Anda di halaman 1dari 19

TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIOMASSA

LIQUIFACTION

DISUSUN OLEH:
YOLLANDA ANGREANI 3335150039
LUTHFI NUR FAJRINA 3335150014

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
CILEGON – BANTEN
1. Definisi Liquifaction
Likuifaksi adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara menjadi
bahan bakar cair sintetis. Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang
mengubah batubara dan menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang
berupa padatan diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan
hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi. Cairan yang terbentuk tersebut
selanjutnya difraksionasi/ dikilang untuk menghasilkan berbagai macam bahan
bakar cair seperti bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain.

Tujuan dari likuifaksi batubara adalah untuk mengkonversi atau meng-


upgrading batubara yang mempunyai nilai kalor yang rendah yang tidak laku di
pasaran menjadi salah satu bentuk bahan bakar atau energi alternatif yang
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi Batubara yang berupa padatan diuah
menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur
dan tekanan tinggi.

2. Proses-proses Likuifaksi
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect
Liquefaction Process dan Direct Liquefaction Process.
a. Indirect Liquefaction Process/ Indirect Coal Liquefaction (ICL)
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas
terlebih dahulu untuk kemudian membentuk syngas (campuran gas CO dan H2).
Syngas kemudian dikondensasikan oleh katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk
menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas tinggi. Proses Fisher
Tropsch adalah sintesis CO/H2 menjadi produk hidrokarbon atau disebut
synthetic oil. Synthetic oil banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin industri
/transportasi atau kebutuhan produk pelumas (lubricating oil).
Gambar 1. Dua Konfigurasi Proses Dasar untuk Produksi Bahan Bakar Cair dengan
Indirect Liquefaction Process

