Referat Epilepsi Eric

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di masyarakat,


karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang
menimpa penderita maupun keluarganya.1 Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi
merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.
Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit menular ( melalui buih yang keluar
dari mulut ), penyakit keturunan, menakutkan dan memalukan.1

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur dan ras.
Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum diperoleh gambaran
bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak insiden terdapat pada golongan
anak dan lanjut usia.2

Epilepsi merupakan kasus yang sering dijumpai pada anak-anak. Beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya adalah trauma kepala, tumor otak, radang otak, riwayat
kehamilan jelek dan kejang demam. Sekitar 0,5 – 12% kejang demam berulang merupakan
faktor predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari.3

Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya


adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf
pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak
yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar selsel otak,
bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif
atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali
saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes
seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.4

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan


epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.5

1
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak
yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).6

Kejang satu kali tidak dapat langsung dikatakan sebagai epilepsi (sekitar 10%
penduduk dunia pernah mengalami satu kali kejang selama hidupnya). Epilepsi
didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang tidak terprovokasi. Epilepsi adalah salah
satu kondisi tertua didunia, tercatat sejak 4000 tahun sebelum masehi. Ketakutan,
ketidakpahaman, diskriminasi, dan stigma sosial mengelilingi epilepsi sejak berabad-abad
lalu. Stigma ini terus berlanjut diberbagai negara sampai saat ini dan berdampak pada
kualitas hidup penyandang dan keluarga.7

2
BAB II

EPILEPSI

2.1. Definisi

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:

1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.8

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus spesifik,
seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor.8

2.2. Epidemiologi

Penelitian insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai negara, tetapi di
Indonesia belum diketahui secara pasti. Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20 - 70
per 100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum.
Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita epilepsi.
Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Epilepsi
merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering terjadi pada usia dini dibandingkan
usia selanjutnya.9

Di negara berkembang diperkirakan tiga perempat pasien epilepsi tidak mendapatkan


pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan
pengobatan. Di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah, ketersediaan obat
antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relatif mahal. Ketersediaan OAE generik
sekitar kurang dari 50%.7

3
2.3. Etiologi

Epilepsi idiopatik

Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar 40% diseluruh dunia. Penyebab
abnormalitas neuroanatomi maupun neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi idiopatik terjadi
pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda dengan MRI otak yang normal dan tidak ada riwayat
kelainan medis yang bermakna sebelumnya. Terdapat predisposisi genetik, beberapa sindrom
epilepsi idiopatik memiliki distribusi autosomal dominan yang mengakibatkan adanya
gangguan pada kanal ion.10

Epilepsi simptomatik

Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas struktur otak yang mengindikasikan


adanya penyakit atau kondisi yang mendasari. Yang termasuk kategori ini adalah kelainan
perkembangan dan kongenital baik akibat genetik maupun didapat, dan juga kondisi yang
didapat. Sebagai contoh: cedera kepala, infeksi SSP, lesi desak ruang, gangguan peredaran
daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.8,10

Epilepsi Kriptogenik

Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih belum dapat
diidentifikasi. Termasuk disini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gaustat, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.8

2.4. Klasifikasi

Revisi dari klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 dikarenakan
beberapa faktor. Beberapa jenis kejang, seperti kejang tonik atau spasme epileptik, dapat
memiliki onset fokal atau umum. Kurangnya pengetahuan terhadap onset kejang,
mengakibatkan kejang menjadi tidak terklasifikasikan. Beberapa istilah pada klasifikasi kejang
sebelumnya, seperti diskognitif, psikis, partial, simple partial, dan complex partial kurang
dapat diterima atau kurang dimengerti. Menentukan ada tidaknya gangguan kesadaran selama
kejang dapat membingungkan terutama untuk non-klinisi. Beberapa jenis kejang tidak
dimasukan kedalam klasifikasi 1981.11

4
Gambar 1. Klasifikasi Epilepsi berdasarka ILAE 20174

Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE)11

1. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


2. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat kesadaran. Focal aware seizure
merujuk pada simple partial seizure pada klasifikasi sebelumnya dan focal impaired
awareness seizure merujuk pada complex partial seizure.
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness seizure bila
terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejang fokal dengan gejala atau tanda pertama
yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian aktivitas
sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat kesadaran.
Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang fokal dapat ditentukan
hanya dengan karakteristik motor atau non motor.

