Anda di halaman 1dari 7

Modal Fiedler

Modal kontingensi fiedler menjelaskan bahwa kinerja kelompok yang efektif tergantung pada
kesesuaian antara gaya kepemimpinan dan banyaknya kendali serta pengaruh terhadap situasi itu.
Model ini berdasarkan premis bahwa gaya kepemimpinan tertentu akan lebih efektif dalam jenis
situasi yang berbeda. Kuncinya adalah dengan (1) mendefinisikan gaya kepemimpinan dan jenis
situasi yang berbeda itu, (2) mengidentifikasikan kombinasi gaya dan situasi yang tepat. Fiedler
menjelaskan bahwa faktor penting mencapai kesuksesan dalam kepemimpinan bergantung pada
gaya kepemimpinan dasar individual, baik berorientasi pada pekerjaan maupun hubungan
antarpribadi. Untuk mengukur gaya kepemimpinan fiedler mengembangkan kuesioner rekan kerja
yang paling tidak disukai (least preffered coworker – LPC.) Kuesioner ini terdiri dari 18 pasang kata
sifat sebagai contoh, menyenangkan, tidak menyenangkan, dingin, hangat, membosankan, menarik,
ramah, dan tidak ramah. Salah satu point penting lainya adalah fiedler mengasumsikan bahwa gaya
kepemimpinan seseorang bersifat tetap, bagaimanapun situasinya.

Penelitian fiedler menggunakan tiga dimensi kontingensi yang menentukan faktor faktor kunci
situasional terhadap efektivitas pemimpin, yaitu :
1. Hubungan pemimpin dengan anggota : tingkat keyakinan diri, kepercayaan, dan rasa hormat
karyawan terhadap pemipinya; dinilai sebagai baik atau tidak baik.
2. Struktut tugas : tingkat dimana penugasan pekerjaan distrukturisasi dan diformulasi; dinilai
sebagai tinggi atau rendah.
3. Kekuatan posisi : tingkat pengaruh seorang pemimpin atas aktivitas seperti, perekrutan,
pemecatan, pendisiplinan, promosi, dan peningkatan gaji; dinilai sebagai kuat atau lemah.
Karena fiedler menganggap gaya kepemimpinan individu adalah tetap, hanya ada dua cara untuk
memperbaiki efektifitas pemimpin. Pertama, anda dapat mengusulkan pemimpin baru yang memiliki
gaya yang lebih sesuai dengan situasi misalnya, jika situasi kelompok sangat tidak menguntungkan,
namun dipimpin oleh pimpinan yang berorientasi pada hubungan, kinerja kelompok dapat diperbaiki
dengan mengganti pemimpin yang berorientasi pada tugas. Alternatif kedua adalah mengganti
situasi yang sesuai dengan pemimpinya.