Syngas Production – Bagian ini terdiri dari coal handling, drying dan
grinding yang kemudian diikuti dengan gasifikasi. Unit pemisahan udara
menyediakan oksigen untuk gasifier. Syngas cleanup terdiri dari proses
hydrolysis, cooling, sour-water stripping, acid gas removal, dan sulfur recovery.
Gas dibersihkan dari komponen sulfur dan komponen lain yang tidak diinginkan
sampai pada level yang terendah untuk melindunginya dari downstream
catalysts. Panas yang dipindahkan pada gas-cooling step direcover sebagai
steam, dan digunakan secara internal untuk mensuppli kebutuhan power plant.
Proses sour-water stripping akan menghilangkan ammonia yang dihasilkan dari
nitrogen yang ada pada batubara. Sulfur dalam batubara akan dikonversikan
menjadi hydrogen sulfide (H2S) dan carbonyl sulfide (COS). Proses hidrolisis
digunakan untuk mengkonversikan COS dalam syngas menjadi H2S, yang
direcover pada acid-gas removal step dan dikonversikan menjadi elemental
sulfur pada sebuah Claus sulfur plant. Sulfur yang diproduksi biasanya dijual
sebagai low-value byproduct.
Synthesis Gas Conversion – Bagian ini terdiri dari water-gas shift, a sulfur
guard bed, synthesis-gas conversion reactors, CO2 removal, dehydration dan
compression, hydrocarbon dan hydrogen recovery, autothermal reforming, dan
syngas recycle. A sulfur guard bed dibutuhkan untuk melindungi katalis
konversi gas sintesis yang dengan mudah diracuni oleh trace sulfur pada cleaned
syngas. Clean synthesis gas dipindahkan untuk mendapatkan hydrogen/carbon
monoxide ratio yang diinginkan, dan kemudian secara katalitik dikonversikan
menjadi bahan bakar gas.
Dua cara utama melibatkan konversi ke hight-quality diesel dan distillate
menggunakan Fischer-Tropsch route, atau konversi ke highoctane gasoline
menggunakan proses metanol menjadi gasoline (MTG) . Fischer-Trosch (F-T)
syntesis menghasilkan spektrum dari hidrokarbon paraffin yang ideal untuk
diesel dan bahan bakar
Katalis yang digunakan dalam Fischer-Trops adalah besi atau cobalt.
Keuntungan katalist besi dengan cobalt berlebih untuk mengkonversi coal-
derived syngas yang mana besi memiliki kemampuan mengaktivasi reaksi
water-gas shift dan secara internal mengatur low H2/CO ratio dari coal derived
syngas yang diperlukan dalam reaksi Fischer-Trops. Jenis reactor yang
digunakan dalam reaksi F-T adalah fixed-bed tubular reactor dan teknologi ini
diaplikasikan di Shell’s Malaysian GTL. Sasol juga mengkomersialisasikan
teknologi CTL di Afrika Selatan yang menggunakan Fixed bed reactor,
circulatingfluidized bed dan fixed-fluidized bed reactor. Syngas dan produk F-T
yang tidak terkonversi harus dipisahkan setelah langkah sintesis F-T. CO2 dapat
dipisahkan dengan menggunakan teknik absorbsi. CO2 dengan kemurnian tinggi
biasanya dibuang langsung ke udara bebas.
Proses pendinginan digunakan untuk memisahkan air dan hidrokarbon
ringan (terutama metana, etana, dan propane) dari produk liquid hydrocarbon
yang dihasilkan pada proses sintesis F-T. Gas hidrokarbon ringan dan gas
sintesis yang tidak terkonversi dikirim ke proses hydrogen recovery.Purge dari
fuel gas digunakan untuk menyuplai bahan bakar pada proses CTL. Akhirnya
sisa gas dialirkan ke autothermal reforming plant untuk mengkonversi
hidrokarbon ringan menjadi syngas untuk direcycle ke reaktor F-T.
Product Upgrading - FT liquid dapat dimurnikan menjadi LPG, gasoline,
dan bahan bakar diesel. Pilihan lain adalah melalui partial upgrading seperti
yang ditunjukkan dari gambar 2.4 untuk menghasilkan F-T syncrude.
Kandungan wax yang tinggi di raw F-T liquid memerlukan hidroprosessing
untuk membuat syncrude yang dapat dialirkan melalui pipa . Pilihan upgrading
minimum termasuk hidrotreating dan hidrocracking dari F-T wax. Produk yang
dihasilkan adalah F-T LPG dan F-T syncrude, yang dapat dikirim ke
conventional petroleum refinery untuk difraksinasi menghasilkan produk yang
dapat diolah lebih lanjut.
b. Direct Liquefaction Process/ Direct Coal Liquefaction (DCL)
DCL adalah proses hydro-cracking dengan bantuan katalisator. Prinsip
dasar dari DCL adalah mengintroduksikan gas hidrogen kedalam struktur
batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil sehingga terbentuk
senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair. Proses ini telah
mencapai rasio konversi 70% batubara (berat kering) menjadi sintetik cair. DCL
juga dikenal dengan sebutan Bergius Proccess.
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara,
kemudian slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut.
Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-sama dengan
hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry kemudian diberi tekanan 100-
300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai
400-480° C.
Secara kimiawi, proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari
kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Dengan kata lain,
batubara terkonversi menjadi liquid melalui pemutusan ikatan C-C dan C-
heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic
cleavage), sehingga melepaskan molekulmolekul CO2, H2S, NH3, dan H2O.
Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan
cara dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition).
Setelah dipotong, masingmasing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan
menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak
bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi)
membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya
pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat
melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh
hidrogen, rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan
menggunakan katalis yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan
slurry (batubara dan pelarut).
Faktor yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi :

 Spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah sistem


yang bisa optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
 Jenis batubara tertentu mempunyai kecenderungan membentuk lelehan
(caking perform), sehingga menjadi bongkahan besar yang dapat membuat
reaktor kehilangan tekanan dan gradient panas terlokalisasi (hotspot). Hal
ini biasanya diatasi dengan mencampur komposisi batubara, sehingga
pembentukan lelehan dapat dihindari.
 Batubara dengan kadarash yang tinggi lebih cocok untuk proses gasifikasi
terlebih dahulu, sehingga tidak terlalu mempengaruhi berjalannya proses.
Gambar 2. Diagram alir proses likuifaksi secara langsung

