Media sosial adalah teknologi berbasis internet yang membantu manusia untuk
berinteraksi dengan sesama penggunanya. Melalui media sosial, kita dapat saling
berkomunikasi, bertukar informasi, dan berjejaring satu dengan lainnya. Media sosial
menjadi jendela informasi dari seluruh dunia dan proses penyebarannya secara cepat tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu. Inilah kecanggihan internet dan media sosial.
Jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2017 berdasarkan data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia berjumlah 143,26 juta jiwa. Jumlah ini mengalami
kenaikan sebesar 8 % (delapan persen) dari jumlah sebelumnya pada tahun 2016 yakni
sebanyak 132,47 Juta orang. Dan dari jumlah tersebut didominasi oleh laki-laki sebesar
51,43 %. Apabila dilihat dari rentang usia yang mendominasi penggunaan internet, maka
usia 35 – 44 mendominasi sebesar 49,52 persen.
Data Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Isi media sosial
sebanyak 90,30 % (sembilan puluh koma tiga puluh persen) adalah berita bohong, 21,60 %
informasi bersifat menghasut, dan 59 % informasi tidak akurat. Informasi ini disampaikan
oleh Selamatta Sembiring selaku Direktur Layanan Informasi Internasional, Ditjen IKP,
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam seminar yang diinisiasi Forum Promotor
2018 Polri. (https://kumparan.com/wa-wicaksono/forum-promoter-2018-polri-sebab-hoax-
persatuan-dan-kesatuan-indonesia-bisa-retak, diakses 4 Desember 2018).
Ian Kershaw di buku Hitler: 1889-1936 Hubris, menulis bahwa Goebbels piawai
mengarang cerita-cerita hoax tentang orang Yahudi. Melalui kanal radio, koran, dan lain
sebagainya, disebutkan bahwa orang-orang Yahudi adalah sumber kekacauan ekonomi
rakyat Jerman karena merebut sektor pekerjaan penting di negara tersebut. Sentimen anti-
Yahudi di bidang ekonomi melahirkan gerakan pemboikotan produk bikinan orang Yahudi,
demonstrasi, dan lain sebagainya. Orang-orang Yahudi juga dijadikan alasan utama
mengapa Jerman kalah di PD I. Taktik propaganda ini berhasil menaikkan Partai Nazi ke
tampuk kekuasaan tertinggi di Jerman, hingga Jerman terlibat sebagai salah satu pemain
besar di Perang Dunia II. Kebencian rasialis itu pula yang mendorong Hitler untuk
melangkah ke level baru: pembantaian 6 juta orang-orang Yahudi sepanjang 1941-1945.
Kebijakan yang terstruktur dan sistematis ini didukung oleh sebagian besar warga Jerman
pada waktu itu yang telah kenyang makan propaganda Goebbels. Goebbels memahami
bahwa kebenaran informasi di mata publik Jerman tak harus didasarkan pada fakta ilmiah,
namun juga bisa berasal dari sekeranjang kebohongan. Kuncinya adalah : “Jika Anda
menyampaikan kebohongan dengan sering dan berulang-ulang, orang akan mempercayainya
sebagai sebuah kebenaran—bahkan termasuk Anda sendiri.” (https://tirto.id/gairah-
membunuh-gara-gara-hoax-cwSy, diakses 4 Desember 2018).
Survey Masttel menyebutkan bahwa hoax sengaja dibuat untuk mempengaruhi publik
dan kian marak lantaran faktor stimulan seperti isu Sosial Politik dan SARA, namun
penerima hoax cukup kritis karena mereka telah terbiasa untuk memeriksa kebenaran berita.
Ketua Umum Mastel, Kristiono menyatakan bahwa hasil dari survey ini sudah bagus, namun
perlu adanya peran aktif dari pemerintah, pemuka agama dan komunitas untuk membantu
meningkatkan literasi masyarakat. Dalam hal ini dengan menyediakan akses terhadap
fasilitas untuk memeriksa kebenaran hoax yang beredar. (https://mastel.id/infografis-hasil-
survey-mastel-tentang-wabah-hoax-nasional/, diakses 4 Desember 2018). Hasil survey
master juga memperlihatkan fakta-fakta bahwa saat ini wabah hoax sudah tidak bisa
ditangani dengan cara biasa, bahkan sudah selayaknya difikirkan penanganan secara
ekstraordinary (luar biasa) karena efek yang ditimbulkan hoax tersebut bagi keutuhan suatu
bangsa dan negara.
Faktor Stimulan yang didominasi isu sosial politik & SARA menjadi perhatian setiap
orang yang menggunakan media sosial dan merupakan sumber dari munculnya hoax itu
sendiri. Masyarakat yang dikelompokkan kedalam supporter, silent majority, dan hater
merupakan warna dalam iklim demokrasi. Masyarakat Suporter yang mendukung, dilain
pihak hater tidak dapat dihilangkan. Menjaga kelompok silent majority agar tetap immune
(kebal) terhadap hoax dan berkurangnya lapisan kelompok haters dan supporters menjadi
tantangan ke depan.
Hoax bukan hanya marak di Indonesia, melainkan hampir diseluruh negara di dunia.