Teori Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard


Teori kepemimpinan situasional (situational leadership theory – SLT), yaitu teori kontingensi yang
berfokus pada kesiapan pengikutnya. Penekanan kepada para pengikut dalam efektivitas
kepemimpinan merefleksikan kenyataan bahwa pengikutlah yang menerima atau menolak
pemimpinya. Terlepas dari apa yang dilakukan oleh pemimpin, efektivitas kelompok bergantung
pada tindakan para pengikutnya. Ini adalah dimensi penting yang sering kali dilupakan oleh teori
kepemimpinan. Kesiapan (readiness) didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard sebagai tingkat di
mana orang memiliki kemampuan dan kemauan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu.
Teori kepemimpinan situasional menggunakan dimensi kepemimpinan yang sama dengan fiedler.
Perilaku terhadap tugas dan hubungan. Namun, hersey dan blanchard melangkah lebih maju dengan
mempertimbangkan masing masing sebagai tinggi atau rendah lalu menggabungkanya dengan 4
gaya kepemimpinan yaitu sebagai berikut :
1. Telling (tugas tinggi dengan hubungan rendah) : pemimpin menentukan peranan karyawan dan
mengatur apa, kapan, bagaimana, dan dimana karyawan melaksanakan tugasnya.
2. Selling (tugas tinggi dengan hubungan tinggi) : pemimpin menunjukan perilaku yang
mengarahkan dan mendukng.
3. Paarticipating (tugas rendah dengan hubungan tinggi) : pemimpin dan pengikutnya bersama
sama membuat keputusan, dimana pemimpin memiliki peranan sebagai fasilitator dan
komunikator.
4. Delegating (tugas rendah dengan hubungan rendah) : pemimpin kurang memberikan pengarahan
atau dukungan.
Komponen terakhir dalam model SLT adalah empat tahap kesiapan pengikut :
1. R1 : Orang tidak mampu dan tidak mau bertanggung jawab dalam melakukan suatu pekerjaan.
Pengikut tidak kompeten atau tidak percaya diri.
2. R2 : Orang tidak mampu, namun mau melakukan pekerjaan tertentu. Pengikut memiliki motivasi,
namun kurang memiliki keterampilan yang sesuai
3. R3 : orang yang mampu, namun tidak memenuhi keinginan pemimpinya. Pengikut kompeten,
namun tidak ada keinginan untuk melakukan sesuatu.
4. R4 : orang mampu dan mau melakukan pekerjaan yang diminta.
Teori kepemimpinan situasional (SLT) memandang hubungan antara pemimpin dnegan pengikut
seperti hubungan orang tua dengan anak. Pemimpin juga harus dapat bersikap seperti orang tua,
misalnya ketika orangtua perlu mengurangi pengendalian kepada anak pada saat mereka bertambah
dewasa dan lebih bertanggung jawab. Saat pengikut mencapai tingkat kesiapan yang lebih tinggi,
pemimpin memberikan respons tidak hanya dengan mengurangi pengendalian terhadap kegiatan
mereka, namun juga mengurangi perilaku hubungan.

1. Jika pengikut berada di posisi R1 (tidak mampou dan tidak mau mengerjakan pekerjaan tertentu),
maka pemimpin perlu menggunakan gaya telling dan memberikan pengarahan yang spesifik dan
sejelas jelasnya.
2. Jika pengikut berada di posisi R2 (tidak mampu, namun mau), maka pemimpin harus
menggunakan gaya selling dan menunjukan orientasi yang tinggi pada pekerjaan sebagai
kompensasi atas kemampuan pengikut yang kurang dan orientasi yang tinggi pada hubungan
agar pengikut ingin mengikuti kemauan pemimpin.
3. Jika pengikut berada di posisi R3 (mampu namun tidak mau), maka pemimpin harus
menggunakan gaya participating agar memperoleh dukungan pengikutnya.
4. Jika pengikut berada di posisi R4 (mampu dan mau), maka pemimpin tidak perlu melakukan apa
apa dan sebaiknya menggunakan gaya delegating.
Teori kepemimpinan situasional memiliki daya tarik intuitif. SLT memahami pentingnya pengikut dan
mengebangkan logika bahwa pemimpin dapat menutupi keterbatasan kemampuan dan motivasi
yang dimiliki pegikutnya. Namun upaya penelitian untuk menguji dan mendukung teori ini secara
umum sejauh ini ternyata mengecewakan.