5
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat menambahkan deskripsi
dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu jenis kejang yang sudah ditentukan
sebelumnya. Sebagai contoh: focal emotional seizure dengan tonik pada lengan kanan
dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang tonik-klonik
yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk kejang yang secara simultan
berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset, terdapat
perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak ritmik yang
terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang regular tidak
berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada gerakan
mengedip selama kejang absans.11

2.5. Patofisiologi

Pada tingkat selular, dua ciri khas aktivitas epileptiform adalah hipereksitabilitas dan
hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas merujuk pada peningkatan respon neuron terhadap
stimulasi, sehingga sel mencetuskan beberapa potesial aksi langsung. Hipersinkron yaitu
peningkatan cetusan neuron pada sebagian kecil atau besar regio di korteks.

Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal dan umum,
secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara
inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau menyebar diseluruh otak. Ketidakseimbangan ini
karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi.10,12

6
Gambar 2. Skema sederhana mekanisme epilepsi3

Tabel 1. Contoh proses patofisiologis pada epilepsi3

2.6. Diagnosis

Untuk mendiagnosis epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis yang baik. Investigasi
selanjutnya berguna untuk menilai gangguan fungsional dan struktural pada otak.13

Pada anamnesis terutama dipasktikan lebih dulu apakah suatu bangkitan epilepsi atau
bukan. Kemudian tentukan jenis bangkitan dan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi
ILAE.

7
Dalam praktik klinis, auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata harus mencakup
pre-iktal, iktal, dan post-iktal.

1. Pre-iktal/ Sebelum bangkitan

Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, seperti
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan
lain-lain. Kemudian juga ditanyakan ingatan terakhir sebelum terjadi serangan, untuk
menentukan berapa lama amnesia terjadi sebelum serangan. Gejala neurologis mungkin dapat
menunjukan lokasi fokal.11

Tabel 2. Gejala neurologis fokal berdasarkan lokalisasi13

2. Iktal/ Selama bangkitan

Ditanyakan apakah terdapat aura atau adanya gejala yang dirasakan pada awal bangkitan.
Serta bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan
tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain.
Ditanyakan juga apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, dan adakah perubahan pola
dari bangkitan sebelumnya, serta aktivitas pasien saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur,
saat terjaga, bermain, dan lain-lain. Serta berapa lama bangkitan terjadi.8

3. Post-iktal/ Setelah bangkitan

Apakah pasien langsung sadar, bingung, nyeri kepala, gaduh gelisah, Todd’s paresis.

8
4. Faktor pencetus: kelelahan, hormonal, stress psikologi, dan alkohol
5. Riwayat epilepsi sebelumnya: Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antar bangkitan, dan kesadaran antar bangkitan.
6. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap obat anti epilepsi (OAE) sebelumnya.
Perlu ditanyakan jenis dan dosis OAE, kepatuhan, serta kombinasi OAE.
7. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik
yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
8. Riwayat epilepsi dan penyakit lain yang berhubungan dalam keluarga
9. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
10. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dan lain-lain.8

Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

1. Pemeriksaan fisik umum

Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan atau yang
mencetuskan epilepsi, seperti: trauma kepala, tanda infeksi, kelainan kongenital, penggunaan
alkohol atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda keganasan.8

2. Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologi fokal atau difus yang dapat berhubungan
dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak
pascabangkitan terutama tanda fokla yang tidak jarang dapat menjadi pentunjuk lokalisasi
seperti: paresis Todd, gangguan kesadaran post-iktal, dan afasia post-iktal.8

Pemeriksaan Penunjang

Electro-ensefalografi

Electro-ensefalografi adalah suatu metode studi aktivitas listrik di korteks dengan


menggunakan lead yang terpasang di skalp. Elektroda-elektroda ini kemudian menangkap
aktivitas listrik otak yang paling tinggi.13