Efek yang sangat besar akibat hoax diatas, menjadikan dasar seluruh negara termasuk
Indonesia untuk berupa mengelola dan menanggulanginya, bagaimana kebijakan/regulasi
pemerintah, infrastruktur mitigasi hoax, kontribusi media penebar hoax, peningkatan literasi,
pemerataan awareness digital, dll. Sebagai respons terhadap situasi ini, pemerintah
UU ITE telah diundangkan lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang lalu, ketentuan-ketentuan
yang ada di dalamnya masih terus disampaikan kepada masyarakat dan para pemangku
kepentingan dari berbagai latar belakang. Penerapan sanksi bagi pelaku penyebar hoax
sudah ditangani oleh pihak kepolisian, salah satu contoh, pada laman berita online
disebutkan bahwa “Sebar Hoaks dari Ahok ke Jokowi, Admin Akun IG sr23_official Tak
Sangka Ditangkap Polisi”.Bukan kesengajaan memilih berita ini, tetapi ada yang perlu digali
dari pengakuan pelaku hoaks itu sendiri, yaitu bahwa pelaku bercerita pada awalnya
membuat konten negatif ditujukan kepada Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Ahok menjadi
sasarannya saat terjerat kasus penistaan agama pada 2016. Baru setelah kasus itu selesai, JD
beralih untuk mengangkat konten Jokowi. Dalam pengakuannya kepada Bareskrim Polri,
Cideng, Jakarta Pusat pada jumat 23 november 2018, JD mengatakan bahwa “awalnya itu
dari kasus Ahok karena menista agama. Dari situlah timbul niat membuat akun untuk
melawan Ahok”.
Pengakuan JD yang menjadi perhatian kita adalah bahwa menurutnya apa yang
dilakukannya dengan menyebar konten negatif tidak melanggar hukum. “Waktu itu saya
jarang melihat berita polisi tangkap (pelaku hoaks dan ujaran kebencian, - red
Tribunnews.com. (http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/sebar-hoaks-dari-ahok-
ke-jokowi-admin-akun-ig-sr23_official-tak-sangka-ditangkap-polisi, diakses tanggal 27
November 2018). Dalam kasus ini, tersangka disangkakan Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28
ayat (2) dan/atau Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU No 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan/atau Pasal 16 jo Pasal 4 huruf b
angka 1 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan/atau
Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 157
ayat (1) KUHP.
Hoax juga menjadi bisnis bagi pelaku penyebar hoax, seperti kasus saracen, Selamatta
selaku Direktur Layanan Informasi Internasional Kementrian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia menyebutkan bahwa setiap kali berita bombastis (Clickbait) diklik,
maka pemilik situs bisa mendapatkan keuntungan dari iklan. Menurut penelusuran dari
Bareskrim, Sindikat SARACEN misalnya, memiliki 800.000 (delapan ratus ribu) akun lebih.
Jika 1000 x klik = 1 USD atau sekitar Rp. 14.000. Sungguh sebuah keuntungan yang cukup
membuat orang banyak tergiur karenanya. (https://kumparan.com/wa-wicaksono/forum-
promoter-2018-polri-sebab-hoax-persatuan-dan-kesatuan-indonesia-bisa-retak, diakses 4
Desember 2018).
(https://www.kominfo.go.id/content/detail/14576/penegakan-hukum-terhadap-pelaku-
hoax-sangat-minim/0/sorotan_media, diakses 4 Desember 2018.
Wabah hoax dan ujaran kebencian yang beredar di media sosial, memaksa semua pihak
untuk bahu-membahu berupaya mencegah meluasnya wabah hoax karena mengancam
persatuan dan kesatuan. Upaya pencegahan perbuatan ujaran kebencian dan hoax saat ini
dimulai dari institusi pemerintah, khususnya dari seluruh Aparatur Sipil Negara. Aparatur
Sipil Negara (ASN) sebagai pemersatu bangsa berdasarkan amanat Undang Undang No. 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan dapat membantu pemerintah
untuk mencegah aktivitas ujaran kebencian dan hoax. Badan Kepegawaian Negara sebagai
Badan yang menaungi seluruh Aparatur Sipil Negara di Indonesia, mengeluarkan rilis terkait
fenomena semakin maraknya aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh
beberapa oknum Aparatur Sipil Negara.
Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas
ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN dikeluarkan untuk membantu
Pemerintah memberantas penyebaran berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian bermuatan
Pengaduan dari masyarakat terkait keterlibatan ASN dalam ragam aktivitas ujaran
kebencian turut memperkeruh situasi bangsa. Menanggapi perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh sejumlah oknum ASN tersebut, BKN menganggap penting mengatur sanksi
tegas sanksi tegas dengan menggolongkan aktivitas ujaran kebencian dan penyebaran berita
palsu (hoax) yang dilakukan oleh ASN sebagai pelanggaran disiplin. Pelanggaran displin
PNS selama ini telah diatur melalui Peraturan Kepala BKN no. 54 Tahun 2010 tentang
Hukuman Disiplin. Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
ditindaklanjuti dengan dilayangkannya imbauan kepada Pejabat Pembina Kepegawai (PPK)
Instansi Pusat dan Daerah untuk melarang ASN di lingkungannya menyampaikan dan
menyebarkan berita berisi ujaran kebencian perihal SARA, serta mengarahkan ASN agar
tetap menjaga integritas, loyalitas, dan berpegang pada empat pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 seakan tidak
ada hambatan, bahkan tidak riuh seperti kebanyakan isu-isu kebijakan pemerintah yang
menuai pro dan kontra. Berdasarkan hasil observasi peneliti dikalangan ASN khususnya di
BPS Provinsi Sumatera Utara, Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian belum sepenuhnya diketahui bahkan dipahami oleh
ASN. ASN yang mengetahui tentang RILIS BKN seperti bapak Ramlan selaku Kepala
Rilis yang dikeluarkan oleh BKN sebenarnya patut diberikan apresiasi dimana Rilis
BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian dibuat sebagai
langkah tindakan yang disengaja dilakukan oleh BKN karena aktivitas ujaran kebencian dan
hoax yang saat ini melanda Indonesia dan penyebarannya tidak bisa dihambat. Berdasarkan
observasi peneliti di media sosial melalui website https://turnbackhoax.id/, hari demi hari
penyebaran ujaran kebencian dan hoax sangat mengkhawatirkan. Apa yang dipublis pada
website https://turnbackhoax.id/ hanyalah beberapa hoax yang dapat dideteksi dan yang
dilaporkan oleh relawan, karena setiap hari di media sosial begitu banyak hoax yang
disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.Oleh karenanya, BKN menyadari
bahwa aktivitas ujaran kebencian dan hoax adalah permasalahan yang luar biasa, sehingga
diperlukan upaya penanggulangan yang luar biasa juga. Hal tersebutlah yang
melatarbelakangi dikeluarkannya Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei
2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian.