Teori Jalur-Tujuan
Salah satu pendekatan yang sering dijadikan rujukan dalam memahami kepemimpinan adalah teori
jalur-tujuan (path goal theory), yang menyatakan bahwa tugas pemimpin adalah membantu
pengikutnya mencapai tujuan dan mengajarkan memberikan dukungan sesuai kebutuhan untuk
memastikan bahwa tujuan mereka sejalan dengan tujuan kelompok atau organisasi. Dikembangkan
oleh Robert House, teori jalur-tujuan mengambil elemen penting teori ekspektasi dari motivasi.
House mengidentifikasikan empat prilaku kepemimpinan :
1. Pemimpin yang mengarahkan (directive leader) : pemimpin memberitahukan kepada bawahan
apa yang diharapkan dari mereka, jadwal pekerjaan yang harus diselesaikan, serta memberikan
bimbingan / arahan secara spesifik tentang cara cara menyelesaikan tugas.
2. Pemimpin yang mendukung (supportive leader) : pemimpin menunjukan kepedulian terhadap
kebutuhan pengikutnya dan bersifat ramah.
3. Pemimpin yang partisipatif (perticipative leader) : pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan
anggota kelompok dan menggunakan saran saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu
keputusan.
4. Pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement oriented leader) : pemimpin menetapkan
sekumpulan tujuan yang menentang dan mengharapkan pengikutnya untuk berprestasi
semaksimal mungkin.
Berkebalikan dengan pandangan fiedler yang berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak dapat
mengubah perilakunya, House berpendapat bahwa pemimpin bersifat fleksibel dan dapat
menampilkan satu atau seluruh gaya kepemimpinan manapun, tergantung pada situasi. Teori ini
mengemukakan bahwa prilaku pemimpin tidak dapat berjalan dengan efektif jika perilaku itu sama
dengan struktur lingkungan yang ditawarkan atau tidak sesuai dengan karakteristik bawahan.
Sebagai contoh berikut beberapa prediksi dari teori jalur-tujuan :
 Kepemimpinan yang mengarahkan menghasilkan tingkat kepuasaan tinggi saat pekerjaan
bersifat tidak pasti atau tingkat tekananya tinggi daripada pekerjaan yang tersetruktur dan
teratur. Bawahan tidak tahu apa yang harus dilakukan sehingga pemimpin harus mengarakan
mereka.
 Kepemimpinan yang mendukung menghasilkan kinerja pegawai dan tingkat kepuasan yang
tinggi ketika bawahan mengerjakan pekerjaan terstruktur. Dalam situasi ini, pemimpin hanya
perlu mendukung bawahanya, bukan memerintahkan apa yang harus dilakukan.
 Kepemimpinan yang mengarahkan dianggap berlebihan oleh bawahan yang memiliki tingkat
pemahaman yang tinggi atau memiliki pengalaman yang cukup luas. Bawahan dengan kriteria
tersebut sudah cukup mampu, sehingga mereka tidak membutuhkan pemimpin untuk
memerintahkan apa yang harus dilakukan.
 Semakin jelas dan birokratis hubungan otoritas formal, pemimpin harus semakin menunjukan
lebih banyak prilaku dukungan dan mengurangi perilaku pengarahan. Situasi organisasi telah
memberikan struktur yang diharapkan oleh bawahan sehingga peranan pemimpin hanyalah
untuk mendukung.
 Kepemimpinan yang mengarahkan akan mampu mengembangkan tingkat kepuasan pegawai
yang tinggi apabila terjadi konflik di dalam kelompok kerja. Dalam situasi seperti ini, bawahan
membutuhkan pemimpin yang bertanggung jawab.Kepemimpinan yang mengarahkan
