Anda di halaman 1dari 22

BUDAYA MUTU SEKOLAH

I. KONSEP BUDAYA ORGANISASI

Menurut Robbin (1991:572), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi itu; suatu sistem dari makna bersama. Budaya
organisasi memiliki kepribadian yang menunjukkan ciri suasana psikologis organisasi, yang
memiliki arti penting bagi kehidupan organisasi, kenyamanan, kelancaran, dan keefektifan
organisasi. Suasana psikologis terbangun pola-pola kepercayaan, ritual, mitos, serta praktek-
praktek yang telah berkembang sejak lama, yang pada gilirannya menciptakan pemahaman
yang sama diantara para anggota organisasi mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu
dan bagaimana para anggota harus berperilaku. Dalam hal ini sebagaimana yang dinyatakan
Peterson (1994), bahwa budaya organisasi itu mencakup keyakinan, ideologi, bahasa, ritual,
dan mitos dan pada akhirnya Creemers dan Reynold (1993) menyimpulkan bahwa budaya
organisasi adalah keseluruhan norma, nilai, keyakinan, dan asumsi yang dimiliki oleh
anggota di dalam organisasi.
Oleh karena itu, budaya organisasi itu berwujud dalam filosofi, ideologi, nilai-nilai,
asumsi-asumsi, keyakinan, serta sikap dan norma bersama anggota organisasi tersebut dalam
memandang berbagai realitas, terutama berkaitan dengan permasalahan internal maupun
eksternal organisasi.
Senada dengan itu, Owens (1995) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
“… the body of solution to external and internal problems that has worked
consistenly for a group and that is therefore taught to new members as the correct
way to perceive, think about and feel in relation to those problem …”.
Budaya organisasi didefinisikan sebagai pola pemecahan masalah eksternal dan internal
yang diterapkan secara konsisten bagi suatu kelompok, dan oleh karenanya diajarkan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan
memecahkan masalah yang dihadapi tersebut.
Dengan demikian budaya atau kultur organisasi dapat didefinisikan sebagai kualitas
kehidupan (the quality of life) dalam sebuah organisasi, termanifestasikan dalam aturan-
aturan atau norma, tatakerja, kebiasaan kerja (work habits), gaya kepemimpinan (operating
styles of principals) seorang atasan maupun bawahan (Hodge & Anthony, 1988). Kualitas
kehidupan organisasi, baik yang terwujud dalam kebiasaan kerja maupun kepemimpinan dan
hubungan tersebut tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan keyakinan tertentu yang
dianut organisasi. Karena itu, budaya organisasi banyak didefinisikan juga sebagai spirit dan
keyakinan sebuah organisasi yang mendasari lahirnya aturan-aturan, norma-narma dan nilai-
nilai yang mengatur bagaimana seseorang harus bekerja, struktur yang mengatur bagaimana
seorang anggota organisasi berhubungan secara formal maupun informal dengan orang lain,
sistem dan prosedur kerja yang mengatur bagaimana kebiasaan kerja seharusnya dimiliki
seorang pemimpin maupun anggota organisasi (Torrington & Weightman, dalam Preedy,
1993).
Berdasarkan pengertian budaya atau kultur organisasi di atas, sebenarnya konsep budaya
atau kultur dapat dipahami dari dua sisi, yaitu (1) memahami ditinjau dari sudut sumbernya,
(2) dan memahami dari sisi manifestasi atau tampilannya. Budaya atau kultur bersumber dari
spirit dan nilai-nilai kualitas kehidupan. Beberapa spirit dan nilai-nilai yang patut dianut
sebuah organisasi, sebagaimana disarankan oleh Torrington & Weightman, dalam Preedy
(1993) diantaranya adalah spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai tanggung jawab,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1


spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai keterbukaan, spirit dan nilai-nilai
kejujuran, spirit dan nilai-nilai semangat hidup, spirit dan nilai-nilai sosial dan menghargai
orang lain, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan budaya atau kultur dipahami dari sisi
manifestasi atau tampilannya yaitu dengan cara merasakan atau mengamati manifestasi atau
tampilan yang tercermin dalam aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang mengatur
bagaimana pemimpin dan anggota organisasi seharusnya bekerja, struktur organisasi yang
mengatur bagaimana seorang anggota organisasi seharusnya berhubungan secara formal
maupun informal dengan orang lain, sistem dan prosedur kerja seharusnya diikuti, dan
kebiasaan kerja dimiliki seorang pemimpin maupun anggota organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, budaya atau kultur organisasi mengikat anggota
menjadi suatu kesatuan yang utuh dan senantiasa diajarkan/disampaikan kepada setiap
anggota baru organisasi atau dengan kata lain bahwa budaya organisasi merupakan
perpaduan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini
oleh anggota organisasi atau kelompok serta dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku dan
pemecahan masalah yang dihadapi (Hodge & Anthony, 1988) dan merupakan proses
sosialisasi anggota organisasi untuk mengembangkan persepsi, nilai, dan keyakinan terhadap
organisasi (Sonhadji, 1991) berdasarkan spirit dan keyakinan tertentu yang dianut organisasi.
Ada seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi. Riset yang paling
baru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang menangkap hakikat dari budaya
suatu organisasi. Tujuh karakteristik budaya organisasi tersebut, yaitu: (1) inovasi dan
pengambilan risiko, sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil
risiko, (2) perhatian ke rincian, sejauh mana para karyawan diharapkan mem-perlihatkan
presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian, (3) orientasi hasil, sejauh mana
manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang
digunakan untuk mencapai hasil itu, (4) orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu, (5) orientasi tim,
sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu, (6)
keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai,
dan (7) kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status
quo daripada pertumbuhan (Robbin, 2003).
Sehubungan dengan itu, Harris (1998) mengemukakan ciri-ciri budaya dalam organisasi
yang disebut sebagai dimensi dari organisasi. Ciri-ciri tersebut, yaitu:
“…..(1) tujuan dan misi, (2) sikap, keyakinan, prinsip-prinsip, dan philosophi, (3)
perioritas, nilai, etika, status, dan system hadiah, (4) norma dan peraturan, (5) desain
struktur organisasi, dan teknologi, (6) kebijakan, prosedur, dan proses-proses, (7) system
komunikasi, bahasa, dan terminologi, (8) pengawasan, pelaporan, dan praktik personal,
(9) membuat keputusan, memecahkan masalah, dan resolusi konflik, (10) kompensasi,
pengakuan, dan promosi, (11) ruang dan lingkungan kerja, dan (12) kepemimpinan”.
DeRoche (1987) mengemukakan empat ciri budaya organisasi yang efektif sebagai
berikut: (1) struktur dan perintah, (2) dukungan bagi interaksi social, (3) dukungan bagi
kegiatan-kegiatan intelektual atau belajar, dan (4) komitmen yang kuat terhadap visi dan misi
organisasi. Sedangkan hasil penelitian Soetopo (2001) ada dua belas karakteristik budaya
organisasi, yaitu: nilai-nilai keteladanan, tanggung jawab, kebersamaan, otonomi individu,
tata aturan/norma, dukungan, identitas, hadiah, performansi, toleransi konflik, toleransi
resiko, dan upacara simbolik.
Budaya organisasi muncul dalam dua dimensi, yaitu dimensi yang tidak tampak
(intangiable) dan dimensi yang tampak (tangiable). Dimensi yang tidak tampak yaitu
meliputi: spirit/nilai-nilai, keyakinan, dan idiologi yang dimanifestasikan dalam dimensi yang
tampak, meliputi: kalimat, baik tertulis maupun lisan yang digunakan, perilaku yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2