b. Manfaat Akademis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai berikut: Hasil penelitian ini
diharapkan berguna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu, terutama ilmu komunikasi
dalam kajian persepsi.
c. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini menjadi sumbangsih pemikiran terhadap penentuan
kebijakan terkait dengan aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh
Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari
konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan
berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif,
pengumpulan data dapat dilakukan secara simultan dengan analisis data selama penelitian
berlangsung. Selanjutnya, Patton mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam
Ghony, 2012: 73):
Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat menjadikan berbagai
fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan suatu kerangka di mana
fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang memang ada. Dalam arti yang
paling nyata, untuk memahami paradigma, kita harus memahami proses bagaimana
paradigma itu ditemukan. Artinya, bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat
fenomena tertentu.
Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia itu
tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah
inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh
tentang manusia dan dunianya.Secara singkat, paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri
fenomenologis, induktif, inner behaviour dan holistik.
Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang sistematis dan
berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peneliti untuk mempelajari
suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam sistem tersebut yang dapat dilihat secara
total dan bukan secara bagian saja. Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan
sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan
lapangan (empiris), bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses
penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka
bentuk.
Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara lain (Ghony,
2012: 77):
Penelitian yang dilakukan oleh Ratu Matahari (2012) tentang Studi Kualitatif
Mengenai Persepsi Dan Perilaku Seksual Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam
Upaya Pencegahan IMS Di Kota Semarang Tahun 2012. Latar belakang penelitian
diperoleh dari peningkatan jumlah kasus IMS di Kota Semarang dengan jumlah kasus IMS
pada tahun2009 tercatat mencapai 2.471 kasusdan jumlah kasus IMS pada tahun 2011
adalah 2473 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi dan perilaku
seksual wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) diLokalisasi Sunan Kuning terhadap upaya
pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kota Semarang. Metode penelitian yang
digunakan adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview)pada enam PSK yang
mengalami IMS dan mewawancarai dua kelompok diskusi (FGD), seorang mucikari, dan
seorang petugas lapangan (PL) sebagai triangulasi. Analisis data menggunakan analisis isi
(contentanalysis). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pola Pengetahuan PSK dan persepsi
Penelitan yang dilakukan Kasim M.M, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai Negeri
Sipil Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai
Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda). Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, diharapkan mampu memperbaiki
manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik karena PNS tidak lagi
berorientasi melayani atasannya, melainkan masyarakat. Aturan ini menempatkan PNS
sebagai sebuah profesi yang bebas dari intervensi politik dan akan menerapkan sistem karier
terbuka yang mengutamakan prinsip professionalisme yang memiliki kompetensi,
kualifikasi, kinerja, transparansi, objektivitas, serta bebas dari KKN yang berbasis pada
manajemen sumber daya manusia dan mengedepankan sistem merit menuju terwujudnya
birokrasi pemerintahan yang profesional. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
persepsi pegawai negeri sipil terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara di kantor Kelurahan Temindung Permai Kecamatan Sungai
Pinang Kota Samarinda beserta dampak yang ditimbulkan UU tersebut. Jenis penelitian ini
adalah kualitatif deskriptif, dimana pada penelitian bersifat memberikan gambaran tentang
keadaan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan. Temuan dari hasil penelitian ini bahwa
Penelitian yang dilakukan Johana, Devi Eka, dkk (2017) tentang Persepsi Sosial Pria
Transgender Terhadap Pekerja Seks Komersial. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
secara mendalam persepsi sosial transgender terhadap pekerja seks komersial. Metode
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan model penelitian studi kasus
fenomenologi. Partisipan pada penelitian ini adalah tiga pria transgender yang berprofesi
sebagai pekerja seks komersial. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terpimpin,
observasi dan catatan lapangan. Teknik analisis data menggunakan analisis tematik dan
validasi data menggunakan triangulasi sumber dan member checking. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persepsi sosial pria transgender terhadap pekerja seks komersial
adalah seorang wanita yang bekerja memberilayanan seks komersial untuk tujuan
pemenuhan ekonomi dan kebutuhan psikologis. Mereka tidak memiliki penampilan fisik
menarik secara seksual namun memiliki interaksi sosial dan konsep diri yang baik.
