Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interferometer adalah alat yang digunakan untuk menunjukkan adanya


interferensi cahaya, dimana interferensi adalah penggabungan atau perpaduan
antara dua gelombang atau lebih yang bertemu pada suatu titik ruang untuk
menghasilkan gelombang yang baru.

Adapun prinsip kerja dari percobaan ini adalah dimana seberkas cahaya
monokromatik menumbuk suatu kolimator/pemecah berkas cahaya (beam splitter)
yang berfungsi meneruskan sebagian cahaya ke cermin pertama dan memantulkan
sebagian cahaya ke cermin kedua, kemudian berkas cahaya tersebut memantul
kembali pada beam splitter lalu diteruskan ke layar pengamatan (viewing screen),
maka terlihatlah pola interferensi dan akan teramati frinji.

1.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan interforometer Michelson adalah :


1. Untuk memahami interferensi pada interferometer Michelson.
2. Untuk memahami prinsip kerja interferometer Michelson.
3. Untuk mengukur panjang gelombang cahaya dengan menggunakan
interferometer Michelson.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian interferensi

2. Bagaimana prinsip kerja interferometer Michelson

3. Bagaimanakah pengaruh jumlah frinji terhadap panjang gelombang


yang di hasilkan

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Interferensi gelombang adalah perpaduan antara dua gelombang atau lebih


pada suatu daerah tertentu pada saat yang bersamaan. Interferensi dua gelombang
yang mempunyai frekuensi, amplitude, dan arah getaran sama yang merambat
menurut garis lurus dengan kecepatan yang sama tetapi berlawanan arahnya,
menghasilkan gelombang stasioner atau gelombang diam. Interferensi desdruktif
(saling meniadakan) terjadi bila gelombang-gelombang yang mengambil bagian
dalam interferensi memiliki fase berlawanan. Sedangkan interferensi konstruktif
(saling menguatkan) terjadi jika gelombang-gelombang yang mengambil bagian
dalam interferensi memiliki fase yang sama. Interferensi konstruktif biasa di sebut
juga dengan superposisi gelombang. (Bahrudin,2006:140).

Pada interferensi, apabila dua gelomabang yang berfrekuensi dan


berpanjang gelombang sama tetapi berbeda fase bergabung, maka gelombang
yang dihasilkan adalah gelombang yang amplitudonya tergantung pada perbedaan
fase. Perbedaan fase antara dua gelombang sering disebabkan oleh adanya
perbedaan panjang lintasan. Perbedaan lintasan satu panjang gelombang
menghasilkan perbedaan fase 360°, yang ekivalen dengan tidak ada perbedaan
fase 180°. (Tipler, 1991)

Salah satu alat yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi pola


interferensi tersebut adalah interferometer. Alat ini dapat di pergunakan untuk
mengukur panjang gelombang atau perubahan panjang gelombang dengan
ketelitian yang sangat tinggi berdasarkan penentuan garis-garis interferensi.
Walaupun pada awal mula dibuatnya alat ini dipergunakan untuk membuktikan
ada tidaknya eter. (Halliday,1986)

Dalam interferometer ini, kedua gelombang yang berinterferensi


diperbolehkan jalan dengan membagi intensitas semula. Contohnya adalah
interferometer Michelson yang menghasilkan kesimpulan negative tentang adanya
eter, interferometer ini juga dapat berguna dalam pengukuran indeks bias dan
jarak. Prinsip kerja interferometer Michelson adalah memanfaatkan sifat

2
interferensi cahaya yang berasal dari dua gelombang cahaya sefase. Dengan
adanya beam splitter pada alat interferometer Michelson, maka berkas akan
terpisah menjadi dua. Kedua berkas tersebut akan berjalan pada lintasan satu dan
dua. Setelah terpantul dari masing-masing cermin bergerak dan juga cermin tetap
maka kedua sinar itu akan bergabung dan menghasilkan pola interferensi yang
diamati pada layar. Hasilnya berupa deretan cincin-cincin lingkaran terang dan
gelap. Apabila kedua sinar berinteferensi saling menghancurkan, maka akan
terjadi lingkaran gelap di pusat pola. Dan jika saling menguatkan, maka akan
memberikan lingkaran terang di pertengahan. (Soedojo,1992)

Pengukuran jarak yang tepat dapat diperoleh dengan menggerakkan


micrometer pada interferometer Michelson dan menghitung frinji interferensi
yang bergerak atau berpindah, dengan acuan suatu titik pusat. Sehingga diperoleh
jarak pergeseran yang berhubungan dengan perubahan frinji sebesar :

2d
𝜆=
N

Dimana : λ = panjang gelombang cahaya

N = Jumlah frinji (pola lingkaran gelap-terang)

d = jarak pergeseran

3
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini dapat di lihat
pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Peralatan dan Bahan yang digunakan

No. Nama alat dan bahan Jumlah


1 Michelson interferometer 1 buah
2 Laser, He-Ne 1.0 mW, 230 VAC 1 buah
3 Swinging arm 1 buah
4 Lens, mounted, f = +20 mm 1 buah
5 Lens mounted, f = +5 mm 1 buah
6 Lens holder 1 buah
7 Slide mount for optical profil bench, h = 30 mm 3 buah
8 Optical profile bench, l = 600 mm 1 buah
9 Base for optical profile bench, adjustable 2 buah
10 Screen, metal, 300 mm x 300 mm 1 buah
11 Barrel base -PASS- 1 buah

3.2 Prosedur Percobaan

Gambar 3.2.1 Skema percobaan Interferometer Michelson

4
Berikut ini adalah langkah-langkah percobaan :

1. Susunlah peralatan percobaan seperti terlihat pada Gambar 3.2.1.

2. Menghidupkan laser.

3. Mengatur laser agar tetap melewati lensa hingga terfokus ke beam


splitter.

4. Menutup C2, dan mengatur posisi C1 sehingga berkas sinar pantul dapat
di lihat di layar.

5. Mengatur posisi C2 sehingga cahaya dari C2 berhimpit dengan cahaya


dari C1 di layar.

6. Menghitung jumlah frinji sebagai titik acuan perhitungan jumlah frinji


awal.

7. Memutar sekrup C2 berlawan dengan arah jarum jam sehingga pola


interferensi dapat dilihat.

8. Menghitung jumlah frinji sebanyak 20, 30, dan 40.

9. Mencatat perubahan lintasan optis.

10.Mengulangi semua langkah di atas sebanyak 2x pengulangan.

5
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Percobaan

Dari percobaan yang telah dilakukan di peroleh data sebagai berikut:

Tabel 4.1.1 Data Hasil Pengamatan Panjang Gelombang pada pengulangan 1

No. Su (mm) Sn (mm) d (mm) N λ (nm)


1 0 7 0,007 20 700
2 0 10 0,01 30 666,667
3 0 15 0,015 40 750

Tabel 4.1.2 Data Hasil Pengamatan Panjang Gelombang pada pengulangan 2

No. Su (mm) Sn (mm) d (mm) N λ (nm)


1 0 6 0,006 20 600
2 0 9 0,009 30 600
3 0 14 0,014 40 700

Tabel 4.1.3 Data Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Rata-Rata

No. N λ1 (nm) λ2 (nm) λ' (nm)


1 20 700 600 650
2 30 666,667 600 633,335

3 40 750 700 725

6
4.2 Analisa Data

Adapun untuk mencari nilai panjang gelombang digunakan persamaan sebagai


Su+Sn (0,01) 2d
berikut : d= dan 𝜆=
10 N

 Untuk N = 20 pada pengulangan 1 :

Diketahui : Su = 0 mm

Sn = 7 mm

N = 20

Ditanya : 𝜆 = ⋯ ?

Penyelesaian :

Untuk menghitung jarak (d) :

Su + Sn (0,01)
d=
10

0 + 7(0,01)
d=
10

0,07
d=
10

d = 0,007 mm

Untuk menghitung λ, maka digunakan persamaan :

2d
𝜆= N

2 (0,007)
𝜆= 20

𝜆 = 0,0007 mm

𝜆 = 0,0007 × 106 nm

𝜆 = 700 nm

7
Jadi, nilai panjang gelombang untuk N = 20 pada pengulangan 1 adalah λ = 700
nm. Persamaan tersebut juga berlalu untuk pehitungan panjang gelombang untuk
N = 20, N = 30 dan N = 40 pada pengulangan 1 dan 2.

