Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
“Kejang Demam”

Dosen Pembimbing;

Nelly Yardes, S.Kp.,M.Kes.

Disusun Oleh;

1. Imam M.M.P

2. Jaenudin

3. Sodikin

4. Tyas

AKADEMI KEPERAWATAN D.III

PLTEKKES III JAKARTA


2018
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kejang demam merupakan bangkitan yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu mencapai >38-38,9˚C) dapat terjadi karena proses intrakranial maupun
ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada balita berumur 6 bulan - 5 tahun sebanyak
2-4% dan paling sering terjadi pada balita usia 17-23 bulan . Kejang demam anak
perlu diwaspadai karena kejang yang lama (≥ 15 menit) dapat menyebabkan kematian
0,64-0,74%, kerusakan saraf otak sehingga menjadi epilepsi, kelumpuhan bahkan
retardasi mental.

Hasil pengamatan Livingston (2008) diantara 201 pasien kejang demam


sederhana 6 orang (3%) menderita epilepsi, sedangkan diantara 297 pasien dengan
epilepsi yang diprovokasi oleh demam 276 orang (93%) menderita epilepsi. Biasanya
antara usia 3 bulan sampai 5 tahun, sekitar 2-5% balita pernah mengalami kejang
demam sebelum usia 5 tahun Pengobatan segera atau terapi sangat penting, jika tidak
dilakukan kambuhnya kejang semakin tinggi, sekitar sepertiga pasien kejang demam
akan mengalami kekambuhan sebesar 44% pada pasien yang tidak diobati dan pada
pasien yang mendapat terapi Fenobarbital maupun terapi Diazepam per rectal
kekambuhan sebesar 21% (Soetomenggolo, 2007).

Tetapi anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya suhu seorang anak. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejadian kejang terjadi pada suhu 38-38,9˚C, sedangkan balita dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40˚C atau lebih (Maulana, 2009). Demam kejang
sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal atau gangguan kepandaian.
Resiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari juga sangat kecil yaitu sekitar 2-3%.

Risiko terbanyak adalah berulang demam kejang, yang dapat terjadi pada 30-
50% balita. Risiko-risiko tersebut lebih besar pada demam kejang kompleks (Sabrina,
2008). Bila kejang sering berulang dan berlangsung lama (lebih dari 5 menit), bisa
mengakibatkan kerusakan sel-sel otak akibat terhambatnya aliran oksigen ke otak. Hal
ini dapat menyebabkan epilepsi berbeda-beda. Lumban Tobing (2007) mendapatkan
6% kerusakan otak bila kejang berulang, sedangkan Livingstone (2008) dari golongan
demam kejang sederhana mendapatkan 2,9 % yang menjadi epilepsi dan golongan
epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi. Dengan
penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan
kematian (Ngastiyah, 2005). Insidensi kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa
berkisar 4-5% pada anak usia dibawah 5 tahun (Shinnar dan Glauser, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian prospektif Sillanpaa, M.dkk (2008) di Finlandia
diperoleh insidens rate kejang demam 6,9% pada anak usia 4 tahun (Sillanpaa, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karimzadeh, P.dkk (2008) di Mofid
Children’s Hospital, Iran 3 pada 302 penderita kejang demam diperoleh 73,2%
penderita merupakan penderita kejang demam sederhana dan 26,8% merupakan
penderita kejang demam kompleks (Karimzadeh, 2008).

