Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih (baca: hukum islam)
bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir
ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41
H. Pada periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang
mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Saw.
Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat (sahabat
kabir) bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus
perpecahan[1]. Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena pada masa ini,
jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing-masing
entitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam
menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka,
sehingga akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut
juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi
Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai
siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula
dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari
kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi
Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan /
menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai
dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu. Hal ini
sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (‫)أنتم أعلم بأمور دنياكم‬. “Kalian-kalian
semua lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal,
sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama 4 sahabat yang
terkenal dengan sebutan Kulafaur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga
“(‫”)أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتم‬sahabat-sahabatku ibarat bintang-bintang,
siapa saja yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk
(hidayah).” Berbeda dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat
sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam
menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar
pemikiran, sosio kultural di samping ilmu-ilmu agama yang dimiliki mereka.
Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu permasalahan
terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.”
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin Dan


Perkembangannya
Periode Khulafaur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah
SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H/632 M dan diakhiri pada akhir
abad pertama Hijriyah (11-41 H/632-661 M). Menurut para ahli sejarah
islam, Periode ini adalah periode Penafsiran undang-undang dan terbukanya
pintu-pintu istinbath hukum dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash
hukumnya. Dari pemuka-pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam
menafsirkan nash-nash hukum dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang dapat
dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran-penafsiran nash serta
sebagai penjelasannya.[2] Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi
banyak masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam
hingga melampaui semenanjung Arabia itu juga tentunya membawa dampak
yang begitu besar bagi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu.
Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya
pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para
sahabat untuk benar-benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut. Secara umum permasalahan-permasalahan itu dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Politik
a. Kekhalifahan Abu Bakar (11-13 H/632-634 M)
Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca
wafatnya Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah
imamah/kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini,
masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa
kehadiran seorang pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam yang
telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab, akan
dengan mudah hancur/terpecah-belah kembali, di samping
kekhawatiran adanya serangan dari bangsa-bangsa lain, seperti
Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu
terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi
Muhammad di akhir hayatnya tidak meninggalkan wasiat tentang
siapa yang akan meneruskan perjuangannya menjadi khalifah dan
menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini kemudian
menjadi tanda Tanya sekaligus PR terbesar bagi umat islam saat itu
terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat bahwa
Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah pertama, namun kemudian dicegah oleh
Umar bin Khattab.
Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang
terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah,
tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah
mayoritas keturunan suku aus dan suku khazraj yang secara historis
telah menjadi musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku
yang terkenal dengan sebutan kaum Anshor, merasa paling berhak
untuk menyatakan dan mengangkat diri mereka sebagai seorang
khalifah sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena atas jasa
merekalah umat islam bisa terus Berjaya hingga saat itu. Meskipun
sebenarnya kedatangan Nabi dan Para Muhajirin Lainnya ke kota
yang dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas permintaan
dari kedua kelompok sosial itu, dengan tujuan agar perseteruan di
antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan antar kedua
suku itu terjadi terus-menerus maka kedua suku itu akan punah. Dan
benar saja Nabi Muhammad dengan kekuatan Islam dan akhlaknya
yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu selama 13 tahun
lebih.
Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku
itu serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk
saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri
mereka telah tertanam nilai-nilai islam yang menjunjung tinggi
perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad
telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka,
sehingga hal itu membuat mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu
datanglah para sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin
oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian
langsung memplokamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin
sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat Islam. tentu saja hal
ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku aus dan
khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari
golongan anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada
akhirnya kedua suku itu “dikatakan” menyetujui Abu Bakar sebagai
khalifah pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka
yang turut membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama tidak lebih
hanyalah sebuah perfect disguise (Pura-pura yang sempurna). Fakta
sejarah telah membuktikan bahwa dipilihnya Abu Bakar saat itu
sebagai seorang Khalifah dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
1. Dari segi Nasab, Abu Bakar yang merupakan Keturunan bani
Taim, Sekelompok suku minoritas yang tida memihak kubu
manapun itu ternyata telah dianggap sebagai mediator bagi suku aus
dan khazraj yang membutuhkan seorang pemimpin yang tidak
berasal dari kelompok mereka.
