PENDAHULUAN
zat eksogen dan endogen terhadap tubuh yang akan membahayakan jika
dan reaksi lain yang diperantarai oleh sitokrom P450) dan fase II (esterifikasi)
terdapat lebih dari 900 jenis obat, toksin dan sediaan herbal yang berpotensi
mencederai hati dan 20-40% kasus gagal hati disebabkan oleh obat (Nirmala et
al., 2012). Penyakit hati yang diinduksi obat dapat bersifat intrinsik dan
idiosinkratik. Reaksi intrinsik terjadi jika obat atau metabolitnya yang merusak
hati dapat diprediksi, dapat direproduksi dan bergantung pada dosis, sedangkan
reaksi idiosinkratik tidak dapat diprediksi dan tidak dapat direproduksi, serta
memiliki angka kejadian yang rendah terhadap individu yang menggunakan obat.
Efek toksik yang dapat merusak hati dapat berasal dari senyawa induk obat
1
memetabolisme parasetamol dan menghasilkan metabolit N-acetyl-p-benzo
Selain itu reaksi oksidatif sitokrom P450 juga meningkatkan jumlah radikal bebas
yang akan menganggu keseimbangan ion kalsium dan cairan di sitosol serta
sebagai obat tradisional telah lama dikembangkan. Hal ini disebabkan masyarakat
menyadari efek samping akibat penggunaan oleh obat-obat sintetik lebih besar
dalam perolehan dan pembuatannya. Oleh karena itu, Armansyah, dkk., (2010)
berpendapat obat tradisional merupakan bidang yang masih banyak diminati untuk
digunakan sebagai makanan dan kaya akan beberapa nutrisi terkait dengan
senyawa volatil dan non-volatil dari bawang merah, metode identifikasi dan studi
terhadap efek biologisnya baru-baru ini telah dipublikasikan oleh Lanzotti (2006).
2
Ekstrak bawang merah kaya akan senyawa fenolik yang menunjukkan aktivitas
flavonoid yang terkadapat paling banyak dengan bentuk bebas dan terikat dengan
merah merupakan sumber kuersetin terbanyak dari 28 jenis sayuran dan 9 jenis
menunjukkan bahwa ekstrak metanol umbi bawang merah dengan dosis 200, 300
dan 450 mg/kg menunjukkan penurunan yang signifikan (p < 0,05) terhadap
parameter fungsi hati tikus albino jantan galur Wistar yang diinduksi
parasetamol dengan dosis 750 mg/kg, yaitu alanin transferase (ALT) dan serum
pemberian, serta aspartat transferase (AST), alkalin fosfatase (ALP) dan laktat
biasanya diolah dalam masakan, dengan demikian kulit bawang merah yang
3
sering dibuang dalam proses pengolahan tentunya menarik sebagai sumber
komersial senyawa fenolik. Jumlah senyawa fenolik dan kuersetin yang terdapat
dalam kulit kira-kira 3-5 kali lebih tinggi dari umbinya, mengindikasikan bahwa
kulit bawang merah memiliki potensi untuk digunakan sebagai antioksidan dan
agen antimikroba dalam makanan, kosmetik dan industri farmasi (Skerget, et al.,
2009). Meski begitu, sejauh ini belum ada penelitian tentang aktivitas
sebagai berikut:
b. apakah EEKBM dapat menurunkan ALT dan AST pada mencit jantan yang
diinduksi parasetamol?
1.3 Hipotesis
berikut:
b. EEKBM dapat menurunkan ALT dan AST pada mencit jantan yang diinduksi
parasetamol.
4
c. EEKBM dapat menunjukkan perbaikan pada gambaran histopatologi hati
berikut:
parasetamol.
b. pengaruh pemberian EEKBM terhadap ALT dan AST mencit jantan yang
diinduksi parasetamol.
sebagai berikut:
kerusakan hepar diberikan parasetamol dengan dosis 1 g/kg bb, terdapat 6 variabel
bebas yaitu EEKBM dosis 300; 450; dan 600 mg/kg bb; Na CMC 0,5% sebagai
5
kontrol negatif; rutin 20 mg/kg bb sebagai kontrol positif dan normal atau tanpa
perlakuan. Variabel terikat dalam penelitian adalah ALT dan AST serta gambaran
Pendarahan
Rutin 20 mg/kg bb
(Kontrol positif)
Tanpa Perlakuan
(Normal)
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Liliales
Suku : Liliaceae
Marga : Allium
Nama daerah dari tumbuhan bawang merah : Bawang merah (Aceh dan
Palembang); pia (Batak); bawang sirah atau dasun merah (Minangkabau), barambang
sirah atau dasun merah (Minangkabau); bawang suluh (Lampung); bawang beureum
(Sunda); brambang atau brambang abang (Jawa Tengah dan Jawa Timur); bhabang
mera (Madura); jasum bang atau jasum merah (BaIi); bawangi (gorontalo); lasuna eja
(Makassar), lasuna cela (Bugis); laisuna mpilas (Roti); kalpeo miha (Timor); bawa
menyebutkan bahwa tanaman ini dari Asia tengah (Palestina dan India), sebagian juga
7
menyebutkan bawang merah berasal dari Asia Barat yang berkembang ke Mesir dan
Turki. Bangsa Mesir mengenal bawang merah sejak 3200-3700 SM. Di Yunani dan
Israel, bawang merah dibudidayakan sejak 1500 SM. Eropa Barat, Timur dan Spanyol
Penyebaran bawang merah telah meluas hampir ke setiap negara. Eropa Barat, Eropa
Timur, Spanyol, Amerika Serikat, Mesir dan Turki merupakan negara penghasil
Kalimntan Barat dan Kalimantan Tengah (Rukmana, 1994). Daerah Samosir menjadi
daerah beriklim kering yang cerah dengan udara panas, namun harus disertai
pengairan yang baik dengan ketinggian tanah 0-800 m di atas permukaan laut dan
0
suhu antara 25-32 C. Tanah yang gembur dan subur serta banyak mengandung
humus sangat baik dengan pH antara 6,0-6,8 (sedikit agak asam-normal) cocok untuk
pertumbuhan bawang merah menjadi kerdil dan umbinya mudah busuk. Pada pH
kurang dari 5,5 tanaman akan keracunan alumunium sehingga tanaman menjadi
kerdil, sebaliknya pada pH di atas 6,5 Mangan tidak dapat diserap akibatnya umbinya
Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan terna (tanaman yang berbatang
lunak karena tidak membentuk kayu) rendah yang tumbuh tegak dengan tinggi
mencapai 15-50 cm, berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan tidak
tahan kekeringan. Batang sejati (discus) bentuknya seperti cakram, tipis dan pendek.
8
Di bagian atas discus terbentuk batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah
daun. Batang semu yang berada dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya
menjadi umbi lapis (bulbus). Beberapa helai kelopak daun terluar (2-3 helai) tipis dan
sehingga membentuk umbi yang kemudian berisi cadangan makanan bagi tunas yang
akan menjdi tanaman baru. Pada pangkal umbi tumbuh akar-akar serabut. Di bagian
atas umbi terdapat mata tunas yang disebut tunas lateral dan dapat tumbuh menjadi
tanaman baru. Daun berbentuk pipa, yakni bulat kecil memanjang antara 50-70 cm,
berlubang, bagian ujungnya meruncing, berwarna hijau muda sampai hijau tua dan
letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek. Bunga akan muncul
dari tunas utama (tunas apikal) di bagian tengah umbi, dengan panjang 30-90 cm dan
terdapat 50-200 kuntum yang tersusun melingkar seperti payung. Biji mempunyai
bentuk agak pipih,sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua
menjadi hitam. Umbi lapis bawang merah sangat bervariasi, bentuknya ada yang
bulat, bundar sampai pipi, sedangkan ukuran umbi meliputi besar, sedang, dan kecil.