ditampilkan, bangunan, fasilitas, serta benda yang digunakan di sekolah (Calldwell dan
Spinks, 1993).
Sedangkan Sergiovanni (1987:128) mengutip pendapat Lundberg menyebutkan bahwa
budaya organisasi muncul dalam empat tingkatan, yaitu (1) artifacts, (2) perspectives, (3)
values, dan (4) assumption. Pada tingkatan artifacts, budaya organisasi terwujud dalam
cerita/kisah, mitos, ritual, seremoni, serta produk-produk yang merupakan yang merupakan
simbolisasi nilai-nilai. Wujud budaya organisasi pada tingkatan perspectives adalah
peraturan-peraturan dan norma yang dijadikan acuan dalam menyelesaikan problema yang
dihadapi oleh organisasi dan menjadi pedoman bersikap dan berperilaku anggota.
Wujud budaya organisasi pada tingkatan values adalah nilai yang dijadikan acuan dalam
segala keputusan dan tindakan anggota organisasi serta yang mencerminkan tujuan, identitas,
dan standar penilaian terhadap segala sesuatu. Sedang wujud budaya organisasi pada
tingkatan assumption merupakan pandangan anggota organisasi mengenai dirinya dan orang
lain yang mengarahkan pada hubungan antara dirinya dengan orang lain tempat ia berada.
Budaya organisasi menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi. Fungsi-
fungsi budaya organisasi, yaitu: (1) berperan menetapkan tapal batas; artinya budaya
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain, (2) membawa suatu
rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, (3) mempermudah timbulnya komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang, dan (4) meningkatkan
kemantapan sistem sosial organisasi (Robbin, 2003). Senada pendapat tersebut di atas,
Greemers & Reynold (1993) mengemukakan bahwa fungsi budaya organisasi adalah (1)
memberikan rasa identitas kepada anggota organisasi, (2) memunculkan komitmen terhadap
visi dan misi organisasi, (3) membimbing dan membentuk standart perilaku anggota
organisasi, dan (4) meningkatkan stabilitas sistem sosial.
Khususnya fungsi keempat, baik yang dikemukakan oleh Robbin maupun Greemers &
Reynold tersebut di atas, budaya organisasi merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang
harus dikatakan dan dilakukan oleh anggota-anggota organisasi. Budaya organisasi berfungsi
sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta
perilaku anggota-anggota organisasi.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap anggota organisasi
merupakan bagian dari organisasi, yang secara psikologis dan emosional terhadap
organisasinya akan menyatu dan melebur dengan komponen lainnya. Semakin kuat ikatan
psikologis dan emosional antara anggota organisasi, maka semakin kuat komitmen, rasa
identitas, memegang standar perilaku dan mantapnya stabilitas sistem sosial organisasi.

II. PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU SEKOLAH

A. Pengertian
Sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan atau keberhasilan pendidikan oleh Owens,
(1995: 81) lebih dipengaruhi dari kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup
nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), budaya, dan norma perilaku yang disebut sebagai the
human side of organization (sisi/aspek manusia dan organisasi). Hal tersebut sesuai apa yang
telah dilakukan oleh Frymier dan kawan-kawan (1984) dalam melakukan penelitian One
Hundred Good Schools, yang dalam penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa iklim atau
atmosphere sekolah, seperti hubungan interpersonal, lingkungan belajar yang kondusif,
lingkungan yang menyenangkan, moral dan spirit sekolah berkorelasi secara positif dan
signifikan dengan kepribadian dan prestasi akademik lulusan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3


Dengan demikian, budaya sekolah dapat dikatakan bermutu bilamana memungkinkan
bertumbuhkembangnya sekolah dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan. Budaya
mutu sekolah adalah keseluruhan latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim
sekolah secara produktif mampu memeberikan pengalaman dan bertumbuhkembangnya
sekolah untuk mencapai keberhasilan pendidikan berdasarkan spirit dan nilai-nilai yang
dianut oleh sekolah. Dalam hal ini, Depdiknas (2000) telah merumuskan beberapa elemen
budaya mutu sekolah sebagai berikut: (1) informasi kualitas untuk perbaikan, bukan untuk
mengontrol, (2) kewenangan harus sebatas tanggungjawab, (3) hasil diikuti rewards atau
punishment, (4) kolaborasi, sinergi, bukan persaingan sebagai dasar kerjasama, (5) warga
sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, (6) atmorfir keadilan, (7) imbal jasa sepadan
dengan nilai pekerjaan, dan (8) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Sedangkan Peter dan Waterman (Hanson, 1996) menemukan nilai-nilai budaya yang
secara konsisten dilaksanakan di sekolah yang baik, yaitu mutu dan pelayanan merupakan hal
yang harus diutamakan, selalu berupaya menjadi yang terbaik, mem-berikan perhatian penuh
pada hal-hal yang nampak kecil, tidak membuat jarak dengan klien, melakukan sesuatu
sebaik mungkin, bekerja melalui orang (bukan sekedar bekerjasama atau memerintahnya),
memacu inovasi, dan toleransi terhadap usaha yang berhasil.

B. Pengembangan Budaya Mutu Sekolah


Pengembangan budaya mutu sekolah merupakan tugas dan tanggung jawab kepala
sekolah, selaku pemimpin pendidikan. Namun demikian, pengembangan budaya mutu
sekolah mempersyaratkan adanya partisipasi seluruh personil sekolah dan stakeholder,
termasuk orang tua siswa, dan oleh karena itu, secara manajerial pengembangan budaya mutu
sekolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah, sedangkan secara operasional sehari-hari
menjadi tugas seluruh personil sekolah dan stakeholder terkait.
Proses pengembangan budaya mutu sekolah dapat dilakukan melalui tiga tataran, yaitu
(1) pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai; (2) pengembangan pada tataran teknis;
dan (3) pengembangan pada tataran sosial. Pada tataran pertama, proses pengembangan
budaya mutu sekolah dapat dimulai dengan pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai,
yaitu dengan cara mengidentifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai kualitas kehidupan sekolah
yang dianut sekolah, misalnya spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai tanggung
jawab, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai keterbukaan, spirit dan nilai-
nilai kejujuran, spirit dan nilai-nilai semangat hidup, Spirit dan nilai-nilai sosial dan
menghargai orang lain, serta persatuan dan kesatuan (Torrington & Weightman, dalam
Preedy, 1993). Oleh karena itu, tidak ada pengembangan budaya mutu sekolah secara
sistematik tanpa identifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai yang dapat dijadikan landasan.
Dalam rangka pengembangan budaya mutu sekolah ada tiga langkah yang harus
ditempuh oleh kepala sekolah, yaitu:
1. Identifikasi spirit dan nilai-nilai sebagai sumber budaya mutu sekolah, yang dilakukan
bersama dengan seluruh stakholder, dan ditetapkan sebagai sebuah kebijakan resmi
sekolah dalam bentuk surat keputusan kepala sekolah.
2. Sosialisasi secara kontinyu spirit dan nilai-nilai kepada seluruh stakholder, baik melalui
pertemuan-pertemuan, majalah sekolah, buku penghubung sekolah, majalah dinding
sekolah, diperagakan pada dinding kelas, maupun dalam bentuk surat edaran.
3. Kepala sekolah selalu menumbuhkan komitmen seluruh stakeholder agar memegang
teguh spirit dan nilai-nilai yang telah ditetapkan bersama.
Pada tataran kedua, adalah pengembangan tataran teknis. Pengembangan pada tataran
teknis tersebut dilakukan setelah kepala sekolah bersama stakeholder telah ber-hasil
mengidentifikasi spirit dan nilai-nilai, yaitu dengan cara mengembangan berbagai prosedur
kerja manajemen (management work procedures), sarana manajemen (management toolkit),

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4


dan kebiasaan kerja (management work habits) berbasis sekolah yang betul-betul
merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang akan dibudayakan di sekolah.
Dalam rangka pengembangan tataran teknis budaya mutu sekolah dapat ditempuh oleh
kepala sekolah melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Kepala sekolah bersama seluruh stakeholder terkait mengevaluasi sejauh mana
keseluruhan komponen sistem sekolah, seperti struktur organisasi sekolah, deskripsi
tugas sekolah, sistem dan posedur kerja sekolah, kebijakan dan aturan-aturan sekolah,
tatatertib sekolah, hubungan formal maupun informal, telah merefleksikan spirit dan
nilai-nilai dasar yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah.
2. Selanjutnya, kepala sekolah dengan stakeholder terkait mengembangkan berbagai ke-
bijakan teknis pada setiap komponen sistem yang betul-betul merefleksikan spirit dan
nilai-nilai dasar yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah. Bagi
komponen sistem sekolah yang telah merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang sangat
fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah sebaiknya tetap dipertahankan dan
diimplementasikan, dan bilamana tidak hendaknya terlebih dahulu dilakukan berbagai
perubahan dan pembaharuan seperlunya, dan setelah itu kepala sekolah selaku manajer
sekolah berkewenangan untuk segera membuat berbagai kebijakan teknis.
Sedangkan pada tataran ketiga adalah pengembangan tataran sosial. Pengembangan
tataran sosial dalam konteks pengembangan kultur sekolah adalah proses implementasi dan
institusionalisasi sehingga menjadi sebagai suatu kebiasaan (work habits) di sekolah dan di
luar sekolah.

