Anda di halaman 1dari 79

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Perkembangan ilmu bedah dengan berbagai subspesialisasi yang sangat cepat


dipengaruhi oleh perkembangan teknik pembedahan, instrumen bedah invasif terbaru dengan
teknologi mutakhir, serta keperluan diagnostik pada pasien. Hal ini berimplikasi pada
perawat untuk mengembangkan dan membekali diri agar dapat mengembangkan asuhan
keperawatan perioperatif guna ikut serta dalam pelayanan bedah.
Ada filosofi yang perlu diperhatikan oleh seorang perawat perioperatif, yaitu tentang
doktrin kapten kapal. Doktrin ini memberi keyakinan bahwa ahli bedah harus bertanggung
jawab atas setiap tindakan staf di ruang operasi, seperti halnya seorang kapten kapal yang
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi pada kapal. Doktrin ini tidak berlaku
dalam konsep pembedahan, di mana ahli bedah hanya bertanggung jawab terhadap kelalaian
staf ahli bedah yang berada di bawah kewenangannya di ruang operasi. Jadi, setiap kesalahan,
ketidaktahuan, kelalaian, atau ketidakmengertian perawat operatif dalam melaksanakan
prosedur dan berakibat pada kerugian pasien, akan dipertanggungjawabkan oleh perawat itu
sendiri. Hal ini memberikan implikasi pada perawat untuk terus meningkatkan ilmu dan
keterampilan guna menurunkan potensi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Asuhan keperawatan perioperatif sangat penting, sehingga perlu dimasukkan ke dalam
kurikulum program tinggi pendidikan keperawatan. Dengan demikian, mahasiswa dapat
memahami bah,,va peran perawat dalam pelayanan asuhan keperawatan begitu luasnya. Pada
praktik klinik, mahasiswa wewkeperawatan tidak terlibat langsung dengan pelaksanaan
pembedahan, karena perawat yang terlibat dalam suatu pembedahan mempunyai sertifikat
atau pengalaman yang lama. Namun demikian, mahasiwa dapat melihat langsung seluruh
peran yang dilakukan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan perioperatif.
Penyusunan buku Asuhan Keperawatan Perioperatif: Konsep, Proses, dan Aplikasi ini
bertujuan memberikan panduan dasar tentang aplikasi klinik keperawatan perioperatif. Selain
itu juga diharapkan dapat memberikan gambaran pada mahasiswa keperawatan dalam
mengembangkan proses keperawatan yang komprehensif, sciak pasien diputuskan untuk
incrijalani pembedahan, sampai pasien pulang ke rumah.
Secara sederhana, materi buku ini terdiri atas riga bagian, yaitu: konsep keperawatan
perioperatif, proses keperawatan perioperatif, dan aplikasi asuhan keperawatan perioperatif.
Buku ini berguna bagi perawat dalam melakukan intervensi yang sesuai dengan kondisi
pembedahan.
Ucapan terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan kepada dr. Abimayu, Sp.PD.,
KGEH dan dr. Ali Assagaf, Sp.P., Direktur dan Wakil Direktur RSUD Ulin Banjarmasin; dan
DR. dr. Izaak Z.A., Sp.OT., FISC, K-Hand, Kepala Instalasi Bedah Sentral RSUD Ulin
Banjarmasin atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk melakukan pengkajian
klinik.
Pada kesempatan ini kami memohon maaf pada penulis buku yang kami jadikan
kepustakaan, di mana ada beberapa pemaliaman/kutipan/tulisan/gambar yang kami ambil.
Kekurangan pasti selalu ada, oleh karena itu masukan dalam bentuk apapun senantiasa kami
harapkan demi perbaikan buku ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh.

Banjarmasin, Juni 2009


Penulis
DAFTAR ISI
Tentang Penulis iii
Persembahanv
Kontributorvii
Kata Pengantarix
BAB 1 TINJAUAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF RIWAYAT PERKEMBANGAN
ILMU BEDAH
Anestesi
Pengendalian Infeksi dan Kemajuan Teknik Asepsis
Instrumen Bedah
PERSPEKTIF HISTORIS KEPERAWATAN PERIOPERATIF
KLASIFIKASI PEMBEDAHAN
BAB 2 MODALITAS MANAJEMEN KEPERAWATAN PERIOPERATIF
PERAN PERAWAT DI KAMAR OPERASI
PERAN PERAWAT ADMINISTRATIF
Perencanaan dan Pengaturan Staf
Manajemen Material dan Inventaris
Pengaturan Kincria
PERAN PERAWAT INSTRUMEN MODALITAS PERAWAT INSTRUMEN
Bahan Jahit
Jarum Jahit Bedah
Persiapan Bahan Insisi
Teknik Menyerahkan Alat
Fungsi Instrumen
Perlakuan Jaringan
PERAN PERAWAT SIRKULASI
PERAN PERAWAT ANESTESI
PERAN PERAWAT RUANG PEMULIHAN
MANAJEMEN LINGKUNGAN BEDAH
Manajemen Asepsis
Konsep Infeksi Nosokomial
Kewaspadaan Universal
Prosedur Teknik Aseptik
Persiapan Acara Bedah dan Pemasangan Duk
MANAJUVIEN POSISI BEDAH
Tujuan dan Kriteria Hasil
Pencegahan Cedera
Pemberian Posisi Bedah
MANAJEMEN HEMOSTASIS
Mekanisme Pembekuan
Gangguan Hemostasis
Pengkajian Keperawatan
Metode Hemostasis
Pencegahan Perdarahan
BAB 1
Tinjauan Kepererawatan Perioperaktif

Saat ini,bidangkeperawatan perioperatif merupakan bidang pekerjaanyangberkembing pesat,


senantiasa berubah, dan memiliki berbagai kompleksitas dalam perencanaan.
keperawatannya. Ada berbagai kondisi yang memberikan motivasi pada keperawatan
perioperatif untuk selalu melakukan inovasi baru. Keperawatan perioperatif tidak terlepas
dari ilmu bedah yanng memiliki berbagai kompleksitas dalam pelaksanaan kerja sama tim.
Dokter bedah merupakan orang yang dipercaya pasien dan keluarga untuk menptasi
permasalahan pasien, sehingga dokter bedah bertanggung jawab atas hasil akhir
pernbeclahan. Untuk menjaga kepercayaan dan reputasi yang diberikan, heberapa dokrer
bcdah yang biasa bekerja sama dengan perawat dalam melakukan pembedahan akan lebili
senang dengan perawat yang mempunyai kemampuan dan tingkat ketcrampilan yang baik.
Perawat perawat seperti ini dipersepsikan dapat bekerja sama dengan baik saat melakukan
inuervensi bedah, sehingga peran perawat juga memengaruhi hasil akhir suatu pernbedahan.
Pada situasi klinik, rerdapat beberapa beberapa faktor yang penting untuk diperhatikan.
Hal tersebut penting karena pada pelaksanaannya, kondisi perioperatif tidak hanya dilakukan
secara mandiri oleh perawat, tetapi harus bekerja sama dengan tim kesehatan lainnya. Adanva
komunikasi yang efektif dan terapeutik dengan pasien dan keluarga merupakan faktor penting
lainnya dalam mengoptimalikan keberhasilan. perioperatif. Peran perawat dalam melakukan
pengkajian pasien yang efektif dan efisien pada semua fase akan menunjang kelancaran
asuhan keperawatan perioperatif yang diberikan.
Perawat harus melakukan tindakan aseptik bedah yang baik membuat dokumentasi
yang lengkap dan menyeluruh; dan mengutamakan keselamatan pasien pada seluruh fase.
Penyuluhan dan rencana pulang yang efektif diperlukan untuk mencegah atau meminimalkan
terjadinya komplikasi. Keperam.,atan perioperatif dilakukan berdasarkan proses keperawatan
dan perawat perlu menetapkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu selarna
periode perioperatif. Dengan demikian, pasien dapat memperoleh kemudahan sejak datang
sampai sehat kembali. Pada Model asuhan keperawatan ini sangat di tekankan
kesinambungan antara satu intervensi dengan intevensi lainnya
RIWAYAT PERKEMBANGAN ILMU BEDAH

Keperawata perioperatif tidak lepas dari salh atu ilmu medis yaitu ilmu bedah. Dengan
demikian, ilmu bedah yang semakin berkembang akan memberikan implikasi pada
pekermbangan keperawatan perioperatif.
Sejarah tentang bedah dengan perkembangan penting dalam bidang asepsi,anastesi dan
teknik pengendalian perdarahan, bukti sejarah menunjukan bahwa pembedahan telah di
lakukan pertama kali ratusan tahun yang lalu. Saat itu pembedahan di lakukan tanpa tindakan
untuk mengendalikan nyeri di mana murid belajar dengan melihat dan mengamati keahlian
dari ilmu para barber (Rothrock, 2000).
Pihak gerejalah yang menyebabkan barber mengambil alih-praktik bedah yang
sebelumnya merupakan fungsi pendeta. Pada 1123 M, Paus Calistas melarang pendeta untuk
mengobati orang sakit. Barber, yang sebelumnya merupakan seorang tukang cukur rambut
pendeta, akhirnya mulai melakukan bedah minor dan mengeluarkan darah pendeta dan orang
lain. Gereja terus melarang pendeta melakukan praktik bedah sampai abad ke-14.
Serikat pekerja barber didirikan untuk mengatur profesi ini dan melaksanakan program
magang untuk melatih ahli bedah barber. Pada tahurl 1540, Henry VIII dari Inggris
memberikan piagam kepada para ahli bedah barber, sehingga mempertinggi kedudukan
mereka menjadi profesi yang terhormat. Upaya-upaya 6ntuk memisahkan para barber dari
kegiatan pembedahan berhasil pada tahun 1744, ketika parlemen menyetujui petisi yang
bertujuan untuk memisahkan pembedahan dari para barber. Pada tahun 1800, Royal College
of Surgeon berdiri (Rothrock, 2000).
Bedah modern sebenarnya dimulai oleh ahli bedah militer. Di medan perang, jumlah
dan keparahan cedera menclo•ong ahli bedah militer untuk terus-menerus melakukan inovasi,
eksperimen, dan berusaha mencapai keberhasilan baru. Amputasi sering dilakukan dan
infeksi luka pascabedah sering terjadi. Hal ini mendorong penemuan berbagai inovasi untuk
mengatasinya, seperti pemberian minyak mendidih yang digunakan untuk puntung yang
diamputasi, besi panas digunakan pada luka ringan, dan sebagainya. Periode perkembangan
ini diiringi dengan berbagai kondisi nyeri, penderitaan, dan kematian.

Anestesi
Perubahan dunia anestesi berkembang begitu cepat. Kejadian yang paling hebat dalam
sejarah bedah adalah penggunaan anestesi umum. Sebelum anestesi diperkenalkan, untuk
mengurangi nyeri operasi pasien hanya diberikan alkohol, laudanum, morfin, atau ditangani
dengan hipnotis. Pada tahun 1772, Joseph Priestly menemukan nitrogen oksida (NOx), tetapi
masih belum mengetahui sifat anestetiknya. Tahun 1799, Huntprey Davy melaporkan sifat a
nesterik nitrogen oksida. Pada publikasinya, ia menjelaskan preparat ini sebagai "gas tertawa"
dan direkomendasikan untuk digunakan dalam pembedahan. Pada saat itu, para kartunis
membuat lelucon terhadap penggunaannya, tetapi para ahli bedah justru terlihat kurang
berminat.
Inhalasi nitrogen oksida kemudian hanya digunakan untuk mendapat kesenangan. Eter
juga dihirup dan efek tertawanya diperlihatkan di tempat seperti lantai dansa, di mana
kesenangan demikian disebut "ether frolic" (eter untuk bersenang-senang). Setelah beberapa
lama melihat efek toksik dan kemampuannya untuk mengurangi nyeri, seorang dokter gigi
muda bernama Morton memutuskan menggunakan eter di dalam kamar operasi. Pada 16
Oktober 1846, ia berhasil memberikan eter kepada pasien muda yang menjalani
pengangkatan kista dari lehernya. Setelah kejadian tersebut dipublikasikan, anestesi umum
secara inhalasi mulai digunakan oleh ahli bedah (Rothrock, 2000).
Hanya dalam waktu 100 tahun, anestesi yang tersedia untuk tindakan pembedahan telah
berkembang. Dari proses sederhana pemberian ecer dengan metode terbuka sampai sedasi,
blok regional, dan teknik endotrakeal umum yang canggih. Kemajuan di sebagian besar
spesialisasi bedah sangat dibantu oleh penemuan berbagai jenis anestesi baru, perkembangan
teknologi pemantau, dan identifikasi metode yang lebih baik untuk mengatasi penyulit.
Faktor-faktor sosial dan ekonomi telah mendorong tren terkini ke arah bedah berobat jalan
dan rawat singkat. Pengkajian persyaratan yang diperlukan agar pasien dapat menjalani
keseluruhan proses operasi dengan selamat terus dilakukan agar tercapai efisiensi biaya,
efektivitas, dan penerimaan pasien. Di tengah situasi yang terus berubah ini, pemilihan teknik
anestesi dan prosedur pembedahan harus terus dilandasi standar praktik yang menawarkan
jaminan keselamatan pasien baik di lingkungan perioperatif, rawat inap, dan rawat jalan
(Gruendemann, 2006).

Pengendalian Infeksi dan Kemajuan Teknik Asepsis


Setelah pembedahan tanpa nyeri dapat dilakukan, hal ini memungkinkan ahli bedah
untuk mulai memperbaiki ekstremitas yang sakit daripada mengamputasinya. Namun
demikian, kemajuan ini mendapat tantangan keefektifan pembedahan kedua, yaitu risiko
infeksi. Sebelum teori tentang kuman ditemukan, para ahli bedah terbiasa menggunakan jas
yang kotor untuk melakukan pembedahan. Semakin kotor dan semakin banyak darah pada jas
yang digunakan seorang ahli bedah, maka akan dinilai semakin berpengalaman. Cuci tangan
dilakukan setelah prosedur, bukan sebelumnya. Spons digunakan bergantian dari satu pasien
ke pasien lainnya tanpa dicuci. Dengan pengetahuan tentang mikrobiologi yang minim, ahli
bedah biasanya menghubungkan tingkat infeksi dengan miasma atau udara yang buruk
(Gruendemann, 2006).
Pada tahun 1842, Oliver Wendel HoIMLS menuduh dokter sebagai pembawa demam
masa nifas dari ruang autopsi ke bangsal perawatan. Holmes mengatakan bahwa mencuci
tangan dalam larutan kalsium klorida dapat mencegah penyebaran infeksi. Praktik mencuci
tangan ini dimulai oleh seorang dokter Austria bernama Ignaz Phillip Semmelweis di Vienna.
Semmelweis mengamati bahwa tingkat mortalitas terjadi lebih tinggi di bangsal perawatan
yang didatangi mahasiswa kedokteran daripada bangsal yang didatangi bidan. la mengamati
lebih jauh bahwa mahasiswa kedokteran tersebut keluar dari ruang autopsi tanpa mencuci
tangan, kemudian melakukan pemeriksaan vagina dan menolong persalinan. Berclasarkan
observasi ini, ia menyuruh seluruh mahasiswanya untuk mencuci tangan dengan larutan
kalsium klorida. Tahun berikutnya, mortalitas turun drastis dari 9,92% menjadi 3,8%, bahkan
tahun berikutnya turun lagi menjadi 1,27%. Semmelweis mempublikasikan temuannya ini
berulang-ulang antara tahun 1847-1861, tetapi ia terus ditertawakan oleh para koleganya,
sama halnya seperti Holmes (Rothrock, 2000).
Pada akhir tahun 1800-an, gagasan mikroorganisme yang berlaku hingga kini mulai
mengambil bentuknya. Gagasan ini dipelopori oleh para ilmuwan terkemuka, inisaInya Louis
Pasteur dan Joseph Lister. Riset Pasteur adalah tentang hubungan antara mikroorganisme dan
penyakit, sedangkan temuan Lister adalah bahwa pengendalian mikroorganisme (yang saat
ini kita kenal dengan istilah teknik aseptik)

Dapat mengontrol infeksi.


Praktik pemakaian sarung tangan terjadi sebagai akibat langsung dari praktik
membersihkan tangan dengan asam karbolat. Pada akhir abad tersebut, ahli bedah terkemuka
William Halsted mendengar ceramah Lister yang saat itu sedang berkeliling Amerika Serikat.
Kemudian, ia mulai menggunakan antiseptik. Sewaktu seorang perawat kesayangannya
mengalami iritasi hebat di tangan akibat asam karbolat, Halsted menghubungi Goodyear Tire
Company dan memperoleh sepasang sarung tangan karet (Halsted, 1913 dikutip oleh
Gruendemann, 2006). Sarung tangan tersebut dipakai untuk melindungi perawat dan ahli
bedahnya. Sedangkan topi dan baju bedah pertama kali digunakan pada tahun 1881. Seiring
meningkatnya pemahaman tentang perpindahan mikroorganisme dari petugas ke luka pasien,
tajIun 1896 masker mulai digunakan untuk pertama kalinya (Gruendemann, 2006).
Instrumen Bedah
Instrumen yang paling awal diketahui dan digunakan untuk prosedur pembedahan
dibuat sekitar 350.000 tahun lalu. Pada zaman batu tersebut, manusia neander mengasah
sepotong batu api untuk digunakan dalam trephining atau pengangkatan sekeping jaringan
dengan alat seperti plong. Sampai pertengahan abad ke-19, instrumen yang dibuat hanya
sekitar 200 instrumen. Pada tahun 1900, teridentifikasi sekitar 1000 jenis instrumen.
Sedangkan saat ini, satu pabrik saja dapat memiliki lebih dari 4500 produk dalam satu
katalog dengan lebih dari 7500 instrumen (Gruendemann, 2006).
Dahulu, instrumen sudah dapat bertahan lama, tetapi masih terdapat masalah besar.
Terjadi penumpukan kotoran di sambungan/sendi instrumen, sehingga pernbersihan dan
sterilisasi instrumen sulit dilakukan. Instrumen harus dibuat menjadi dua bagian sehingga
instrumen tersebut dapat dipisahkan, sehingga membutuhkan adanya penghubung atau kunci
yang andal antara kedua bagian tersebut. Setelah beberapa kali melakukan perubahan
rancangan dan beberapa paten, akhirnya kunci Aesculap yang menjadi kunci aseptik pilihan
bagi para ahli bedah. Kunci yang dipatenkan di Jerman ini memudahkan penguraian dan
pembersihan instrumen yang terdiri atas dua bagian. Kedua bagian tersebut disterilisasi dan
disatukan kembali sebelum prosedur pembedahan. Dengan ditemukannya mesin pembuat
kunci Aesculap pada tahun 1900, jumlah instrumen yang dapat ditempa dalam sehari
melonjak dari 60-75 instrumen/hari menjadi 1500 instrumen/hari (Gruendemann, 2006).
Perang Dunia 11 memicu terjadinya kemajuan besar dalam bidang instrumentasi
pembedahan. Komposisi baja karbon kemudian dikalahkan oleh stainless steel (baja
antikarat) yang dikembangkan di Jerman. Stainless steel adalah suatu campuran logam yang
terdiri atas besi, karbon, dan kromium. Kromium membuat campuran tersebut mejadi tahan
terhadap panas dan karat, sedangkan karbon menentukan tingkat kekerasan di bagian –
bagian tepi yang tajam.
PERSPEKTIF HISTORIS KEPERAWATANT PERIOPERATIF
Sebelum pertengahan 1840-an, perawat biasanya tidak berada di dalam kamar operasi.
Asisten, biasanya laki-laki yang kuat, ada untuk menahan pasien selama prosedur operasi
yang menyakitkan. Peran perawat selama fase praoperatif tercatat dalam sejarah Nightingale
selarna perang Crimean. Perawat berperan untuk menenangkan, mendukung, dan membantu
pasien dalam mengambil keputusan terkait operasi (Rothrock, 2000). Pada kondisi tersebut,
Florence Nightingale meletakkan pondasi keperawatan seperti yang kita ketahui saat ini.
Bukunya, Notes of Nursing, digunakan di Sekolah Keperawatan Nightingale dan beberapa
sekolah yang didirikan oleh perawat yang pernah belajar di sana. Keberhasilan utama
Florence Nightingale selama perang Crimean adalah penurunan tajam angka kematian akibat
terluka, dari 42% menjadi 2,2%, karena dilakukannya pengenalan tentang tindakan sanitasi
(Donahue, 1985; dikutip Gruendemann, 2006).
Sebelum rumah sakit digunakan secara rutin untuk operasi, pembedahan dilakukan di
rumah pasien. Sebelum operasi dimulai, seorang asisten dokter bedah atau perawat
menyiapkan ruangan untuk operasi. Biasanya ruangan yang digunakan adalah dapur.
Perabotan rumah digeser, meja disiapkan, ruangan dan perabot dicuci, dan dinding ditutup
dengan kertas.
Di akhir tahun 1800-an, ketika fenol hasil temuan Lister mulai digunakan sebagai agen
antiseptik di kamar operasi, maka peran penting perawat di kamar operasi mulai tumbuh.
Banyak hal yang dikerjakan perawat di kamar operasi, mulai dari menyiapkan lingkungan
fisik untuk operasi, sampai melatih mahasiswa keperawatan sedang rotasi di kamar operasi
dengan keahlian-keahlian khusus. Perawat diharapkan dapat menebak dan memenuhi semua
yang diminta ahli bedah. Sebagian besar waktu perawat dibagian kamar operasi saat itu
dihabiskan untuk aktivitas perawatan pasien secara tidak langsung. Sanitasi kamar operasi
scrta persiapan perlengkapan dan peralatan menjadi tanggung jawab utama perawat. Jadi,
perawat ditugaskan untuk mempertahankan suhu dan menjaga kamar operasi agar tetap segar.
Persiapan spons, yang umumnya spons laut, dilakukan selama 2 hari. Diperlukan usaha
yang keras untuk membersihkan spons tersebut dari pasir, kemudian merendam dan
membilasnya dengan larutan khusus sebelum spons-spons tersebut siap digunakan. Sudah
menjadi kebiasaan bagi kepala perawat untuk mencuci dan menyerahkan sponsspons tersebut
pada ahli-bedah, sehingga perawat tersebut dinamakan perawat spons. Asisten bertugas
menangani, merawat, dan membersihkan instrumen dari bedak. Karena sterilisasi pindah dari
atas kompor, perawat kamar operasi memikul tanggung jawab melaksanakan teknik aseptik.
Persiapan benang operasi memerlukan waktu beberapa hari untuk merendam, memotong
menjadi panjang tertentu, meregangkan, merendam kembali, membungkus, memberi label,
dan memanaskan. Sutra direbus selama 2 jam (Rothrock, 2000).
Dengan kemajuan teknik antiseptik dan tindakan aseptik, pembedahan kini menjadi
terapi pilihan pada berbagai kondisi. Berkembangnya gas anatesi yang lebih aman
memudahkan ahli bedah untuk melakukan prosedur pembedahan dalam waktu yang lebih
lama, sehingga memberikan kesempatan bagi perawat untuk membantu proses pembedahan
secara keseluruhan proses pembedahan memberikan implikasi pada institusi untuk memakai
perawat kamar bedah yang terampil guna mendukung ahli bedah saat melakukan operasi.
Pada tahun 1889, Universitas Johns Hopkins menjadikan keperawatan kamar bedah sebagai
salah satu area spesialisasi di sekolah mereka. Pendidikan kamar bedah dimulai di Sekolah
Pelatihan Boston, kemudian dilanjutkan Sekolah Pelatihan Perawat di Massachusetts General
Hospital. Saat itu, siswa diberi "tanggung jawab" untuk membersihkan dan mensterilkan
instrumen untuk pembedahan pada hari Sabtu. Massachusetts General Hospital juga
merupakan tempat di mana eter pertama kali diterapkan secara klinis. Eter digunakan untuk
menghilangkan sensasi pasien terhadap nyeri dan untuk prosedur pembedahan yang lebih
panjang dan rumit (Gruendemann, 2.006)
Asosiasi perawat ruang operasi (The Association of Operating Room Nurses/ AORN)
berdiri dengan tujuan untuk memperolch pengetahuan tentang prinsip-prinsip bedah dan
mengeksplorasi metode untuk meningkatkan asuhan keperawatan bagi pasien bedah. Asosiasi
ini menghadapi banyak tantangan, termasuk pendapat bahwa perawat ruang operasi hanya
menjadi pelaksana teknik yang terampil. Organisasi tersebut mengembangkan standar praktik
keperawatan perlu adanya perawat ahli yang terdaftar (registered nurses) untuk ruang operasi
(Potter, 2006).
Di Indonesia, organisasi yang menaungi peran perawat perioperatif adalah Himpunan
Perawat Kamar Bedah Indonesia (HIPKABI) yang merupakan salah satu organisasi-di bawah
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi HIPKABI ini bertujuan untuk
meningkatkan profesionalisme perawat kamar bedah dengan menyusun standar kompetensi
perawat kamar bedah. Sclain itu juga bertujuan meningkatkan persatuan dan profesionalisme
perawat bedah Indonesia.
Pada Rakernas HIPKABI tahun 2007, tersusunlah 19 Standar Kompetensi Perawat
Kamar Bedah Indonesia yang ditujukan bagi terselenggaranya pelayanan keperawatan
bermutu yang dilaksanakan oleh tenaga keperawatan yang sesuai dengan tingkat
kompetensinya. Walaupun pada pelaksanaannya akreditasi terhadap kompetensi serta
pengakuan sertifikasi yang dimiliki perawat kamar bedah belum diatur dalam suatu sistem
yang baku (HIPKABI, 2007), tetapi ini merupakan terobosan awal yang sangat penting dalam
menghimpun dan mengorientasikan visi perawat kamar bedah di kemudian hari.

KLASIFIKASI PEMBEDAHAN

Sebagai modalitas bagi perawat perioperatif, pengetahuan tentang klasifikasi


pembedahan dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam perencanaan manaienlen kamar
operasi. Jenis prosedur pembeclahan diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat keseriusan,
kegawatan, dan tujuan pembedahan (Tabel 1-1). Sebuah prosedur mungkin memiliki lebili
dari satu klasifikasi. Misalnya, pembedahan untuk mengangkat jaringan parut yang
bentuknya tak beraturan termasuk pembedahan dengan tingkat keseriusan yang rendah,
elektif secara kegawatan, dan bertujuan Lintuk rekonstruksi.
Pada pelaksanaannya, klasifikasi penibeclahan ini sering kali tumpang tindih. Prosedur
yang gawat juga dianggap mcmiliki tingkat keseriusan mayor. Lainnya tindakan bedah yang
dilakukan pada pasien berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda pula. Misalnya,
gasterektomi dilakukan sebagai prosedur kedaruratan untuk mereseksi perdarahan ulkus atau
dilakukan sebAgai prosedur kegawatan jika untuk mengangkat jaringan yang terkena kanker.
Klasifikasi dapat memberikan indikasi pada perawat tentang tingkat asuhan keperawatan
yang diperlukan pasien.
Tabel 1-1. Klasifikasi Pembelajaran
Klasifikasi Jenis Pengertian Contoh
Melibatkan
rekonstruksi atau
Bypass arteri
perubahan yang luas
koroner, reseksi
Keseriusan Mayor pada bagian tubuh,
kolon,
memberikan dampak
reseksi lobus paru.
resiko yang tinggi
pada kesehatan
Melibatkan
perubahan kecil pada
bagian tubuh,sering
dilakukan untuk
memperbaiki Ekstraksi katarak,
Minor deformitas,dan graft kulit, operasi
dengan risiko yang Plastik
lebih kecil daripada
bedah
mayor.

Rekonstruksi
Pembedahan
payudata atau
dilakukan
vagina, pasien,
Urgensi Elektif berdasarkan pilihan
tidak penting dan
bedah plastik pada
tidak dibutuhkan
wajah. kesehatan
untuk
Pembedahan perlu
Eksisi tumor ganas,
untuk kesehatan atau
pengangkatan batu
Gawat mencegah timbulnya
kandung empedu.
masalah tambahan
pasien
pada
Pembedahan harus Perforasi apendiks,
Darurat
segera dilakukan amputasi traum.tik,
untuk menyelamatkan mengontrol
jiwa atau perdarahan. fungsi
mempertahankan organ.

Pembedahan untuk
Biopsi massa
Tujuan Diagnostik pemeriksaan lebih
tumor.
lanjut.
Amputasi,
Pengangkatan bagian pengangkatan
Ablatif tubuh yang apendiks. masalah
mengalami atau penyakit.

Menghilangkan atau
Kolostomi,
mengurangi gejala
Paliatif debridemen
penyakit, telapi tidak
jaringan nekrotik
menyembuhkannya.
Mengembalikan
Fungsi atau Fiksasi eksterna
Rekontruktif Penampilan jaringan fraktur, perbaikan
yang mengalami jaringan parut
malfungsi atau trauma
Cangkok
Mengganti Organ
(transplantasi0
Transplantasi atau strukur yang
ginjal, total hip
mengalami malfungi
replacemant
Mengembalikan
Bibir Sumbing ,
fungsi yang hilang
Konstruksi Penutupan defek
akibat anomalia
katup jantung
kongential
BAB 2
Modalitas Manajemen Keperawatan perioperatif

PERAN PERAWAT DI KAMAR OPERASI

Peran perawat perioperatif tampak meluas, mulai dari praoperatif, intra operatif, sampai ke
perawatan pasien pascaanestesi. Peran perawat di kamar operasi (di Indonesia dikenal dengan
sebutan OK) berdasarkan fungsi dan tugasnya terbagi tiga, yaitu perawat administratif,
perawat pada pernbedahan, dan perawat-pada anestesi.

Gambar 2-1. Faktor-fAtor yang memengaruhi peran perawat perioperatif

Pada praktiknya, peran perawat perioperatif dipengaruhi berbagai faktor, yaitu sebagai
berikut.
 Lama pengalaman
Lamanya pengalaman bertugas di kamar operasi, terutama pada kamar pembedahan
khusus, seperti sebagai perawat instrumen di kamar bedah saraf, onkologi, ginekologi,
dan lain-lain akan memberikan dampak yang besar terhadap peran perawat dalam
menentukan hasil akhir pembe.dahan.

 Kekuatan dan ketahanan fisik


Beberapa jenis pembedahan, seperti bedah saraf, toraks, kardiovaskular, atau spina
memerlukan waktu operasi vang panjang. Pada kondisi tersebut, perawat insirurnen
harus berdiri dalam waktu lama dan dibutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Oleh
karena itu, agar dapat mengikuti jalannya pembedahan secara optimal, dibutuhkan
kekuatan dan ketahanan fisik yang baik.

 Keterampilan
Keterampilan terdiri atas keterampilan psikomotor, manual dan interpersonal yang kuat,
Agar dapat mengikuti setiap jenis pembedahan yang berbeda beda. Perawat instrument
di harapkan mampu untuk mengintegrasikan antara keterampilan yang dimiliki dengan
keinginan dari operator bedah pada setiap tindakan yang dilakukan dokter bedah dan
asisten bedah. Hal ini akan memberikan tantangan tersendiri pada perawat untuk
mengembangkan keterampilan psikomotor,mereka agar bisa mengikuti jalannya
pernbedahan.

Keterampilan psikomotor dan manual dapat dioptimalkan dengan mengikuti pelatihan


perawat instrumen yang tersertifikasi serta diakui oleh profesi.

 Sikap profesional
Pada kondisi pembedahan dengan tingkat kerumitan yang tinggi, timbul
kemungkinan perawat melakukar kesalahan saat menjalankan perannya. Olch karena
itu, perawat harus bersikap profesional dan mau tnenerima teguran. Pada konsep tim
yang digunakan dalam proses pembedalian, setiap peran cliharapkan dapat berjalan
secara optimal. Kesalahan yang dilakukan oleh salah• satu peran akan berdampak
pada keseluruhan proses dan hasil pembedahan.

 Pengetahuan yaitu pengetahuan tentang prosedur tetap yang digunakan institusi.


Perawat metiyesuaikan peran yang akan dijalankan dengan kebijakan di mana perawat
tersebut bckerja. Pengetahuan yang optimal tentang prosedur tetap yang berlaku akan
memberikan arah pada'peran yang akan dilaksanakan.

PERAN PERAWAT ADMINISTRATIF

Perawat administratif berperan dalam pengaturan manajemen penunjang


pelaksanaan pembedahan. Biasanya terdiri dari perencanaan dan pengaturan staf,
kolaborasi penjadwalan pasien bedah, perencanaan manajemen material, dan
manajemen kinerja.

Melihat begitu besarnya beban seorang perawat administratif pada kamar


operasi, maka diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan manajemen dan
perencanaan yang optimal. Beberapa institusi memberikan peran perawat
administratif pada perawat •ang paling senior dan mempunyai kemampuan dalam
memimpin perawat lainnya. Perawat administratif tidak terlibat secara teknis dalam
pelaksanaan pembedahan, tetapi lebill menifokuskan pada perencanaan penunjang
pembedahan.

Perencanaan dan Pengaturan Staf

Pengaturan dan penjadwalan staf adalah tanggung jawab manajemen yang


dipercayakan dan diberikan kepada perawat administratif. Dalam upaya memenuhi
standar ini, staf yang melakukan tanggung jawab administratif ini harus memahaini
cara untuk mengembangkan standar pengaturan dan penjadwalan staf.

Pengaturan dan penjadwalan adalah kata yang sering di gunakan. Meskipun


pada kenyataannya dua kata ini mewakili dua proses penting dan berbeda. Tetapi
keduanya dapat membantu manajer perawat dalam merencanakan.

dalam merencanakan pengaturan staf, yaitu : ( 1) mengidentifikasi jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, (2) mengidentifikasi jumlah staf yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan
tersebut, (3) mengidentifikasi tipe pekerja yang diperlukan untuk pekerjaan tersebut, dan (4)
mengembangkan pola pengaturan urauk penjadwalan staf. Sedangkan dalarn melakukan
penjadwalan meliputi pengembangan kebijakan penjadwalan dan pengembangan jadwal
kerja untuk staf.

Identifikasi Jenis Pekerjaan


Di kamar operasi, staf keperawatan dibagi menjadi staf perawatan langsung dan staf
perawatan tidak langsung. Staf perawatan langsung terdiri dari perawat scrub, perawat
sirkulasi (unloop), perawat anestesi, dan perawat asisten operasi (pada kondis: pembedahan
di Indonesia, pelaksanaan operasi biasanya menggunakan perawat sebagai asisten operasi
[first assistance] sehingga perlu diperhitungkan dalam identifikasi jenis pekerjaan). Staf
perawatan tidak langsung tidak memberikan asuhan langsung kepada pasien. Scmua
personel tambahan yang diperlukan untuk mendukung ruang operasi, seperti sekretaris,
teknisi instrumen, personel pelayanan lingkungan, personel transpor, personel keuangan, dan
perawat administratif dipertimbangkan juga sebagai pcniberi perawatan fidak langsung.
Perencanaan junflah staf perawatan langsung atau tidak langsung disesuaikan berdasarkan
kebutuhan dari jumlah ruang operasi yang tersedia setiap jam per hari dan disesuaikan
dengan kebijakan pada setiap institusi:

Penjadwalan Staf
Kebijakan penjadwalan menjadi kerangka kerja untuk rnengembangkan jadwal kerja staf
yang dilakukan secara adil dan konsisten, dalam kaitannya dengan pedoman penjadwalan
yang jelas. Kebijakan rumah sakit yang ada sangat penting untuk diketahui, misalnya:
perjanjian tawar-menawar kolektif. Kebijakan harus mencakup tanggung jawab staf untuk
bekerja pada akhir minggu, merotasi shift (malam dan sore), memenuhi panggilan, bekerja
pada hari libur, dan bekerja rengah malam.
Kebijakan juga harus meliputi penetapan waktu libur dan mengidentifikasi rasio staf
perawatan langsung seperti perawat scrub, perawat asisten operasi, dan perawat anestesi per
shift. Kebijakan tentang libur harus mencakup proses perizinan, persyaratan izin liburan, dan
jumlah orang yang diizinkan libur setiap hari.

Penjadwalan Pasien Bedah

Penjadwalan pasien bedah dilakukan oleh perawat administratif (yang pada beberapa institusi
rumah sakit dilakukan olch Supervisor Keperawatan) berkolaborasi dengan dokter bedah
pada setiap kamar bedah yang tersedia peran perawat supervisor / administratif dalam
mengatur jadwal pasien bedah bertujuan untuk menjaga kondisi para perawat periopratif di
kamar bedah.

Kolaborasi dilakukan dengan menghitung jenis dan lamanya pembedahan. Sebagai contoh,
pada kamar bedah ortopedi yang akan d rencanakan pembedahan sepina biasanya akan di
gabung dengan pengangkatan plate dan screw agar penggunaan kamar dan lama pembedahan
tidak melewati shift jaga berikutnya.,
Manajemen Material dan Inventaris
Manajemen Material dan Inventaris
Perawat administratif yang melakukan perencanaan dan kontrol terhadap
inventaris dan material biasanya adalah Kepala Perawat di ruang operasi yang
dibantu oleh staf nonperawat. Karena memiliki posisi strategis untuk membantu
mengefisienkan manajemen materi, perawat administratif harus mempunyai
wawasan tentang sumber dan macam-macam suplai, waktu pemesanan dan
penerimaan suplai, dan biaya yang berkaitan dengan pembelian, penyimpanan, dan
keusangan. Perawat memahami arti dari persediaan suplai atau inventaris yang
cukup, tetapi juga harus mengerti konsekuensi dari penimbunan suplai/inventaris
yang mahal dan terlalu banyak.
Barang inventaris yang berada di gudzng kamar operasi, seperti kereta lemari,
tempat penyimpanan kereta, tempat penyimpanan barang-barang khusus di kamar
operasi, dan kabinet di masing-masing kamar operasi. Persediaan tersebut dapat
berupa peralatan medis dan bedah, barang steril dan nonsteril, obat-obatan, baki
untuk instrumen, atau barang lain yang digunakan di kamar operasi. Inventaris
biasanya selalu mengacu pada barang medis dan bedah yang sebagian besar
bersifat habis pakai.
Fungsi kontrol terhadap material dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
rasa percaya antar-staf. Di satu sisi, persediaan harus memadai jika sewaktu-waktu
diperlukan; sedangkan di sisi lain, perawat percaya bahwa menumpuk suplai tidak
akan memberikan apa yang mereka butuhkan.

Pengaturan Kinerja
Pengaturan kinerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh perawat
administratif Kepala Ruangan dengan cara yang sistematis agar staf dapat
mencapai tujuan penyelesaian tugas secara optimal. Metode sistematis digunakan
mulai dari merencanakan dan menetapkan tujuan pada setiap staf, implementasi,
penilaian kinerja staf, dan mencermati hasil.

Perencanaan kegiatan sistematis dilaksanakan secara individual terhadap


seluruh staf, misalnya pengaturan staf baru dengan metode orientasi dasar,
bimbingan kompetensi kamar operasi, dan pengenalan alat canggih. Implementasi
kegiatan dapat berupa umpan balik terhadap hasil yang sudah terlaksana pada setiap
staf, contohnya: instrumentator bedah spina yang berdedikasi dalam pekerjaannya
dapat dijadikan koordinator pada kamar bedah spina. Penilaian kinerja staf dan
mencermati hasil disesuaikan dengan kebijakan institusi. Apabila institusi sudah
menerapkan sistem remunerasi yang baik, maka akan berdampak terhadap
peningkatan finansial bagi perawat yang memiliki kinerja optimal. Sistem
remunerasi merupakan istilah baku dalam penilaian kinerja dengan konsekuensi
pembagian jasa individu. Perawat administratif kepala ruangan mempunyai peran
yang besar dalam menentukan nilai dari seberapa jauh peran pada setiap staf untuk
perhitungan remunerasi yang memberikan implikasi kepada peningkatan kinerja.
Dalam melakukan penilaian remunerasi, perawat administratif harus
menyosialisaikan format penilaian kinerja pada seluruh staf dan melakukan
penilaian seobjektif mungkin agar tidak ada perasaaan sakit hati antara staf.

PERAN PERANVAT INSTRUMEN


Perawat pada pembedahan terdiri dari perawat scrub dan perawat sirkulasi. Kedua
peran perawat pada pembedahan ini sangat memengaruhi hasil pembedahan, karena
mereka terlibat secara langsung pada suatu proses pembedahan.
Perawat scrub atau yang di Indonesia dikenal sebagai perdwat instrumen
memiliki tanggung jawab terhadap manajemen instrumen operasi pada setiap jenis
pembedahan. Secara spesifik, peran dan tanggung jawab dari perawat instrumen
adalah sebagai berikut.
 Perawat instrumen menjaga kelengkapan alat instrumen steril yang sesuai
dengan jenis operasi.
 Perawat instrumen harus selalu mengawasi teknik aseptik dan memberikan
instrumen kepada ahli bedah sesuai kebutuhan dan menerimanya kembali.
 Perawat instrumen harus terbiasa dengan anatorni dasar dan teknik-teknik
bedah yang sedang dikerjakan.
 Perawat instrumen harus secara terus-menerus mengawasi prosedur untuk
mengantisipasi segala kejadian.
 Melakukan manajemen sirkulasi dan suplai alat instrumen operasi. Mengatur
alat-alat yang akan dan telah digunakan. Pada kondisi ini perawat instrumen
harus benar-benar mengetahui dan mengenal setiap instrumen yang digunakan
beserta nama ilmiah dan nama biasanya, dan mengetahui penggunaan
instrumen pada prosedur spesifik (lihat modalitas perawat instrumen).

Gambar 2-2. Peran perawat inslrumen dalam manajemen sirkulaasi dan suplai alat instrumen
operasi: pengaturan alat-alat yang akan dan telah digunakan. Pada kondisi perawat instrument
harus benar benar benar mengetahui setiap instrument yang di gunakan, beserta nama ilmiah
dan nama biasanya dan mengetahui kegunaan fungsional setiap instrument pada prosedur
edah spesifik.
.
 Perawat instrumen harus mempertahankan integritas lapangan steril selama
pembedahan.
 Dalam menangani instrumen, perawat instrumen harus mengawasi sernua aturan
keamanan yang terkait. Benda-benda tajam, terutama skalpel, harus diletakkan di
meja belakang untuk menghindari kecelakaan. Benda-benda tajam harus diserahkan
dengan cara yang benar sesuai kewaspadaan universal.
 Perawat instrumen harus memelihara peralatan dan menghindari kesalahan
pemakaiannya.
 Perawat instrumen bertanggung jawab untuk mengomunikasikan kepada tim bedah
mengenai setiap pelanggaran teknik aseptik atau kontaminasi yang terjadi selarna
pembedahan.
 Menghitung kasa, jarum, dan instrumen. Penghitungan dilakukan sebelum
pembedahan dimulai dan sebelum ahli bedah menutup luka operasi.

MODALITAS PERAWAT INSTRUMEN

Setiap perawat instrumen biasanya mengikuti pelatihan perawat instrumen


khusus pada setiap jenis pembedahan. Hal ini dilakukan agar setiap perawat
instrumen dapat seimbang pengetahuan dan keterampilannya sehingga dapat
berperan secara optimal. Peran perawat instrumen sangat mendukung optimalisasi
hasil pembedahan, kolaborasi dengan ahli bedah, dan menghindari risiko infeksi
dengan menjalankan program pengendalian infeksi nosokomial. Karena sangat
pentingnya peran perawat instrumen, inaka diperlukan pengetahuan manajemen
kamar operasi serta keterampilan dan jam terbang yang lama tentang teknik
pembedahan agar mampu berkolaborasi dengan ahli bedah untuk menyelesaikan
operasi dan menurunkan dampak dari risiko operasi.
Ada beberapa modalitas dan konsep pengetahuan yang diperlukan perawat
instrumen dalam mempersiapkan instrumen bedah, yaitu: bahan jahitan, jarum jahit
bedah, persiapan bahan insisi, teknik penyerahan alat, fungsi instrumen, dan
perlakuan jaringan.

Bahan Jahit
Jenis Benang Jahit
Pada proses pembedahan, persiapan jenis benang jahit ditentukan oleh beberapa
hal, meliputi: jenis bahannya, kemampuan tubuh untuk menyerapnya, dan susunan
filamen/ benang.
Jenis benang yang saat ini banyak dipakai adalah benang yang dapat diserap
melalui reaksi enzimatik pada cairan tubuh. Penyerapan benang oleh jaringan
dapat berlangsung antara tiga hari sampai dengan tiga bulan, tergantung pada jenis
benang (Ian kondisi jaringan yang dijahit.
Menurut bahan asalnya, benang dibagi dalarn beberapa jenis. Benang yang
terbuat dari usus domba yang disebut catgut (walaupun jika diartikan menjadi
usus kucing). Catgut dibedakan dalam catgut murni (tanpa campuran) dan catgut
kromik (bahannyabercampur larutan asam kromat). Catgut murni dapat diserap
dengan cepat, kira-kira' dalam waktu satu minggu. Sedangkan catgut kromik
diserap lebih lama, kira-kira 2-3 minggu (Sjamsuhidayat, 2005).

Di samping itu, ada benang yang terbuat dari bahan sintetik, baik dari asam
poliglikolik maupun dari poliglaktin-910 yang tidak aktif dan memiliki daya
tegang yang besar. Benang ini dapat dipakai pada semua jaringan, termasuk
kulit. Benang yang dapat discrap menimbulkan reaksi jaringan setempat Yang
dApat menyebabkan fistel benang atau infiltrat jaringan yang mungkin bertanda
indurasi (keras).
Benang yang tidak dapat diserap oleh tubuh terbuat dari bahan yang
umumnya tidak menimbulkan reaksi jaringan karena bukan merupakan bahan
biologik. Benang ini bias berasal dari bermacam-macam bahan, misalnya: zide
yang berasal dari sutera yang sangat kuat dan liat, ada yang terbuat dari kapas
yang kurang kuat dan mudah terurai, dan juga dari poliester yang merupakan
bahan sintetik kuat dan biasanya dilapisi teflon. Selain itu, terdapat juga benang
nilon yang berdaya tegang besar, dibuat dari polipropilen yang terdiri alas bahan
yang sangat kaku, dan baja tahan karat. Karena tidak dapat diserap, maka benang
ini akan tetap berada di jaringan tubuh. Benang jenis ini biasanya dipakai pada
jaringan yang sukar sembuh. Bila terjadi infeksi, maka akan terbentuk fistel yang
baru dapat sembuh setelah benang yang bersifat benda asing itu dikeluarkan
(Sjamsuhidayat, 2005).
Benang alarm terbuk dari bahan sutera atau kapas. Kedua bahan alarm ini
dapat bereaksi dengan jaringan tubuh secara minimal karena mengandung juga
bahan kimia
Tabel 2-1. Diameter, ukuran, dan jenis benang
Satuan Eropa Satuan Lokasi Penjahitan Jenis Benang Ukuran
Garis Tengah Catgut Benang Metrik
0,01- 11,0 0,1 Fasia Semua 2,0-1
0,019
0,02- 10,0 0,2 Otot Semua 3,0-0
0,029
0,03- 9,0 0,3 Kulit Benang 2,0-6,0
0,039
0,04- 8,0 0,4 lemak Catgut 2,0-3,0
0,049
0,05- 8,0 7,0 0,5 Hepar Kromik catgut 2,0-0
0,059
0,07- 7,0 6,0 0,7 Ginjal Semua catgut 4,0
0,099
0,1-0,14 6,0 5,0 1 Pankreas Sutera, kapas 3,0
0,15-0,19 5,0 4,0 1,5 Usus halus Catgut, sutera, kapas 2,0-3,0
0,2-0,24 4,0 3,0 2 Usus besar Kromik catgut 4,0-0
0,25-0,29 3,0 2,0 2,5 Tendon Benang 5,0-30
0,3-0,39 2,0 0 3 Kapsul sendi Benang 3,0-20
0,4-0,49 0 1 4 Peritoneum Kromik catgut 3,0-20
0,5-0,59 1 2 5 Bedah mikro Benang 7,0-11,0
0,6-0,69 2 3 6
0,7-0,79 3 4 7
0,8-0,89 4 5 8
0,9-0,99 5 6 9

alarm. Daya tegangnya cukup kuat dan dapat diperkuat bila dibasahi dengan larutan
garam terlebih dahulu sebelum digunakan.
Benang sintetik terbuat dari poliester, nilon, atau polipropilen yang umumnya
dilapisi oleh bahan pelapis teflon atau dakron. Dengan lapisan ini, permukaannya
menjadi lebih mulus schingga tidak mudah bergulung atau terurai. Benang ini
inempunyai daya tegang yang besar dan dipakai untuk jaringan yang memerlukan
kekuatan penyatuan yang besar.
Berdasarkan bentuk untaian seratnya, benang terbagi atas monofilamen dan
polifilamen. Monofilamen adalah benang yang hanya terdiri atas satu serat, sedangkan
polifilamen terdiri atas banyak serat yang diuntai menjadi satu. Cara menguntainya
bias secara sejajar dibantu bahan pelapis atau diuntai bersilang sehingga
penampangnya lebih bulat, lebih lentur, dan tidak mudah bergulung (Sjamsuhidayat,
2005).
Benang baja dapat berbentuk monofilamen atau polifilamen, sering dipakai pada
sternum setelah torakotomi. Jika terkontaminasi, mudah terjadi infeksi.