Anita Ulfa, dkk (2018) tentang Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Iklan “Manfaat
Pajak” Di Televisi. Penelitian dengan judul persepsi masyarakat Surabaya tentang iklan
“manfaat pajak” di televisi adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana
persepsi terhadap iklan tersebut. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Dari
penelitian yang dilakukan, persepsi adalah negatif. Hal ini dapat diketahui dari beberapa
wawancara yang ditanyakan kepada informan, sebagian besar informan menyatakan tidak
setuju. Namun masih ada sebagian kecil yang mempunyai persepsi tidak baik terhadap iklan
“manfaat pajak” di televisi, karena iklan dianggap untuk mendapatkan dukungan dalam
proses iklan. Segala hal yang disajikan dalam iklan. Dari hasil penelitian yang telah
didapatkan maka saran yang diberikan kepada pembuat iklan”manfaat pajak” di televisi.
Dengan menampilkan citra yang berlebihan yang diiklankan karena dapat menjadi kesan
buruk terhadap yang diiklankan.
Peneliti mengangkat penelitian tentang Persepsi ASN terhadap Rilis BKN untuk
mengembangkan Penelitian yang dilakukan Kasim, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai
Negeri Sipil Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai
Peneliti mengambil judul tentang Persepsi ASN terhadap Rilis BKN Nomor:
006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori
Pelanggaran Disiplin ASN. Peneliti mengambil kekhususan dari aspek yang diatur dalam
Undang-undang ASN khususnya mengatur tentang aspek Hukuman Disiplin Pegawai
Negeri. Lebih khusus lagi, peneliti mengangkatnya dari fenomena yang sangat
mengkhawatirkan terkait dengan ujaran kebencian dan hoax yang melibatkan beberapa
oknum dari Aparatur Sipil Negara. Fokus permasalahan pada satu aspek dari ASN inilah
yang tidak diangkat pada penelitian Kasim, dkk (2017). Peneliti berusaha mengungkapkan
satu fokus permasalahan terkait dengan aspek hukuman disiplin ASN yang ingin diteliti
yakni Rilis yang dikeluarkan oleh BKN terkait dengan enam aktivitas ujaran kebencian.
Rilis yang dikeluarkan BKN sejak bulan mei tahun 2018 menimbulkan pro dan kontra. Rilis
tersebut masih dipertanyakan kekuatan hukum dalam penerapannya karena ketentuan baru
tentang hukuman disiplin yang disebutkan dalam rilis BKN tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Pemerintah dan akibatnya ketentuan
dalam rilis bisa berubah sewaktu-waktu dan tergantung kebutuhan. Substansi Hukuman
disiplin yang diatur juga menjadi pro dan kontra, karena cenderung masuk kedalam ranah
privat dari ASN. Ketentuan tentang pernyataan mendukung pendapat di media sosial seperti
kegiatan berkomentar (comment), suka (like), berkomentar kembali di twitter (retweet)
dipahami melanggar hak azasi sebagai pribadi. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran
dikalangan ASN maupun Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sebagai pelaksana rilis BKN
di Instansi Pemerintah, karena substani dalam rilis bkn cenderung bersifat sementara (ex
Dari beberapa pencarian yang dilakukan oleh peneliti melalui website pencari goole,
Peneliti tidak menemukan adanya kajian tentang persepsi ASN khususnya terkait hukuman
disiplin yang berkategori ujaran kebencian dan hoax. Ujaran Kebencian dan Hoax
merupakan sesuatu yang baru dan menjadi pro kontra karena beberapa oknum ASN terlibat
dalam aktivitas ujaran kebencian dan hoax. Peneliti ingin menggali persepsi ASN terhadap
Rilis yang dikeluarkan oleh BKN. Aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh
Aparatur Sipil Negara (ASN) belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Rekomendasi kepada BKN selaku Instansi yang
ditunjuk untuk merancang revisi PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri, salah
satunya menyesuaikan nomenklatur Disiplin Pegawai Negeri Sipil menjadi Disiplin
Aparatur Sipil Negara, serta memasukkan ketentuan tentang aktivitas ujaran kebencian dan
hoax kedalam bab Disiplin Aparatur Sipil Negara pada PP 53 Tahun 2010.
Menurut Thoha (2002: 123) persepsi didefinisikan sebagai proses kognitif yang
dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Sedangkan
Irwanto (2002: 71) menyatakan persepsi adalah proses diterimanya rangsangan
(objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsangan itu
a. Penerimaan rangsangan
Pada proses ini seseorang menerima rangsangan dari luar (objek, situasi maupun
peristiwa) yang diterima oleh inderanya baik itu penglihatan, pendengaran,
perasaan maupun penciuman.
b. Proses menyeleksi rangsangan
Rangsangan yang diterima oleh seseorang terkadang begitu banyak dan
bervariasi. Pada proses ini rangsangan yang diterima diseleksi berdasarkan
seberapa menariknya rangsangan tersebut untuk diberikan perhatian yang lebih.
c. Proses pengorganisasian
Rangsangan yang sudah diseleksi kemudian diorganisasikan dalam bentuk yang
mudah dipahami untuk kemudian dilakukan proses selanjutnya.
d. Proses Penafsiran
Pada proses ini dilakukan penafsiran terhadap rangsangan yang sudah diseleksi
untuk mendapatkan arti dan informasi.
e. Proses Pengecekan
Setelah diperoleh arti atau makna dari informasi yang ditafsirkan, kemudian
dilakukan pengecekan yang intinya adalah melakukan review terhadap kebenaran
informasi tersebut.
1. Kognisi
Aspek kognisi menyangkut komponen pengetahuan, pandangan, pengharapan
cara berpikir/mendapatkan pengetahuan, dan pengalaman masa lalu serta segala
sesuatu yang diperoleh dari hasil pikiran individu pelaku persepsi.
2. Afeksi
Aspek afeksi menyangkut komponen perasaan dan keadaan emosi individu
terhadap objek tertentu serta segala sesuatu yang menyangkut evaluasi baik buruk
berdasarkan faktor emosional seseorang.
3. Konasi atau psikomotor
Aspek konasi/psikomotor menyangkut motivasi, sikap, perilaku atau aktivitas
individu sesuai dengan persepsinya terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.
Persepsi bersifat tidak statis melainkan berubah-ubah atau dengan perkataan
lain sifatnya relatif atau tidak absolut, tergantung pada pengalaman sebelumnya,
sehingga akan menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang barangkali
sangat berbeda dari kenyataannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Luthans (2006:
194) yang menyatakan persepsi merupakan proses kognitif kompleks yang
menghasilkan gambaran dunia yang unik, yang mungkin agak berbeda dengan
realita.
1. Sikap
2. Motif
3. Kepentingan
4. Pengalaman
5. Pengharapan
1. Waktu
2. Keadaan/tempat kerja PERSEPSI
3. Keadaan Sosial
1. Hal Baru
2. Gerakan
3. Bunyi
4. Ukuran
5. Latar Belakang
6. Kedekatan
Pertama, faktor yang ada pada pelaku persepsi (perceiver), yang termasuk
faktorpertama adalah sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau minat,
pengalaman dan pengharapan individu.
Kedua, faktor yang ada pada obyek atau target yang dipersepsikan yang
meliputihal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.
Perkembangan Persepsi
Persepsi berkembang secara bertahap, baik terjadi pada hewan maupun
manusia. Berikut akan dipaparkan proses perkembangan persepsi bayi sejak bayi
lahir: (Suciati, 2015:92)
1. Dunia yang Dilihat Ketika Bayi Lahir.
Meskipun retina dari bayi yang dilahirkan belum berfungsi dengan
sempurna, namun para psikolog meyakini bahwa sudah dapat melihat meskipun
dengan cara yang berbeda dengan cara melihat orang dewasa. Secara umum
penglihatan bayi masih relatif kabur, sedangkan setelah enam bulan baru sama
penglihatannya dengan manusia dewasa. Penglihatan bayi yang baru lahir masih
Proses top-down tidak muncul begitu saja, tetapi harus dengan bantuan dari
proses buttom-up. Pemrosesan buttom-up terdiri atas kemajuan dalam mengenali dan
memroses informasi dari komponen-komponen individual dari suatu stimulus dan
beralih menjadi persepsi terhadap keseluruhan. Kita tidak akan dapat mencapai
kemajuan dalam pengenalan kita terhadap huruf dan angka sebagaimana dicontohkan
di atas tanpa mampu memersepsi bentuk-bentuk individual dari huruf-huruf tersebut.
Beberapa persepsi dengan demikian terjadi pada tingkat pola dan ciri dari masing-
masing huruf yang terpisah.
a. Perhatian
Terjadinya persepsi pertama kali diawali oleh adanya perhatian. Tidak semua
stimulus yang ada di sekitar dapat ditangkap semuanya secara bersamaan.
Perhatian biasanya hanya tertuju pada satu atau dua objek yang menarik bagi
kita.
b. Kebutuhan
Setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu kebutuhan
yang sifatnya menetap maupun kebutuhan yang sifatnya hanya sesaat, dimana
masing-masing orang memiliki kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan
yang lainnya.
c. Kesediaan
Kesediaan adalah harapan seseorang terhadap suatu stimulus yang muncul, agar
memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterima lebih efisien sehingga akan
lebih baik apabila orang tersebut telah siap terlebih dahulu.
d. Sistem Nilai
Sistem nilai yang berlaku dalam diri seseorang atau masyarakat akan
berpengaruh terhadap persepsi seseorang.
“Makna” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: arti, maksud pembicara
atau penulis. Makna adalah proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu
pesan. Semua ahli komunikasi, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1996), sepakat
bahwa makna kata sangat subjektif words don’t mean, people mean (Sobur,
2015:20). Ada tiga hal yang dijelaskan para filsufdan linguis sehubungan dengan
usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni : (1) menjelaskan makna
secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, (3) menjelaskan makna
dalam proses komunikasi (Kempson, dalam Sobur:2015:23). Maka dari itu
sesungguhnya istilah makna adalah istilah yang memiliki banyak arti. Menurut F.R
Plamer dikutip Sobur (2015:24), untuk dapat memahami apa yang disebut makna,
kita mesti kembali ke teori Ferdinand de Saussure. Dimana dalam bukunya, Course
inGeneral Linguistik (1916), de Saussure menyebut tanda linguistik. Tiap
tandalinguistik terdiri atas dua unsur, yakni yang diartikan (unsur makna) dan
yangmengartikan (unsur bunyi). Kedua unsur ini, yang disebut unsur
intralingual,biasanya merujuk pada sesuatu referen yang merupakan unsur
ekstralingual. Sedangkan kata Peursen, “manusia ditandai dengan kata” (Sobur,
2015:24).
Tipe-tipe Makna
Brodbeck (1993) dalam Sobur (2015:26-26) mengemukakan bahwa sebenarnya
ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda :
1. Menurut tipologi Brodbeck, adalah makna referensial; yakni, makna suatu istilah
adalah objek, pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu.
2. Tipe makna yang kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Suatu istilah dapat
saja memiliki arti referensi dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai
referen, tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia
tidak mempunyai arti.
Pemaknaan Audiens
Pemaknaan akan terjadi jika ada yang namanya audiens. Pada awalnya,
sebelum media massa ada, audiens adalah sekumpulan penonton drama, permainan
dan tontonan. Setalah ada kegaiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan
sebagai penerima pesan-pesan media massa. Pemaknaan menjadi inti komunikasi
dikarenakan jika makna yang diberikan tidak akurat, tidak mungkin akan terjadi
komunikasi yang efektif. Semakin tinggi derajat kesamaan antar individu, semakin
mudah dan semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok
identitas (Mulyana, 2005).
Prinsip-prinsip Camden, suatu dokumen yang disepakati oleh para ahli HAM
tentang pembatasan hak ekspresi dalam kaitannya dengan hate speech, mendorong
setiap Negara untuk mengadopsi hukum yang melarang advokasi kebencian antar
bangsa, ras atau agama yang mengandung penyebarluasan diskriminasi, kebencian
dan kekerasan. Untuk menjaga penyalahgunaan pembatasan hak, legislasi harus
membuat secara rigit definisi yang ketat, antara lain yaitu: istilah ‘kebencian’ dan
‘kekerasan’ yang mengacu pada perasaan merendahkan, menghina, membenci yang
kuat dan irasional yang ditujukan kepada kelompok sasaran tertentu; Istilah
‘advokasi’ mensyaratkan adanya maksud untuk mempromosikan kebencian secara
terbuka terhadap kelompok sasaran tertentu; dan istilah ‘penyebarluasan’ mengacu
pada pengungkapan pernyataan terhadap kelompok kebangsaan, ras atau agama
tertentu yang menciptakan risiko diskriminasi, kebencian dan kekerasan yang
mendesak terhadap orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok tersebut
(Anam dan Hafiz, 2015).
Pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa batasan pengertian ujaran
kebencian adalah ujaran yang mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-
kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung
(aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat) yaitu menginspirasi orang lain
untuk melakukan kekerasan atau menyakiti orang atau kelompok lain.
Ancaman pidana juga ditujukan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA
(Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 UU ITE). Tindak pidana ini juga dirumuskan secara
materiil. Artinya, tindak pidana selesai sempurna akibat adanya rasa kebencian atau
permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul.
1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang
bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang
mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan
antargolongan;
3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian (pada poin 1 dan 2)
melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost instagram dan
sejenisnya);
4. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut,
memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
5. Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina,
menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang- Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
6. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada
poin 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di
media sosial.
Bagi ASN yang terbukti melakukan pelanggaran pada poin 1 sampai 4 dijatuhi
hukuman disiplin berat dan ASN yang melakukan pelanggaran pada poin 5 dan 6
dijatuhi hukuman disiplin sedang atau ringan.
Dalam cambridge dictionary, kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon.
Kegiatan menipu, rencana menipu, trik menipu, disebut dengan hoax. Pada situs
hoaxes.orgdalam konteks budaya mengarah pada pengertian hoax sebagai
aktifitasmenipu: Ketika sebuah surat kabar dengan sengaja mencetak cerita palsu,
kami menyebutnya tipuan. Kami juga menggambarkan aksi publisitas yang
menyesatkan, ancaman bom palsu, penipuan ilmiah, penipuan bisnis, dan klaim
politik palsu sebagai tipuan.
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE ada salah satu unsur yaitu menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan, apakah bohong dan menyesatkan adalah hal yang sama
dan apakah jika menyesatkan sudah pasti bohong?
Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa
“menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam
kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat
orang berpadangan salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi
pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi.
Unsur-unsur tersebut yaitu:
1. Setiap orang.
2. Dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. dalam
artikel Danrivanto Budhijanto, "UU ITE Produk Hukum
Monumental" (http://news.unpad.ac.id/?p=10313, diakses 4 Desember 2018)
menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur, ed) ’perbuatan dengan
sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa
juga apakah perbuatan itu dilakukan tanpa hak? Menurutnya, kalau pers yang
melakukannya tentu mereka punya hak. Namun, bila ada sengketa dengan pers,
UU Pers (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ed) yang
jadi acuannya.
Aktivitas ujaran kebencian dan hoax paling banyak menyebar melalui media
sosial. Satu sisi media sosial dapat meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih
erat, wadah bisnis online, dan lain sebagainya. Sisi lainnya media sosialsering
menjadi pemicu beragam masalah seperti maraknya penyebaran hoax, ujaran
kebencian, hasutan, caci maki, adu domba dan lainnnya yang bisa mengakibatkan
perpecahan bangsa. Media sosial sendiri menurut Van Dijk (2013) adalah platform
media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka
dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial dapat dilihat
sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna
sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan Wiki merupakan
bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Menurut Antony Mayfield dari iCrossing, media sosial adalah mengenai menjadi
manusia biasa. Manusia biasa yang saling membagi ide, bekerjasama dan
berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, berfikir, berdebat, menemukan orang yang
bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan dan membangun sebuahkomunitas.
Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri. Selain
kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri
dalam media sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat. Tak
terkecuali, keinginan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan menciptakan personal
branding. Teknologi-teknologi web baru memudahkan semua orang untuk membuat
dan yang terpenting menyebarluaskan konten mereka sendiri. Post di Blog, tweet,
atau video di YouTube dapat direproduksi dan dilihat oleh jutaan orang secara gratis.
Pemasang iklan tidak harus membayar banyak uang kepada penerbit atau distributor
untuk memasang iklannya. Sekarang
pemasang iklan dapat membuat konten sendiri yang menarik dan dilihat
banyak orang (Zarrella, 2010: 2).
Tugas ASN
Tugas aparatur sipil Negara berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun2014 Tentang aparatur sipil Negara bab IV pasal 11 yaitu :
1. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat Pembina kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Memberikan pelayanan publik yang professional dan berkualitas dan
3. Mempererat persatua dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disiplin ASN
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
Tentang aparatur Negara bab VIII pasal 86 Paragraf 11 yaitu :
1. Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas,
PNS wajib memenuhi disiplin PNS
2. Instansi pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan penegakan disiplin
terhadap PNS serta melaksanakan penegakan disiplin terhadap PNS wajib
terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya penigkatan disiplin
3. PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin Ketentuan
lebih lanjut mengenai disiplin sebagaiman dimaksud pada ayat (1),ayat (2),dan
ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
ASN
Penggunaan media sosial yang baik dan benar serta aspek kognitif ASN yang diperoleh dari
ketertarikan membaca, memahami bacaan, kepuasan membaca, menyakini bacaan dan
frekwensi membaca terkait ujaran kebencian dan hoax akan mempengarui persepsi ASN
tentang Rilis Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian
Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN.
Metode ini juga dapat menggambarkan abstraksi dari berbagai macam alternatif
pengembangan penanganan ujaran kebencian dan hoax di Instansi-instansi pemerintah
secara teoritis – kritis dan obyektif. Alasan lain dari dipilihnya metode ini dikarenakan
pemahaman seseorang terhadap sebuah permasalahan lebih bersifat kualitatif yang
didasarkan pada persepsi, eksplorasi pemikiran, penjelasan dan pengembangan konsep.
Selain itu, pemilihan metode ini juga didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh
David Osborne dan Ted Gaebler (1996:393, dalam Sanyoto, 2006:64) yaitu :
1. Penetapan fokus untuk membatasi studi, bahwa dengan adanya fokus penelitian,
tempat penelitian menjadi layak. Sekaligus membatasi fokus pada domain/kategori
yang mengandung banyak data/informasi dari domain-domain atau kategori-kategori
tertentu;
2. Penentuan fokus secara efektif menetapkan kriteria sumber informasi untuk menjaring
informasi yang mengalir masuk, sehingga temuannya memiliki arti dan nilai yang
strategis bagi informan.
Fokus penelitian dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian yaitu mencoba menjawab pertanyaan :
3.3.1. Wawancara
Wawancara merupakan proses percakapan dengan maksud untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian kegiatan, organisasi, motivasi , perasaan
dan sebagainya, yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan pada yang diwawancarai (interviewee) yang
3.3.2. Dokumentasi
Bungin (2010:121) mengatakan bahwa metode dokumenter adalah salah satu
metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada
intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Sekalipun demikian, sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam
bahan yang berbentuk dokumentasi.
Teknik observasi berguna untuk menjelaskan dan merinci gejala yang terjadi,
dimaksudkan sebagai pengumpulan data selektif sesuai dengan pandangan seorang
peneliti. Selain itu terdapat data yang tidak dapat ditanyakan kepada informan, ada
diantaranya yang membutuhkan pengamatan secara langsung peneliti. Beberapa item
yang perlu diobservasi yaitu lingkungan kerja informan secara langsung, penggunaan
media sosial dalam pekerjaan ataupun untuk mendukung kepentingan pribadi lainnya
seperti benda, peralatan, perlengkapan, termasuk letak dan penggunaannya, yang
terdapat di lokasi penelitian; para ASN lainnya, termasuk status, jenis kelamin, usia
dan sebagainya; kegiatan yang berlangsung, tindakan-tindakan, serta waktu
berlangsungnya peristiwa.
Kesimpulan atas intepretasi jawaban yang akan diambil dari analisis deskriptif ini
bersifat tentatif/tidak tentu, selalu diulang-ulang karena sewaktu-waktu kesimpulan yang ada
saat ini dikemudian hari dapat berubah. Intinya kesimpulan yang akan dibuat dari hasil
analisis data kualitatif dimaksudkan agar kita dapat memahami persepsi ASN terhadap enam
aktivitas ujaran kebencian yang berkategori hukuman disiplin.
Matthew dan Huberman (1992:20-22) Ada beberapa teknik analisis data yang dapat
dilakukan yaitu reduksi data (penyaringan/pemilahaan data), display data (penyajian data),
verifikasi data (pengujian keabsahan/kebenaran data). Reduksi data merupakan proses
pemilihan, pemusatan pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
dengan melakukan pemotongan (rangkum) data sehingga hanya hal-hal yang pokok saja
yang diambil. Display data yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, melihat gambaran
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian dengan membuat matrik atau
tabel. Tahap verifikasi yakni mencari hubungan, persamaan, dari data yang diperoleh baik
pada saat sebelum, selama maupun setelah pengumpulan data sehingga dapat dicapai suatu
kesimpulan. Kesimpulan tersebut harus dapat disepakati oleh peneliti dan subyek penelitian.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan- kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi
Persepsi merupakan proses mengolah pengetahuan yang sebelumnya kita miliki untuk
merespon stimuli dari lingkungan sekitar yang ditangkap oleh panca indera kemudian
memberikan arti atau makna terhadap stimuli tersebut. Proses pembentukan persepsi setiap
individu melalui beberapa tahapan: pertama dimulai dari menerima rangsangan dari stimuli oleh
panca indera, kemudian menafsirkan untuk kemudian memperoleh arti atau makna, selanjutnya
setelah menerima arti atau makna dilakukan pengecekan informasi tersebut benar atau tidak, dan
proses terakhir adalah melihat reaksi terhadap informasi yang diterima atau dipahami tersebut,
apakah seseorang akan menentukan sikapnya sampai pada akhirnya prilaku.
Proses pembentukan persepsi pada individu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Robbins
(2001: 89) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam membentuk persepsi seseorang
dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam obyeknya atau target yang
dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui persepsi pada individu yakni Aparatur Sipil Negara di BPS
Provinsi Sumatera Utaraterhadap stimuli berupa Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN. Penelitian ini
akan menghasilkan data terkait pemahaman ASN tentang rilis tersebut. Substansi pro dan kontra
yang tergambarkan dalam penelitian ini menjadi rekomendasi bagi BKN selaku instansi yang
berwenang mengatur hukuman disiplin tentang Aparatur Sipil Negara. Penelitian ilmiah terhadap
suatu fenomena (stimuli) yang dialami ASN dan menggambarkan persepsi ASN dan dampak dari
stimuli (rilis) tersebut akan memperkaya rekomendasi terhadap aturan hukuman disiplin tentang
aktivitas atau perbuatan yang belum diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun
2010 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Anam, M. Choirul & Hafiz, Muhammad. (2015). “Surat Edaran Kapolri Tentang Penanganan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia”, Jurnal Keamanan
Nasional, Vol. 1, No. 3, hal. 341-364.
Allcott, H., Gentzkow, M. (2017). Social Media and FakeNews in the 2016 Election. Report
research. Diakses dari situs: https://web.stanford.edu/~gentzkow/research/fakenews.pdf,
tanggal 23 April 2017.
Andreas M Kaplan, & Michael Haenlein. (2010). Users of the World, Unite! The Challenges and
Opportunities of Social Media. Business Horizons, 53, hlm 59-68Boese, A. (2002).The
Museum of Hoaxes. Hardcover–November 11, 2002.
APJII. 2017. Laporan Survey APJII 2017,
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_2017_v1.3.pdf,
diakses agustus 2018
Arif Mahroza (2018) tentang Persepsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman
Pada Vlog Presiden Joko Widodo.eJournal Ilmu Komunikasi, 2018 : 6 (3): 464-478
Arifin, Hadi Suprapto. Fuadu, Ikhasan. Kuswarno (2018) tentang Analisis Faktor Yang
Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa Untirta Terhadap Keberadaan Perda Syariah di Kota
Semarang. Jurnal Penelitin Komunikasi dan Opini Publik Vol. 21 No. 1
Arend, Patrice S. (1997). Defamation In AnAge Of Political Correctness: Should A False Public
Statement That A Person Is Gay Be Defamatory?, 18 N. Ill. U. L.Rev. 99, Northern Illinois
University Law Review Fall 1997, Copyright 1997 Board Of Regents For Northern Illinois
University.
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. 1983. Introduction To Psychology. San Diego :
Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Boyd, D. 2009. Sosial Media is here to say…now what?Redmond. Washington: Microsoft
Tech Fest. Retrieved from www. Danah. Org/paper/talks.MSTechFest2009.html. tanggal
23 September 2017.
Bungin, Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.
Bungin, B. 2017. Politik Hiperreality dan Communicatioan Jammed. dalam buku Turn
BackHoax Tantangan Literasi Media Digital. Surabaya: Buku Litera dan Aspikom Korwil
Jawa Timur.
Girenda Kumala Cahyaningtyas (2017) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Keterbukaan
Informasi Publik Di Kota Semarang, Studi Kasus: Masyarakat Pengguna Pusat Informasi
Publik (Pip) Tahun 2017. Journal of Politic and Government Studies, Volumen Vol 6, No 04
Harjeni (2016) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Pak Ogah.Jurnal Equilibrium
Pendidikan Sosiologi Volume III No. 2
Huberman, Michael dan Matthew, Miles. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Internet :
“Hoaks Belum Mereda”, Republika, 8 Maret 2018, hal. 1.
“Politik Uang Redup, Hoaks Subur”, Media Indonesia, 10 Maret 2018, hal. 5.
“Cambridge Dictionary”, http://dictionary. cambridge.org/dictionary/english/ hoax#translations,
diakses 14 Desember 2018.
Hoaxes.org. 2018. What is hoax, http://hoaxes.org/Hoaxipedia/What_is_a_hoax, diakses 4
Desember 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 25 Desember 2018 pukul 11.37 WIB.
Oxford Dictionari. 2017. Hoax. Diakses darisitus
:https://en.oxforddictionaries.com/definition/hoax, diakses 4 Desember 2018.
UUD 1945 Perubahan,
https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf,
diakses 4 Desember 2018
http://www.merriamwebster.com, diakses 3 Desember 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Media_baru, diakses 4 Desember 2018.
Goldfine, E. (2011). Best Practice: The Use of SocialMedia Throughout Emergency dan
Disaster Relief. Diakses dari http://www.unapcict.org/ecohub/best-practices-the-use-of-
social-media-throughout-emergency-disaster-relief-1 tanggal 20 Mei 2017