Anda di halaman 1dari 37

Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

MODUL PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI GANGGUAN KULIT, TULANG & SENDI,


MATA, THT, SYARAF & PSIKIATRI

Disusun Oleh:
Tim Pengajar Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi,
Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018

1
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

TATA TERTIB UMUM PELAKSANAAN KEGIATAN


PRAKTIKUM LABORATORIUM FARMAKOLOGI

A. Prosedur Masuk Laboratorium


1. Praktikan harus telah memakai jas lab (dikancing dan lengkap).
2. Praktikan duduk ditempat yang disediakan sesuai dengan kelompoknya masing –
masing.
3. Simpan tas pada laci yang telah disediakan.
4. Barang – barang yang boleh dibawa ke dalam laboratorium hanya alat tulis,
kalkulator, dan perlengkapan praktikum.
5. Perlengkapan praktikum yang harus dibawa praktikan, yaitu masker, sarung
tangan kain dan latex, koran bekas dan rangkuman prosedur untuk
praktikum.

B. Prosedur Kegiatan Praktikum


1. Praktikan harus hadir di laboratorium 10 menit sebelum praktikum dimulai
(menunggu di dalam laboratorium).
2. Praktikan harus berpakaian sopan dan rapih.
3. Praktikan harus memakai kemeja dan celana bahan / rok.
4. Bagi praktikan wanita yang berambut panjang, harus diikat rapih, sedangkan
pria tidak boleh berambut panjang.
5. Praktikan harus menggunakan sepatu tertutup.
6. Praktikan tidak boleh menggunakan Handphone / Laptop selama praktikum
berlangsung.
7. Praktikan tidak boleh makan atau minum selama berada di labooratorium.
8. Praktikan harus menjaga kebersihan dan ketertiban, baik dalam penggunaan
alat maupun meja kerja kelompok masing – masing.
9. Praktikan bertanggung jawab atas hewan uji yang akan digunakan praktikum,
hewan uji sebelum digunakan praktikum harap diperhatikan pemberian makan,
minum, penggantian sekam dan kandang.

C. Prosedur Keluar Laboratorium


1. Praktikan mencuci dan membersihkan alat – alat yang telah digunakan selama
praktikum.
2. Praktikan merapihkan barang – barang yang ada di sekitar meja kerja.
3. Praktikan membuang sisa sampah/sisa praktikum/limbah/mengubur hewan
uji ke tempat yang telah disediakan.
4. Kursi tempat duduk praktikum dikembalikan ke tempat semula.

2
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
SISTEM PELIPUT

I. Tujuan
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa diharapkan memahami tentang :
1. Struktur dan Fungsi sistem peliput
2. Beberapa karakteristik sensasi paad kulit

II. Teori singkat


Kulit merupakan organ yang menutupi seluruh tubuh manusia dan mempunyai fungsi
untuk melindungi diri dari pengaruh luar. Kerusakan pada kulit akan mengganggu kesehatan
manusia maupun penampilan, sehingga kulit perlu dilindungi dan dijaga kesehatannya.
Proses kerusakan kulit ditandai dengan munculnya keriput, sisik, kering dan pecah-pecah.
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan lingkungan.
Adapun fungsi utama kulit adalah:
a. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik (tarikan,
gesekan, dan tekanan), gangguan kimia ( zat-zat kimia yang iritan), dan gagguan
bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet), dan gangguan infeksi luar.
b. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan
yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi
oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.
c. Fungsi ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme
dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis sehingga kulit
mampu mengenali rangsangan yang diberikan. Rangsangan panas diperankan oleh
badan ruffini di dermis dan subkutis, rangsangan dingin diperankan oleh badan
krause yang terletak di dermis, rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner

3
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

yang terletak di papila dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan
paccini di epidermis.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengekskresikan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin,
peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu
suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari
kelenjar keringat sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas.
f. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari
rigi saraf. Jumlah melanosit dan 17 jumlah serta besarnya butiran pigmen
(melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu.
g. Fungsi kreatinisasi
Fungsi ini memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
h. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D
Dengan mengubah dehidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi
kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut. Pemberian
vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.
Epidermis merupakan epitel gepeng (skuamosa) berlapis, dengan beberapa lapisan
yang terlihat jelas. Jenis sel yang utama disebut “keratinosit”. Keratinosit, yang merupakan
hasil pembelahan sel pada lapisan epidermis yang paling dalam stratum basale (lapisan
basal), tumbuh terus ke arah permukaan kulit, dan sewaktu bergerak ke atas keratinosit
mengalami proses yang disebut “diferensiasi terminal” untuk membentuk sel-sel lapisan
permukaan (stratum korneum).
Kelenjar keringat ekrin (eccrine) dan apokrin (apocrine), rambut dan kelenjar sebasea,
dan kuku merupakan aksesori-aksesori epidermis. Kelenjar keringat ekrin penting dalam
pengaturan suhu tubuh. Kelenjar ekrin mensekresi air, elektrolit, laktat, urea, dan amonia.
Kelenjar keringat apokrin menghasilkan sekret berminyak yang mengandung protein,
karbohidrat, amonia, dan lemak.

III. Bahan dan Alat


Bahan : Air hangat, air es, eter, etanol

4
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

Alat : Pinset, paku (panas dan dingin), pensil, jarum, kain penutup mata, alat pengukur jarak,
kunci, mata uang, dan stopwatch, kain 9drill, katun, sutera, wol), amplas dengan 3 ukuran
kekasaran.

IV. Prosedur Percobaan


A. Anatomi
Dengan merujuk pada literature gambarkan penampang melintang kulit

B. Fisiologi
a. Distributor Reseptor
1. Pada bagian anterior dari lengan bawah gambarkan suatu daerah dengan luas sekitar 2
cm2 yang terdiri dari 20 kotak dengan menggunakan pena.

5
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

2. Didalam daerah tersebut dilakukan sentuhan pelan-pelan dengan bulu sikat paling
sedikit pada 20 tempat yang berbeda. Jika dirasakanadanya sensasi, tandai dengan
huruf S. S artinya terasa sensasi sentuh.
3. Panaskan paku dalam air yang bersuhu sekitar 40oC atau 50oC. kemudian
dikeringkan. Cari lokasi reseptor panas seperti pada prosedur no 2. Tandai dengan
huruf P jika dirasakan sensasi panas.
4. Paku didinginkan dengan cara direndam dalam air es kemudian dikeringkan. Cari
lokasi reseptor dingin seperti pada prosedur no.2 dan 3 ditandai dengan huruf D jika
terasa sensasi dingin.
5. Lakukan lagi pada daerah yang sama dengan menggunakan jarum untuk mencari
reseptor nyeri. Sensasi dirasakan jika reseptor nyeri distimulasi oleh tekanan ringan,
yang mewakili shock listrik ringan. Tandai tempat reseptor pada daerah tersebut
dengan huruf N.
6. Jumlahkan lokasi reseptor untuk tiap sensasi
7. Ulangi prosedur 2 sampai 6 pada daerah lutut dan mata kaki.
8. Berdasarkan hasil percobaan di atas, apakah ada perbedaan jumlah reseptor pada
kedua daerah?
9.
Daerah Lutut :

Mata kaki:

6
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

b. Variasi Kepekaan terhadap tekanan

Tujuan:
Menentukan apakah kepekaan tubuh terhadap tekanan bervariasi pada suatu tempat
dengan tempat lainnya.

Prosedur:
1. Percobaan anda lakukandengan seorang rekan
2. Rekan anda menutup mata
3. Anda tekankan ujung pensil cukup kuat pada suatu titik di kulit sampai ada bekasnya
4. Mintalah rekan anda untuk menunjukan lokasi tekanan tadi
5. Catat jarak dalam mm antara kedua titik tersebut (jarak antara titik tempat tekanan
pensil dengan titik ditunjukkan oleh rekan anda).
6. Lakukan percobaan ini lima kali dan rata-ratakan hasil yang diperoleh. Amati apakah
lokasi yang ditunjukan oleh rekan anda membaik pada pengujian keduaa, ketiga, dst?
7. Ulangi prosedur 1 sampai 6 pada daerah ujung jari, punggung tangan, lengan atas
bagian dalam dan tengkuk
8. Catat hasil pengamatandalam tabel seperti berikut ini:
Dareah Stimulan Jarak kesalahan (mm)
Ujung jari
Punggung tangan
Lengan bagian atas
Tengkuk

c. Adaptasi Reseptor
Hilangnya sensasi disebabkan reseptor beradaptasi terhadap srimulus. Dengan
demikian reseptor tidak membentuk impuls saraf sampai terjadi perubahan dalam
stimulus.

1) Stumulus sentuhan
a. Percobaan dilakukan oleh dua orang
b. Rekan anda menutup mata
c. Anda menempatkan mata uang pada kulit permukaan lengan

7
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

d. Amati beberapa lama ( dalam satuan detik) sensasi sentuh berlangsung?


e. Setelah sensasi menghilang, tambahkan sebuah mata uang lagi dengan
ukuranyang sama diatas mata uang pertama. Apakah sensasi terasa kembali?
Berapa lama (detik) sensasi ini berlangsung?
f. Percobaan diulangi pada daerah lain dari lengan (pada dua daerah lain yang
berbeda)

2) Stimulasi Suhu
a. Celupkan jari telunjuk dalam air hangat selama dua menit. Celupkan jari telunjuk
yang lain kedalam wadah air hangat yang sama. Catat perbedaan sensasi yang
dirasakan pada tiap jari.
b. Selanjutnya celupkan satu jari telunjuk ke dalam air hangat dan jari telunjuk lain
ke dalam air ledeng dingin yang sama. Maati hasil yang diperoleh!
Percobaan ini menggambarkan bahwa sensasi panas atau dingin tidaklah mutlak,tapi
tergantung bagaimana cepatnya kulit memperoleh atau kehilangan panas dan
tergantung pada besar serta arah gradient temperature. Selain itu sensasi suhu yang
ditimbulkan pada tiap jari tergantung dari peristiwa sebelumnya.

3) After image
Lepaskan pensil dibelakang telingan antara kepala dan daun telinga. Perasaan apakah
yang terasa apabila pensil di angkat?

d. Daya Membedakan

Tujuan:
Mempelajari perbedaan sensasi terhadap intensitas stimulus.

Prosedur:
1. Dengan ujung jari, lakukan penilaian terhadap benda dari berbagai tingkat
kekasaran (amplas) dan benda dari berbagai bentuk (mata uang, kunci ) yang
diberikan oleh rekann anda. Percobaan dilakukan dengan mata tertutup
2. Ulangi percobaan di atas dengan lengan bawah

8
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

e. Nyeri Acuan
Nyeri acuan adalah fenomena asing penerimaan nyeri dalam satu area tubuh jika area
lain menerima stimulus nyeri. Nyeri acuan dapat menjadi petunjuk adanya kelainan
pada organ dalam.

Prosedur:
1. Tempatkan siku anda dalam air es dan setelah periode waktu tertentu, catat
perubahan dalam lokasi sensasi
2. Apakah lokasi sensasi berubah?
3. Jika iya, dimana nyeri acuan dirasakan?

f. Pengaturan suhu tubuh melalui kulit

Tujuan:
Mempelajari fungsi kulit dalam pengaturan panas

Prosedur:
1. Gosokan kulit dengan kapas yang sudah dibasahi dengan eter. Apa yang anda
rasakan?
2. Ulangi dengan menggunakan etanol. Apa yang anda rasakan sekarang? Mengapa
dmeikian?

V. Tugas Pendahuluan
1. Jelaskan fungsi kulit
2. Jelaskan dimana letak bagian-bagian ini pada kulit:
a. Pembuluh darah
b. Pembuluh syaraf
c. Reseptor
3. Sebutkan gangguan-gangguan pada kulit dan jelaskan!.

9
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
PANCA INDERA (SPESIAL SENSES)

I. Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami tentang :
1. Struktur anatomi dan fungsi organ sensorik khusus
2. Mekanisme fisiologis dan sifat-sifat indera

II. Teori Singkat


Tubuh kita berada di dalam suatu lingkungan yang selalu mengalami perubahan. Oleh
karena itu, tubuh kita harus mampu mengenali perubahan-perubahan tersebut. Sehingga
dengan segera dapat melakukan pertahanan atau penyesuaian yang sangat penting untuk
menjaga homeostatis tubuh.
Kemampuan kita dalam mengenali perubahan-perubahan lingkungan tergantung pada
sistem saraf sensoris dan reseptornya. Umumnya kita mengklasifikasikan sensasi yang kita
terima menjadi lima jenis yaitu : penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa dan bau.
Alat indera kita memiliki bagian yang dapat menerima rangsang berupa ujung-ujung
saraf sensorik atau sel-sel reseptor. Satu macam reseptor hanya mampu menanggapi satu
macam rangsangan, rangsangan yang diterima oieh sel reseptor terlebih dulu diubah menjadi
impuls saraf dan kemudian dihantarkan ke pusat susunan saraf melalui serabut saraf sensorik.
Di dalam pusat susunan saraf, impuls saraf tersebut diolah dan diartikan sehingga individu
mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita.Setelah itu, otak memerintahkan jenis tanggapan
yang akan diberikan. Perintah dari otak disampaikan ke otot atau kelenjar sebagai efektor
yang bertugas memberi tanggapan terhadap rangsangtersebut.

III. Bahan dan Alat


Bahan : Larutan sukrosa 5%, larutan asam asetat 1%, larutan natrium klorida 10%,
larutan kini sulfat 0.1%, kapas, air es, jambu air, kentang, bawang merah,
kamper, minyak permen, minyak cengkeh
Alat : Pipet tetes, kartu Snellen, garpu tala, jam/stopwatch, penutup mata,
penutup hidung, penutup telinga, buku test buta warna Ishihara, jarum dan
benang.