Apakah pemimpin itu bernama Abu Bakar atau Abu Jahal
atau siapapun, bagi mereka itu bukanlah hal yang penting, karena
saat itu mereka sedang mempertaruhkan suatu hal yang sangat besar,
yaitu kelangsungan hidup kedua suku mereka. Jadi otomatis pada
saat Umar membaiat Abu Bakar, maka Basyir bin Sa’ad dari bani
khazraj ikut membaiat Abu Bakar, yang kemudian langsung diikuti
oleh saingannya Usaid bin Hudhair dari bani Aus. Kemudian para
pemuka-pemuka sahabat yang lain termasuk Ali bin Abi Thalib juga
membaia Abu Bakar secara keseluruhan. Menunjukkan adanya
Sistem Demokrasi pada masa itu. Sebenarnya dalam diri Abu Bakar
tidak ada sama sekali ambisi politik untuk memimpin umat islam,
namun karena mempertimbangkan kemaslahatan umum, maka Abu
Bakar bersedia dilantik menjadi Khalifah. Hal lain yang mendukung
pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah saat itu adalah bahwa
saat itu beliaulah yang paling sepuh di antara para sahabat terdekat.
Pada masa sebelum pembaiatannya sebagai khalifah Abu Bakar juga
berpidato kepada Kaum Anshor: “Sesungguhnya orang-orang Arab
tidak mengakui kekuasaan ini kecuali untuk orang-orang Quraisy”.
Perlu diketahui bahwa Abu Bakar adalah keturunan suku Quraisy,
nama lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin ‘Amr
bin Ka’ab bin Sa’adalah bin Taim. Bani Taim adalah satu dari dua
belas cabang suku Quraisy. Setelah 2 tahun memerintah (11-13
Hijriyah) akhirnya Abu Bakar menghembuskan Nafasnya yang
terakhir pada bulan Jumadil Akhir 13 H/634 M, setelah sebelumnya
mewasiatkan Umar sebagai Khalifah Penerusnya.
b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13-23 H/634-643 M)
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi
bin Ka’ab. Bani Ka’ab juga termasuk keturunan Quraisy. Dalam
Islam, sebenarnya masalah-masalaah kekhalifahan yang termasuk
masalah keduniawian harus melalui ijma’ atau konsensus /
musyawarah. Sebagaimana firman Allah (‫)وشاورهم في األمر‬. Namun
agaknya dalam pengangkatan Umar bin Khattab ini terjadi sedikit
Permainan Politik di tangan kaum Quroisy. Sebuah makalah yang
ditulis oleh Henri Lammens yang berjudul Kelompok Politik Tiga
Orang (triumvirat) Abu Bakar, Umar bin Khattab dan abu Ubaidah,
yang menceritakan keakraban mereka bertiga sejak awal masuk
islam, dalam peperangan, hingga kepergiannya ke pertemuaan
saqifah tanpa memberitahu sahabat lainnya termasuk Ali bin Abi
Thalib, untuk mengajukan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama,
ternyata tidak berhenti sampai di sini saja, persekongkolan politik
mereka berlanjut hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar kepada
Umar di tengah-tengah sahabat yang lain sebagai khalifah
penggantinya. Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi
konflik politik lagi seperti dahulu, namun sebagai manusia berjiwa
Arab yang menjunjung kesukuan Quraisy, tentu saja dia tidak ingin
masyarakat islam dipimpin oleh selain Suku Quraisy, sehingga dia
kemudian berinisiatif untuk mewariskan kekhalifahannya kepada
Umar bin Khattab. Diriwayatkan pula bahwa pada masa-masa
menjelang kematiannya, Umar bin Khattab berencana ingin
mewasiatkan kekhalifahanna pada Abu Ubaidah, kalau saja saat itu
dia masih hidup dan umar tidak megutusnya sebagai panglima
pasukan untuk berperang dengan pasukan Romawi yang kemudian
berakhir dengan kematian Abu Ubaidah. Berbeda dengan Abu Bakar
yang tidak terlalu suka dengan Politik, Umara adalah sosok sahabat
yang memiliki “naluri negarawan” yang besar, arif akan liku-liku
kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana caranya menangani
penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras. Umar
bukanlah prajurit yang hebat di medan peperangan, bila
dibandingkan dengan Ali bin Abu Thalib atau Hamzah, namun
dalam mengatasi kemelut politik ini, dia termasuk pemberani yang
sedia juga menyerempet-nyerempet pada bahaya. Ia malah berani
menghapus kalimat adzan (‫“ )حيا على خير العمل‬marilah melakukan
amal yang baik”, konon untuk mengarahkan semangat perang jihad
dan agar lebih memompa semangat kaum muslimin yang disebarkan
ke berbagai penjuru, ia juga berani menambahkan kalimat ( ‫الصالة خير‬
‫”)من النوم‬Shalat itu lebih baik daripada tidur”, dia juga orang pertama
yang menjuluki didrinya sebagai Amirul mukminin, orang pertama
yang membuat Pnanggalan Islam / Hijriyah yang dimulai awal
Hijrah Nabi Muhammad SAW, memelopori perluasan masjidil
haram, mmebentuk kantor pemerintahan, mata uang dll.
Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat
sebuah konspirasi politik yang dirancang oleh musuh-musuh islam,
terutama kalangan yahudi dan Persia, yang sangat membencinya
karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan
dari muka Bumi. Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun
saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak
Persia, Abu Lu’luah Al-Majusi. Sebelum naza’ dia sempat ingin
memilih Abu Ubaidah sebagai penerusnya, karena hubungan
dekatnya dengan abu ubaidah dari semenjak awal masuk islam,
pembaiaatan Abu Bakar dan Pengangkatannya. Namun karena
sahabat terdekat seperjuangannya tela meninggal dunia, maka dia
pun mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat
yang termasuk dalam orang-orang yang akan masuk surge
berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu: Utsman bin affan, Ali bin abi
Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi
Waqosh. Kepada 6 orang ini umar berwasiat untuk memilih salah
satu di antara mereka sebagai khalifah penerusnya. Umar bin
Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H /643 M dan memerintah
selama 10 tahun lamanya.
c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ’Ash bin Umayyah
bin Abdu Syams, berasal dari bani Umayyah. Setelah kematian
Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama-sama
tidak berhasrat untuk menjadi khaifah, satu persatu di antara mereka
mengundurkan diri hingga akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali,
kemudian mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di
mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat, manakah
yang mereka pilih sebagai Khalifah, Utsman atau Ali. Setelah
dilakukan pengambilan suara oleh keempat sahabat yang
mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung mengajukan diri
mereka menjadi dewan pemilihan umum, akhirnya mayoritas umat
islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah karena
usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih
menjadi pemimpin yang bijaksana. Dia dibaiat sebagai khalifah saat
berusia 70 tahun. Pada masa pemerintahannya jumlah kekayaan
kaum muslimin sangat banyak sekali dan dia melihat bahwa banyak
gubernur-gubernur yang kurang cakap memerintah dijadikan
gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan penggelapan
uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengganti
gubernur-gubernur yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur-
gubernur baru, yang tentu saja berasal dari keturunan bani Umayyah.
Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur-
gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh
seorang yahudi Abdullah bin Saba’ untuk menyebarkan fitnah di
kalangan umat islam mesir, kufah dan Bashrah, yang pada
prinsipnya bahwa Umar telah merebut hak Ali bin Abi Thalib
sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak dari Mesir,
Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama-sama
menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah, namun Ali yang
mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan menjelaskan
duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali
ke masing-masing daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba’
membuat surat fitnah atas nama Khalifah, Ali dan Aisyah yang di
dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan
Ali akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan
dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan mengepung
kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah
bin saba’ yang kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela
khalifah dari berbagai daerah, para pemberontak ini pun khawatir
hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman
dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca Al-
Quran mushaf Utsmaninya. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa
yang membunuh Utsman adalah Al-Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat
pada bulam Dzulhijjah tahun 35 H/656 M, usia kekuasaannya adalah
12 tahun. Salah satu kebijakan Utsman selama memerintah adalah
penyatuan bacaan Al-Quran dalam satu mushaf setelah khawatir
terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah sab’ah, kemudian
menamainya dengan Rasm Utsmani dan membakar Al-Quran yang
lainnya untuk memelihara persamaan bacaan di antara kaum
muslimin yang pada saat itu sudah sangat luas sekali kekuasaannya.
d. Kekhalifahan Ali bin Abu Thalib (35-40 H/ 656-661 M)
Namanya Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu
Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan
atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain
karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi
di kalangan umat islam. Ali bukanlah orag yang pandai dalam hal
politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu imu” dan juga seorang
pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak
orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek dan
saudara Mu’awiyah yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali.
Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah-olah sedang
mmenumbuhkan musuh-musuh di sekelilingnya, seperti Muawiyah
yang saa itu sangat membencinya. Ali terbunuh oleh seorang
khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat akan
melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya
peristiwa pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan Aisyah
serta muawiyah, yang dikonspirasi oleh Muawiyah sebagai usaha
balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali
bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan
Ramadhan tahun 40 H/661 M. dengan meninggalnya Ali bin Abu
Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian
dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.
2. Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para
sahabat pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah-
masalah baru terkait dengan budaya bangsa ara itu sendir, sebagaimana
yang kita ketahui daerah mekkah mempunyai keberbedaan budaya
dengan daerah mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin
memperkaya tsarwah fiqhiyyah umat islam pada zaman ini. Fiqih /
penggalian hukum islam pada periode Khulafaur Rasyidin ini terasa
sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun
lebih kecil dibanding periode berikutnya, seiring dengan perkembangan
fiqih itu sendiri. Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada
periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’I sehingga ruang
ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini
fatwa-fatwa dan masail fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati
demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah-kaidah usuliyah
dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha sahabat dalam
melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah
itu memang masih bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah
istidlal.
3. Aspek Akidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya nabi menjadi hal yang
sangat menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi
Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka
merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi
Muhammad lah yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan
kesesatan serta kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam yang
rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung yang
senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh
lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi
yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi
petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (63-25 tahun ), hati dan iman
mereka mulai gelisah ibarat malam hari ketika mereka kehilangan cahaya
mereka, hal ini juga yang dialami sahabat umar ketika mendengar nabi
wafat dia langsung berkata:’’ barang siapa yang berkata bahwa nabi
Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya
hati umar pun luluh manakal mendengar pidato abu Bakar : Barang siapa
yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi Barangsiapa
yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”.
Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat
manakala ada beberapa oknum islam yang memanfaatkan kegelisahan
iman dan akidah umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk
menyampaikan dan mengumandangkan pendapat-pendapatnya, di antara
mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya
telah diangkat menjadi nabi penerus Muhammad, seperti Musailamah Al-
Kadzab. Selain itu ada juga beberapa orang yang menyerukan bahwa
kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi,
karena menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal-
hal ini lah yang kemudian mamaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka
dengan tujuan untuk melenyapkan penyakit-penyakit kekufuran dan
pemberontakan dari tubuh islam, karena dikhawatirkan hal ini akan
merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.

B. Sumber-Sumber Tasyri’
1. Al-Quran
Al-Quran adalah sumber primer dalam penggalian / pembentukan
hukum islam, entah itu pada masa Nabi, Sahabat, tabi’in hingga sekarang
peran Al-Quran sebagai Sumber hukum Islam Pertama/ primer wajib
didahulukan daripada Sumber hukum lainnya. Al-Quran adalah
kalamullah yang diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang
diberikan kepada Nabi SAW bertahap-tahap sesuai dengan permasalahan
yang terjadi di sekitar Nabi SAW, atau yang ditanyakan kepada Nabi
SAW, atau hal-hal lainnya yang belum diketahui manusia.
Pengimplementasian Al-Quran dalam bentuk kalam insan ini terjadi
karena Sang Pemilik Kalam ingin agar kalamNya dapat dipahami,
Disebarkan, diajarkan kepada seluruh Umat manusia. Sehingga jika hal
ini yang dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut harus
memuat unsur-unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di
berbagai space, time and peopledi seluruh dunia. Oleh karena itu,
walaupun kalam insan ini diturunkan di sosio-kultural suatu daerah yang
terkenal dengan padang pasirnya yang panas, namun unsur-unsur esensial
/filosofi dalam kalam insan ini pasti berlaku umum bagi seluruh lapisan
manusia di berbagai daerah dan waktu. Hanya saja yang dibutuhkan
adalah pemahaman nilai-nilai Ajarannya dengan menggunakan
pemahaman atau tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya.
Hal ini semakin dipermudah terutama setelah dibukukannya/
dikumpulkannya ayat-ayat alquran dalam /satu mushaf pada masa Abu
Bakar, sehingga proses penggalian hukum pada masa ini semakin
memperoleh kemudahan.
2. Al-Hadits
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada Al-quran,
maka Selanjutnya Para Sahabat selalu mengembalikan permasalahan
hukum tersebut kepada Al-Hadits selaku sumber hukum kedua
(Sekunder). Hal ini juga berlaku umum untuk seluruh masa
perkembangan hukum islam. Dalam masa Khulafaur Rasyidin, proses
takhrijul hadits diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun
hadits yang diriwayatkan oleh perowi dalam keadaan maudhu’ / dibuat-
buat. Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun mensyaratkan para
perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya ketika meriwayatkan
suatu hadits tertentu.
Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam ini belum
dibukukannya hadis, sehingga tiap-tiap sahabat memiliki kuantitas
hafalan dan pengetahuan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lain, sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang-kadang bertentangan
dengan pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah
ini, para sahabat sering menggunakan metode ijma’ / diskusi serta Tanya
jawab dengan sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah
keilmuan yang mumpuni pada diri masing-masing sahabat dengan
adanya diskusi / periwayatan hadits.