Ukuran Benang

Ukuran benang dinyatakan dalam satuan baku Eropa atau satuan metrik. Ukuran
terkecil standar Eropa adalah 11,0 (=1 1 kali 0) dan terbesar adalah ukuran 7. Konversi
ke standar metrik dapat dilihat dari Tabel 2-1.
Pemilihan ukuran benang merupakan salah satu faktor yang menentukan kekuatan
jahitan. Oleh karena itu, perawat instrumen harus berkolaborasi dengan operator bedah
tentang ukuran yang akan digunakan. Biasanya pemilihan ukuran benang untuk
menjahit luka bedah bergantung pada jenis jaringan yang dijahit dan
mempertimbangkan segi kosmetik. Sedangkan kekuatan jahitan ini ditentukan oleh
jumlah jahitan yang dibuat, jarak jahitan, clan jenis benangnya. Pada daerah wajah
biasanya digunakan ukuran yang kecil (5,0-6,0) (Sjamsuhidayat, 2005).

Jarum Jahit Bedah Bentuk Jarum

Jarum jahit bedah, baik yang lurus maupun yang lengkung, berbeda-beda bentuknya.
Perbedaan bentuk ini terletak pada penampang batang jarum yang bulat atau bersegi
tajam dan bermata atau tidak bermata. Panjang jarum pun beragam, mulai dari 2-60
milimeter (Sjamsuhidayat, 2005).
Masing-masing bentuk jarum berbeda fungsi, cara mempersiapkan, dan cara
memasang benangnya. Kelengkungan jarum dibuat berbeda-beda untuk kedalaman
jaringan yang berbeda, sedangkan penampang batang jarum dipilih berdasarkan
tingkat kekerasan jaringan. jarum yang sangat lengkung digunakan pada luka yang
dalam, jarum dengan penampang bulat untuk jaringan yang lunak, sedangkan yang
bersegi digunakan untuk kulit. Jarum yang bermata akan membuat lubang tusukan
yang lebih besar, sedangkan jarum yang tidak bermata (atrauniatik) akan membuat
lubang yang lebih halus.

Gambar 2-3. Jenis dan ukuran jaruni jahit bedah. Kiri: Jenis jarum tanpa benang.
Kanan: Jarum Jengan kemasan lengkap, benang suJah terpasang pada jarum.

Persiapan Jarum
Benang yang sesuai dengan jenis atau area yang akan dijahit dipasangkan ke jarum
jahit bedah. Teknik pemasangan benang pada jarum adalah dengan memasukan
benang ke dalam mata perancis (Gambar 2-4). Pada kondisi di mana ahli bedah
menginginkan jenis benang dan jarurn yang sudah menjadi paket instrumen, maka
teknik persiapan jarum yang sudah terpasang benang lebih meftiudahkan perawat
instrumen dalam memasang ke naldpoeder (Garnbar 2-4).

Gambar 2-4. Kiri: Teknik pemasangan benang pada jaruin. Tengah dan Kanan: Persiapan
pemasangan jarum bedah yang sudah terpasang benang pada naldpoeder.
Sumber: Sjamstihidayat dan de J. (2005)

Persiapan Bahan Insisi


Persiapan Alat
Alat bedah yang digunakan untuk melakukan insisi terdiri dari pisau bedah dan skalpel
(Gambar 2-6)• Selain itu, untuk menembus jaringan yang kuat digunakan alat-alat
bedah listrik/hernostasis dan trokard (Gambar 2-77).

Gambar 2-6. Kiri: pisau bedali dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kanan: skalpel
atau penjepit pisau bedali.

Gambar 2-7. Kiri: pisau bedali listrik (beinostasis). Kanan: trokard, sebagai alat
insisi untuk membuat lubang pada rongga toraks.
Teknik Menyerahkan Alat
Teknik penyerahan alat dari perawat instrumen kepada operator bedah dilakukall
sedernikian rupa dan disesuaikan dengan kemahiran atau kebiasaan ahli bedah,
apakah dominan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri (Gambar 2-8).
Pengertian dan pernaharnan tentang apa yang dikehendaki ahli bedah hanya bisa
didapat apabila telah sering mengikuti pembedahan dengan ahli bedah tertentu.
Tujuan utama dari teknik penyerahan alat instrumen ini adalah untuk mempercepat
proses pembedahan.

Gambar 2-8.
Teknik penyerahan instrument dari perawat ke ahli bedah yang
dominan menggunakan tangan kanan.
Fungsi Instrumen
Mengenal fungsi dari setiap instrumen merupakan dasar dan tujuan utama scorang
perawat instrumen. Pada praktiknya, selain mengenal fungsi pada setiap instrumen,
perawat instrumen juga harus mengenal kebiasaan atau kesukaan ahli bedah pada setiap
jenis instrumen yang fungsinya sama. Sebagai contoh, ahli bedah lebih senang
menggunaan pinset cirrugis panjang dari pada jenis yang pendek.
Berikut adalah pengenalan dari fungsi setiap jenis instrumen yang paling lazim
digunakan pada setiap jenis pembedahan. Untuk beberapa alat khusus akan dijelaskan
pada bab berikutnya sesuai dengan jenis pembedahan.
 Forsep penjepit duk, berfungsi untuk menjepit atau mempertahankan duk pada area
bedah (Gambar 2-9 Kiri).
 Pinset atau forsep jaringan, berfungsi untuk mengangkat atau menjepit kulit pada
saat melakukan penjahitan (Gambar 2-9 Tengah).
 Gunting Metzenbaum bengkok 7 inci, gunting Metzenbaum 5 inci, gunting Mayo
bengkok, dan gunting Mayo lurus, mempunyai fungsi untuk memotong atau
membuka jaringan dan memotong benang jahitan (Gambar 2-9 Kanan).
 Pemegang jarum (naldpoeder), berfungsi untuk menjepit jarum jahit (Gambar 2-10
Kiri).
 Klem Kocher bengkok, berfungsi untuk menjepit jarum jahit (Gambar 2-10 Tengah).
 Klem lurus,. berfungsi saat tindakan hemostasis untuk menjepit arteri yang putus.
Keperluan jumlah klem atau forsep ini pada setiap pembedahan disesuaikan adanya
risiko kerusakan vaskular yang terjadi akibat trauma jaringan (Gambar 2-10 Kanan).
 Forsep Kokhel tang. Mempunyai fungsi untuk menjepit jaringan (Gambar 2-11
Kiri).
 Forsep pemegang spons• Mempunyai fungsi untuk menjepit spons pada saat
melakukan desinfeksi area bedah (Gambar 2-11 Tengah Kiri).
 Forsep Allis. Mempunyai fungsi untuk mengambil atau menahan jaringan (Gambar
2-11 Tengah Kanan).
 Klem atau forsep bengkok. Mempunyai fungsi untuk mcmepit arteri yang putus.
Keperluan jumlah klem ini pada setiap pembedahan disesuaikan adanya risiko
kerusakan vaskular yang terjadi akibat trauma jaringan (Gambar 2-11 Kanan).
 Berbagai jenis refraktor (Gambar 2-12).

Gambar 2-9. Kiri : Forsep penjepit duk. Tengah : Pinset atau forsep jaringan

Gambar 2-12. Berhagai refraktor. Kiri: Dari kiri ke kanan: pita hengkok (1), refraktor
Dea•er (2), refraktor RiAarJson (1), refraktor yang dapat menahan sendiri (1), dan
refraktor Kelly. Kanan: Atas: Ujung penghisap Yankauer (2); Bawah: Refraktor Senn
(2), refraktor USA (1), refraktor bergarpu empat (1), refraktor bergarpu enarn (2),
refraktor Lahey (2), refraktor Kelly (1), dan refraktor penggaruk (2).

Perlakuan Jaringan
Perawat instrurnep harus ruengetalmi perihal perlakuan jaringan pada pembedahan
agar bisa beradaptasi derigan operator dan asisten bedah saat melakukan operasi. Peran
perawat instrumen disesuaikan dengan kegiatan perlakuan jaringan yang dilakukan
ahli bedah, antara lain: desinfeksi area bedah, insisi bedah, perlakuan jaringan hedah,
pengisapin (stictioning), pengangbtan jaringan, penjahitan jaringan, dan penutupan
Luka bedah.
Perawat sirkulasi atau dikenal juga dengan sebutan perawat unloop, bertanggung
jawab menjamin terpenuhinya perlengkapan yang dibutuhkan oleh perawat instrument
dan mengobservasi pasien tanpa menimbulkan kontaminasi terhadap area steril.
Perawat sirkulasi adalah penghubung antara area steril dengan bagian ruang
operasi lainnya. Pendapat perawat sirkulasi sangat dibutuhkan dan sangat membantu
terutama dalam mengobservasi penyimpangan teknik aseptic selama pembedahan.
Peran perawat sirkulasi biasanya di pegang oleh perawat yang baru direkrut atau baru
bertugas di kamar operasi. Kondisi ini akan menimbulkan resiko kesalahan apabila
perawat administrative kamar operasi tidak melakukan bimbingan dan pengawasan
yang optimal.
Secara umum, peran dan tanggung jawab perawat sirkulasi adalah berikut :
 Menjemput pasien dari bagian penerimaan,mengidentifikasi pasien, dan
memeriksa formulir persetujuan.
 Mempersiapkan tempat operasi sesuai prosedur dan jenis pembedahan yang
akan dilaksanakan. Tim bedah harus di beri tahu jika terdapat kelainan kulit
yang mungkin dapat terjadi kontraindikasi pembedahan.
 Memeriksa kebersihan dan kerapian ruang operasi sebelum pembedahan.
Perawat sirkulasi juga harus memastikan bahwa peralatan telah siap dan dapat
digunakan. Semua peralatan harus dicoba sebelum prosedur pembedahan.
Apabila prosedur ini tidak dilaksanakan, maka dapat mengakibatkan
penundaan atau kesulitan dalam pembedahan.
 Membantu memindahkan pasien ke meja operasi,mengatur posisi
pasien,mengatur lampu operasi, dan memasang semua elktroda,monitor atau
alat lain yang mungkin diprlukan.
 Membantu tim bedah mengenakan busana (baju dan sarung tangan steril)
 Tetap di tempat selama prosedur pembedahan untuk mengawasi dan
membantu setiap kesulitan yang memerlukan bahan dari luar area steril.
 Berperan sebagai tangan kanan perawat instrument untuk
mengambil,membawa dan menyesuaikan segala sesuatu yang diperlukan oleh
perawat instrument. Selain itu juga ikut mengontrol keperluan
spons,instrument dan jarum.
 Membuka bungkusan sehingga perawat instrument dapat mengambil suplai
steril.
 Mempersiapkan catatan barang yang digunakan serta penyulit yang terjadi
selama pembedahan.
 Bersama dengan perawat instrument menghitung jarum,kasa, dan kompres
yang di gunakan selama pembedahan
 Apabila tidak dapat terdapat perawat anestesi,maka perawat sirkulasi
membantu ahli anestesi dalam melakukan induksi anestesi.
 Mengatur pengiriman specimen biopsy ke laburatorium
 Menyediakan suplai alat instrument dan alat tambahan
 Mengeluarkan semua benda yang sudah dipakai dari ruang operasi pada akhir
prosedur, memastikan bahwa semua tumpahan dibersihkan,dan
mempersiapkan ruang operasi untuk berikutnya
Gambar 2-13. Kiri : Perawat sirkulasi membantu ahli bedah atau perawat instrument dalam
mengenakan busana steril. Kanan : Peran perawat sirkulasi menjadi penghubung zona steril
dengan nonsteril. Perawat sirkulasi membantu membuka bungkusan spons pada saat
intraoperasi.

PERAN PERAWAT ANESTESI

Perawat anestesi adalah perawat dengan pendidikan khusus anestesi,diploma anestesi, atau D-
III Keperawatan yang mengikuti pelatihan asisten atau perawat anestesi selama satu tahun. Di
Indonesia,perawat anestesi lebih dikenal dengan sebutan piñata anestesi.

Peran utama seorang perawat anestesi pada tahap praoperatif adalah memastikan
identitas pasien yang akan dibius dan melakukan medikasi praanestesi. Kemudian pada tahap
intraoperatif bertanggung jawab terhadap manajemen pasien, instrument dan obat bius, serta
membantu dokter anestesi dalam proses pembiusan sampai pasien sadar penuh setelah
operasi.

Pada pelaksanaannya saat ini, perawat anestesi berperan pada hampir seluruh
pembiusan umum. Walaupun masih dalam ruang lingkup tanggung jawab dokter anestesi,
tetapi perawat anestesi dapat melakukan tindakan prainduksi,pembiusan umum,dan sampai
pasien sadar penuh di ruang pemulihan.

Peran dan tanggung jawab perawat anestesi secara spesifik antara lain sebagai berikut.

 Menerima pasien dan memastikan bahwa semua pemeriksa telah dilaksanakan sesuai
peraturan institusi.
 Melakukan pendekatan holistic dan menjelaskan perihal tindakan prainduksi
 Manajemen sirkulasi dan suplai alat serta obat anestesi
 Pengaturan alat – alat pembiusan yang telah digunakan
 Memeriksa semua peralatan anestesi (mesin anestesi,monitor, dan lainnya) sebelum
memulai proses operasi.
 Mempersiapkan jalur intravena dan arteri ; menyiapkan pasokan obat anestesi spuit,
dan jarum yang akan digunakan; dan secara umum bertugas sebagai tangan kanan ahli
anestesi, terutama selama induksi dan ekstubasi.
 Membantu perawat sirkulasi memindahkan pasien serta menempatkan tim bedah
setelah pasien di tutup duk dan sesudah operasi berjalan.
 Berada di sisi pasien selama pembedahan,mengobservasi,serta mencatat status tanda-
tanda vital pasien,obat-obatan,oksigen,cairan,transfusi darah,status sirkulasi,dan
merespon tanda komplikasi dari operator bedah.
 Meberikan segala sesuatu yang di butuhkan ahli anestesi untuk melakukan suatu
prosedur (misalnya : anestesi local,umum,atau regional )
 Member informasi dan bantuan pada ahli anestesi setiap terjadi perubahan status
tanda-tanda vital pasien atau penyulit yang mungkin menggangu perkembangan
kondisi pasien.
 Menerima dan mengirim pasien baru untuk masuk ke kamar prainduksi dan menerima
pasien di ruang pemulihan (recorvery room)

Gambar 2-14 : Penata anestesi menjaga efektivitas jalan napas. Perawat di sebelah kanan
bersiap dengan memberikan obat intravena, sedangkan yang disebelah kiri mempersiapkan
peralatan yang diperluukan dokter anestesi.

PERAN PERAWAT RUANG PEMULIHAN

Perawat ruang pemulihan adalah perawat anestesi yang menjaga kondisi pasien
sampai sadar penuh agar bisa dikirim kembali ke ruang rawat inap.

Tanggung jawab perawat ruang pemulihan sangat banyak karena kondisi pasien dapat
memburuk dengan cepat pada fase ini. Dengan demikian, perawat yang bekerja di ruangan ini
harus siap dan mampu mengatasi setiap keadaan darurat. Walaupun pasien diruang
pemulihan merupakan tanggung jawab ahli anestesi, tetapiu ahli anestesi mengandalkan
keahlian perawat untuk memantau dan merawat pasien sampai benar benar sadar dan mampu
dipindahkan ke ruang rawat inap. Biasanya perawat menghubungi ahli anestesi hanya jika
keadaan pasien memburuk.
Gambar 2-15. Perawat ruang pemulihan berperan dalam memonitor setiap perubahan yang
terjadi pascaanestesi.

MANAJEMEN LINGKUNGAN BEDAH

Manajemen lingkungan bedah merupakan suatu prosedur penatalaksanaan pekerjaan yang


menunjang kegiatan dalam kamar operasi dan perlu diperhatikan oleh perawat perioperatif.
Kualitas manajemen lingkungan bedah akan memengaruhi hasil akhir pembedahan.

Ada berbagai hal yang memengaruhi lingkungan bedah, antara lain manajemen
asepsis,manajemen sterilisasi dan desinfeksi instrument, manajemen keamanan,pengendalian
lingkungan,dan konsep manajemen alat bedah listrik dan laser.

Manajemen Asepsis

Asepsi merupsksn prinsip bedah untuk mempertahankan keadaan bebas


kuman asepsi merupakan syarat mutlak dalam tindakan bedah. Antisepsos adalah
cara dan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu keadaan bebas kuman.
Tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya infeksi dengan cara membunuh kuman
patogenik. Obat obat antiseptic, misalnya lisol atau kreolin, adalah zat kimia yang
dapat membunuh kumat penyakit.

Kuman –kuman penyebab sepsis yang paling banyak di jumpai dalam


pembedahan adalah berbagai jenis Staphylococcus . yang paling terkenal ialah
Staphylococcus aureus, yang hidup secara komensal di kulit, dan dapat bertahan
hidup lama di lingkungan kering. Selain itu juga ada bakteri yang berasal dari usus.
Salah satunya adalah Escherichia coli yang hidup di usus besar,mudah keluar, dan
tinggal komensal di daerah perineum.

Sepanjang fase pembedahan, prioritas utama bagi semua tenaga kesehatan


adalah mencegah terjadinya komplikasi pada pasien, termasuk melindungi pasien dari
infeksi. Peluang terjadinya infeksi akan menurun tajam seiring dengan kepatuhan
yang ketat terhadap prinsip asepsi selama fase pra,intra, dan pascaoperatif.

Manajemen asepsi selalu berhubungan dengan pembedahan dan perawatan


perioperatif. Dalam melakukan manajemen asepsis perioperatif, perawatan harus
mengenal berbagai factor yang peenting diketahui dan dilaksanakan,meliputi : konsep
infeksi nosokomial,kewaspadaan universal (universal precautions) , prinsip teknik
aseptic atau pelaksanaan scrubbing, pemakaian baju bedah,pemakaian sarung
tangan,persiapan kulit, dan pemasangan duk.

Konsep Infeksi Nosokomial


Lingkungan bedah terus berkembang dari lingkungan antiseptic menjadi
lingkungan aseptic. Ruang operasi telah dibuat menjadi steril dengan mengurangi
populasi mikroorganisme sampai tingkat minimum absolute. Populasi mikrobia
dibatasi dengan penggunaan sawar,serta dihambat , atau dibunuh dengan bahan kimia
dan metode lain. Apabila sawar tersebut rusak, maka mikroba memiliki akses untuk
menimbulkan infeksi,baik pada pasien maupun petugas bedah (sjamsuhidayat,2005)

Infeksi nosokomial, tidak seperti infeksi jenis lain, diperoleh sewaktu pasien
berada di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lain, dan tidak sedang dalam
masa inkubasi penyakit (gruendeman, 2006). Ruang operasi dapat menjadi sumber
utama infeksi nosokomial yang disebabkan oleh macam-macam mikroorganisme.
Factor eksogen (eksternal pasien) merupakan penyebab infeksi nosokomial
terbanyak,tetapi factor endogen (dari internal pasien)juga menjadi penyebab pada
infeksi tersebut. Infeksi luka operasi biasanya tidak secara fisik terlihat oleh perawat
perioperatif karena pasien tidak menunjukan reaksi terhadap infeksi dalam waktu
singkat. Namun , bukan berate perawat boleh melupakan pentingnya identifikasi
terhadap factor-faktor penyebab dalam upaya memperkecil resiko infeksi.

Rantai infeksi terdiri atas tiga komponen yaitu : sumber mikroorganisme, rute
penularan, dan host yang rentan (sjamsuhidayat, 2005)

Sumber Mikroorganisme
Adalah tempat mikroorganisme berada dan tempat mikroorganisme tersebut
dapat di tularkan. Ada beberapa sumber infeksi,meliputi : udara, peralatan,kulit
pasien,visera, dan darah.

1. Udara
Udara merupakan sumber kuman, karena debu debu halus yang berada di udara
mengandung sejumlah mikroba yang dapat menempel pada alat bedah, permukaan
kulit,maupun peralatan lainnya. Agar tetap dapat hidup, bakteri membutuhkan kondisi
lingkungan tertentu,seperti suhu, kelembapan adat atau tidak adanya oksigen bahan
nutrisi tertentu, dan udara. Umumnya bakteri tumbuh subur pada suhu yang sama
dengan suhu tubuh manusia. Bakteri akan berkembang biak dengan cepat pada suhu
antara 20-37°C . Suasana yang lembap merupakan kondisi yang baik untuk
pertumbuhan dan reproduksi bateri, tetapi bakteri tertentu juga dapat tumbuh pada
nanah yang mongering,ludah,atau darah dalam waktu yang lama
(sjamsuhidayat,2005).
2. Peralatan
Mikroba atau bakteri dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain melalui
perantara. Pembawa kuman ini dapat berupa serangga,manusia,atau benda yang
terkontaminasi, seperti alat atau instrument bedah. Jadi, alat bedah, personel, dan
dokter bedah merupakan media yang dapat memindahkan baakteri.
3. Kulit pasien
Ada dua macam mikroorganisme yang tinggal pada kulit manusia, yaitu flora
komensal dan flora transien. Flora komensal, misalnya staphylococcus epidermidis
pada keadaan normal terdapat kulit tidak pathogen sampai kulit terluka. Flora
transien dipindahkan ke kulit penderita melalui sumber pencemaran,misalnya
staphylococcus aureus yang bersifat patogenik dan dapat menyebabkan infeksi yang
mengancam hidup bila masuk kedalam luka operasi (Sjamsuhidayat,2005)
4. Visera
Usus, terutama usus besar,merupakan sumber bakteri yang dapat muncul keluka
operasi melaluii hubungan langsung, yaitu melalui lubang anus atau pembedahan
pada usus. Bakteri yang berada di usus dalam keadaan fisologis umumnya adalah
bakteri komensal, tetapi dapat menjadi patogenik jika masuk kedalam luka
pembedahan (sjamsuhidayat,2005)
5. Darah
Darah penderita infeksi mengandung virus atau bakteri patogenik, sehingga penyakit
mudah ditularkan bila alat bedah yang digunakan pada penderita digunakan pada
penderita lain tanpa disterilisasi terlebih dahulu.

Ruten penularan
Rute penularan adalah mekanisme pemindahan mikroorganisme dari satu
tempat ke tempat lain. Mikroorganisme tidak memiliki gerakan otonom,sehingga
harus dipindahkan dengan bantuan. Terdapat empat rute pemindahan yang sering
terjadi, yaitu : kontak,udara,alat pengangkut, dan vector (Kneedler dan Dodge(1994)
dalam Gruendemann (2006)) .

Rute pemindahan yang palinbg sering adalah kontak manusia. Hal ini dapat
terjadi secara langsung atau tidak langsung. Contoh kontak langsung adalah orang
yang membawa mikroorganisme menyentuh orang lain,sehingga mikroorganisme
tersebut berpindah. Siklus ini dapat dihentikan daengan tindakan mencuci tangan
yang benae dengan larutan antimikroba dan menerapkan teknik aseptic yang sempura.
Pencucian tangan yang tidak adekuat di ketahui merupakan sumber penularan
mikroorganisme yang sering.

Mikroorganisme juga dapat berpindah melalui udara. Mikroba terdapat dalam


percikan air liur yang halus yang terbentuk sewaktu kita berbicara,batuk, atau bersin.
Mikroorganisme juga dapat dipindahkan oleh udara melalui aerosolisasi. Sebagai
contoh pembersihan alat yang terkontaminasi secara tidak benar dengan
menggunakan sikat yang mengandung air akan menghasilkan butir butir air
terkontaminasiyang di tularkan lewat udara.
Host
Host yang rentan memilik kuosien infektivitas yamg tinggi yaitu mereka
mudah mengalami penyakit yang di sebabkan oleh mikroorganisme oportunistik yang
tidak menimbulkan kelainan pada orang yang memiliki sistem imunitas normal.
Mereka yang rentran adalah bayi,orang berusia lanjut,orang yang kegemukan atau
kurang gizi,pecandu obat terlarang,pengidab diabetes dan penderita penyakit yang
respons imunitasnya terganggu (misalnya : AIDS ) . perawat perioperatif wajib
melaksanakan pengkajian yang adekuat dan cermat untuk mengidentifikasii pasien
yang sangat rentan terjangkit infeksi .