III. KARAKTERISTIK SEKOLAH UNGGUL

Telah banyak dilakukan penelitian oleh pakar manajemen pendidikan mengenai sekolah
yang baik. Dalam penelitian sekolah yang baik sering disebut sekolah yang efektif atau
sekolah yang excellent (Sergiovanni, 1987), atau sekolah yang unggul (Newman, 1988).
Sebenarnya ada dua model pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah baik
atau sekolah efektif (Hoy & Ferguson, 1985), yaitu model pendekatan pencapaian tujuan dan
model pendekatan proses. Pada model pendekatan pencapaian tujuan, model ini berdasarkan
pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Sergiovanni, 1987). Di sekolah biasanya dilihat tingkat pencapaiannya yang
ditandai dengan prestasi lulusan sekolah. Dengan demikian model pendekatan tujuan ini,
prestasi siswa merupakan peranan penting yang digunakan dalam menetapkan baik atau
tidaknya sekolah.
Sedangkan model pendekatan proses, model ini memandang organisasi sebagai sebuah
system yang terbuka yang terdiri dari masukan transformasi, dan keluaran (Hoy & Miskel,
1982). Model sistem keefektivan organisasi ini dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuan
melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan
dalam mekanisme kerjanya (Hoy & Ferguson, 1985). Ada dua asumsi yang melandasinya,
yaitu (1) organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan
merefleksikan lingkungan sekitarnya, (2) organisasi merupakan sistem yang dinamis dan
begitu besar, maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan
hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna.
Sehubungan dengan itu, untuk memberikan gambaran tentang sekolah yang efektif atau
sekolah unggul, perlu disajikan beberapa kajian atau hasil penelitian dari pakar manajemen
pendidikan tentang sekolah efektif atau sekolah unggul. Sekolah efektif atau sekolah unggul
memiliki kriteria, ciri-ciri atau karakteristik tertentu. Ukuran dasar yang dapat dijadikan
pedoman untuk melihat apakah sekolah efektif itu atau tidak, sekolah itu unggul atau tidak,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5


Danim (2006) memberikan kriteria tentang sekolah tersebut sebagai berikut: (1) mempunyai
standar kerja yang tinggi dan jelas bagi siswa, (2) mendorong aktifitas, pemahaman
multibudaya, kesetaran gender, dan mengembangkan secara tepat pembelajaran menurut
standar potensi yang dimiliki oleh para pelajar, (3) mengharapkan para siswa untuk
mengambil peran tanggung jawab dalam belajar dan perilaku dirinya, (4) mempunyai
instrumen evaluasi dan penilaian prestasi belajar, (5) menggunakan metode pembelajaran
yang berakar pada penelitian pendidikan dan suara praktik profesional, (6)
mengorganisasikan sekolah dan kelas untuk mengkreasi lingkungan yang bersifat memberi
dukungan bagi kegiatan pembelajaan, (7) pembuatan keputusan secara demokratis dan
akuntabilitas, (8) menciptakan rasa aman, sifat saling menghargai, dan mengakomodasikan
lingkungan secara efektif, (9) mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf, (10) secara
aktif melibatkan keluarga di dalam membantu siswa untuk mencapai sukses, dan (11) bekerja
sama atau berpartner dengan masyarakat dan pihak-pihak lain.
Hampir serupa apa yang dikemukakan oleh Danim tentang kriteria sekolah efektif di
atas, Sammons (Macbeath & Mortimore, 2005) menganalisis tentang sekolah yang efektif itu
ditentukan 11 faktor penting, yaitu: kepemimpinan profesional, visi dan tujuan bersama,
suatu lingkungan pembelajaran, konsentrasi pada belajar dan mengajar, harapan tinggi,
dorongan positif, meminitor kemajuan, hak dan kewajiban murid, pengajaran yang
mempunyai tujuan, suatu organisasi pembelajaran, dan kemitraan sekolah rumah.
Sedang Suyanto dalam Elfahmi (2006) menegaskan bahwa sekolah unggul memiliki ciri-
ciri tertentu, yaitu: (1) memiliki budaya akademik yang kuat, (2) memiliki kurikulum yang
selalu relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) memiliki
komunitas sekolah yang selalu menciptakan cara-cara atau teknik belajar untuk belajar yang
inovatif, (4) berorientasi pada pengembangan hard knowlegde dan soft knowlegde secara
seimbang, (5) proses belajar untuk mengembangkan potensi siswa secara holistik, dan (6)
mengembangkan proses pengembangan kemampuan dan kompetensi ber-komunikasi siswa
secara global.
Lezotte (1983) menemukan dalam penelitiannya bahwa sekolah-sekolah yang unggul itu
memiliki karakteristik-karakteristik, yaitu: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2)
iklim serta harapan yang tinggi; (3) kepeminpinan instruksional yang logis; (4) misi yang
jelas dan terfokuskan; (5) kesempatan untuk belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa; dan
(6) pemantauan yang sering dilakukan terhadap kemajuan siswa, dan hubungan rumah-
sekolah yang bersifat mendukung. Dalam penelitian ini, tidak disebut-sebut perihal
keefektivan guru secara khusus, demikianpun perihal ganjaran insentif, yang pada penelitian
lain cukup memberikan sumbangan terhadap prestasi siswa di sekolah.
Sedang Austin (Moedjiarto, 2002) dalam penelitian menemukan bahwa sekolah-sekolah
yang sukses menunjukkan saling ketergantungan sehubungan praktek-praktek tertentu dalam
organisasi sekolah. Dalam kaitan ini, karakteristik-karakteristik yang ditemukan dalam
sekolah-sekolah unggul, adalah (1) kepemimpinan instruksional yang kuat; (2)
pengembangan program, perencanaan pengajaran; (3) harapan-harapan performansi yang
tinggi; (4) kepercayaan bahwa semua siswa dapat mempelajari keterampilan-keterampilan
dasar; (5) iklim yang positif; (6) pengawasan terhadap fungsi-fungsi sekolah, kurikulum dan
program pengembangan staf; (7) dukungan staf yang kuat; (8) pemberian semangat; serta (9)
tanggung jawab dan partisipasi siswa.
Dengan demikian sekolah dapat disebut sebagai sekolah unggul bila memiliki
karakteristik keefektivan yang tinggi, yaitu: iklim sekolah yang positif, proses perencanaan
sekolah yang melibatkan seluruh warga sekolah, harapan yang tinggi terhadap prestasi
akademik, pemantauan yang efektif terhadap kemajuan siswa, keefektivan guru,
kepemimpinan instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, pelibatan orang tua
yang aktif dalam kegiatan sekolah, kesempatan, tanggung jawab, dan partisipasi siswa yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6