Di Indonesia khususnya di daerah Tegal, Jawa Tengah tercatat 6 balita


meninggal akibat serangan demam kejang dari 62 kasus penderita demam kejang. Di
negeri yang sedang berkembang, termasuk Indonesia terdapat dua faktor yaitu gizi
dan infeksi yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap pertumbuhan anak,
sekitar 70-90% dari seluruh kejang demam merupakan kejang demam sederhana dan
sisanya merupakan kejang demam kompleks. Di Indonesia pada tahun 1967 kejang
demam termasuk sebagai lima penyakit anak terpenting di RS Cipto Mangunkusumo
sebesar 7,4%, meningkat pada tahun 1971 dengan kejadian demam kejang sebesar
22,2%. Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah
penduduk di AS, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan penderitanya
lebih tinggi sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam
kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti (Selamihardja, 2006). 2-5% dari
seluruh anak di dunia yang berumur dibawah 5 tahun pernah mengalami kejang
demam, lebih dari 90% terjadi ketika anak berusia < 5 tahun. Insiden tertinggi kejang
demam terjadi pada usia dua tahun pertama. Di seluruh Indonesia (2014) saat ini
terdapat 70% kematian balita disebabkan karena pneumonia, campak, diare, malaria,
dan malnutrisi. Ini berarti bahwa penyakit 4 infeksi masih menjadi penyebab kematian
balita. Terjadinya proses infeksi dalam tubuh menyebabkan kenaikan suhu tubuh yang
biasa disebut dengan demam, demam merupakan faktor resiko utama terjadinya
kejang demam. Karakteristik balita demam kejang terjadi pada usia balita antara 6
bulan - 4 tahun dengan suhu 100˚F ≥ (37,78˚C) lamanya kejang berlangsung ≤ 30
menit. Terdapat lebih banyak jenis kelamin pada laki-laki dibanding perempuan
dengan perbandingan yang berkisar antara 1,4:1 dan 1,2:1. Tinggi suhu badan segera
setelah terjadinya kejang (dalam waktu ≤ 15 menit), suhu rata-rata 39,0˚C dengan
rentangan 37,8-41,5˚C. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar
antara 38,3-41,4˚. Beberapa ciri-ciri dan tanda gejala balita mengalami demam kejang
seperti, kenaikan suhu yang tinggi, pucat, pingsan, lidah atau pipi yang tergigit, gigi
atau rahang yang terkatup rapat, mengeluarkan air kemih dan tinja di luar
kesadarannya, gangguan pernapasan, kulit kebiruan, mata terbelak ke atas disertai
kekakuan dan kelemahan, kejang berlangsung singkat, serangan tonik klonik (dapat
berhenti sendiri) dan disertai adanya gerakan sentakan berulang.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah karakteristik balita dengan demam kejang di sekitar masyarakat.
1.3.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi umur balita yang mengalami demam


kejang.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis kelamin balita yang mengalami
demam kejang.
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi suhu badan balita yang mengalami
demam kejang.
4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi riwayat kejang sebelumnya pada balita
yang mengalami demam kejang.

3. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti Diharapakan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk melakukan penelitian selanjutnya, juga menjadi bekal bagi
peneliti dalam memberikan pelayanan kesehatan saat bekerja di lapangan
nanti.
2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan evaluasi terhadap teori yang telah
diberikan, sebagai sumber bahan bacaan bagi perpustakaan di institusi
pendidikan dan sebagai bahan tambahan pengajaran terutama yang berkaitan
dengan demam kejang.
3. Bagi Lahan Penelitian Dapat menjadi informasi bagi tenaga kesehatan tentang
karakteristik balita dengan demam kejang, sehingga dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan.

BAB II

ISI

2.1 Demam Kejang

2.1.1. Definisi

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 38˚C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering di
jumpai pada anak, terutama pada golongan balita umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Hampir 3% dari balita yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Pada percobaan binatang suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
bangkitan kejang.
2.1.2. Etiologi

Kejang dibedakan menjadi intrakranial dan ekstrakranial.

1. Intrakranial meliputi:

a. Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler


b. Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis
c. Kongenital: disgenesis, kelainan serebri

2. Ekstrakranial, meliputi:

a. Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan


elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
b. Toksik: intoksikasi, anestesi lokal, sindroma putus obat.
c. Kongenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.

2.1.3. Klasifikasi

Kejang Demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Kejang demam sederhana

Kejang bersifat umum (biasanya seluruh tubuh kejang, tangan ke atas dan mata
terbalik), sering terjadi pada anak (sekitar 80% dari seluruh kejang demam), lama
bangkitan berlangsung kurang dari 15 menit, dalam waktu periode demam tidak ada
bangkitan kejang berulang dalam 24 jam,kemungkinan epilepsi di kemudian hari .

2. Kejang demam kompleks

Lama bangkitan kejang lebih dari 15 menit, manifestasi kejang bersifat lokal
(sebagian anggota tubuh saja), didapatkan bangkitan kejang berulang lebih dari 1 kali
dalam waktu 24 jam, kemungkinan epilepsi di kemudian hari sangat jarang (4%).

2.1.4. Penyebab

1. Demam (tersering), mengalami serangan kejang selama 4 menit dengan suhu


38,9˚C dan menderita radang tenggorok inilah yang dapat menyebabkan timbulnya
demam.

2. Epilepsi yaitu gangguan pada otak atau gangguan neurologis yang bersifat kronis
dan ditandai oleh timbulnya kejang berulang akibat implus saraf di otak yang
berlebihan.
3. Tumor otak adalah tumbuhnya sel abnormal pada otak, penyakit yang disebabkan
karena pertumbuhan yang tidak normal pada sel-sel dalam otak yang biasa menjadi
pemicu dari terjadinya penyakit kanker atau penyakit non kanker.