Negara yang telah mengembangkan teknologi Direct Liquefaction


Process adalah Jepang, Amerka Serikat dan Jerman. Bagi Indonesia, teknik
konversi likuifaksi batubara secara langsung (Direct Liquefaction Process)
dinilai lebih menguntungkan untuk saat ini. Selain prosesnya yang lebih
sederhana, likuifaksi relatif lebih murah dan lebih bersih dibanding teknik
gasifikasi. Teknik ini juga cocok untuk batubara peringkat rendah (lignit), yang
banyak terdapat di Indonesia.
Ini salah satu contoh yaitu negara Jepang, sebagai salah satu negara
pengembang teknologi Likuifaksi Batubara terkenal dengan salah satu
proyeknya yaitu NEDOL memiliki 2 metode likuifaksi batubara yaitu
Bituminous Coal Liquefaction dan Brown Coal Liquefaction.
1. Bituminous Coal Liquefaction.
Dalam proses Bituminous Coal Liquefaction, Proyek NEDOL berhasil
menggabungkan 3 proses, yaitu: Solvent Extraction Process, Direct
Hydrogenation Process, dan Solvolysis Process.
Spesifikasi proses NEDOL adalah sebagai berikut:
• Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu. Batubara
yang digunakan bisa dari low grade sub-bituminous sampai low
grade bituminous.
• Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium atau
light oil.
• Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar 170
kg/cm2G.
• Membutuhkan katalis yang sangat aktif namun tidak mahal.
• Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem distilasi
pengurang tekanan.
• Digunakan sebagai pelarut terhidrogenasi yang dapat digunakan
kembali untuk mengawasi kualitas pelarut agar dapat
meningkatkan Yield Ratio dari batubara cair dan mencegah
fenomena “cooking” pada tungku pemanas.

Proses NEDOL Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara


dengan 1.5 bagian pelarut,lalu ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi
(ferrous catalyst) Slurry dipanaskan sampai suhunya mencapai 400°C dalam
preheating furnace.Reaksi likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis
suspension bed foaming pada kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan
170 kg/cm2G). Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara
hidrogen dan pelarut. Setelah melewati pemisah fase gascair, kolom distilasi
bertekanan normal, dan kolom distilasi isap, batubara cair dipisahkan menjadi
naphta, medium oil, heavy oil, dan residu.Distilat medium oil dan heavy oil
dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed yang berisi katalis Ni-Mo. Pada
kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi distilat ringan pada
Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan kembali dalam
reaksi sebagai pelarut (solvent)
Gambar 3. Diagram alir proses Bituminous Coal Liquefaction

2. Brown Coal Liquefaction


Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3 proses,
yaitu: Coal Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary
hydrogenation process dan Secondary hydrogenation process.
Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw brown coal,
pengeringan, dan pembuatan Slurry. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1
bagian batubara brown coal dengan 2.5 bagian pelarut, lalu ditambahkan
katalis yang mengandung besi (iron catalyst). Lalu Slurry diproses ke
preheating process.
Primary hydrogenation process dilakukan dengan
mengalirkan gas hidrogen pada Temperatur 430-450°C dan tekanan 150-200
kg/cm2G agar dapat terjadi proses likuifaksi.
Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan didistilasi menjadi
naphta, light oil dan medium oil. Kolom distilasi bawah yang mengandung
padatan dialirkan menuju kolom pemisah padatan-cairan pada proses
pengeringan pelarut. Distilat cair kemudian dibawa ke proses Secondary
hydrogenation dan padatan dibuang.
Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar proses hidrogenasi
dapat terjadi pada temperatur 300-400°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G.
Kemudian dilakukan distilasi kembali agar dapat dipisahkan menjadi nephta,
light distillate dan medium distillate. Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel
batubara cair dari 1 ton batubara brown coal kering
Gambar 4. Diagram alir proses Brown Coal Liquefaction

3. Kelebihan dan Kekurangan Batubara Cair


a. Kelebihan Batu bara Cair
Beberapa kelebihan batubara cair, yaitu :
 Harga produksi lebih murah.
 enis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori
rendah (low rank coal), yang selama ini kurang diminati pasaran.
 Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet
fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak
biasa.
 Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan. Dari pasca
produksinya tidak ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2.
Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya),
masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal.
Bahkan sisa gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi
bahan bakar.

b. Kekurangan Batubara Cair


Beberapa kekurangan batubara cair, yaitu:
 Keekonomian. Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali
investor ragu untuk membangun kilang pencairan batubara. Batubara cair
akan ekonomis jika harga minyak bumi di atas US $35/bbl.
 Investasi Awal Tinggi. Biaya investasi kilang pencairan batubara
komersial, cukup mahal.
 Merupakan Investasi Jangka panjang. Break Even Point (BEP) baru
dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan tahap pembangunan
memakan waktu 3 tahun.