KEWASPADAAN UNIVERSAL
Adanya kontak darah dan cairan tubuh pasien akan meningkat pajanan dari
pasien ke petugas perioperatif. Berbagai penyakit dapat ditularkan dari pasien ke
petugas. Seperti HIV dan Hepatitis B. Oleh karena itu , kewaspadaan universal
meliputi panggunaan pelindung pasien,cuci tangan dan penatalaksanaan benda tajam
sangat penting untuk dilakukan oleh perawat perioperatif.

Prosedur Teknik Aseptik


Porsedur teknik aseptic dilaksanakan untuk menurunkan risiko infeksi bedah dari
petugas pada pasien. Pada pelaksanaanya, prosedurnya ini terdiri dari cuci tangan
bedah, pemakaian sarung tangan bedah, pemakaian baju bedah,persiapan area bedah,
dan pemasangan duk.

CUCI TANGAN BEDAH

Prosedur cuci tangan pada Tabel 2-2 dapat membantu perawat perioperatif
dalam melakukan scrubbing bedah. Mencuci tangan dilakukan dengan air mengalir
dan dianjurkan menggunakan teknik Fuerbringer dengan menggunakan larutan scrub.
Jenis larutan scrub yang digunakan harus memiliki kemampuan antimikroba dan
direkomcndasikan untuk dilakukan selama 3-5 menit (Gruendemann, 2006). Beberapa
larutan mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam sifat aktivitas terhadap
perusakan dinding sel mikroorganisme dan respons terhadap kulit.
Klorheksidin glukonat (chlorbexidine gluconatelCHG) merupakan larutan
scrub yang paling Bering digunakan di kamar operasi. CHG memiliki efek residual
dan efektif untuk waktu lebih dari 4 jam. CHG memiliki aktivitas antiseptik yang kuat
terhadap organisms gram positif, gram negatif, Berta sebagian virus. Terhadap basil
tuberkulosis, tingkat aktivitas zat ini sedang-sedang Baia. Antimikroba topikal lainnya
adalah bexacblorophene, yaitu suatu fenolat yang bekerja dengan mengubah dan
menyebabkan denaturasi protein sel sehingga sel menjadi rusak. Zat ini lebih efektif
untuk bakteri gram positif dan memiliki aktivitas bakterisidal yang kuat terhadap
Staphylococcus. Namun, aktivitasnya terhadap basil tuberkulosis dan virus sangat
kecil dan hampir tidak ada. Penyerapan melalui kulit dapat menyebabkan efek toksik
(Gruendemann, 2006).
Hexacbloropbene, yang semula digunakan untuk mengontrol infeksi
nosokomial oleh Staphylococcus, diketahui memiliki efek samping neurotoksik
sehingga saat ini penggunaannya terbatas. Sebagai antimikroba, yodium memiliki
efek residual, tetapi tidak dapat bertahan lebih dari 4 jam. Zat golongan ini bersifat
sangat bakterisida, fungisida, dan virisida. Golongan ini juga memiliki aktivitas
sedang terhadap spora bakteri dan aktivitas tinggi terhadap basil tuberkulosis. Yodium
dapat menembus dinding sel untuk menimbulkan efek antimikroba. Zat ini juga dapat
mengiritasi kulit atau menimbulkan reaksi alergi (Gruendemann, 2006).
Orang yang alergi terhadap yodium, hexachlorophene, atau bahan-bahan lain
biasanya akan menggunakan kloroksilenol atau paracblorometaxilenol (PCMX). Efek
antimikroba PCMX adalah menimbulkan gangguan pada dinding sel dan inaktivasi
enzim. Sebagai fenol tanpa halogen, PCMX aktif terhadap mikroorganisme gram
positif dan cukup aktif terhadap mikroorganisme gram negatif, virus, dan basil
tuberkulosis (Gruendemann, 2006).
Alkohol merupakan antimikroba yang sangat efektif, bekerja cepat, dan
memiliki spektrum aktivitas yang luas. Alkohol efektif mematikan bakteri gram
positif dan gram negatif,jamur,virus,dan basil tuberkulosis,tetapi tidak bersifat
sporisida. Alkohol adalah antimikroba yang murah dan digunakan paling banyak,
terutama sebelum penyuntikan intramuskular,subkutan,atau fungsi vena. Pengeringan
alkohol selama 10 detik setelah aplikasi dapat meningkatkan efektivitasnya. Alkohol
bersifat mengeringkan kulit,mengiritasi membran mukosa, dan dapat terbakar atau
meledak (Gruendemann,2006)
Bahan antimikroba lainnya adalah triclosaii, suatu difenil eter organik yang
bckerja dengan merusak dinding sel mikroba. Zat ini memiliki spektrum aktivitas
yang lugs terhadap bakteri gram positif clan sebagian besar gram negatif (kecuali pads
I'scudomorias), bcberapa aktivitas terhadap basil tuberkulosis, tetapi kurang bersifat
virisida. Triclosan adalah bahan campuran yang Bering terclapat pads sabun
penghilang bau badan serta diserap melalui kulit yang utuh (Gruenclemanri, 1992).

Tabel 2-2. Prosedur Cuci Tangan Bedah

Pengertian Adalah Beale aktivitas cuci tangan secara steril bagi personel
Tujuan yang akan
Sebagai mengikuti
pedoman operasi secaradalam
langkah-langkah langsung.
melakukan prosedur
cuci tangan, sehingga membantu prosedur bedah dengan
Persiapan  Air mengalir
menghdangkan kotoran,
sterilpencemaran, dan minyak
di wastafel yang tubuh
lebar dan kranserta
alat denganpertumbuhan
mempefkedl tangkai panjang.
ulang mikroorganisme selama

pembedahan atau selama mungkin. 4 % dalam botol pompa.
Larutan Norhexidineglumnate
 Sikat kuku steril dalam kotak khusus.
 Handuk steril.
 Jam dinding
Persiapan  Sebelum memulai, semua kelengkapan busana harus
Perawat sudah tepat. Perangkat pelindung pribadi, misalnya kaca
mata,harus sudah ada di tempatnya. Pelindung mata dan
masker digunakan untuk melindungi petugas kesehatan
dari kemungkinan pencemaran melalui per(ikan atau
semburan. (elemek dari bahan lidak tembus air dan
penutup kepala sudah dipakai.
 Semua perhiasan yang ada di jari, tangan, dan lengan
harus dilepaskan.
 Kuku jari tangan harus pendek clan bebas dari cat kuku
atau kuku palsu.
 Tangan clan lengan harus bebas dari abrasi, retak, atau
erosi. Selama prosedur, tangan harus tetap dijaga berada
di atas siku, sehingga air dari tangan (daerah terbersih)
mengalir ke siku atau daerah lain yang kurang bersih.
Prosedur  Poster tubuh sedikit (onclong ke depan agar pakaian
tetap keying.
 Air dinyalakan dan disesuaikan dengan suhu yang
nyaman.
 Pencucian dan pembilasan awal dilakukan untuk
membersihkan kotoran di permukaan.
 Basahi tangan dengan air yang mengalir dari ujung jari
sampai 2 cm di alas siku.

 Gunakan larutan scrubMorhxidine y;u(onote Oro 1 x


pompa — 5 (c dengan cars menekan dengan siku.
 Cuci tangan mulai dari telapak tangan, punggung tangan,
dan jari-jari serta lengan bawah secara menyeluruh
sampai
2 cm di atas siku, kemudian bilas merata selama 1 menit.
Kemudian bersihkan kuku, jari, seta-seta jari, telapak,
dan
punggung tangan. Cud tiap jari (tanpa sikat) seakan
mempunyai empat sisi.

 Ambil sikat dan beri Chlorhexidine gluconate 4% 1 x


pompa (5CC)
 Bersihkan kuku secara menyeluruh dengan sikat
 Gosok dan bersihkan daerah pergelangan tangan pada
tiap tangan.
 Kemudian gosok dan bersihkan lengan bawah sampai
2 cm di atas siku, dan pastikan gerakan dilakukan
dari lengan bawah menuju siku (selama 1 ½ mnt).
 Ulangi pada lengan yang lain

 Bilas tangan dan lengan bawah secara menyeluruh,


pastikan posisi tangan lebih tinggi dari siku.
 Ulangi pemakaian (hlorhexidinegfuconote4% sekali
lagi hingga merata tanpa dibilas dengan air (selama 1
menit untuk kedua tangan).
 Pastikan posisi tangan di atas dan biarkan air
menetes melalui siku
 Keringkan dengan handuk steril dengan cara
memutar dari arah jari-jari tangan kesiku. Bagi
handuk menjadi dua bagian, satu untuk tangan kiri
dan satu untuk tangan kanan. Setelah selesai buang
handuk ke tempatnya .

 Masukkan jari tangan kiri pada bagian dalam satung


tangan, kernudian balik untuk menutupi gaun bedah.
 Tarik aaun bedah sebatas sendi pergelangan tangan
dan hati-hati agar tidak tidak melewati batas sarung
tangan
Tabel 2-5. Prosedur Pemasangan Baju dan, Sarung Tangan Bedah dengan Bantuan

Pengertia Adalah suatu aktivitas pemasangan baju bedah dan sarung


n
Tujuan tangan dengan
Sebagai pedomanbantuan secara tkniktanpa
langkah-langkah singgung
memasang baju kepada
dan
sarung tangan
ahli bedah ataubedah dengan
petugas bantuan
lain yang akandan teknik tanpa
melakukan
singgung
pembedahan.
secara steril sebelum operasi, sehingga dapat
mempertahankan sterilitas lapangan bedah serta untuk
membantu petugas
Persiapan  Meja instrumen.
lain dan menghemat waktu scrubbing.
alat
 Baju bedah dan sarung tangan swril.
Prosedur  Perawat yang sudah scrub mengambil baju bedah dan
memakaikannya pada petugas lain dari arah depan.

 Dengan berhati-hati, perawat yang sudah scrub membuka


sarung tangan pada bagian kanan dan membantu
menempatkan masuknya tangan ke dalam sarung tangan
dengan tepat. Dengan teknik yang sama, lakukan pada
tangan kiri petugas lainnya

 Tangan yang sudah scrub dimasukkan ke dalam baju


bagian depan sambil menunggu intervensi selanjutnya
Persiapan Area Bedah dan Pemasangan Duk
Persiapan Kulit Lapangan Bedah
Kulit pasien dipersiapkan untuk menghilangkan kotoran dan debris, mengurangi
jumlah mikroba ke tingkat seminimum mungkin, dan menghambat pertumbuhan ulang
mikroba selama prosedur pembedahan.
Sebelum memulai persiapan kulit, keadaan kulit pasien harus dikaji dan dicatat.
Adanya alergi, terutama terhadap zat kimia, harus dicatat. Pengkajian praoperatif
bermanfaat untuk menentukan persiapan kulit prabedah yang diperlukan pasien.
Persiapan bedah yang dilakukan umumnya berupa mandi dengan menggunakan sabun
sampai kulit bersih dan pencukuran area kulit yang berambut. Rambut di semua daerah
tempat sayatan bedah harus dicukur terlebih dahulu. Tindakan ini dapat dilakukan di
bangsal sebelum hari pembedahan atau saat masuk ruang pembedahan. Pencukuran
dilakukan menggunakan pisau cukur bersih atau sekali pakai.
Pembebasan dari kuman atau pembersihan kulit dapat dilaksanakan dengan
larutan antimikroba atau scrub mekanis. Pilihan larutan tergantung pada keadaan
kulit, preferensi ahli bedah, dan adanya alergi pada pasien. Bahan yang paling
populer adalah iodine povidum, chlorbexidine gluconate, dan alkohol 70%.
Desinfeksi ini dilakukan setelah penderita dibius dan dapat dilaksanakan oleh
perawat asisten bedah. Daerah kulit yang dipersiapkan harus dimulai dari tempat
akan dilakukannya insisi, lalu meluas ke arah luar dengan gerakan melingkar dari
tempat insisi dan tidak diarahkan kembali ke tempat awal (arah dari area yang
bersih ke bersih ke area yang lebih kotor) sebagai contoh, dalam mempersiapkan
kulit untuk pembedahan spina,tempat insisi yang harus di persiapkan terlebih
dahulu, baru kemudian bergerak ke arah luar (Gambar 2-16)

Gambar 2-16. Persiapan laparigan bedah dengan menggunakan antiseptik iodine


poadin" dengan teknik dari arah dalam ke arab luar secara berputar

Penutupan Lapangan Bedah


Untuk membatasi dan mempersempit lapangan pembedahan umuninva
digunakan kain linen steril. Mempersempit lapangan pembedahan bertujuan untuk
mengurangi kontaminasi. Batas lapangan pembedahan ini kemudian difiksasi pada
kulit dengan klem penjepit duk agar keempat sisinya tetap berada di tempat.
Pembatasan lapangan pembedahan ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan duk
berlubang atau duk khusus untuk bagian tubuh tertentu, misalnya kaki, lengan, atau
kepala.
Gambar 2-17. Penibatasan lapangan pembedahan dengan menggunakan duk dan dilakukan
setelah area lmlak didesinfeksi.
Zona Steril
Perawat di kamar operasi harus mengenal zona steril dalam kamar bedah yang
bertujuan untuk menghindari kontaminasi area steril seperti yang tampak pada
Gambar 2-18. Daerah antara meja instrumen dan lapangan operasi pada bedah
minor juga merupakan jarak jangkauan daerah suci hama. Daerah ini merupakan
jangkauan tangan pembedah yang steril.

Gambar 2-18. Zona steril pada pernbedahan yang meliputi permukaan meja
operasi, meja instrumen, operator bedah, perawat instrumen, dan asisten tidak
boleh disentuh oleh apapun yang berasal dari luar area ini
MANAJEMEN POSISI BEDAH

Pemberian posisi (positioning) pasien termasuk bagian yang terintegrasi dalam


keperawatan perioperatif. Selain asepsis, pemberian posisi pasien berada pada
tingkat yang tinggi dalarn daftar prioritas asuhan keperawatan pasien. AORN
Standards and Recommended Practices menetapkan pemberian posisi pasien
sebagai aktivitas keperawatan intraoperatif dalam praktik keperawatan perioperatif.
Menurut Association of Operating Room Nurse (AORN), pengaturan posisi
sehingga pasien bebas dari cedera adalah bagian dari hasil akhir pembedahan yang
diharapkan. Perawat perioperatif harus memandang pemberian posisi sebagai suatu
pengetahuan khusus yang dapat memberikan hasil akhir yang berbeda jika
diterapkan dengan benar. Pemberian posisi adalah praktik yang rasional dan logis
(Gruendemann, 2006).
Pemberian posisi merupakan suatu kebutuhan yang dapat mendukung
keamanan pasien selama pembedahan. Perawat perioperatif perlu mengkaji dan
memikirkan kembali berbagai prinsip, prosedur, dan dampak dari pemberian posisi
pasien dan menggunakan proses keperawatan dalam perencanaan asuhan
keperawatan bagi pasien. Perawat perioperatif dapat mempelajari prinsip pemberian
posisi dengan merasakan dan mengetahui efek dari suatu posisi terhadap berbagai
bagian tubuh, otot, sendi, dan tonjolan tulang.
Perawat perioperatif adalah manajer utama dalam pemberian posisi pasien.
Untuk melakUkannya diperlukan keterampilan pengamatan yang cerdas, ditambah
dengan keberanian dan motivasi diri untuk menNanipaikan serta mengerjakan
tindakan jika diperlukan. Diperlukan waktu dan pernikiran yang baik sebeluni
melakukan pernberian posisi. Perawat harus mengetahui kemungkinan adanya
masalah sekalipun pada posisi yang sederhana. Manajemen pemberian posisi
seoptimal mungkin dilakukan dengan gerakan halus yang lambat, sesuai kondisi
fisiologis, dan terkoordinasi dengan bagianbagian tubuh pasien. Untuk
mendapatkan posisi yang ideal, dibutuhkan kerja sama tim, kehati-hatian, dan
perencanaan yang matang. Semua hal tersebut ditujukan untuk mencegah risiko
cedera sehingga perlindungan pasien selama tindakan pembedahan dapat sclalu
terjamin.
Selama anestesi umum, tenaga keperawatan dan dokter bedah sering kali tidak
mengatur posisi pasien sampai pasien mencapai tahap relaksasi yang lengkap.
Posisi yang dipilih biasanya ditentukan olch teknik bedah yang akan digunakan.
Idealnya, posisi pasien diatur sedemikian rupa agar dokter bedah mudah mencapai
tempat pembeclahan, dan fungsi sirkulasi serta pernapasan pasien adekuat. Posisi
pasien tidak boleh mengganggu struktur neuromuskular. Kenyamanan dan
keselamatan pasien juga harus diperhatikan. Perawat perioperatif harus mencatat
usia, berat badan, tinggi badan, status nutrisi, keterbatasan fisik, dan kondisi yang
ada sebelum pembedahan serta mendokumentasikannya untuk mengingatkan
petugas yang akan merawat pasien setelah operasi.
Ada berbagai konsep yang perlu diketahui perawat perioperatif dalam
manajemen posisi bedah, meliputi tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan dari
manajemen pemberian posisi bedah, pencegahan cedera, dan posisi bedah.

Tujuan dan Kriteria Hasil


Manajemen pemberian posisi bedah bertujuan untuk menghasilkan area
pembedahan yang optimal, meningkatkan keamanan, menurunkan risiko cedera,
serta memudahkan akses dalam pemberian cairan intravena, obat, dan bahan
anestesi. Hasil yang diharapkan dari manajemen pemberian posisi bedah adalah
tercapainya kondisi fisiologis dan terhindar dari cedera, dengan kriteria
 kepatenan jalan napas terjaga dengan gerakan pernapasan dan pertukaran udara

yang optimal;
 status sirkulasi dan akses vaskular yang adekuat;
 tidak ada penekanan berlebihan pada area superfisial dan tonjolan tulang;
 kepala mendapat sokongan yang adckuat, dan kondisi mata terlindung dari abrasi,
tekanan, dan cairan iritatif;
 ekstremitas terlinclung, mendapat s6kongan, dan terhindar dari kcadaan fleksi,
ekstensi, atau rotasi bagian tubuh yang berlebihan
Pencegahan Cedera
Pasien yang dilakukan pembedahan berisiko mengalanni cedera fisik yang disebabkan
oleh keherapa faktor yang meliputi faktor pembedahan dan faktor pasien. Tabel 2-6
memberikan penjelasan implikasi klinik dari risiko cedera pembedahan.
Pencegahan risiko cedera pada pasien merupakan prioritas utama perawat
perioperatif dalam melakukan pemberian posisi. Selain bertujuan untuk
menghasilkan akses optimal pada area pembedahan serta memudahkan akses dalam
pemberian cairan intravena, obat, dan bahan anestesi, perawat perioperatif juga
melakukan manajemen posisi bedah secara aman untuk mengantisipasi risiko
cedera tekan yang disesuaikan dengan jenis pembedahan.

Sebagai bahan tinjauan bagi perawat perioperatif, Tabel 2-7 memberikan


pertimbangan yang perlu diperhatikan perawat perioperatif sebelum melakukan
pemberian posisi bedah.
Tabel 2-6 Faktor Risiko Cedera Pembedahan
Faktor Implikasi Klinik
Faktor pembedahan Merupakan kondisi yang harus diterima dan direncanakan
untuk menurunkan dampaknya.

Pasien yang tidak sadar/ Kondisi ini membuat pasien tidak mempunyai kemampuan
teranestesi untuk menyampaikan penolakan
terhadap rasa nyeri atau rasa tidak nyaman.

Pengaturan posisi bedah  Pemberian posisi bedah dilakukan dengan imobilitas paksa
selama tindakan pembedahan,
sehingga apabila pengaturan posisi tidak fisiologis dan
waktu pembedahan yang lama
akan memberikan respons penekanan setempat dari
tonjolan tulang dan kompresi saraf
superfisial.
 Tekanan yang berlebihan dan berkepanjangan di daerah
tubuh tertentu karena proses pembedahan itu sendiri,
misalnya retraksi, tim bedah yang bersandar pada pasien,
tekanan dari alat, posisi, gesekan, dan geseran akan
meningkatkan respons trauma tekan (Gruendemann,2007)
 Kondisi kelembapan dari keringat, inkontinensia, cairan
untuk persiapan operasi, cairan irigasi
pada area tertentu akan memperparah kondisi trauma. Oleh
karena itu, perawat perioperatif perlu melakukan tindakan
untuk menurunkan respons cedera.
Efek agen anestesi  Efek anestesi dan obat-obatan lain pada saat pembedahan
akan memengaruhi status
vaskular, tekanan darah, perfusi jaringan, serta pertukaran
oksigen dan karbondioksida.
 Mekanisme vasomotor dan otot pasien bedah akan
melemah akibat pengaruh obat dan agen
anestesi. Agen anestesi menyebabkan relaksasi otot rangka
dan menekan aktivitas sistem saraf pusat dan otonom.
Relaksasi otot mengurangi gaya kontraksi dari tonus otot
normal,sehingga menurunkan aliran balik vena dan
penurunan respons kompensasi kardiovaskular.
 Mekanisme adaptasi fisiologis tidak berfungsi sehingga
pasien mempunyai risiko mengalami
bendungan vaskular pada ekstremitas bawah. Posisi
ekstrem yang tidak fisiologis dapat
memengaruhi sirkulasi dan pernapasan, pertukaran oksigen
dan karbondioksida, fungsi paru,
resistensi vaskular perifer, perfusi organ tubuh vital, dan
fungsi sendi (lewis, 2000).
Faktor pasien Faktor risiko idealnya perlu dikaji dan mendapat intervensi
sebelum dilakukan pembedahan.
Untuk menurunkan risiko cedera, perawat perioperatif
harus mengenal faktor risiko dari pasien,
terutama factor risiko cedera yang terjadi akibat trauma
tekan.

Faktor hemostasis  Kondisi kemampuan vaskular dalam melakukan proses


pembekuan darah sangat dipegaruhi
oleh kondisi jumlah trombosit yang ada di dalam vaskular.
Apabila pasien memiliki gangguan
mekanisme pembekuan darah, maka perawat perioperatif
harus berkolaborasi dengan ahli bedah dan ahli anestesi
terkait masalah hemostasis, sifat cedera yang terjadi, dan
pengobatan yang tersedia. Dengan demikian, ahli bedah
diharapkan dapat mempelkirakan risiko dan prosedur
antisipasi yang tepat, memodifikasi teknik bedah
seperlunya, dan membantu mengarahkan koreksi terhadap
defek hemostasis.
 Perawat perioperatif harus terbiasa dengan pemeriksaan
rutin untuk mengungkap masalah
hemostasis dan mampu mengidentifikasi nilai-nilai yang
abnormal. Upaya ini dilakukan agar perawat dapat bekerja
sama dengan ahli bedah dan ahli anestesi dalam
perencanaan perawatan pasien. Perawat harus mengetahui
berbagai terapi dan pengobatan yang
digunakan untuk menjaga hemostasis dan mampu berespons
dengan cepat kejadian perdarahan yang memerlukan terapi.
Perawat harus mengetahui metode dan produk yang
tersedia untuk penatalaksanaan perdarahan yang
berkepanjangan atau hemoragi. Hal ini penting diperhatikan
dalam upaya mempersiapkan produk yang dibutuhkan
dengan cepat. Walaupun ahli bedah dan ahli anestesi
mengontrol pengeluaran darah (bergantung
pada tingkat keterampilan mereka), tetapi peren(anaan dan
intervensi perawat akan memengaruhi keberhasilan tindakan
bedah dan metode hemostasis yang diterapkan.
Status gizi yang kurang Kondisi kekurangan gizi berhubungan dengan adanya
penurunan cadangan protein yang
fungsinya menjaga keutuhan.dan mempertahankan sel-sel
kulit yang sehat.