4.Gangguan metabolik: gangguan pencernaan seperti radang lambung dan usus


(gastroenteritis).

5. Trauma kepala (terjatuh, terpukul) yaitu trauma pada kulit kepala, tengkorak dan
otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.

6. Infeksi (meningitis/ensefalitis) adalah salah satu penyakit yang menyerang otak,


Salah satu penyebabnya adalah infeksi bakteri.

7. Keracunan disebabkan oleh makanan yang akan menyebabkan timbulnya bakteri


atau virus seperti salmonella, shigella, dan escherichia coli yang menimbulkan infeksi
diserti dengan demam.

8. Kelainan bawaan pada pembuluh darah otak (aneurisma) adalah kelainan pembuluh
darah di otak karena lemahnya dinding pembuluh darah. Dinding pembuluh darah
tersebut tidak mampu menahan tekanan darah yang relatif tinggi.

9. Perdarahan di dalam kepala seperti perdarahan intrakranial akibat molding yang


terlalu hebat atau robekan dari bridging vein yang menyebabkan perdarahan
subaraknoid atau periventrikular.

2.1.5. Gejala

Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain adalah: anak
mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi
secara tiba-tiba) kejang tonik, klonik, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5
menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang
demam dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh
anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak
dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi otot. Anak akan

jatuh apabila dalam keadaan berdiri.Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot
menyeluruh yang biasanyaberlangsung selama 10-30 detik), gerakan klonik (kontraksi
dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit),
lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia
(mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernapasan,
apneu (henti napas), dan kulitnya kebiruan.

Setelah mengalami kejang, biasanya:

a. Akan kembali sadar dalam beberapa menit atau tertidur selama 1 jam atau lebih.

b. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi) sakit kepala.
c. Mengantuk.

d. Linglung sementara dan sifatnya ringan.

e. Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit maka kemungkinan terjadi
cidera otak atau kejang menahun sangat kecil.

2.1.6. Patologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan


energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi
paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Dari uraian tersebut
dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionic. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat
sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (CI).
Akhirnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran
yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP–ase yang terdapat pada
permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:

1. Perubahan konsentrasi ion membran di ruang ekstraselular.

2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran


listrik dari sekitarnya.

3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1˚C akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya
dengan bantuan bahan yang disebut “neurotransmitter “ dan terjadi kejang. Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38˚C sedang
anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi bila suhu mencapai ≥
40˚C. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien menderita
kejang. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan premeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
‘’matang’’ di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena
itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelaianan di otak
hingga terjadi epilepsi.

2.1.7. Diagnosa

a.Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya (ayah,
ibu atau saudara kandung).

b.Keluhan pemeriksaan saraf (neurologis): Tidak didapatkan kelainan pemeriksaan


laboratorium: pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).

c.Pemeriksaan Rongent/X Ray (Radiologi): X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI
tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi.

d.Pemeriksaan cairan otak (cairan serebrospinal (CSS): Tindakan fungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis (infeksi otak).

Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan fungsi lumbal dikerjakan
dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Bayi < 12 bulan: diharuskan

2. Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan

3. Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis

e. Pemeriksaan rekam otak (EEG): tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang


demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikasi pada anak usia > 6
tahun atau kejang demam fokal).

2.1.8 Komplikasi

Kerusakan sel otak yaitu meningitis adalah sebuah kondisi ketika selaput (meningitis)
yang mengelilingi system saraf pusat, yaitu otak dan sum-sum tulang belakang
mengalami peradangan sehingga menyebabkan kecerdasan dan perkembangan tidak
optimal. Kelumpuhan terjadi pada penderita yang mengalami demam kejang yang
lama (berlangsung ≥ setengah jam) baik bersifat umum maupun kejang fokal. Dan
penurunan IQ pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau
kelainan neurologic ditemukan IQ yang lebih rendah, menyebabkan gangguan belajar
dan tingkah laku tidak terbukti muncul pada anak dengan riwayat kejang
(Lumbantobing, 2007). Kejang demam dapat mengakibatkan (Sofwan, 2011):

1. Komplikasi sangat jarang ditemui setelah kejang demam.

2. Kecacatan atau gangguan neurologis, gangguan perkembangan, dan kematian pun


belum pernah dilaporkan.