4. Dampak Positif dan Negatif Batubara Cair


a. Dampak Positif Batubara Cair
Beberapa dampak positif batubara cair, yaitu :
 Mengurangi ketergantungan pada impor minyak serta meningkatkan
keamanan energi.
 Batubara cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak, pembangkit
listrik stasioner, dan di industri kimia.
 Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah
partikulat, dan rendah oksida nitrogen.
 Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra
bersih, dapat mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam
ruangan.

b. Dampak Negatif Batubara Cair


Beberapa dampak negatif penggunaan batubara cair, yaitu :
 Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara. Penyebaran skala
besar pabrik batubara cair dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan
dari penambangan batubara. Penambangan batubara akan memberikan dampak
negatif yang berbahaya. Penambangan ini dapat menyebabkan limbah yang
beracun dan bersifat asam serta akan mengontaminasi air tanah. Selain dapat
meningkatkan efek berbahaya terhadap lingkungan, peningkatan produksi
batubara juga dapat menimbulkan dampak negatif pada orang-orang yang
tinggal dan bekerja di sekitar daerah penambangan.
 Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon
bahan bakar.Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam
jumlah yang besar. Proses ini juga dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton
batubara hanya dapat dikonversi menjadi 2-3 barel bensin. Proses konversi
yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan energi dalam
jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair menghasilkan hampir
dua kali lipat emisi penyebab global warmingdibandingkan dengan bensin
biasa. Walaupun karbon yang terlepas selama produksi ditangkap dan
disimpan, batubara cair akan tetap melepaskan 4 hingga 8 persen polusiglobal
warming lebih banyak dibandingkan dengan bensin biasa.

5. Faktor yang Mempengaruhi Proses Pencairan Batubara


Beberapa faktor penting yang mempengaruhi hasil konversi produk dan
konsumsi hidrogen pada proses pencairan batubara, antara lain: peringkat
batubara, kondisi operasi serta rasio batubara/pelarut.
a. Pengaruh peringkat batubara
Peringkat asal batubara mempengaruhi konversi produk yang dihasilkan.
Syaker dan Kelvin mempelajari pengaruh karateristik batubara terhadap
minyak yang dihasilkan setelah proses pencairan, mereka menyatakan bahwa
semakin tinggi peringkat batubara, makin sedikit minyak yang dihasilkan
b. Pengaruh rasio batubara/pelarut
Rasio batubara/pelarut (coal-solvent ratio) yang digunakan mempunyai
peranan yang penting dalam menaikan konversi produk yang dihasilkan.
Pelarut yang digunakan biasanya mengandung hidroaromatik, seperti:
tetralin, dekalin, dihidroantresen, dihidrofenantren dan lain lain. Pelarut yang
dipilih biasanya mempunyai temperatur superkritis pirolisis batubara, sebagai
contoh: tetralin mempunyai temperatur kritis 448o C, sehingga proses
pencairan biasanya dilakukan sekitar temperatur 450o C. Jones dan
Rotterdorf (1980) menyatakan bahwa dengan rasio berat batubara / pelarut :
¼ dan 1/3 ternyata menunjukan hasil konversi produk yang hampir sama.
Menurut Ghazali dan Nasir (1994). Dengan rasio batubara/pelarut: 2/3 dan
1/3 diperlukan konsumsi hidrogen berturut-turut: 2,4% dan 2,5%, konsumsi
hidrogen yang tinggi ini menunjukkan kemampuan pelarut berfungsi dengan
baik.
c. Pengaruh kondisi operasi
Kondisi operasi proses pencairan batubara yang utama disini adalah:
temperatur, tekanan dan waktu.
 Pengaruh temperatur operasi. Temperatur operasi pencairan batubara
biasanya terjadi antara 375o C – 450o C. Batubara bituminus bila
dipanaskan pada temperatur 325o C - 350o C akan lunak dan bersifat
plastis, keadaan ini disebut “plastic state”, dan pada kondisi ini
kecepatan reaksi berjalan sangat lambat, bahkan belum terjadi reaksi.
Laju pemanasan yang cepat untuk mencapai temperatur operasi
optimum akan melindungi bagian reaktif batubara terhadap
polimerisasi.
 Pengaruh waktu operasi. Waktu operasi proses pencairan batubara
sekitar 20 menit sampai 2 jam, namun ada peneliti yang menyatakan
bahwa terjadi peningkatan konversi batubara menjadi produk minyak
dengan kenaikan waktu operasi sampai 200 menit. Pemanasan
partikel batubara secara cepat dalam media gas hidrogen dapat
meningkatkan waktu kntak sehingga kurang dari 15 menit (short
contact time liquefaction), dengan konversi produk yang tetap tinggi.
REVIEW JURNAL