Warna kulit umbi merah muda sampai merah tua (Rukmana, 1994; Rahayu dan
2.1.5 Khasiat
penyakit, seperti disentri, jantung koroner, influenza, tekanan darah tinggi, sembelit,
luka, bisul pada kulit, jamur pada vagina (trichomoniasis), demam, masuk angin,
impotensi dan cacar air. Selain itu bawang merah dapat berkhasiat menurunkan lemak
9
2.2 Parasetamol
struktur C8H9NO2. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih tidak berbau, dan
memiliki rasa sedikit pahit, larut dalam air mendidih dan dalam natrium
hidroksida 1N, serta mudah larut dalam etanol (Depkes, RI., 2014). Parasetamol
ditemukan di Jerman dan telah lama digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 2013;
Katzung, 2012). Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen Obat ini
antiinflamasi yang tidak signifikan. Nyeri akut dan demam efektif terobati dengan
2.2.2 Farmakokinetik
namun umumnya diabsorpsi cepat dan sempurna. Obat ini tersebar ke seluruh
cairan tubuh dan sekitar 25% dari yang diabsorpsi terikat dengan protein plasma.
(Wilmana dan Gan, 2013). Konsentrasi puncak diperoleh 30-60 menit setelah
kurang dari 5% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah. Metabolit yang sedikit
namun reaktif (NAPQI) bersifat penting sebab merupakan toksik terhadap hati
dan ginjal. Waktu paruh parasetamol adalah 2-3 jam dan tidak dipengaruhi fungsi
ginjal. Dosis toksik dan gangguan hati dapat memperpanjang waktu paruh
(Katzung, 2012).
10
2.2.3 Farmakodinamik
ringan sampai sedang seperti sakit kepala, myalgia, nyeri setelah melahirkan di
mana pemberian aspirin tidak ditoleransi pasien dengan riwayat alergi, tukak
sebagai analgesik dan antipiretik berkembang luas. Nyeri akut dan demam dapt
(Katzung, 2012). Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih
parasetamol sering dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesik (Wilmana dan
Gan, 2013).
2.3 Kuersetin
Kuersetin merupakan flavonol yang tedapat dalam buah dan sayur yang
memberikan efek bermanfaat bagi tubuh, dengan efek antioksidannya yang paling
kuersetin lebih banyak berada dalam bentuk terikat dengan gula, asam fenolat,
alkohol dan lainnya. Turunan kuersetin biasanya akan dihidrolisis di saluran cerna
11
untuk selanjutnya diabsorbsi dan dimetabolisme sebagai aglikon (Materska,
2008).
yang terikat. Pada umumnya, turunan flavonoid dengan O-metil, C-metil dan
turunan prenil bersifat lipofilik. Glikosilasi paling tidak di satu gugus hidroksil
dengan kemampuan mentransfer satu atom H atau sebuah elektron, sama halnya
aktivitas enzim oksidase. Selain itu, aktivitas antioksidan juga disertai aktivitas
kuinon. Gugus 4-oxo yang berkonjugasi dengan 2,3- alkena di cincin C dan gugus
12
3-OH dan 5-OH di cincin A meningkatkan potensi antiksidan. Turunan kuersetin
berada dalam jaringan tubuh dengan mengalami glukuronasi, sulfasi dan metilasi.
13
Studi oleh Po’voa et al menyimpulkan bahwa kandungan flavonol terutama
kuersetin menurun dari lapisan terluar sampai ke dalam dan dari ujung atas
usia sel-sel yang menyusun lapisan umbinya, sehingga sel-sel di lapisan luar tentu
umurnya lebih tua dibandingkan di lapisan yang lebih dalam. Lapisan luar dan
2.4 Rutin
2012).
2.5 Hati
Hati merupakan organ padat terbesar dalam tubuh manusia dengan massa
mencapai 1,6 kg pada pria dan 1,4 kg pada wanita, dan menyumbang 2% massa
tubuh orang dewasa. Secara anatomi hati terletak di bawah diafragma, di kuadran
14
atas kanan abdomen, dengan posisi anterior dan posteriornya terlindungi oleh
tulang rusuk. Hati memiliki dua lobus dan lobus kanan enam kali lebih besar dari
lobus kiri. Hati menerima kurang lebih 1,3 liter darah per menit: 75 % berasal dari
vena (vena porta) dan sisanya dari arteri hepatik (Holt, 2008). Vena porta
membawa darah dari usus dan limpa, dan arteri membawa darah yang berasal dari
nukleus berbentuk oval atau bulat. Sel ini memiliki tiga permukaan, satu
tersusun dalam barisan sel-sel yang berbentuk seperti jeruji di roda, dengan vena
sentral sebagai pusatnya. Tiap barisan dipisahkan oleh kapiler yang dialiri darah
dapat dijumpai sel endotel dan sel Kupffer. Sel endotel tersusun menyerupai
melalui rongga Disse. Rongga Disse berisi plasma, retikulin (kolagen) dan sel
stelat (sel Ito) yang perannya penting terhadap aliran darah sinusoid, fibrogenesis
gepeng dan merupakan makrofag yang berperan dalam fagositosis. Terdapat juga
sel pit (sel limfosit hati) di sinusoid dan rongga Disse, sel ini mempunyai limfosit
15
Secara mikroskopik, stuktur jaringan dijelaskan dengan konsep acinus
(modern) dan lobul (konvensional). Hepatosit dalam acinus dapat dibagi menjadi
tiga zona berdasarkan jarak sel dari traktus porta. Traktus porta terdiri atas duktus
biliaris, arteri hepatik, vena porta, pembuluh limfatik, saraf dan sel-sel inflamasi.
Mulai dari traktus porta, darah dari arteri dan vena mengalir melalui sinusoid
hingga mencapai vena sentral (Murli, 2013). Hepatosit yang berada dekat traktus
porta lebih dulu menerima nutrisi dan oksigen dari darah karenanya paling
Hepatosit yang berada lebih jauh dari traktus porta akan menerima darah dengan
mengalami cedera hipoksia. Zona 2 (midzonal) berada di antara zona 1 dan zona
utamanya bertanggung jawab terhadap perubahan dalam darah porta, seperti kadar
Sintesis protein, β-oksidasi asam lemak, sintesis kolesterol dan sekeresi asam
ciri yang menjadi karakter sel yang terlibat dalam berbagai fungsi metabolik,
dan halus dan glikogen yang tersimpan di sitoplasma. Hepatosit memiliki banyak
16
mitokondria dan mengisi 20% dari volume keseluruhan sitoplasma. Hal ini
berkaitan dengan tingginya kebutuhan jaringan akan energi yang dipenuhi oleh
kadar kalsium intrasel dan biosintesis haem. Protein yang membran mitokondria
mitokondria dan menjadi tempat utama sintesis berbagai protein, seperti albumin,
yang dekat dengan agregat glikogen. Fungsi RE halus adalah sintesis lipid,
akumulasi glikogen dan metabolisme obat dan steroid. Untuk melakukan semua
hidrogen peroksida, juga degradasi asam lemak rantai panjang (Holt, 2008).
17
2.5.2 Fungsi hati
sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Hati mensekresi asam empedu yang
berperan dalam emulsifikasi lemak di usus halus. Protein yang disintesis di hati
berfungsi sebagai enzim, hormon maupun protein plasma. Beberapa enzim yang
disintesis di hati juga berguna dalam proses detoksifikasi zat-zat berbahaya. Hati
penyimpanan vitamin terutama yang larut dalam lemak. Hati juga berperan besar
dalam detoksifikasi racun dan obat, serta memiliki sistem pertahanan tubuh
2.5.3 Hepatotoksisitas
hati yang terganggu karena paparan obat atau agen non-infeksi. Molekul inorganik
yang dapat menyebabkan hepatotoksis contohnya arsen, fosfor, tembaga dan besi.
Senyawa organik yang berasal dari tumbuhan juga bersifat toksik, contohnya
alkaloid pirolizidin, toksin jamur dan bakteri. Hasil sintesis dari senyawa organik,
termasuk obat-obatan juga merupakan hepatotoksin. Obat yang merusak hati akan
berdampak pada kadar enzim hati yang abnormal. Cedera hati akibat obat-obatan
pengobatan di rumah sakit dan 50% gangguan hati akut (Kumar, et al., 2014).
18
Banyak obat yang dapat menyebabkan toksisitas dengan gambaran biokimia,
klinis, histologi dan kronologi atau kombinasi semuanya yang khas. Beberapa
ALT atau AST, contohnya asam klavulanat atau klorpromazin. Reaksi imun atau
hipersentivitas sering tertunda atau terjadi setelah paparan yang berulang, ditandai
valproat dan tetrasiklin parenteral dosis tinggi (Navarro dan Senior, 2006).
terikat dengan glukuronida, 25-35% terikat dengan sulfat dan 5-15% sisanya
diekskresi di urin dalam bentuk konjugat asam merkapturat dan sistein. Ini
19
Gambar 2.2 Skema jalur metabolisme parasetamol (James, et al., 2003)
NAPQI terbentuk dari oksidasi langsung 2 elektron oleh sitokrom P450 (James, et al.,
2003). Ketika pemberian parasetamol mencapai dosis toksik, jalur glukoronidasi dan
kadar GSH dalam hati hingga lebih dari 90%. Keadaan ini memicu NAPQI berikatan
20
pada orang dewasa pada kasus gagal hati akut akibat parasetamol (Hinson, et al.,
2009).
Ion superoksida (O2-) dilepaskan sitokrom P450 2E1 yang juga membentuk
hidrogen peroksida (H2O2) lewat reaksi Fenton. Deplesi GSH yang seharusnya
dan stres oksidatif. Kadar nitrit oksida (NO) meningkat selama tokisisitas
yang sangat penting dalam toksisitas, dengan konstanta laju reaksi 7 x 109 M-1 s-1
(James, et al., 2003). Peroksinitrit adalah agen penitrasi dan pengoksidasi yang
al., 2011). Peroksinitrit tidak hanya menyebabkan nitrasi protein tetapi juga dapat
sentrilobular hati. Posisi NO menjadi cukup kritis, jika NO muncul akan bereaksi
dengan O2- membentuk peroksinitrit dan jika tidak, O2- akan menyebabkan
sistematik asam lemak tidak jenuh, yang dalam hal ini menyusun membran sel,
masuk sel. Diduga MPT terjadi bersamaan pembentukan RNS (Agarwal, et al.,
2011).
21
endonuklease G and Apoptosis-inducing Factor (AIF). Hanya endonuklease G dan
AIF yang bertranslokasi ke nukleus dan memicu fragmentasi DNA (McGill, 2013).
melalui serangkaian tes fungsi hati. Tes ini cenderung lebih menggambarkan
adanya kerusakan hati atau juga obstruksi saluran empedu dibandingkan menilai
fungsi hati, kecuali untuk estimasi protein serum (albumin dan protrombin).
reaksi reduksi gugus amino dari alanin atau aspartat ke α-ketoglutarat dan
terdapat di hati, otak, otot rangka dan jantung. ALT lebih banyak dijumpai di hati
dan sedikit di otot rangka dan jantung. Peningkatan ALT dan AST juga bisa
berasal dari luar hati, contohnya dari otot rangka. Hepatosit yang rusak
mengeluarkan komponen dari dalam sel termasuk ALT dan AST ke luar sel.
Enzim yang dilepaskan akhirnya masuk ke sirkulasi dan meningkatkan kadar AST
dan ALT. 80% aktivitas AST di hati manusia berasal dari isoenzim di
22
mitokondria, sedangkan sirkulasi AST pada manusia normal berasal dari isoenzim
di sitoplasma. Peningkatan AST yang tinggi terjadi ketika nekrosis di jaringan hati
Tingkat kenaikan AST dan ALT dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan
ringan. Peningkatan yang tinggi (>20 kali lipat hingga mencapai >1000 IU/L)
menandakan hepatitis virus berat, nekrosis yang diinduksi obat dan toksin lain
serta syok sirkular. Peningkatan sedang (3-20 kali lipat) biasanya terjadi pada
yang diinduksi obat dan gangguan saluran empedu akut. Peningkatan ALT lebih
besar dibandingkan AST kecuali pada hepatitis kronik, bahkan AST bisa
mencapai nilai normal pada 75% penderita hepatitis akut dalam waktu 8 minggu
sejak timbulnya penyakit. Peningkatan ringan (1-3 kali lipat) biasanya dijumpai
steatotik non alkohol, toksisitas obat, olahraga berlebihan dan beberapa gangguan
hati lain, terkadang penigkatan ALT juga dijumpai pada orang normal (Thapa dan
Walia, 2007).
b. Total bilirubin
merupakan marker dari cedera hepatobilier, termasuk kolestasis dan efek bilier.
Bilirubin dapat meningkat tanpa gangguan hati, misalnya karena hemolisis. Hasil
analisis bilirubin tidak langsung terhadap bilirubin tidak langsung tidak terlalu
23
c. ALP
yang berasal dari hati, tulang, usus halus, ginjal dan plasenta telah diidentifikasi di
manusia dan hewan pra klinik. ALP merupakan marker utama gangguan
sirosis bilier, ALP akan meningkat hingga 20 kali lipat dibarengi peningkatan
GGT, dengan atau tanpa peningkatan ALT (Thapa dan Walia, 2007).
d. aktivitas GGT
amino dan peptide rantai pendek. GGT merupakan marker penting untuk
dengan tingkat koreksi yang rendah pada manusia. Peningkatan GGT dan ALP
e. Albumin plasma
petunjuk yang berguna terhadap fungsi sintesis hati maupu tingkat penyakit hati
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun pada penyakit hati kronis tetapi
24
f. Prothrombin time (PT)
mempunyai waktu paruh dua sampai tiga hari. Prothrombin time merupakan
atau rasio antara PT pasien dengan PT kontrol normal. INR diperpanjang oleh
adanya kegagalan sel hati (berkaitan dengan sintesis oleh sel hati) dan kolestasi
memperkirakan tingkat keparahan penyakit baik yang akut maupun yang kronis
25
BAB III
METODE PENELITIAN
hati dan pengolahan data. Na CMC 0,5% diberikan sebagai kontrol pelarut di
kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol positif diberikan rutin dosis 20
3.1 Alat-alat
(Miyako), cawan porselin, desikator, inkubator, kaca objek, kaca penutup, krus
AJ), oral sonde, oven listrik (Stork), penangas air (Yenaco), penjepit tabung, rak
26
3.2 Bahan
Akuades, α-naftol, asam nitrat pekat, asam asetat anhidrida, asam sulfat
pekat, Etanol (destilasi), merkuri (II) klorida, kalium iodida, iodium, bismut (III)
nitrat, asam klorida pekat, timbal (II) asetat, besi (III) klorida , buffer formalin
reagen kit ALT Dialab®, reagen kit AST Dialab®, rutin (Sigma Aldrich), serbuk
seng, toluen, zat warna (hematoksilin dan eosin). Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah simplisia kulit bawang merah (Allium cepa L.).