10
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

IV. Prosedur Percobaan


4.1 Penglihatan
a. Refleks Akomodasi
1. Ukur pupil mata dan amati adanya pupil mata di bawah sinar biasa dan sinar
terang (menggunakan lampu senter)
2. Ukur pupil mata saat mata melihat objek pada jarak 5 menter atau 20 cm.
Apa yang dapat disimpulkan?

b. Titik Dekat
1. Fokuskan mata pada objek (misal pensil atau batang pengaduk) berjarak 1
meter
2. Perlahan-lahan gerakan obyek mendekati mata sampai objek terlihat berganda
3. Gerakan kembali menjauh sampai objek tampak lagi sebagai objek tunggal.
Jarak ini disebut titik dekat untuk akomodasi.

c. Ketajaman Penglihatan
1. Uji ketajaman mata penglihatan dengan kartu Snellen
2. Ketajaman penglihatan dinyatakan sebagai :
V = d/ D
d = Jarak dimana huruf dapat dilihat dengan jelas (dapat dibaca)
D= Jarak dimana huruf seharusnya dapat dibaca (mata normal)
Berapa ketajaman penglihatan anda?

d. Penglihatan Binokular
1. Masukan benang ke dalam lubang jarum dengan kedua mata terbuka. Catat
waktu yang diperlukan.
2. Lakukan hal yang sama, kali ini dengan salah satu mata tertutup.
3. Apa yang dapat disimpulkan dari percobaan ini?

e. Uji Buta Warna


Buta warna adalah ketidaknormalan penglihatan yang diturunkan secara genetik.
Pengujian dilakukan dengan uji Ishihara:
1. Letakan plat warna Ishihara berjarak 75 cm dari subjek

11
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

2. Berikan jawaban nomor atau gambar apa yang terdapat dalam plat gambar
Ishihara tersebut.
3. Setiap jawaban harus diberikan tidak lebih dari 3 detik
4. Catat banyak kesalahan yang dibuat.

4.2 Pendengaran
a. Uji Ketajaman Pendengaran
1. Dilakukan di ruangan yang sepi
2. Salah satu anggota kelompok yang diuji diminta untuk menutup telinga kiri
dengan kapas dan menutup matanya.
3. Tempatkan sebuah jam yang berdetak di dekat telinga kanan
4. Jauhkan jam dari telinga dengan teratur dan perlahan-lahan
5. Tentukan jarak dimana detak jam tepat tidak terdengar lagi.
6. Jauhkan jam sedikit lagi, kemudian dengan teratur dan perlahan-lahan dekatkan
kembali pada telinga. Tentukan jarak dimana detak jam tepat terdengar
kembali. Apakah jarak yang diperoleh dengan kedua cara tersebut diatas sama
besar?
7. Lakukan hal yang sama pada telinga kiri dengan telinga kanan ditutup dengan
kapas.
8. Bandingkan ketajaman pendengaran telinga kanan dan kiri.

b. Uji Lokalisasi Suara


1. Sukarelawan dalam keadaan duduk dan mata terpejam
2. Tempatkan jam di dalam jarak pendengaran (berdasarkan hasil uji a) pada
beberapa sudut yang berbeda di dekat kepalanya dari arah samping, atas , dan
depan.
3. Mintalah pada sukarelawan untuk menunjukan arah dimana ia mendengar suara
detak jam.

c. Uji Ketulian
i. Uji Weber
1) Tidak dilakukan di ruang sepi
2) Getarkan sebuah garpu tala dengan frekuensi 512 cps pada permukaan yang
keras.
12
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

3) Gigit garpu tala diantara gigi dengan bibir terbuka.


4) Orang dengan pendengaran normal akan melokalisir suara yang terdengar
seakan dari posisi midian.
5) Penderita tuli konduktif, pada salah satu telinga akan mendengar suara lebih
jelas pada telinga tersebut. Jelaskan apa sebabnya !
6) Penderita tuli perseptif, pada salah satu telinga akan mendengar pada telinga
yang normal.
7) Untuk mendapatkan keadaan serupa ketulian konduktif, dilakukan percobaan
ini dengan salah satu telinga disumbat dengan kapas.

ii. Uji Rinne


1) Sumbat telinga kiri dengan kapas, lakukan pengujian pada telinga kanan.
2) Setelah garpu tala digetarkan, kaki garpu tala diletakkan di depan telinga dan
tangkainya ditekankan pada prosesus mastoid.
3) Saat suara dari getaran garpu tala tidak lagi terdengar tempatkan tangkai garpu
tala di depan telinga.
4) Bandingkan intensitas suara yang terdengar jika tangkai garpu tala ditekankan
pada prosesus mastoid dan jika ditempatkan di depan telinga.
5) Orang dengan pendengaran normal akan mendengar suara lebih baik bila garput
tala diletakkan di depan telinga daripada bila garpu tala ditekankan pada
prosesus mastoid.
6) Penderita tuli konduktif akan mendengar suara lebih baik bila garpu tala
ditekankan diatas prosesus mastoid daripada di depan telinga.
7) Penderita tuli perseptif akan mendengar suara lebih baik bila garpu tala
diletakkan di depan telinga daripada bila garpu ditekankan pada prosesus
mastoid tapi harus dengan suara yang lebih keras.
8) Lakukan hal yang sama untuk pengujian telinga kiri.

4.3 Kecap (Rasa)


Distribusi Reseptor Kecap:
Tentukan lokasi reseptor untuk empat jenis rasa pada lidah dengan menggunakan
satu tetes dari larutan-larutan berikut :
1. Larutan kinin sulfat 0.1%
2. Larutan sukrosa 5%
13
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

3. Larutan asam asetat 1%


4. Larutan natrium klorida 10%

4.4 Penciuman
a. Adaptasi Penciuman
1. Percobaan dilakukan oleh dua orang
2. Rekan anda diminta untuk menutup matanya.
3. Kepada rekan anda ciumkan kamper pada satu lubang hidungnya (lubang
hidung lainnya ditutup). Apakah bau tersebut langsung tercium ?
4. Bila kamper dicium terus menerus, catat waktu yang diperlukan sampai rekan
anda tak dapat lagi mendeteksi bau tersebut. Waktu yang diperoleh merupakan
waktu adaptasi.
5. Rekan anda langsung diminta untuk membedakan atau mengenali bau minyak
permen dan minyak cengkeh dengan lubang hidung.

b. Interaksi Rasa dengan Penciuman


1. Percobaan dilakukan oleh dua orang.
2. Mata dan lubang hidung rekan anda ditutup.
3. Pada lidah rekan anda yang terjulur, tempatkan bergantian potongan-potongan
jambu air, bawang merah, kentang atau makanan lain.
4. Apakah macam-macam rasa ini dapat diidentifikasi ?