tinggi di sekolah, ganjaran dan insentif di sekolah, yang didasarkan pada keberhasilan, tata
tertib dan disiplin yang baik di sekolah, dan pelaksanaan kurikulum yang jelas.
Pendidikan mencakup semua aktifitas, mulai konsep, visi, misi, institusi, kurikulum,
metodologi, proses belajar mengajar, SDM kependidikan, lingkungan pen-didikan dan lain
sebagiainya, yang disemangati dan bersumber pada ajaran dan nilai-nilai yang dibangun
dalam proses semua aktiftas tersebut. Kelembagaan pendidikan yang efektif tersebut adalah
lembaga pendidikan atau sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the
good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the exellent
school). Menurut Hasan (2005) ada empat persyaratan yang dapat dikategorikan sebagai
kelembagaan pendidikan yang baik “sekolah unggul”, yaitu: (1) SDM kependidikan yang
professional, (2) manajemen yang efektif dan professional, (3) lingkungan pendidikan yang
kondusif, dan (4) mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat.
Persyaratan pertama, SDM kependidikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
berdasarkan seleksi yang memenuhi syarat kompetensi personal, kompetensi professional,
kompetensi moral dan kompetensi sosial, yang mampu berperan sebagai pengajar, pendidik,
dan sekaligus pemimpin ditengah-tengah peserta didiknya. Selain itu, tenaga kependidikan
tersebut memiliki pengalaman dan ditunjang oleh adanya keunggulan dalam kemampuan
intelektual, moral, keilmuan, ketaqwaan, disiplin dan tanggung jawab, keluasan wawasan
kepndidikan, kemampuan pengelolaan, terampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional
dalam memahami profesi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu
mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti
dan mengembangkan kurikulum, juga menguasai bidang agama islam dan ketaatan dalam
beribadah maupun amaliyahnya.
Manajemen pendidikan diharapkan dapat berperan menjadi perberdayaan organisasi
(empowering organization). Dalam hal pemberdayaan organisasi, komponen-komponen
yang harus didayagunakan sehingga secara bersinergi mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Diantara komponen-komponen tersebut adalah kurikulum atau pembelajaran, siswa,
pegawai, sarana prasarana, keuangan, dan lingkungan masyarakat (De Roche, 1985). Dalam
pelaksanaan keseluruhan proses manajemen tersebut diupayakan dengan bertumpu pada spirit
manajemen pendidikan keunggulan sebagaimana temuan teoritik pada berbagai hasil
penelitian yaitu berwawasan mutu, kemandirian, partisipasi, dan keterbukaan.
Ada empat langkah proses manajemen pendidikan yang professional, yaitu: perencanaan,
pengorganisasian, pengerahan (kepemimpinan), dan pengendalian. Perencanaan pendidikan
dilakukan dalam bentuk pengembangan arah organisasional-visi, misi, tujuan, dan target-
kelembagaan pendidikan, penyusunan rencana strategis jangka panjang, rencana strategis
jangka menengah, dan rencana strategis jangka pendek yang dilanjutkan dengan penyusunan
rencana operasional. Prinsip dasarnya adalah perencanaan yang baik, futuristic namun tetap
realistic, sesuai dengan prinsip utama (Bafadal, 2002).
Pengorganisasian pendidikan diupayakan dalam formula pengembangan struktur
organisasi yang menganut prinsip ramping struktur namun gemuk fungsi, perumusan
deskripsi tugas yang jelas, dan penempatan tenaga kependidikan sesuai dengan keahliannya.
Kepemimpinan pendidikan diwujudkan dalam bentuk upaya pimpinan lembaga pendidikan
dalam menggerakkan seluruh tenaga kependidikan melalui pendekatan uswatun hasanah dan
mauidhah hasanah (contoh yang baik dan petuah/nasehat yang baik). Sedangkan pengawasan
pendidikan direalisasikan dalam bentuk melakukan refleksi diri atas seluruh implementasi
program dalam suatu kurun waktu tertentu (Dit Dikmenum, 2002).
Dalam membentuk budaya mutu sekolah, lembaga pendidikan merupakan sebuah
organisasi. Kultur lembaga pendidikan merupakan kultur organisasi dalam konteks satuan
pendidikan. Dengan demikian kultur lembaga pendidikan dapat diartikan sebagai kualitas
kehidupan sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7


nilai-nilai tertentu yang dianutnya. Kultur lembaga pendidikan tersebut akan dapat
dikembangkan dengan melalui tenaga kependidikan yang unggul sebagaimana yang telah
disebutkan di atas.
Persyaratan yang ketiga, lembaga pendidikan harus mampu menciptakan lingkungan
pendidikan yang kondusif, yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah dan
penuh kekeluargaan. Lingkungan yang memberikan kebebasan peserta didik untuk
berekspresi, mengembangkan minat dan bakatnya, berinteraksi sosial dengan sehat dan saling
menghormati,, dalam atmosfir yang mencitrakan suasana religius, etis, dan humanis.
Membangun kepercayaan kepada masyarakat merupakan persyaratan yang terakhir.
Dalam hal ini, lembaga pendidikan harus mampu membangun kepercayaan kepada
masyarakat atas program-programnya sehingga memperoleh dukungan dan partisipasi
masyarakat dalam bentuk pemikiran dan pembiayaan. Sekolah diharapkan mampu melakukan
hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan masyarakat di lingkungan
sekolah.

IV. PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU DI SEKOLAH MENUJU SEKOLAH


UNGGUL

A. Pengertian

Pengembangan budaya mutu yang dilakukan oleh sekolah unggul dalam rangka
mencapai keefektifan pendidikan di sekolah tentunya dijiwai oleh spirit dan nilai-nilai hasil
identifikasi. Pengembangan budaya mutu tersebut melalui tim khusus dan melibatkan semua
warga sekolah, kemudian ditetapkan dengan kebijakan sekolah. Kebijakan-kebijakan
pengembangan budaya mutu yang telah diambil dan telah disepakati tersebut yang
disosialisasikan kepada semua warga sekolah baik melalui papan pengumuman, surat, edaran,
atau dilakukan komunikasi secara terbuka untuk dan agar dimengerti, dipahami, disetujui,
diikuti, dan dapat diterima sebagai kebijakan atau aturan sekolah. Disamping itu juga
dilakukan sosialisasi kepada orang tua siswa. Setelah itu diimplementasi atau dilaksanakan
bersama-sama. Selanjutnya dilakukan evaluasi bersama melalui rapat rutin sekolah dan
pertemuan-pertemuan dengan wali siswa, yang didalamnya termasuk menerima masukan-
masukan yang berarti dalam rangka perbaikan sebagai tindak lanjut dalam keefektifan
pendidikan di sekolah.
Pengembangan budaya mutu yang telah dilakukan sekolah unggul dapat dilihat pada
tabel berikut.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8


Tabel 6.1 Tahap Pengembangan Budaya Mutu Sekolah

Tahap-tahap Kegiatan dalam pengembangan budaya


pengembangan mutu sekolah
Merumuskan tujuan  mencapai keefektifan pendidikan di
pengembangan yang sekolah
dijiwai  melalui tim khusus
spirit dan nilai-nilai &  melibatkan semua warga sekolah
Penetapan kebijakan  kebijakan yang bersifat mikro/operasional
 penetapan kebijakan-kebijakan
pengembangan budaya mutu berdasarkan
kesepakatan bersama
Sosialisasi &  kepada semua warga sekolah
implementasi  orang tua siswa
 melalui ditempel pada papan
pengumuman
 surat
 edaran
 dilakukan komunikasi secara terbuka
(untuk dan agar dimengerti, dipahami,
disetujui, diikuti dan dapat diterima
sebagai kebijakan atau aturan sekolah)
 Dilaksanakan bersama-sama dengan baik
Evaluasi & follow up  dilakukan evaluasi bersama
 melalui rapat rutin sekolah
 pertemuan-pertemuan dengan wali siswa,
 perbaikan sebagai tindak lanjut

Pengembangan budaya mutu sekolah unggul tersebut di atas merupakan pengembangan


yang dilakukan secara sistematik dengan dimulai dari perancangan melalui perumusan tujuan
termasuk identifikasi spirit dan nilai-nilai yang dijadikan landasan, penetapan kebijakan,
sosialisasi dan implementasi sampai dengan evaluasi terhadap implementasi serta dilakukan
perbaikan sebagai follow up nya. Hal ini seperti apa yang telah dilakukan oleh Torrington &
Weightman, dalam Preedy, 1993 dalam melakukan proses pengembangan budaya mutu
sekolah yang dilakukan melalui tiga tataran, yaitu (1) pengembangan pada tataran spirit dan
nilai-nilai; (2) pengembangan pada tataran teknis; dan (3) pengembangan pada tataran sosial.
Pada tataran pertama, dengan cara mengidentifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai kualitas
kehidupan sekolah yang dianut sekolah. Pada tataran kedua, dengan cara mengem-bangan
berbagai prosedur kerja manajemen (management work procedures), sarana manajemen
(management toolkit), dan kebiasaan kerja (management work habits) berbasis sekolah yang
betul-betul merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang akan dibudayakan di sekolah. Sedangkan
pada tataran ketiga, pengembangan tataran sosial dalam konteks pengembangan kultur
sekolah adalah proses implementasi dan institusionalisasi sehingga menjadi sebagai suatu
kebiasaan (work habits) di sekolah dan di luar sekolah.
Dengan pengembangan budaya mutu yang dilakukan oleh sekolah unggul melalui tahap-
tahap pengembangan tersebut di atas, maka perlu diuraikan gambaran: (1) bagaimana
identifikasi spirit dan nilai-nilai yang telah dilakukan oleh sekolah unggul, yang dijadikan
sebagai acuan atau dasar pengembangan budaya mutu sekolah unggul, dan (2) bagaimana
cerminan atau wujud budaya mutu nampak pada: (a) visi dan misi sekolah, (b) struktur

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9


organisasi dan deskripsi tugas sekolah, (c) sistem dan prosedur kerja sekolah, (d) kebijakan
dan aturan sekolah, (e) tata tertib sekolah, (f) penampilan fisik (fasilitas) sekolah, (g) suasana
dan hubungan formal dan informal, sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga
kependidikan lainnya, yang juga dapat dijadikan acuan dalam pengembangan budaya mutu
sekolah.