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus
musculus) jantan dengan berat badan 20-30 gram sebanyak 24 ekor dengan
dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel diperoleh dari penyuplai
27
3.4.2 Identifikasi bawang merah
setelah dikupas dari umbinya. Kulit dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci
hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang (diperoleh berat basah sebesar
894,2 g). Selanjutnya, sampel dikeringkan selama 7 hari dalam lemari pengering
dengan temperatur 40oC sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh).
Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk kasar lalu dimasukkan ke
dalam wadah plastik bertutup dan disimpan pada suhu kamar. Kemudian serbuk
larutan 1,358 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan
diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes, RI.,
1995).
28
3.5.3 Pereaksi Bouchardat
ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu ditambah air suling hingga
asam sulfat pekat. Larutan penyemprotnya dibuat dengan 20 bagian asam asetat
anhidrida dengan 1 bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas
29
3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan
kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak
larut asam.
organoleptis meliputi warna, bau dan rasa dari kulit bawang merah.
dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi
dengan kloralhidrat dan ditutupi dengan kaca penutup kemudian dilihat dibawah
mikroskop.
Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat,
volume air pada tabung penerima dibaca dengan 0,05 ml. Sebanyak 5 g serbuk
simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan kedalam labu yang berisi
perdetik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan
30
toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan
dingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air
dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air dibaca sesuai dengan
kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1998).
dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam lalu disaring.
Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan penguap berdasar rata
yang telah ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105o C sampai bobot tetap. Kadar
sari larut dalam air dihitung dengan persen terhadap bahan yang telah kering
jam dengan 100 ml etanol 95% dalam labu bersumbat sambil dikocok selama 18
filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah
ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105o C sampai bobot tetap. Kadar sari
larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah kering
dimasukkan kedalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, kemudian
31
dilakukan pada suhu 500-600o C selama 3 jam kemudian didinginkan di
Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25
ml asam klorida encer selama 5 menit, Bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dan cuci dengar air pans
sampai filtrat berwarna netral. Keringkan di hot plate lalu dipija sampai bobot
abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang kering (WHO,
1998).
klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit.
a. filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer, akan
32
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari
eter, dikocok hati-hati dan didiamkan. Lapisan metanol diambil, lalu diuapkan
pada suhu 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring. Filtrat
1 sampai 2 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam
Jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm tidak kurang dari 10
33
3.7.4 Pemeriksaan glikosida
dan didiamkan selama 5 menit, disaring. Disaring filtrat 3 kali, tiap kali dengan 20
diuapkan di atas penangas air, sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi
tabung, terbentuknya cincin ungu pada kedua batas cairan menunjukkan adanya
dipanaskan, lalu disaring. Filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna.
Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III)
klorida 1 %. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman, menunjukkan adanya
filtrat diuapkan di cawan penguap. Sisanya ditambahkan asam asetat anhidrat dan
atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukan adanya
34
3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Bawang Merah
dengan pelarut etanol 96%. Sebanyak 500 g serbuk simplisia kulit bawang merah
tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai,
dan dilanjutkan proses penguapan di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak
penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam.
35
3.11 Uji Aktivitas Hepatoprotektor
sebanyak 0,5 gram Na CMC ditaburkan kedalam lumpang yang berisi air suling
panas sebanyak 10 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang
transparan, digerus hingga terbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air suling,
kemudian dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambah air suling sampai
batas tanda. Larutan ini digunakan sebagai pembawa EEKBM, parasetamol dan
rutin.
ditambahkan larutan Na CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai
larutan Na CMC 0,5% sampai garis tanda. Prosedur yang sama dilakukan untuk
dalam labu tentukur 10 ml. Volume dicukupkan dengan larutan Na CMC 0,5%
36
tetes sambil digerus hingga homogen, ditambahkan larutan Na CMC 0,5% lalu
ditambah akuades 900 ml) kemudian dicukupkan dengan akuades sampai 1000
ml.
Hewan uji dibagi atas 6 kelompok dan masing-masing terdiri dari 4 hewan
a. kelompok I: normal, hewan uji tidak diberi perlakuan apapun. Makanan dan
b. kelompok II: kontrol negatif, hewan uji diberikan Na CMC 0,5% sekali sehari
g/kg bb 6 jam setelah pemberian Na CMC 0,5% pada hari ke-14. Makanan
c. kelompok III: kontrol positif, hewan uji diberikan suspensi rutin dosis 20
d. kelompok IV: hewan uji diberikan EEKBM dosis 300 mg/kg bb sekali sehari
37
g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-14. . Makanan dan
e. kelompok V : hewan uji diberikan EEKBM dosis 450 mg/kg bb sekali sehari
g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-14. . Makanan dan
f. kelompok VI: hewan uji diberikan EEKBM dosis 600 mg/kg bb sekali sehari
g/kg bb 6 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke-14. . Makanan dan
suntik langsung dari jantung mencit sebanyak 0,5 ml, setelah itu dimasukkan ke
kecepatan 3000 rpm selama 20 menit untuk mendapatkan serum darah mencit.
Pengukuran ALT dan AST berdasarkan reaksi enzimatik menggunakan reagen kit
Dialab® (R1 dan R2). Larutan sampel berisi campuran reagen 1 dan reagen 2
dengan perbandingan 4:1. Sebanyak 1000µl reagen kit ALT dan AST masing-
masing direaksikan dengan 100µl sampel, divortex dan diinkubasi pada suhu
kamar selama 1 menit selanjutnya absorban sampel dibaca setelah 1,2 dan 3 menit
menggunakan Microlet 3000 pada panjang gelombang 340 nm dan suhu 37oC.
Prosedur penetapan aktivitas katalisator ALT dan AST berdasarkan prosedur kerja
dari Dialab®. Kemudian dibandingkan rata-rata ALT dan AST antar kelompok.
38
Dikatakan adanya aktivitas hepatoprotektor apabila ALT dan AST dari EEKBM
Mencit dibedah kemudian diambil organ hati dan dicuci dengan larutan
Jaringan yang akan dibuat preparat histologi difiksasi dalam larutan buffer
formalin 10% minimal 4 jam hingga mengeras (matang). Sampel organ yang
b. tabung III berisi alkohol 70% selama 1 jam, tabung IV berisi alkohol 96%
selama 1 jam dan tabung V, VI dan VII berisi etanol absolut, masing-masing
selama 1 jam. Proses ini disebut dehidrasi (dehydration) yang bertujuan untuk
39
c. tabung VIII, IX dan X berisi xylene, masing –masing selama 1,5 jam. Proses
yaitu jaringan diletakkan di mould dan ditambahkan paraffin bersuhu 56oC dan
microtome dengan ketebalan 3-4 μm, hasil sayatan dipindahkan ke kaca objek dan
sebagai berikut :
i. hematoxylin 5 menit
40
k. HCl 0,1% selama 2 menit
di bawah mikroskop.
statistik yang digunakan. Data dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA
untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara kelompok dengan uji Post Hoc
41
BAB IV
Sumatera Utara terhadap sampel yang diteliti adalah tumbuhan bawang merah
tumbuhan bawang merah (Allium cepa L.) yaitu berwarna merah, berbentuk tidak
beraturan dan lembaran tipis, panjang ± 6 cm dan lebar ± 5 cm, mempunyai bau
dan rasa yang lebih lemah dari umbi bawang merah (Lampiran 2).
simplisia kulit bawang merah yaitu terlihat serabut skelerenkim, parenkim dengan
sel berisi tetesan minyak, kristal kalsium oksalat bentuk prisma dan trakea dengan
penebalan tangga (Lampiran 5). Hasil karakterisasi serbuk simplisia kulit bawang
Kadar (%)
No Karakteristik serbuk simplisia
Simplisia Ekstrak
1 Kadar air 4,00 1,67
2 Kadar sari larut dalam air 6,63 -
3 Kadar sari larut dalam etanol 12,80 -
4 Kadar abu total 12,66 3,47
5 Kadar abu tidak larut dalam asam 3,25 0,24
42
Hasil karakterisasi serbuk simplisia memenuhi syarat berdasarkan
kadar air tidak lebih dari 10%, sedangkan kadar air simplisia yang diperoleh
adalah 4,00% dan kadar air ekstrak 1,67%. Pemeriksaan kadar air penting untuk
air dan membusuk akibat kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan
Penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol untuk mengetahui
banyaknya sari larut dalam pelarut air dan etanol. Senyawa yang dapat larut dalam
air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan asam organik.
Kadar sari larut air simplisia diperoleh 6,63%. Kadar sari larut etanol simplisia
kandungan senyawa kimia yang larut dalam air maupun dalam etanol. Senyawa
yang dapat larut dalam etanol adalah glikosida, antrakinon, steroida, flavonoida,
klorofil, dan dalam jumlah sedikit yaitu lemak dan saponin (Depkes, 1979).
setelah pembakaran, terdiri dari abu fisiologis yang berasal dari tumbuhan itu
sendiri dan abu non-fisiologis yang berasal dari luar (pasir dan tanah) yang
menempel di permukaan tumbuhan. Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam
bertujuan mengukur kandungan silika. Kadar abu total simplisia adalah 12,66%
dan kadar abu tidak larut asam simplisia adalah 3,25% , sedangkan kadar abu total
ekstrak adalah 3,47% dan kadar abu tidak larut asam ekstrak adalah 0,24%. Hasil
penyarian 500 gram serbuk simplisia kulit bawang merah dengan pelarut etanol
43
4.1.2 Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak
kandungan senyawa kimia yang sama yaitu flavonoid, tanin, saponin dan
hidroksil polar dan gugus alkil yang bersifat nonpolar (Wilbraham dan
Matta,1992). Selain itu, pelarut etanol sangat efektif untuk mengikat senyawa-
senyawaseperti fixed oils, lemak, lilin, alkaloid, flavon, polifenol, tanin, saponin,
44
4.2 Hasil uji aktivitas hepatoproktektor
Pengukuran ALT dan AST dilakukan pada hari ke-15, 24 jam setelah
pemberian parasetamol. Hasil pengukuran dapat dilihat secara rinci pada Tabel
4.3.
Tabel 4.3 ALT dan AST mencit dengan perbedaan perlakuan di setiap kelompok
(Mean ± SE) hasil analisis secara statistik SPSS metode One Way
ANOVA
dan AST 2086,35 IU/L. berbeda signifikan dengan kelompok tanpa perlakuan
(p < 0,05) dengan ALT 139,77 IU/L dan AST 210,85 IU/L. Kelompok kontrol
positif dengan ALT 193,77 IU/L dan AST 354,22 IU/L tidak berbeda signifikan
(p > 0,05) dengan kelompok taanpa perlakuan. Kelompok EEKBM 300 mg/kg
bb dengan nilai ALT 755,17 IU/L dan nilai AST 1051,00 IU dan kelompok
EKKBM 450 mg/kg bb dengan ALT 528,00 IU/L dan AST 803,40 IU/L berbeda
EEKBM 600 mg/kg bb dengan nilai ALT 313,70 IU/L dan AST 472,95 IU/L
45
tidak berbeda signifikan dengan kelompok tanpa perlakuan. Grafik hasil
pengukuran ALT dan AST dapat dilihat di Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.
1000
800 755,17 ± 15,25
528,00 ± 6,07
600
400 313,70 ± 9,13
193,77 ± 9,08
200 139,77 ± 17,15
0
Normal Kontrol (-) Kontrol (+) EEKBM 300 EEKBM 450 EEKBM 600
Na CMC (rutin 20 mg/kg bb mg/kg bb mg/kg bb
0,5% mg/kg bb)
Gambar 4.1 Grafik ALT mencit jantan yang diukur setelah pemberian
parasetamol 1g/kg bb pada hari ke-14. Data berupa mean ± SE
(n=4). Kelompok normal tidak diberi perlakuan.
3500
2086,35 ± 177,36
3000
2500
2000
AST
1500
1051,00 ± 23,57
1000 803,40 ± 19,96
354,22 ± 17,28 472,95 ± 9,82
500 210,85 ± 14,98
0
Normal Kontrol (-) Kontrol (+) EEKBM 300 EEKBM 450 EEKBM 600
Na CMC rutin (20 mg/kg bb mg/kg bb mg/kg bb
0,5% mg/kg bb)
Gambar 4.2 Grafik ALT AST mencit jantan yang diukur setelah pemberian
parasetamol 1g/kg bb pada hari ke-14. Data berupa mean ± SE
(n=4). Kelompok normal tidak diberi perlakuan.
46
Meskipun nilai ALT dan AST EEKBM 300 mg/kg bb dan EEKBM 450
bahwa EEKBM 300 mg/kg bb dan EEKBM 450 mg/kg bb mampu menghambat
kenaikan nilai ALT dan AST akibat induksi parasetamol, namun efeknya belum
sebanding dengan kelompok kontrol positif (rutin 20 mg/kg bb). Hal ini mungkin
kulit terluar kuersetin dalam bentuk aglikon sebanyak 53,2% (Wiczkowski, et al.,
lebih sulit diserap karena sifatnya yang lebih lipofilik sehingga sulit mencapai
lapisan dinding usus halus, selain juga karena aglikon tidak stabil pada pH dan
absorpsi di usus halus, karena gula yang terikat secara aktif dihidrolisis oleh β–
glukosidase di brush border usus halus yang mempunyai afinitas yang tinggi
mempunyai efek menghambat peningkatan ALT dan AST yang sebanding dengan
kontrol positif (rutin 20 mg/kg bb). Secara keseluruhan dapat dilihat adanya
penghambatan peningkatan ALT dan AST hingga nilai menuju normal seiring
47
peningkatan dosis EEKBM, sehingga menjadi petunjuk adanya hubungan
Nilai AST dan ALT merupakan biomarker yang sangat sensitif sehingga
bisa digunakan dalam penilaian hati atau liver test (LT). Apabila membran plasma
hepatosit rusak, enzim yang normalnya berada di sitosol keluar menuju aliran
darah. Nilai AST yang lebih tinggi dibandingkan ALT mengindikasikan bahwa
kerusakan sudah mencapai mitokondria karena AST berada di sitoplasma dan juga
mitokondria. Pemeriksaan AST dan ALT biasanya dilakukan untuk menilai tipe
dan luas kerusakan sel. Peningkatan yang tinggi (>20 kali lipat hingga mencapai
>1000 IU/L) menandakan hepatitis virus berat, nekrosis yang diinduksi obat dan
toksin lain serta syok sirkular (Iyanda and Adeniyi, 2011; Thapa and Walia,
2007).
dengan cara dislokasi leher kemudian dibedah untuk diambil hatinya. Hasil
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Gambar 4.3 Pemeriksaan makroskopik organ hati mencit jantan yang diambil
dari mencit setelah didislokasi pada hari ke-15. Keterangan: P1 = tanpa
perlakuan; P2 = kontrol negatif (Na CMC 0,5%); P3 = kontrol positif (rutin 20
mg/kg bb); P4,P5,P6 = EEKBM dosis 300, 450, dan 600 mg/kg bb.
48
Hasil menunjukkan adanya perbedaan warna yang cukup jelas pada kontrol
negatif yaitu organ berwarna coklat muda atau cenderung kuning pucat jika
yang licin.
49
P1 P2
P3 P4
P5 P6
50
VS
VS
P1 P2
VS
VS
P3 P4
VS
VP
P5 P6
51
Nekrosis adalah tipe kematian sel yang berkaitan dengan hilangnya
integritas membran dan bocornya komponen sel yang berujung pada disolusi sel,
menghasilkan proses degradasi sel yang mati oleh enzim. Komponen sel yang
bocor akan memicu reaksi lokal yaitu inflamasi yang berusaha mengeliminasi sel
yang mati dan memulai program regenerasi sel. Nekrosis adalah tipe cedera yang
dan pelepasan secara masif isi dari sel yang berada dalam area toksisitas yang
dapat ditandai dengan pendarahan yang luas, kongesti vena sentral yang disertai
mikrovesikular dan perubahan inti (Shahid dan Subhan, 2014). Kongesti pada
jaringan parenkim hati mencit bisa terjadi sebelum atau sesudah nekrosis. Studi
morfologi oleh Walker, dkk. menunjukkan kongesti berasal dari akumulasi sel
darah merah ke dalam vakuola endositik dan rongga Disse karena sel endotel
hidropik atau swelling merupakan tahap awal terjadinya nekrosis yang ditandai
dan berwarna pucat yang disebabkan lumpuhnya aktivitas pompa ion di plasma
aktivitas CYP P450 yang juga menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) yang
52
metabolisme lemak akibat hepatosit yang rusak, dengan ciri pernumpukan lemak
dengan ukuran yang kecil, bulat, dan jernih di sitoplasma (Featherstone, 2008).
bersifat nonletal dan reversibel, namun dapat berubah menjadi ireversibel apabila
terjadi. Nekrosis perivenular adalah bentuk kematian sel yang terjadi di sekeliling
vena, baik vena sentral maupun vena porta. Hal ini dapat terjadi jika dosis obat
yang menginduksi nekrosis cukup tinggi, seperti pada penelitian ini di mana dosis
al., yang menyimpulkan dosis ≥ 200 mg untuk mencit yang dipuasakan dan ≥ 400
mg untuk mencit yang tidak dipuasakan mampu menginduksi toksisitas hati yang
20 g setara dengan 7,758 g untuk manusia dengan berat 70 kg. Hal ini sesuai
dengan data klinis di Amerika Serikat di mana dosis tunggal ≥ 7,5-10 g untuk
merupakan hasil akhir dari kerusakan sel, yaitu pemecahan DNA dan kromatin
yang ditandai inti sel menjadi samar (karyolisis), mengecil dan berwarna
dan EEKBM 450 mg/kg bb masih menunjukkan ciri nekrosis jika dibandingkan
53
menunjukkan pendarahan yang cukup luas yang berawal dari vena sentral
juga tersebar di jaringan parenkim hati. Pada gambaran histopatologi EEKBM 450
yang cukup luas dan vena sentral yang normal dan tidak dijumpai pendarahan..
Gambaran yang bersifat reversibel ini menunjukkan bahwa EEKBM 600 mg/kg
nekrosis perivenular seperti pada kontrol negatif. Evaluasi kerusakan jaringan hati
Tabel 4.3 Evaluasi histopatologi hati mencit akibat induksi parasetamol pada
tiap kelompok perlakuan
54
setelah deplesi glutation (GSH) dan menjadi titik awal proses kematian sel dalam
beberapa jam (Jaeschke and Bajt, 2005). Terlebih lagi, toksisitas berkembang
hanya setelah onset stres oksidatif tercapai dan mitokondria mengalami disfungsi,
sehingga dengan mencegah fenomena ini akan melindungi sel dari kematian
peroksida (H2O2) yang berubah menjadi HO- melalui reaksi Fenton. Superoksida
tahap kematian sel (Jaeschke et al., 2012). Selain hepatosit, sel non-parenkim
seperti sel Kupffer dan sel endotel sinusoid juga terlibat dalam produksi ROS dan
dalam kulit bawang merah berkisar antara 25-35 mg/g, sedangkan dalam lapisan
O2- dan H2O2 yang ditandai penurunan kadar malondialdehid (MDA) dalam darah
dan urin. Kadar MDA adalah hasil dari peroksidasi lipid yang diperantarai O2- dan
H2O2. Selain itu kuersetin dapat meningkatkan kadar GSH dalam sel CK2 dan sel
55
NAPQI melalui 3 cara: (i) konjugasi yang dikatalisis GST (glutation-S-
transferase), (ii) reaksi kimia dengan NAPQI untuk membentuk konjugat, dan (iii)
donasi proton atau hidrogen ke NAPQI atau agen radikal yang bersifat
elektrofilik (Durgo, et al., 2007). Menurut Jaeschke dan Bajt, pengikatan NAPQI
kerusakan sel namun dibutuhkan beberapa peran lain yang dapat meningkatkan
toksisitas agar dapat menyebabkan kematian sel. Hal tersebut juga didukung oleh
karena itu, intervensi terhadap ikatan NAPQI -protein lewat inhibisi metabolisme
terhadap kerusakan sel yang diinduksi parasetamol (McGill, 2013; Jaeschke dan
Bajt, 2005).
56
BAB V
5.1 Kesimpulan
b. EEKBM dosis 300, 450 dan 600 mg/kg bb dapat menghambat peningkatan
aktivitas ALT dan AST. EEKBM dosis 300 mg/kg bb dengan ALT 755,17
IU/L dan AST 1051,00 IU/L, EEKBM dosis 450 mg/kg bb bb dengan ALT
528,00 IU/L dan AST 803,00 IU/L, dan EEKBM dosis 600 mg/kg bb
dengan ALT 313,70 IU/L dan AST 472,95 IU/L menunjukkan perbedaan
signifikan (p < 0,05) terhadap kelompok kontrol negatif dengan ALT 1369,87
c. pemberian EKKBM dosis 300, 450 dan 600 mg/kg bb menunjukkan adanya
5.2 Saran
57
DAFTAR PUSTAKA
Barret, K., Brooks, H., Boitano, S., dan Barman, S. (2010). Ganong’s Review of
Medical Physiology. 23rd Edition. New York: McGraw Hill Companies,
Inc. Hal. 479; 481-482.
Christ, B. dan Brückner, S. (2012). Rodent Animal Models for Surrogate Analysis
of Cell Therapy in Acute Liver Failure. Frontiers in Physiology. 3(78): 1.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Edisi VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 323-325.
Durgo, K., Vukovic, L., Rusak, G., Osmak, M., dan Colic, J.K. (2007) .Effect of
Flavonoids on Glutathione Level, Lipid Peroxidation and Cytochrome
P450 CYP1A1 Expressionin Human Laryngeal Carcinoma Cell Lines.
Food Technology Biotechnology. 45(1): 74-76.
.
Featherstone, B. (2008).Causes of Liver Disease and Dysfunction. Dalam: Drugs
and the Liver. Illinois: Pharmaceutical Press. Hal. 5-15.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung : Penerbit ITB. Hal. 151.
Graefe, E.U., Wittig, J., Silke Mueller, S., Riethling, A.K., Uehleke, B.,
Drewelow, B., Pforte, H., Jacobasch, Derendorf, H., dan Veit, M. (2001).
Pharmacokinetics and Bioavailability of Quercetin Glycosides in Humans.
Journal of Clinical Pharmacology. 41(5): 492-499.
58
Gregorio, R.M., Falcòn M.S.G., Gándara , J.S., Rodrigues, A.S., Almeida, D.P.F.
(2010). Identification and quantification of flavonoids in traditional
cultivars of red and white onions at harvest. Journal of Food Composition
and Analysis. 23: 592-598.
Hall, R. (2007). Clinical Pathology of Laboratory Animals. In: Animal Models of
Toxicology. 2nd Edition. Florida: CRC Press. Hal. 815.
Holt, A. dan Smith, A. (2008). An Introduction to The Anatomy of The Liver. In:
Drugs and the Liver. Illinois: Pharmaceutical Press. Page 5-15.
Iyanda, A.A., dan Adeniyi, F.A.A. (2011). Biochemical and Histologic
Presentations of Female Wistar Rats Administered with Different Doses of
Paracetamol/Methionine. Nigeria Journal of Physiology and Science. 26:
155-156.
Jaeschke, H., Williams, C.D., McGill, MR., Xie, Y., dan Ramchandran, A.
(2013). Models of Drug-induced Liver Injury for Evaluation of
Phytotherapeutics and Other Natural Products. Food Chemistry
Toxicology. 5(55): 279-289.
Lewis, P. N. (2008). Drugs and The Liver. London: Pharmaceutical Press. Hal.59-
60.
Kenward, R., dan Tan, C.K. Penggunaan Obat pada Gangguan Hati. Dalam:
Farmasi Klinis. Jakarta : Gramedia Elex Computindo. Hal. 160-161.
Kumar, V., Abbas, A.K., dan Aster, J.C. (2013). Robbin’s Basic Pathology.
Philadelphia: Elsevier. Hal. 6-9.
59
Ozougwu, J.C., dan Eyo, J.E. (2014). Hepatoprotective Effects of Allium cepa
(Onion) Extracts Against Paracetamol-Induced Liver Damage in Rats.
African Journal of Biotechnology. 13(26):2679-2688.
Rahayu, E., dan Berlian, N. (1999). Bawang Merah. Jakarta: Penebar Swadaya
Halaman 4-8; 8-13.
Skerget, M., Majheniè, L., Bezjak, M., dan Knez, Z. (2009). Antioxidant, Radical
Scavenging and Antimicrobial Activities of Red Onion (Allium cepa L.)
Skin and Edible Part Extracts. Chemical and Biochemical Engineering
Quarterly. 23(4): 435–444.
Thapa, B.R. dan Walia, A. (2007). Liver Function Tests and Their Interpretation.
Indian Journal of Pediatrics.74(7): 665-667.
Wilbraham, A.C., dan Matta, M.S. (1992). Pengantar Kimia Organik. Penerjemah
Suminar Achmadi. Penyunting Sofia dan Nik Solihin. Bandung: ITB.
Hal.100-105.
Smith, E.Y. (2002). Terapi Sayuran. Jakarta: Prestasi Pustaka. Halaman 61-65.
60
Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel penelitian
61
Lampiran 2. Gambar simplisia kulit bawang merah
Sebelum dikeringkan
Sesudah dikeringkan
62
Lampiran 3. Gambar serbuk simplisia kulit bawang merah
63
Lampiran 4 (lanjutan). Bagan alur penelitian
Serbuk simplisia
(534,8 g)
Dimaserasi menggunakan
Dilakukan skrining
etanol 96% yang telah
fitokimia dan karakterisasi didestilasi
simplisia
Aktivitas
Hepatoprotektor Hasil skrining fitokimia ekstrak
Penetapan kadar air ekstrak
Penetapan kadar abu total
ekstrak
Penetapan kadar abu tidak larut
asam esktrak
64
Lampiran 4 (lanjutan). Bagan alur penelitian
Darah Hati
Hasil
65
Lampiran 5. Gambar mikroskopik serbuk simplisia kulit bawang merah pada
perbesaran 10 x 40
66
Lampiran 6. Perhitungan karakterisasi simplisia kulit bawang merah dan
EEKBM
Perhitungan Penetapan Kadar Air dari Simplisia Kulit Bawang Merah dan
EEKBM
Simplisia Ekstrak
No
Berat (g) Kadar Air (ml) Berat (g) Kadar Air (ml)
1 5,003 0,05 5,007 0,05
2 5,008 0,5 5,018 0,10
3 5,010 0,05 5,012 0,10
Simplisia
0,05
1. % Kadar Air I = x100% = 1,00%
5,003
0,5
2. % Kadar Air II = x100% = 9,98%
5,008
0,05
3. % Kadar Air III = x100% = 1,00%
5,010
Ekstrak
0,05
1. % Kadar Air I = x100% = 1,00%
5,007
0,10
2. % Kadar Air II = x100% = 2,00%
5,018
0,10
3. % Kadar Air III = x100% = 2,00%
5,012
67
Lampiran 6. (lanjutan)
Perhitungan penetapan kadar sari larut air dari simplisia kulit bawang merah
1. 5,002 0,060
2. 5,002 0,067
3. 5,001 0,072
0,060 100
1. % Kadar Sari I = x x100% = 6,00%
5,002 20
0,067 100
2. % Kadar Sari II = x x100% = 6,70%
5,002 20
0,072 100
3. % Kadar Sari III = x x100% = 7,20%
5,001 20
6,00%+7,00% + 7,19%
% Kadar Sari Larut Air Rata-Rata =
3
= 6,63%
68
Lampiran 6. (lanjutan)
Perhitungan penetapan kadar sari larut etanol dari simplisia kulit bawang merah
1. 5,001 0,126
2. 5,002 0,127
3. 5,001 0,131
0,126 100
1. % Kadar Sari I = x x100% = 12,60%
5,001 20
0,127 100
2. % Kadar Sari II = x x100% = 12,70%
5,002 20
0,131 100
3. % Kadar Sari III = x x100% = 13,09%
5,001 20
= 12,80%
69
Lampiran 6. (lanjutan)
Perhitungan penetapan kadar abu total dari serbuk simplisia kulit bawang merah
dan EEKBM
Simplisia Ekstrak
No
Berat (g) Kadar Abu (g) Berat (g) Kadar Abu (g)
1 2,041 0,228 2,022 0,080
2 2,030 0,300 2,035 0,081
3 2,015 0,255 2,038 0,065
Simplisia
0,028
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 4,75%
2,041
0,300
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 14,78%
2,030
0,255
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 12.65%
2,015
Ekstrak
0,080
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 3,40%
2,022
0,081
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 3,80%
2,035
0,065
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 3,19%
2,038
3,40%+3,80% +3,19%
% Kadar Abu Total Rata-Rata = = 3,47%
3
70
Lampiran 6. (lanjutan)
Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam dari serbuk simplisia kulit
bawang merah dan EEKBM
Simplisia Ekstrak
No
Berat (g) Kadar Abu (g) Berat (g) Kadar Abu (g)
1 2,041 0,071 2,022 0,002
2 2,030 0,070 2,035 0,008
3 2,015 0,057 2,038 0,005
0,070
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 3,45%
2,030
0,057
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 2,83%
2,015
3,47%+3,45% + 2,83%
% Kadar Abu tidak Larut Asam Rata-Rata = = 3,25%
3
Ekstrak
0,002
1. % Kadar Abu Total I = x100% = 0,10%
2,022
0,008
2. % Kadar Abu Total II = x100% = 0,39%
2,035
0,005
3. % Kadar Abu Total I = x100% = 0,24%
2,038
0,10%+0,39% + 0,24%
% Kadar Abu tidak Larut Asam Rata-Rata = = 0,24%
3
71
Lampiran 7. Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan
72
Lampiran 8. Gambar mencit jantan dan proses pengambilan darah dari jantung
dan organ hati mencit jantan
kiri: organ hati yang normal, kanan: organ hati yang mengalami
nekrosis akibat induksi parasetamol
73
Lampiran 9. Volume maksimum sesuai jalur pemberian dan konversi dosis.
1. Tabel volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan
uji (Harmita dan Radji, 2008)
Volume maksimal (ml) sesuai jalurpemberian
Jenishewanuji
iv. im. ip. sc. po.
Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1 0,5-1 1
Tikus (100 g) 0,1 0,1 2-5 2-5 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2-5 5 10
Merpati (300 g) 2 0,5 2 2 10
Kelinci (2,5 kg) 5-10, 0,5 10-20 5-10 20
Kucing (3 kg) 5-10 1 10-20 5-10 50
Anjing (5 kg) 10-20 5 20-30 10 100
2. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia (Harmita dan Radji,
2008
Mencit Tikus Marmut Kelinci Kera Anjing Manusia
74
Lampiran 10. Perhitungan Dosis
20 g 𝑥 300 mg
Dosis pemberian = = 6 mg
1000
Dosis EEKBM 300 mg/kg bb adalah dosis yang terkandung dalam 1 kg berat
badan sebanyak 300 mg. Volume dosis maksimum untuk mencit adalah 10 ml/kg
300 𝑚𝑔 30 𝑚𝑔
ml/100 g (BPOM., RI., 2014), maka = , sehingga volume yang
10 ml 1 ml
6 𝑚𝑔
diberikan secara per oral : x 1 ml = 0,2 ml.
30 mg
20 g 𝑥 450 mg
Dosis pemberian = = 9 mg
1000
450 𝑚𝑔 45 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml
9 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
45 mg
20 g 𝑥 600 mg
Dosis pemberian = = 12 mg
1000
600 𝑚𝑔 60 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml
75
12 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
60 mg
4. Rutin 20 mg/kg bb
20 g 𝑥 20 mg
Dosis pemberian = = 0,4 mg
1000
20 𝑚𝑔 2 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml
0,4 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
2 mg
20 g 𝑥 1000 mg
Dosis pemberian = = 20 mg
1000
1000 𝑚𝑔 100 𝑚𝑔
= , maka volume yang diberikan secara per oral :
10 ml 1 ml
20 𝑚𝑔
x 1 ml = 0,2 ml.
100 mg
parasetamol dan rutin yang berfungsi untuk menjaga suspensi tetap stabil dan
homogen, sehingga Na CMC 0,5% berfungsi sebagai kontrol pelarut. Larutan uji
diberikan kepada hewan dalam suspensi Na CMC 0,5% sebanyak 0,2 ml,
76
Lampiran 11. Hasil pemeriksaan ALT dan AST
77
Lampiran 12. Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Descriptives
Nilai ALT
95% Confidence
Interval for Mean
ANOVA
Nilai ALT
Total 4334523.193 23
78
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Nilai ALT
Tukey HSD
79
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Multiple Comparisons
Nilai ALT
Tukey HSD
80
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Homogeneous Subsets
Nilai ALT
Tukey HSDa
Kelompok Perlakuan N 1 2 3
81
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Descriptives
Nilai AST
95% Confidence
Interval for Mean
Kontrol negatif
4 2086.350 354.7269 177.3635 1521.900 2650.800 1826.0 2609.4
(Na CMC 0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 4 354.225 34.5524 17.2762 299.244 409.206 313.2 390.7
bb)
EEKBM 300
4 1051.000 47.1434 23.5717 975.984 1126.016 991.5 1105.5
mg/kg bb
EEKBM 450
4 803.400 39.9008 19.9504 739.909 866.891 745.0 832.0
mg/kg bb
EEKBM 600
4 472.950 19.6544 9.8272 441.675 504.225 449.0 496.6
mg/kg bb
ANOVA
Nilai AST
Total 9856996.910 23
82
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Multiple Comparisons
Nilai AST
Tukey HSD
95% Confidence
Interval
Mean
(J) Kelompok Difference Lower Upper
(I) Kelompok Perlakuan Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
Tanpa perlakuan Kontrol negatif
(Na CMC -1875.5000 104.9298 .000 -2208.970 -1542.030
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg -143.3750 104.9298 .745 -476.845 190.095
bb)
EEKBM 300
-840.1500* 104.9298 .000 -1173.620 -506.680
mg/kg bb
EEKBM 450
-592.5500* 104.9298 .000 -926.020 -259.080
mg/kg bb
EEKBM 600
mg/kg bb -262.1000 104.9298 .176 -595.570 71.370
83
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Multiple Comparisons
Nilai AST
Tukey HSD
95% Confidence
Interval
(J) Kelompok Mean Lower Upper
(I) Kelompok Perlakuan Perlakuan Difference (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound
EEKBM 300 mg/kg bb Tanpa
840.1500* 104.9298 .000 506.680 1173.620
perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1035.3500* 104.9298 .000 -1368.820 -701.880
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 696.7750* 104.9298 .000 363.305 1030.245
bb)
EEKBM 450
247.6000 104.9298 .222 -85.870 581.070
mg/kg bb
EEKBM 600
578.0500* 104.9298 .000 244.580 911.520
mg/kg bb
EEKBM 450 mg/kg bb Tanpa
592.5500* 104.9298 .000 259.080 926.020
perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1282.9500* 104.9298 .000 -1616.420 -949.480
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 449.1750* 104.9298 .005 115.705 782.645
bb)
EEKBM 300
-247.6000 104.9298 .222 -581.070 85.870
mg/kg bb
EEKBM 600
330.4500 104.9298 .053 -3.020 663.920
mg/kg bb
EEKBM 600 mg/kg bb Tanpa
262.1000 104.9298 .176 -71.370 595.570
perlakuan
Kontrol negatif
(Na CMC -1613.4000* 104.9298 .000 -1946.870 -1279.930
0,5%)
kontrol positif
(rutin 20 mg/kg 118.7250 104.9298 .862 -214.745 452.195
bb)
EEKBM 300
-578.0500* 104.9298 .000 -911.520 -244.580
mg/kg bb
EEKBM 450
-330.4500 104.9298 .053 -663.920 3.020
mg/kg bb
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
84
Lampiran 13 (lanjutan). Data analisis statistik SPSS One Way ANOVA
Homogeneous Subsets
Nilai AST
Tukey HSDa
Kelompok Perlakuan N 1 2 3 4
85