1. Effect of temperature, solvent/coal ratio and beneficiation on conversion


and product distribution from direct coal liquefaction
Oleh: Juan Barraza, Universidad del Atlántico Ciudadela Universitaria
Untuk batubara asli, dapat diamati bahwa dengan rasio S/C yang konstan,
konversi menurun dengan meningkatnya suhu. Perilaku di atas mungkin karena
meningkatkan pecahnya struktur karbon menjadi radikal dengan berat molekul
yang lebih kecil. Radikal yang stabil dengan lainnya dari batubara yang sama
(repolymerization dan reaksi kondensasi) menghasilkan senyawa berat molekul
yang lebih tinggi.
Gambar dibawah menunjukkan juga konversi yang diperoleh sebagai
fungsi dari temperature, rasio S/C dan batubara beneficiation menggunakan
manfaat diasosiasikan batu bara. Pada konstan rasio S/ C, konversi memiliki
perilaku yang sama dibandingkan dengan batubara asli. Peningkatan suhu
mengalam penurunan konversi. Hal ini dapat dilihat terutama pada rasio S/C2
2:1, dimana konversi menurun dari 47,2% pada 380 C untuk 21,5% pada 420
C.
2. Effect of hydrogenation of liquefied heavy oil on direct coal liquefaction
Oleh: Shan Xiangen dkk, East China University of Science and Technology.
DCL hasil percobaan evaluasi tekanan hidrogenasi yang berbeda.
Dibandingkan dengan minyak mentah non-terhidrogenasi, konversi batubara
kurang terpengaruh oleh tekanan hidrogenasi yang menunjukkan bahwa
perubahan komposisi hidrokarbon setelah hydro-pengobatan memiliki efek
yang dapat diabaikan pada retak lebih lanjut dari batubara. Apalagi, ada
proporsi tertentu dari batubara inert yang tidak dapat dikonversi. Seperti
ditunjukkan dalam Gambar.2 , Hidrogenasi lebih lanjut dari PAA dipromosikan
dan polimerisasi radikal bebas berkurang, yang dikaitkan dengan peningkatan
konten aromatik terhidrogenasi dan kapasitas pasokan hidrogen. Hal ini juga
dapat dilihat bahwa sebagai hidrogenasi meningkatkan tekanan di bawah 16
MPa, efeknya pada pencairan meningkat secara signifikan, sedangkan tekanan
reaksi hidrogenasi selanjutnya meningkat, dampak pada pencairan berubah
menjadi lembut.
DCL hasil percobaan evaluasi suhu hidrogenasi yang berbeda disajikan
dalam Gambar. 3. Dengan meningkatnya suhu, hasil minyak meningkat dari
49,16% menjadi 54,79% dan hasil gas dan PAA menurun dari 17,01%, 13,40%
untuk 14,97%, 9,92% masing-masing. Karena mono-dan aromatik bicyclical
pelarut meningkat dan jumlah hidrogen aktif mengangkat secara bersamaan
setelah hidrogenasi, itu membantu untuk menghambat polimerisasi dan
pembelahan radikal bebas. Ketika suhu reaksi mencapai 400 C, hasil minyak
juga mencapai nilai maksimum 54,79%.
3. A review on coal-to-liquid fuels and its coal consumption
Oleh: Mikael Ho¨ o¨ k,y and Kjell Aleklett, Uppsala University
Metode Indirect Coal Liquefaction melibatkan rincian lengkap batubara
menjadi senyawa lain dengan gasifikasi menghasilkan syngas yang selanjutnya
dimodifikasi untuk mendapatkan keseimbangan yang memerlukan hidrogen
dan karbon monoksida. Kemudian, syngas dibersihkan, menghilangkan sulfur
dan kotoran lainnya mampu reaksi lebih lanjut mengganggu. Akhirnya, syngas
yang direaksikan lebih katalis untuk memberikan produk yang diinginkan
dengan menggunakan reaksi Fischer–Tropsch.
Perubahan katalis dan kondisi reaksi dapat membuat berbagai macam
produk yang berbeda (Gambar 1). Misalnya, metanol merupakan salah satu
produk yang mungkin yang dapat diproduksi secara langsung atau lebih diubah
menjadi bensin berkualitas tinggi melalui proses dengan beberapa tahap
tambahan.
4. Coal liquefaction using a tetralin-glycerol co-solvent system: effect of
temperature and reaction time on conversion and product yield
Oleh: S. N. Ali dkk, Universiti Teknologi MARA Malaysia.

Dapat terlihat dari tabel diatas bahwa semakin tinggi suhu pada waktu reaksi
yang sama maka nilai konversi yang didapat dan yield produknya juga semakin
tinggi. Begitupun pada suhu yang sama dan waktu yang semakin tinggi maka
nilai konversi yang didapat dan yield produknya juga semakin tinggi.
Berdasarkan hasil tersebut diperoleh, itu jelas bahwa pada suhu pencairan yang
lebih rendah dari 380 ° C, reaksi mundur dalam sistem co-pelarut ini dapat
diabaikan. Diduga bahwa rute langsung dari mekanisme pencairan batubara
terjadi pada suhu ini di mana konstituen batubara yang diekstraksi dan retak
termal ringan cross-link polimerisasi struktur batubara berlangsung.
5. REVIEW ON DIFFERENT TECHNOLOGIES FOR COAL
LIQUEFACTION
Oleh: Mr. Shubham Choudhary, Department of Mechanical Engineering

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa produk yang dihasilkan dari Indirect
Coal Liquefaction memiliki karakteristik yang lebih baik daripada produk yang
dihasilkan dari Direct Coal Liquefaction. ICL tampaknya menjadi pilihan yang
lebih mungkin untuk pemilihan proses pencairan batubara menjadi cairan masa
depan. Hal ini dapat terlihat berdasarkan fleksibilitas yang lebih tinggi, lebih
ramah lingkungan, pengalaman pendukung dan infrastruktur yang kuat. Selain
itu, sifat bahan bakar tampaknya lebih bermanfaat ICL dibandingkan dengan
DCL, terutama jika pengguna akhir efisiensi dianggap bukan efisiensi proses
saja. Perkiraan biaya antara dua jenis sistem tampak serupa.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, S.N dkk. 2014. Coal liquefaction using a tetralin-glycerol co-solvent system: effect
of temperature and reaction time on conversion and product yield. Malaysia:
Universiti Teknologi MARA Malaysia.
Barraza, Juan dkk. 2016. Effect of temperature, solvent/coal ratio and beneficiation on
conversion and product distribution from direct coal liquefaction. Colombia:
Universidad del Atlántico Ciudadela Universitaria.
Choudhary, Shubham dkk. 2017. Review On Different Technologies For Coal
Liquefaction. Nashik: Department of Mechanical Engineering.
Hooky, Mikael dkk. 2017. A review on coal-to-liquid fuels and its coal consumption.
Sweden: Uppsala University.
Xiangen, Shan dkk. 2017. Effect of hydrogenation of liquefied heavy oil on direct coal
liquefaction. China: East China University of Science and Technology.

Anda mungkin juga menyukai