Banyak pasien dengan epilepsi memiliki EEG yang normal, seperti pada epilepsi
myoklonik juvenil hanya sekitar 50% memiliki EEG abnormal. Namun EEG tetp modalitas
pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang

9
diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukan prognosis, serta
perlu atau tidaknya pemberian OAE.13

Gambar 3. Gambaran EEG pada bangkitan umum13

Gambar 4. Gambaran EEG pada bangkitan parsial13

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pada pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi 12-14% memiliki lesi kausal pada MRI
dan 80% pasien dengan kejang berulang memiliki abnormalitas struktur dari hasil MRI.
Terdapat lima indikasi pasien epilepsi dilakukan MRI yaitu:13

- Kejang dengan onset fokal

10
- Kejang umum atau tidak terklasifikasi pada tahun pertama kehidupan atau onset pada
dewasa
- Terdapat defisit neurologis
- Kegagalan mengontrol kejang setelah pemberian OAE lini pertama yang adekuat
- Perubahan pola kejang

MRI rutin yang optimal harus termasuk T1 dan T2-weighted, densitas proton, dan sekuens
Fluid Atenuated Inversion Recovery (FLAIR). Paling sedikit 2 bidang ortogonal. Bidang
koronal memberikan tampilan terbaik struktur mesial temporal dan garis luar sklerosis
hipokampus.13

Gambar 5. Lesi malformasi arterivena di lobus temporal posterior13

Gambar 6. Potongan aksial T21 dan T2 menggambarkan angioma kavernosa13

Pemeriksaan CT Scan kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik
pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Ditinjau
dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibanding CT
scan kepala.13

11
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematologis yang mencakup hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis,


hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin.8

Pemeriksaan ini dilakukan pada:

- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan
pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE.
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.

Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan
belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor
kepatuhan pasien.8

Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan namun tidak rutin yaitu pungsi lumbal dan EKG.8

2.7. Diagnosis Banding

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti pingsan
(syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan pada movement disorder.8,13

Tabel 3. Diagnosis banding bangkitan epilepsi13

12
Membedakan syncope, kejang, dan pseudoseizure bergantung pada anamnesis dari pasien dan
saksi.

Tabel 4. Diagnosis banding kejang epileptik8

13
Non-epileptic attack disorders (pseudoseizure)

Non-epileptic attack disorders (NEAD) dapat juga disebut psudoseizure namun definisi ini
bisa berarti non-psikogenik atau psychogenic non-epileptic seizure (PNES). Merupakan
kondisi yang paling sering disalahdiagnosiskan dengan epilepsi. Mayoritas pasien adalah
wanita, namun juga dapat terjadi pada laki-laki dan lansia.14

Anamnesis yang paling membantu dalam membedakan keduanya adalah tingginya


frekuensi kejang (beberapa episode kejang dalam sehari) dan tidak berefek dengan pemberian
OAE. Adanya pencetus spesifik yang tidak biasa pada kasus epilepsi seperti stres, marah, nyeri,
gerakan tertentu, dan suara, terutama jika pencetus diduga secara konsisten memicu kejang.
Situasi saat kejang berlangsung, dimana pada PNES biasa terjadi di tempat dengan banyak
orang dan di ruang pemeriksaan, serta jarang terjadi saat tidur. Adanya riwayat diagnosis
gangguan psikiatri dan adanya juga gejala somatisasi meningkatkan kecurigaan terhadap
PNES.14

Syncope adalah penurunan kesadaran mendadak karena kurangnya aliran darah ke otak.
Pada usia muda hal ini paling sering terjadi akibat vasovagal, dengan penurunan tekanan darah
akibat bradikardia. Respon tubuh terhadap penurunan aliran darah otak adalah dengan
peningkatan simpatis, sehingga menimbulkan gejala presyncopal seperti berkeringat, palpitasi,
pucat, dyspnea, dan perasaan cemas. Penurunan kesadaran pada syncope berlangsung cepat
dan kesadaran juga kembali dengan cepat.14

Pada syncope juga dapat terjadi inkontinensia urin seperti pada kejang. Menggigit lidah
juga mungkin terjadi pada syncope tetapi biasanya ujung lidah yang tergigit bukan pada sisi
samping, dimana pada kejang injuri lidah lebih berat. Pada syncope gerakan yang biasa terjadi
adalah hentakan myoklonik yang jelas. Mata pasien biasanya tertutup bukan mendelik, serta
tidak ada sekuele neurologis fokal. Diagnosis syncope harus disertai pemeriksaan EKG.13,14

Diagnosis banding selain PNES dan syncope yang menyerupai epilepsi yaitu serangan
panik, hipoglikemia, paroxysmal movement disorder, paroxysmal sleep disorder, TIA,
migraine, dan TGA.14

14
2.8. Penatalaksanaan

Setelah bangkitan yang pertama, keputusan untuk memulai pengobatan bergantung pada
risiko adanya bangkitan dikemudian hari serta apakah bangkitan dimulai dengan suatu status
epileptikus. Risiko ini tergantung dari kondisi bangkitan dan hasil pemeriksaan. Risiko
berulangnya kejang dalam 10 tahun terjadi pada 19% setelah kejang simptomatik akut akibat
trauma kepala, stroke, infeksi SSP, tetapi risiko berulang tiga kali lipat pada bangkitan tanpa
provokasi. Selain itu seberapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah
pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan pertimbangan untung rugi
antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar
terapi.15

Tujuan medikasi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup
normal dan tercapai kualitas hidup optimal. Harapannya adalah ‘bebas bangkitan, tanpa efek
samping’, walaupun hal ini sulit terjadi pada medikasi inisial.8

Prinsip penatalaksanaan

Pertolongan pertama

Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang harus dilakukan bila
serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat. Pertama, dipastikan pasien aman dari
sekitarnya dengan menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai pasien. Kemudian
penolong jangan menahan gerakan kejang pasien dan jangan memasukan benda apapun ke
mulut pasien karena akan menambah cedera. Direkomendasikan untuk memiringkan posisi
pasien supaya mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan memberikan makanan atau
minuman sampai kesadaran pasien pulih.15

Terapi farmakologis

Prinsip Pemberian OAE

- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan


- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

15
- Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
dan efek sampingnya
- Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan
ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.8

Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi bangkitan yang
tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya faktor presipitasi seperti
penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan, maka penyesuaian ringan dosis
mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah timbulnya bangkitan, maka diperlukan titrasi
OAE ke dosis yang lebih besar, atau sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi.10

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki mekansisme kerja
yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE
pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua
OAE tetap diberikan. Bila respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus digantikan dengan
OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah
maksimal.6,15

Pemilihan, Jenis Obat, dan Mekanisme Kerjanya

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil
farmakologi, dan interaksi antar obat.8

Tabel 5. Pemilihan Obat Anti Epilepsi8,16

16
Tabel 6. Dosis OAE untuk dewasa8

17
Tabel 7. Efek samping OAE8

Tabel 8. Profil farmakologi OAE8

18
Tabel 9. Interaksi farmakokinetik antar OAE

Penghentian OAE

Pada suatu studi meta analisis, kekambuhan kejang terjadi 25% setelah penghentian OAE
selama 1 tahun dan 29% setelah penghentian selama 2 tahun. Namun, angka kejadian
kekambuhan setiap tahunnya hanya sekitar 8% pada penghentian OAE selama 2 tahun.15

Inisiasi penghentian OAE dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang. Syarat lain penghentian
OAE adalah disetujui oleh penyandang dan keluarga, dilakukan secara bertahap dalam jangka
waktu 3-6 bulan, serta bila terapi dengan lebih dari satu OAE maka penghentian dimulai dari
satu OAE yang bukan utama.8,15

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:

- Semakin tua usia


- Epilepsi simptomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
- Pengunaan lebih dari satu OAE
- Telah mendapat terapi selama 10 tahun atau lebih

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan
dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.8

19
Penatalaksanaan Status Epileptikus

Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung terus menerus selama 30
menit atau terjadi 2 atau lebih kejang tanpa kembalinya kesadaran diantaranya. Namun
penanganan bangkitan konvulsifus harus dimulai bila bangkitan sudah berlangsung lebih dari
5 menit. Definisi operasional status epileptikus adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5
menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.17