3. Epilepsi dapat terjadi, tetapi jarang (hanya pada sekitar 4% kasus, terutama jenis
kejang demam kompleks).

2.1.9. Penanganan

2.1.9.1. Pengobatan Medis Penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien di rumah sakit
antara lain:

1.Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan
dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75
mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan 17 adalah 0,3
mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/kali pemberian
dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal
10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50
mg persuntikan.

2.Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat
diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih
kejang maka di tunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.

3.Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperektensi miring,
pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir.

4.Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.

5.Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam


pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan
output cairan selama 24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang berisiko
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat
penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung natrium (NaCl) perlu dihindari.

6.Pemberian kompres air es untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi (suhu tubuh) ke benda yang
mempunyai derajat lebih rendah. Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas
yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan dada, serta area
pembuluh darah yang besar seperti leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/ kg BB/hari (terbagi dalam 3
pemberian).

7.Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obatobatan


untuk mengurangi edem otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik. Posisi kepala hiperektensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh
yang lain dengan cara menaikkan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang lebih
15˚ (posisi tubuh pada garis lurus).

8. Untuk pengobatan setelah pasien bebas dari kejang pasca pemberian diazepam,
maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50
mg pada anak usia 1 bulan - 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan
teknik pemberian intramuscular.

2.1.10.2.Penanganan Kejang Demam Non Medis

1. Tenangkan diri anda dan jangan panik. Langkah pertama sangat penting karena
akan membantu langkah berikutya.

2. Lepaskan atau longgarkan pakaian balita agar ia dapat bernafas dengan baik.

3. Posisikan kepala balita miring ke satu sisi jika balita terlihat muntah atau
mengeluarkan lender atau liur dari mulutnya agar balita tidak tersedak. Posisi miring
memastikan lidah tidak menutupi jalan nafas.

4. Jauhkan balita dari benda tajam di sekitar balita agar tidak menabrak bendabenda
lainnya.

5. Jangan memasukkan benda apa pun ke dalam mulutnya (sendok, jari, pen, dll).
Banyak orangtua yang takut lidah anaknya tergigit (karena pada saat kejang anak 20
mengatup-ngatupkan giginya dengan kuat), tetapi memasukkan benda ke dalam mulut
justru malah merugikan karena dapat membuat balita trauma berdarah. Resiko lidah
tergigit sangat kecil, dan sekali pun tidak mengakibatkan sesuatu yang serius, seperti
lidah putus.

6. Bila anda memiliki obat kejang (diazepam) yang dimasukkan lewat anus segera
masukkan ke dalm anus. Perhitungan dosis yang mudah adalah jika berat badan ≤ 10
kg, gunakan dosis 5mg, sedangkan jika berat badan anak ≥ 10 kg, gunakan dosis 10
mg. masukkan ujung tip dosis dan pencet sampai obatnya habis. Diazepam per rectal
dapat diulang 5 menit kemudian bila kejang belum berhenti.

2.1.11 Karakteristik Balita Demam Kejang

Kejang demam bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang
kejang sama seperti yang kanan, usia balita antara 6 bulan-4 tahun dengan suhu 100˚F
≥ (37,78˚C) lamanya kejang berlangsung ≤ 30 menit. Keadaan fungsi saraf normal
dan setelah kejang juga tetap normal (Lumbantobing, 2007). Menurut Consensus
Statement On Febrile Seizures (2004), kejang demam adalah suatu kejadian pada
balita atau anak biasaya terjadi antara umur 3 bulan-5 tahun. Berhubungan dengan
demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu
kejang demam terjadi pada 2-4 % balita berumur 6 bulan-5 tahun balita yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 5 tahun mengalami kejang di dahului demam
kemungkinan lain misalanya infeksi SSP atau epilepsi. Pada umumnya, kejang
demam terjadi berulang kali, tetapi tidak di hari yang sama. Pada usia 6 bulan ke atas,
seorang balita yang pernah sekali mengalami kejang demam memilki risiko untuk
mengalami hal serupa hingga sekitar usia 5 tahun. Dan pada umumnya, kejang sudah
jarang terjadi di atas usia 5 tahun (Sofwan, 2011).

1. Umur

a. Sebanyak 3% balita berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.

b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang
terjadi pada balita dibawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.

c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun
dengan bertambahnya umur. Hirtz dan Nelson 2009 mengemukakan bahwa usia rata-
rata mulainya kejang demam berkisar antar 18-23 bulan (Lumbantobing, 2007).