4.3 Pembahasan

Interferensi adalah perpaduan dua gelombang atau lebih. Interferensi


terjadi apabila dua atau lebih gelombang cahaya bertemu dalam ruang dan waktu.
Untuk memperoleh pola-pola interferensi cahaya haruslah bersifat koheren, yaitu
gelombang-gelombang harus berasal dari satu sumber cahaya yang sama.
Koherensi dalam optika sering di capai dengan membagi cahaya dari sumber
tunggal menjadi dua berkas atau lebih, yang kemudian dapat digabungkan untuk
menghasilkan pola interferensi. Salah satu alat yang digunakan untuk
mengidentifikasi pola interferensi tersebut adalah Interferometer. Salah satu jenis
interferometer yaitu Interferometer Michelson’s.

Prinsip dari percobaan Interferometer Michelson yang telah dilakukan,


yaitu seberkas cahaya monokromatik yang berasal dari laser jatuh pada pemisah
berkas (beam splitter) sehingga masing-masing berkas di buat melewati dua
panjang lintasan, dan kemudian disatukan kembali melalui pantulan dari masing-
masing cermin bergerak dan cermin tetap yang letaknya saling tegak lurus dengan
titik pembagi berkas tersebut. Setelah berkas cahaya monokromatik tersebut
disatukan maka akan di dapat pola interferensi yang di amati pada layar. Hasilnya
berupa deretan cincin lingkaran terang (maksimum) dan lingkaran gelap
(minimum).

Pola interferensi tersebut terjadi karena adanya perbedaan panjang lintasan


yang ditempuh dua berkas gelombang cahaya yang telah disatukan tersebut. Jika
panjang lintasan dirubah dengan diperpanjang maka yang akan terjadi adalah
pola-pola cincin akan masuk ke pusat pola. Jarak lintasan yang lebih panjang akan
mempengaruhi fase gelombang yang jatuh ke layar. Bila pergeseran beda panjang
lintasan gelombang cahaya mencapai λ maka akan terjadi interferensi konstruktif
yaitu terlihat pola terang, namun bila pergeserannya hanya sejauh λ/4 yang sama
artinya dengan berkas menempuh lintasan λ/2 maka akan terlihat pola gelap.

8
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, di peroleh kesimpulan :

1. Prinsip kerja Interferometer Michelson adalah memanfaatkan sifat


interferensi cahaya yang berasal dari dua gelombang cahaya sefase.

2. Dari hasil percobaan di dapat data λ' = 650 nm untuk N = 20, λ' = 633.335
nm untuk N = 30, dan λ' = 725 nm untuk N = 40. Hal ini membuktikan
bahawa nilai panjang gelombang laser He-Ne pada percobaan mendekati
nilai panjang gelombang laser He-Ne secara teori yaitu sebesar 632,8 nm.

3. Penambahan dan banyaknya jumlah frinji (N) berbanding lurus dengan


pergeseran Movable mirror (d) yang dilakukan. Hal ini dapat di lihat dari
semakin besarnya nilai N (banyaknya frinji), maka nilai d(jarak pergeseran
Movable mirror terhadap titik acuan) juga menunjukkan angka yang
semakin besar.

4. Setiap pergeseran selalu melibatkan pola gelap dan terangnya.

5.2 Saran

Kevalidan data sangat di pengaruhi oleh kalibrasi awal yang dilakukan,


yaitu pengentrian posisi adjustable mirror, Movable mirror, split, dan sumber
cahaya yang masuk harus ada pada posisi yang sesuai. Disarankan agar lebih teliti
dalam mengkalibrasi dan menghitung pola glap terangnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Drs. MM. 2006. Kamus Fisika Plus. Epsilon Group: Bandung.
Halliday, Resnick. 1986. Fisika Jilid 2 Edisi ketiga. Erlangga: Jakarta.
Soedojo, P. 1992. Asas-Asas Ilmu Fisika Jilid 3 Fisika Optika. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tipler, P. A. 1991. Fisika Untuk Sains dan Tehnik Jilid 2. Erlangga: Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai