Anda di halaman 1dari 85

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hati yang merupakan organ terbesar dalam tubuh melangsungkan sebagian

besar reaksi metabolik dan menjalankan detoksifikasi dengan membuang banyak

zat eksogen dan endogen terhadap tubuh yang akan membahayakan jika

berakumulasi. Reaksi detoksifikasi dibagi menjadi fase I (oksidasi, hidroksilasi,

dan reaksi lain yang diperantarai oleh sitokrom P450) dan fase II (esterifikasi)

(Barret, et al., 2010).

Fungsi hati sebagai pusat metabolisme obat menyebabkan hati paling

berisiko mengalami toksisitas. Berdasarkan laporan FDA di Amerika Serikat,

terdapat lebih dari 900 jenis obat, toksin dan sediaan herbal yang berpotensi

mencederai hati dan 20-40% kasus gagal hati disebabkan oleh obat (Nirmala et

al., 2012). Penyakit hati yang diinduksi obat dapat bersifat intrinsik dan

idiosinkratik. Reaksi intrinsik terjadi jika obat atau metabolitnya yang merusak

hati dapat diprediksi, dapat direproduksi dan bergantung pada dosis, sedangkan

reaksi idiosinkratik tidak dapat diprediksi dan tidak dapat direproduksi, serta

memiliki angka kejadian yang rendah terhadap individu yang menggunakan obat.

Reaksi idiosinkratik dapat berasal dari idiosinkrasi metabolik atau reaksi

imunoalergi (Lewis, 2008).

Efek toksik yang dapat merusak hati dapat berasal dari senyawa induk obat

maupun hasil metabolismenya. Parasetamol merupakan contoh obat yang mampu

menginduksi kerusakan hati akibat metabolitnya. Enzim sitokrom P450

1
memetabolisme parasetamol dan menghasilkan metabolit N-acetyl-p-benzo

quinoneimine (NAPQI) yang bersifat elektrofilik dan toksik dengan menyebabkan

penurunan kadar glutation yang berfungsi mengkonjugasi metabolit toksik.

Kekurangan glutation akan mendorong ikatan NAPQI dengan protein hepatosit.

Selain itu reaksi oksidatif sitokrom P450 juga meningkatkan jumlah radikal bebas

yang akan menganggu keseimbangan ion kalsium dan cairan di sitosol serta

depresi fungsi mitokondria, sehingga berakhir dengan kematian hepatosit atau

nekrosis (Adlia, 2014).

Menurut Wijayakusuma, dkk., (1996), pemanfaatan bahan-bahan alam

sebagai obat tradisional telah lama dikembangkan. Hal ini disebabkan masyarakat

menyadari efek samping akibat penggunaan oleh obat-obat sintetik lebih besar

dibandingkan obat tradisional, selain itu obat tradional mempunyai kemudahan

dalam perolehan dan pembuatannya. Oleh karena itu, Armansyah, dkk., (2010)

berpendapat obat tradisional merupakan bidang yang masih banyak diminati untuk

diteliti. Hal ini didasari beberapa hal seperti diperlukannya senyawa-senyawa

antioksidan untuk mengatasi berbagai penyakit seperti AIDS, kanker termasuk

hepatoprotektif (Adlia, 2014). Dengan demikian, penting secara global

mengembangkan obat hepatoprotektif herbal yang efektif menghambat berbagai

jenis gangguan hati (Venkatesh, et al., 2011).

Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan tanaman yang umum

digunakan sebagai makanan dan kaya akan beberapa nutrisi terkait dengan

penyembuhan dan pencegahan sejumlah penyakit. Sebuah tinjuan megenai

senyawa volatil dan non-volatil dari bawang merah, metode identifikasi dan studi

terhadap efek biologisnya baru-baru ini telah dipublikasikan oleh Lanzotti (2006).

2
Ekstrak bawang merah kaya akan senyawa fenolik yang menunjukkan aktivitas

antiproliferasi agen antimutagenik, antikanker, antiradang pada lambung,

antispasme dan antidiare. Ekstrak bawang merah juga menunjukkan aktivitas

antioksidan, pengikat radikal bebas dan antibakteri. Bawang merah dilaporkan

sebagai sumber terbesar flavonoid untuk konsumsi manusia. Kuersetin merupakan

flavonoid yang terkadapat paling banyak dengan bentuk bebas dan terikat dengan

glikosida (3’,4’-di- dan 4’-glukosida), selain beberapa flavonoid lainnya. Bawang

merah merupakan sumber kuersetin terbanyak dari 28 jenis sayuran dan 9 jenis

buah (Skerget, et al., 2009).

Studi tentang kemampuan hepatoprotektif umbi bawang merah

menunjukkan bahwa ekstrak metanol umbi bawang merah dengan dosis 200, 300

dan 450 mg/kg menunjukkan penurunan yang signifikan (p < 0,05) terhadap

parameter fungsi hati tikus albino jantan galur Wistar yang diinduksi

parasetamol dengan dosis 750 mg/kg, yaitu alanin transferase (ALT) dan serum

bilirubin total (TBS) yang penurunannya bergantung pada kenaikan dosis

pemberian, serta aspartat transferase (AST), alkalin fosfatase (ALP) dan laktat

dehidrogenase (LDH) yang penurunannya tidak bergantung pada kenaikan dosis

pemberian. Studi juga dilakukan terhadap histopatologi jaringan, berdasarkan efek

antioksidannya melawan spesies oksigen reaktif yang menjembatani kerusakan

jaringan (Ozougwu dan Eyo, 2014).

Aktivitas antioksidan bawang merah secara signifikan menurun dari lapisan

terluar hingga lapisan terdalam. Kulit bawang merah secara signifikan

mengandung flavonoid yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan umbinya yang

biasanya diolah dalam masakan, dengan demikian kulit bawang merah yang

3
sering dibuang dalam proses pengolahan tentunya menarik sebagai sumber

komersial senyawa fenolik. Jumlah senyawa fenolik dan kuersetin yang terdapat

dalam kulit kira-kira 3-5 kali lebih tinggi dari umbinya, mengindikasikan bahwa

kulit bawang merah memiliki potensi untuk digunakan sebagai antioksidan dan

agen antimikroba dalam makanan, kosmetik dan industri farmasi (Skerget, et al.,

2009). Meski begitu, sejauh ini belum ada penelitian tentang aktivitas

hepatoprotektor dari kulit bawang merah, sehingga peneliti ingin meneliti

aktivitas hepatoprotektor ekstrak etanol kulit bawang merah (EEKBM) terhadap

mencit jantan yang diinduksi parasetamol.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah

sebagai berikut:

a. apakah EEKBM memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor?

b. apakah EEKBM dapat menurunkan ALT dan AST pada mencit jantan yang

diinduksi parasetamol?

c. apakah EEKBM dapat menunjukkan perbaikan pada gambaran histopatologi

hati mencit jantan yang diinduksi parasetamol?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka hipotesis penelitian sebagai

berikut:

a. EEKBM memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor.

b. EEKBM dapat menurunkan ALT dan AST pada mencit jantan yang diinduksi

parasetamol.

4
c. EEKBM dapat menunjukkan perbaikan pada gambaran histopatologi hati

mencit jantan yang diinduksi parasetamol.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian sebagai

berikut:

a. aktivitas hepatoprotektor EEKBM terhadap mencit jantan yang diinduksi

parasetamol.

b. pengaruh pemberian EEKBM terhadap ALT dan AST mencit jantan yang

diinduksi parasetamol.

c. pengaruh pemberian EEKBM terhadap gambaran histopalogi hati mencit

jantan yang diinduksi parasetamol.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas maka manfaat penelitian

sebagai berikut:

a. pengembangan kulit bawang merah menjadi salah satu sediaan herbal

terstandar dengan efek hepatoprotektor.

b. menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Subjek dalam penelitian adalah mencit jantan. Untuk menginduksi

kerusakan hepar diberikan parasetamol dengan dosis 1 g/kg bb, terdapat 6 variabel

bebas yaitu EEKBM dosis 300; 450; dan 600 mg/kg bb; Na CMC 0,5% sebagai

5
kontrol negatif; rutin 20 mg/kg bb sebagai kontrol positif dan normal atau tanpa

perlakuan. Variabel terikat dalam penelitian adalah ALT dan AST serta gambaran

histopatologi mencit jantan (Gambar 1.1)

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Ektrak etanol kulit


bawang merah dosis
300 mg/kg bb

Ektrak etanol kulit


bawang merah dosis ALT Penurunan ALT
450 mg/kg bb

Ektrak etanol kulit AST Penurunan AST


bawang merah dosis
600 mg/kg bb
Degenerasi hidropik
Gambaran
Na CMC 0,5 % histopatologi
(Kontrol negatif) hati mencit Nekrosis
jantan

Pendarahan
Rutin 20 mg/kg bb
(Kontrol positif)

Tanpa Perlakuan
(Normal)

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Di dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan sebagai

berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Liliales

Suku : Liliaceae

Marga : Allium

Jenis : Allium cepa L. (Rahayu dan Berlian,1999).

2.1.2 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan bawang merah : Bawang merah (Aceh dan

Palembang); pia (Batak); bawang sirah atau dasun merah (Minangkabau), barambang

sirah atau dasun merah (Minangkabau); bawang suluh (Lampung); bawang beureum

(Sunda); brambang atau brambang abang (Jawa Tengah dan Jawa Timur); bhabang

mera (Madura); jasum bang atau jasum merah (BaIi); bawangi (gorontalo); lasuna eja

(Makassar), lasuna cela (Bugis); laisuna mpilas (Roti); kalpeo miha (Timor); bawa

(Halmahera); bawa rohika (Ternate); bawa kahori (Tidore) (Rukmana, 1994).

2.1.3 Sejarah, habitat dan penyebaran

Tanaman bawang merah diduga berasal dari Asia. Sebagian literatur

menyebutkan bahwa tanaman ini dari Asia tengah (Palestina dan India), sebagian juga

memperkirakan asalnya dari Asia Tenggara dan Mediteranian. Literatur lain

7
menyebutkan bawang merah berasal dari Asia Barat yang berkembang ke Mesir dan

Turki. Bangsa Mesir mengenal bawang merah sejak 3200-3700 SM. Di Yunani dan

Israel, bawang merah dibudidayakan sejak 1500 SM. Eropa Barat, Timur dan Spanyol

mengenal bawang merah sejak abad kedelapan, lalu menyebar ke Amerika.

Penyebaran bawang merah telah meluas hampir ke setiap negara. Eropa Barat, Eropa

Timur, Spanyol, Amerika Serikat, Mesir dan Turki merupakan negara penghasil

bawang mereah terpenting di dunia. Di Indonesia, sentra budidaya bawang merah

diusahakan di hampir seluruh provinsi di Indonesia kecuali Riau, DKI Jakarta,

Kalimntan Barat dan Kalimantan Tengah (Rukmana, 1994). Daerah Samosir menjadi

sentra budidaya bawang merah di Sumatera Utara, (Rahayu dan Berlian,1999).

.Bawang merah termasuk tumbuhan semusim yang tumbuh dengan baik di

daerah beriklim kering yang cerah dengan udara panas, namun harus disertai

pengairan yang baik dengan ketinggian tanah 0-800 m di atas permukaan laut dan
0
suhu antara 25-32 C. Tanah yang gembur dan subur serta banyak mengandung

humus sangat baik dengan pH antara 6,0-6,8 (sedikit agak asam-normal) cocok untuk

pertumbuhan bawang merah, sedangkan di tanah yang becek menyebabkan

pertumbuhan bawang merah menjadi kerdil dan umbinya mudah busuk. Pada pH

kurang dari 5,5 tanaman akan keracunan alumunium sehingga tanaman menjadi

kerdil, sebaliknya pada pH di atas 6,5 Mangan tidak dapat diserap akibatnya umbinya

menjadi kecil-kecil (Rukmana, 1994; Wibowo, 2008).

2.1.4 Morfologi tumbuhan

Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan terna (tanaman yang berbatang

lunak karena tidak membentuk kayu) rendah yang tumbuh tegak dengan tinggi

mencapai 15-50 cm, berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan tidak

tahan kekeringan. Batang sejati (discus) bentuknya seperti cakram, tipis dan pendek.

8
Di bagian atas discus terbentuk batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah

daun. Batang semu yang berada dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya

menjadi umbi lapis (bulbus). Beberapa helai kelopak daun terluar (2-3 helai) tipis dan

mengering tetapi cukup liat, membungkus lapisan-lapisan kelopak daun di dalamnya

sehingga membentuk umbi yang kemudian berisi cadangan makanan bagi tunas yang

akan menjdi tanaman baru. Pada pangkal umbi tumbuh akar-akar serabut. Di bagian

atas umbi terdapat mata tunas yang disebut tunas lateral dan dapat tumbuh menjadi

tanaman baru. Daun berbentuk pipa, yakni bulat kecil memanjang antara 50-70 cm,

berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua dan

letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek. Bunga akan muncul

dari tunas utama (tunas apikal) di bagian tengah umbi, dengan panjang 30-90 cm dan

terdapat 50-200 kuntum yang tersusun melingkar seperti payung. Biji mempunyai

bentuk agak pipih,sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua

menjadi hitam. Umbi lapis bawang merah sangat bervariasi, bentuknya ada yang

bulat, bundar sampai pipi, sedangkan ukuran umbi meliputi besar, sedang, dan kecil.

Warna kulit umbi merah muda sampai merah tua (Rukmana, 1994; Rahayu dan

Berlian,1999; Wibowo, 2008).

2.1.5 Khasiat

Secara tradisional bawang merah dapat bermanfaat untuk pengobatan beberapa

penyakit, seperti disentri, jantung koroner, influenza, tekanan darah tinggi, sembelit,

luka, bisul pada kulit, jamur pada vagina (trichomoniasis), demam, masuk angin,

impotensi dan cacar air. Selain itu bawang merah dapat berkhasiat menurunkan lemak

darah, tekanan darah, mencegah pembekuan darah, menyembuhkan asma, melawan

sel tumor, menurunkan kadar gula darah (Smith, 2002).

9
2.2 Parasetamol

2.2.1 Uraian Kimia

Parasetamol mempunyai nama IUPAC 4’-hidroksiasetanilida dengan rumus

struktur C8H9NO2. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih tidak berbau, dan

memiliki rasa sedikit pahit, larut dalam air mendidih dan dalam natrium

hidroksida 1N, serta mudah larut dalam etanol (Depkes, RI., 2014). Parasetamol

merupakan metabolit aktif fenasetin yang memiliki efek antipiretik yang

ditemukan di Jerman dan telah lama digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 2013;

Katzung, 2012). Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen Obat ini

merupakan inhibitor COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer dengan efek

antiinflamasi yang tidak signifikan. Nyeri akut dan demam efektif terobati dengan

dosis 325-500 mg empat kali sehari (Wilmana, 2013).

2.2.2 Farmakokinetik

Absorpsi parasetamol bergantung pada kecepatan pengosongan lambung,

namun umumnya diabsorpsi cepat dan sempurna. Obat ini tersebar ke seluruh

cairan tubuh dan sekitar 25% dari yang diabsorpsi terikat dengan protein plasma.

(Wilmana dan Gan, 2013). Konsentrasi puncak diperoleh 30-60 menit setelah

pemberian. Sejumlah parasetamol dimetabolisme oleh enzim hati untuk diubah

menjadi parasetamol sulfat dan glukoronida yang secara farmakologi inaktif,

kurang dari 5% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah. Metabolit yang sedikit

namun reaktif (NAPQI) bersifat penting sebab merupakan toksik terhadap hati

dan ginjal. Waktu paruh parasetamol adalah 2-3 jam dan tidak dipengaruhi fungsi

ginjal. Dosis toksik dan gangguan hati dapat memperpanjang waktu paruh

(Katzung, 2012).

10
2.2.3 Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri

ringan sampai sedang seperti sakit kepala, myalgia, nyeri setelah melahirkan di

mana pemberian aspirin tidak ditoleransi pasien dengan riwayat alergi, tukak

lambung, hemophilia dan bronkospasma dan juga diberikan kepada pasien

(Wilmana dan Gan, 2013; Katzung, 2012). Di Indonesia, penggunaan parasetamol

sebagai analgesik dan antipiretik berkembang luas. Nyeri akut dan demam dapt

diobati dengan dosis pemberian 325-500 mg empat kali sehari (direkomendasikan

tidak melebihi 4 g) atau dosisnya diturunkan jika pemberian untuk anak-anak

(Katzung, 2012). Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih

besar tidak menolong. Penggunaannya sebagai antiinflamasi, misalnya untuk

mengobati arthritis rheumatoid bersifat inadekuat karena merupakan penghambat

biosisntesis prostaglandin yang lemah. Karena hampir tidak mengiritasi lambung,

parasetamol sering dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesik (Wilmana dan

Gan, 2013).

2.3 Kuersetin

Kuersetin merupakan flavonol yang tedapat dalam buah dan sayur yang

memberikan efek bermanfaat bagi tubuh, dengan efek antioksidannya yang paling

potensial di antara berbagai senyawa polifenol. Kuersetin terbukti memiliki efek

antiinflamasi, antivirus, antibakteri dan antikarsinogenik. Dalam makanan,

kuersetin lebih banyak berada dalam bentuk terikat dengan gula, asam fenolat,

alkohol dan lainnya. Turunan kuersetin biasanya akan dihidrolisis di saluran cerna

11
untuk selanjutnya diabsorbsi dan dimetabolisme sebagai aglikon (Materska,

2008).

Gambar 2.1 Struktur Kuersetin (Domitrović, et al., 2012)

Kuersetin aglikon memiliki struktur lipofilik, namun demikian turunan

kuersetin dapat bersifat lipofilik maupun hidrofilik tergantung pada subtituen

yang terikat. Pada umumnya, turunan flavonoid dengan O-metil, C-metil dan

turunan prenil bersifat lipofilik. Glikosilasi paling tidak di satu gugus hidroksil

akan meningkatkan sifat hidrofiliknya (Materska, 2008).

Aktivitas antioksidan senyawa fenol salah satunya kuersetin dihubungkan

dengan kemampuan mentransfer satu atom H atau sebuah elektron, sama halnya

dengan pembentukan kompleks (chelation) dengan ion logam dan penghambatan

aktivitas enzim oksidase. Selain itu, aktivitas antioksidan juga disertai aktivitas

antivirus dan antibakteri. Aktivitas antioksidan ditandai dengan adanya gugus

hidroksil bebas dan posisinya yang menguntungkan. Reaksi kuersetin dengan

radikal bebas DPPH menunjukkan aktivitas antiradikalnya yang tinggi disebabkan

adanya gugus 1,2-dihidroksibenzena (katekol) di cincin B. Apabila bereaksi

dengan DPPH, kuersetin mendonorkan 2 atom H dan berubah menjadi intermediet

kuinon. Gugus 4-oxo yang berkonjugasi dengan 2,3- alkena di cincin C dan gugus

12
3-OH dan 5-OH di cincin A meningkatkan potensi antiksidan. Turunan kuersetin

memberikan efek farmakologi yang lebih rendah dibandingkan dengan bentuk

aglikonnya. Beberapa turunan kuersetin yang mengalami glikosilasi di C4’-OH

dapat menurunkan kemampuan mendonorkan H+ sehingga sifat antioksidannya

berkurang. Uji aktivitas antoksidan aglikon flavonoid, termasuk fisetin,

kaempferol, morin, mirisetin dan kuersetin menyimpulkan kemampuan potensi

penurunan radikal bebas ditunjukkan oleh gugus 4’-OH di cincin B.

Kuersetin dan turunannya secara umum mengalami konversi metabolik dan

berada dalam jaringan tubuh dengan mengalami glukuronasi, sulfasi dan metilasi.

Mekanisme pertama, ketiganya merupakan substrat potensial untuk enzim laktose

phlorizin hydrolaze (LPH) di brush border membran usus halus. Mekanisme

kedua memampukan absorpsi glikosida kuersetin melalui interaksi dengan

sodium-dependent glucose transporter 1 (SGLT1). Setelah diabsorpsi, glikosida

kemudian dihidrolisis oleh β-glikosidase di sitosol sebagian kecil sel mukosa

usus halus (Materska, 2008).

Kuersetin menempati jumlah terbanyak dari total flavonoid dalam bawang

merah, yakni 80% dalam bentuk kuersetin monoglukosida dan kuersetin

diglukosida (Lanzotti, 2006). Terdapat perbedaan dalam absorpsi kuersetin, 52%

diabsorpsi dalam bentuk terikat dengan glikosida, 24% diabsorpsi sebagai

aglikon, dan 17% sisanya diabsorpsi sebagai quersetin-3-rutinosida. Studi oleh

Wiczwoski, et al., menunjukkan 53,2 % kuersetin yang terdapat di kulit terluar

bawang merah berupa aglikon, sebaliknya 53,5% kuersetin di lapisan terluar

umbinya dalam bentuk kuersetin-4'-glukosida, kuersetin-3-glukosida, dan

kuersetin-3,4'-glukosida (Wiczwoski, et al., 2003).

13
Studi oleh Po’voa et al menyimpulkan bahwa kandungan flavonol terutama

kuersetin menurun dari lapisan terluar sampai ke dalam dan dari ujung atas

sampai pangkal bawah. Meningkatnya kusersetin seiring dangan bertambahnya

usia sel-sel yang menyusun lapisan umbinya, sehingga sel-sel di lapisan luar tentu

umurnya lebih tua dibandingkan di lapisan yang lebih dalam. Lapisan luar dan

bagian atas umbi paling banyak mengandung kuersetin, berkaitan dengan

fungsinya sebagai proteksi terhadap paparan sinar UV B (Gregorio et al., 2010).

2.4 Rutin

Rutin (kuersetin 3-O-rutinosida) merupakan flavonol yang terdiri dari

kuersetin aglikon dan rutinosida di atom C nomor 3 di cincin C. Rutin umumnya

terkandung di berbagai macam makanan, dan menunjukkan sejumlah aktivitas

biokimia dan farmakologi, seperti antioksidan, antiinflamasi dan antitumor. Uji

aktivitas heptoprotektor secara preventif oleh Domtrovic, dkk., menunjukkan

pemberian rutin dosis 50 dan 150 mg/kg secara peritoneal dapat

menurunkan peningkatan NO yang diinduksi CCl4. Peningkatan NO akan

memicu pembentukan nitrotirosin dan menyebabkan nekrosis (Dumitrovc, dkk.,

2012).

2.5 Hati

2.5.1 Anatomi hati

Hati merupakan organ padat terbesar dalam tubuh manusia dengan massa

mencapai 1,6 kg pada pria dan 1,4 kg pada wanita, dan menyumbang 2% massa

tubuh orang dewasa. Secara anatomi hati terletak di bawah diafragma, di kuadran

14
atas kanan abdomen, dengan posisi anterior dan posteriornya terlindungi oleh

tulang rusuk. Hati memiliki dua lobus dan lobus kanan enam kali lebih besar dari

lobus kiri. Hati menerima kurang lebih 1,3 liter darah per menit: 75 % berasal dari

vena (vena porta) dan sisanya dari arteri hepatik (Holt, 2008). Vena porta

membawa darah dari usus dan limpa, dan arteri membawa darah yang berasal dari

aorta, darah dari kedua pembuluh tersebut akhirnya bercampur di sinusoid

sebelum meninggalkan hati dalam vena hepatik (Murli, 2013).

Hepatosit berbentuk poligonal dengan sitoplasma yang eosinofilik dan

nukleus berbentuk oval atau bulat. Sel ini memiliki tiga permukaan, satu

menghadap sinusoid dan rongga Disse (basolateral), satu menghadap kanalikulus

(kanalikular) dan satu menghadap hepatosit yang berdekatan (lateral). Hepatosit

tersusun dalam barisan sel-sel yang berbentuk seperti jeruji di roda, dengan vena

sentral sebagai pusatnya. Tiap barisan dipisahkan oleh kapiler yang dialiri darah

yang dinamakan sinusoid, sehingga tampak seperti kanal. Kemampuan adapatasi

sinusoid sangat tinggi dan mampu memfasilitasi pertukaran molekul-molekul dari

lumen sinusoid ke hepatosit, begitu juga sebaliknya (Holt, 2008). Di sinusoid

dapat dijumpai sel endotel dan sel Kupffer. Sel endotel tersusun menyerupai

lapisan/jalur yang memudahkan pertukaran zat antara darah dengan hepatosit

melalui rongga Disse. Rongga Disse berisi plasma, retikulin (kolagen) dan sel

stelat (sel Ito) yang perannya penting terhadap aliran darah sinusoid, fibrogenesis

dan penyimpanan vitamin A. Sel Kupffer bentuknya tidak teratur, cenderung

gepeng dan merupakan makrofag yang berperan dalam fagositosis. Terdapat juga

sel pit (sel limfosit hati) di sinusoid dan rongga Disse, sel ini mempunyai limfosit

T atau fenotip sel NK (natural killer) (Murli, 2013).

15
Secara mikroskopik, stuktur jaringan dijelaskan dengan konsep acinus

(modern) dan lobul (konvensional). Hepatosit dalam acinus dapat dibagi menjadi

tiga zona berdasarkan jarak sel dari traktus porta. Traktus porta terdiri atas duktus

biliaris, arteri hepatik, vena porta, pembuluh limfatik, saraf dan sel-sel inflamasi.

Mulai dari traktus porta, darah dari arteri dan vena mengalir melalui sinusoid

hingga mencapai vena sentral (Murli, 2013). Hepatosit yang berada dekat traktus

porta lebih dulu menerima nutrisi dan oksigen dari darah karenanya paling

resisten terhadap gangguan iskemik, daerah ini dinamakan zona 1 (periportal).

Hepatosit yang berada lebih jauh dari traktus porta akan menerima darah dengan

konsentrasi nutrisinya yang lebih rendah, dinamakan zona 3

(perisentral/sentrilobular), mengelilingi vena sentral dan beresiko besar

mengalami cedera hipoksia. Zona 2 (midzonal) berada di antara zona 1 dan zona

3. Pembagian fungsi metabolik berdasarkan letak zonanya dalam acinus. Zona 1

utamanya bertanggung jawab terhadap perubahan dalam darah porta, seperti kadar

glukosa dan insulin sehingga berperan dalam glikolisis dan glukoneogenesis.

Sintesis protein, β-oksidasi asam lemak, sintesis kolesterol dan sekeresi asam

empedu juga terjadi di zona 1. Hepatosit di zona 3 merupakan tempat utama

aktivitas oksidasi/reduksi enzim sitokrom P450 sebegaimana metabolisme

NADPH dan NADH reduktase, sehingga lebih beresiko mengalami kerusakan

yang diinduksi obat (Holt dan Smith, 2008).

Apabila dilihat dengan bantuan mikroskop elektronik, hepatosit memiliki

ciri yang menjadi karakter sel yang terlibat dalam berbagai fungsi metabolik,

yakni sejumlah mitokondria, lisosom, peroksisom, retikulum endoplasmik kasar

dan halus dan glikogen yang tersimpan di sitoplasma. Hepatosit memiliki banyak

16
mitokondria dan mengisi 20% dari volume keseluruhan sitoplasma. Hal ini

berkaitan dengan tingginya kebutuhan jaringan akan energi yang dipenuhi oleh

ATP yang diproduksi lewat jalur Krebs. Jumlah mitokondria di daerah

sentrilobular lebih sedikit dibanding periportal, namun ukurannya lebih besar.

Mitokondria juga terlibat dalam berbagai jalur metabolisme lain, termasuk

oksidasi asam lemak, metabolisme steroid, sintesis asam nukleat, pengaturan

kadar kalsium intrasel dan biosintesis haem. Protein yang membran mitokondria

mempunyai peran utama untuk mengatur dan mengeksekusi kematian sel

terprogram atau apoptosis. Penambahan umur akan mengurangi jumlah

mitokondria meski bentuk dan volumenya tetap. Retikulum endoplasma (RE)

kasar umumnya berada di tepi sinusoid, berkumpul di sekitar nukleus dan

mitokondria dan menjadi tempat utama sintesis berbagai protein, seperti albumin,

protein hormon dan growth factor, serta fibrionogen dan prototrombin.

Sebaliknya RE halus menyebar di seluruh hepatosit sebagai kumpulan vesikel

yang dekat dengan agregat glikogen. Fungsi RE halus adalah sintesis lipid,

akumulasi glikogen dan metabolisme obat dan steroid. Untuk melakukan semua

fungsinya membran RE halus mengandung enzim yang sangat penting yaitu

NADPH-sitokrom-C reduktase dan sitokrom P450 yang melakukan

biotransformasi obat dan steroid endogen lewat sistem mono-oksigenase

mikrosom. Badan Golgi terlibat dalam sekresi empedu, pembentukan glikoprotein

dan lipoprotein serta distribusinya ke komponen intraselular, juga sintesis dan

perbaikan membran sel. Lisosom bertugas mendegradasi berbagai substrat.

Peroksisom berperan dalam oksidasi dan peroksidasi melalui pembentukan

hidrogen peroksida, juga degradasi asam lemak rantai panjang (Holt, 2008).

17
2.5.2 Fungsi hati

Hati mempunyai fungsi yang cukup banyak berkaitan dengan perannya

sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Hati mensekresi asam empedu yang

berperan dalam emulsifikasi lemak di usus halus. Protein yang disintesis di hati

berfungsi sebagai enzim, hormon maupun protein plasma. Beberapa enzim yang

disintesis di hati juga berguna dalam proses detoksifikasi zat-zat berbahaya. Hati

ikut menjaga keseimbangan kadar glukosa dalam darah lewat proses

glikogenolisis dan glukoneogenesis. Hati melangsungkan metabolisme lemak

menjadi asam lemak, kolesterol dan lipoprotein. Hati merupakan tempat

penyimpanan vitamin terutama yang larut dalam lemak. Hati juga berperan besar

dalam detoksifikasi racun dan obat, serta memiliki sistem pertahanan tubuh

melalui sel Kupffer (Barret, et al., 2010; McKuskey, 2012).

2.5.3 Hepatotoksisitas

Hepatotoksisitas adalah cedera pada hati yang dihubungkan dengan fungsi

hati yang terganggu karena paparan obat atau agen non-infeksi. Molekul inorganik

yang dapat menyebabkan hepatotoksis contohnya arsen, fosfor, tembaga dan besi.

Senyawa organik yang berasal dari tumbuhan juga bersifat toksik, contohnya

alkaloid pirolizidin, toksin jamur dan bakteri. Hasil sintesis dari senyawa organik,

termasuk obat-obatan juga merupakan hepatotoksin. Obat yang merusak hati akan

berdampak pada kadar enzim hati yang abnormal. Cedera hati akibat obat-obatan

atau Drug Induced Liver Injury (DILI) bertanggung jawab terhadap 5 %

pengobatan di rumah sakit dan 50% gangguan hati akut (Kumar, et al., 2014).

18
Banyak obat yang dapat menyebabkan toksisitas dengan gambaran biokimia,

klinis, histologi dan kronologi atau kombinasi semuanya yang khas. Beberapa

pola hepatotoksitas diketahui berdasarkan mekanisme cedera yang berbeda-beda.

Cedera hepatoseluler atau sitolitik melibatkan peningkatan kadar serum

transaminase, biasanya didahului diawali peningkatan total bilirubin dan sedikit

peningkatan ALP, contohnya isoniazid dan troglitazone. Cedera kolestatik

ditandai dengan peningkatan ALP yang cenderung lebih menonjol dibandingkan

ALT atau AST, contohnya asam klavulanat atau klorpromazin. Reaksi imun atau

hipersentivitas sering tertunda atau terjadi setelah paparan yang berulang, ditandai

demam, ruam dan eosinofilia. Fenitoin, nitrofurantoin atau halotan dapat

meningkatkan onset reaksi dan keparahan setelah pemberian berulang dalam

interval tertentu. Cedera mitokondria melibatkan steatosis mikrovesikular,

asidosis laktat dan peningkatan ringan serum aminotranferase, contohnya asam

valproat dan tetrasiklin parenteral dosis tinggi (Navarro dan Senior, 2006).

2.5.4 Proses hepatotoksisitas oleh parasetamol

Setelah pemberian dosis terapi, sekitar 50-70% dosis parasetamol akan

terikat dengan glukuronida, 25-35% terikat dengan sulfat dan 5-15% sisanya

diekskresi di urin dalam bentuk konjugat asam merkapturat dan sistein. Ini

disebabkan konversi parasetamol ke bentuk reaktifnya yang bisa berikatan dengan

gugus tiol dari protein sistein GSH (Hinson, et al., 2009)

19
Gambar 2.2 Skema jalur metabolisme parasetamol (James, et al., 2003)

Hepatotoksisitas oleh parasetamol bukan sekedar kerusakan yang bersifat

tunggal namun merupakan hasil kontribusi dan integrasi berbagi mekanisme.

NAPQI terbentuk dari oksidasi langsung 2 elektron oleh sitokrom P450 (James, et al.,

2003). Ketika pemberian parasetamol mencapai dosis toksik, jalur glukoronidasi dan

sulfasi mejadi jenuh. Metabolisme parasetamol dengan dosis toksik menurunkan

kadar GSH dalam hati hingga lebih dari 90%. Keadaan ini memicu NAPQI berikatan

secara kovalen dengan gugus sulfhidril di protein sistein hepatosit membentuk 3-

(cystein-S-yl)-acetaminophen (APAP-Cys) (Agarwal, et al., 2011; James, et al.,

2003). Hanya hepatosit yang mengandung ikatan parasetamol-protein dapat

mengalami nekrosis dan toksisitas berfokus pada area sentrilobular. Uji

menggunakan HPLC oleh Muddrew, et al., membuktikan jumlah ikatan

parasetamol-protein dalam serum berkorelasi dengan nilai transaminase hepatik

20
pada orang dewasa pada kasus gagal hati akut akibat parasetamol (Hinson, et al.,

2009).

Ion superoksida (O2-) dilepaskan sitokrom P450 2E1 yang juga membentuk

hidrogen peroksida (H2O2) lewat reaksi Fenton. Deplesi GSH yang seharusnya

menjadi kofaktor dalam detoksifikasi O2- meningkatkan kadar superoksida intrasel

dan stres oksidatif. Kadar nitrit oksida (NO) meningkat selama tokisisitas

parasetamol. O2- bereaksi cepat dengan NO membentuk peroksinitrit (ONOO-),

yang sangat penting dalam toksisitas, dengan konstanta laju reaksi 7 x 109 M-1 s-1

(James, et al., 2003). Peroksinitrit adalah agen penitrasi dan pengoksidasi yang

didetosifikasi oleh GSH yang berkurang akibat tokisitas parasetamol. (Agarwal, et

al., 2011). Peroksinitrit tidak hanya menyebabkan nitrasi protein tetapi juga dapat

menyerang target biologis secara luas. Nitrotirosin terbentuk di zona 3 atau

sentrilobular hati. Posisi NO menjadi cukup kritis, jika NO muncul akan bereaksi

dengan O2- membentuk peroksinitrit dan jika tidak, O2- akan menyebabkan

peroksidasi lipid (James, et al., 2003). Peroksidasi lipid merupakan oksidasi

sistematik asam lemak tidak jenuh, yang dalam hal ini menyusun membran sel,

menyebabkan fluiditas membran menurun sehingga nutrisi tidak bisa keluar

masuk sel. Diduga MPT terjadi bersamaan pembentukan RNS (Agarwal, et al.,

2011).

Oksidan stres akan mengaktifkan beberapa kinase, salah satunya adalah C-

Jun N-terminal kinase (JNK) yang kemudian bertranslokasi ke mitokondria. Ca2+

yang berakumulasi menginduksi terbentuknya pori transisi pemeabilitas membran

(MPT) yang melumpuhkan membran sel, pembengkakan matriks mitiokondria

dan ruptur membran, melepaskan protein intermediet seperti sitokrom c,

21
endonuklease G and Apoptosis-inducing Factor (AIF). Hanya endonuklease G dan

AIF yang bertranslokasi ke nukleus dan memicu fragmentasi DNA (McGill, 2013).

Mitokondria kekurangan ATP sehingga tidak mampu melakukan apoptosis, suatu

program kematian sel yang membutuhkan banyak energi. Diperparah dengan

degradasi DNA, sel kemudian mengalami nekrosis.

2.5.4 Biomarker hepatotoksisitas

Terdapat sejumlah biomarker untuk menilai hepatotoksisitas yang diukur

melalui serangkaian tes fungsi hati. Tes ini cenderung lebih menggambarkan

adanya kerusakan hati atau juga obstruksi saluran empedu dibandingkan menilai

fungsi hati, kecuali untuk estimasi protein serum (albumin dan protrombin).

Walaupun merupakan petunjuk yang lemah mengenai kapasitas hati untuk

memetabolisme obat, tes ini sangat bermanfaat pada pemantauan arah

perkembangan penyakit hati (setelah diagnose ditetapkan) dan respons psien

terhadap pengobatan (Kenward dan Tan, 2003).

a. Aspartat transminase dan Alanin transminase

Aspartat transminase (AST) dan Alanin transminase (ALT) mengkatalisis

reaksi reduksi gugus amino dari alanin atau aspartat ke α-ketoglutarat dan

menghasilkan glutamat dan oksaloasetat (AST) atau piruvat (ALT). . AST

terdapat di hati, otak, otot rangka dan jantung. ALT lebih banyak dijumpai di hati

dan sedikit di otot rangka dan jantung. Peningkatan ALT dan AST juga bisa

berasal dari luar hati, contohnya dari otot rangka. Hepatosit yang rusak

mengeluarkan komponen dari dalam sel termasuk ALT dan AST ke luar sel.

Enzim yang dilepaskan akhirnya masuk ke sirkulasi dan meningkatkan kadar AST

dan ALT. 80% aktivitas AST di hati manusia berasal dari isoenzim di

22
mitokondria, sedangkan sirkulasi AST pada manusia normal berasal dari isoenzim

di sitoplasma. Peningkatan AST yang tinggi terjadi ketika nekrosis di jaringan hati

sudah meluas, sehingga lebih dikaitkan dengan infark miokardAST terdapat di

mitokondria dan sitoplasma sel, sedangkan ALT hanya terdapat di sitoplasma .

Tingkat kenaikan AST dan ALT dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan

ringan. Peningkatan yang tinggi (>20 kali lipat hingga mencapai >1000 IU/L)

menandakan hepatitis virus berat, nekrosis yang diinduksi obat dan toksin lain

serta syok sirkular. Peningkatan sedang (3-20 kali lipat) biasanya terjadi pada

hepatitis akut, hepatitis neonatus, hepatitis kronik, hepatitis autoimun, hepatitis

yang diinduksi obat dan gangguan saluran empedu akut. Peningkatan ALT lebih

besar dibandingkan AST kecuali pada hepatitis kronik, bahkan AST bisa

mencapai nilai normal pada 75% penderita hepatitis akut dalam waktu 8 minggu

sejak timbulnya penyakit. Peningkatan ringan (1-3 kali lipat) biasanya dijumpai

pada hepatitis neonatus yg disebabkan sepsis, perlemakan hati, sirosis, hepatitis

steatotik non alkohol, toksisitas obat, olahraga berlebihan dan beberapa gangguan

hati lain, terkadang penigkatan ALT juga dijumpai pada orang normal (Thapa dan

Walia, 2007).

b. Total bilirubin

Total bilirubin adalah gabungan bilirubin yang terkonjugasi (langsung) dan

tidak terkonjugasi (tidak langsung). Hasil dari degradasi hemoglobin ini

merupakan marker dari cedera hepatobilier, termasuk kolestasis dan efek bilier.

Bilirubin dapat meningkat tanpa gangguan hati, misalnya karena hemolisis. Hasil

analisis bilirubin tidak langsung terhadap bilirubin tidak langsung tidak terlalu

dibutuhkan dibandingkan menilai jumlah keseluruhan (Thapa dan Walia, 2007).

23
c. ALP

ALP (alkalin fosfatase) berada di membran sel, terutama heptosit. ALP

berfungsi menghidrolisis monofosfatase pada pH basa. Beberapa isoenzim ALP

yang berasal dari hati, tulang, usus halus, ginjal dan plasenta telah diidentifikasi di

manusia dan hewan pra klinik. ALP merupakan marker utama gangguan

hepatobilier dan kolestasis, dengan peningkatan sedang sampai tinggi. Pada

sirosis bilier, ALP akan meningkat hingga 20 kali lipat dibarengi peningkatan

GGT, dengan atau tanpa peningkatan ALT (Thapa dan Walia, 2007).

d. aktivitas GGT

Aktivitas GGT (gamma glutamil transferase) berada di hati, ginjal dan

pankreas tetapi jumlahnya di hati lebih sedikit dibandingkan di ginjal. GGT

memiliki banyak fungsi seperti mengkatalisis transfer gugus glutamil ke asam

amino dan peptide rantai pendek. GGT merupakan marker penting untuk

gangguan hepatobilier khususnya kolestasis dan sensitivitasnya sangat tinggi

dengan tingkat koreksi yang rendah pada manusia. Peningkatan GGT dan ALP

membantu membedakan gangguan hati dengan tulang yang tidak disertai

peningkatan GGT (Thapa dan Walia, 2007).

e. Albumin plasma

Albumin disintesis di hati dan perubahan konsetrasi serunya merupakan

petunjuk yang berguna terhadap fungsi sintesis hati maupu tingkat penyakit hati

kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun pada penyakit hati kronis tetapi

cenderung normal (Kenward dan Tan, 2003).

24
f. Prothrombin time (PT)

Protrombin adalah faktor pembekuan darah yang disintesis di hati dan

mempunyai waktu paruh dua sampai tiga hari. Prothrombin time merupakan

waktu yang diperlukan untuk menghasilkan clot dalam kondisi standar.

Prothrombin time biasanya diukur sebagai INR (Internasional Normalised Ratio)

atau rasio antara PT pasien dengan PT kontrol normal. INR diperpanjang oleh

adanya kegagalan sel hati (berkaitan dengan sintesis oleh sel hati) dan kolestasi

(berkaitan dengan penurunan absorpsi vitamin K). PT sangat bermanfaat untuk

memperkirakan tingkat keparahan penyakit baik yang akut maupun yang kronis

(Kenward dan Tan, 2003).

25
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu untuk mengetahui

pengaruh hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (aktivitas

hepatoprotektor) dengan tahapan penyiapan sampel, identifikasi sampel,

karakterisasi serbuk simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia, pembuatan

ekstrak, karakterisasi ekstrak, skrining fitokimia ekstrak, penyiapan hewan uji,

pengujian aktivitas hepatoprotektor pada mencit jantan yang meliputi pemeriksaan

aktivitas alanin transferase (ALT), aspartat transferase (AST) dan histopatologi

hati dan pengolahan data. Na CMC 0,5% diberikan sebagai kontrol pelarut di

kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol positif diberikan rutin dosis 20

mg/kg bb sebagai perbandingan efek hepatopotektor kelompok ekstrak Data hasil

penelitian dianalisis dengan program SPSS 22.0 menggunakan uji ANOVA.

3.1 Alat-alat

Alat-alat bedah, alat-alat gelas laboratorium, alumunium foil, blender

(Miyako), cawan porselin, desikator, inkubator, kaca objek, kaca penutup, krus

porselin, lemari pengering, microtube, mikroskop cahaya, neraca analitik (Vibra

AJ), oral sonde, oven listrik (Stork), penangas air (Yenaco), penjepit tabung, rak

tabung reaksi, rotary evaporator, sentrifugator, seperangkat alat penetapan kadar

air, spektrofotometer UV (Microlet 3000), spuit injeksi, tanur (Nabertherm),

tabung reaksi, timbangan hewan (Presica).

26
3.2 Bahan

Akuades, α-naftol, asam nitrat pekat, asam asetat anhidrida, asam sulfat

pekat, Etanol (destilasi), merkuri (II) klorida, kalium iodida, iodium, bismut (III)

nitrat, asam klorida pekat, timbal (II) asetat, besi (III) klorida , buffer formalin

10%, isopropanol, kloroform, metanol, n-heksana, parasetamol, Na CMC 0,5%,

reagen kit ALT Dialab®, reagen kit AST Dialab®, rutin (Sigma Aldrich), serbuk

seng, toluen, zat warna (hematoksilin dan eosin). Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah simplisia kulit bawang merah (Allium cepa L.).

3.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus

musculus) jantan dengan berat badan 20-30 gram sebanyak 24 ekor dengan

kondisi sehat. Hewan diaklimatisasi selama 2 minggu dengan tujuan untuk

menyeragamkan makanan dan hidupnya dengan kondisi yang serba sama

sehingga dianggap memenuhi syarat penelitian.

3.4 Pengumpulan dan Pembuatan Simplisia Kulit Bawang Merah

3.4.1 Pengumpulan kulit bawang merah

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan

dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel diperoleh dari penyuplai

bawang merah di Jalan Kemenangan no. 164, Kelurahan Sidorejo Hilir,

Kecamatan Tuasan, Medan Sumatera Utara.

27
3.4.2 Identifikasi bawang merah

Identifikasi bawang merah dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA)

Universitas Sumatera Utara.

3.4.3 Pembuatan simplisia

Sampel kulit bawang merah yang digunakan dikumpulkan beberapa jam

setelah dikupas dari umbinya. Kulit dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci

hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang (diperoleh berat basah sebesar

894,2 g). Selanjutnya, sampel dikeringkan selama 7 hari dalam lemari pengering

dengan temperatur 40oC sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh).

Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk kasar lalu dimasukkan ke

dalam wadah plastik bertutup dan disimpan pada suhu kamar. Kemudian serbuk

ditimbang (diperoleh berat kering sebesar 534,8 g).

3.5 Pembuatan Pereaksi

3.5.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan

larutan 1,358 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan

ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes, RI., 1995).

3.5.2 Larutan pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml

kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml

air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih

diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes, RI.,

1995).

28
3.5.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian

ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu ditambah air suling hingga

100 ml (Depkes, RI., 1995).

3.5.4 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga

100 ml (Depkes, RI., 1978).

3.5.5 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian

asam sulfat pekat. Larutan penyemprotnya dibuat dengan 20 bagian asam asetat

anhidrida dengan 1 bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan

penyemprot ini harus dibuat baru (Harborne, 1987).

3.5.6 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh

volume 100 ml (Depkes, RI., 1989).

3.5.7 Larutan air kloroform

Sebanyak 2,5 ml kloroform dikocok dengan 900 ml air suling, encerkan

dengan air suling hingga 1000 ml (Depkes, RI., 1989).

3.5.8 Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat ditimbang dan dilarutkan dalam 20 ml air suling

(Depkes RI, 1989).

3.5.9 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 N

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas

karbondioksida secukupnya hingga 100 ml (Depkes, RI., 1989).

29
3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik

dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan

kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak

larut asam.

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap kulit bawang merah dengan

cara mengamati bentuk, ketebalan, diameter, permukaan simplisia. Pemeriksaan

organoleptis meliputi warna, bau dan rasa dari kulit bawang merah.

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia tumbuhan

dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi

dengan kloralhidrat dan ditutupi dengan kaca penutup kemudian dilihat dibawah

mikroskop.

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat,

didestilasi selama 2 jam. Kemudian toluen didinginkan selama 30 menit dan

volume air pada tabung penerima dibaca dengan 0,05 ml. Sebanyak 5 g serbuk

simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan kedalam labu yang berisi

toluen tersebut, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen

mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetesan perdetik, sampai

sebagian air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan hingga 4 tetes

perdetik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan

30
toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan

dingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air

dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air dibaca sesuai dengan

kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1998).

3.6.4 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan diudara dimaserasi selama 24

jam dengan 100 ml air-kloroform dalam labu bersumbat sambil berkali-kali

dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam lalu disaring.

Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan penguap berdasar rata

yang telah ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105o C sampai bobot tetap. Kadar

sari larut dalam air dihitung dengan persen terhadap bahan yang telah kering

(Depkes, RI., 1995).

3.6.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24

jam dengan 100 ml etanol 95% dalam labu bersumbat sambil dikocok selama 18

jam, disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol 96 %, sejumlah 20 ml

filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah

ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105o C sampai bobot tetap. Kadar sari

larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah kering

(Depkes, RI., 1995).

3.6.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan kedalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang menjadi putih, pemijaran

31
dilakukan pada suhu 500-600o C selama 3 jam kemudian didinginkan di

desikatordan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung

terhadap bahan yang telah kering (WHO, 1998).

3.6.6 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25

ml asam klorida encer selama 5 menit, Bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dan cuci dengar air pans

sampai filtrat berwarna netral. Keringkan di hot plate lalu dipija sampai bobot

tetap, kemudian didinginkan di desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar

abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang kering (WHO,

1998).

3.7 Skrining Fitokimia

3.7.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambah 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit.

Ditunggu dingin dan disaring. Filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

a. filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer, akan

terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning

b. filtrat sebanyak 3 tetes ditambah pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan

berwarna cokelat sampai hitam

c. filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan

terbentuk warna merah atau jingga

32
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari

ketiga percobaan di atas (Depkes, RI., 1989).

3.7.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g simplisia disari dengan 10 ml metanol, lalu direfluks

selama 10 menit. Kemudian disaring panas-panas melalui kertas saring kecil

berlipat. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air. Setelah dingin ditambahkan 5 ml

eter, dikocok hati-hati dan didiamkan. Lapisan metanol diambil, lalu diuapkan

pada suhu 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring. Filtrat

digunakan untuk uji flavonoida dengan cara sebagai berikut :

a. sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisa dilarutkan dalam

1 sampai 2 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam

klorida 2 N, didiamkan selama 1 menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida

pekat, dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah intensif

menunjukkan adanya flavonoida.

b. sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisa dilarutkan dalam

1 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 10 ml asam

klorida pekat, terjadi warna merah jingga, menunjukkan adanya flavonoida,

(Depkes RI, 1989).

3.7.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik.

Jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm tidak kurang dari 10

menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N menunjukkan

adanya saponin (Depkes, RI., 1989).

33
3.7.4 Pemeriksaan glikosida

Disari 3 g serbuk simplisia dengan 30 ml campuran etanol 95% dengan air

(7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N. Direfluks selama 1 jam, didinginkan dan

disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok

dan didiamkan selama 5 menit, disaring. Disaring filtrat 3 kali, tiap kali dengan 20

ml campuran kloroform-isopropanol (3:2). Sari air digunakan untuk percobaaan

berikutnyaa yaitu 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

diuapkan di atas penangas air, sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi

Molish. Tambahkan 2 ml dengan hati-hati asam sulfat pekat melalui dinding

tabung, terbentuknya cincin ungu pada kedua batas cairan menunjukkan adanya

glikosida (Depkes, RI., 1995).

3.7.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, disari dengan 10 ml air suling lalu

dipanaskan, lalu disaring. Filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna.

Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III)

klorida 1 %. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman, menunjukkan adanya

tanin (Depkes, RI., 1989).

3.7.6 Pemeriksaan steroida dan triterpenoida

Sejumlah 1 g serbuk dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring,

filtrat diuapkan di cawan penguap. Sisanya ditambahkan asam asetat anhidrat dan

asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu

atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukan adanya

steroida/triterpenoida (Depkes, RI., 1989).

34
3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Bawang Merah

Pembuatan ekstrak etanol kulit bawang merah dilakukan secara maserasi

dengan pelarut etanol 96%. Sebanyak 500 g serbuk simplisia kulit bawang merah

dimasukkan ke dalam wadah kaca, ditambahkan etanol 96% sebanyak 3,75 L,

tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai,

peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 4 L.

Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlindung dari

cahaya selama 2 hari. Dienaptuangkan atau disaring. Hasil yang diperoleh

dipekatkan dengan rotary evaporator sampai sebagian besar pelarutnya menguap

dan dilanjutkan proses penguapan di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak

kental (Depkes, RI., 1979).

3.9 Pemeriksaaan Karakterisasi Ekstrak

Pemeriksaan karakteristik EEKBM meliputi penetapan kadar air,

penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam.

Prosedur pemeriksaan ekstrak sama seperti prosedur karakterisasi simplisia.

3.10 Skrining Fitokimia Ekstrak

Prosedur pemeriksaan golongan senyawa kimia EEKBM dilakukan sama

seperti prosedur skrining fitokimia serbuk simplisia yaitu pemeriksaan flavonoid,

alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.

35
3.11 Uji Aktivitas Hepatoprotektor

3.11.1 Pembuatan suspensi Na CMC 0,5%

Pembuatan suspensi Na CMC 0,5% dilakukan dengan cara sebagai berikut:

sebanyak 0,5 gram Na CMC ditaburkan kedalam lumpang yang berisi air suling

panas sebanyak 10 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang

transparan, digerus hingga terbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air suling,

kemudian dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambah air suling sampai

batas tanda. Larutan ini digunakan sebagai pembawa EEKBM, parasetamol dan

rutin.

3.11.2 Pembuatan suspensi EEKBM

Sebanyak 300 mg EEKBM dimasukkan ke dalam lumpang dan

ditambahkan larutan Na CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai

homogen lalu dimasukkan ke labu tentukur 10 ml. Volume dicukupkan dengan

larutan Na CMC 0,5% sampai garis tanda. Prosedur yang sama dilakukan untuk

pembuatan suspensi EEKBM 450, dan 600 mg/kg bb.

3.11.3 Pembuatan suspensi parasetamol

Suspensi parasetamol dalam Na CMC 0,5% dibuat dengan cara

melarutkan 1 gram serbuk parasetamol yang telah ditimbang ke dalam larutan Na

CMC 0,5% di dalam lumpang, digerus hingga homogen lalu dimasukkan ke

dalam labu tentukur 10 ml. Volume dicukupkan dengan larutan Na CMC 0,5%

sampai garis tanda.

3.11.4 Pembuatan suspensi rutin

Suspensi rutin dibuat dengan cara memasukkan 20 mg serbuk rutin yang

telah ditimbang ke dalam lumpang kemudian ditambahkan tween 80 tetes demi

36
tetes sambil digerus hingga homogen, ditambahkan larutan Na CMC 0,5% lalu

dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml. Volume dicukupkan dengan larutan Na

CMC 0,5% sampai garis tanda.

3.11.5 Pembuatan larutan buffer formalin 10%

Larutan buffer formalin 10 % dibuat dengan penambahan 4 g NaH2PO4 dn

6,5 g Na2HPO4 ke dalam formalin 10 % (100 ml larutan formaldehid 40%

ditambah akuades 900 ml) kemudian dicukupkan dengan akuades sampai 1000

ml.

3.11.6 Pengujian hewan uji

Hewan uji dibagi atas 6 kelompok dan masing-masing terdiri dari 4 hewan

percobaan. Pengujian aktivitas hepatoprotektor dijelaskan sebagai berikut:

a. kelompok I: normal, hewan uji tidak diberi perlakuan apapun. Makanan dan

minuman diberikan secara ad libitum.

b. kelompok II: kontrol negatif, hewan uji diberikan Na CMC 0,5% sekali sehari

selama 14 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1

g/kg bb 6 jam setelah pemberian Na CMC 0,5% pada hari ke-14. Makanan

dan minuman diberikan secara ad libitum.

c. kelompok III: kontrol positif, hewan uji diberikan suspensi rutin dosis 20

mg/kg bb sekali sehari selama 14 hari berturut-turut diikuti pemberian

parasetamol dosis tunggal 1 g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada

hari ke-14. . Makanan dan minuman diberikan secara ad libitum.

d. kelompok IV: hewan uji diberikan EEKBM dosis 300 mg/kg bb sekali sehari

selama 14 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1

37
g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-14. . Makanan dan

minuman diberikan secara ad libitum.

e. kelompok V : hewan uji diberikan EEKBM dosis 450 mg/kg bb sekali sehari

selama 14 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1

g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-14. . Makanan dan

minuman diberikan secara ad libitum.

f. kelompok VI: hewan uji diberikan EEKBM dosis 600 mg/kg bb sekali sehari

selama 14 hari berturut-turut diikuti pemberian parasetamol dosis tunggal 1

g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-14. . Makanan dan

minuman diberikan secara ad libitum.

3.11.7 Pengukuran ALT dan AST

Pengambilan darah dilakukan 24 jam setelah pemberian parasetamol. Mencit

didislokasi di leher kemudian dibedah dan darah diambil menggunakan jarum

suntik langsung dari jantung mencit sebanyak 0,5 ml, setelah itu dimasukkan ke

dalam microtube dan didiamkan ± 20 menit. Darah disentrifuge dengan

kecepatan 3000 rpm selama 20 menit untuk mendapatkan serum darah mencit.

Pengukuran ALT dan AST berdasarkan reaksi enzimatik menggunakan reagen kit

Dialab® (R1 dan R2). Larutan sampel berisi campuran reagen 1 dan reagen 2

dengan perbandingan 4:1. Sebanyak 1000µl reagen kit ALT dan AST masing-

masing direaksikan dengan 100µl sampel, divortex dan diinkubasi pada suhu

kamar selama 1 menit selanjutnya absorban sampel dibaca setelah 1,2 dan 3 menit

menggunakan Microlet 3000 pada panjang gelombang 340 nm dan suhu 37oC.

Prosedur penetapan aktivitas katalisator ALT dan AST berdasarkan prosedur kerja

dari Dialab®. Kemudian dibandingkan rata-rata ALT dan AST antar kelompok.

38
Dikatakan adanya aktivitas hepatoprotektor apabila ALT dan AST dari EEKBM

lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol negatif (Na CMC 0,5% +

parasetamol). Pemeriksaan ALT dan AST dilakukan di Laboratorium Kesehatan

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

3.11.8 Pemeriksaan kerusakan organ hati mencit

3.11.8.1 Pemeriksaan makroskopik

Mencit dibedah kemudian diambil organ hati dan dicuci dengan larutan

NaCl 0,9% untuk membersihkan sisa darah yang menempel. Pengamatan

dilakukan dengan mengamati warna dan tekstur permukaan hepar mencit.

3.11.8.2 Pembuatan preparat histologi (tissue processing) dan pemeriksaan


mikroskopik

Jaringan yang akan dibuat preparat histologi difiksasi dalam larutan buffer

formalin 10% minimal 4 jam hingga mengeras (matang). Sampel organ yang

terfiksasi dengan sempurna ditrimming setebal ± 0,5 cm. Potongan kemudian

dimasukkan dalam tissue cassette untuk dimasukkan dalam automatic tissue

processor. Di dalam tissue processor jaringan melalui beberapa tahap pemrosesan

preparat. Jaringan yang dipilih akan direndam secara berurutan ke dalam 12

tabung berisi berbagai reagen sebagai berikut:

a. tabung I dan II berisi formalin 10 % masing-masing selama 2 jam. Proses ini

dinamakan fiksasi (fixation), tujuannya untuk mengurangi efek penyusutan sel

selama proses dehidrasi.

b. tabung III berisi alkohol 70% selama 1 jam, tabung IV berisi alkohol 96%

selama 1 jam dan tabung V, VI dan VII berisi etanol absolut, masing-masing

selama 1 jam. Proses ini disebut dehidrasi (dehydration) yang bertujuan untuk

menarik cairan yang berasal dari jaringan yang telah difiksasi.

39
c. tabung VIII, IX dan X berisi xylene, masing –masing selama 1,5 jam. Proses

ini disebut pembeningan (clearing), bertujuan mengeluarkan alkohol sehingga

parafin bisa masuk ke dalam jaringan.

d. tabung XI dan XII berisi paraffin masing-masing selama 2 jam. Proses

pengisian paraffin ke dalam pori-pori jaringan ini dinamakan infiltrasi,

bertujuan mengeraskan jaringan agar mudah dipotong dengan microtome.

Tissue cassette berisi jaringan dikeluarkan dan dilakukan proses embedding,

yaitu jaringan diletakkan di mould dan ditambahkan paraffin bersuhu 56oC dan

dibiarkan membeku di cold area dari embedding centre. Penyayatan jaringan

(sectioning) dilakukan setelah sebelumnya dibentuk (trimming) menggunakan

microtome dengan ketebalan 3-4 μm, hasil sayatan dipindahkan ke kaca objek dan

dipindahkan ke penangas air agar ukuran sayatan mendekati ukuran sebenarnya

dengan bantuan air hangat. Jaringan diwarnai dengan metode Hematoxylin-Eosin

sebagai berikut :

a. xylol I selama 5 menit

b. xylol II selama 5 menit

c. etanol I selama 5 menit

d. etanol II selama 5 menit

e. alkohol 96% selama 5 menit

f. alkohol 80% selama 5 menit

g. alkohol 70% selama 5 menit

h. air mengalir selama 5 menit

i. hematoxylin 5 menit

j. air mengalir selama 1-2 menit

40
k. HCl 0,1% selama 2 menit

l. eosin selama 5 menit

m. air mengalir selama 5 menit

Jaringan yang sudah diwarnai ditutup dengan kaca penutup dengan

penambahan Entellan sebagai perekat. Pembuatan preparat histologi dilakukan di

laboratorium patologi anatomi RS Murni Teguh Medan. Hasil kemudian diamati

di bawah mikroskop.

3.11.9 Analisis data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program SPSS 22.0.Data hasil

penelitian ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan analisis

statistik yang digunakan. Data dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA

untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara kelompok dengan uji Post Hoc

Tukey untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan.

41
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Kulit Bawang Merah

4.1.1 Pemeriksaan makroskopik dan karakterisasi simplisia dan ekstrak

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Herbarium Medanense Universitas

Sumatera Utara terhadap sampel yang diteliti adalah tumbuhan bawang merah

(Allium cepa L.) suku Liliaceae (Lampiran 1).

Hasil pemeriksaan secara makroskopik yang dilakukan terhadap kulit

tumbuhan bawang merah (Allium cepa L.) yaitu berwarna merah, berbentuk tidak

beraturan dan lembaran tipis, panjang ± 6 cm dan lebar ± 5 cm, mempunyai bau

dan rasa yang lebih lemah dari umbi bawang merah (Lampiran 2).

Hasil pemeriksaan secara mikroskopik yang dilakukan terhadap serbuk

simplisia kulit bawang merah yaitu terlihat serabut skelerenkim, parenkim dengan

sel berisi tetesan minyak, kristal kalsium oksalat bentuk prisma dan trakea dengan

penebalan tangga (Lampiran 5). Hasil karakterisasi serbuk simplisia kulit bawang

merah dapat dilihat pada Tabel 4.1.dan Lampiran 6.

Tabel 3.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia & EEKBM

Kadar (%)
No Karakteristik serbuk simplisia
Simplisia Ekstrak
1 Kadar air 4,00 1,67
2 Kadar sari larut dalam air 6,63 -
3 Kadar sari larut dalam etanol 12,80 -
4 Kadar abu total 12,66 3,47
5 Kadar abu tidak larut dalam asam 3,25 0,24

42
Hasil karakterisasi serbuk simplisia memenuhi syarat berdasarkan

persyaratan pada Materia Medika Indonesia (MMI) edisi VI yang menyantumkan

kadar air tidak lebih dari 10%, sedangkan kadar air simplisia yang diperoleh

adalah 4,00% dan kadar air ekstrak 1,67%. Pemeriksaan kadar air penting untuk

mengetahui kandungan air dalam simplisia, khususnya yang mudah mengabsopsi

air dan membusuk akibat kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan

meningkatkan pertumbuhan bakteri, dan jamur (WHO, 1992).

Penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol untuk mengetahui

banyaknya sari larut dalam pelarut air dan etanol. Senyawa yang dapat larut dalam

air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan asam organik.

Kadar sari larut air simplisia diperoleh 6,63%. Kadar sari larut etanol simplisia

yang diperoleh 12,80%. Penetapan kadar sari dilakukan untuk mengetahui

kandungan senyawa kimia yang larut dalam air maupun dalam etanol. Senyawa

yang dapat larut dalam etanol adalah glikosida, antrakinon, steroida, flavonoida,

klorofil, dan dalam jumlah sedikit yaitu lemak dan saponin (Depkes, 1979).

Penetapan kadar abu total untuk mengetahui jumlah keseluruhan material

setelah pembakaran, terdiri dari abu fisiologis yang berasal dari tumbuhan itu

sendiri dan abu non-fisiologis yang berasal dari luar (pasir dan tanah) yang

menempel di permukaan tumbuhan. Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

bertujuan mengukur kandungan silika. Kadar abu total simplisia adalah 12,66%

dan kadar abu tidak larut asam simplisia adalah 3,25% , sedangkan kadar abu total

ekstrak adalah 3,47% dan kadar abu tidak larut asam ekstrak adalah 0,24%. Hasil

penyarian 500 gram serbuk simplisia kulit bawang merah dengan pelarut etanol

96% diperoleh ekstrak kental 74,02 gram (rendemen 14,80%).

43
4.1.2 Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak

Penentuan golongan senyawa kimia simplisia dan EEKBM dilakukan

untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang

terdapat di dalamnya. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap simplisia dan

ekstrak adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin,

glikosida dan steroid/triterpenoid. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan

EEKBM dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan EEKBM


No Pemeriksaan Serbuk simplisia Ekstrak
1 Alkaloida - -
2 Flavonoida + +
3 Saponin + +
4 Tanin + +
5 Glikosida + +
6 Steroid/Triterpenoid + +

Tabel tersebut menunjukkan bahwa simplisia dan EEKBM memiliki

kandungan senyawa kimia yang sama yaitu flavonoid, tanin, saponin dan

steroid/triterpenoid. Ini disebabkan oleh sifat etanol yang memiliki gugus

hidroksil polar dan gugus alkil yang bersifat nonpolar (Wilbraham dan

Matta,1992). Selain itu, pelarut etanol sangat efektif untuk mengikat senyawa-

senyawaseperti fixed oils, lemak, lilin, alkaloid, flavon, polifenol, tanin, saponin,

aglikon dan glikosida (Filho, 2006).

44
4.2 Hasil uji aktivitas hepatoproktektor

4.2.1 Hasil pengukuran ALT dan AST

Pengukuran ALT dan AST dilakukan pada hari ke-15, 24 jam setelah

pemberian parasetamol. Hasil pengukuran dapat dilihat secara rinci pada Tabel

4.3.

Tabel 4.3 ALT dan AST mencit dengan perbedaan perlakuan di setiap kelompok
(Mean ± SE) hasil analisis secara statistik SPSS metode One Way
ANOVA

Kelompok ALT (IU/L) AST (IU/L)


Tanpa perlakuan 139,77 ± 17,15 210,85 ± 14,98
Na- CMC 0,5% 1369,87 ± 101,20a 2086,35 ± 177,36a
Rutin 20 mg/kg bb + parasetamol 193,77 ± 9,08b 354,22 ± 17,28b
EEKBM 300 mg/kg bb +
755,17 ± 15,25ab 1051,00 ± 23,57ab
parasetamol
EEKBM 450 mg/kg bb +
528,00 ± 6,07ab 803,40 ± 19,96ab
parasetamol
EEKBM 600 mg/kg bb +
313,70 ± 9,13b 472,95 ± 9,82b
parasetamol
Ket : a data berbeda signifikan (p < 0,05) terhadap kelompok tanpa perlakuan.
b
data berbeda signifikan (p < 0,05) terhadap kelompok kontrol negatif (Na
CMC 0,5%)

Tabel menunjukkan kelompok kontrol negatif dengan ALT 1369,87 IU/L

dan AST 2086,35 IU/L. berbeda signifikan dengan kelompok tanpa perlakuan

(p < 0,05) dengan ALT 139,77 IU/L dan AST 210,85 IU/L. Kelompok kontrol

positif dengan ALT 193,77 IU/L dan AST 354,22 IU/L tidak berbeda signifikan

(p > 0,05) dengan kelompok taanpa perlakuan. Kelompok EEKBM 300 mg/kg

bb dengan nilai ALT 755,17 IU/L dan nilai AST 1051,00 IU dan kelompok

EKKBM 450 mg/kg bb dengan ALT 528,00 IU/L dan AST 803,40 IU/L berbeda

signifikan dengan kelompok tanpa perlakuan dan kontrol negatif. Kelompok

EEKBM 600 mg/kg bb dengan nilai ALT 313,70 IU/L dan AST 472,95 IU/L

45
tidak berbeda signifikan dengan kelompok tanpa perlakuan. Grafik hasil

pengukuran ALT dan AST dapat dilihat di Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

2000 1369,87 ± 101,20


1800
1600
1400
1200
ALT

1000
800 755,17 ± 15,25
528,00 ± 6,07
600
400 313,70 ± 9,13
193,77 ± 9,08
200 139,77 ± 17,15
0
Normal Kontrol (-) Kontrol (+) EEKBM 300 EEKBM 450 EEKBM 600
Na CMC (rutin 20 mg/kg bb mg/kg bb mg/kg bb
0,5% mg/kg bb)

Gambar 4.1 Grafik ALT mencit jantan yang diukur setelah pemberian
parasetamol 1g/kg bb pada hari ke-14. Data berupa mean ± SE
(n=4). Kelompok normal tidak diberi perlakuan.

3500
2086,35 ± 177,36
3000

2500

2000
AST

1500
1051,00 ± 23,57
1000 803,40 ± 19,96
354,22 ± 17,28 472,95 ± 9,82
500 210,85 ± 14,98

0
Normal Kontrol (-) Kontrol (+) EEKBM 300 EEKBM 450 EEKBM 600
Na CMC rutin (20 mg/kg bb mg/kg bb mg/kg bb
0,5% mg/kg bb)

Gambar 4.2 Grafik ALT AST mencit jantan yang diukur setelah pemberian
parasetamol 1g/kg bb pada hari ke-14. Data berupa mean ± SE
(n=4). Kelompok normal tidak diberi perlakuan.

46
Meskipun nilai ALT dan AST EEKBM 300 mg/kg bb dan EEKBM 450

mg/kg bb berbeda signifikan terhadap kontrol negatif, keduanya juga berbeda

secara signifikan terhadap kontrol positif (rutin), sehingga dapat disimpulkan

bahwa EEKBM 300 mg/kg bb dan EEKBM 450 mg/kg bb mampu menghambat

kenaikan nilai ALT dan AST akibat induksi parasetamol, namun efeknya belum

sebanding dengan kelompok kontrol positif (rutin 20 mg/kg bb). Hal ini mungkin

dipengaruhi perbedaan komposisi kuersetin, flavonoid yang diyakini memiliki

aktivitas hepatoprotektif, tergantung pada bagian dari bawang merah. Kuersetin

berada dalam bentuk glukosida (kuesetin 3,4-glukosida, kuersetin-4’-glukosida

dan kuersetin-3’-glukosida) dengan total 53,5% di lapisan umbi, sedangkan di

kulit terluar kuersetin dalam bentuk aglikon sebanyak 53,2% (Wiczkowski, et al.,

2003). Meskipun aglikon kuersetin yang mempunyai efek antioksidan namun

lebih sulit diserap karena sifatnya yang lebih lipofilik sehingga sulit mencapai

lapisan dinding usus halus, selain juga karena aglikon tidak stabil pada pH dan

temperatur usus halus. Ikatan gula dengan aglikon membantu meningkatkan

absorpsi di usus halus, karena gula yang terikat secara aktif dihidrolisis oleh β–

glukosidase di brush border usus halus yang mempunyai afinitas yang tinggi

terhadap glukosida (Graefe, et al., 2001).

Kelompok EEKBM 600 mg/kg bb tidak berbeda signifikan dengan

kelompok tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan EEKBM 600 mg/kg bb

mempunyai efek menghambat peningkatan ALT dan AST yang sebanding dengan

kontrol positif (rutin 20 mg/kg bb). Secara keseluruhan dapat dilihat adanya

penghambatan peningkatan ALT dan AST hingga nilai menuju normal seiring

47
peningkatan dosis EEKBM, sehingga menjadi petunjuk adanya hubungan

peningkatan dosis dengan kemampuan penghambatan.

Nilai AST dan ALT merupakan biomarker yang sangat sensitif sehingga

bisa digunakan dalam penilaian hati atau liver test (LT). Apabila membran plasma

hepatosit rusak, enzim yang normalnya berada di sitosol keluar menuju aliran

darah. Nilai AST yang lebih tinggi dibandingkan ALT mengindikasikan bahwa

kerusakan sudah mencapai mitokondria karena AST berada di sitoplasma dan juga

mitokondria. Pemeriksaan AST dan ALT biasanya dilakukan untuk menilai tipe

dan luas kerusakan sel. Peningkatan yang tinggi (>20 kali lipat hingga mencapai

>1000 IU/L) menandakan hepatitis virus berat, nekrosis yang diinduksi obat dan

toksin lain serta syok sirkular (Iyanda and Adeniyi, 2011; Thapa and Walia,

2007).

4.2.2 Gambaran Kerusakan Organ Hepar

4.2.2.1 Gambaran makroskopik organ hati

Pengamatan makroskopik organ hati dilakukan dilakukan pada hari ke-15,

24 jam setelah pemberian parasetamol. Mencit yang masih hidup dikorbankan

dengan cara dislokasi leher kemudian dibedah untuk diambil hatinya. Hasil

pengamatan mikroskopik dapat dilihat di Gambar 3.3

P1 P2 P3 P4 P5 P6

Gambar 4.3 Pemeriksaan makroskopik organ hati mencit jantan yang diambil
dari mencit setelah didislokasi pada hari ke-15. Keterangan: P1 = tanpa
perlakuan; P2 = kontrol negatif (Na CMC 0,5%); P3 = kontrol positif (rutin 20
mg/kg bb); P4,P5,P6 = EEKBM dosis 300, 450, dan 600 mg/kg bb.

48
Hasil menunjukkan adanya perbedaan warna yang cukup jelas pada kontrol

negatif yaitu organ berwarna coklat muda atau cenderung kuning pucat jika

dibandingkan dengan kelompok lainnya, namun tekstur organ dari setiap

kelompok perlakuan semuanya tidak terdapat perbedaan yakni memiliki tekstur

yang licin.

4.2.2.2 Gambaran mikroskopik organ hati

Pembuatan preparat histologi organ hati dilakukan setelah pengamatan

makroskopik. Proses pembuatan preparat memakan waktu 7 hari, kemudian

pengamatan mikroskopik dilakukan untuk menentukan derajat kerusakan sel-sel

hepar akibat pemberian parasetamol dan efek hepatoprotektor EEKBM.

Berdasarkan pengamatan histopatologi ini dapat diamati kerusakan organ pada

tingkat yang tidak terlihat melalui pengamatan makroskopik.

49
P1 P2

P3 P4

P5 P6

Gambar 4.4 Histopatologi jaringan hati mencit perbesaran 10 x 10. Keterangan:


P1 = tanpa perlakuan; P2 = kontrol negatif (Na CMC 0,5%);
P3 = kontrol positif (rutin 20 mg/kg bb); P4,P5,P6 = EEKBM
dosis 300, 450, dan 600 mg/kg bb. Tampak perdarahan yang
meluas pada kelompok kontrol negatif, kemudian berkurang pada
kelompok EEKBM 300 mg/kg bb dan 450 mg/kg bb dan akhirnya
tidak tampak sama sekali pada kelompok EEKBM 600 mg/kg bb.

50
VS
VS

P1 P2

VS
VS

P3 P4

VS
VP

P5 P6

Gambar 4.5 Histopatologi jaringan hati mencit jantan perbesaran 10 x 40.


Cedera hati akibat induksi parasetamol ditandai dengan
pendarahan (lingkaran), degenerasi hidropik (panah hitam) yang
bersifat reversibel dan nekrosis yang bersifat ireversibel dengan
ciri inti mengalami piknosis (panah biru), karyolisis (panah hijau)
dan karyoreksis (panah merah). Keterangan: P1 = tanpa
perlakuan; P2 = kontrol negatif (Na CMC 0,5%); P3 = kontrol
positif (rutin 20 mg/kg bb); P4,P5,P6 = EEKBM dosis 300, 450,
dan 600 mg/kg bb; VS = vena sentral; VP = vena porta.

51
Nekrosis adalah tipe kematian sel yang berkaitan dengan hilangnya

integritas membran dan bocornya komponen sel yang berujung pada disolusi sel,

menghasilkan proses degradasi sel yang mati oleh enzim. Komponen sel yang

bocor akan memicu reaksi lokal yaitu inflamasi yang berusaha mengeliminasi sel

yang mati dan memulai program regenerasi sel. Nekrosis adalah tipe cedera yang

bersifat ireversibel, ditandai dengan vakuolasi, pembengkakan sel, degradasi inti

dan pelepasan secara masif isi dari sel yang berada dalam area toksisitas yang

luas (Jaeschke, 2013).

Secara histopatologi, cedera hati akibat paparan parasetamol dosis toksik

dapat ditandai dengan pendarahan yang luas, kongesti vena sentral yang disertai

dengan rusaknya endothelium, degenerasi hidropik, nekrosis perivenular, steatosis

mikrovesikular dan perubahan inti (Shahid dan Subhan, 2014). Kongesti pada

jaringan parenkim hati mencit bisa terjadi sebelum atau sesudah nekrosis. Studi

morfologi oleh Walker, dkk. menunjukkan kongesti berasal dari akumulasi sel

darah merah ke dalam vakuola endositik dan rongga Disse karena sel endotel

sinusoid membengkak dan perfusinya menurun (Hinson, et al., 2010). Degenerasi

hidropik atau swelling merupakan tahap awal terjadinya nekrosis yang ditandai

dengan hepatosit yang membengkak, di mana terdapat vakuola berbentuk bundar

dan berwarna pucat yang disebabkan lumpuhnya aktivitas pompa ion di plasma

membran sehingga tidak mempu mempertahankan keseimbangan ion dan cairan

(Kumar, et al., 2013). Dilatasi RE merupakan konsekuensi dari meningkatnya

aktivitas CYP P450 yang juga menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) yang

nantinya mempengaruhi permeabilitas membran plasma dan menyebabkan

swelling. Steatosis mikrovesikular (fatty change) merupakan gangguan

52
metabolisme lemak akibat hepatosit yang rusak, dengan ciri pernumpukan lemak

dengan ukuran yang kecil, bulat, dan jernih di sitoplasma (Featherstone, 2008).

Baik degenerasi hidropik maupun steatosis merupakan perubahan morfologi yang

bersifat nonletal dan reversibel, namun dapat berubah menjadi ireversibel apabila

disfungsi mitokondria tidak dapat dikoreksi dan gangguan fungsi membran

terjadi. Nekrosis perivenular adalah bentuk kematian sel yang terjadi di sekeliling

vena, baik vena sentral maupun vena porta. Hal ini dapat terjadi jika dosis obat

yang menginduksi nekrosis cukup tinggi, seperti pada penelitian ini di mana dosis

parasetamol yang diberikan sebesar 1 g/kg bb. Pemilihan dosis pemberian

parasetamol 1 g/kg bb untuk mencit didasarkan pada penelitian oleh Jaeschke, et

al., yang menyimpulkan dosis ≥ 200 mg untuk mencit yang dipuasakan dan ≥ 400

mg untuk mencit yang tidak dipuasakan mampu menginduksi toksisitas hati yang

signifikan. Konversi dosis menunjukkan dosis 1 g/kg bb untuk mencit dengan bb

20 g setara dengan 7,758 g untuk manusia dengan berat 70 kg. Hal ini sesuai

dengan data klinis di Amerika Serikat di mana dosis tunggal ≥ 7,5-10 g untuk

orang dewasa menyebabkan hepatotoksitas dan harus segera dievaluasi dan

diberikan intervensi medis (Bunchorntavakul and Reddy, 2013). Perubahan inti

merupakan hasil akhir dari kerusakan sel, yaitu pemecahan DNA dan kromatin

yang ditandai inti sel menjadi samar (karyolisis), mengecil dan berwarna

kehitaman (piknotik), kemudian pecah (karyoreksis) (Kumar, et al., 2013).

Berdasarkan Gambar 3.3, gambaran histopatologi EEKBM 300 mg/kg bb

dan EEKBM 450 mg/kg bb masih menunjukkan ciri nekrosis jika dibandingkan

dengan kontrol negatif, walaupun begitu peningkatan dosis ekstrak nyatanya

menunjukkan perbedaan. Gambaran histopatologi EEKBM 300 mg/kg bb

53
menunjukkan pendarahan yang cukup luas yang berawal dari vena sentral

kemudian melebar secara radial. Perbesaran 40 x 10 memperlihatkan ekstravasasi

eritrosit di sepanjang sinusoid. Steatosis (fatty change) dan degenerasi hidropik

juga tersebar di jaringan parenkim hati. Pada gambaran histopatologi EEKBM 450

mg/kg bb area sentrilobular dan periportal menunjukkan penurunan luas

pendarahan dan degenerasi hidropik. Gambaran histopatologi EEKBM 600 mg/kg

bb menunjukkan perbaikan yang signifikan, ditandai dengan degenerasi hidropik

yang cukup luas dan vena sentral yang normal dan tidak dijumpai pendarahan..

Gambaran yang bersifat reversibel ini menunjukkan bahwa EEKBM 600 mg/kg

bb mampu menurunkan stres oksidatif sehingga tidak sampai menimbulkan

nekrosis perivenular seperti pada kontrol negatif. Evaluasi kerusakan jaringan hati

dari setiap kelompok perlakuan dirangkum dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Evaluasi histopatologi hati mencit akibat induksi parasetamol pada
tiap kelompok perlakuan

Kelompok Degenerasi Hidropik Nekrosis Pendarahan


P1 - - -
P2 +++ +++ +++
P3 + + -
P4 ++ ++ +++
P5 + ++ ++
P6 +++ + -

Tingkat keparahan kerusakan hati dievaluasi berdasarkan skor berikut:


(-) = normal; (+) = ringan; (++) = sedang; (+++) = berat.
Keterangan: P1 = tanpa perlakuan; P2 = kontrol negatif (Na CMC 0,5%);
P3 = kontrol positif (rutin 20 mg/kg bb); P4,5,6 = EEKBM dosis 300, 450, dan
600 mg/kg bb.

Terdapat hipotesis bahwa stres oksidatif atau keadaan di mana ROS

(reactive oxygen species) berlebih dianggap lebih tepat sebagai konsekuensi

dibandingkan penyebab kerusakan sel, namun begitu produksinya terjadi segera

54
setelah deplesi glutation (GSH) dan menjadi titik awal proses kematian sel dalam

beberapa jam (Jaeschke and Bajt, 2005). Terlebih lagi, toksisitas berkembang

hanya setelah onset stres oksidatif tercapai dan mitokondria mengalami disfungsi,

sehingga dengan mencegah fenomena ini akan melindungi sel dari kematian

karena induksi parasetamol. Pengikatan NAPQI-protein di mitokondria sel

dianggap sebagai pemicu meningkatnya stres oksidatif. Umumnya ROS yang

dihasilkan dalam mekanisme toksisitas ini adalah superoksida (O2−), yang

berdismutasi dengan katalisator superoxide dismutase (SOD) menjadi hidrogen

peroksida (H2O2) yang berubah menjadi HO- melalui reaksi Fenton. Superoksida

juga bereaksi dengan nitrit oksida (NO-) membentuk peroksinitrit yang

selanjutnya menitrasi protein menjadi nitrotirosin dan melangsungkan rangkaian

tahap kematian sel (Jaeschke et al., 2012). Selain hepatosit, sel non-parenkim

seperti sel Kupffer dan sel endotel sinusoid juga terlibat dalam produksi ROS dan

RNS (Christ dan Bruckne, 2012).

Studi oleh Wiczkowski, et al., menunjukkan bahwa kandungan kuersetin

dalam kulit bawang merah berkisar antara 25-35 mg/g, sedangkan dalam lapisan

umbinya 4-7 mg/g. Melimpahnya bentuk aglikon di kulit bawang merah

berhubungan dengan fungsinya sebagai proteksi terhadap sinar UV B matahari

(Wiczkowski et al, 2003). Durgo, et al., dalam penelitiannya menunjukkan

kemampuan utama kuersetin sebagai antioksidan melalui pengikatan radikal bebas

O2- dan H2O2 yang ditandai penurunan kadar malondialdehid (MDA) dalam darah

dan urin. Kadar MDA adalah hasil dari peroksidasi lipid yang diperantarai O2- dan

H2O2. Selain itu kuersetin dapat meningkatkan kadar GSH dalam sel CK2 dan sel

HEp2. Aktivitas GSH (glutation) dalam keadaan normal akan mendetoksifikasi

55
NAPQI melalui 3 cara: (i) konjugasi yang dikatalisis GST (glutation-S-

transferase), (ii) reaksi kimia dengan NAPQI untuk membentuk konjugat, dan (iii)

donasi proton atau hidrogen ke NAPQI atau agen radikal yang bersifat

elektrofilik (Durgo, et al., 2007). Menurut Jaeschke dan Bajt, pengikatan NAPQI

ke protein mitokondria berkorelasi dengan potensinya sebagai penyebab

kerusakan sel namun dibutuhkan beberapa peran lain yang dapat meningkatkan

toksisitas agar dapat menyebabkan kematian sel. Hal tersebut juga didukung oleh

data banyaknya intervensi farmakologi yang dapat melindungi seperti aktivitas

antioksidan dan pencegahan terhadap kerusakan mitokondria, namun tidak

mempengaruhi pembentukan NAPQI dan pengikatannya dengan protein.Oleh

karena itu, intervensi terhadap ikatan NAPQI -protein lewat inhibisi metabolisme

parasetamol maupun pengikatan NAPQI akan meningkatkan protektivitas

terhadap kerusakan sel yang diinduksi parasetamol (McGill, 2013; Jaeschke dan

Bajt, 2005).

56
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

a. EEKBM menunjukkan aktivitas sebagai hepatoprotektor.

b. EEKBM dosis 300, 450 dan 600 mg/kg bb dapat menghambat peningkatan

aktivitas ALT dan AST. EEKBM dosis 300 mg/kg bb dengan ALT 755,17

IU/L dan AST 1051,00 IU/L, EEKBM dosis 450 mg/kg bb bb dengan ALT

528,00 IU/L dan AST 803,00 IU/L, dan EEKBM dosis 600 mg/kg bb

dengan ALT 313,70 IU/L dan AST 472,95 IU/L menunjukkan perbedaan

signifikan (p < 0,05) terhadap kelompok kontrol negatif dengan ALT 1369,87

IU/L dan AST 2086,35 IU/L .

c. pemberian EKKBM dosis 300, 450 dan 600 mg/kg bb menunjukkan adanya

penurunan kerusakan jaringan hati pada pemeriksaan histopatologi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa EEKBM secara preventif

memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor, sehingga disarankan kepada peneliti

selanjutnya untuk meneliti efek hepatoprotektif EEKBM secara kuratif atau

setelah diinduksi parasetamol.

57
DAFTAR PUSTAKA

Adlia, F. (2014).Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Rimpang Temu


Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Tikus Putih Jantan yang
Diinduksi Parasetamol. Skripsi. Medan: Program Ekstensi Sarjana Farmasi
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Barret, K., Brooks, H., Boitano, S., dan Barman, S. (2010). Ganong’s Review of
Medical Physiology. 23rd Edition. New York: McGraw Hill Companies,
Inc. Hal. 479; 481-482.

Bunchorntavakul, C., dan Reddy, K.R. (2013). Acetaminophen-related


Hepatotoxicity. Clinical Liver Disease. 17(13): 590.

Christ, B. dan Brückner, S. (2012). Rodent Animal Models for Surrogate Analysis
of Cell Therapy in Acute Liver Failure. Frontiers in Physiology. 3(78): 1.

Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Direktorat


Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Hal. 302-306, 321-325, 336.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Edisi VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 323-325.

Domitrović, R., Jakovac, H., Marchesi, V.V., Vladimir-Knežević, S., Cvijanović,


O., Tadić, Z., Romić, Z., dan Rahelić, D. (2012). Differential
Hepatoprotective Mechanisms of Rutin and Quercetin in CCl4-Intoxicated
BALB/Cn Mice. Acta Pharmacologica Sinica. 33: 1260–1270.

Durgo, K., Vukovic, L., Rusak, G., Osmak, M., dan Colic, J.K. (2007) .Effect of
Flavonoids on Glutathione Level, Lipid Peroxidation and Cytochrome
P450 CYP1A1 Expressionin Human Laryngeal Carcinoma Cell Lines.
Food Technology Biotechnology. 45(1): 74-76.
.
Featherstone, B. (2008).Causes of Liver Disease and Dysfunction. Dalam: Drugs
and the Liver. Illinois: Pharmaceutical Press. Hal. 5-15.

Filho, M. (2006). Bioactive Phytocompunds: New Approaches in the


Phytosciences. Dalam: Modern Phytomedicine. Editor: Iqbal Ahmad,
Farrukh Aqil and Mohammad Owais. Wilheim: Wiley-VCH. Hal. 9-10.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung : Penerbit ITB. Hal. 151.

Graefe, E.U., Wittig, J., Silke Mueller, S., Riethling, A.K., Uehleke, B.,
Drewelow, B., Pforte, H., Jacobasch, Derendorf, H., dan Veit, M. (2001).
Pharmacokinetics and Bioavailability of Quercetin Glycosides in Humans.
Journal of Clinical Pharmacology. 41(5): 492-499.

58
Gregorio, R.M., Falcòn M.S.G., Gándara , J.S., Rodrigues, A.S., Almeida, D.P.F.
(2010). Identification and quantification of flavonoids in traditional
cultivars of red and white onions at harvest. Journal of Food Composition
and Analysis. 23: 592-598.
Hall, R. (2007). Clinical Pathology of Laboratory Animals. In: Animal Models of
Toxicology. 2nd Edition. Florida: CRC Press. Hal. 815.

Hinson, J.A., Roberts, D.W., dan James, L.P. (2010). Mechanisms of


Acetaminophen-Induced Liver Necrosis. Handbook of Experimental
Pharmacology. 196(12): 373-374.

Holt, A. dan Smith, A. (2008). An Introduction to The Anatomy of The Liver. In:
Drugs and the Liver. Illinois: Pharmaceutical Press. Page 5-15.
Iyanda, A.A., dan Adeniyi, F.A.A. (2011). Biochemical and Histologic
Presentations of Female Wistar Rats Administered with Different Doses of
Paracetamol/Methionine. Nigeria Journal of Physiology and Science. 26:
155-156.

Jaeschke, H., Williams, C.D., McGill, MR., Xie, Y., dan Ramchandran, A.
(2013). Models of Drug-induced Liver Injury for Evaluation of
Phytotherapeutics and Other Natural Products. Food Chemistry
Toxicology. 5(55): 279-289.

James, L.P, Mayeux, P.R., dan Hinson, J.A. (2003). Acetaminophen-Induced


Hepatotoxicity. Drug Metabolism and Disposition. 23(13): 1490-1506.

Lewis, P. N. (2008). Drugs and The Liver. London: Pharmaceutical Press. Hal.59-
60.

Kenward, R., dan Tan, C.K. Penggunaan Obat pada Gangguan Hati. Dalam:
Farmasi Klinis. Jakarta : Gramedia Elex Computindo. Hal. 160-161.

Kumar, V., Abbas, A.K., dan Aster, J.C. (2013). Robbin’s Basic Pathology.
Philadelphia: Elsevier. Hal. 6-9.

Materska, M. (2008). Quercetin And Its Derivatives: Chemical Structure And


Bioactivity – A Review. Polish Journal Of Food And Nutrition Sciences.
58 (4): 407-413.

Murli, K. (2013). Microscopic Anatomy of the Liver. Clinical Liver Disease. 2


(1): 4-6.
Nirmala, M., Girija, K., Lakshman, K., dan Divya, T. (2012). Hepatoprotective
Activity of Musa Paradisiaca on Experimental AnimalModels. Asian
Pasific Journal of Tropical Biomedicine; 2(1): 11.

59
Ozougwu, J.C., dan Eyo, J.E. (2014). Hepatoprotective Effects of Allium cepa
(Onion) Extracts Against Paracetamol-Induced Liver Damage in Rats.
African Journal of Biotechnology. 13(26):2679-2688.

Rahayu, E., dan Berlian, N. (1999). Bawang Merah. Jakarta: Penebar Swadaya
Halaman 4-8; 8-13.

Rukmana, R. (1994). Bawang Merah: Budidaya & Pengolahan Pascapanen.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Halaman 11-13; 15-20; 29-31.

Sahid, M., dan Subhan, F. (2014). Comparative Histopathology of


Acetaminophen Induced Hepatotoxicity in Animal Models of Mice and
Rats. Pharmacology Online. 3(33):32-43.

Skerget, M., Majheniè, L., Bezjak, M., dan Knez, Z. (2009). Antioxidant, Radical
Scavenging and Antimicrobial Activities of Red Onion (Allium cepa L.)
Skin and Edible Part Extracts. Chemical and Biochemical Engineering
Quarterly. 23(4): 435–444.

Thapa, B.R. dan Walia, A. (2007). Liver Function Tests and Their Interpretation.
Indian Journal of Pediatrics.74(7): 665-667.

Venkatesh P., Dinakar A., dan Senthilkumar, N. (2011). Hepatoprotective


Activity of An Ethanolic Extract of Stems of Anisochilus Carnosus
Against Carbon Tetrachloride Induced Hepatotoxicity in Rats.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 3(1):
243-245.

Wibowo, S. (2008). Budidaya Bawang. Jakarta : Penebar Swadaya. Halaman 88-


95.

Wiczkowski, W., Nèmeth, N., Buciñski, A., dan Piskula.M.K.(2003).


Bioavailability of Quercetin from Flesh Scales and Dry Skin of Onion in
Rats. Polish Journal of Food and Nutrition Sciences. 12(53): 95-99.

Wilbraham, A.C., dan Matta, M.S. (1992). Pengantar Kimia Organik. Penerjemah
Suminar Achmadi. Penyunting Sofia dan Nik Solihin. Bandung: ITB.
Hal.100-105.

Wilmana, P., dan Gan, S. (2013), Analgesik-Antipiretik, Analgesik Antiinflamasi


Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Farmakologi dan
Terapi. Edisi Kelima . Jakarta: Badan Penerbit FK UI. Halaman 237-239.

Smith, E.Y. (2002). Terapi Sayuran. Jakarta: Prestasi Pustaka. Halaman 61-65.

60
Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel penelitian

61
Lampiran 2. Gambar simplisia kulit bawang merah

Sebelum dikeringkan

Sesudah dikeringkan

62
Lampiran 3. Gambar serbuk simplisia kulit bawang merah

63
Lampiran 4 (lanjutan). Bagan alur penelitian

Serbuk simplisia
(534,8 g)

Dimaserasi menggunakan
Dilakukan skrining
etanol 96% yang telah
fitokimia dan karakterisasi didestilasi
simplisia

 Hasil skrining fitokimia


simplisia
Perkolat Ampas
 Penetapan kadar air
simplisia
 Penetapan kadar sari larut
dalam air simplisia Diuapkan menggunakan
 Penetapan kadar sari larut rotary evaporator
dalam etanol simplisia
 Penetapan kadar abu total
simplisia Ekstrak
 Penetapan kadar abu tidak kental
larut asam simplisia 95,32 g

Dilakukan uji aktivititas Dilakukan skrining


hepatoprotektor fitokimia dan karakterisasi
(lihat di halaman selanjutnya) ekstrak

Aktivitas
Hepatoprotektor  Hasil skrining fitokimia ekstrak
 Penetapan kadar air ekstrak
 Penetapan kadar abu total
ekstrak
 Penetapan kadar abu tidak larut
asam esktrak

64
Lampiran 4 (lanjutan). Bagan alur penelitian

24 ekor mencit jantan

Normal : EEKBM : Kontrol negatif Kontrol


tanpa  Dosis 300 mg/kg : Na-CMC positif: rutin
perlakuan bb (4 ekor) 0,5% 20 mg/kg bb
(4 ekor)  Dosis 450 mg/kg (4 ekor) (4 ekor)
bb (4 ekor)
 Dosis 600 mg/kg
bb (4 ekor)

diberikan perlakuan selama 14 hari


secara per oral

diberikan parasetamol 1 g/kg bb secara


per oral 6 jam setelah pemberian
perlakuan terakhir

didislokasi di leher pada hari ke 15

diambil darah dan organ hati

Darah Hati

disentrifuge dilakukan pengamatan


makroskopik
Serum
dibuat preparat histologi

diukur ALT dan dilakukan pengamatan


AST mikroskopik

Hasil

65
Lampiran 5. Gambar mikroskopik serbuk simplisia kulit bawang merah pada
perbesaran 10 x 40

Mikroskopik serbuk simplisia kulit bawang merah pada perbesaran 10 x 40

Keterangan : 1 = serabut sklerenkim


2 = parenkim berisi tetesan minyak
3 = kristal kalsium oksalat bentuk prisma
4 = trakea dengan penebalan bentuk tangga

66
Lampiran 6. Perhitungan karakterisasi simplisia kulit bawang merah dan
EEKBM
Perhitungan Penetapan Kadar Air dari Simplisia Kulit Bawang Merah dan
EEKBM

Simplisia Ekstrak
No
Berat (g) Kadar Air (ml) Berat (g) Kadar Air (ml)
1 5,003 0,05 5,007 0,05
2 5,008 0,5 5,018 0,10
3 5,010 0,05 5,012 0,10

volume air (ml)


% Kadar air= x 100 %
berat sampel (gram)

Simplisia
0,05
1. % Kadar Air I = x100% = 1,00%
5,003

0,5
2. % Kadar Air II = x100% = 9,98%
5,008

0,05
3. % Kadar Air III = x100% = 1,00%
5,010

0,99+ 9,98+ 0,99


% Kadar Air Rata-Rata = = 4,00%
3

Ekstrak
0,05
1. % Kadar Air I = x100% = 1,00%
5,007

0,10
2. % Kadar Air II = x100% = 2,00%
5,018

0,10
3. % Kadar Air III = x100% = 2,00%
5,012

3,94+ 3,99 + 3,99


4. % Kadar Air Rata-Rata = = 1,67%
3

67
Lampiran 6. (lanjutan)

Perhitungan penetapan kadar sari larut air dari simplisia kulit bawang merah

No BeratSampel (g) Berat Sari (g)

1. 5,002 0,060

2. 5,002 0,067

3. 5,001 0,072

Berat Sari 100


% Kadar Sari Larut Etanol = xx100%
Berat Sampel 20

0,060 100
1. % Kadar Sari I = x x100% = 6,00%
5,002 20

0,067 100
2. % Kadar Sari II = x x100% = 6,70%
5,002 20

0,072 100
3. % Kadar Sari III = x x100% = 7,20%
5,001 20

6,00%+7,00% + 7,19%
% Kadar Sari Larut Air Rata-Rata =
3

= 6,63%

68
Lampiran 6. (lanjutan)

Perhitungan penetapan kadar sari larut etanol dari simplisia kulit bawang merah

No BeratSampel (g) Berat Sari (g)

1. 5,001 0,126

2. 5,002 0,127

3. 5,001 0,131

Berat Sari 100


% Kadar Sari Larut Air = x x100%
Berat Sampel 20

0,126 100
1. % Kadar Sari I = x x100% = 12,60%
5,001 20

0,127 100
2. % Kadar Sari II = x x100% = 12,70%
5,002 20

0,131 100
3. % Kadar Sari III = x x100% = 13,09%
5,001 20

12,60%+ 12,70% + 13,09%


% Kadar Sari Larut Etanol Rata-Rata =
3

= 12,80%

69
Lampiran 6. (lanjutan)
Perhitungan penetapan kadar abu total dari serbuk simplisia kulit bawang merah
dan EEKBM

Simplisia Ekstrak
No
Berat (g) Kadar Abu (g) Berat (g) Kadar Abu (g)
1 2,041 0,228 2,022 0,080
2 2,030 0,300 2,035 0,081
3 2,015 0,255 2,038 0,065

berat abu (g)


% kadar abu total = x 100 %
berat sampel (g)

Simplisia
0,028
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 4,75%
2,041

0,300
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 14,78%
2,030

0,255
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 12.65%
2,015

4,75%+ 3,46% +4,12%


% Kadar Abu Total Rata-Rata = = 12,66%
3

Ekstrak

0,080
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 3,40%
2,022

0,081
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 3,80%
2,035

0,065
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 3,19%
2,038

3,40%+3,80% +3,19%
% Kadar Abu Total Rata-Rata = = 3,47%
3

70
Lampiran 6. (lanjutan)

Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam dari serbuk simplisia kulit
bawang merah dan EEKBM

Simplisia Ekstrak
No
Berat (g) Kadar Abu (g) Berat (g) Kadar Abu (g)
1 2,041 0,071 2,022 0,002
2 2,030 0,070 2,035 0,008
3 2,015 0,057 2,038 0,005

berat abu tidak larut asam


% Kadar abu tidak larut asam = x 100 %
berat sampel
Simplisia
0,071
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 3,47%
2,041

0,070
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 3,45%
2,030

0,057
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 2,83%
2,015

3,47%+3,45% + 2,83%
% Kadar Abu tidak Larut Asam Rata-Rata = = 3,25%
3

Ekstrak
0,002
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 0,10%
2,022

0,008
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 0,39%
2,035

0,005
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 0,24%
2,038

0,10%+0,39% + 0,24%
% Kadar Abu tidak Larut Asam Rata-Rata = = 0,24%
3

71
Lampiran 7. Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan

72
Lampiran 8. Gambar mencit jantan dan proses pengambilan darah dari jantung
dan organ hati mencit jantan

Mencit jantan Pengambilan darah dari


jantung mencit

kiri: organ hati yang normal, kanan: organ hati yang mengalami
nekrosis akibat induksi parasetamol

73
Lampiran 9. Volume maksimum sesuai jalur pemberian dan konversi dosis.

1. Tabel volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan
uji (Harmita dan Radji, 2008)
Volume maksimal (ml) sesuai jalurpemberian
Jenishewanuji
iv. im. ip. sc. po.
Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1 0,5-1 1
Tikus (100 g) 0,1 0,1 2-5 2-5 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2-5 5 10
Merpati (300 g) 2 0,5 2 2 10
Kelinci (2,5 kg) 5-10, 0,5 10-20 5-10 20
Kucing (3 kg) 5-10 1 10-20 5-10 50
Anjing (5 kg) 10-20 5 20-30 10 100

2. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia (Harmita dan Radji,
2008
Mencit Tikus Marmut Kelinci Kera Anjing Manusia

20 g 200 g 400 g 1,2 kg 4 kg 12 kg 70 kg

Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9


(20g)

Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0


(200g)

Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5


(400 g)

Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2


(1,2 kg)

Kera (4 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1


kg)

Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1


(12 kg)

Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0


(70 kg)

74
Lampiran 10. Perhitungan Dosis

1. EEKBM 300 mg/kg bb

Berat badan mencit = 20 g

20 g 𝑥 300 mg
Dosis pemberian = = 6 mg
1000

Dosis EEKBM 300 mg/kg bb adalah dosis yang terkandung dalam 1 kg berat

badan sebanyak 300 mg. Volume dosis maksimum untuk mencit adalah 10 ml/kg

(Laboratory Animal Resources Center of Oregon State University, 2011) atau 1

300 𝑚𝑔 30 𝑚𝑔
ml/100 g (BPOM., RI., 2014), maka = , sehingga volume yang
10 ml 1 ml

6 𝑚𝑔
diberikan secara per oral : x 1 ml = 0,2 ml.
30 mg

2. EEKBM 450 mg/kg bb

20 g 𝑥 450 mg
Dosis pemberian = = 9 mg
1000

450 𝑚𝑔 45 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml

9 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
45 mg

3. EEKBM 600 mg/kg bb

20 g 𝑥 600 mg
Dosis pemberian = = 12 mg
1000

600 𝑚𝑔 60 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml

75
12 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
60 mg

4. Rutin 20 mg/kg bb

20 g 𝑥 20 mg
Dosis pemberian = = 0,4 mg
1000

20 𝑚𝑔 2 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml

0,4 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
2 mg

5. Parasetamol 1000 mg/kg bb

20 g 𝑥 1000 mg
Dosis pemberian = = 20 mg
1000

1000 𝑚𝑔 100 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml

20 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
100 mg

6. Volume pemberian Na CMC 0,5%

Na CMC 0,5% merupakan larutan pembawa untuk suspensi EEKBM,

parasetamol dan rutin yang berfungsi untuk menjaga suspensi tetap stabil dan

homogen, sehingga Na CMC 0,5% berfungsi sebagai kontrol pelarut. Larutan uji

diberikan kepada hewan dalam suspensi Na CMC 0,5% sebanyak 0,2 ml,

sehingga Na CMC 0,5% juga diberikan dengan volume yang sama.

76
Lampiran 11. Hasil pemeriksaan ALT dan AST

77
Lampiran 12. Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Descriptives

Nilai ALT

95% Confidence
Interval for Mean

Std. Std. Lower Upper


N Mean Deviation Error Bound Bound Minimum Maximum

tanpa 139.775 34.3022 17.1511 85.193 194.357 97.2 179.4


4
perlakuan

kontrol negatif 1369.875 202.4000 101.2000 1047.812 1691.938 1201.6 1664.2


4
(Na CMC 0,5%)

(kontrol positif) 193.775 18.1953 9.0977 164.822 222.728 175.2 215.3


rutin 20 mg/kg 4
BB

EEKBM 300 715.175 30.4978 15.2489 666.646 763.704 675.3 748.0


4
mg/kg BB

EEKBM 450 528.000 12.1318 6.0659 508.696 547.304 518.7 545.7


4
mg/kg BB

EEKBM 600 mg 313.700 18.2622 9.1311 284.641 342.759 300.4 339.8


4
kg BB

Total 24 543.383 434.1170 88.6138 360.072 726.695 97.2 1664.2

ANOVA

Nilai ALT

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4202870.423 5 840574.085 114.926 .000

Within Groups 131652.770 18 7314.043

Total 4334523.193 23

78
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Post Hoc Test


Multiple Comparisons

Nilai ALT
Tukey HSD

95% Confidence Interval


(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Lower Upper
Perlakuan Perlakuan Difference (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
tanpa perlakuan kontrol
negatif
-1230.1000* 60.4733 .000 -1422.286 -1037.914
(Na CMC
0,5%)
(kontrol
positif) rutin -54.0000 60.4733 .943 -246.186 138.186
20 mg/kg BB
EEKBM 300
-575.4000* 60.4733 .000 -767.586 -383.214
mg/kg BB
EEKBM 450
-388.2250* 60.4733 .000 -580.411 -196.039
mg/kg BB
EEKBM 600
-173.9250 60.4733 .090 -366.111 18.261
mg kg BB
kontrol negatif tanpa
1230.1000* 60.4733 .000 1037.914 1422.286
(Na CMC 0,5%) perlakuan
(kontrol
positif) rutin 1176.1000* 60.4733 .000 983.914 1368.286
20 mg/kg BB
EEKBM 300
654.7000* 60.4733 .000 462.514 846.886
mg/kg BB
EEKBM 450
841.8750* 60.4733 .000 649.689 1034.061
mg/kg BB
EEKBM 600
1056.1750* 60.4733 .000 863.989 1248.361
mg kg BB
(kontrol positif) rutin tanpa
54.0000 60.4733 .943 -138.186 246.186
20 mg/kg BB perlakuan
kontrol
negatif (Na -1176.1000* 60.4733 .000 -1368.286 -983.914
CMC 0,5%)
EEKBM 300
-521.4000* 60.4733 .000 -713.586 -329.214
mg/kg BB
EEKBM 450
-334.2250* 60.4733 .000 -526.411 -142.039
mg/kg BB
EEKBM 600
-119.9250 60.4733 .389 -312.111 72.261
mg kg BB

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

79
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Multiple Comparisons

Nilai ALT
Tukey HSD

95% Confidence Interval


(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Lower Upper
Perlakuan Perlakuan Difference (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
EEKBM 300 mg/kg tanpa
575.4000* 60.4733 .000 383.214 767.586
BB perlakuan
kontrol
negatif (Na -654.7000* 60.4733 .000 -846.886 -462.514
CMC 0,5%)
(kontrol
positif) rutin 521.4000* 60.4733 .000 329.214 713.586
20 mg/kg BB
EEKBM 450
187.1750 60.4733 .059 -5.011 379.361
mg/kg BB
EEKBM 600
401.4750* 60.4733 .000 209.289 593.661
mg kg BB
EEKBM 450 mg/kg tanpa
388.2250* 60.4733 .000 196.039 580.411
BB perlakuan
kontrol
negatif (Na -841.8750* 60.4733 .000 -1034.061 -649.689
CMC 0,5%)
(kontrol
positif) rutin 334.2250* 60.4733 .000 142.039 526.411
20 mg/kg BB
EEKBM 300
-187.1750 60.4733 .059 -379.361 5.011
mg/kg BB
EEKBM 600
214.3000* 60.4733 .024 22.114 406.486
mg kg BB
EEKBM 600 mg kg tanpa
173.9250 60.4733 .090 -18.261 366.111
BB perlakuan
kontrol
negatif (Na -1056.1750* 60.4733 .000 -1248.361 -863.989
CMC 0,5%)
(kontrol
positif) rutin 119.9250 60.4733 .389 -72.261 312.111
20 mg/kg BB
EEKBM 300
-401.4750* 60.4733 .000 -593.661 -209.289
mg/kg BB
EEKBM 450
-214.3000* 60.4733 .024 -406.486 -22.114
mg/kg BB

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

80
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Homogeneous Subsets

Nilai ALT

Tukey HSDa

Subset for alpha = 0.05

Kelompok Perlakuan N 1 2 3

tanpa perlakuan 4 139.775

(kontrol positif) rutin 20 mg/kg BB 4 193.775

EEKBM 600 mg kg BB 4 313.700

EEKBM 450 mg/kg BB 4 528.000

EEKBM 300 mg/kg BB 4 715.175

kontrol negatif (Na CMC 0,5%) 4 1369.875

Sig. .090 .059 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

81
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Descriptives

Nilai AST

95% Confidence
Interval for Mean

Std. Lower Upper


N Mean Deviation Std. Error Bound Bound Minimum Maximum

Tanpa perlakuan 4 210.850 29.9527 14.9763 163.189 258.511 187.2 252.5

Kontrol negatif
4 2086.350 354.7269 177.3635 1521.900 2650.800 1826.0 2609.4
(Na CMC 0,5%)

kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 4 354.225 34.5524 17.2762 299.244 409.206 313.2 390.7
bb)

EEKBM 300
4 1051.000 47.1434 23.5717 975.984 1126.016 991.5 1105.5
mg/kg bb

EEKBM 450
4 803.400 39.9008 19.9504 739.909 866.891 745.0 832.0
mg/kg bb

EEKBM 600
4 472.950 19.6544 9.8272 441.675 504.225 449.0 496.6
mg/kg bb

Total 24 829.796 654.6488 133.6296 553.362 1106.230 187.2 2609.4

ANOVA

Nilai AST

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 9460627.632 5 1892125.526 85.926 .000

Within Groups 396369.277 18 22020.515

Total 9856996.910 23

82
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons
Nilai AST
Tukey HSD
95% Confidence
Interval
Mean
(J) Kelompok Difference Lower Upper
(I) Kelompok Perlakuan Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
Tanpa perlakuan Kontrol negatif
(Na CMC -1875.5000 104.9298 .000 -2208.970 -1542.030
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg -143.3750 104.9298 .745 -476.845 190.095
bb)
EEKBM 300
-840.1500* 104.9298 .000 -1173.620 -506.680
mg/kg bb
EEKBM 450
-592.5500* 104.9298 .000 -926.020 -259.080
mg/kg bb
EEKBM 600
mg/kg bb -262.1000 104.9298 .176 -595.570 71.370

Kontrol negatif (Na Tanpa


1875.5000* 104.9298 .000 1542.030 2208.970
CMC 0,5%) perlakuan
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 1732.1250* 104.9298 .000 1398.655 2065.595
bb)
EEKBM 300
1035.3500* 104.9298 .000 701.880 1368.820
mg/kg bb
EEKBM 450
1282.9500* 104.9298 .000 949.480 1616.420
mg/kg bb
EEKBM 600
1613.4000* 104.9298 .000 1279.930 1946.870
mg/kg bb
kontrol positif (rutin 20 Tanpa
143.3750 104.9298 .745 -190.095 476.845
mg/kg bb) perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1732.1250* 104.9298 .000 -2065.595 -1398.655
0,5%)
EEKBM 300
-696.7750* 104.9298 .000 -1030.245 -363.305
mg/kg bb
EEKBM 450
-449.1750* 104.9298 .005 -782.645 -115.705
mg/kg bb
EEKBM 600
-118.7250 104.9298 .862 -452.195 214.745
mg/kg bb

83
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Multiple Comparisons

Nilai AST
Tukey HSD
95% Confidence
Interval
(J) Kelompok Mean Lower Upper
(I) Kelompok Perlakuan Perlakuan Difference (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
EEKBM 300 mg/kg bb Tanpa
840.1500* 104.9298 .000 506.680 1173.620
perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1035.3500* 104.9298 .000 -1368.820 -701.880
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 696.7750* 104.9298 .000 363.305 1030.245
bb)
EEKBM 450
247.6000 104.9298 .222 -85.870 581.070
mg/kg bb
EEKBM 600
578.0500* 104.9298 .000 244.580 911.520
mg/kg bb
EEKBM 450 mg/kg bb Tanpa
592.5500* 104.9298 .000 259.080 926.020
perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1282.9500* 104.9298 .000 -1616.420 -949.480
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 449.1750* 104.9298 .005 115.705 782.645
bb)
EEKBM 300
-247.6000 104.9298 .222 -581.070 85.870
mg/kg bb
EEKBM 600
330.4500 104.9298 .053 -3.020 663.920
mg/kg bb
EEKBM 600 mg/kg bb Tanpa
262.1000 104.9298 .176 -71.370 595.570
perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1613.4000* 104.9298 .000 -1946.870 -1279.930
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 118.7250 104.9298 .862 -214.745 452.195
bb)
EEKBM 300
-578.0500* 104.9298 .000 -911.520 -244.580
mg/kg bb
EEKBM 450
-330.4500 104.9298 .053 -663.920 3.020
mg/kg bb
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

84
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA

Homogeneous Subsets

Nilai AST

Tukey HSDa

Subset for alpha = 0.05

Kelompok Perlakuan N 1 2 3 4

Tanpa perlakuan 4 210.850

kontrol positif (rutin 20 mg/kg 4 354.225


bb)

EEKBM 600 mg/kg bb 4 472.950 472.950

EEKBM 450 mg/kg bb 4 803.400 803.400

EEKBM 300 mg/kg bb 4 1051.000

Kontrol negatif (Na CMC 0,5%) 4 2086.350

Sig. .176 .053 .222 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

85

Anda mungkin juga menyukai