menghasilkan tingkat kepuasaan tinggi saat pekerjaan bersifat tidak pasti atau tingkat
tekananya tinggi daripada pekerjaan yang tersetruktur dan teratur. Bawahan tidak tahu apa
yang harus dilakukan sehingga pemimpin harus mengarakan mereka.
 Kepemimpinan yang mendukung menghasilkan kinerja pegawai dan tingkat kepuasan yang
tinggi ketika bawahan mengerjakan pekerjaan terstruktur. Dalam situasi ini, pemimpin hanya
perlu mendukung bawahanya, bukan memerintahkan apa yang harus dilakukan.
 Kepemimpinan yang mengarahkan dianggap berlebihan oleh bawahan yang memiliki tingkat
pemahaman yang tinggi atau memiliki pengalaman yang cukup luas. Bawahan dengan kriteria
tersebut sudah cukup mampu, sehingga mereka tidak membutuhkan pemimpin untuk
memerintahkan apa yang harus dilakukan.
 Semakin jelas dan birokratis hubungan otoritas formal, pemimpin harus semakin menunjukan
lebih banyak prilaku dukungan dan mengurangi perilaku pengarahan. Situasi organisasi telah
memberikan struktur yang diharapkan oleh bawahan sehingga peranan pemimpin hanyalah
untuk mendukung.
 Kepemimpinan yang mengarahkan akan mampu mengembangkan tingkat kepuasan pegawai
yang tinggi apabila terjadi konflik di dalam kelompok kerja. Dalam situasi seperti ini, bawahan
membutuhkan pemimpin yang bertanggung jawab.
 Bawahan dengan kendali internal akan memperoleh tignkat kepuasan yang tinggi dengan gaya
kepemimpinan partisipatif. Karena percaya bahwa mereka mengendalikan apa yang terjadi
pada mereka sendiri, bawahan lebih memilih untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan.
 Bawahan dengan lokus kendali eksternal akan memperoleh tingkat kepuasan yang tinggi
dengan gaya kepemimpinan yang mengarahkan. Para bawahan ini percaya bahwa apa yang
terjadi pada mereka adalah hasil dari lingkungan eksternal, sehingga mereka lebih memilih
seorang pemimpin yang dapat memerintahkan apa yang harus dilakukan.
 Kepemimpinan berorientasi prestasi akan meningkatkan ekspektasi bawahan, yaitu bahwa
usaha akan menghasilkan kinerja yang tinggi ketika struktur pekerjaan tidak pasti. Dengan
menetapkan tujuan yang menentang, bawahan mengetahui ekspektasi ekspektasi tersbut.
PANDANGAN Kontemporer tentang Kepemimpinan
Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota (LMX)
Teori pertukaran pemimpin-anggota (leader member exchange – LMX) mengatakan bahwa
pemimpin membuat in-group dan out-group / kelompok orang luar, dan orang orang di kelompok
orang dalam akan memiliki peringkat yang lebih tinggi dalam kinerja, sedikit perputaran, dan
kepuasan kerja yang lebih besar. Teori LMX menunjukan bahwa pada masa awal dari hubungan di
antara pemimpin dan pengikut tertentu, seorang pemimpin akan secara implisit mengkategorikan
seorang pengikut sebagai “orang dalam” (in) atau sebagai “orang luar” (out). Tidaklah jelas
bagaimana seorang pemimpin memilih siapa yang masuk ke masing masing kategori, tetapi bukti
menunjukan bahwa anggota kelompok orang dalam memiliki demografi, sikap, kepribadian, dan
bahkan kesamaan gender dengan pemimpinya atau mereka memiliki kompetensi yang lebih tinggi
daripada anggota kelompok orang luar. Pemimpin yang memilih, tapi karakteristik pengikutlah yang
mendorong keputusanya.