Usia lanjut Pasien yang berusia lanjut biasanya mengalami penurunan


pada konsistensi bantalan jaringan lemak dan penurunan
kuantitas otot yang mengalami penipisan, sehingga sangat
berisiko mengalami trauma tekan.
Obesitas atau Pasien yang obesitas mempunyai risiko lebih tinggi untuk
kegemukan mengalami trauma tekan karena
berhubungan dengan status sirkulasi yang luas, sehingga
pengiriman darah ke perifer menjadi
kurang adekuat.
Penyakit vaskular Pasien yang mengalami hipertensi menyebabkan penurunan
kemampuan perfusi daerah perifer terutama daerah yang
mengalami penekanan lokal dari tulang (Potter, 2006).
Tidak terkontrolnya Peningkatan kadar glukosa darah memberikan dampak
kadar glukosa darah terhadap peningkatan kerusakan
mikrosirkulasi perifer, sehingga adanya trauma tekan akan
memperberat kondisi kerusakan
perifer.
Anemia Pasien yang mengalami pen,irunan kadar hem-globin akan
tergalggu proses pengiriman oksigen
ke jaringan perifer. Padahal, proses ini berguna untuk
kompensasi perbaikan jaringan perifer.
Penurunan imunitas  Terutama terjadi pada pasien yang mendapatkan pengobatan
kemoterapi dan radiasi pada pasien kanker.
 Pasien edema dan pasien yang mendapat pengobatan
kortikosteroid jangka panjang akan menurunkan
kemampuan status sirkulasinya karena retensi cairan pada
daerah perifer memperberat kondisi trauma tekan (Smeltzer,
2002).

Tebel 2-7. Ringkasan Pertimbangan Pencegahan Cedera Posisi Bedah .


Deskripsi Implikasi Klinik
Pengkajian praoperatif  Merupakan data dasar untuk mendeteksi faktor risiko pasien
yang rentan mengalami cedera
 akibat pemberian posisi bedah.Hasil pengkajian
diintegrasikan ke dalam rencana asuhan keperawatan, yang
mencakup identifikasi masalah yang mungkin timbul,
diagnosis keperawatan, dan rencana perawatan untuk setiap
pasien.
Pengetahuan konsep Konsep pemberian posisi bedah yang akan dilakukan harus
pemberian posisi bedah dimiliki oleh perawat perioperatif
dalam melakukan manajemen pemberian posisi bedah.
Konsep yang perlu diketahui meliputi
posisi fisiologi yang digunakan pada setiap jenis
pembedahan dan risiko yang dapat ditoleransi
dari pembedahan.
Posisi fisiologis Dalam melakukan posisi fisiologis, ada beberapa hal berikut
ini yang perlu diperhatikan.
 Posisi fisiologis harus selalu memperhatikan kondisi
rentang pergerakan normal pasien (misalnya: posisi
lengan dan bahu saat pasien ditelungkupkan).
 Tonjolan-tonjolan tubuh yang rentan, saraf superfisial,
dan bagian tubuh yang sensitif harus selalu mendapat
bantalan yang memadai. Bantalan akan meredistribusi
tekanan dan beban serta menyerap gaya-gaya yang
menekan.
 Jangan menggunakan alat berbentuk donat, karena alat
tersebut dapat mengurangi aliran darah, menimbulkan
kongesti vena, dan pembengkakkan jaringan sehingga
risiko ulkus tekan meningkat.
 Lengan yang diposisikan pada papan lengan harus diikat
dengan longgar dan diletakkan pada sudut yang kurang
dari 90' terhadap tubuh.
 bagian-bagian tubuh, terutama lengan, jangan sampai
menyentuh bagian logam dari tempat tidur operasi.
 Permukaan-permukaan tubuh sebisa mungkin tidak
berkontak satu sama lain. Sebagai contoh, pada posisi
lateral diletakkan sebuah bantal atau selimut di antara
tungkai untuk menghindari gesekan atau maserasi
permukaan kulit dan untuk menjaga jarak normal
antartungkai.
Risiko pembedahan Kondisi pembedahan dapat meningkatkan risiko trauma pada
yang pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat
dapat ditoleransi perioperatif untuk menurunkan risiko cedera, yaitu sebagai
berikut.
 Hindari penimbunan cairan di celah-celah tubuh, di
antara tungkai, dan di bawah pasien.
 Hindari pemijatan langsung pada area tonjolan tulang
atau yang mengalami trauma tekan.
 Kurangi sebanyak mungkin lapisan, lembaran kain, atau
bahan di antara pasien dan tempat tidur ruang operasi.
 Anggota tim bedah jangan bersandar atau menekan
bagian tubuh pasien.
Mekanika tubuh  Dalam melakukan pengaturan posisi pasien, perawat
perioperatif harus memperhatikan mekanika tubuh yang
tepat agar tidak terjadi gangguan pada muskuloskletal
terutama pada area tulang belakang tubuh perawat.
Mekanika tubuh juga bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas tenaga dan waktu.
 Perawat perioperatifjuga menggunakan mekanik tubuh
yang baik sewaktu memposisikan pasien. Anggota tim
harus menggunakan telapak tangan (bukan jari) sewaktu
memegang dan membalikkan pasien. Hindari goresan
dan cedera pada pasien oleh kuku jari atau tepi-tepi tajam
tempat tidur operasi atau alat lain.
Kerja sama tim  Kerja sama tim yang optimal sangat diperlukan dalam
melakukan pengaturan posisi. Masing-masing petugas
yang melakukan pengaturan posisi harus mempunyai visi
Yang sama. Pada setiap perubahan posisi, harus ada
orang yang membantu. Untuk membalikkan tubuh pasien
yang telah dianestesi paling tidak dibutuhkan empat
orang. Satu orang untuk memegang kepala, dua orang
untuk menopang torso, dan satu orang lagi untuk
memegang tungkai. Jika dipedukan, dapat digunakan
kain pengangkat untuk memudahkan pengaturan posisi.
 Sebelum memberi posisi atau mereposisi pasien selama
atau setefah pembedahan,
tanyakan terlebih dahulu kepada ahli anestesi.
 Pemberian posisi pasien harus selalu dilakukan dengan
gerakan yang mulus, lancar, lembut,
lambat, dan terkoordinasi. Peregangan, puntiran, torsi
berlebihan, dan gerakan yang tidak
alamiah harus dihindari.
Dokumentasi Beberapa hal yang perlu didokumentasikan dalam pengaturan
posisi adalah sebagai berikut. :
 Posisi awal dan respons pasien. Jika sadar,
dokumentasikan kondisi kulit sebelum pembedahan.
 Perubahan posisi selama prosedur.
 Alat, sabuk, bantalan, atau penahan yang digunakan.
Misalnya penutup tempat tidur atau kasur khusus.
 Identifikasi bagian atau daerah tubuh rentan dan
mendapat bantalan atau perlindungan.
 Alat hipertermia/hipotermia yang digunakan.
 Setiap kelainan pada akhir prosedur yang mungkin
disebabkan oleh posisi bedah.
 Kondisi kulit setelah pembedahan. Apabila ada trauma
listrik pada bagian tonjolan tulang, maka harus dicatat
dan dilaporkan.

Gambar 2-19. Trauina listrik intraoperatif pada maleolus dan ujung-


Ujung jari kaki harus didokumentasikan sebagai kondisi cedera bedah.
Pemberian Posisi Bedah
Pemberian posisi bedah yang ideal dapat didukung secara optimal dengan meja bedah
dan alat bantu pemberian posisi yang sesuai dengan jenis pembedahan yang akan
dilakukan. Semakin lengkap kemampuan dan kondisi meja bedah serta alat bantu
pemberian posisi bedah, maka akan semakin memudahkan perawat perioperatif dalim
melakukan manajemen posisi bedah.
Alat bantu posisi bedah yang biasa digunakan perawat perioperatif dalam
melakukan pemberian posisi bedah meliputi sabuk, gulungan, bantalan, dan penahan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan perawat perioperatif dalam
menggunakan alat bantu pemberian posisi bedah.

Gambar 2-20. Meja bedah dengan kemampuan pengaturan untuk beberapa posisi bedah. Gambar batas
pebedaan warna pada lantai menunjukan zona steril dalam pembedahan.

 Alat bantu harus disesuaikan dengan lokasi tonjolan-tonjolan tubuh yang rentan.
 Alat bantu harus disesuaikan dengan kondisi anatomis (lokasi serabut saraf, vena,
dan arteri).
 Alat bantu harus disesuaikan dengan posisi yang diperlukan untuk prosedur
pembedahan.
 Alat bantu sebaiknya terbuat dari bahan yang dapat menyesuaikan diri dengan
berbagai ukuran dan bentuk tubuh pasien, memiliki berbagai ukuran untuk
mengakomodasi bagian tubuh tertentu, mampu menghilangkan tekanan, dan
mendistribusikan beban (atau redistribusi) pada semua pasien.
 Alat bantu yang digunakan harus dapat memberikan sokongan dan stabilitas guna
memaksimalkan efisiensi operasi.
 Alat bantu yang digunakan harus mudah untuk dibersihkan, didesinfeksi, dan
mudah penyimpanannya.
 Alat bantu berupa bantalan yang digunakan dalam pemberian posisi pasien harus
memiliki kemampuan untuk menyerap tekanan dan menjaga tekanan kapiler,
mampu meredistribusikan tekanan, dan mampu mencegah peregangan berlebihan.

Pada dasarnya, prosedur operasi dilakukan dengan pasien yang berbaring


dengan posisi punggung, duduk, punggung dengan tungkai yang diletakkan di
sanggurdi (penyangga tungkai), perut, atau menyamping. Menurut Gruendemann
(2006), ada lima posisi dasar, yaitu: telentang, duduk, litotomi, telungkup, dan
lateral. Pada pelaksanaannya masing-masing posisi memiliki banyak modifikasi
dan variasi.
Telentang (supine)

Posisi telentang atau berbaring dorsal, memposisikan vertebra servikalis, torakalis, dan
lumbalis pasien pada satu garis lurus secara horizontal. Pasien berbaring telentang
dengan lengan terletak di atas papan lengan atau di samping tubuh. Posisi telentang
dengan variasinya adalah postur yang paling sering digunakan untuk prosedur
pembedahan.
Posisi Trendelenburg adalah modifikasi posisi telentang dengan kepala diturunkan.
Posisi ini kadang-kadang diubah dengan menekukkan lutut dan mematahkan bagian
bawah tempat tidur.
Posisi Trendelenburg terbalik merupakan posisi bedah dengan kondisi kepala di atas
dan kaki di bawah.
Tabel 2-8 memberikan pemahaman pada perawat perioperatif tentang teknik
modifikasi dan variasi dasar pengaturan fisiologis untuk mencegah terjadinya cedera
pada pasien. Pada pelaksanaannya diperlukan beberapa alat bantu yang melengkapi meja
bedah agar posisi bedah yang ideal dapat dilaksanakan secara optimal.

Teknik Implikasi Klinik


Posisi Terlentang Bergantung pada prosedurnya, pita/sabuk/tali pengaman berbantalan
dengan diletakkan: 1) secara longgar di daerah pinggang ataul, 2) di atas pangkal
pemasangan atau pertengahan paha, paling sedikit 2 inci di atas lutut untuk mencegah
sabuk hiperekstensi tungkai. Sabuk
pengamanan pada pengamantersebuttidakdiletakkandiatastonjolantulang,misainyalutut,te
paha tapidiatasbagianyanglunakdanberdaging. Sabuk tersebut harus diikat
cukup kencang untuk memberikan perlindungan, tetapi juga harus cukup
longgar agar sirkulasi dapat berlangsung lancar

Gambar 2-21. Pemasangan sabuk pengamanan di atas paha pada posisi beda
telentang.
Sumber: Sineltzer dan Bare (2002).
Posisi terlentang Pada beberapa keadaan di mana pemasangan sabuk tidak dipasang di atas
dengan pangkal paha, maka pemasangan dibawah lutut i (Gambar 2-22)
pemasangan merupakan aplikasi yang bisa dilakukan. Sabuk tersebut harus diikat
sabuk pengaman cukup kencang untuk memberikan perlindungan, tetapi juga harus cukup
di bawah lutut longgar agar sirkulasi dapat berlangsung lancar

Gambar 2-22. Pemasangan sabuk pengaman dibawah lutut pada posisi bedah
telentang.
Posisi telentang  Perawat harus dapat meloloskan tangannya di bawah sabuk
dengan setelah sabuk dikencangkan.
pemasangan
 Perawat perioperatif dapat menurunkan risiko cedera pada
sabuk/pita pleksus brakialis dengan menurunkan peregangan dan tekanan
pengaman lengan terutama di daerah ketiak. Hiperabduksi lengan harus dihindari
karena pembuluh subklavia dan aksila dapatan teregang di bawah
prosesus korakoideus skapula atau tertekan dan tersumbat antara
klavikula dan iga pertama. Nadi radialis dapat hilang dan dapat
terjadi trombosis arteri pada hiperabduksi lengan yang sangat
berlebihan.
 Gruendemann (2006) mengajurkan pada posisi telentang, satu atau
kedua lengan dapat diletakkan di atas papan lengan. Papan lengan
dan lengan harus berada dengan sudut kurang dari 90' dari torso
(Gambar 2-23), dengan telapak tangan menghadap ke alas. Hal ini
dilakukan untuk mencegah.tekanan, peregangan, dan tarikan pada
pleksus brakialis dan sarafsaial' yang berjalan ke lengan. Pada
posisi ini dapat diletakkan sebuah bantalan kecil di bawah
pergelangan, terutama jika akan dipasang infus arteri. Posisi
telapak tangan menghadap ke atas lebih dianjurkan daripada posisi
telapak tangan ke bawah. Alasannya, posisi ini menghilangkan
tekanan pada saraf ulnaris sewaktu saraf tersebut berjalan melalui
takik humerus di siku. Selain itu, tekanan pada arteri brakialis juga
berkurang. Di bawah siku juga dapat diletakkan bantalan lembut.
 Untuk menurunkan cedera pada saraf medianus, ulnaris, dan
radialis maka humerus dan lengan atas jangan dibiarkan
menggantung pada tepi meja operasi. Apabila memungkinkan,
hindari pemakaian pita pergelangan tangan yang terlalu ketat.
Dengan berbagai petimbangan,lengan pasien sebaiknya diletakan
di sisi tubuh,siku dibungkus oleh bantalan berbusa,dan telapak
tangan menempel ke tubuh seperti posisi alami,bukan diletakkan
di atas papan lengan.

Gambar 2-23• Perawat perioperatif melaLukan pengaturan posisi


lengan dengan sudut kurang dari 90 dan posisi telapak tangan
menghadap ke atas dengan manset tensimeter sudah terpasang untuk
memudahkan observasi ketat tekanan darah intraoperatif.

Posisi telentang Untuk menurunkan cedera akibat rotasi berlebihan pada kepala selama
dengan operasi sehingga mengakibatkan sumbatan dan n trombosis arteri
pemasangan vertebralis, maka perawat perioperatif dapat memberikan bantalan
penyangga kepala lembut untuk menstabilkan dan melindungi kepala dan oksiput pasien,
memungkinkan otot-otot leher untuk relaks, dan mencegah
ketegangan leher.
Posisi telentang  Anestesi menyebabkan relaksasi otot-otot paraspinalis sehingga
dengan tingkat kecembungan (convexity) lumbal akan hilang
pemasangan mendatar). Akibatnya, timbul ketegangan di ligamentum
bantal di bokong interlumbalis dan lumbosakralis sehingga meningkatkan
binsidens nyeri punggung pascabedah.
 Sebuah bantalan lembut kecil dapat diletakkan di bawah
bokong bagian bawah dan di bawah lutut untuk
mempertahankan sifat kecekungan (konkaf) normal lumbal dan
mencegah ketegangan di otot serta ligamentum punggung, paha,
dan tungkai. Paaa posisi telentang, tungkai harus sejajar dan tidak
bersilangan untuk mencegah cedera pada saraf peroneus dan
tibialis, gesekan, dan terhambatnya sirkulasi (Gruendemann,
2006)
Posisi Posisi Trendelenburg adalah modifikasi posisi telentang dengan kepala
trendelenburg diturunkan (Gambar 2-24). Posisi ini kadang-kadang diubah dengan
dengan menekukkan lutut dan mematahkan bagian bawah tempat tidur
pemasangan (Gambar 2-25). Penyangga bahu sebaiknya tidak digunakan pada posisi ini
sabuk pengaman karena dapat menimbulkan kerusakan pada pleksus brakialis. Namun,
pada paha dan apabila mendesak, penyangga tersebut harus diberi bantalan yang cukup
bahu dan di letakan di atas procecus akromatis skapula m, dan bukan di
jaringan lunak di atas pleksus brakilas (Gruendemann,2006)

Gambar 2-24. Pernasangan sabA pengaman di atas paha paJa posisi bedah
telentang niodifikasi posisi TrenJelenburg. Apabila terpasang penyangga
bahu inaka pastikan tidak meriekan saraf pleksus brakialis.
Sumber: Smeltzer dan Bare (2002)

Gambar 2.25 Posisi TrenJelenburg dengan modifikasi menekukan, lutut


dan tanpa penyangga bahu.
Sumber : Gruendemann dan Fernsebner (2006).

Apabila pasien beraoa pada posisi Trendelenburg terbalik (kepala di atas


dan kaki di bawah), disarankan agar kaki ditunjang oleh penyangga kaki
berbantalan (Gambar 2-26). Selain untuk menjaga agar pasien tidak
merosot dari meja operasi, upaya ini penting dilakukan terutama untuk
mencegah fleksi plantar (footdrop)
Gambar 2-26. PosisiTrendeleriburg terbalik dengan modifikasi penyangga
pada kaki untuk mencegah footdrop.
Sumber: Gruendemann dan Fernsebner (2006).

Posisi Duduk
Pengaturan posisi duduk sering dilakukan terutama pada pembedahan daerah kepala dan leher.
Tabel 2-9 memberikan informasi tentang teknik modifikasi dan variasi dasar posisi fisiologis
untuk mencegah cedera. Pada pelaksanaannya diperlukan beberapa alat bantu agar posisi bedah
yang ideal dapat dilaksanakan secara optimal.

Tabel 2-9. Teknik modifikasi dan implikasi klinik posisi bedah duduk
Teknik Implikasi klinik
Posisi duduk Pada posisi duduk akan memberikan manifestasi adanya distribusi berat
tradisional badan di area tertentu tidak merata. Cadangan utama darah di ekstremitas
bawah mungkin dipengaruhi oleh efek obat anestesi yang menyebabkan
dilatasi vena sehingga dapat terjadi hipotensi.
Pada posisi ini, fleksi paha dan sedikit elevasi tungkai cenderung dapat
mencegah petubahan tekanan darah yang tidak diinginkan. Bebat elastis
yang dipasang secara ketat dari jempol kaki sampai paha atas akan
memberi tambahan perlindungan. Sewaktu duduk, tekanan vena di kepala
dan leher pasien mungkin negatif, sehingga terdapat predisposisi emboli
udara. Oleh karena itu, selama prosedur bedah saraf, Doppler dan kateter
tekanan vena sentral

Gambar 2-27. Posisi duduk tradisional, sering diaplikasikan pada bedah


saraf kraniotomi. Sumber: Gruendemann dan Fernsebner (2006).
Pada posisi setengah duduk, tempat tidur, panggul, serta lutut pasien
ditekuk. Posisi ini dapat digunakan untuk bedah tiroid dan leher. Sebuah
gulungan ditempatkan di bawah bahu untuk hiperekstensi dan kemudahan
visualisasi daerah operasi.
Gambar 2-28. Posisi setengah Juduk.
Sumber: Gruendemann dan Fernsebner (2006).

Posisi Litotomi
Posisi litotomi merupakan posisi yang sering digunakan pada pembedahan urogenitalia. Pada
posisi litotomi standar, pasien telentang dengan bokong berada di ujung tempat tidur operasi
(setelah ujung bawah rempat tidur diturunkan), pinggul dan lutut ditekuk, kemudian paha
pasien diabduksi dan dirotasikan ke arah eksternal. Terdapat beberapa variasi dari posisi
litotomi yang pada praktiknya memberikan risiko cedera pada pasien. Dalam pemberian posisi
litotomi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan perawit perioperatif (Tabel 2-10) agar pada
pelaksanaan dan hasil pembed1haii pasien tidak mengalami cedera fisik.

Teknik Implementasi Klinik


Posisi litotomi  Selain memberikan akses yang sangat baik untuk sejumlah prosedur
dengan pembedahan, posisi litotomi juga mermliki beberapa kelemahan,
menggunakan antara lain: penekanan langsung bagian ekstremitas yang
sanggurdi menyebabkan berkurangnya volume kompartemen dan peningkatan
tradisional tekanan kompartemen, penurunan perfusi ekstremitas akibat elevasi
ekstremitas, kemungkinan penyumbatan pembuluh akibat fleksi sendi
yang berlebihan, retraksi intraabdomen dan intrapelvis yang secara
langsung menekan struktur arteri, serta hipotensi saat tungkai
diturunkan (Rob dan Smith, 1968).
 Neagle et al. (1991) dikulip dalam Gruendemann (2006)
mendokumentasikan sindrom kompartemen betis pascaoperatif setelah
pemberian posisi litotomi yang berkepanjangan.
 Posisi litotomi dengan sanggurdi tradisional tanpa penunjang tumit
dapat dilakukan dengan abduksi paha lebih dari 90°

Gambar 2-29. Posisi litotomi dengan menggunakan sanggurdi tradisional


pada pembedahan urologi TURP dengan posisi abduksi paha lebih dari
900.
 Apabila posisi sanggurdi terlalu rendah, maka otot-otot paha dan betis
dapat tertekan dan terasa nyeri Pelebaran yang berlebihan di paha
dapat menimbulkan regangan pada otot-otot adduktor. Posisi litotomi
dapat menimbulkan cedera saraf, otot, dan fasia serta penyulit sirkulasi
(Gruendemann, 2006)
 Menurut Gruendemann (2006), pada posisi litotomi dengan sanggurdi
tradisional akan terjadi penimbunan sirkulasi di daerah lumbal.
Tekanan paha pada abdomen dan tekanan visera abdomen pada
diafragma dapat membatal gerakan diafragma. Posisi ini merupakan
tantangan bagi abli anestesi. Bagian-bagian tubuh yang rentan pada
posisi litotomi adalah ruang poplitea, saraf peroneus (di lateral lutut),
tungkai, lutut, kaki, dan paha. Posisi litotomi dapat menimbulkan
tekanan

Gambar 2-30. Pemakaian sanggurdi tradisional yang memungkinkan


terjadinya penekanan pada ruang poplitea
Sumber: Gruendemann dan Fernsebner (2006).

Gambar 2-31. Pengkajian tanda-tanda dan geiala-geiala flehotronibosis.


A. Dengan lutut fleksi, pasien dapat mengelub, nyeri pada saat dorsofleksi
kaki (tanda Homan). Hal ini adalah tanda trombosis ini Jan subklinis;
tanda ini mungkin atau mungkin juga tidak ada. Kompresi lembut
menunjuk6an nyeri tekan pada otot beds. B. Tungkai yang terkena dapat
membengkak; vena lebih menonjol dan dapat teraba dengan mudah.
Sumber: Smeltzer dan Bare (2002).

Smeltzer dan Bare (2002) menerangkan bahwa pasien bedah posisi


litotomi mempunyai risiko terjadinya Trombosis vena profunda (adalah
trombosis pada vena yang letaknya dalam-dan bukan superfisial. Dua
komplikasi serius dari TVP adalah embolisme pulmonari dan sindrom
pascafleblitis) Respons Trombosis vena profunda secara patofisiologi
dimulai adanya Inflamasi ringan sampai berat dari vena terjadi dalam
kaitannya dengan pembekuan darah. Komplikasi dapat terjadi dari
sejumlah penyebab, termasuk cedera pada vena yang disebabka.) oleh
strap yang terlalu ketat atau penahan tungkai pada waktu operasi, tekanan
dari gulungan selimut di bawah lutut, hemokonsentrasi akibat kehilangan
cairan atau dehidrasi. atau, yang lebih umum lagi adalah melambatnya
aliran darah dalam ekstremitas akibat metabolisme melambat dan depresi
sirkulasi setelah pembedahan. Pengkajian TVP adalah dengan melihat
tanda Homan.
Paschal dan Strzelecki (1992) dalam Gruendemann (2006) menganjurkan
sanggurdi boot, yaitu suatu alat yang dapat mendistribusikan beban antara
tumit dan betis
Gambar 2-32. Posisi litotomi dengan sanggurdi boot.
Sumber: Gruendemann dan Fernsebner (2006).
Peralatan ini dilengkapi dengan penyangga kaki yang dapat dilipat sampai
sekitar dua pertiga tungkai bawah dan mungkin bermanfaat untuk
mengurangi risiko sindrom kompartemen. Sabuk pengaman dan bantalan
yang adekuat sangat penting

Telungkup (prone)
Posisi telungkup atau prone biasanya dilakukan pada pembcdahan tubuh bagian bawah. Pasien
dianestesi dalam posisi telentang (biasanya di brankar) dan kemudian dipindahkan secara log
rolling (digulingkan seperti menggulingkan gelondongan kayu dengan membuat kepala dan
tulang belakang rnenjadi satu kesatuan) ke posisi telungkup dengan wajah ke bawah.
Dalam pernberian posisi telungkup, pasien rentan cedera pada spina yang mengalami koinpresi
akibat kesalahan dalam memindahkan dan mengatur pasien. Kondisi lain yang inepunyai risiko
cedera adalah pasien jatuh terutama pada pasien dengan berat badan yang besar.
Tabel 2-11 dapat memberikan pedoman pada perawat perioperatif dalam memberikan
pengaturan posisi telungkup dengan variasinya.