20
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan status epileptikus18

21
2.9. Prognosis

Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada anak atau
dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada riwayat penyebab
epilepsi simptomatis. Sedangkan pada usia tua kekambuhan dapat mencapai 70%.10,13

Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati dibandingkan pada
kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian bebas kejang 60%-70% dengan
monoterapi.10 Kejang yang tidak ditangani juga dapat menimbulkan bahaya seperti jatuh,
fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status epileptikus.10

22
BAB III

KESIMPULAN

Saat ini sekitar 50 juta orang menderita epilepsi diseluruh dunia. Proporsi penderita
epilepsi aktif (kejang berulang atau membutuhkan pengobatan) adalah antara 4 sampai 10 dari
1000 orang. Studi kasus yang dilakukan di negara-negara dengan pendapatan rendah dan
sedang menunjukkan proporsi penderita epilepsi aktif adalah lebih besar, antara 7 sampai 14
dari 1000 orang.7

Revisi dari klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 dikarenakan
beberapa faktor. Beberapa jenis kejang, seperti kejang tonik atau spasme epileptik, dapat
memiliki onset fokal atau umum. Kurangnya pengetahuan terhadap onset kejang,
mengakibatkan kejang menjadi tidak terklasifikasikan.Untuk mendiagnosis epilepsi terutama
didapatkan dari anamnesis yang baik. Investigasi selanjutnya berguna untuk menilai gangguan
fungsional dan struktural pada otak.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Catrinel ILIESCU, Dana CRAIU. Diagnostic Approach of Epilepsy in Childhood and


Adolescence. Maedica (Buchar). 2013 Jun; 8(2): 195–199.

2. Alberto Verrotti, Alessandra Cicconetti, dkk. Neuropsychiatr Disease and Treatment.


2013 Apr; 4(2): 365–370.

3. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran Berkelanjutan.


Jakarta .FK UI .2002

4. Jerome Engel. Seizures and Epilepsy. OUP USA. 2013

5. Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE, Ruis E. Emergency
Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.2005

6. Blaise F. Bourgeois, MD, Edwin Dodson, MD. Pediatric Epilepsy: Diagnosis and
Therapy. Third Edition. 2007.

7. World Health Organization. Epilepsy. Updated February 2017. [Cited 2017 September 5]
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/

8. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding. In:
Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th
ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.p.19-32

9. Dadiyanto Dwi W, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2011.

10. Stafstrom CE. Recognizing Seizures and Epilepsy: Insights from Pathophysiology. In:
Miller JW, Goodkin HP, editors. Neurology in Practice: Epilepsy. New Jersey: Wiley
Blackwell; 2014.p. 3-20

11. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higrashi N, et al. Instruction Manual
for the ILAE 2017 Operational Classification of Seizure Types. Epilepsia. 58(4): 531-42.

12. Noebels JL, Avoli M, Rogawski MA, Olsen RW. Jasper’s Basic Mechanism of Epilepsies.
New York: Oxford University Press; 2012.

13. Leach JP, O’Dwyer R. Diagnosis of Epilepsy. 1st ed. Epilepsy Simplified. Malta: Gutenberg
Press; 2011.p. 51-67

14. Benbadis S. Differential Diagnosis of Epilepsy: A Critical Review. Elsevier. 2009:15:1521.

24
15. Swisher CB, Radtke RA. Principles of Treatment. In: Husain MA, editor. Practical
Epilepsy. New York: Demosmedical; 2016.p.254-9

16. National institute of clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and management
of the epilepsies in adult and children in primary and secondary care. NICE Clinical
guideline 137. London January,2012

17. Lowenstein DH, Cloyd J. Out-of-hospital treatment of status epilepticus and prolonged
seizures. Epilepsia. 2007. 48 Suppl 8:96-8

18. Glauser T, Ben-Menachem E, Burgeois B, Cnaan A, Guerreiro C, Matson R, et al. AED


Guideline updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as
initial monotherapy for epileptic seizure drug syndromes. Epilepsia. 2013: 1-13

25

Anda mungkin juga menyukai