B. Identifikasi Spirit Dan Nilai-Nilai Sebagau Sumberdaya Mutu Sekolah Unggul

Spirit dan nilai-nilai yang dijadikan sebagai sumber budaya mutu pada sekolah unggul
antara lain: (1) spirit dan nilai-nilai perjuangan, (2) spirit dan nilai-nilai ibadah, (3) spirit dan
nilai-nilai amanah, (4) spirit dan nilai-nilai kebersamaan, (5) spirit dan nilai-nilai disiplin, (6)
spirit dan nilai-nilai profesionalisme, dan (7) spirit dan nilai-nilai menjaga eksistensi sekolah.
Spirit dan nilai-nilai tersebut, dijadikan landasan dan sumber oleh sekolah ini yang tercermin
dalam setiap kegiatan, dalam mengambil keputusan, sikap dan perilaku warga sekolah, pola-
pola manajemen yang dilakukan, dan lain sebagainya.
Spirit dan nilai-nilai budaya mutu mewarnai dan nampak dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah.

Gambar 6.2 Spirit dan nilai-nilai budaya mutu

Kalau dilihat dari konsep budaya, spirit dan nilai-nilai budaya mutu sekolah unggul
tersebut di atas dapat dipahami dari sudut sumbernya. Spirit dan nilai-nilai budaya ini
merupakan kualitas kehidupan sebuah sekolah/organisasi, sehingga Creemers dan Reynold
(1993) menyimpulkan bahwa budaya organisasi adalah keseluruhan norma, nilai, keyakinan,
dan asumsi yang dimiliki oleh anggota di dalam organisasi. Spirit dan nilai-nilai budaya mutu
tersebut seiring dengan beberapa spirit dan nilai-nilai yang patut dianut sebuah organisasi,
yang disarankan oleh Torrington & Weightman, dalam Preedy (1993) yang di antaranya
adalah spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai tanggung jawab, spirit dan nilai-nilai
kebersamaan, spirit dan nilai-nilai keterbukaan, spirit dan nilai-nilai kejujuran, spirit dan
nilai-nilai semangat hidup, spirit dan nilai-nilai sosial dan menghargai orang lain, serta
persatuan dan kesatuan.

C. Wujud Budaya Mutu Sekolah Unggul


Sebenarnya budaya organisasi tersebut muncul dalam dua dimensi, yaitu dimensi yang
tidak tampak (intangiable) dan dimensi yang tampak (tangiable), sebagaimana yang
dikemukakan Calldwell dan Spinks (1993) bahwa dimensi yang tidak tampak yaitu meliputi:
spirit/nilai-nilai, keyakinan, dan ideologi dan dimensi yang tampak, meliputi: kalimat, baik
tertulis maupun lisan yang digunakan, perilaku yang ditampilkan, bangunan, fasilitas, serta
benda yang digunakan di sekolah.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10
1. Visi dan misi sekolah
Visi dan misi sekolah unggul tercermin budaya mutu yang nampak pada: (1) kegiatan
dan praktek-praktek, pembiasaan-pembiasaan, kegiatan-kegiatan ilimiah, pembiasaan
bersikap dengan guru, orang tua, dan teman, (2) program kunjungan ke tempat-tempat
bersejarah, musium, candi, ke instansi pemerintah (wali kota, DPRD); dan pementasan
budaya-budaya Indonesia yang dikemas dengan metode project based learning (PBL), dan (3)
penggunaan strategi pembelajaran antar kelas yang berbeda-beda: pembelajaran di luar kelas,
pem-belajaran melalui pengamatan, praktek di laboratorium, pembelajaran dengan diskusi
kelompok pembelajaran, menggunakan metode pembelajaran CTL, PBL, bilingual,
pembelajaran berbasis ITC, dan lain sebagainya.
Visi dan misi sekolah unggul nampak dijadikan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pendidikan sebagaimana pada gambar dibawah ini

Gambar 6.3 Visi dan misi sekolah

Visi dan misi sekolah dijadikan pedoman oleh setiap guru dalam melaksanakan
pembelajaran di kelas maupun kegiatan-kegiatan sekolah lainnya, termasuk orang tua siswa
dalam mengarahkan dan bimbingan di rumah. Karena visi dan misi sekolah ini dianggap
sebagai salah satu budaya mutu sekolah yang merupakan perpaduan nilai-nilai, keyakinan,
asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh warga sekolah atau kelompok
serta dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah yang dihadapi
(Hodge & Anthony, 1988).
Kalau dilihat dari segi keefektifan visi dan misi sekolah yang dapat mengarahkan semua
warga sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah sehingga dapat menumbuhkan
adanya interaksi yang dari semua warga sekolah untuk mencapai cita-cita yang terkandung
dalam visi dan misi sekolah tersebut, hal ini sesuai apa yang dikemukakan DeRoche (1987),
beberapa ciri budaya organisasi yang efektif antara lain: (1) adanya dukungan bagi interaksi
social, (2) dukungan bagi kegiatan-kegiatan intelektual atau belajar, dan (3) komitmen yang
kuat terhadap visi dan misi organisasi.

2. Struktur Organisasi dan Deskripsi Tugas


Penyelenggaraan pendidikan di sekolah unggul dikelompokkan menjadi dua organ, yaitu
(1) organ pengelola yang mempunyai tugas dan wewenang bersifat makro, yang meliputi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11
rekrutmen tenaga, pengembangan makro sekolah, pembangunan gedung/pengadaan barang
skala besar dan (2) sekolah sebagai organ pelaksana pendidikan yang mempunyai tugas dan
wewenang yang bersifat mikro/operasional. Dengan demikian semua kebijakan operasional
harus mengacu pada kebijakan makro yang telah ditetapkan oleh organ pengelola dan
merupakan garis instruktif.
Sekolah sebagai pelaksana operasional, dalam penyelenggaraannya dipimpin oleh
seorang kepala sekolah yang dibantu oleh guru dan tenaga tata usaha. Pembagian tugas
diantara kepala sekolah, guru, dan tenaga tata uhasa selalu dilakukan evaluasi keefektifannya,
sehingga pola-pola manajemen yang dilakukan secara dinamis disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan riil di sekolah. Garis instruktif kepala sekolah secara langsung
kepada unsur akademik, unsur administratif, dan unsur penunjang dan garis koordinatif
dengan BP3/komite sekolah/forum orang tua siswa. Sedang garis koordinatif diantara ketuga
unsur tersebut dalam rangka keefektifan penyelenggaraan sekolah.
Pembagian tugas dan garis instruktif/koordinatif dapat dilukiskan pada gambar di bawah
ini.

Gambar 6.4 Pembagian tugas dan garis instruktif/koordinatif

Penyelenggaraan pendidikan sekolah unggul tersebut di atas dapat berjalan dengan baik,
dikarenakan (1) adanya pembagian yang jelas dan tegas (tidak tumpang tindih), (2) adanya
garis koordinasi dan garis instruksi yang jelas dan fungsional, (3) adanya pola-pola
manajemen yang dilakukan secara dinamis disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
riil di sekolah. Dengan penyelenggaraan yang didasari ketiga tersebut di atas, pelaksanakan
tugas-tugas pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12


3. Sistem dan Prosedur Kerja
Sistem dan prosedur kerja di sekolah unggul adalah: (1) sistem dan prosedur yang
bersifat makro ditetapkan oleh organ pengelola sebagai pedoman umum pelaksanaan
operasional di sekolah, meliputi: sistem dan prosedur rekrutmen tenaga baru, sistem
pembinaan kepangkatan, ketentuan cuti, peraturan disiplin kepegawaian, sistem seleksi
penerimaan siswa baru, penetapan kurikulum dan lain sebagainya yang bersifat makro, (2)
sistem dan prosedur yang bersifat operasional ditetapkan oleh sekolah dalam rangka
mempertegas, memperjelas, dan meng-konkritkan kebijakan makro, meliputi: sistem reward
bagi siswa dan guru, upaya meningkatkan profesional dengan sistem pengumpulan media
yang dibuat sendiri oleh guru, penyiapan rancangan pembelajaran dengan baik, melakukan
pembinaan, pengiriman dan mengikutkan guru/pegawai dalam kegiatan pelatihan/diklat/
lokakarya baik yang diselenggarakan oleh organ pengelola sekolah maupun pihak luar, dan
lain sebagainya.
Budaya mutu nampak pada sistem dan prosedur kerja sekolah unggul sebagai berikut :

Tabel 6.5 Sistem dan prosedur kerja sekolah

Sistem dan prosedur kerja Sistem dan prosedur kerja bersifat


bersifat makro mikro (operasional)
1. sistem dan prosedur 1. sistem reward bagi siswa dan guru
rekrutmen tenaga baru 2. upaya meningkatkan profesional
2. sistem pembinaan dengan sistem pengumpulan
kepangkatan media yang dibuat sendiri oleh
3. ketentuan cuti guru
4. peraturan disiplin 3. penyiapan rancangan
kepegawaian pembelajaran dengan baik
5. sistem sleksi penerimaan 4. melakukan pembinaan
siswa baru 5. pengiriman dan mengikutkan
6. penetapan kurikulum guru/pegawai dalam kegiatan
7. dan lain sebagainya yang pelatihan/diklat/lokakarya baik
bersifat makro yang diselenggarakan oleh
yayasan/diknas atau pihak luar

Budaya mutu tersebut di atas, selaras dengan rumusan Depdiknas (2000) tentang elemen
budaya mutu sekolah khususnya pada elemen yang ketiga dan keempat, yaitu ”hasil diikuti
rewards atau punishment” dan ”kolaborasi, sinergi, bukan persaingan se-bagai dasar
kerjasama”. Disamping itu, berarti sekolah ini telah memiliki budaya akademik yang kuat dan
komunitas sekolah selalu menciptakan cara-cara yang inovatif, yang merupakan diantaranya
ciri-ciri yang dimiliki oleh sekolah unggul (Suyanto dalam Elfahmi, 2006).

4. Kebijakan dan Aturan Sekolah


Kebijakan dan aturan sekolah unggul adalah sebagai strategi dalam mencapai tujuan
sekolah yaitu dalam rangka peningkatan mutu dan keefektifan sekolah. Pembuatan kebijakan
dan aturan sekolah dibuat dengan melibatkan semua unsur sekolah. Pembuatan kebijakan dan
aturan sekolah tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu: (1) pembuatan kebijakan dan
aturan sekolah ditetapkan oleh pimpinan sekolah pada hal-hal yang sudah jelas dan memang
menjadi kewenangan seorang kepala sekolah untuk mengambil suatu keputusan, dan
meskipun terlebih dahulu meminta pendapat dari warga sekolah, (2) kebijakan yang bersifat
krusial digodok melalui tim khusus yang diberi wewenang oleh sekolah kemudian dilakukan
sosialisasi sebelum ditetapkan oleh sekolah, misalnya: masalah kedisiplinan, PBM, pelayanan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13


kepada siswa, dan lain sebagainya dan (3) kebijakan dan aturan sekolah yang bersifat teknis,
misalnya: peringatan hari besar nasional dan Islam, teknis layanan makan siang, kunjungan
wisata dan lain sebagainya dapat muncul dari warga sekolah, sekolah mengkaji, menyetujui
dan menetapkannya.
Disamping hal tersebut di atas, kebijakan mengenai kebiasaan-kebiasaan dalam sehari-
hari di bahas melalui kesepakatan semua warga sekolah. Hal ini dilakukan dibuat dalam
rangka peningkatan mutu atau keefektifan sekolah, sebab dengan pelibatan dan partisipasi
semua unsur sekolah (warga sekolah) akan tumbuh rasa memiliki dan menjadi milik bersama.
Kebijakan dan aturan sekolah unggul dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 6.6 Kebijakan dan aturan sekolah unggul

Sifat/tipe Proses Hasil


Kebijakan untuk kebijakan ditetapkan oleh Hal-hal yang secara
memtegas, kepala sekolah dan pata jelas dan tegas menjadi
memperjelas terlebih dahulu meminta kewenangan kepala
kebijakan makro pendapat dari warga sekolah
yayasan/lembaga sekolah
Kebijakan khusus dibentuk tim khusus dan  masalah kedisplinan
disosialisasikan sebelum  PBM
disahkan oleh kepala  pelayanan kepada
sekolah siswa
 dan lain-lain
kebijakan teknis dapat muncul dari waga  teknis PHBI/N
sekolah, sekolah  teknis layanan makan
mengkaji, menyetujui siang
dan selanjutnya  kunjungan wisata
menetapkannya  dan lain-lain
kebijakan mengenai berdasarkan kesepakatan  kegiatan istighotsah
kultur/kebiasaan-  bersalaman
kebiasaan  menyapa
 mengucapkan salam
 dan lain-lain

Wujud budaya mutu sekolah

Dengan demikian budaya mutu sekolah yang nampak dalam pengambilan suatu
kebijakan sekolah adalah (1) mengarah pada peningkatan mutu dan keefektifan sekolah, (2)
melibatkan semua warga sekolah sehingga menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi karena
terakomodirnya masukan-masukan, dan menjadi harapan semua staf, dan (3) keputusan
melalui kesepakatan dan demokratis. Ketiga wujud budaya mutu sekolah tersebut, kalau
dikaji lebih mendalam merupakan kriteria-kriteria yang digunakan sebagai pedoman untuk
melihat apakah sekolah itu efektif atau tidak, sekolah itu unggul atau tidak sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Danim (2006) tepatnya pada kriteria 7, 8, dan 9, yang masing-masing
kriteria tersebut adalah pembuatan keputusan secara demokratis dan akuntabilitas,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14


menciptakan rasa aman, sifat saling menghormati, dan mengakomodasikan lingkungan secara
efektif serta mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf.

5. Tata Tertib Sekolah


Tata tertib sekolah dapat dibagi menjadi dua, yaitu tata tertib untuk guru, pegawai, dan
warga sekolah dan tata tertib sekolah khusus untuk siswa, yang mengatur akan keteraturan
sekolah. Tata tertib sekolah berisi kewajiban yang harus dilaksanakan, larangan yang harus
dihindari, dan sanksi yang akan diberikan bagi yang melanggar kewajiban dan melakukan
larangan sekolah.
Tata tertib sekolah unggul dirasakan sudah baik dan mapan, karena dirasakan tidak
memberatkan, proses pembuatan melalui dibentuknya tim khusus atau melibatkan pihak-
pihak warga sekolah yang tidak hanya pimpinan saja, tata tertib diterapkan tidak kaku dan
bersifat reward. Disamping itu tata tertib yang dibuat tidak hanya mengatur ketentuan umum
tetapi juga ada tata tertib yang mengatur ketentuan khusus.
Budaya mutu nampak pada tata tertib sekolah unggul dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.7 Tata tertib sekolah unggul

Tata tertib siswa Budaya mutu yang nampak


 kewajiban yang harus  disusun oleh tim tertib (tim work
dilaksanakan oleh siswa yang solid)
 larangan yang harus dihindari  melibatkan warga sekolah, tidak
oleh siswa hanya pimpinan saja
 sanksi yang akan diberikan  diterapkan tidak kaku
kepada siswa bagi yang  dirasakan tidak memberatkan
melanggar kewajiban dan  mengedepankan reward dari pada
melakukan larangan sekolah. hukuman
 kewajiban yang harus  dapat diterima dan dirasakan
dilaksanakan oleh dengan baik
guru/pegawai  disusun oleh tim khusus (tim work
 larangan yang harus dihindari yang solid)
oleh guru/pegawai  melibatkan warga sekolah, tidak
 sanksi yang akan diberikan hanya pimpinan saja
kepada guru/pegawai bagi  diterapkan tidak kaku
yang melanggar kewajiban dan  dirasakan tidak memberatkan
melakukan larangan sekolah.  sudah baik dan mapan
 dapat diterima dan dirasakan
dengan baik

6. Fasilitas Sekolah
Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah unggul adalah sarana dan prasarana atau fasilitas
sekolah cukup lengkap dan memadahi untuk menunjang proses pembelajaran yang baik
termasuk pemberian pengalaman belajar bagi siswa. Sarana prasarana dan fasilitas sekolah
yang dimiliki antara lain: gedung yang representatif, ruang kelas yang luas dan representatif,
laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, pusat sumber belajar,
perpustakaan sekolah, tempat ibadah sebagai pusat pengembangan dan pusat kegiatan ibadah
siswa, halaman dan lapangan olah raga dan lain sebagainya.
Dalam rangka optimalisasi dalam menunjang keefektifan pembelajaran usaha-usaha
yang dilakukan oleh sekolah adalam melakukan perawatan dan pemanfaatan fasilitas sekolah

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15


seefektif dan efisien mungkin, yang teknisnya diatur mekanisme pemakaian yang diatur oleh
masing-masing koordinator laboratorium atau koordinator unit, sedang sekolah akan
melakukan pemantauan, dan melakukan evaluasi keefektifan pemanfaatan fasilitas sekolah
tersebut.
Tabel 6.8
Fasilitas sekolah dan budaya mutu sekolah unggul

Fasilitas yang dimiliki Kondisi riil Budaya mutu yang


nampak
 gedung berlantai 3 cukup lengkap  Usaha-usaha
 ruang kelas yang luas dan memadahi optimalisasi
dan representatif untuk  Usaha perawatan dan
 laboratorium IPA menunjang pemanfaatan fasilitas
 laboratorium bahasa proses sekolah seefektif dan
 laboratorium komputer pembelajaran efisien mungkin
 pusat sumber belajar yang baik  adanya mekanisme
termasuk
 perpustakaan sekolah pemakaian yang diatur
pemberian oleh masing-masing
 tempat ibadah sebagai
pengalaman koordinator
pusat pengembangan
belajar bagi laboratorium atau
dan pusat kegiatan
siswa koordinator unit
ibadah siswa
 halaman dan lapangan  pemantauan dan
olah raga dan lain evaluasi keefektifan
sebagainya. oleh sekolah.

Dengan demikian budaya mutu yang nampak pada pemberdayaan fasilitas sekolah
adalah adanya usaha-usaha optimalisasi, usaha perawatan dan pemanfaatan keefektifan dan
efisiensi, adanya mekanisme pemakaian yang baik, dan adanya pemantauan dan evaluasi oleh
pimpinan sekolah. Dengan budaya mutu tersebut keefektifan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah, misalnya siswa-siswa lebih nyaman belajar di sekolah, suasana belajar yang
menyenangkan, memudahkan belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa, dan lain sebagainya,
dan oleh Lezotte (1983) sekolah ini dapat dikategorikan sebagai sekolah yang unggul. Dapat
dikatakan sebagai sekolah yang unggul itu karena memiliki karakteristik-karakteristik, antara
lain: lingkungan sekolah yang aman dan tertib, iklim serta harapan yang tinggi, kesempatan
untuk belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa, dan lain sebagainya.

7. Suasana dan Hubungan Formal maupun Informal


Suasana dan hubungan formal dan informal dibangun dalam rangka memperlancar dan
memperkokoh komitmen dari semua warga sekolah, dan sekolah sangat memperhatikan
hubungan tersebut dengan wali siswa. Suasana kondusif yang dibangun tersebut melalui: (a)
adanya komunikasi pimpinan dengan guru/warga sekolah dan melalui koordinasi yang
kontinyu, (b) pemberian pengakuan bagi yang berprestasi oleh sekolah, (c) tidak diatur
hubungan yang kaku tetapi saling menghormati dan akrab, dan (d) suasana yang dibangun
oleh sekolah adalah suasana maju, kreatif, inovatif, berbuat yang terbaik, tuntutan kerja keras,
koordinasi yang baik, mempunyai struktur kepegawaian yang jelas, hubungan antar individu
dan antara bawahan pimpinan baik, serta perhatian secara individu siswa oleh guru; (3)
meskipun demikian tetap diterapkan mekanisme yang jelas bagi warga sekolah yang
melakukan pelanggaran sekolah.
Budaya mutu sekolah unggul nampak pada suasana dan hubungan formal maupun
informal
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16
Tabel 6.9 Budaya mutu sekolah unggul

Suasana yang Budaya mutu yang nampak pada suasana dan


dibangun hubungan formal dan informal
Suasana dan  komunikasi melalui koordinasi yang kontinyu
hubungan formal  pengakuan bagi yang berprestasi
dan hubungan  tidak diatur hubungan yang kaku
informal dibangun  saling menghormati
dalam rangka  akrab
memperlancar dan  tidak takut
memperkokoh
 anjang sana
komitmen dari
 suasana maju, kreatif, inovatif
semua warga
sekolah termasuk  berbuat yang terbaik
orang tua siswa  tuntutan kerja keras
 koordinasi yang baik
 mempunyai struktur kepegawaian yang jelas
 hubungan antar individu dan antara bawahan
pimpinan baik
 perhatian secara individu siswa oleh guru
 tetap diterapkan mekanisme yang jelas bagi
warga sekolah yang melakukan pelanggaran
sekolah.

Wujud budaya mutu tersebut di atas, senada dengan apa yang dikatakan oleh Peter dan
Waterman (Hanson, 1996) tentang nilai-nilai budaya yang secara konsisten dilaksanakan di
sekolah yang baik dan sebagian indikator/elemen rumusan Depdiknas (2000) tentang
beberapa elemen budaya mutu sekolah. Nilai-nilai budaya yang secara konsisten
dilaksanakan di sekolah yang baik, oleh Peter dan Waterman (Hanson, 1996) adalah mutu
dan pelayanan merupakan hal yang harus diutamakan, selalu berupaya menjadi yang terbaik,
memberikan perhatian penuh pada hal-hal yang nampak kecil, tidak membuat jarak dengan
klien, melakukan sesuatu sebaik mungkin, bekerja melalui orang (bukan sekedar bekerjasama
atau memerintahnya), memacu inovasi, dan toleransi terhadap usaha yang berhasil.

8. Sikap dan Perilaku Kepala Sekolah, Guru dan Tenaga Kependidikan Lainnya
Sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya pada sekolah
unggul dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) acuan, yaitu: (1) sikap dan perilaku mengacu
pada tuntunan agama dan norma-norma umum, yaitu bersikap adil, bertegur sapa,
penyambutan siswa dipintu gerbang sekolah oleh guru, bersalaman, memberi salam, berdo’a
sebelum dan selesai beraktifitas di sekolah, saling menghormati, (2) sikap dan perilaku yang
dibangun memberikan motivasi dan berprestasi, selalu belajar dari pengalaman, selalu
melakukan evaluasi dan selalu memperbaiki untuk mencapai yang terbaik, (3) sikap dan
perilaku dalam memberikan keteladanan dan jiwa sosial bagi siswa, yaitu sopan santun,
ramah, senyum, memberikan layanan yang terbaik, sabar, bersodaqoh, dan lain-lain.
Budaya mutu sekolah unggul nampak pada sikap dan perilaku.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17


Tabel 6.10 Acuan sikap dan perilaku Budaya mutu

Acuan sikap dan Budaya mutu nampak pada sikap dan


perilaku perilaku
`
Sikap dan perilaku  bersikap adil
mengacu pada  bertegur sapa
tuntunan agama dan  penyambutan siswa di pintu gerbang sekolah
norma-norma umum oleh guru
 bersalaman
 memberi salam
 berdo’a sebelum dan selesai beraktifitas di
sekolah
 saling menghormati
Sikap dan perilaku  selalu belajar dari pengalaman
yang dibangun  selalu melakukan evaluasi
memberikan motivasi  dan selalu memperbaiki untuk mencapai
dan berprestasi yang terbaik
Sikap dan perilaku  sopan santun
dalam memberikan  ramah
keteladanan dan jiwa  senyum
sosial bagi siswa  memberikan layanan yang terbaik
 sabar
 bersodaqoh, dan lain-lain

Indikator-indikator budaya mutu yang tampak pada sikap dan perilaku tersebut di atas
nampaknya selaras dengan apa yang telah dikemukakan oleh Hasan (2006) tentang syarat
ketiga kelembagaan pendidikan islam yang efektif yaitu membentuk lingkungan pendidikan
yang kondusif yang mampu menciptakan iklim dan kultur sekolah yang Islami (school
climate and school culture) yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah dan
penuh kekeluargaan, lingkungan yang memberikan kebebasan peserta didik untuk
berekspresi, mengem-bangkan minat dan bakatnya, berinteraksi sosial dengan sehat dan
saling menghormati, dalam atmosfir yang mencitrakan suasana religius, etis, dan humanis.
Dari paparan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa para kepala
sekolah, guru, warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait termasuk pengawas, dan
pengelola/pembina pendidikan perlu dibekali pemahaman konsep yang benar tentang budaya
organisasi, budaya mutu sekolah dan pengembangannya, serta konsep sekolah yang baik atau
unggul. Dengan memiliki pemahaman konsep yang baik para kepala sekolah dan guru selaku
pelaksana penyelenggara pendidikan yang didukung oleh warga sekolah, stakeholder sekolah
atau yang terkait lainnya akan dapat mengembangkan budaya mutu sekolah dalam rangka
pengembangan sekolah yang unggul, termasuk pengawas, dan pengelola/pembina pendidikan
akan dapat membinanya dengan efektif dan efisien.
Dengan demikian, para kepala sekolah dan guru selaku pelaksana penyelenggara
pendidikan yang didukung oleh warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait lainnya
akan mampu mengembangkan budaya mutu sekolah secara sistematis melalui tahap-tahap
pengembangan, yaitu: (a) tahap perumusan tujuan pengembangan yang dijiwai spirit dan
nilai-nilai yang dilanjutkan dengan penetapan kebijakan, (b) tahap sosialisasi dan
implementasi, dan (c) tahap evaluasi dan follow up. Dalam melakukan pengembangan
budaya mutu tersebut, sekolah terlebih dahulu harus mengidentifikasi spirit dan nilai-nilai

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18


budaya mutu yang dijadikan sebagai landasan dan sumber dalam penyelenggaraan
pendidikan pada sekolah, misalnya: spirit dan nilai-nilai perjuangan, spirit dan nilai-nilai
ibadah, spirit dan nilai-nilai amanah, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai
disiplin, spirit dan nilai-nilai profesionalisme, spirit dan nilai-nilai menjaga eksistensi sekolah
dan lain sebagainya. Spirit dan nilai-nilai tersebut, tercermin dalam setiap kegiatan, dalam
mengambil keputusan, sikap dan perilaku warga sekolah, pola-pola manajemen yang
dilakukan di sekolah.
Sebagai gambaran yang dapat membantu kita dalam melihat wujud budaya mutu sekolah
unggul yang tercermin di sekolah, misalnya yang nampak pada: (a) visi dan misi sekolah
tercermin dalam program atau kegiatan sekolah, dan strategi pembelajaran yang diterapkan,
(b) struktur organisasi dan deskripsi tugas sekolah tercermin dengan pembagian tugas yang
jelas, garis instruktif dan koordinatif yang fungsional, (c) sistem dan prosedur kerja sekolah
tercermin dengan sistem reward bagi siswa dan guru, dan upaya-upaya peningkatan
profesional guru, (d) kebijakan dan aturan sekolah tercermin dalam proses pengambilan
kebijakan atau keputusan sekolah yang melibatkan warga sekolah, (e) tata tertib sekolah
tercermin dalam proses pembuatan tata tertib sekolah melalui team work yang solid,
implementasi yang mengedepankan reward, dapat diterima dan dirasakan oleh warga sekolah
dengan baik, (f) penampilan fisik (fasilitas) sekolah tercermin dengan usaha-usaha
optimalisasi pemanfaatan fasilitas sekolah, perawatan, pemantauan dan evaluasi, (g) suasana
dan hubungan formal dan informal tercermin dengan komunikasi melalui kooodinasi yang
kontinyu, pengakuan bagi yang berprestasi, suasana saling menghormati, akrab, suasana
maju, kreatif, inovatif, hubungan antar individu dan antara bawahan pimpinan yang baik,
perhatian secara individu siswa oleh guru, serta pemberian tindakan yang jelas bagi warga
sekolah yang melakukan pelanggaran di sekolah, dan (h) budaya mutu pada sekolah unggul
yang nampak pada sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya
adalah tercermin dengan sikap dan perilaku dan norma-norma umum (bersikap adil, bertegur
sapa, memberi salam, bersalaman, berdo’a sebelum dan selesai beraktifitas di sekolah, dan
saling menghormati), sikap-sikap motivasi dan berprestasi, sikap keteladanan dan berjiwa
sosial.
Berdasarkan pengembangan budaya mutu dalam rangka mengembangkan sekolah unggul
tersebut diatas, dapat digambarkan dalam diagram konteks pada gambar berikut.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19


Gambar 6.11 Budaya mutu dalam mengembangkan sekolah unggul

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20


DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2002. Akselerasi Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar. Artikel


diterbitkan di Jurnal FIP Universitas Negeri Malang.
Caldweel. B.J. & J.M. Spinks. 1993. Leading the Self Managing School. London,
Washington: The Falmer Press.
Danim, S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
Buku 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan menengah Umum.
Direktorat Pendidikan menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional. 2002.
Pengembangan Kultur Sekolah. Jakarta: Dit Dikmenum
DeRoche, F.E. 1985. How School Administrators Solve Problem. Engelwood Cliffs. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Elfahmi, H.S., 2006. Sekolah Unggul: Menciptakan Sekolah sebagai Sumber Solusi dan
Rumah yang Menyenangkan bagi Setiap Penghuninya. Makalah disajikan dalam
National Congress & Business Forum 2006 diselenggarakan Magistra Utama,
Surabaya, 4 Maret 2006.
Greemers, B.P.M., & Reynold, D. (ed). 1993. School Effectiveness and School Improvement.
An. International Journal of Research, Pollicy and Practice. Lisse: Sweets &
Zietlinger.
Frymier. J. Cornbleth, C., Donmoyer, R. Gansneder, B.M., Jeter, J.T., Klein, M.F., Schwab,
M., dan Alexander, W.M. 1984. One Hundred Good Schools, Indiana: Phidelta Kappa
Publication.
Hanson, E.M. 1996. Educational Administration and Organizational Behavior. Boston: Allyn
and Bacon.
Harris, Philip R. 1998. The New Work Culture. Amherst: HRD Press.
Hasan, M. Tholchah. 2005. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelematan dan
Pengembangan Fitrah Manusia: Pidato ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor
Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Dalam Bidang Pendidikan Islam pada 30 April
2005 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Hodge, B.J., & W.P. Anthony. 1988. Organizational Theory (3 rd. ed.). Boston, Massa-
Chusetts: Allyn and Bacon, Inc.
Hoy, W.K. dan Ferguson, J. “A. Theoretical Framework and Explanation of Organizational
Effectiveness of School” Administration Quarterly, Volume XXI, no. 2 Spring 1985,
halaman 117-132.
Hoy, W.K. dan Miskel C.G. 1982. Educational Administration Theory, Research, and
Practice. Second Edition. New York: Random House, Inc.
Lezotte, Lawrence, Bancroft, Baverley A. 1985. Effective Schools: What Works and Doesn’t
Work.. New York: NYT News Letter March.
Macbeath, J. & Mortimore, P. 2005. Improving School Effectiveness. Jakarta: PT. Grasindo.
Moedjiarto, 2002. Sekolah Unggul. Jakarta: CV. Duta Graha Pustaka.
Owens, R.G. 1987. Organizational Behavior In Education. New Jersey: Engelwood Cliffs
Prentice Hall, Inc.
Owens, R.G. 1995. Organizational Behavior In Education. Boston: Allyn and Bacon.
Peters, T.J., & Waterman, R.H. Jr. 1982. In Search of Excellent: lesson from America’s Best
Run Companies. New York: Harper and Row Publisher, Inc.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21


Peterson, M.W. (ed). 1986. Organizational Culture in The Study of Higher Education, ASHE
Reader on Organization and Gabvermance in Higher Education: (3 rd ed.).
Lexington: Ginn Press.
Robbins, S.P. 1991. Organizational Behavior (5 th ed.). New Jersey: Engelwood Cliffs
Prentice Hall, Inc.
Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organsasi. Edisi Indonesia. Jakarta: PT. INDEKS Kelompok
GRAMEDIA.
Sergiovanni. T.J. 1987. The Principalship: A. Reflective Practice Perspective. Bonton: Allyn
and Bacon Inc.
Sergiovanni. T.J., M. Burlingame, F.S. Coombs, & P.W. Thurson. 1987. Educational
Goverrance and Administration. (2 rd. ed.). New York: Prentice Hall, Inc.
Soetopo, H. 2001. Hubungan Karakteristik Bawahan, Kontrol Situasi, Gaya Kepe-mimpinan,
Budaya Organisasi, dan iklim Organisasi dengan Keefektifan Organisasi pada
Universitas Swasta. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
Sonhadji, K.H. A. 1991. Birokrasi Hubungan Manusia dan Budaya dalam Organisasi.
Malang: PPS IKIP Malang.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22

Anda mungkin juga menyukai