Tabel 2-11. Teknik modifikasi dan implikasi klinik posisi bedah telungkup
Teknik Implikasi klinik
Membatalkan Sebelum melakukan pembalikan, pasien telah dilakukan anestesi umum di
pasien brankar (Gambar 2-33). Agar tidak mudah lepas maka posisi ETT sudah
difiksasi dengan erat

Gambar 2-33. P.da pasien vang aLan JiposisiLan telentang, anestesi


dilakukan di atas brankar. Dua orang perawat perioperatif sudah siap di
seberang meja operasi. Perhatikan. bagian depan meja bedah yang
berlubang dibagian kepala yane memudahkan penata anestesi memasang
alat-alat anestesi inelewati lubang.
Proses membalikkan pasien harus dilakukan dengan halus dan oleh
minimal enam orang. Satu orang di kepala, satu orang di bahu, satu orang
di badan, satu orang di kaki, dan dua orang yang bersebelahan dengan
meja operasi. Tubuh dibalik seperti menggulingkan gelondongan kayu
sehingga tidak terjadi perpuntiran atau gerakan abnormal dari bagian tubuh
tertentu. Pembalikan dilakukan perlahan-lahan, sehingga tubuh dapat
mengompensasi perubahan hemodinamik fisiologis

Gambar 2-34. Satu orang perawat di posisi kepala memberikan kornando


saat membalikkan pasien. Dua orang perawat pada sisi brankar
membalikkan atau menggulingkan badan pasien. Satu orang perawat pada
kaki mengikuti pergerakan dari tulang belakang. Dua orang perawat
perioperatif'mencrima perftbalikan pasien di seberang meja operasi

Gambar2-35. Kondisi Akhir pembalikan pasien dengan posisi telentang.


Pada seluruh proses pembalikan, perawat harus menggunakan mekanika
tubuh yang tepat baik pada tubuh pasien maupun tubuh perawat sendiri

Gambar 2-36. Pengaturan akses vena dan akses pernapasan. Perawat


memasang sabuk di bawah lutut.

Tabel 2-12 Teknik modifikasi dan implikasi klinik posisi lateral


Teknik Implikasi Klinik
Pengaturan posisi Gruendemann (2006) menganjurkan bahwa dalam mengatur posisi lateral,
lateral secara kepala hendaknya ditopang agar sejajar dengan kolumna spinalis, sehingga
umum tidak terjadi penekanan pada lengan yang berada di bawah.
Torso distabilkan dan ditunjang oleh sabuk ataualat lain guna mencegah
gerakan atau perubahan posisi selama prosedur. Pita yang lebar dapat
digunakan. Di antara tungkai dan kaki diletakkan bantalan. Tungkai bawah
ditekuk agar stabil. Hal ini dilakukan untuk mengangkat beban tungkai
yang tedetakdi alas terhadap tungkai di bawahnya dan memperlancar
drainase vena. Sebaiknya pasien tidak diposisikan langsung di
atastrokanter karena dapat menimbulkan tekanan permukaan yang lebih
tinggi dan tegangan oksigen transkutis yang lebih rendah dibandingkan
jika pasien diletakkan di atas trokanter dengan sudut tertentu
(Gruendemann, 2006).

Gambar 2-38. Penopang kepala pada posisi lateral.


Sumber: Gruendemann dan Femsebner (2006).

Pengaturan posisi Untuk bedah toraks, Gruendemann (2006) menganjurkan lengan yang
lateral untuk terletak di atas difieksikan sedikit di siku dan diangkat di atas kepala agar
bedah toraks skapula terangkat. Hal ini dilakukan untuk memberi akses ke iga di
bawahnya dan melebarkan ruang antariga. Lengan atas dapat ditopang
oleh papan lengan khusus yang dinaikkan atau dengan alat lain. Lengan
bawah sedikit dikedepankan untuk mencegah tekanan pada pleksus
brakialis. Bahu, aksila, dan otot deltoid yang terletak di bawah dapat diberi
bantalan. Sebuah gulungan atau bantalan dapat diletakkan di apeks skapula
dekat rongga aksila (di bawah dada atas) untuk menghilangkan tekanan
pada lengan dan memungkinkan dada bergerak lebih leluasa sewaktu
bernapas. Gulungan aksila yang asli masih diperdebatkan dan jarang
digunakan.
Untuk pembedahan di daerah ginjal, meja operasi ditekuk di tengah dan
penopang ginjal (kidneyrest) ditinggikan
Pengaturan posisi
lateral untuk
bedah ginjal

Gambar. 2-39. Pasien posisi lateral dengan modifikasi pada bedah ginjal.
Pengaturan Posisi Untuk bedah femur di antara kedua kaki di pasang bantalan dan difiksasi dengan erat. Pada
lateral untuk bokong dipasang penyangga untuk menjaga kestabilan posisi femur. Lengan atas dapat
bedah femur ditopang oleh papan lengan dan sebuah guling khusus. Lengan bawah sedikit diposisikan ke
depan untuk mencegah tekanan pada pleksus brakialis. Bahu, aksila, dan otot deltoid yang
terletak di bawah dapat diberi bantalan.
Gambar 2-40. Pengaturan posisi lateral dengan modifikasi pada bedah
femur.

MANAJEINIEN HEMOSTASIS

Sejarah dalam upaya menghentikan perdarahan (hemostasis) dan mengobati luka


dengan panas sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Pengobatan Hindu purba
menggunakan batang logam Yang dipanaskan untuk melakukan kauterisasi
(cauterization). Satu hal vang sama dari semua alat kauterisasi kuno adalah
pemakaian panas untuk menutup perdarahan nielalui koagulasi. Dengan
ditemukznnya listrik, maka para penemu menciptakan beragam generator, mulai
dari transformer kumparan sampai unit tabung vakum (Gruendemann, 2006).
Pada konsep manajemen hemostasis terdapat dua komponen yang
harus diperhatikan oleh perawat perioperatif, yaitu kondisi pasien yang
berhubungan dengan kemampuan hernostasis dan nieEode intervensi hemostasis.
Dalam upaya mengenal Icbih jauh tentang pelaksanaan manajemen hemostasis
pada pasien yang berhubungan dengan kemampuan hemostasis, rnaka perawat
perioperatif perlu meninjau kembali tentang konsep mekanisme pembekuan,
gangguan hemostasis, pengkajian pasien, dan metode hemostasis.

Mekanisme Pembekuan
Pada konsep hemostasis, secara fisiologis tubuh manusia mempunyai mekanisme
untuk melakukan pernbckuan darah dengan tujuan mencegah atau menghentikan
pengeluaran darah dari ruang intravaskular. Proses ini menghasilkan jaringan fibrin
untuk perbaikan jaringan, yang akhirnya dibuang jika tidak lagi diperlukan.
Menurut Gruendemann (2006), dalam proses hemostatis secara fisiologis
terdapat beberapa kondisi yang ikut herperail, meliputi vasokontriksi,
pembentukan adhesi (sumbatan) trornbosit. penibcwtikan fibrill, L1,111
fibrinolisis.
Vasokontrikst yang merupakan respons awal dari Permbuluh darah yang
cedera akan menyebabkan perlekatan antar sel endotel. Selanjutnya, kontraksi
yang terjadi akan menimbulkan proses agregasi trombosit, yang juga dikenal
sebagai hemostasis primer. Trombosit melekat pada kolagen endotel yang
terpajan di pembuluh yang cedera, kemudian meluas dan memicu reaksi
pelepasan. Reaksi ini menarik trombosit lain dari sirkulasi darah untuk melekat
pada trombosit yang telah ada sebelumnya. Pada hemostasis sekunder, reaksi
pelepasan dirangsang oleh adenosin difosfat (ADP) dan faktor lain di jaringan
yang rusak atau trombosit. Dalam hal ini, diperlukan fibrinogen untuk
menjalankan proses yang menghasilkan.pemadatan trombosit dan pembentukan
sumbat yang ireversibel. Kemudian, saat protrombin diubah menjadi trombin
proteolitik, terjadilah koagulasi yang pada gilirannya terbentuk fibrin yang
tidak larut dari fibrinogen, untuk menstabilkan dan menambah sumbat
trombosit. Akhirnya, terjadi fibrinolisis untuk mempertahankan keutuhan
pembuluh darah (Cormer, 1995).

Gangguan Hemostasis
Gangguan hemostasis dapat terjadi akibat gangguan pada trombosit, kelainan
pembuluh darah, kelainan faktor pembekuan darah, atau kombinasi ketiganya
(Williams (1990) dalam Gruendemann (2006)).
Apabila salah satu komponen mekanisme hemostasis terganggu oleh beberapa
kondisi, maka pasien dapat mengalami penyulit yang bersifat hemoragi, trombosis,
atau keduanya. Kondisi ini mengharuskan dilakukannya tindakan operasi atau
merupakan akibat langsung dari operasi. Ahli bedah, ahli anestesi, dan perawat
perioperatif bersama-sama bertanggung jawab untuk mengetahui kelainan yang
ada, mendeteksi berbagai risiko, dan segera mengatasi akar masalah yang berkaitan
dengan kelainan trombosit, koagulasi, vaskular, atau kombinasinya.

Pengkajian Keperawatan
Pengkajian dengan inetode wawancara adalah unsur terpenting untuk mengenal
gangguan hemostasis yang signifikan pada pasien yang akan menjalani prosedur
pembedahan. Melalui wawancara perawat perioperatif dapat menentukan perlu
tidaknya pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik.
Pemeriksaan fisik yang paling utama adalah melakukan pengamatan keadaan kulit
dan selaput lendir, yang mungkin memperlihatkan tanda atau gejala perdarahan.
Pengkajian diagnostik yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
hemostasis. Pemeriksaan hemostasis (lihat Tabel 2-12) terdiri dari pemeriksaan
rutin untuk mengonfirmasi adanya suatu gangguan dan uji spesifik yang akan
mengidentifikasi penyebabnya. Hasil pemeriksaan harus dibaca oleh perawat
perioperatif, sehingga dapat melakukan intervensi dan tindakan kolaboratif dengan
tim bedah untuk memberikan terapi yang sesuai.

Metode Hemostasis
HeniosEasis yang adekuat merupakan fondasi dari tindakan operasi. Apabila pasic
mengidap gangguan mekanisme pembekuan, maka ahli bedah harus memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai hemostasis, sifar cedera yang terjadi, dan
pengobatan yang tersedia. Dengan demikian, diharapkan ahli bedah dapat
memperkirakati risiko dan prosedur antisipasi pada saat yang tepat, memodifikasi
teknik bedah seperlunya, dan membantu mengarahkan koreksi terhadap defek
hemostasis. Metode hemostasis yang lazim dilakukan meliputi pencegahan
perdarahan dan intervensi perdarahan.
Tabel 2-12. Pemeriksaan Diagnostik Hemostasis

Pemeriksaan Pemeriksaan Spesifik


HemoglobinRutin Agregasi trombosit
Hematokrit Fungsi trombosit
Hitung trombosit Kadar fibrinogen
Waktu protombin Titrasi protamin
Waktu trombolpastin Plasminogen
Waktu perclafahan
parsial (PTT dan aPTT) Assay faktor pembekuan
Waktu pembekuan

Pencegahan Perdarahan
Intervensi pencegahan perdarahan dilakukan sebelum, selama, dan sesudah intervensi
bcdah. Ada berbagai upaya dalam inelakukan pencegahan perdarahan. Berikut adah,
upaya-upaya yang dimaksud.
 Pengaturan posisi fisiologis
Posisi pasien intra dan pascaoperasi disesuaikan dengan posisi dari setiap jenis
pembedahan. Dalam melakukan pengaturan biasanya diperlukan bantuan alat
penunjang seperti karet busa. Titik-tirik yang berpotensi mendapat tekanan harUN
diberi bantalan yang cukup untuk mencegah memar atau perdarahan spontan.
Selain itu, upaya ini dilakukan untuk menghindari tekanan pada pembuluh dan
memungkinkan darah mengalir kembali ke jantung. Sedikit pengangkatan rungkai
bawah, jika niungkin, dapat meningkatkan aliran balik vena.

 Pemasangan stoking anticinboli


Kompresi statis eksternal pada ekstremitas bawah dapat dicapai dengan
pemasangan stocking elastik atau bebat perban elastis. Lingkar betis atau paha
harus diukur agar pemasangan bebat pas dan menghasilkan kompresi terapeutik.
Stocking digulung dan bebat elastik dibungkUs ke atas dari jari kaki setinggi yang
diinginkan untuk niernbantLi aliran balik vena di penibuluh yang tertekan (L,\\,i,.
2000.).

 Ferapi farniakologi,
Obat yang dipilih tergantung pada mekanisme Hemostatis pasien, pencegahan,
pengeluaran darah atau pembentukan bekuan yang dibutuhkan. Antikoagulan adalah
kategori obat yang bermanfaat secara terapeutik. Agen tersebut dapat menghambat
pembentukan bekuan, tetapi tidak memicu perdarahan di berbagai titik dalam
mekanisme hemostasis. Natrium heparin yang diberikan secara profilaktik
dalam dosis kecil dapat menghambat trombosis dengan menginaktifkan faktor X dan
menghambat perubahan protrombin menjadi trombin. Apabila trombosis sudah
terbentuk, maka dosis yang lebih besar dapat menghambat koagulasi lebih lanjut
dengan menginaktifkan trombin dan mencegah perubahan fibrinogen menjadi fibrin
(Kee, 1996).

 Turniket pada bagian proksimal.


Turniket (tourniquet) dipasang di bagian proksimal dari tempat perdarahan
untuk mengurangi aliran dan mcinbersihkan daerah operasi dari darah. Perban
Esmarch's adalah perban gulung elastis yang terbuat dari lateks dan dibungkuskan
dengan erat ke sekeliling ekstremitas dari ujung distal hingga ke turniket. Hal ini
bertujuan menekan pernbuluh-pernbuluh superfisial dan mendorong darah dari
ekstremitas sebelum turniket dilepas. Pencegahan perdarahan di ekstremitas dapat
dihentikan dengan prosedur turniket, yaitu membebat sebagian tubuh yang dibedah.
Cara ini umumnya digunakan pada bedah ortopedi dan bedah saraf perifer yang
mernbutuhkan lapangan pembedahan yang "bersih dan kering". Turniket
merupakan alat pneuinatik yang dipasang pada lengan atau tungkai setelah
terlebih dahulu ekstremitas yang bersangkutan dikosongkan darah secara dibebat
dengan balutan karet dan dipasang pada bagian paha (Gambar 2-54).

Gambar 2-41. Pemasangan Strap tourniquet pada pembedahan ekstremitas bawah. Teknik Pemasangan dimulai
dari distal kaki sampai ke paha yang kemudian dilepas kembali dan difiksasi di paha

Intervensi Perdarahan
Perdarahan pada pembedahan harus segera dihenrikan. Ada berbagai upaya dalam
melakukan intervensi perdarahan, yaitu sebagai berikut.

 Penggantiin darah dan cairan


Intervensi ini dilakukan apabila sudah diprediksi iprediksi akan terjadi perdarallan
masif intraoperasi. Persiapan darah dilakukan sebelum pembedahan agar dapat
dilakukan pencocokan antara donor dengan resipien.
BAGIAN 2

Proses Keperawatan

Perioperatif
Pengkajian Umum
Pada pengkajian pasien di unit rawat inap, poliklinik, bagian bedah sehari,
atau unit gawat darurat dilakukan secara komprehensif di mana selurAhal yang
berhubungan dengan pembedahan pasien perlu dilakukan secara saksama. Berikut ini
adalah hal-hal yang harus diidentifikasi pada saat melakukan pengkajian umum.

Identitas Pasien
Pengkajian ini diperlukan agar tidak terjadi duplikasi nama pasien. Umur pasien sangat
penting untuk diketahui guna melihat kondisi pada berbagai jenis pembedahan. Selain
itu juga diperlukan untuk memperkuat identitas pasien.
Perawat perioperatif harus mengetahui bahwa faktor usia, baik anak-anak dan
lansia, dapat meningkatkan risiko pembedahan. Pengetahuan tersebut akan membantu
perawat perioperatif untuk menentukan tindakan pencegahan mana yang penting untuk
dimasukkan ke dalam rencana asuhan keperawatan.
Bayi dan anak-anak. Bayi dan anak-anak berhubungan dengan status fisiologis
yang masih imatur atau mengalami penurunan. Pada bayi yang menjalani pembedahan,
kemampuan pertahanan suhunya masih belum optimal. Refleks menggigil pada bayi
belum berkembang dan sering terjadi berbagai variasi suhu. Anestesi menambah risiko
bagi bayi karena agen anestesi dapat menyebabkan vasodilatasi dan kehilangan panas.
Bayi juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan volume sirkulasi darah normal.
Volume total darah bayi dianggap kurang dari anak-anak atau orang dewasa.
Kehilangan darah walaupun dalam jumlah kecil dapat menjadi hal yang serius.
Penurunan volume sirkulasi menyebabkan bayi sulit berespons terhadap kebutuhan
untuk meningkatkan oksigen selama pembeclahan. Dengan demikian, bayi menjadi
sangat rentan mengalami dehidrasi. Namun, jika darah atau cairan diganti terlalu cepat,
maka akan menimbulkan overhidrasi. Aspek penting lainnya pada perawatan bedah
anak meliputi manajemen jalan napas, mempertahankan keseimbangan cairan,
mengarasi kejang, mengatasi perubahan suhu, mengidentifikasi dan mengatasi
penurunan kesadaran yang tiba-tiba dan kegawatan anestesi yang tertunda, mengatasi
nyeri dan agitasi, serta tersedianya peralatan dan obat-obatan untuk situasi
kegawatdaruratan.
Lansia. Seiring meningkatnya usia, kapasitas fisik pasien lansia untuk
beradaptasi dengan stres pembedahan menjadi terhambat karena mundurnya beberapa
fungsi tubuh tertentu. Individu lansia yang menghadapi operasi bisa mempunyai suatu
kombinasi penyakit kronik dan masalah kesehatan selain masalah kesehatan yang
mengindikasikan pembedahan. Secara umum, lansia dianggap memiliki risiko
pembedahan yang lebih buruk dibandingkan pasien yang lebih muda. Cadangan
jantung menurUll, fungsi ginjal dan hepar menurun, clan aktivitas gastrointestinal
tampaknya berkurang. Dehidrasi, konstipasi, dan nialnutrisi juga mungkin terjadi.
Keterbatasan sensori seperti gangguan.
penglihatan dan pendengaran, serta penurunan sensitivitas terhadap sentuhan
sering kali menjadi alasan terjadinya kecelakaan, cedera, dan luka bakar. Keadaan
mulut juga penting untuk dikaji sebab sering kali ditemukan adanya karies gigi atau
gigi palsu. Temuan ini penting bagi ahli anestesi. Penurunan produksi keringat
mengarah pada kulit yang kering dan gatal-gatal. Kulit yang rapuh tersebut mudah
mengalami abrasi, sehingga tindakan kewaspadaan yang lebih tinggi harus
diterapkan ketika memindahkan pasien lansia. Penurunan lemak subkutan membuata
individu lansia lebih rentan terhadap perubahan suhu tubuh.
Jenis Pekerjaan dan Asuransi Kesehatan
Pengkajian jenis pekerjaan dan asuransi kesehatan diperlukan sebagai persiapan
umum. Pengkajian seperti persiapan finansial sangat bergantung pada kemampuan
pasien dan kebijakan rumah sakit tempat pasien akan menjalani proses pembedahan.
Beberapa jenis pembedahan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Misalnya
pembedahan jantung dan vaskular, bedah saraf, serta bedah ortopedi. Hal itu
disebabkan karena proses pembedahan tersebut memerlukan alat tambahan atau
karena waktu yang dibutuhkan lebih lama sehingga berpengaruh pada biaya obat
anestesi yang digunakan.
Sebelum dilakukan operasi sebaiknya pasien dan keluarga sudah mendapat
penjelasan dan informasi terkait masalah finansial, mulai dari biaya operasi hingga
pemakaian alat tambahan. Hal ini diperlukan agar setelah operasi nanti tidak ada
komplain atau ketidakpuasan pasien dan keluarga.
Persiapan Umum
Persiapan informed consent dilakukan sebelum dilaksanakannya tindakan. Pasien dan
keluarga harus mengetahui perihal prosedur operasi, jenis operasi, dan prognosis dari
hasil pembedahan. Peran perawat di sini adalah bertanggung jawab dan memastikan
bahwa pasien/keluarga dan dokter sudah menandatangani isi dari informed consent.
Persiapan alat dan obat yang akan digunakan selama pembedahan harus
dilakukan secara optimal sesuai dengan kebijakan institusi. Beberapa rumah sakit
memberlakukan kebijakan bahwa persiapan ala, dan obat harus dilakukan sebelun)
pasien masuk kamar operasi. Beberapa rumah sakit lainnya mensyaratkan penyediaan
darah untuk persiapan transfusi harus dilakukan oleh pihak keluarga. Pengkajian
ulang pada ketepatan tranfusi darah antara donor dengan resepien dapat menurunkan
risiko kesalahan pemberian tranfusi.
Persiapan lainnya yang bersifat umum seperti pencalonan pasien yang akan
dilakukan pembedahan dari ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau unit perawatan
intensif ke kamar unit di mana pasien akan dilakukan pembedahan.
Bagi perawar di kamar operasi, pengkajian praoperatif adalah suatu
keterampilan yang biasanya difokuskan pada area intervensi bedah dan harus
dilakukan dalam wakill yang amat singkat. Pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi,
serta patofisiologi sanga; penting dimiliki oleh seorang perawat praoperatif unruk
inenyintesis ternuan pengkaiian dan nienggunakannya Untuk nienentUkan tujuan
perawatan pasien. Pasien yang baru, diterinia di kamar operasi akan diklarifikasi secara
ringkas dan disesuaikan dengan.
intervensi bedah yang akan dilakukan. Dalam melakukan pengkajian yang ringkas
dan optimal, perawat kamar operasi.hanya melakukan klarifikasi secara cepat dengan
menggunakan sistem checklist.
Formulir checklist. Pada beberapa institusi, penggunaan formulir praoperatif di
kamar operasi bertujuan untuk mendokumentasikan prosedur yang secara rutin
dilakukan pada pembedahan. Dengan adanya formulir ini, akan terjalin komunikasi
yang cepat antara perawat ruangan dengan perawat di kamar operasi. Yang
diharapkan dari
pembuatan formulir ini adalah perawat perioperatif dapat secara ringkas memvalidasi
persiapan praoperatif yang telah dilakukan perawat ruangan.
Pada kondisi yang lebih baik, beberapa institusi rumah sakit memberlakukan
lembar pengenal yang dipasang pada lengan bawah pasien agar mcmudahkan
pengenalan lebih lanjut tentang identitas pasien. Tujuan pemasangan tanda pengenal
ini adalah untuk mencegah kekeliruan atau kesalahan intervensi yang akan dilakukan.
Pengkajian Riwayat Kesehatan

Riwayat Kesehatan
Pengkajian riwayat kesehatan pasien di rawat inap, poliklinik, bagian bedah sehari,
atau unit gawat darurat dilakukan perawat melalui teknik wawancara untuk
mengumpulkan riwayat yang diperlukan sesuai dengan klasifikasi pembedahan.
Pengkajian ulang riwayat kesehatan pasien harus meliputi riwayat penyakit yang
pernah diderita dan alasan utama pasien mencari pengobatan. Riwayat kesehatan
pasien adalah sumber yang sangat baik. Sumber berharga lainnya adalah rekaill medis
dari riwayat perawatan sebelumnya.
Penyakit yang diderita pasien akan memengaruhi kemampuan pasien dalam
menoleransi pembedahan dan mencapai pemulihan yang menyeluruh. Pasien yang
akan menjalani bedah sehari (one day care) harus diperiksa secara teliti dan
menyeluruh untuk
menentukan kondisi kesehatan yang mungkin akan meningkatkan risiko komplikasi
selama atau setelah pembedahan.
Pengalaman bedah sebelumnya dapat memengaruhi respons fisik den psikologis
pasien terhadap prosedur pembedahan. Jenis pembedahan sebelumnya, tingkat rasa
ketidaknyamanan, besarnya ketidakmampuan yang ditimbulkan, dan seluruh tingkat
perawatan yang pernah diberikan adalah faktor-faktor yang mungkin akan diingat
kembali oleh pasien. Perawat mengkaji semua komplikasi yang pernah dialami
pasien.Informasi ini akan membantu perawat dalam mengantisipasi kebutuhan pasien
selama pra dan pascaoperatif.
Pembedahan sebelumnya juga dapat memengaruhi tingkat perawatan fisik yang
dibutuhkan pasien setelah menjalani prosedur pembedahan. Misalnya, pasien yang
pernah menjalani torakotomi untuk reseksi lobus paru mempunyai risiko komplikasi
paru-paru yang lebih besar daripada pasien dengan paru-paru yang masih UrUh dan
normal.
Jika pasien menggunakan obat yang telah diresepkan atau obat yang dibeli di luar
apotek secara teratur, maka dokter bedah atau ahli anestesi mungkin akan
menghentikan pemberian obat tersebut untuk sementara sebelum pembedalian atau
mereka akan menyesuaikan dosisnya. Beberapa jenis obat mempunvai implikasi
khusus bagi pasien bedah. Obat yang diminum sebelum pembedahan secara otomatis
akan dihentikan saat pasien selesai menjalani operasi kecuali dokter meminta pasien
untuk menggunakannya kenabali.
Di unit bedah sehari, riwayat yang perlu dikaji biasanya lebih singkat daripada
riwayat yang seharusnya dikumpulkan. Pengkajian hanya dilakukan pada saat pasien
dirawat di rumah sakit dan sore hari sebelum pembedahan dilakukan, karena
terbatasnya waktu. Apabila pasien tidak mampu memberikan seluruh informasi yang
dibutuhkan, maka perawat dapat bertanya pada anggota keluarga.
Pada pasien gawat darurat yang memerlukan pembedahan cito, pengkajian
riwayat kesehatan dilakukan secara ringkas terkait faktor-faktor yang memengaruhi
pembedahan dan anestesi umum. Pasien dikaji tentang adanya riwayat hipertensi,
diabetes melitus, tuberkulosis paru, dan berbagai penyakit kronis yang akan
berdampak pada peningkatan risiko komplikasi intraoperatif.
Riwayat Alergi
Perawat harus mewaspadai adanya alergi terhadap berbagai obat yang mungkin
diberikan selama fase intraoperatif. Apabila pasien mempunyai ri•ayat alergi satu atau
lebih, maka pasien perlu men dapat pita identifikasi alergi yang dipakai pada
pergelangan tangan sebelum menjalani pembeclahan atau penulisan simbol alergi
yang tertulis jelas pada status rekam medis sesuai dengan kebijakan institusi. Perawat
juga harus memastikan bahwa bagian depan lembar pencatatan pasien berisi daftar
alergi yang dideritanya.
Kebiasaan Merokok, Alkohol, dan Narkoba
Pasien perokok memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami komplikasi paru-
paru pascaoperasi daripada pasien bukan perokok. Perokok kronik telah mengalami
peningkatan jurnlah dan ketebalan sekresi lendir pada paru-parunya. Anestesi umum
akan meningkatkan iritasi jalan napas dan merangsang sekresi pulmonal, karena
sekresi tersebut akan dipertahankan akibat penurunan aktivitas siliaris selama
anestesi. Setelah pembedahan, pasien perokok mengalarni kesulitan yang lebih besar
dalani membersihkan jalan napasnya dari sekresi lendir.
Kebiasaan mengonsurnsi alkohol mengakibatkan reaksi yang merugikan
terhadap obat anestesi. Pasien juga mengalami toleransi silang (toleransi obat meluas)
terhadap pemakaian obat anestesi, sehingga memerlukan dosis anestesi yang lebih
tinggi dari normal. Selain itu, dokter mungkin perlu rneningkatkan dosis analgesik
pascaoperatif. Konsurnsi alkohol secara berlebihan juga dapat menyebabkan
malnutrisi sehingga penyembuhan luka menjadi lambat.
Pasien yang mempunyai riwayat adanya peniakaian narkoba (narkotika dan
obatobatan terlarang) pedU diwaspadai atas kemungkinan yang lebili besar untuk
terjangkit penyakit seperti HIV dan Hepatitis, terutama pada pasien pengguna narkoba
Penggunaan obat-obatan narkotika atau penyalahgunaan obat-ohatan terlarang dapat
mengganggu kemampuan pasien mengontrol nyeri setelah operasi serta memengaruhi
tingkat serta jumlah pemberian anestesi selama pembedahan. Penggunaan narkoba
suntik dapat mengganggu sistem vaskular dan menyulitkan akses ke dalam vena.

Pengkajian Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan sensori yang
dinyatakan sebagai pegal, linu, ngilu, keju, kemeng, cangkeul, dan seterusnya dapat
dianggap sebagai modalitas nyeri.
Penting bagi setiap perawat untuk memercayai pasien-yang melaporkan rasa
nyeri. Yang juga sama pentingnya adalah waspada terhadap pasien yang cenderung
mengabaikan nyeri saat nyeri terjadi. Seorang perawat yang menduga pasiennya
merasa nyeri tetapi menyangkalnya, harus menggali bersama pasien penalaran
terhadap dugaan nyeri. Misalnya mengungkapkan kenyataan bahwa gangguan atau
prosedur biasanya menimbulkan nyeri atau bahwa pasien tampak meringis saat
bergerak atau menghindari gerakan. Menggali alasan mengapa pasien mengabaikan
rasa nyeri juga sangat membantu. Banyak orang yang menyangkal nyeri yang
dialaminya karena mereka takut dengan pengobatan/tindakan yang
mungkin.diberikan jika mereka mengeluh nyeri, atau takut menjadi ketergantungan
terhadap opioid (narkotik) jika obat-obat ini diberikan untuk mengatasi nyerinya.
Kondisi penyakit dan posisi dapat menimbulkan nyeri pada pasien. Perawat perlu
mengkaji pengalaman nyeri pasien sebelumnya, metode pengontrolan nyeri yang
digunakan, sikap pasien dalam menggunakan obat-obatan penghilang rasa nyeri,
respons perilaku terhadap nyeri, pengetahuan pasien, harapan, dan metode manajemen
nyeri yang dipilih karena akan memberi dasar bagi perawat dalam memantau
perubahan kondisi pasien.
Pengkajian nyeri yang benar memungkinkan perawat perioperatif untuk
menetapkan status nyeri pasien, lebih bertanggung jawab dan bertanggung gugat
terhadap perawatan yang diberikan, dan lebih berorientasi pada sifat kemitraan dalam
melakukan penatalaksanaan nyeri. Perawat harus mengembangkan hubungan
terapeutik yang positif dan memberi waktu kepada pasien untuk mendiskusikan nyeri.
Memberi posisi yang nyaman pada pasien sebelum perawat bertanya dapat membantu
pasien merasakan bahwa perawat peduli akan dirinya. Perawat menghindari nyeri
yang semakin buruk karena melakukan pengkajian yang lama.
Perawat harus mempelajari cara verbal dan nonverbal pasien dalam
mengomunikasikan rasa ketidaknyamanan. Meringis, menekuk salah satu bagian
tubuh, dan postur tubuh yang tidak lazim merupakan contoh ekspresi nyeri secara
nonverbal.
Pasien yang tidak mampu berkomunikasi efektif biasanya membutuhkan perhatian
khusus selama melakukan pengkajian. Anak-anak, individu yang mengalami
keterlambatan perkembangan, pasien yang menderita psikosis, pasien yang sedang
dalam kondisi kritis, pasien yang mengalami dimensia, dan pasien yang tidak bisa
berbicara bahasa Indonesia membutuhkan pendekatan dengan cara yang berbeba.
Pernyataan verbal anak-anak merupakan hal yang paling penting. Anak-anak yang
masih kecil mungkin tidak mengerti makna “nyeri”sehingga dalam melakukan
pengkajian perawat perlu mcnggunakan kata-kata, seperti ouh, aduh, atau sakit. Untuk
pasien yang mengalami gangguan kognitif, perlu menggunakan pendekatan
pengkajian yang sederhana, yaitu dengan melakukan observasi ketat terhadap
perubahan perilaku pasien. Untuk pasien yang sedang dalam kondisi kritis dan
mungkin mengalami penumpulan sensori, menggunakan selang nasogastrik, atau jalan
napas aritifisial, perawat mungkin perlu mengajukan pertanyaan spesifik secara
langsung kepada pasien sehingga pasien dapat memberi jawaban dengan mengangguk
atau menggelengkan kepala.
Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur
yang menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata
juga mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan
nyeri kepada orangtua atau petugas kesehatan. Secara kognitif, anak-anak toddler dan
prasekolah tidak mampu mengingat penjelasan tentang nyeri atau mengasosiasikan
nyeri sebagai pengalaman yang dapat terjadi di berbagai situasi. Dengan memikirkan
pertimbangan perkembangan ini, perawat harus mengadaptasi pendekatan yang
dilakukan dalam upaya mencari cara untuk mengkaji nyeri yang dirasakan anakanak
(termasuk apa yang akan ditanyakan dan perilaku yang akan diobservasi) dan
bagaimana mempersiapkan seorang anak unruk prosedur medis yang menyakitkan
(Whaley, 1995).
Apabila pasien berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, maka akan sulit
melakukan pengkajian nyeri. Dalam situasi seperti ini, seorang penerjemah atau
seorang anggota keluarga mungkin diperlukan untuk menjelaskan perasaan pasien dan
sensasi yang dirasakan.

Pengkajian Karakteristlk Nyeri secara PQRST


Keluhan dari pasien tentang nyeri yang dirasakan merupakan indikator utama yang
paling dapat dipercaya tentang keberadaan dan intensitas nyeri dan apapun yang
berhubungan dengan ketidaknyamanan. ~Iamanan. Nyeri bersifat individual, sehingga
pengkajian karaktcristik nyeri membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri
dan tipe manajemen nyeri yang digunakan untuk mengatasi nyeri. Penggunaan
instrumen untuk menghitung luas dan derajat nyeri bergantung kepada kondisi pasien
yang sadar secara kognitif dan mampu memahami instruksi perawat.
Pendekatan pengkajian karakteristik nyeri dengan menggunakan metode PQRST
dapat mempermudah perawat perioperatif dalam melakukan pengkajian nyeri yang
dirasakan pasien secara ringkas dan dapat digunakan dalam kondisi praoperatif yang
singkat.

Pengkajian Psikososiospiritual
Kecemasan Praoperatif
Kecemasan berasal dari bahasa latin "angere" yang berarti untuk menghadapi (to
strange) atau untuk distres. Hal ini berkaitan dengan kata "anger" yang berarti
"kesedilian- atau "i-nasalah". Kecemasan juga berkaitan dengan kata "to anguish"
yang mengganibarkan adanya nyeri Aut, penderitaan, dan distres (Sruart, 19981.
Cemas 11crbeda den.gan rasa takut, di mana ccinas disebibkan oleh hal-hal yang tidak

Kotak 2-1. Ringkasan Pengkajian Karakteristik Nyeri dengan Pendekatan PQRST

Provoking Incident : Apakah ada peristiwa yang menjacli yang menjadi faktor penyebab
nyeri? Apakah nyeri berkurang apabila beristirahat? Apakah nyeri bertambah berat bila
beraktivitas? Faktor-•aktor apa yang meredakan nyeri (misa)nya: gerakan, kurang
bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan sehagainya) dan apa yang
dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.
Quality or Quantity of Pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digarnharkan
pasien. Apakah nyeri bersifat tumpul, seperti terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk.
Region, Radiation, Relief : Di mana Lokasi nyeri harus ditunjukkan dengan tepat olch
pasien, apakah rasa sakit bisa reda, apakali rasa sakit menjalar atau menyebar, dan di mana
rasa saki, terjadi.
Tekanan pada saraf atau akar saraf akan memberikan gejala nyer-i yang disebut
radiating pain, misainva pada skiatika Ji mana nyeri menialar mulai dari bokong sampai
anggota gerak bawah sesuai dengan distri husi saraf. Nyeri lain yang disebut nyeri kiriman
atau referred pain adalab nyeri pada suatu tempat yang sebenarnya akibat kelainan dari
tempat lain misilnya nyeri lutut akibat kelainan pada sendi panggul.
Severity (Scale) of Pain : Seberapa jau6 rasa nyeri yang dirasakan pasien, pengkajian nyeri
dengan menggunakan skala nyeri deskriptif. Nlisalnya: tidak ada nyeri = 0, nyeri ringan = 1,
nyeri sedan5 = 2, nyeri bzrat = 3, nyeri tak tertahankan = 4. Kemudian perawat
membantu pasien unttik memilili secara suhjektif tingkat skala nyeri yang dirasakan
pasien.
Time : Berapa lama nyeri herlangsung (apakah bersifat akut atau kronis kapan, apakah ada
waktu-waktu tertentu yang menamhah rasa nyeri.

jelas termasuk di dalamnya pasien yang akan menjalani operasi karena


mereka tidak tahu konsekuensi pembedahan dan takut terhadap prosedur
pembedahan itu sendiri. Ketakutan memiliki objek yang jelas di mana
seseorang dapat mengidentifikasikan dan menggambarkan objek ketakutan.
Ketakutan melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang
mengancam, sedangkan kecemasan merupakan penilaian emosional terhadap
penilaian itu. Ketakutan diakibatkan oleh paparan fisik maupun psikologis
terhadap situasi yang mengancam. Ketakutan dapat menyebabkan kecemasan.
Dua pengalaman emosi ini dibedakan dalam ucapan, yaitu kita mengatakan
memiliki rasa takut tetapi menjadi cemas. Inti permasalahan dalam suatu
bentuk kecemasan adalah pada penjagaan diri (Chitty, 1997).
Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan
akan pengalaman pembedahan yang dapat mengakibatkan kecemasan yang terekspresi
dalam berbagai bentuk seperti marah, menolak, atau apatis terhadap kegiaran
keperawatan. Pasien yang cemas sering mengalami ketakutan atau perasaan tidak
renang. Berbagai bentuk ketakutan muncul seperti ketakuran akan hal yang tidak
diketahui, misalnya terhadap pembedahan, anestesi, masa depan, keuangan, dan
tanggung jawab keluarga, ketakutan akan nyeri, kematian, atau ketakutan akan
perubahan citra diri dan konsep diri.

Kecemasan dapat menimbulkan adanya perubahan secara fisik maupun


psikologis yang akhirnya mengaktifkan saraf otonom simpatis sehingga
meningkatkan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
napas, dan secara umum mengurangi tingkat energi pada pasien, dan akhirnya
dapat merugikan individu itu sendiri (Rothrock, 1999). Berdasarkan konsep psi
koneuroirn u nologi, kecemasan merupakan stresor yang dapat menurunkan
sistem imunitas tubuh. Hal ini teriadi melalui serangkaian"aksi yang
diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, Pituitari; dan Adrenal). Stres akan
merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi Corticotropin Releasing
Factor (CRF). CRF ini selanjutnya akan merangsang kelenjar pituitari anterior
untuk meningkatkan produksi Adrenocorticotrophin Hormone (ACTH).
Hormon ini yang akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi
kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh
(Guyton, 19961.
Prosedur pembedahan akan memberikan suatu reaksi emosional bagi
pasien. Apakah reaksi tersebut jelas atau tersembunyi, normal, atau abnormal.
Sebagai contoh, kecemasan praoperatif merupakan suatu respons antisipasi terhadap
suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap
perannya dalam hidup. integritas tubuh, atau bAkan kehidupan itu sendiri. Sudah
diketahui bahwa pikiraii yang bermasalah secara langsung akan memengaruhi
fungsi tubuh. Oleh karena itu. penting untuk mengidentifikasi ansietas yang dialami
pasien.
Dengan mengumpulkan riwayat kesehatan secara cermat, perawat akan
menemukan kekhawatiran pasien yang dapat menjadi beban langsung sel:u-na
proses pembedahan. Tidak diragukan lagi, pasien vang, menghadapi
pembedahan akan dilingkupi oleh ketakutan, termasuk ketakutan akan
ketidaktahuan, kematian, anestesi, dan kanker. Kekhawatiran mengenai kehilangan
waktu kerja, kemungkinan kehilangan pekerjaan, tanggung jawab terhadap
keluarga, dan ancaman ketidakmampuan permanen yang lebih jauh, akan
memperberat ketegangan emosional vang, sangat hebat yang diciptakan oleh proses
pembedahan. Kekhawatiran nyata yang lebih ringan dapat terjadi karena pengalaman
sebelumnya dengan sistem perawatan kesehatan dan orang-orang yang dikenal
pasien dengan kondisi yang sama. Akibatnya, perawat harus memberikan
dorongan untuk pengungkapan serta harus mendengarkan, memahami, dan
memberikan informasi yang nicnibantu menyingkirkan kekhawatiran tersebut (Potter,
2006).
Menurut Potter (2006), reaksi pasien terhadap pembedahan didasarkan
pada ban•ak faktor, meliputi keticlakn •amanao dan perubahan-perubahan yang
diantisipasi baik fisik, finansial, psikologis, spiritual, sosial, atau hasil akhir
pembedahan yang diharapkan.
Bagian terpenting, dari pengkajian kecemasan praoperatif adalah untuk
menggali peran orang terdekat, baik dari keluarga atau sahabat pasien. Adanya
sumber dukUngan orang terdekat akan menurunkan kecemasan.

Perasaan
Perawar dapat mendteksi perasaan pasien tentang pembedahan dari perilaku dan
perbuatannya. Pasien yang merasa takut biasanya akan sering bertanya, tampak tidak
nyaman jika ada orang asing memasuki ruangan, atau secara aktif mencari dukungan
dari teman dan keluarga.
Perasaansering kali susah dikaji secara keseluruhan jika pasien akan menjalani
bedah sehari. Biasanya perawat hanya memiliki waktu yang singkat untuk membina
hubungan dengan pasien. Pada beberapa program bedah sehari, perawat dapat
mengunjungi rumah pasien atau melakukan pengkajian melalui telepon sebelum hari
pembedahan. Di rumah sakit perawat harus memilih waktu diskusi yaitu setelah
melengkapi prosedur kedatangan pasien ke rumah sakit afau setelah melengkapi
pemeriksaan diagnostik. Perawat harus menjelaskan bahwa rasa takut dan khawatir
merupakan perasaan yang normal. Kemampuan pasien mengungkapkan perasaannya
bergantung pada keinginan perawat untuk mendengar, memberi dukungan, dan
membenarkan konsep yang salah (Stuart, 1999).
Jika pasien merasa tidak berdaya, perawat harus menentukan alasannya.
Diagnosis medis dapat menimbulkan pemahaman tentang meningkatnya rasa
ketergantungan dan kehilangan fungsi fisik atau mental. Pikiran bahwa pasien akan
"ditidurkan" selama masa anestesi menimbulkan rasa khawatir akan kehilangan
kontrol. Banvak pasien yang merasa perlu mempertahankan kekuatannya untuk
membuat keputusan tentang terapi yang akan dijalaninya. Perawat harus meyakinkan
bahwa pasien berhak untuk bertanya dan mencari informasi.
Konsep Diri
Pasien dengan konsep diri positif lebih mampu menerima operasi yang dialaminya
dengan tepat. Perawat mengkaji konsep diri pasien dengan cara meminta pasien
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dirinya. Pasien yang cepat mengkritik atau
merendahkan karakter dirinya mungkin mempunyai harga diri yang rendah atau
sedang menguji pendapat perawat tentang karakter mereka. Konsep diri yang buruk
mengganggu kemampuan beradaptasi dengan stres pembedahan dan memperburuk
rasa bersalah atau ketidakmampuanrya (Stuart, 1999).
Citra Diri
Pembedahan untuk mengangkat bagian tubuh yang mengandung penyakit biasanya
mengakibatkan perubahan bentuk atau perubahan fungsi tubuh yang permanen. Rasa
khawatir terhadap kelainan bentuk atau kehilangan bagian tubuh akan menyertai rasa
takut pasien.
Perawat mengkaji perubahan citra tubuh yang pasien anggap akan terjadi
akibat operasi. Reaksi individu berbeda-beda bergantung pada konsep diri dan tingkat
harga dirinya.
Sering kali pembedahan mengubah aspek fisik atau psikologis seksual pasien.
Eksisi jaringan payudara, kolostomi, ureterostomi, atau pengangkatan kejenjar prostat
dapat memengaruhi persepsi pasien tentang seksualiias mereka. Pembedahan seperti
perbaikan hernia atau ekstraksi katarak men% ebabkan pasien tidak melakukan
hubungan seksual sampai aktivitas fisik mereka kembali normal.
Perawat harus mendorong pasien uniuk mengekspresikan kekhawatiran mereka
tentang seksualitas. Pasien yang menghadapi disfungsi seksual yang bersifat
sementara. memerlukan pemahaman dan dukungan. Diskusi tentang seksualitas klien
harus dilakukan dengan pasangan seksual mereka, sehingga mereka dapat saling
memahlinj cara mengatasi keterbatasan fungsi seksual yang terjadi.

Sumber Koping
Pengkajian terhadap perasaan dan konsep diri akan membantu perawat menentukan
kemampuan pasien dalam mengatasi stres akibat pembedahan. Perawat juga bertanya
tentang manajemen stres yang biasa dilakukan pasien sebelumnya. Apabila pasien
pernah menjalani pembedahan, inaka perawat perioperatif perlu menentukan perilaku
yang dapat membantu pasien dalam menghilangkan ketegangan atau kecemasannya.
Perawat dapat menginstruksikan pasien untuk melakukan latihan relaksasi untuk
membantu mengontrol ansietas.
Perawat perioperatif mengkaji adanya dukungan yang dapat diberikan oleh
anggota, keluarga atau teman klien. Pada saat pengkajian atau saat perawat memberi
intruksi atau penjelasan, pasien mungkin menginginkan kehadiran orang lain. Pada
konsep perioperatif adanya anggota keluarga dapat dimaksimalkan perawat
perioperatif sebagai pelatih pasien, menawarkan dukungan yang berharga selama
periode pascaoperatif, karena partisipasi dari pasien terhadap keseluruhan fase
perioperatif merupakan hal yang penting.

Kepercayaan Spiritual
Kepercayaan spiritual memainkan peranan penting dalam menghadapi ketakutan dan
ansietas. Tanpa memandang agama yang dianut pasien, kepercayaan spiritual dapat
menjadi medikasi terapeutik. Segala upaya harus dilakukan untuk membantu pasien
mendapat bantuan spiritual yang diinginkan. Keyakinan mempunyai kekuatan yang
sangat besar, oleh karena itu kepercayaan yang dimiliki oleh setiap pasien harus
dihargai dan didukung. Menghormati nilai budaya dan kepercayaan pasien dapat
mendukung terciptanya hubungan dan saling percaya.
Kemampuan yang paling berguna bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan adalah kemampuan untuk mendengarkan pasien, terutama saat
mengumpulkan ri•ayat kesehatan pasien. Melalui keterlibatan dalam percakapan dan
menggunakan prinsip-prinsip kornunikasi dan ine•awancara, perawat dapat
mengumpulkan informasi dan wawasan yang sangat berharga. Perawat yang tenang.
memperhatikan, dan pengertian akan menimbulkan rasa percaya pasien.

Pengetahuan, Persepsi, dan Pemahaman


Perawat harus mempersiapkan pasien dan keluarganya untuk menghadapi
pembedahan. Dengan mengidentifikasi pengetahuan, persepsi, dan peniaharnan
pasien, dapat membantu perawat merencanakan penyuluhan den tindakan untuk
mempersiapkal, kondisi emosional pasien. Apabila pasien dijadwalkan menjalani
bedah sehiri, maka pengkajian dapat dilakukan di ruang praktik dokter atau di rumah
pasien
Setiap, pasien merasa takut untuk darang ke tempat pembedahan. beberapa,
diantaranya disebabkan karena pengalaman di ruinah sakit sebelumnya, peringatan
dari teman dan keluarga, atau karena kurang pengetahuan. Perawat menghadapi
dilema etik saat pasien memahami informasi yang salah atau tidak menyadari alasan
dilakukannya pembedahan. Perawat menanyakan gambaran pemahaman pasien
tentang pembedahan dan implikasinya.
Informed Consent
Informed consent adalah suatu izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela
oleh pasien sebelum suatu pembedahan dilakukan. Izin tertulis tersebut dapat
melindungi pasien dari kelalaian dalam prosedur pembedahan dan melindungi ahli
bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Demi kepentingan
bersama,'semua pihak yang terkait perlu mengikuti prinsip medikolegal yang baik
(Potter, 2006).
Tanggung jawab perawat adalah untuk memastikan bahwa informed consent
telah diminta oleh dokter dan ditandatangani secara sukarela oleh pasien. Sebelum
pasien menandatangani informed consent, ahli bedah harus memberikan penjelasan
yang jelas dan sederhana tentang apa yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli
bedah juga harus menginformasikan pasien tentang alternatif-alternatif yang ada,
kemungkinan risiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh, menimbulkan kecacatan,
ketidakmampuan, pengangkatan bagian tubuh, dan juga tentang apa yang
diperkirakan terjadi pada periode pascaoperatif awal dan lanjut. Persetujuan tindakan
medik ini diperlukan pada:
 suatu prosedur tindakan invasif, seperti insisi bedah, biopsi, sistoskopi, atau
parasintesis;
 intervensi dengan menggunakan anestesi;
 prosedur nonbedah yang risikonya lebih dari sekadar risiko ringan,
contohnya prosedur arteriografi;
 prosedur yang mencakup terapi radiasi atau kobalt;
Pasien secara pribadi menandatangani consent tersebut jika dia telah
mencapai usia yang ditentukan dan mampu secara mental. Bila pasien di bawah
umur, tidak sadar, atau tidak kompeten, maka izin harus didapat dari anggota
keluarga yang bertanggung jawab atau wali yang sah.
Pada kasus-kasus kedaruratan, penting bagi ahli bedah untuk mengambil
tindakan yang bersifat penyelamatan tanpa informed consent dari pasien. Namun,
upaya untuk menghubungi pihak keluarga pasien harus terus dilakukan. Pada situasi
seperti ini, komunikasi dapat dilakukan melalui telepon, telegram, faksimile, atau
rnedia elektronik lainnya.
Jika pasien ragu-ragu dan tidak sempat mencari pengobatan alternatif, maka
opini orang kedua dapat diminta. Tidak ada pasien yang boleh dipaksa untuk
menandatangani izin operasi. Penolakan terhadap prosedur pembedahan adalah hak
hukum dan hak istimewa seseorang. Akan tetapi, informasi tersebut harus
didokumentasikan dan disampaikan kepada ahli bedah sehingga pengaturan lain dapat
dibuat. Sebagai contoh, penjelasan tambahan dapat diberikan kepada pasien dan
keluarganya atau pembedahan dapat dijadwalkan ulang.
Proses penandatanganan informed consent ini dapat dilengkapi dengan
penjelasad dan harus dipastikan bahwa pasien dapat memahami dan mengerti isi atau
maksud dari informed consent tersebut. Formulir informed consent yang sudah
ditandatangani diletakkan di rekam medik pada posisi yang mudah dilihat.
PEMERIKSAAN FISIK

Ada berbagai pendekatan yang digunakan dalam melakukan perneriksaan fisik,


mulai dari pendekatan head to toe hingga pendekatan per sistem. Perawat dapat
menyesuaikan konscp pendekatan pemeriksaan fisik dengan kebijakan prosedur
yang digunakan institusi tempat ia bekerja. Pada pelaksanaannya, pemeriksaan
yang dilakukan bisa mencakup sebagian atau seluruh sistem, bergantung pada
banyaknya waktu yang tersedia dan kondisi praoperatif pasien. Fokus
pemeriksaan yang akan dilakukan adalah melakukan klarifikasi dari hasil
ternuan saat melakUkan anamnesis riwayat kesehatan pasien dengan sistem
tubuh yang akan dipengaruhi atau memengaruhi respons pembedahan.

Kedaan Umum dan Tanda-tanda Vital


Pemeriksaan keadaan unium pasien praoperatif ineliputi penampilan umum
din perilaku, pengkajian tingkat kesadaran, dan pengkajian status nutrisi.

Penampilan Umum
Pada pengkajian keadaan urnum, secara ringkas perawat melakukan survei
keadaan umum untuk mengobservasi penampilan umum pasien. Bentuk dan
pergerakan tubuh dapat menggambarkan kelemahan yang disebabkan olch
penyakit yang berhubungan dengan adanya intervensi pembedahan. Secara
ringkas, pengkajian yang berhubungan dengan praoperatif meliputi elemen-elemen
berikut ini.
 Usia
Usia akan memengaruhi karakteristik fisik normal. Kemampuan untuk
berpartisipasi dalam beberapa bagian pemeriksaan fisik praoperatif juga
dipengarohi oleh usia.

 Tanda distres
Terdapat tanda dan gejala distres nyata yang mengindikasikan nyeri, kesulitan
bernapas, atau kecemasan. Tanda tersebut dapat membantu perawat dalam
membuat prioritas yang berkaitan dengan apa yang akan diperiksa terlebih
dahulu.

 jenis tubuh
Perawat mengobservasi jika pasien tampak ramping, berotot, obesitas. atau
,sangat kurus. Jenis tubuh dapat mencerminkan tingkat kesehatan, usia, dan
gaya hidup.

 Postur
Perawat mengkaji postur tubuh pasien. Apakah pasien memiliki postur tubuh
yang merosot, tegak, atau bungkuk. Postur dapat mencerminkan alam perasaan
atau adanya nyeri.
 Gerakan tubuh
Observasi gerakan tersebut bertujuan untuk memperhatikan apakah terdapat
tremor di ekstremitas. Tentukan ada atau tidaknya bagian tubuh yang tidak
bergerak.

 Kebersihan diri dan bau badan


Tingkat kebersihan diri pasien dicatat dengan mengobservasi penampilan rambut,
kulit, dan kuku jari. Bau badan yang tidak sedap dapat terjadi karena kebersihan
diri yang buruk atau akibat patologi penyakit tertentu. Kondisi kebersihan
praoperatif merupakan hal yang penting diperhatikan karena dapat memengaruhi
konsep asepsis intraoperasi dan akan memberikan data dasar pada perawat untuk
memberikan intervensi praoperatif terkait kebutuhan pemenuhan kebersihan area
pembedahan.

 Afek dan alam perasaan


Afek adalall perasaan seseorang yang terlihat oleh orang lain. Alam perasaan atau
status emosi diekspresikan secara verbal dan nonverbal.

 Bicara
Bicara normal adalah bicara yang dapat dipahami, diucapkan dengan kecepatan
sedang, dan menunjukkan hubungan dengan apa yang dipikirkan.

Pengkajian Tingkat Kesadaran


Penilaian tingkat respons kesadaran secara umum dapat mempersingkat
pemeriksaan. Pengenalan kondisi klinis pada setiap tingkat kesadaran akan
memudahkan perawat dalam melakukan pengkajian.
Pada keadaan emergensi, kondisi pasien dan waktu untuk mengumpulkan
data penilaian tingkat kesadaran sangat terbatas. Oleh karena itu, skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale1GCS) dapat memberikan jalan pintas yang sangat
berguna. Skala tersebut memungkinkan pemeriksa untuk membuat peringkat tiga
respons utarna pasien terhadap lingkungan, yaitu: membuka mata, mengucapkan
kata, dan gerakan.
Pada setiap kategori, respons yang terbaik diberikan nilai. Nilai total
maksimum untuk sadar penuh dan terjaga adalah 15. Nilai minimum 3
menandakan pasien tidak memberikan respons. Jika nilai keseluruhan adalah 8
atau di bawahnya, maka berhubungan dengan koma, yang jika bertahan dalam
waktu yang lama mungkin dapat menjadi satu tanda akan buruknya pemulihan
fungsi. Sistem penilaian ini dirancang sebagai pedoman untuk mengevaluasi
dengan cepat pasien yang sakit kritis atau pasien yang cedera sangat berat dan
status kesehatannya dapat berubah dengan cepat.

Pengkajian Status Nlutrisi


Pengkajian status nutrisi dengan menggunakan berat dan tinggi badan
merupakan indikator status nutrisi yang penting. Kebutuhan nutrisi ditentukan
dengan mengukur tinggi dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas,
kadar protein darah, dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi
harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup guna
perbaikan jaringan.
Perbaikan jaringan normal dan resistensi terhadap irtfeksi bergantung pada
status nutrisi yang cukup. Pembedahan akan meningkatkan kebutuhan nutrisi.
Setelah pembedahan, pasien membutuhkan minimal 1500 kkal/hari untuk
mempertahankan cadangan energi. Peningkatan protein, vitamin A dan C, serta zat
besi akan mempercepat penyembuhan luka. Pasien malnutrisi cenderung
mengalami penyembuhan iuka yang kurang baik, berkurangnya penyimpanan
energi, cian infeksi setelah operasi. Apabila pasien menjalani pembedahan elektif,
maka ketidakseimbangan nutrisi dapat diperbaiki sebelum pembedahan. Namun,
jika pasien malnutrisi harus menjalani prosedur darurat, maka upaya perbaikan
nutrisi dilakukan setelah pembedahan (Potter, 2006).
Dehidrasi, hipovolernia, dan ketidakseimbangan elektrolit umum terjadi dan
harus didokumentasikan dengan cermar. Tingkat keparahan sering sulit untuk
ditentukan. Ketika pasien sedang dipersiapkan untuk pembedahan, maka tambahan
waktu mungkin diperlukan untuk memperbaiki defisit cairan guna meningkatkan
kondisi praoperatif sebaik mungkin.
Obesitas sangat meningkatkan risiko dan komplikasi yang berkaitan dengan
pembedahan. Selama pembedahan, jaringan lemak rentan terhadap infeksi. Selain
itu, obesitas mengakibatkan peningkatan masalah-masalah teknik dan mekanik.
Oleh karena itu, dehisens (perlepasan luka) dan infeksi luka umum terjadi. Pasien
obesitas biasanya lebih sulit dirawat karena akibat peningkatan berat badan, pasien
menjadi bernapas tidak optirnal ketika berbaring miring dan karenanya mudah
mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pascaoperatif. Selain itu,
distensi abdomen, flebitis, gangguan sistem kardiovaskular, endokrin, hepatika,
dan penyakit biliari terjadi lebih sering pada pasien dengan obesitas. Telah
diperkirakan bahwa untuk setiap kelebilian berat badan 13 kg, diperlukan sekirar
40 km pembuluh darah. Kebutuhan yang meningkat pada jantung dalam hal ini
sangat jelas (Potter, 2006).
Obesitas meningkatkan risiko pembedahan akibat menUrunnya ventilasi
dan fungsi jantung. Pasien akan mengalami kesulitan melakukan aktivitas fisik
normal setelah pembedahan. Pasien obesitas rentan mengalami penyembuhan luka
yang buruk dan infeksi luka karena struktur jaringan lemak memiliki suplai darah
yang buruk. Suplai darah yang buruk akan memperlambat pengiriman nutrisi yang
penting, antibodi, dan enzim yang dibutuhkan untuk penyembuhan iuka. Pasien
obesitas sering mengalami kesulitan penutupan luka karena tebainva lapisan
adiposa. Klien obesitas juga berisiko mengalami dehisens (terbukanya garis jahitan
operasi).

Pemeriksaan Tanda-tanda Vital


Pemeriksaan fisik awal dilakukan dengan memeriksa randa-tanda vital (TTV).
Tanda Vital diukur untuk menentukan status kesehatan atau untuk menilai respons
pasien terhadap stress terhadap intervensi pembedahan.
Pemeriksaan TTV meliputi pengukuran suhu, nadi, tekanan darah, dan
frekuensi pernapasan. Sebagai indikator dari status kesehatan, ukuran-ukuran ini
menandakan keefektifan sirkulasi, respirasi, serta fungsi neurologis dan endokrin
tubuh. Karena sangat penting, maka disebut dengan tanda vital. Banyak faktor
seperti suhu lingkungan, latihan fisik 'dan efek sakit yang menyebabkan perubahan
tanda vital hingga kadang- kadang di luar batas normal. Pengukuran tanda vital
memberi data untuk menentukan status kesehatan pasien yang lazim (data dasar),
seperti respons terhadap stres fisik dan psikologis, terapi medis dan keperawatan,
atau menandakan perubahan fungsi fisiologis. Perubahan pada tanda vital
menandakan kebutuhan dilakukannya intervensi keperawatan dan medis
praoperatif.
Pengkajian tanda-tanda vital praoperatif memberikan data dasar yang
penting untuk dibandingkan dengan perubahan tanda-randa vital yang terjadi
selama dan setelah pembedahan. Pengkajian tanda-tanda vital praoperatif juga
penting untuk menentukan adanya abnormalitas cairan dan elektrolit. Peningkatan
denyut jantung dapat disebabkan karena kekurangan volume cairan plasma,
kekurangan kalium, atau kelebihan natrium. Apabila denyut nadi kuat dan keras,
hal tersebut mungkin disebabkan karena kelebihan volume cairan. Disritmia
jantung umumnya disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit.
Peningkatan suhu sebelum pembedahan merupakan penyebab yang harus
diperhatikan. Apabila pasien mengalami infeksi, maka dokter bedah dapat
menunda pembedahan sampai infeksi tersebut teratasi. Peningkatan suhu tubull
meningkatkan risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit setelah pembedahan.
Tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien untuk memantau kondisi
pasien, mengidentifika.3i masalah, dan mengevaluasi respons pasien terhadap
intervensi. Teknik dasar inspeksi, palpasi, dan auskultasi digunakan untuk
menentukan tanda vital. Keterampilan ini sederhana, tetapi tidak boleh diabaikan.
Pengkajian tanda vital memungkinkan perawat untuk mengidentifikasi diagnosis
keperawatan, mengimplementasikan rencana intervensi, dan mengevaluasi
keberhasilan bila tanda vital dikembalikan pada batas nilai yang dapat diterima.
Pemeriksaan tanda vital merupakan unsur yang penting bila perawat dan dokter
melakukan kolaborasi dalam menentukan status kesehatan pasien. Teknik
pengukuran yang cermat menjamin temuan yang akurat pula.

Kepala dan Leher Survei Kepala


Riwayat keperawatan akan mendeteksi adanya cedera intrakranial dan deformitas
lokal atau kongenital. Perawat mulai dengan menginspeksi posisi kepala dan
gambaran wajah pasien. Posisi kepala normalnya tegak dan stabil.
Perawat mengobservasi gambaran wajah pasien, melihat kelopak mata, alis,
lipatan nasolabial, dan mulut untuk mengetahui bentuk dan kesimetrisannya.
Sedikit ketidaksimetrisan merupakan suatu hal yang normal. jika terdapat ketidak
simetrisan pada wajah, maka perawat menilai apakah seluruh bagian atau hanya
sebagian dari wajah saja yang terkena. Berbagai gangguan neurologis seperti
paralisis saraf fasial, akan memengaruhi saraf lain yang juga mempersarafi otot-
otot wajah.

Mata

Observasi gambaran kesimetrisan mata kanan dan kiri. Kesimetrisan wajah pasien
dika untuk melihat apakah kedua mata terletak pada jarak yang sama. Perawat
memerik,, apakah salah satu mata lebih besar atau lebih menonjol (bulging) ke
depan melah pemeriksaan posisi istirahat dan garis mata atas.
Alis diobservasi kuantitas dan penyebaran rambutnya. Kelopak mata
diinspek warna, keadaan kulit, dan ada/tidaknya bulu mata serta arah tumbuhnya.
Batas kelopa diperiksa akan adanya lesi seperti tonjolan atau tumor. Terkadang,
pada fraktur dass tengkorak di fosa anterior, darah dapat merembes dari robekan
dura hingga ke rongf orbita. Hematoma yang terjadi menyebabkan gambaran mata
hitam yang diken sebagai racoon eyes (Gambir 3-3). Pasien dengan fraktur dikaji
ada/tidaknya kebocora cairan serebrospinal dari hidung (rinorea).
Mata dan kelopak mata orang yang kckurangan nutrisi atau dehidrasi nampz
seperti tenggelarn atau cekung karena lemak dan cairan yang tersimpan di belakar bola
mata hilang. Ptosis (turunnya kelopak) dapat disebabkan oleh edema, kelemah<otot,
defek kongenital, atau masalah neurologis (SO III) yang disebabkan oleh traun atau
penyakit.

Gambar 3-3 Kiri: Racoon eyes. Kanan : Ptosis bilateral

Konjungtiva dan sklera. Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan


transparan yang melapisi bagian posterior kelopak mata dan melipat ke arah bola mata
untuk melapisi bagian anterior bola mata. Sklera dikaji warnanya, biasanya putih.
Warna kekuningan merupakan indikasi ikterus atau masalah sistemik. Pada individu
yang berkulit hitain, sklera normal juga bisa terlihat kuning, terdapat Eirik kecil,
gelap, dan berpigmen. Penieriksaan konjungtiva praoperatif akan nieniberikan data
dasar untuk intervensi.
Pupil normal berbentuk bulat, letaknya di tengah, dan memiliki ukuran yang
sama antara kiri dan kanan (isokor). Terdapat kurang lebih 5% individu yang secara
normal memliliki perbedaan dalam ukuran pupil. Perbedaan ini disebut anisokor. Ukuran
pupil bervariasi pada tiap, individu yang terpapar cahayanya dalam jumlah yang sama.
dapat melihat jauh) mempunyai pupil yang lebih kecil. Diameter pupil normal adalah
antara 2-6 mm. Pupil yang ukurannya kurang dari 2 mm disebut konstriksi (miosis),
sedangkan pupil yang berukuran lebih dari 6 mm disebut dilatasi (midriasis).
Kaji respons pupil terhadap cahaya (Gambar 3-4). Respons pupil terhadap
cahaya lebih mudah diobservasi jika uji ini dilakukan di ruang gelap. Akan tetapi,
pada individu dengan mata coklat tua, lebih sulit bagi perawat untuk mendeteksi
perubahan yang ada. Konstriksi kedua pupil merupakan respons normal terhadap sinar
langsung. Meningkatnya cahaya menyebabkan pupil konstriksi, sedangkan penurunan
cahaya menyebabkan pupil dilatasi. Pupil juga mengecil atau konstriksi dalam respons
terhadap akomodasi (perubahan fokus akibat berubahnya pandangan dari objek jauh ke
dekat).

Gambar3-4 . Kiri: Teknik merefraksi klopak mata bawah untuk memeriksa konjungtiva. Konjungtiva normal bewarna merali
muda pucat dan mengilat. Tengah: Pemerilzsaan pupil dengan menggunakan bantuan sinar. Secara normal, kedua pupil akan mengalarni kontriksi
(miosis) apabila mendapat r, ngsangan -cah.iya. Kanan: Pupil vang berwarna putih nienunjukkan lensa mata vang mengamalami kekeruhan.
Perawat mengkaji reaksi pupil terhadap sinar dengan menganjurkan pasien untuk
melihat lurus ke depan sambil secara cepat membawa sinar senter dari samping dan
mengarahkan ke pupil mata kanan (Oculus DextralOD). Konstriksi pada pupil OD
merupakan direct response terhadap cahaya senter ke dalam mata tersebut. Konstriksi
pada pupil mata kiri (Oculus SinistralOS) selama cahiya diarahkan pada OD dikenal
sebagai consensual response. Kedua respons tersebut harus dievaluasi pada masing-
masing mata. Pada kondisi aphakia (tidak adanya lensa mata), pupil berwarna hitam,
sedangkan pada kondisi katarak, pupil berwarna putih/leukokoria (Gambar 3-4).

Hidung dan Sinus


Lakukan inspeksi palatum mole dan sinus nasalis dengan tujuan untuk mengkaji drainase
sinus yang menggambarkan adanya infeksi sinus atau pernapasan.

Mulut, Bibir, Lidah, dan Palatum


Kondisi membran mukosa mulut menutIjUkkan status hidrasi. Pasien dehidrasi berisiko
mengalami ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang serius selama pembedahan. Pada
pasien yang mempunyai riwayat trauma atau fraktur rnandibula akan ditemukan
pergeseran gigi dan gusi (Gambar 3-5).

Pemeriksaan Leher
Otot leher, nodus limfatik di kepala dan leher, arteri karotid, vena jugularis, kelenjar tiroid,
dan trakea terdapat di dalam leher. Pada pemeriksaan fisik praoperatif, pemeriksaan
leher yang lazim dilakukan adalah memeriksa nodus limfatik dan kelenjar tiroid.
Nodus limfatik diperiksa dengan cara palpasi menggunakan jari tengah dan
gerakan memutar. Nodus limfatik normalnya tidak mudah dipalpasi (Gambar 3-6). Tetapi,
nodus yang kecil, dapat digerakkan,dan tidak nyeri saat ditekan merupakan
hal yang umum ditemukan. Nodus limfatik yang besar, menetap, meradang, atau nyeri
tekan mengindikasikan adanya masalah seperti infeksi lokal, pen•akit sistemik, atau
neoplasma. Pada saat nodus yang membesar itu ditcmukan, perawat harus mengeksplorasi
area dan wilayal: skitarnya yang memperoleh drainnse dari nodus, tersebut untuk adanya
melihat tanda infeksi atau keganasan. Nyeri tekan biasanya terjadi akibat inflamasi.
Mencatat nodus mana yang membesar dapat membantu melokalisasi area infeksi. Sebagai
contoh, infeksi telinga biasanya mengalir ke nodus preaurikuler atau nodus servikal dalarn.
Keganasan biasanya berkaitan dengan nodus yang tidak nyeri saat ditekan, keras, dan
khas. Setelah infeksi yang serius, nodus dapat terus membesar tetapi tidak nyeri tekan.
Gambar 3-6. Kiri: Palpasi noduss limiatik pada leher dengan menggunakan jari tengah sambil melakukan palpasi ringan secara berputar.
Kanan: Pemeriksaan palpasi Kelenjar tiroid
adanya massa yang terlihat, kesimetrisan, dan kesempurnaan bentuk di bagian dasar
leher. Meminta pasien untuk menghiperekstensikan leher dapat membantu
mengencangkan kulit, sehingga kelenjar tersebut dapat lebih mudah dilihat. Perawat
menawarkan segelas air dan kemudian meminta pasien untuk menelannya sambil
memperhatikan apakah ada kelenjar yang menonjol. Normalnya, kelenjar tiroid tidak
dapat dilihat. Gunakan palpasi ringan dan lembut yang lembut dengan teknik penyusuran
jari di atas kelenjar untuk merasakan adanya abnormalitas (Gambar 3-6).

Sistem Saraf
Selama mengkaji riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik, perawat mengobsevasi
tingkat orientasi, kesadaran, wood pasien, serta memperhatikan apakah pasien dapat
menjawab pertanyaan dengan tepat dan dapat mengingat kejadian yang baru terjadi dan
kejadian masa Ialu. Pasien yang akan menjalani pembedahan karena penyakit neurologis
(misalnya: tumor otak atau stroke perdarahan) kemungkinan menunjukkan gangguan
tingkat kesadaran atau perubahan perilaku. Tingkat kesadaran dapat berubah karena
anestesi umum. Namun setelah efek anestesi menghilang, tingkat respons pasien akan
kernbali pada tingkat respons sebelum operasi.
jiKa pasien akan mendapatkan anestesi
spinal, maka pengkajian praoperatif terhadap
fungsi dan kekuatan motorik kasar penting
dilakukan. Anestesi spinal menyebabkan
ekstremitas bawah mengalami paralisis
sementara. Perawat harus menyadari adanya
kelemahan atau gangguan mobilisasi pada
ekstremitas bawah pasien agar perawat tidak
cemas jika seluruh fungsi motorik tidak
kembali normal pada saat efek anestesi
spinal menghilang.
Pengkajian sensibilitas prabedah sangat
bermanfaat sebagai bahan evaluasi pada saat
pascaanestesi di ruang pemulihan. Peta dermatom
(Gambar 3-7) dapat membantu perawat dalam
melakukan pemeriksaan fisik sensibitas fungsi
kontrol sistem saraf dari pusat ke perifer.
Gambar 3-7.
Sistem Endokrin
Pada diabetes yang tidak terkontrol, bahaya utama yang nengancam hidup adalah
hipoglikemia. Hipoglikemia )erioperatif mungkin terjadi selama anestesi, akibat
isupan karbohidrat pascaoperatif yang tidak adekuat itau pemberian obat insulin yang
berlebihan. Bahaya lain iang mengancam pasien tetapi onsetnya tidak secepat hipoglikemia
adalah asidosis atau glukosuria. Secara umum, risiko pembedahan bagi pasien dengan
diabetes ,'ang tidak terkontrol tidak lebih besar dari pasien

Anda mungkin juga menyukai