SISTEM INDRA
RHINITIS ALERGI
KELOMPOK 1
Tutor Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
i
UNIVERSITAS NAHDATUL ULAMA SURABAYA
2017
KELOMPOK PENYUSUN
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
ii
SKENARIO
STEP 1
Kata Kunci
1. Laki-laki 12 tahun
2. Sering pilek sejak 1 bulan yang lalu
3. Ingusnya encer seperti air, seing bersin-bersin, mataya gatal dan batuk
4. Sering mengeluh susah nafas lewat hidung
5. Keluhan muncul terutama saat berada dirumah
6. Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya
7. Kakeknya penderita asma.
STEP 2
Identifikasi Masalah/Pertanyaan
1
7. Bagaimana pencegaha dan penatalaksanaan dari diagnosis tersebut?
8. Bagaimana prognosis dan komplikasi dari diagnosis tersebut?
9. Bagaimana pandangan islam mengenai diagnosis tersebut?
STEP 3
1. Differential diagnosis :
a. Rhinitis vasomotor
b. Rhinitis Hiperemika
Diagnosis : Rhinitis Alergi
2. Etiologi : Alergen seperti: debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang
3. Faktor resiko: Riwayat keluarga (Atopi), Lingkungan(debu rumah),
makanan(seafood)
4. Manifestasi : bersin-bersin, pilek, ingus encer, hidung buntu, gatal, mata gatal
5. Karena adanya allergen masuk sehingga mengakibatkan reaksi
hipersensitivitas tipe 1(IgE) kemudian ditangkap oleh sel T helper
dipresentasikan oleh APC dan diterima oleh sel mast yang akhirnya menjadi
manifestasi klinis.
6. Pemeriksaan :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik: Rhinoskopi
c. Pemeriksaan penunjang
i. Invitro : hitung eosinophil
ii. Invivo : prick test
7. Pencegahan : menghindari kontak dengan allergen dan meningkatkan imunitas
Penatalaksanaan : antihistamin, dekongestan, imunoterapi
8. Komplikasi : polip nasi, otitis media, prognosis : baik
9. Pandangan islam : an-nadhlofatul minal iman
2
STEP 4
Mind Mapping
Keluhan:
Pilek, Batuk, Bersin, Mata Gatal, Susah Nafas
DD:
Rhinitis vasomotor
Rhinitis hiperemik
Rhinitis alergi
Anamnesis Tambahan,
Pemeriksaan Fisik,
Pemeriksaan Penunjang
Hipotesis :
3
STEP 5
Learning Objective
STEP 6
Rinitis Hiperemika
Rinitis
Rinitis Alergi (Rinitis
Vasomotor
Medikamentosa)
Pemakaian
Umur belasan vasokonstriktor topikal
Mulai Serangan Dekade 3-4
tahun dalam waktu lama dan
berlebihan
Riwayat
Terpapar + - -
Alergen
Gatal dan
Menonjol Tidak menonjol -
bersin
Gatal dimata Sering dijumpai
Tidak dijumpai -
Eusinofil tidak Eusinofil tidak
Sekret Hidung ↑ eusinofil
meningkat meningkat
Eusinofil darah ↑ Normal Normal
Pemeriksaan Mukosa edema Mukosa Mukosa edema
Rinoskopi Warna pucat edema Hipertrofi konka
4
Anterior Rinore/secret
Warna Sekred banyak
encer banyak merah
gelap/merah
tua
Sekred
mukoid
Tes Cukil Kulit + - -
(Okuboet al.,2011; Dhingra, 2010; Elisa, 1997)
Rinitis alergi merupakan penyakit alergi tipe 1 pada mukosa hidung, yang
ditandai dengan bersin berulang, rhinorrhea, dan hidung tersumbat (Okuboet
al.,2011). Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya
adalah udara dingin debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan,
bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Selain itu, predisposisi genetik
juga memegang peranan penting. Probabilitas seorang anak mengalami alergi
adalah 20% atau 47% bila salah satu atau kedua orang tua mereka mengalami
alergi (Dhingra, 2010).
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
5
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker, 1994).
Penyebab utama dari rinitis alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh
terhadap pemicu alergi. Sistem kekebalan tubuh yang menganggap alergen
sebagai substansi berbahaya kemudian melepaskan senyawa histamin dalam
darah. Reaksi inilah yang bisa memicu pembengkakan dan iritasi pada hidung
serta produksi cairan hidung berlebihan.
Terdapat beragam alergen yang bisa memicu reaksi terhadap sistem kekebalan
tubuh jika tidak sengaja terhirup melalui hidung. Beberapa jenis yang termasuk
umum, meliputi serbuk sari, tungau debu, serta bulu hewan.
Rinitis alergi dapat dialami oleh siapa saja, tetapi ada beberapa faktor yang
diduga bisa meningkatkan risiko anda untuk mengalami rinitis alergi. Faktor-
faktor tersebut meliputi:
6
3. Pajanan dari lingkungan, contohnya pengrajin mebel yang terus terpajan
debu kayu.
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari diagnosis tersebut
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soetjipto,
2002).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung
yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga
termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat
hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara ( WHO, 2001).
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
(Soepardi, 2004).
7
setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan
alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena
hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan
pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul
dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini
berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil,
basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang
menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang
akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin
(Irawati, 2008).
8
interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE
yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.
9
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi
hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE
terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi
IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator
farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi
otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon
peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang.Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
10
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinit is alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti
bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair
maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum
nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral
atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media
(Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
11
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin
End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan (Irawati, 2002).
7. Menjelaskan pencegahan dan tatalaksana dari diagnosis tersebut
1. Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan
penyakit, dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan
untuk mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk
mengurangi hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus
diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang
mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan
12
kepatuhan pasien terhadap obat yang diresepkan (Bousquet, J. et al.,
2001).
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah (Huriyati Effy dan Al hafiz. 2013):
13
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini menubah gaya hidup seperti
pola mengubah yang bergizi, olahraga dan menghindari stres
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal
1. Antihistamin
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
allergi. Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan
antihistamin H1 golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti
Dipenhydramine, tripolidine, chlorpheniramine dan lain-lain.
Desloratadine memiliki efektifitas yang sama dengan monteluksat dalam
mengurangi gejala rinitis yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang
diberikan selama 6 bulan terbukti mengurangi gejala rinitis alergi persisten
dan meningkatkan kualitas hidup pasien rinitis alergi dengan asma.
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik.
2. Dekongestan
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokontriksi
karena efeknya pada reseptor - reseptor α-adrenergik. Efek vasokontriksi
terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam.
Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung,
tetapi tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas
selama 10 hari. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral dimaksud
untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak dipengaruhi oleh
antihistamin.
3. Kortikosteroid
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai
depo steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit
14
dan tidak ada penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih baik
dan hubungannya dengan dose response. Kortikostreroid oral sangat
efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi terutama dalam episode akut.
Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang
kortikosteroid sistemeik baik peroral atau parenteral dapat berupa
osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari hypothalamic-
pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glaukoma, cutaneus striae. Efek
samping lain yang jarang terjadi diantaranya sindrom Churg-Strauss.
Pemberian kortikosteroid sistemik dengan pengawasan diberikan pada
kasus asma yang disertai tuberkulosis, infeksi parasit, depresi yang berat
dan ulkus petikus.
Pemakaian kortikosteroid topikal untuk rinitis alergi seperti
Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone
dan Triamcinolon acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek
antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada
reseptornya, serta memiliki efek samping sistemik yang lebih kecil. Tapi
pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa
hidung menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya jamur.
4. Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis meyebabkan vasodilatasi dan
sekresi kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor
muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi.
Ipratropium bromida yang merupakan turunan atropin secara
topikal dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
5. Natrium kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme
kerja belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat
pelepasan mediator dari sel mastosit atau mungkin melalui efek terhadap
saluran ion kalsium dan klorida.
6. Immunoterapi
15
Immunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya
penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi
gejala klinis rinitis alergi. Terdapat beberap cara pemberian imunoterapi
seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen
standar selama 3 tahun terbukti memiliki efek preventif pada anak
penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjuctivitis mencapai 7 tahun
setelah imunoterapi dihentikan.
8. Menjelaskan prognosis dan komplikasi dari diagnosis tersebut
1. Polip hidung
Iritasi yang terjadi pada mukosa hidung secara berulang pada rinitis alergi
dapat memicu pertumbuhan polip pada hidung.
2. Otitis media serosa akut
Kondisi ini dapat terjadi karena adanya penyumbatan berulang pada tuba
Eustachius.
3. Asma bronkial
Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada saluran napas
bagian bawah termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan
biokimia. Survei epidemiologi menunjukkan bahwa rinitis alergi
merupakan faktor independen untuk terjadinya asma bronkial.
4. Sinusitis paranasal
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa
yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
16
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah .
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat
terapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak
juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan
baik. Rinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah
pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi akan menurun pada pasien bila
mencapai umur 4 dekade (Dhingra, 2010).
9. Menjelaskan pandangan islam mengenai dari diagnosis tersebut
Adab-Adab Bersin
Hendaknya orang yang bersin untuk merendahkan suaranya dan tidak secara
sengaja mengeraskan suara bersinnya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu:
Jika salah seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan alhamdulillah, maka
hendaklah kalian mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, namun
jika tidak, maka janganlah mengucapkan tasymit baginya.” [HR. Muslim no.
2992]
17
Sesungguhnya Allah menyukai bersin & membenci menguap, bila salah
seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan; ALHAMDULILLAAH, wajib bagi
yg mendengarnya untuk mengucapkan; YARHAMUKALAAH, sedangkan uapan,
bila salah seorang dari kalian menguap, hendaklah ia menangkal sebisanya &
jangan sampai mengucapkan; aah, aah, karena hal itu dari setan, ia akan
menertawakannya. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih, & hadits ini lebih
shahih dari hadits Ibnu 'Ajlan. Ibnu Abu Dzi`b lebih hafal hadits Sa'id Al Maqburi
& lebih kuat dari Muhammad bin 'Ajlan. Perawi berkata; Aku mendengar Abu
Bakar Al 'Aththar Al Bashri menyebutkan dari Ali bin Al Madani dari Yahya bin
Sa'id ia berkata; Muhammad bin 'Ajlan berkata; hadits-hadits Sa'id Al Maqburi,
sebagiannya diriwayatkan oleh Sa'id dari Abu Hurairah, & sebagaiannya dari
Sa'id dari seseorang dari Abu Hurairah, sanad ini kacau lalu aku menjadikannya
dari Sa'id dari Abu Hurairah. [HR. Tirmidzi No.2671].
STEP 7
Kesimpulan
18
tindakan terapi dengan cepat, tepat dan baik agar tidak terjadi kekambuhan serta
tidak menyebabkan komplikasi seperti polip nasalis atau otitis media.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke
enam.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C., 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi
kedua. Thieme. New York:242-260.
Bousquet, J. et al., 2001. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
2001Update (In collaboration with the WHO). In : Journal allergy : vol 108
no.5.Nov 2001.
Dhingra. P.L. and Dhingra, S., 2010. Diseases of ear, nose & throat. 5th ed. India:
Elsevier, pp.69-70.
Durham SR, 2006. Mechanism and Treatment of Allergic Rhinitis, In: Kerr
AG,ed,Scott- Browns Otolaryngogoly, Sixth Edition, Vol, 4, Butterworth-
Heinemann, London: pp. 4/6/1-14.Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.
Huriyati Effy dan Al hafiz. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi
yang Disertai Asma Bronkial. Bagian telinga hidung tenggorok bedah
kepala leher. Fakultas kedokteran Andalas-RSUP Dr.M.Djamil Padang
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI,.
20
Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In: GLORIA Global
Resources Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised
Guidelines, Milwaukeem USA:P, 12
Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI.
21