Vani melepaskan semua baju-baju nya dari gantungan di lemari.

Melipatnya kecil-kecil dan meletakkan di

koper hitam besar nya. Beberapa buku bacaan favorit nya ikut ia sematkan di dalam koper. Ruang kamar
nya tidak banyak berubah, hanya sedikit terasa lengang karena ia hanya akan membawa barang-barang
yang dibutuhkannya saja.

Kembali ia mengecek isi koper nya satu persatu. Sudut bibir nya sedikit terangkat. Senyum miris
terpancar dari wajah nya yang sendu. Tak pernah terpikirkan oleh nya untuk meninggalkan kamar nya ini
dan tak akan kembali lagi.

Tok..tok..tok..

Pintu kamar Vani terbuka, seorang wanita berumur 40-an muncul dari balik pintu.

"Sudah siap kemas-kemas nya?"

"Hmm.. Vani rasa udah semua."

"Kalau sudah selesai, kamu langsung tidur. Jangan lupa besok bangun pagi. Oh iya, kamu udah pamit
belum sama teman-teman kamu?"

"Udah kok Ma."

Mama Vani tersenyum. Menahan rasa bersalah kepada anak perempuan semata wayang nya untuk ikut
merasakan rasa sakit yang hanya pantas untuk dirinya sendiri rasakan.

"Ma..", panggil Vani sebelum mama nya menutup kembali pintu kamarnya.

"Apa gak masalah kita tinggal dirumah tante Ara? Apa gak merepotkan mereka?"

Mama Vani masuk dan duduk menumpu lutut didepan Vani. Sambil mengusap rambut hitam anak nya,
"Awalnya mama juga menolak saat tante Ara menawarkan untuk tinggal dengannya. Tapi karena mama
belum sanggup untuk menyewa atau membeli rumah untuk kita, sementara kita tinggal disana sampai
kamu lulus SMA. Mama gak mau terlibat dengan harta milik Papa kamu lagi. Jadi mama akan berusaha
dan mama akan bekerja untuk kita berdua."

Vani sedih melihat mama nya yang pura-pura kuat didepannya. Vani sedih melihat mama nya tak pernah
sedikitpun menampakkan air mata nya didepan diri nya. Kenapa ia dan mama nya harus mengalami
semua ini. Ia benci dengan diri nya sendiri. Ia benci selalu menyusahkan mama nya. Tapi ia berjanji, ia
akan segera membahagiakan mama nya dan membayar semua kerja keras mama nya selama ini. Ia
langsung memeluk mama nya dengan erat.