V. Tugas Pendahuluan
1. Gambarkan anatomi mata dan telinga ! Jelaskan Fisiologisnya !
2. Jelaskan macam-macam gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran !
3. Sebutkan klasifikasi fungsi pendengaran lengkap dengan frekuensinya ! Frekuensi
pendengaran normal manusia adalah?
4. Sebutkan teknik-teknik pengujian pendengaran selain uji yang dilakukan pada
praktikum? Jelaskan apakah audiometer dan BERA beserta fungsinya?
5. Tentukan lokasi reseptor pada lidah untuk rasa manis, asam, asin, pahit dan gurih !

14
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDEPRESI

I. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan dapat memahami
bagaimana aktivitas obat antidepresi pada hewan percobaan dan dapat merancang eksperimen
untuk pengujiannya.

II. Teori
Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu
atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps
neuron di SSP (terutama pada sistem limbik). Antidepresan adalah obat yang dapat
digunakan untuk memperbaiki perasaan (mood) yaitu dengan meringankan atau
menghilangkan gejala keadaan murung yang disebabkan oleh keadaan sosial – ekonomi,
penyakit atau obat –obatan.
Kadar NT (nontransmiter) terutama NE (norepinefrin) dan serotonin dalam otak sangat
berpengaruh terhadap depresi dan gangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin di
dalam otak inilah yang menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi
menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat yang mampu meningkatkan
kadar NE dan serotonin di dalam otak.
Pada gangguan ini, selain serotonin dan norepinefrin, dopamin juga mempunyai peran.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron dari substansi gria mid
brain. Dopamin pada posisi lain mengaktivitasi protein Gi yang berikatan dengan reseptor
alfa 2, kondisi ini akan menghambat adenil siklase sehingga cAMP menurun. Hal ini sebagai
umpan balik kanal ion K. Dalam kondisi stress dalam mensekresikan dopamine yang
berlebihan sehingga aktivasi protein Gi meningkat dan aktivasi kanal ion K pun meningkat.
Hal ini menyebabkan ion K dalam jumlah berlebih akan keluar dari kanal ion sehingga terjadi
hiperpolarisasi dan penghambatan transmisi potensial aksi yang berlebihan hingga terjadi
hipereksitabelitas jaringan dan mendepresikan susunan syaraf pusat.
Beberapa golongan obat yang bekerja sebagai antidepresi dibagi berdasarkan target
kerjanya yaitu:

15
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

1. Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)


SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin.
SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
obat-obatan lainnya (Reus and Osborne, 2000).
2. Antidepresan Trisiklik (TCA)
Antidepresan trisiklik bekerja dengan cara menghambat pengambilan
neurotransmitter 5-hidroksitriptamin (serotonin) dan noradrenalin (norepinefrin)
(Brooker, 2006).
3. Mono amin Oxidase Inhibitor (MAOI)
MAO Inhibitors meningkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan cara
menghambat aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan
melemahkan atau mengurangi neurotransmitter dalam sambungan sinaptik.
MAOIs sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang
digunakan karena secara potensial lebih berbahaya (Reus and Osborne, 2000).

III. Bahan dan Alat


Hewan percobaan : mencit putih, Swiss Webster, sehat
Alat : - Alat suntik dan sonde oral 1 mL
: - Tabung gelas panjang 20 cm diameter 10 cm
: - Timbangan mencit
Bahan : - NaCl fisiologis
: - Aquadest
: - Bahan obat
IV. Prosedur I
1. Dalam percobaan ini digunakan alat berupa tabung silinder gelas (tinggi 20 cm,
diameter 10 cm) yang berisi air dengan ketinggian sekitar 8 cm pada suhu 25 oC.
2. Sehari sebelum percobaan, setiap mencit dimasukkan ke dalam tabung silinder
tersebut selama 5 menit dan dibiarkan berenang untuk mengadaptasikan diri dengan
lingkungan.
3. Pada hari berikutnya, tes berenang dilakukan terhadap mencit dengan perlakukan
sebagai berikut:
a. Mencit dibagi ke dalam kelompok kontrol dan kelompok uji.

16
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

b. Mencit diberi larutan NaCl fisiologis (untuk kelompok kontrol) atau bahan uji
(untuk kelompok uji) secara per oral, dan 1 jam kemudian mencit dimasukkan ke
dalam tabung silinder yang berisi air. Mencit akan berenan secara aktif.
c. Dalam saat-saat tertentu, mencit akan menunjukkan sikap yang pasif, sama sekali
tidak bergerak menunjukkan bahwa mencit tersebut mengalami keputusasaan
yang dianggap emnyerupai keadaan depresi.
4. Pada saat itu, lamanya mencit tidak bergerak dicatat setiap 5 menit selama waktu
pengamatan 15 menit.
5. Data dianalisis berdasarkan analisis varians dan untuk mengetahui perbedaan yang
bermakna antara perlakuan bahan uji dan kontrol data analisis dengan Student’s t-test.
6. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.
7. Hitung persentase aktivitas antidepresi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Prosedur II
Masing-masing praktikan diminta untuk mengisi kuisioner mengenai sifat psikis secara
pribadi.

V. Pertanyaan
1. Sebutkan penggolongan obat antidepresi beserta contoh-contohnya!
2. Jelaskan mekanisme kerja obat antidepresi!

17
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
PENGUJIAN AKTIVITAS LOKOMOTOR

I. Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan mengetahui efek obat terhadap aktivitas lokomotor hewan
percobaan yang dimasukkan ke dalam “roda putar” (wheel cage), berdasarkan pengamatan
jumlah putaran roda.

II. Teori Singkat


Neuron atau sel saraf adalah unit dasar sistem saraf yang mempunyai kemampuan
untuk dieksitasi. Dalam keadaan diam, membran sel saraf terpolarisasi; bagian dalam
lazimnya lebih negatif daripada bagian luar.
Sistem saraf pusat (SSP) adalah bagian dari sistem saraf yang mengkoordinasi kegiatan
dari semua bagian tubuh hewan bilaterian yaitu semua hewan multiseluler kecuali simetris
radial spons dan binatang seperti ubur-ubur. Pada vertebrata, sistem saraf pusat yang ditutupi
dalam meninges ini berisi sebagian besar sistem saraf dan terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang. Bersama-sama dengan sistem saraf perifer memiliki peran fundamental dalam
kontrol perilaku. Yang termasuk SSP adalah otak dan sumsum tulang belakang. Otak
dilindungi oleh tengkorak, sedangkan sumsum tulang belakang dilindungi oleh tulang
belakang.
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) memperlihatkan efek yang sangat
luas. Obat tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktivitas SSP secara spesifik atau
secara umum. Beberapa kelompok obat memperlihatkan selektivitas yang jelas misalnya
analgesik antipiretik yang khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu dan pusat nyeri tanpa
pengaruh jelas terhadap pusat lain. Sebaliknya anestetik umum dan hipnotik sedatif
merupakan penghambat SSP yang bersifat umum sehingga takar lajak yang berat selalu
disertai koma. Pembagian obat dalam kelompok yang merangsang dan kelompok yang
menghambat SSP tidak tepat, karena psokofarmaka misalnya menghambat fungsi bagian SSP
tertentu dan merangsang bagian SSP yang lain. Obat yang mempengaruhi susunan saraf pusat
(SSP) dapat bersifat merangsang atau mendepresi. Berdasarkan kegunaan terapeutiknya, obat
SSP dapat dibagi dalam tiga golongan :
1. Depresi SSP umum
Obat-obat ini menimbulkan efeknya dengan mendepresi secara tak selektif
struktur sinaptik, termasuk jaringan prasinaptik, termasuk jaringan prasinaptik dan
18
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