2.Jenis Kelamin

Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada perempuan dengan
perbandingan 2:1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih
cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Dari berbagai hasil penelitian
didapatkan bahwa kejang demam lebih sering di jumpai pada balita laki-laki dari pada
perempuan, dengan perbandingan yang berkisar antara 1,4:1 dan 1,2:1. Dari 122
penderita kejang demam oleh Miyake (1992) terdapat 60 adalah laki-laki dan 52
perempuan (Lumbantobing, 2007).

3.Suhu Badan

Suhu yang berperan atau suhu yang dapat mencetuskan serangan kejang ialah suhu
sebelum terjadinya serangan kejang. Tingginya suhu badan segera setelah terjadinya
kejang (dalam waktu ≤ 15 menit) pada 201 penderita kejang demam. Suhu rata-rata
yang diambil secara rectal, ialah 39,0˚C, dengan rentangan 37,8-41,5˚C
(Lumbantobing, 2007). Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang
demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan merupakan nilai ambang
kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3-41,4°C.
Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru
timbul 24 kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih
sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.

BAB III

PENUTUP

A. Pembahasan

1. Umur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami demam kejang lebih
banyak dengan umur 1-3 tahun sebesar (53,9%) dan lebih sedikit dengan umur > 3-5
tahun sebesar (19,2%). Faktanya dapat disimpulkan bahwa semakin rendah umur
balita di usia 1-3 tahun semakin banyak yang mengalami demam kejang dan lebih
sedikit pada umur > 3-5 tahun yang mengalami demam kejang dan ada kaitannya
dengan tingkat kematangan otak pada usia < 2 tahun. Hal ini terjadi karena serangan
pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan
bertambahnya umur.

2. Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami demam kejang lebih
banyak dengan jenis kelamin laki-laki sebesar (63,4%) dan lebih sedikit pada balita
jenis kelamin perempuan sebesar (36,6%). Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi
serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian yang di teliti oleh Miyake 1992, yang terdapat dalam
buku (Lumbantobing, 2007) didapatkan bahwa kejang demam lebih sering dijumpai
pada anak laki-laki dari pada perempuan, dengan perbandingan yang berkisar antara
1,4:1 dan 1,2:1 dari 122 penderita kejang demam, 60 adalah lakilaki dan 52
perempuan.

3. Suhu Badan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami demam kejang lebih
banyak dengan suhu badan > 38-39˚C sebesar (52,0%) dan lebih sedikit dengan suhu
badan ≥ 40˚C sebesar (5,8%). Pada orang dewasa kira-kira 18% dari sirkulasi total
tubuh pergi ke otak. Pada anak yang berusia 3 tahun angka ini jauh lebih tinggi yaitu
sekitar 65%. Pada anak berusia lebih muda angka ini lebih tinggi lagi. Bila suhu tubuh
meningkat beberapa derajat, aliran darah harus pula ditingkatkan untuk menjaga agar
pasokan oksigen dan glukosa ke otak tetap cukup. Bila peningkatan aliran darah tidak
mencukupi dapat memicu terjadinya kejang pada balita.
B. Saran

1. Diharapkan kepada orang tua balita umur 1-3 tahun agar waspada apabila
balita mengalami demam segera di berikan obat dan bila terjadi kejang segera
di bawa ke Rumah Sakit terdekat.
2. Diharapakan kepada orang tua balita lebih memperhatikan kesehatan anaknya
untuk mencegah terjadinya demam kejang terutama pada balita dengan jenis
kelamin laki-laki.
3. Diharapkan kepada orang tua balita yang mengalami demam dengan suhu
>38-39˚C agar memperhatikan kondisi balitanya untuk mencegah terjadi
demam kejang dan segera dibawa ke Rumah Sakit.
4. Diharapkan kepada orang tua balita yang pernah mengalami demam kejang
sebelumnya akan lebih memperhatikan kondisi dan kesehatan balitanya agar
tidak terulang demam kejang kembali.
5.

DAFTAR PUSTAKA

 Maulana, 2009. Keperawatan Anak Sakit. Penerbit buku keperawatan, Jakarta


 Ngastiyah edisi 2, 2005. Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku kedokteran
Jakarta: EGC.
 Sofwan, 2011. Cara Tepat Atasi : Kejang Pada Anak. PT. buhana ilmu
popular.
 Sujono, 2009-2012. Asuhan Keperawatan Pada Anak. penerbit buku
kedokteran, Jakarta: EGC. Selamihardja, 2001. Demam Kejang.
http://digilit.unimus.ac.id
 http://audihusadamedan.ac.id/files/pdf/160616201924

Anda mungkin juga menyukai