabel.

b) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan


kontrol otot facial atau oral.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam
diharapkan kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
- Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis;
komunikasi tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada
telinga yang baik).
- Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi.
- Meningkatkan kemampuan untuk mengerti.
- Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi.
- Mampu berbicara yang koheren.
- Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.
Intervensi :
(1) Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami
kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian
sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau
seluruh tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai
kesulitan memahami kata yang diucapkan; mengucapkan kata-
kata dengan benar; atau mengalami kerusakan pada kedua daerah
tersebut.
(2) Bedakan antara afasia dengan disartria.
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe
kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan
menginterpretasikan simbol-simbol bahasa dan mungkin
melibatkan komponen sensorik dan/atau motorik, seperti
ketidakmampuan untuk memahami tulisan/ucapan atau menulis
kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disartria dapat
memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami
kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan
kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral.
(3) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk
memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa
komunikasi yang diucapkannya tidak nyata. Umpan balik
membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak
mengerti/berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk
mengklarifikasikan isi/makna yang gterkandung dalam
ucapannya.
(4) Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti
“buka mata,” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang
sederhana. Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya
kerusakan sensorik (afasia sensorik).
(5) Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama
benda tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya
tetapi tidak dapat menyebutkannya.
(6) Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh”
atau “Pus”
Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen
motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas)
yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak
disertai afasia motorik.
(7) Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek.
Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat
yang pendek
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan
dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan
bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik.
(8) Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan
pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila
perlu.
Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan
ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut
bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera.
Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan
bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel
regular.
(9) Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan
tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-
gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi).
Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan
berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya.
(10) Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan,
dan dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban
“ya/tidak,” selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih
kompleks sesuai dengan respons pasien.
Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses
komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada
satu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih
mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks
akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi
ide/kata.
(11) Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit;
hindari “pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau
membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien.
Rasional : Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab
kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik.
(12) Kolaborasi : Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi
wicara.

c) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuscular.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan 2x 24 jam diharapkan
mobilisasi klien mengalami peningkatan.
Kriteria hasil:
- mempertahankan posisi optimal,
- mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang terserang hemiparesis dan hemiplagia.
- mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas.
Intervensi :
(1) Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan
dengan cara yang teratur.
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam
pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda
digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid.
(2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan
sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika
diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu.
Rasional : Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih
jelek dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan
kerusakan pada kulit/ dekubitus.
(3) Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sekali jika
pasien dapat mentoleransinya.
Rasional : Membantu mempertahankan ekstensi pinggul
fungsional;tetapi kemungkinan akan meningkatkan ansietas
terutama mengenai kemampuan pasien untuk bernapas.
(4) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada
semua ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan sepeti
latihan quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-
jari kaki/telapak.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya
hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah
perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi
pencetus adanya perdarahan berulang.
(5) Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan
kaki (foot board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan
posisi kepala netral.
Rasional : Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi
kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat
mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain
pihak paralisis spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke
salah satu sisi.
(6) Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada
tangan.
Rasional : Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
(7) Tempatkan ”handroll’ keras pada teelapak tangan dengan jari –
jari dan ibu jari saling berhadapan.
Rasional : Alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi
jari-jari, mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal
(posisi anatomis).
(8) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
Rasional : Mempertahankan posisi fungsional.
(9) Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti
meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di
sisi tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan
untuk menyokong berta badan dan kaki yang kuat untuk
memindahkan kaki yang sakit; meningkatkan waktu duduk) dan
keseimbangan dalam berdiri (seperti letakkan sepatu yang
datar;sokong bagian belakang bawah pasien dengan tangan
sambil meletakkan lutut penolong diluar lutut pasien;bantu
menggunakan alat pegangan paralel dan walker).
Rasional : Membantu dalam melatih kembali jaras saraf,
meningkatkan respon proprioseptik dan motorik.
(10) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/
menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas
pada ekstremitas yang terganggu.
11) Kolaborasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latiahn
resistif, dan ambualsi pasien.
- Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperi TENS sesuai
indikasi.
- Berikan obat relaksan otot, antispasmodik sesuai indikasi
seperti baklofen dan trolen(Doenges, 1999).

d) Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
tidak terjadi gangguan nutrisi.
Kriteria hasil :
• Berat badan dapat dipertahankan/ ditingkatkan
• Hb dan albumin dalam batas normal
Intervensi
(1)Tentukan kemampuan klien dengan mengunyah, menelan dan
refleks batuk.
Rasional : untuk menetapkan jenis makanan yang akan di berikan
kepada klien
2) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan
sesudah makan.
Rasional : untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya
gravitasi.
3) Letakkan makanan didaerah mulut yang tidak terganggu.
Rasional : membantu dalam melatih sensorik dan meninggkatkan
kontrol muskuler.
4) Berikan makanan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makanan
tanpa adanya distrakrasi / gangguan dari luar
5) Mulailah untuk memberi makan peroral setengah cair, makan lunak
ketika klien dapat menelan air.
Rasional : makan lunak/ cairan kental mudah untuk
mengendalikannya di dalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi.
6) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
Rasional : menguatkan otot fasial dan otot menelan dan
menurunkan resiko terjadinya tersedak.
7) Koloborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui iv
atau makanan melalui selang.
Rasional : mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti
dan juga makanan apabila klien tidak mampu untuk memasukkan
segala sesuatu melalui mulut.
e) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese /
hemiplegi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
kemampuan klien
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk
memberikan bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
(1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan
perawatan diri.
Rasional : Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan
pemenuhan kebutuhan secara individual.
(2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan
beri bantuan dengan sikap sungguh.
Rasional : Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha
terus-menerus.
(3) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan
klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional : Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat
tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat
dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk
melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk
mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
(4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang
dilakukannya atau keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian
serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu.
(5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi.
Rasional : Memberikan bantuan yang mantap untuk
mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan
alat penyokong khusus.

f) Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan


pada saraf sensori.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
- Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi
persepsi
- Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan
merasa.
- Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi
terhadap perubahan sensori
Intervensi :
(1) Tentukan kondisi patologis klien.
Rasional : Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami
gangguan, sebagai penetapan rencana tindakan.
(2) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin,
tajam/tumpul, posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan perasaan
kinetik berpengaruh terhadap keseimbangan/posisi dan
kesesuaian dari gerakan yang mengganggu ambulasi,
meningkatkan resiko terjadinya trauma.
(3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti memberikan
klien suatu benda untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien
menyentuh dinding atau batas-batas lainnya.
Rasional : Melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan
persepsi dan intepretasi diri. Membantu klien untuk
mengorientasikan bagian dirinya dan kekuatan dari daerah yang
terpengaruh.
(4) Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lindungan
yang berbahaya. Anjurkan pada klien dan keluarga untuk
melakukan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang
normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan klien dan menurunkan resiko
terjadinya trauma.
(5) Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan tangannya bila perlu
dan menyadari posisi bagian tubuh yang sakit. Buatlah klien sadar
akan semua bagian tubuh yang terabaikan seperti stimulasi
sensorik pada daerah yang sakit, latihan yang membawa area
yang sakit melewati garis tengah, ingatkan individu untuk
merawata sisi yang sakit.
Rasional : Penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan
membantu dalan mengintegrasikan sisi yang sakit.
(6) Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respon emosi yang
berlebihan/kebingungan yang berhubungan dengan sensori
berlebih.
(7) Lakukan validasi terhadap persepsi klien.
Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi
ketidakkonsistenan dari persepsi dan integrasi stimulus.

g) Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang


berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan,
imobilisasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Jalan nafas tetap efektif.
Kriteria hasil :
- Klien tidak sesak nafas
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
Intervensi :
(1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan
akibat ketidakefektifan jalan nafas.
Rasional : Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah
terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas
(2) Rubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional : Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran
pernafasan.

(3) Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari)


Rasional : Air yang cukup dapat mengencerkan sekret
(4) Observasi pola dan frekuensi nafas.
Rasional : Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan
nafas
(5) Auskultasi suara nafas.
Rasional : Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas
(6) Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien
Rasional : Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan
paru-paru.

h) Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah


baring lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil :
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
Intervensi :
(1)Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan
mobilisasi jika mungkin.
Rasional : Meningkatkan aliran darah kesemua daerah.
(2)Ubah posisi tiap 2 jam
Rasional : Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
(3)Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-
daerah yang menonjol.
Rasional : Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang
menonjol.
(4)Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami
tekanan pada waktu berubah posisi.
Rasional : Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler.
(5)Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
Rasional : Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
(6)Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma,
panas terhadap kulit.
Rasional : Mempertahankan keutuhan kulit.

i) Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan


dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan
untuk berkomunikasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Klien mampu mengontrol eliminasi urinnya.
Kriteria hasil :
- Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia
- Tidak ada distensi bladder
Intervensi :
(1)Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih
sering.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari
distensi kandung kemih yang berlebih.
(2)Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari.
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu
mencegah enuresis.
(3)Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan
kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal).
Rasional : Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung
kemih.
(4)Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih
pada jadwal yang telah direncanakan.
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering
berkemih.
(5)Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya
2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi)
Rasional : Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi
saluran perkemihan dan batu ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung


dan Stroke. Edisi I. Yogyakarta: CV. Dianloka.

Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Black, Joice. M., & Hawk, Jane. H. 2005. Medical Surgical Nursing; clinical
management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis : Elsevier. Inc

Carpenito, L. J. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi X. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, S. C et.al. 2005. Brunner&Suddarth’s: Textbook of Medical Surgical


Nursing.9th. Philadelphia: Lippincott

Soepardjo. 2009. Sekilas Tentang Stroke. Yayasan stroke Indonesia.

Sudoyo, A. W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK-
UI. Jakarta. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI.

Anda mungkin juga menyukai