prasinaptik. Obat-obat ini menstabilkan membran neuron dengan mendepresi


struktur pascasinaptik, disertai dengan pengurangan jumlah transmiter kimia yang
dilepaskan oleh neuron prasinaptik.
2. Perangsang DDP umum
Obat-obat ini melakukan kerjanya secara tak selektif dengan salah satu
mekanisme berikut : merintangi hambatan pascasinaptik atau mengeksitasi neuron
secara langsung. Eksitasi neuron secara langsung dapat dicapai dengan
mendepolarisasi sel prasinaptik, meningkatkan pelepasan prasinaptik akan
transmiter, melemahkan kerja transmiter, melabilkan membran neuron atau
menurunkan waktu pulih sinaptik.
3. Obat-obat SSP selektif
Obat golongan ini dapat berupa depresan atau perangsang. Kerja melalui berbagai
mekanisme, dan mencakup obat antikejang, pelemas otot yang bekerja sentral,
analgetika dan sedativa.

III. Bahan dan Alat


Hewan Percobaan:
Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25 gram.
Bahan:
1. Obat depresan atau stimulan yang diuji
2. Larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi gom arab 1-2 %
Alat:
1. Alat suntik 1 ml
2. Sonde oral mencit
3. Stopwatch
4. Timbangan mencit
5. Alat roda putar (Wheel cage)

IV. Prosedur
Pengujian dilakukan dengan “metode roda putar” (Wheel cage method) yang dimodifikasi,
dengan prosedur sebagai berikut.
1. Hewan dibagi atas dua kelompok, yang terdiri atas :
a. Kelompok kontrol
b. Kelompok obat uji 1
19
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

c. Kelompok obat uji 2


Setiap kelompok terdiri atas 4-5 ekor hewan.
2. Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya
a. kelompok kontrol diberi larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi gom
arab 1-2 %
b. kelompok uji diberi obat depresan atau stimulan
Pemberian zat/obat dilakukan secara oral.
3. Tiga puluh menit kemudian mencit dimasukkan ke dalam alat “roda putar”.
4. Aktivitas mencit dicatat selama 90 menit dengan interval 15 menit.
5. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis variansi dan
kebermaknaan perbedaan lama waktu tidak bergerak antara kelompok kontrol dan
kelompok uji dianalisis dengan Student’s t-test.
6. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

V. Pertanyaan
1. Jelaskan mekanisme kerja obat sedatif-hipnotik golongan benzodiazepin dan
barbiturat dan berikan paling sedikit 6 contoh obat masing-masing
2. Amfetamin dan kafein merupakan salah satu obat yang merangsang SSP,
terangkan begaimana mekanisme kerjanya!

20
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGETIKA

I. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa:
1. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental aktivitas analgetika
suatu obat.
2. Memahami dasar-dasar perbedaan daya analgetik berbagai obat analgetika.

II. Teori Dasar


Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan
(ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi
dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan
sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang
toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni
pada 44-45oC.
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau
rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum). Secara
umum terbagi menjadi dua, yaitu analgesik opioid/narkotik dan analgesik non opioid.
Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghilang nyeri yang hebat sekali.
Dalam dosis besar dapat bersifat depresan umum (mengurangi kesadaran), mempunyai efek
samping menimbulkan rasa nyaman (euforia). Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat
dihilangkan oleh analgetik narkotik kecuali sensasi kulit. Harus hati-hati menggunakan
anlgetika ini karena mempunyai resiko besar terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan
kecenderungan penyalahgunaan obat. Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan
insidentiil pada rasa nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark). Penggolongan
analgetika narkotik adalah sebagai berikut:
1. Alkaloid alam: morfin, codein
2. Derivat semi sintetis: heroin
3. Derivat sintetik: metadon, fentanil
4. Antagonis morfin: nalorfin, nalokson dan pentazocin.
Analgetik non opioid (non narkotik) disebut juga nalgetika perifer karena tidak
mempengaruhi susunan saraf pusat. Semua nalgetika perifer memiliki khasiat sebagai
antipiretik yaitu menurunkan suhu badan saat demam. Misalnya paracetamol, asetosal. Dan
21
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

berkhasiat pula sebagai antiinflamasi. Antiinflamasi sama kuat dengan analgetik, digunakan
sebagai anti nyeri atau rheumatik contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen. Anti
radang yang lebih kuat contohnya fenilbutazon. Sedangkan yang bekerja srentak sebagai anti
radang dan analgetik contohnya indometazin. Berdasarkan rumus kimiamya analgetik perifer
digolongkan menjadi:
1. Golongan salisilat : asetosal
2. Golongan para-aminophenol : paracetamol, fenasetin
3. Golongan pirazolon (dipiron) : fenilbutazon
4. Golongan antranilat : asam mefenamat.
Pengujian aktivitas analgetik dilakukan dengan dua metode yaitu induksi nyeri cara
kimiawi dan induksi nyeri cara termik. Daya kerja analgetik dinilai pada hewan dengan
mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respons
nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri. Rasa nyeri setelah induksi
nyeri cara kimiawi pada hewan uji ditunjukkan dalam bentuk gerakan geliat, frekuensi
gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya, sedangkan
rasa nyeri setelah induksi nyeri cara termik pada hewan uji ditunjukkan dengan menjilat kaki
belakang atau meloncat saat diletakkan di atas hot plate. Selang waktu antara pemberian
stimulus nyeri yang berupa panas sampai terjadinya respons disebut waktu reaksi. Obat-obat
analgetik dapat memperpanjang waktu reaksi ini.

