PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PD ZMAN KHULAFAUl RASYDIN
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PD ZMAN KHULAFAUl RASYDIN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih (baca: hukum islam)
bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir
ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41
H. Pada periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang
mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Saw.
Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat (sahabat
kabir) bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus
perpecahan[1]. Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena pada masa ini,
jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing-masing
entitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam
menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka,
sehingga akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut
juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi
Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai
siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula
dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari
kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi
Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan /
menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai
dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu. Hal ini
sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: ()أنتم أعلم بأمور دنياكم. “Kalian-kalian
semua lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal,
sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama 4 sahabat yang
terkenal dengan sebutan Kulafaur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga
“(”)أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتمsahabat-sahabatku ibarat bintang-bintang,
siapa saja yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk
(hidayah).” Berbeda dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat
sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam
menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar
pemikiran, sosio kultural di samping ilmu-ilmu agama yang dimiliki mereka.
Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu permasalahan
terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.”
BAB II
PEMBAHASAN
B. Sumber-Sumber Tasyri’
1. Al-Quran
Al-Quran adalah sumber primer dalam penggalian / pembentukan
hukum islam, entah itu pada masa Nabi, Sahabat, tabi’in hingga sekarang
peran Al-Quran sebagai Sumber hukum Islam Pertama/ primer wajib
didahulukan daripada Sumber hukum lainnya. Al-Quran adalah
kalamullah yang diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang
diberikan kepada Nabi SAW bertahap-tahap sesuai dengan permasalahan
yang terjadi di sekitar Nabi SAW, atau yang ditanyakan kepada Nabi
SAW, atau hal-hal lainnya yang belum diketahui manusia.
Pengimplementasian Al-Quran dalam bentuk kalam insan ini terjadi
karena Sang Pemilik Kalam ingin agar kalamNya dapat dipahami,
Disebarkan, diajarkan kepada seluruh Umat manusia. Sehingga jika hal
ini yang dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut harus
memuat unsur-unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di
berbagai space, time and peopledi seluruh dunia. Oleh karena itu,
walaupun kalam insan ini diturunkan di sosio-kultural suatu daerah yang
terkenal dengan padang pasirnya yang panas, namun unsur-unsur esensial
/filosofi dalam kalam insan ini pasti berlaku umum bagi seluruh lapisan
manusia di berbagai daerah dan waktu. Hanya saja yang dibutuhkan
adalah pemahaman nilai-nilai Ajarannya dengan menggunakan
pemahaman atau tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya.
Hal ini semakin dipermudah terutama setelah dibukukannya/
dikumpulkannya ayat-ayat alquran dalam /satu mushaf pada masa Abu
Bakar, sehingga proses penggalian hukum pada masa ini semakin
memperoleh kemudahan.
2. Al-Hadits
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada Al-quran,
maka Selanjutnya Para Sahabat selalu mengembalikan permasalahan
hukum tersebut kepada Al-Hadits selaku sumber hukum kedua
(Sekunder). Hal ini juga berlaku umum untuk seluruh masa
perkembangan hukum islam. Dalam masa Khulafaur Rasyidin, proses
takhrijul hadits diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun
hadits yang diriwayatkan oleh perowi dalam keadaan maudhu’ / dibuat-
buat. Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun mensyaratkan para
perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya ketika meriwayatkan
suatu hadits tertentu.
Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam ini belum
dibukukannya hadis, sehingga tiap-tiap sahabat memiliki kuantitas
hafalan dan pengetahuan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lain, sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang-kadang bertentangan
dengan pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah
ini, para sahabat sering menggunakan metode ijma’ / diskusi serta Tanya
jawab dengan sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah
keilmuan yang mumpuni pada diri masing-masing sahabat dengan
adanya diskusi / periwayatan hadits.
3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun
berijtihad dengan menggunakan Ro’yu / buah pemikiran mereka. ijtihad
adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum
syar’I yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah
ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat
dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’/qiyas baru
kemudian maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’I terhadap suatu
permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu acara
yang formal namun bisa berbentuk diskusi / Tanya jawab antara dua
orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing-masing punya
metode sendiri-sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat,
namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan
umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah
fiqhiyyah mereka.
Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-
nash yang bisa dikaji ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu
punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya,
punya illatyang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya,
punya illat yang bisa memungkinkan masuknya kategori permasalah baru
yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan nash itu
tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa
dilakukan maka biasanya para sahabat kabir mencari jiwa hukumnya /
subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu
arah/tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah
ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam
masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di
antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan dinamisasi
hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis
itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’I yang statis yang
hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Mekkah
dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad/mengeluarkan
pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang
menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk
menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat
suatu institusi hukum semisal MUI untuk membuat masalah sekaligus
menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang
dinukil dari para sahabat di periode ini sangat sedikit sekali.
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang
menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi
SAW, sbelum mengutusnya Nabi menanyainya,bila engkau menemukan
masalah di sana apa yang akan kau lakukan? Maka muadz pun menjawab
aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak
menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya,
dan jika aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk
menghukuminya) dengan pikiranku. Kemudian rasul menepuk bahunya
sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.