Kepemimpinan Transformasi-Transaksi
Pemimpin transaksi (transactional leader), yaitu peimpin yang memimpin dengan menggunakan
pertukaran sosial (transaksi). Pemimpin transaksi mengarahkan atau memotivasi bawahanya untuk
bekerja mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan memberikan penghargaan atas produktivitas
mereka. Namun terdapat tipe pemimpin yang lain , Pemimpin transformasi (transformational leader)
yang menstimulasi dan menginspirasi (transformasi) bawahan untuk mencapai hasil yang luar biasa.

Kepemipinan Karismatik-Visioner
Pemimpin kharismatik yaitu pemimpin yang antusias dan percaya diri yang kepribadian dan
tindakanya dapat mempengaruhi orang untuk berbperilaku dengan cara tertentu. Walaupun
sejumlah kecil ahli tetap beranggapan bahwa karismatik tidak dapat dipelajari, banyak yang percaya
bahwa individu individu dapat dilatih untuk menunjukan perilaku karismatik. Didalam kelompok
bersama para pemimpin karismatik “terlatih” ini, anggota menghasilakn kinerja yang lebih tinggi,
penyesuaian tugas yang tinggi, dan penyesuaian yang lebih naik terhadap pemimpin nonkarismatik.
Pemimpin karismatik tidak selalu dibutuhkan untuk mencapai kinerja karyawan yang tinggi. Mereka
lebih berperan dalam bidang politik, agama, atau saat peperangan; atau ketika sebuah perusahaan
baru memulai bisnisnya atau menghadapi suatu krisis. Kepemimpinan visioner (visionary leadership)
sangatlah berbeda karena kemampuanya dalam menciptakan dan mengartikulasikan sebuah visi
masa depan yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik. Visi organisasi sebaiknya menawarkan
perumpamaan yang jelas dan menarik sehingga dapat mengetuk emosi dan memberikan inspirasi
kepada orang orang untuk mencapai tujuan organisasi

Kepemimpinan Tim
Karena kepemimpinan semakin berperan dalam konteks tim serta banyaknya organisasi yang
menggunakan tim kerja. Tantangan bagi para manajer adalah mempelajari bagaimana menjadi
pemimpin tim yang efektif. Mereka harus mempelajari berbagai keterampilan seperti membagi
informasi dengan sabar, mampu memercayai orang lain dan memberikan wewenang, serta dapat
memahami kapan harus ikut campur. Dan pemimpin tim yang efektif harus dapat menyeimbangkan
antara waktu yang tepat untuk membiarkan timnya bekerja dan waktunya ikut campur.

ISU ISU Kepemimpinan pada Abad Ke-21


Bagi kebanyakan pemimpin, memimpin dengan efektif di lingkungan masa kini kemungkinan akan
melibatkan keadaan yang sangat menantang. Selain itu, pemimpin abad keduapuluh satu memang
berhadapan dnegan beberapa isu kepemimpinan. Terdapat beberapa isu isu seperti : mengelola
kekuasaan, mengembangkan rasa percaya, memberdayakan karyawan, memimpin di berbagai
macam budaya, dan menjadi pemimpin yang efektif.
Mengelola Kekuasan
Terdapat lima sumber kekuasaan pemimpin yang telah diidentifikasi yaitu :
1. Kekuasaan sah (legitimate power) dan otoritas adalah sama. Kekuasaan yang sah
menggambarkan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin akibat posisinya di dalam
organisasi. Walaupun orang didalam posisi otoritas memiliki kekuasaan imbalan dan paksaan
juga, kekuasaan yang sah lebih luas dari kekuasaan imbalan dan paksaan.
2. Kekuasaan paksaan (coercive power) adalah kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin
untuk menghukum atau mengendalikan. Bawahan bereaksi terhadap kekuasaan ini
berdasarkan kekhawatiran trhadap hasil negatif yang mungkin terjadi jika tidak
mematuhinya. Manajer biasanya mamiliki kekuasaan paksaan, seperti menunda atau
menurunkan pangkat karyawan atau menugaskan pekerjaan yang tidak menyenangkan atau
tidak diinginkan.
3. Kekuasaan imbalan (reward power) adalah kekuasaan untuk memberi penghargaan yang
positif. Ini dapat berupa apa saja yang dihargai orang, seperti uang, penilaian kerja yang
baik, kenaikan pangkat, tugas yang menarik, rekan yang ramah, dan tugas giliran atau
wilayah penjualan yang lebih baik.
4. Kuasaan ahli (expert power) adalah kekuasaan yang berdasarkan keahlian, keterampilan
istimewa, atau pengetahuan. Jika seorang pegawai memiliki keterampilan, pengetahuan
atau keahlian yang penting terhadap kelompok kerja, kekuasaan keahlian orang itu
bertambah.
5. Kekuasaan rujukan (referent power) adalah kekuasaan yang muncul karena sumber atau
sifat pribadi seseorang yang diinginkan.

Mengembangkan Rasa Percaya


Di lingkiungan yang tidak pasti seperti masa kini, pertimbangan penting untuk para pemimpin adalah
membangun rasa percaya dan kredibilitas, keduanya dapat menjadi sangat rapuh. Komponen utama
kredibilitas adalah kejujuran. Survei menunjukan bahwa kejujuran selalu terpilih sebagai
karakteristik nomor satu dari pemimpin yang dikagumi. “kejujuran” itu sangat penting bagi
kepemimpinan. Selain jujur pemimpin yang dapat dipercaya adalah orang yang komponen dan dapat
menginspirasi pemimpin itu harus mampu menyampaikan keyakinan dan antusiasme mereka secara
efektif, maka dapat disimpulkan bahwa bawahan menilai Kredibilitas seorang pemipin dari
kejujuranya, kompetensinya, dan kemampuan mengaspirasinya. Rasa Percaya (trust) didefinisikan
sebagai keyakinan di dalam integritas, karakter, dan kemampuan seseorang memimpin. Bawahan
yang mempercayai pemimpinan bersedia menerima perbuatan pemimpin karena mereka yakin
bahwa hak dan kepentingan mereka tidak akan disalahgunakan. Penelitian telah mengidentifikasikan
lima dimensi yang mendasari konsep rasa percaya diri :
1. Integritas : kejujuran dan kebenaran
2. Kompetensi : pengetahuan dan keterampilan teknis serta keterampilan antarpribadi
3. Konsistensi : dapat diandalkan, dapat diprediksi, dan penilaian yang baik dalam menangani
situasi
4. Loyalitas : Kemauan untuk melindungi seseorang, baik secara fisik meupun emosi
5. Keterbukaan : Kemauan untuk berbagi ide dan informasi
Dari lima dimensi tersebut, integritas merupakan hal yang sangat penting di saat seseorang menilai
apakah orang lain itu percaya. Perubahan tempat kerja telah memperkuat alasan mengapa kualitas
kepemimpinan tersebut sangat penting.
Pemimpin pun harus memimpin karyawan lain yang tidak terlihat secara langsung dengan kelompok
kerjanya atau yang terpisah secara fisik dengan anggota dari tim lintasfungsi atau maya / virtual.
Penelitian telah membuktikan bahwa rasa percaya di dalam kepemimpinan itu sangat berhubungan
dengan hasil kerja yang positif, termasuk kinerja, perilaku kewargaan organisasi, kepuasan kerja, dan
komitmen terhadap organisasi
Memberdayakan Karyawan
Pemberdayaan (empowerment) melibatkan peningkatan keleluasaan karyawan dalam mengambil
keputusan. Salah satu alasan mengapa banyak perusahaan memberdayakan karyawanya adalah
kebutuhan terhadap pengambilan keputusan yang tepat adalah kebutuhan terhadap pengambilan
keputusan yang tepat oleh orang yang paling mengetahui permasalahanya. Seringkali adalah orang
yang berada di tingkat bawah organisasi. Jika organisasi ingin sukses dalam persaingan ekonomi
dunia yang dinamis, karyawan harus dapat mengambil keputusan dan menerapkan perubahan
dengan cepat. Alasan lain memberdayakan karyawan adalah perampingan didalam organisasi
menciptakan rentang kendali yang lebih lebar bagi manajer. Agar dapat menyesuaikan dengan
pengingkatan tuntutan kerja, manajer harus memberdayakan karyawanya. Meskipun
memberdayakan karyawan bukanlah jawaban untuk semua permasalahn, namun hal ini dapt
bermanfaat jika karyawan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk
melaksanakan tugas mereka dengan baik.

Memimpin di Berbagai Budaya


Satu kesimpulan umum yang timbul dari penelitian tentang kepemimpinan adalah pemimpin yang
efektif tidak hanya memakai satu gaya. Mereka mengatur gaya sesuai dengan situasi. Meskipun
tidak disebutkan secara eksplisit, budaya nasional merupakan variabel situasi penting dalam
menentukan gaya kepemimpinan yang paling efektif. Budaya nasional mempengaruhi gaya
kepemimpinan karena budaya mempengaruhi bagaimana pengikutnya memberikan respons.
Mereka dibatasi oleh kondisi budaya yang sebelumnya telah duharapkan oleh pengikutnya. Hal ini
meliputi visi, tinjauan, masa depan, motivasi, dapat dipercaya, kedinamisan, positif dan proaktif.
Hasil penelitian ini membuat dua anggota tim GLOBE berkesimpulan bahwa “pemimpin bisnis yang
efektif di negara manapun diharapkan oleh karyawan mereka untuk memberikan visi yang kuat dan
proaktif untuk membimbing perusahaan menuju masa depan, memiliki keterampilan motivasi yang
kuat untuk menstimulasi semua karyawan mereka untuk menepati visi dan kemauan perencanaan
yang baik untuk membantu mengimplementasikan visi itu”. Beberapa orang mengatakan bahwa
daya tarik universal dari karakteristik pemimpin transformasi ini adalah tekanan terhadap teknologi
dan praktik manajemen umum, akibat persaingan global dan pengaruh multinasional.

Contoh karakteristik kepemimpinan lintas budaya di berbagai negara :


 Pemimpin Korea diharap bersikap paternalistik terhadap karyawan.
 Pemimpin Arab yang bersikap murah hati dan baik tanpa diminta akan dianggap lemah oleh
orang Arab lainya.
 Pemimpin Jepang harus bersikap rendah hati dan sering berkomunikasi.
 Pemimpin Skandinavia dan Belanda memilih individu yang dicintai publik cenderung untuk
mempermalukan, bukan mendukung, individu tersebut.
 Pemimpin yang efektif di Malaysia harus menunjukan simpati sambil menggunakan cara
autokrasi alih alih partisipatif.
 Pemimpin yang efektif di Jerman memiliki karakteristik yang berorientasi pada kinerja tinggi,
welas asih yang rendah, proteksi diri yang rendah, orientasi terhadap kelompok yang
rendah, otonomi yang tinggi, dan tingkat partisipasi yang tinggi.

Menjadi Pemimpin yang Efektif


Organisasi perlu pemimpin yang efektif. Dua isu yang berkaitan untuk menjadi pemimpin yang
efektif adalah pelatihan pemimpin dan pengakuan bahwa kadang kadang menjadi pemimpin yang
efektif berabti tidak memimpin.
Pelatihan Pemimpin Organisasi di seluruh dunia menghabiskan miliaran yen, euro, dan dolar untuk
pelatihan dan pengembangan pemimpin. Pertama, mari kita pelajari yang sudah jelas : Tidak semua
orang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Titik sebagai contoh, bukti menunjukan
bahwa pelatihan pemimpin akan lebih sukses dengan individu yang memiliki tingkat pemanfaatan
diri yang tinggi dibandingkan yang rendah. Individu seperti ini fleksibel dalam menyesuaikan
perilakiunya pada situasi yang berbeda. Selain itu, organisasi akan menemukan bahwa individu
dengan tingkatan sifat yang disebut motivasi untuk memimpin yang tinggi akan lebih mudah
menerima kesempatan mengembangkan kepemimpinan.
Subtitusi Terhadap Kepemipinan Di luar keyakinan bahwa beberapa gaya kepemimpinan akan selalu
terbukti efektif. Apapun situasinya, kepemimpinan mungkin tidak selalu penting, penelitian
menunjukan bahwa, di beberapa situasi, perilaku yang ditampilkan oleh pemimpin tidak relavan.
Dengan kata lain, individu, pekerjaan, dan variabel organisasi tertentu bertindak sebagai “substitusi
terhadap kepemimpinan” yang meniadakan pengaruh pemimpinya.

Anda mungkin juga menyukai