Rata − rata jumlah geliat kelompok perlakuan


% Daya analgetik = 100 − ( × 100%)
Rata − rata jumlah geliat kelompok kontrol
Rata − rata daya analgetik kelompok perlakuan
% Efektivitas analgetik = × 100%
Rata − rata daya analgetik kelompok kontrol

III. Alat dan Bahan


a. Hewan Percobaan
i. Hewan percobaan : Mencit putih jantan yang memberikan respon dalam waktu 3-6
detik setelah ditempatkan pada plat panas.Mencit-mencit yang memberikan respon
kurang atau lebih dari waktu reaksi tersebut tidak digunakan dalam percobaan.
ii. Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25 gram untuk percobaan induksi
kimia
b. Alat
i. Alat suntik 1 mL

22
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

ii. Sonde oral


iii. Stopwatch
iv. Timbangan mencit
v. Wadah penyimpanan mencit
c. Bahan
i. Asam asetat 0,7% v/v
ii. Obat analgetika standar (asam asetil salisilat/aspirin)
iii. Obat analgetika yang diuji (asam mefenamat)
iv. Suspensi gom arab 1-2%

IV. Prosedur Percobaan


1. Metode Induksi Mekanik (Termik)
a. Mencit ditimbang, diamati waktu reaksi pada 5-10 menit sebelum pemberian obat.
Rata-rata dari waktu reaksi pada kedua pengamatan ini merupakan waktu normal.
b. Suntikkan pada masing-masing mencit secara i.p. obat-obatan sbb:
Kelompok I: Asetosal
Kelompok II: Parasetamol
Kelompok III: Asam mefenamat
c. Waktu reaksi diamati pada 10, 20, 30, 45, 60, dan 90 menit setelah perlakuan. Waktu
reaksi adalah waktu dari saat hewan diletakkan di atas plat panas (55oC) sampai tepat
memberikan respon (kaki depan diangkat atau dijilat).
d. Waktu reaksi dari tiap tahap pengamatan dan tiap hewan dicatat.
e. Buat tabel hasil-hasil pengamatan dengan sebaik-baiknya.
f. Gambarkan suatu pengamatan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.

2. Metode Induksi Kimia


a. Hewan dibagi atas tiga kelompok yang terdiri atas:
Kelompok kontrol negatif
Kelompok kontrol positif (obat standar)
Kelompok obat uji (dua jenis)

b. Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya,
yaitu:

23
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

Kelompok kontrol negatif diberi larutan NaCl fisiologis/larutan suspensi gom arab 1-
2%
Kelompok kontrol positif (obat standar) diberi asam asetil salisilat
Kelompok obat uji diberi asam mefenamat atau parasetamol
c. Pemberian obat dilakukan secara oral
d. Setelah 30 menit, hewan diberi asam asetat 0.7% secara i.p.
e. Segera setelah pemberian asam asetat, gerakan geliat hewan diamati, dan jumlah
geliat dicattat setiap 5 menit selama 60 menit jangka waktu pengamatan.
f. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis variansi dan
kebermaknaan perbedaan jumlah geliat antara kelompok kontrol dan kelompok uji
dianalisis dengan Student’s t-test.
g. Daya proteksi obat uji terhadap rasa nyeri dan efektivitas analgetiknya dihitung
dengan rumus berikut:
h. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

V. Pertanyaan Pendahuluan
1. Apa perbedaan obat analgetika narkotika dan analgetik non narkotika?
2. Bagaimana mekanisme kerja obat analgesic non narkotika? Apa efek sampingnya?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat analgetika-antipiretika dalam menurunkan suhu
tubuh?
4. Jelaskan mengapa asam asetat dapat menginduksi rasa nyeri (geliat)?

24
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
PENGUJIAN SISTEM RESPIRASI

I. TUJUAN
 Memahami peranan system respirasi dalam mempertahankan homeostasis tubuh
 Memahami peranan organ –organ yang terlibat dalam system respirasi
 Mengetahui cara-cara sederhana dalam mendeteksi kelainan pada system respirasi
II. PRINSIP
 Sistem Pernapasan
Sistem respirasi atau sistem pernafasan mencakup semua proses pertukaran
gas yang terjadi antara atmosfir melalui rongga hidung  faring  laring  trakea
 bronkus  paru-paru  alveolus  sel-sel melalui dinding kapiler darah
(Kusnadi, 2017).
 Insipirasi
Perpindahan udara ke dalam paru-paru akibat kontraksi otot-otot pernapasan
dan perubahan tekanan toraks (Asih dan Christantie, 2003).
 Ekspirasi
Perpindahan udara ke luar paru-paru yang merupakan akibat relaksasi otot-otot
pernapasan (Asih dan Christantie, 2003).
III. TEORI DASAR
Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan untuk
pertukaran gas. Sistem pernapasan umumnya termasuk saluran yang digunakan untuk
membawa udara ke dalam paru-paru di mana terjadi pertukaran gas. Diafragma menarik
udara masuk dan juga mengeluarkannya. Berbagai variasi sistem pernapasan ditemukan
pada berbagai jenis makhluk hidup (Lehninger, 1982).

 Prevalensi
Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 14 juta orang menderita PPOK,
sedangkan mortalitas menduduki peringkat ke-4. WHO (World Health Organization)
menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat didunia yaitu akan
menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%. Selain itu WHO
juga menyebutkan bahwa sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK dan 3 juta

25
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

meninggal karena PPOK pada tahun 2005. Di Asia Tenggara diperkirakan prevalensi
PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%) dan RRC
(6,5%). sedangkan di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2013, prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7% (Lasut et al, 2016).
 Spirometer
Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi mekanik
paru, dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan mengukur jumlah volume udara yang
dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke volume residu (Uyainah et al, 2014)
Spirometri merupakan alat skrining untuk penyakit paru dan paling sering
dilakukan untuk menguji fungsi paru serta mendeteksi kelainan pada saluran pernapasan.
Indikasi lain penggunaan spirometri adalah untuk menentukan kekuatan dan fungsi dada,
mendeteksi berbagai penyakit saluran pernapasan terutama akibat pencemaran lingkungan
dan asap rokok (Alasagaff dan Abdul, 2005).
 Diagnosa Spirometer
a. Paru-paru Normal
o Definisi normal, bervariasi, tergantung usia, ukuran paru-paru, dan jenis
kelamin. Normal ini dapat diketahui dari daftar tabel nilai normal hasil
spirometri (Uyainah et al, 2014).
b. Paru-paru Obstruktif
o Kondisi dimana terjadi penyempitan pada saluran pernapasan, umumnya pada
kondisi asma dan penyakit paru-paru obstruksi kronis (COPD) (Uyainah et al,
2014).
o Jika terjadi penyempitan saluran pernapasan maka jumlah udara yang
dihembuskan dengan cepat akan berkurang. Dalam hal ini berarti nilai FEV1
berkurang dan rasio FEV1/FVC menjadi rendah (Uyainah et al, 2014).
c. Paru-paru Restriktif
o Ketika nilai FVC lebih rendah dari nilai prediksi untuk usia, jenis kelamin, dan
ukuran tubuh seseorang (Uyainah et al, 2014).
o Pada kondisi restriktif, nilai FEV1 menurun sejalan dengan penurunan nilai
FVC sehingga pada kondisi paru-paru restriktif, rasio FEV1/FVC tetap normal
(Uyainah et al, 2014).
d. Kombinasi Paru-paru Obstruktif dan Restriktif
o Terjadi pada kondisi misalnya pasien terkena asma gangguan paru-paru

26
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

lainnya. Contoh lainnya misalnya fibrosis dimana terkumpul banyak lendir


(mukus) di saluran pernapasan yang menyebabkan penyempitan saluran
pernapasan (paru-paru obstruktif) dan kerusakan jaringan paru-paru
(kecenderungan paru-paru restriktif). (Uyainah et al, 2014).
 Rentang Diagnosis CPOD
a. CPOD Ringan
o Nilai FEV1 80% atau lebih dari nilai prediksi. Hal ini menunjukkan bahwa
seseorang dengan COPD ringan memiliki nilai hasil spirometri normal setelah
diberikan obat bronkodilator (Uyainah et al, 2014).
b. CPOD Sedang
o Nilai FEV1 antara 50-79% dari nilai prediksi setelah diberikan obat
bronkodilator (Uyainah et al, 2014).
c. CPOD Berat
o Nilai FEV1 antara 30-49% dari nilai prediksi setelah diberikan obat
bronkodilator (Uyainah et al, 2014).
d. CPOD Sangat Berat
o Nilai FEV1 di bawah 30% dari nilai prediksi seteelah diberikan obat
bronkodilator (Uyainah et al, 2014).
 Parameter Diagnosis
Parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernapasan dalam
mengatasi kedua resistensi tersebut adalah volume paru, baik volume statis maupun
dinamis. Volume statis menggambarkan kemampuan kerja pernapasan dalam mengatasi
resistensi elastik, sedangkan volume dinamik mengukur kecepatan aliran udara dalam
saluran pernapasan dibandingkan dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai
kemampuan kerja pernapasan mengatasi resistensi nonelastik (Uyainah et al, 2014).

 Volume Statik
a. Volume static terdiri dari :
o Volume Tidal (TV/ Tidal Volume),

27
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

o Volume Cadangan Inspirasi (IRV/ Inspiratory Residual Volume),


o Volume Cadangan Ekspirasi (ERV/Expiratory Residual Volume),
o Volume Residu (RV/ Residual Volume),
o Kapasitas Paru Total (TLC/Total Lung Capacity),
o Kapasitas Vital (VC/Vital Capacity),
o Kapasitas Inspirasi (IC/ Inspiratory Capacity),
o Kapasitas Residu Fungsional (FRC/Functional Residual Volume)
(Uyainah et al, 2014)

 Volume Dinamis
a. Volume Dinamis terdiri dari :
o Kapasitas Vital Paksa/Force Vital Capacity (FVC)
Pengukuran yang diperoleh dari ekspirasi yang dilakukan
secepat dan sekuat mungkin (Uyainah et al, 2014)
o Kapasitas Vital Lambat/ Slow Vital Capacity (SVC)
Volume gas yang diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan
secara perlahan setelah atau sebelum inspirasi maksimal (Uyainah et
al, 2014)
o Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/ Force Expiration

28
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

Volume (FEV1)
Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyakbanyaknya dalam 1
detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi
maksimal (volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu standar
selama pengukuran kapasitas vital paksa) (Uyainah et al, 2014)
o Maximal Voluntary Ventilation (MVV)
Jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyakbanyaknya dalam
2 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara (Uyainah et al, 2014)

 Faktor Fisik
a. Umur
o Pada orang dewasa, frekuensi pernapasan menjadi lebih lambat
dikarenakan aktivitas sel-sel di dalam tubuh mengalami penurunan
(Somantri, 2007).
b. Aktivitas Tubuh
o Semakin tinggi aktivitas tubuh frekuensi pernapasann akan semakin
tinggi (Somantri, 2007).
c. Jenis Kelamin
o Frekuensi pernapasan pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan
karena laki-laki membutuhkan energi yang lebih banyak daripada
perempuan sehingga oksigen yang diperlukan semakin banyak
(Somantri, 2007).
d. Suhu Tubuh
o Semakin tinggi suhu tubuh, semakin membutuhkan energi yang lebih
banyak sehingga kebutuhan akan oksigen pun akan meningkat. Oleh
karena itu, frekuensi pernapasan pun akan lebih sering dilakukan
(Somantri, 2007).
e. Posisi Tubuh
o Seseorang yang sedang berdiri, frekuensi pernapasannya akan lebih
sering terjadi daripada seseorang yang posisi tubuhnya sedang

29
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

berbaring karena aktivitas otot di dalam tubuh akan lebih sering


mengalami kontraksi sehingga oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi di dalm tubuh menjadi lebih banyak (Somantri, 2007).
 Faktor Psikologis
a. Emosi
o Seseorang yang sedang emosi seperti marah, frekuensi pernapasannya
akan cenderung tinggi dibandingkan seseorang yang kondisi emosinya
stabil atau normal (Somantri, 2007).
b. Perasaan
o Perasaan takut pada seseorang akan mempercepat frekuensi
pernapasannya. Hal ini disebabkan aktivitas denyut jantung yang
meningkat sehingga tubuh memerlukan asupan energi yang lebih
banyak (Somantri, 2007).
c. Kejiwaan
o Seseorang yang mempunyai jiwa periang cenderung mempunyai
aktivitas yang lebih aktif dibandingkan dengan seseorang yang pemalu
(Somantri, 2007).
o Frekuensi pernapasan pada orang yang periang cenderung akan lebih
tinggi dibanding dengan orang yang pemalu (Somantri, 2007).
d. Kestabilan Rohani
o Seseorang yang kondisi rohaninya baik, hati mereka akan diliputi rasa
tenang dan tenteram sehingga jauh dari rasa cemas dan khawatir yang
berlebihan dan frekuensi pernapasannya cenderung rendah (Somantri,
2007).
IV. ALAT DAN BAHAN
 Alat
a. Spirometer
b. Stetoskop
c. Roll Meter
 Bahan
a. Balon (Belum ditiup)
b. Lilin
c. Korek Api

30
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

V. PROSEDUR
 Proses Inspirasi dan Ekspirasi
a. Diukur rongga dada satu orang perwakilan kelompok menggunakan alar
pengukur saat mengalami respirasi (inspirasi dan ekspirasi) normal
kemudian dicatat
b. Bagian yang diukur merupakan bagian rongga dada pada daerah axila dan
xiphoid
c. Diukur pula rongga dada satu orang perwakilan kelompok (orang yang
sama) saat menarik napas dalam (inspirasi maksimum) kemudian dicatat
d. Satu orang perwakilan kelompok (orang yang sama) diminta untuk
menitup lilin yang menyala dan meniup balon
e. Diukur rongga dadanya saat dilakukan aktivitas tersebut dan dicatat
perubahan ukuran

 Bunyi Pernapasan
a. Stetoskop ditempatkan pada berbagai posisi di punggung
b. Didengarkan bunyi pernafasan satu orang perwakilan kelompok
c. Dihitung frekuensi pernafasan (jumlah pernafasan/menit)
d. Dibahas kekuatan serta bunyi pernafasan satu orang perwakilan kelompok
tersebut
 Penentuan Perbandingan VT :VEC:VIC
a. Dilakukan inhalasi normal lalu ekshalasikan (normal) ke dalam
spirometer
b. Dicatat nilai yang tertera pada spirometer, Nilai yang diperoleh adalah
nilai VT
c. Dilakukan ekshalasi normal lalu ekshalasikan sekuat-kuatnya ke dalam
spirometer
d. Dicatat nilai yang tertera pada spirometer, Nilai diperoleh adalah nilai
VEC
e. Dilakukan inhalasi sedalam mungkin lalu ekshalasikan sekuat-kuatnya ke
dalam spirometer

31
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

f. Dicatat nilai yang tertera pada spirometer, Nilai yang diperoleh adalah
nilai KV (kapasitas Vital).
g. Dari nilai KV ini diperoleh nilai VIC : karena KV=VT + VIC + VEC
maka VIC = KV- (VT+VEC)
h. Ditentukan perbandingan VT, VEC, dan VIC

32
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

PERCOBAAN
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT ANTIKONVULSAN

I. Tujuan
a. Mengetahui efek dari obat-obat Sistem Saraf Pusat (SSP) golongan antikonvulsi
yaitu fenitoin, karbamazepin dan gabapentindan pada hewan uji mencit (Mus
musculus).
b. Mengamati seberapa lama obat antikonvulsan mampu menahan kejang
(menunjukan tingkat aktivitas obat antikonvulsan) yang disebabkan oleh pemberian
teofilin yang berfungsi sebagai penginduksi kejang

II. Prinsip
2.1 Kejang (konvulsi)
Merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks
selebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan,
aktivitas motorik, dan/atau gangguan fenomena sensori. (Gunawan, S. G., 2007).

2.2 Antikonvulsan
Tujuan terapi menggunakan antikonvulsan adalah untuk mengurangi frekuensi kejang
dan memaksimalkan kualitas hidup dengan efek samping obat yang minimum (Bauer,
2008).

2.3 Waktu onset


Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya (Gunawan, 2009).

III. Teori Dasar


Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral
yang berlebihan (Betz & Sowden, 2002).
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat
timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi
epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan. (Mardjono, 1988).

Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya
parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi
suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya
secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi (Mardjono, 1988).

Kejang (konvulsi) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol
dari sel saraf korteks selebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan

33
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

kesadaran ringan, aktivitas motorik, dan/atau gangguan fenomena sensori (Gunawan, S.


G., 2007).
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik
atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalam otak yang
menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptic yang sensitif
terhadap rangsang disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan
epilepsi (Utama dan Gan, 2007). Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan
yaitu :

1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)

 Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)



 Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

 Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik,
bangkitan klonik, bangkitan infantile

2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)

 Bangkitan parsial sederhana



 Bangkitan parsial kompleks

 Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum

3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)

(Utama dan Gan, 2007)

Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan
listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron
disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian,
cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur
nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi.
Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan
meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron
spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-
klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon (Utama dan Gan, 2007).

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua fase, yakni
fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi
tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta

34
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase
propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya),
akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter),
serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak
terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan
penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy
umum/epilepsy sekunder (Utama dan Gan, 2007).

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang; muncul tanpa
diprovokasi (Purba, 2008). Sekitar 1 % penduduk dunia mengidap epilepsi yang
merupakan penyakit neurologic umum kedua setelah stroke (Katzung, 2003). Tujuan terapi
menggunakan antikonvulsan adalah untuk mengurangi frekuensi kejang dan
memaksimalkan kualitas hidup dengan efek samping obat yang minimum (Bauer, 2008).
Toksisitas dan kurangnya kepatuhan dalam menggunakan obat antiepilepsi adalah dua
faktor penyebab pasien sulit untuk bebas dari serangan kejang (Pedley et al., 1995).

Karbamazepin adalah turunan iminostilbene yang mirip dengan antidepresan trisiklik


yang digunakan dalam pengobatan tonik klonik, kejang parsial atau umum (Bauer, 2008).
Studi bioavailabilitas dari formulasi karbamazepin lepas lambat pada pasien epilepsi telah
menunjukan hasil yang komersial dan bioeqivalen dengan formulasi lepas segera (Garnett
et al., 1998). Formulasi lepas lambat memungkinkan untuk aksi diperlama serta
pengurangan jumlah dosis yang dipakai, hal ini dipandang sebagai manfaat dari sudut
pandangan pasien (Patel, 2006).
Diazepam adalah kelompok obat benzodiazepine yang memengaruhi sistem saraf
otak dan memberikan efek penenang. Obat ini digunakan untuk mengatasi serangan
kecemasan, insomnia, kejang-kejang, gejala putus alkohol akut, serta sebagai obat bius
untuk praoperasi (Porter dan Meldrum, 2009).

Cara kerja fenitoin adalah memblokade pergerakan ion melalui kanal Na dengan
menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion Na yang mengalir selama
penyebaran potensial aksi, memblokade dan mencegah potensial post tetanik, membatasi
perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi penyebaran serangan
(Wibowo dan Gofir, 2006). Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien adalah
antara 10 dan 20µg/mL. Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian dosis kepada
orang dewasa mulai dari 300mg/hari, tanpa memandang berapa berat badannya (Porter dan
Meldrum, 2009).

Cara kerja karbamazepin yaitu dengan memblokade kanal Na selama pelepasan dan
mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo
dan Gofir, 2006). Obat ini efektif untuk anak-anak, dan dosis yang tepat adalah 15-25
mg/kg/hari (Porter dan Meldrum, 2009).

35
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

Gabapentin yaitu terapi tambahan untuk epilepsi parsial dengan atau tanpa kejang
umum yang tidak dapat dikendalikan dengan antiepilepsi lain, nyeri neuropati (BPOM RI,
2015).

Obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebarang kejang.
Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran
kejang daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum ada dua
mekanisme kerja, yakni : peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang
kemudian memodifikasi konduksi ion Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas
neurotransmitor, meliputi:
a. Inhibisi kanal Na+ pada membrane sel akson
b. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pace-maker
untuk membangkitkan celusan listrik umum di korteks). Contoh: etosuksimid,
asam valproat, dan clonazepam.
c. Peningkatan inhibisi GABA
d. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re update dan
metabolisme GABA.

(Hendra dan Vincent, 2007).

IV. Alat dan Bahan

3.1 Alat

3.1.1 Alat Suntik (Syringe)

3.1.2 Timbangan Mencit

3.2 Bahan

3.2.1 Diazepam

3.2.2 Fenitoin

3.2.3 Gabapentin

3.2.4 Karbamazepin

3.2.5 PGA 5%

3.2.6 Teofilin

36
Praktikum Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang & Sendi, Mata, THT, Syaraf & Psikiatri

V. Prosedur

Mencit ditimbang dan dikelompokan menjadi 5 kelompok, kelompok kontrol negatif diberi
PGA, kelompok kontrol positif diberi Diazepam, kelompok uji 1 diberi karbamazepin,
kelompok uji 2 diberi gabapentin dan kelompok uji 3 diberi fenitoin. Semua kelompok diberi
obat secara intraperitoneal catat waktu pemberian obat. Setelah 30 menit hewan diberi zat
penginduksi konvulsi yaitu teofilin secara subktuan. Setelah pemberian zat penginduksi di
catat waktu timbulnya kejang pertama dan juga waktu terjadinya kematian hewan percobaan.
Buat tabel hasil percobaan.

37

Anda mungkin juga menyukai