3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun
berijtihad dengan menggunakan Ro’yu / buah pemikiran mereka. ijtihad
adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum
syar’I yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah
ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat
dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’/qiyas baru
kemudian maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’I terhadap suatu
permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu acara
yang formal namun bisa berbentuk diskusi / Tanya jawab antara dua
orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing-masing punya
metode sendiri-sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat,
namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan
umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah
fiqhiyyah mereka.
Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-
nash yang bisa dikaji ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu
punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya,
punya illatyang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya,
punya illat yang bisa memungkinkan masuknya kategori permasalah baru
yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan nash itu
tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa
dilakukan maka biasanya para sahabat kabir mencari jiwa hukumnya /
subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu
arah/tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah
ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam
masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di
antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan dinamisasi
hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis
itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’I yang statis yang
hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Mekkah
dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad/mengeluarkan
pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang
menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk
menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat
suatu institusi hukum semisal MUI untuk membuat masalah sekaligus
menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang
dinukil dari para sahabat di periode ini sangat sedikit sekali.
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang
menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi
SAW, sbelum mengutusnya Nabi menanyainya,bila engkau menemukan
masalah di sana apa yang akan kau lakukan? Maka muadz pun menjawab
aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak
menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya,
dan jika aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk
menghukuminya) dengan pikiranku. Kemudian rasul menepuk bahunya
sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.

C. Sebab-Sebab Ikhtilaf Pada Masa Sahabat


Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. hal
ini disebabkan karena ketidak jelasan batasan antara pengertian nash dan
perbedaan pesepsi di kalangan sahabat, seperti lafadz (‫ )القرء‬dalam firman
Allah Ta’ala (‫ )والمطلقة يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء‬umar dan ibnu mas’ud
mengartikan bahwa (‫ )القرء‬bermakna haid, sedangkan zaid bin tsabit
mengartikannya dengan suci, dan tiap-tiap pendapat memiliki argument yang
menguatkannya.
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang
saling berlawanan. Para fuqoha pun sepakat bahwa masalah seperti ini harus
diselesaikan dengan beberapa tahapan. Pertama, mencari benang merah
antara kedua ayat tersebut, bila tidak ditemukan maka menggunakan
metode keduayaitu At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu nash hukum dengan
nash hukum lainnya karena ada dalil yang menguatkannya, bila tidak
ditemukan dalil yang menguatkannya maka dipakailah metode ketiga yaitu
teori nasakh yaitu hukum nash yang pertama dihapus oleh hukum nash kedua
yang datang belakangan. Contohnya masalah iddah wanita hamil yang
ditinggal mati suaminya, apakah dia beriddah hamil atau beriddah kematian
suaminya? Dalam al-Quran disebutkan:“…Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya..” .(QS. At-Thalaq: 4). Di ayat lain disebutkan “Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234). Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari
benang merah dari kedua nash di atas dan beliau kemudian berpendapat
bahwa iddahnya adalah masa iddah yang paling lama dari dua masa iddah
tersebut, sedangkan Ibnu Mas’ud hukum ayat pertama menghapus hukum
ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10 hari jika sudah
melahirkan maka berakhir pula lah masa iddahnya, hal ini diperkuatnya
dengan hadits nabi yang menerangkan bahwa nabi mengizinkan Subai’ah Al-
Aslamiyah untuk menikah lagi setelah melahirkan anaknya beberapa hari
semenjak kematian suaminya.
Ketiga, sebagian fuqoha memutuskan suat peristiwa berdasarkan
pengetahuannya dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya
atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits
shahih. Contohnya perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dengan
Ibnu Mas’ud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal mati
suaminya sebelum mengadaka hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan
karena pada zaman ini sunnah/ hadits-hadits Nabi belum dibukukan, maka
tingkat kuantitas hadits yang didapat dan dihafal oleh para sahabat juga relatif
beda antara satu dan yang lain, tergantung seberapa seringnya mereka
berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya, atau kepada
para sahabat periwayat hadits. Sehingga produk hukum yang mereka hasilkan
mungkin berbeda karena kekurangtahuan akan hadits-hadits Nabi yang lain,
yang mungkin menjelaskan / menafsiri hadits yang mereka hafal.
Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha yang
kemudian memunculkan beberapa perbedaan penggunaan kaidah dan metode
ini muncullah bebeerapa perbedaan pendapat dalam satu persoalan yang
sama, yang sebenarnya hal ini akan mampu memperkayah tsarwah
fiqhiyyah.Contohnya perbedaan penentuan illat hukum. Ini terjadi ketika
seorang sahabat ingin mengetahui sebab suatu peristiwa hukum. Contoh:
dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW
mempercepat langkah ketika tawaf dengan lari-lari kecil, kemudian sebagian
besar sahabat berkata:”lari-lari kecil ketika tawaf itu sunnah”. Ibnu Abbas
berkata:” tidak sunnat”. Lagkah nabi dipercepat karena orang musyrik
menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika berthawaf. Ketegaran
langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.
Kelima, mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan
kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai
masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan itulah yang
menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode ini.

D. Ruang Ijtihad Sahabat


Yang bisa kita lihat dari berbagai ijtihad sahabat – di antaranya seperti
dicontohkan di atas – adalah adanya ruang lingkup ijtihad yang cukup luas.
Para sahabat tidak hanya menyikapi hukum-hukum islam secara ideal yang
terlepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan
mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal islam terhadap berbagai
persoalan yang berkembang. Interpretasi terhadap nash (seoerti penggunaan
teori ‘illah yang dilakukan Utsman), adalah contoh nyata betapa para sahabat
secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri’ (tujuan-tujuan
syariat) dari suatu penerapan hukum.
Utsman misalnya, berkesimpulan bahwa dibiarkannya unta-unta
berkeliaran pada masa Nabi Saw karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka
penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut adanya situasi aman
sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Jika tidak,
maka nash hadits itu tidak tepat untuk diterapkan, sebab akan member
peluang terkorbankannya kemaslahatan umum. Kerangka teori ini kemudian
dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli metodologi islam (ushuliyyin)
dalam kaidah ushul fiqh : “al-hukmu yadurru ma’al ‘illah wujudan wa
‘adaman” (hukum itu berputar / berhubungan dengan munculnya illah atau
tidak).
Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan membuktikan bahwa
rumusan para fuqaha dan mujtahidin pada tahun-tahun pertengahan mengacu
pada kerangka dan ruang ijtihad sahabat. Qiyas, maslahah mursalah,
istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari para
sahabat. Hal ini semakin menguatka kesimpulan bahwa fiqih sejak periode-
periode awal memberikan ruang gerak dinamis bagi perkembangan,
pembaharuan dan kehidupan. Dengan kata lain, tradisi ikhtilaf para sahabat
mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang
memperkaya tsarwah fiqhiyah dalam sejarah perkembangannya.
BAB III
PENUTUP

Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik


terbagi menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode
Utsman bin Affan dan periode Ali bn Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi
dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa meskipun
disebut periode khulafaur Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid
hukum bukan hanya para amirul mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibar
sahabat yang hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap semua
permasalahan yang dirasa aktual dan memiliki haajah di antara umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash Al-
Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila
hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam Al-Quran maka mereka mencari
hukumnya di dalam hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka
sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi
menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang
dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat
seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka
hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam Al-Quran dan
Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan ro’yu mereka sendir-sendiri,
maka kemudian terciptalah metode qiyas, penggalian illat hukum, ijma’,
hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syariat dengan menggunakan
metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi masnusia secara umun.
Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat saat itu adalah perbdaan
persepsi tentang suatu nash Al-Quran atau hadits secara tekstual, yang biasanya
memerlukan kajian kebahasaan yang tinggi. Di samping itu kadar jumlah hadits
yang berbeda yang diterima para sahabat kibar yang kesemuanya tergantung pada
seberapa dekat dan sering seorang sahabat berinteraksi dengan NabiSAW.
Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam
terhadap suatu persoalan. Contohnya pembuuan Alquran dalam satu mushaf oleh
Abu bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya Al-Quran dengan hilangnya
para syuhada yang hafal Al-Quran. Contoh lain penulisan Al-Quran dalam satu
huruf / qiroah untuk meyeragamkan bacaan Al-Quran secara menyeluruh bagi
umat islam yang pada saat itu semakin luas wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Diterjemahkan oleh


Mudzakir AS. Cet. Kesebelas. 2007. Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa.
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad
XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Ham, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan
hukum islam. 2000. Semarang: CV. Aneka Ilmu.
Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.
Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-
Haromain.
Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi hukum Islam. 2009.
Jakarta: Amzah.
Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV.
Bayu Grafika Offset.
Sirry, Mun’im A. SEJARAH FIQIH ISLAM: Sebuah Pengantar. 1995. Surabaya:
Risalah Gusti.
Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai