Anda di halaman 1dari 61

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 9
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................................................ 9
BAB II URAIAN TEORITIS ..................................................................................................................... 11
2.1. Paradigma Penelitian .................................................................................................................. 11
2.2. Kajian Terdahulu ........................................................................................................................ 13
2.3. Tinjauan Teori ............................................................................................................................. 21
2.3.1. Teori Persepsi...................................................................................................................... 21
2.3.2. Konsep Makna .................................................................................................................... 32
2.3.3. Tinjauan Teori tentang Ujaran Kebencian .......................................................................... 34
2.3.4. Tinjauan Teori Hoax ........................................................................................................... 40
Hoax menurut Ketentuan Perundang-Undangan (KUHP dan ITE) .................................................... 41
2.3.5. Teori Media Sosial .............................................................................................................. 43
Jenis-jenis Media Sosial ...................................................................................................................... 45
Fungsi Media Sosial ............................................................................................................................ 46
Hoax di Media Sosial .......................................................................................................................... 46
2.3.6. Defenisi Pegawai Negeri ..................................................................................................... 47
2.3.7. Defenisi Aparatur Sipil Negara (ASN) ............................................................................... 48
2.4. Kerangka Pemikiran.................................................................................................................... 50
III. IMPLKASI METODOLOGI ................................................................................................................ 51
3.1. Tipe Penelitian ............................................................................................................................ 51
3.2. Fokus Penelitian .......................................................................................................................... 52
3.3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................................... 53
3.3.1. Wawancara .......................................................................................................................... 53
3.3.2. Dokumentasi ....................................................................................................................... 54
3.3.3. Observasi............................................................................................................................. 55
3.4. Teknik Analisis Data................................................................................................................... 55
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 58
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Era Teknologi Informasi mengajak setiap orang berlomba-lomba mengekspresikan


luapan hatinya di media sosial, dari mempublikasikan foto, sharing video, mencurahkan
perasaan, sampai berkomentar bebas tentang apa pun. Kita melihat, bahwa seakan-akan jari
mengontrol semua aktivitas kita ketika di dunia maya. Saat kita menggunakan gadget, kita
bebas melakukan apa yang kita mau. Di Zaman serba digital saat ini, banyak orang
mengekspresikan dirinya lewat gadget dan tak sedikit “memakan korban” tatkala kita tidak
bijaksana dalam mengkonsumsi informasi dari media sosial di dunia maya. Mengapa
demikian? Apa media sosial memiliki efek buruk bagi kita penggunanya?

Media sosial adalah teknologi berbasis internet yang membantu manusia untuk
berinteraksi dengan sesama penggunanya. Melalui media sosial, kita dapat saling
berkomunikasi, bertukar informasi, dan berjejaring satu dengan lainnya. Media sosial
menjadi jendela informasi dari seluruh dunia dan proses penyebarannya secara cepat tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu. Inilah kecanggihan internet dan media sosial.

Jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2017 berdasarkan data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia berjumlah 143,26 juta jiwa. Jumlah ini mengalami
kenaikan sebesar 8 % (delapan persen) dari jumlah sebelumnya pada tahun 2016 yakni
sebanyak 132,47 Juta orang. Dan dari jumlah tersebut didominasi oleh laki-laki sebesar
51,43 %. Apabila dilihat dari rentang usia yang mendominasi penggunaan internet, maka
usia 35 – 44 mendominasi sebesar 49,52 persen.

Data Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Isi media sosial
sebanyak 90,30 % (sembilan puluh koma tiga puluh persen) adalah berita bohong, 21,60 %
informasi bersifat menghasut, dan 59 % informasi tidak akurat. Informasi ini disampaikan
oleh Selamatta Sembiring selaku Direktur Layanan Informasi Internasional, Ditjen IKP,
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam seminar yang diinisiasi Forum Promotor
2018 Polri. (https://kumparan.com/wa-wicaksono/forum-promoter-2018-polri-sebab-hoax-
persatuan-dan-kesatuan-indonesia-bisa-retak, diakses 4 Desember 2018).

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 1


Hoax bukan hanya berita bohong biasa, akan tetapi efeknya sangat besar dan karenanya
dapatmenimbulkan kebingungan, kebencian dan perpecahan bagi persatuan dan kesatuan
bangsa. Yang lebih masif lagi dapat menjadi pemicu perselisihan diantara negara-negara
didunia. Kondisi tersebut senada dengan yang diucapkan Tarigan (2017) bahwa
kebingungan masyarakat ini dapat dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
menanamkan kebencian sehingga berpeluang terjadi perpecahan dan permusuhan (Tarigan,
2017). Sejarah mencatat, bahwa penyebaran hoax yang dilakukan oleh Partai Nazi untuk
secara politis membangun kekuatan sejak awal 1930-an. Korbannya adalah kaum yahudi
yang ada di Jerman pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Hitler mempercayakan
propaganda ini kepada Goebbles, dan sampai akhir perang dunia ke II, Goebbels sukses
melaksanakan tugas tersebut. Adolft Hitler Hitler tahu bahwa propaganda dijadikan mesin
nomor satu agar ia bisa sampai di puncak kekuasaan.

Ian Kershaw di buku Hitler: 1889-1936 Hubris, menulis bahwa Goebbels piawai
mengarang cerita-cerita hoax tentang orang Yahudi. Melalui kanal radio, koran, dan lain
sebagainya, disebutkan bahwa orang-orang Yahudi adalah sumber kekacauan ekonomi
rakyat Jerman karena merebut sektor pekerjaan penting di negara tersebut. Sentimen anti-
Yahudi di bidang ekonomi melahirkan gerakan pemboikotan produk bikinan orang Yahudi,
demonstrasi, dan lain sebagainya. Orang-orang Yahudi juga dijadikan alasan utama
mengapa Jerman kalah di PD I. Taktik propaganda ini berhasil menaikkan Partai Nazi ke
tampuk kekuasaan tertinggi di Jerman, hingga Jerman terlibat sebagai salah satu pemain
besar di Perang Dunia II. Kebencian rasialis itu pula yang mendorong Hitler untuk
melangkah ke level baru: pembantaian 6 juta orang-orang Yahudi sepanjang 1941-1945.
Kebijakan yang terstruktur dan sistematis ini didukung oleh sebagian besar warga Jerman
pada waktu itu yang telah kenyang makan propaganda Goebbels. Goebbels memahami
bahwa kebenaran informasi di mata publik Jerman tak harus didasarkan pada fakta ilmiah,
namun juga bisa berasal dari sekeranjang kebohongan. Kuncinya adalah : “Jika Anda
menyampaikan kebohongan dengan sering dan berulang-ulang, orang akan mempercayainya
sebagai sebuah kebenaran—bahkan termasuk Anda sendiri.” (https://tirto.id/gairah-
membunuh-gara-gara-hoax-cwSy, diakses 4 Desember 2018).

Survey MASTEL (Masyarakat Telekomunikasi), menyebutkan bahwa masyarat sudah


kritis tanggapi berita hoax. Survey yang dilakukan pada tanggal 7 februari 2017 dan ditutup
pada 9 februari 2017 yang dilakukan secara online dan mendapat tanggapan dari 1.116

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 2


responden, memperoleh hasil bahwa 90,30 persen responden menjawab bahwa berita hoax
merupakan berita bohong yang sengaja dibuat. 91,80 persen responden menjawab berita
hoax seputar pilkada merupakan berita hoax yang sering mereka terima. Untuk
penyebarannya 92,40 persen melalui sosial media dan diikuti aplikasi chating sebanyak
62,80 persen. Bentuk hoax yang paling sering diterima dalam bentuk tulisan sebanyak 62,10
persen. Jumlah frekwensi menerima berita hoax diperoleh sebanyak 44,30 persen menerima
setiap hari. (File PDF, infografis Hasil Survey Mastel Tentang Wabah Hoax Nasional 2017)

Survey Masttel menyebutkan bahwa hoax sengaja dibuat untuk mempengaruhi publik
dan kian marak lantaran faktor stimulan seperti isu Sosial Politik dan SARA, namun
penerima hoax cukup kritis karena mereka telah terbiasa untuk memeriksa kebenaran berita.
Ketua Umum Mastel, Kristiono menyatakan bahwa hasil dari survey ini sudah bagus, namun
perlu adanya peran aktif dari pemerintah, pemuka agama dan komunitas untuk membantu
meningkatkan literasi masyarakat. Dalam hal ini dengan menyediakan akses terhadap
fasilitas untuk memeriksa kebenaran hoax yang beredar. (https://mastel.id/infografis-hasil-
survey-mastel-tentang-wabah-hoax-nasional/, diakses 4 Desember 2018). Hasil survey
master juga memperlihatkan fakta-fakta bahwa saat ini wabah hoax sudah tidak bisa
ditangani dengan cara biasa, bahkan sudah selayaknya difikirkan penanganan secara
ekstraordinary (luar biasa) karena efek yang ditimbulkan hoax tersebut bagi keutuhan suatu
bangsa dan negara.

Faktor Stimulan yang didominasi isu sosial politik & SARA menjadi perhatian setiap
orang yang menggunakan media sosial dan merupakan sumber dari munculnya hoax itu
sendiri. Masyarakat yang dikelompokkan kedalam supporter, silent majority, dan hater
merupakan warna dalam iklim demokrasi. Masyarakat Suporter yang mendukung, dilain
pihak hater tidak dapat dihilangkan. Menjaga kelompok silent majority agar tetap immune
(kebal) terhadap hoax dan berkurangnya lapisan kelompok haters dan supporters menjadi
tantangan ke depan.

Hoax bukan hanya marak di Indonesia, melainkan hampir diseluruh negara di dunia.
Efek yang sangat besar akibat hoax diatas, menjadikan dasar seluruh negara termasuk
Indonesia untuk berupa mengelola dan menanggulanginya, bagaimana kebijakan/regulasi
pemerintah, infrastruktur mitigasi hoax, kontribusi media penebar hoax, peningkatan literasi,
pemerataan awareness digital, dll. Sebagai respons terhadap situasi ini, pemerintah

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 3


Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) untuk para pengguna media sosial. Sanksi yang diterapkan berbentuk denda hingga
hukuman penjara bagi pengguna media sosial yang melakukan penghinaan atau pencemaran
nama baik karena isu SARA, terorisme, pornografi, dll. Hal ini juga bertujuan agar para
pengguna media sosial selalu berpikir dahulu dengan bijak sebelum kita “posting” (atau
“forward”, “share”, “like”, “comment”) sesuatu dalam gadget masing-masing.

UU ITE telah diundangkan lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang lalu, ketentuan-ketentuan
yang ada di dalamnya masih terus disampaikan kepada masyarakat dan para pemangku
kepentingan dari berbagai latar belakang. Penerapan sanksi bagi pelaku penyebar hoax
sudah ditangani oleh pihak kepolisian, salah satu contoh, pada laman berita online
disebutkan bahwa “Sebar Hoaks dari Ahok ke Jokowi, Admin Akun IG sr23_official Tak
Sangka Ditangkap Polisi”.Bukan kesengajaan memilih berita ini, tetapi ada yang perlu digali
dari pengakuan pelaku hoaks itu sendiri, yaitu bahwa pelaku bercerita pada awalnya
membuat konten negatif ditujukan kepada Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Ahok menjadi
sasarannya saat terjerat kasus penistaan agama pada 2016. Baru setelah kasus itu selesai, JD
beralih untuk mengangkat konten Jokowi. Dalam pengakuannya kepada Bareskrim Polri,
Cideng, Jakarta Pusat pada jumat 23 november 2018, JD mengatakan bahwa “awalnya itu
dari kasus Ahok karena menista agama. Dari situlah timbul niat membuat akun untuk
melawan Ahok”.

Pengakuan JD yang menjadi perhatian kita adalah bahwa menurutnya apa yang
dilakukannya dengan menyebar konten negatif tidak melanggar hukum. “Waktu itu saya
jarang melihat berita polisi tangkap (pelaku hoaks dan ujaran kebencian, - red
Tribunnews.com. (http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/sebar-hoaks-dari-ahok-
ke-jokowi-admin-akun-ig-sr23_official-tak-sangka-ditangkap-polisi, diakses tanggal 27
November 2018). Dalam kasus ini, tersangka disangkakan Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28
ayat (2) dan/atau Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU No 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan/atau Pasal 16 jo Pasal 4 huruf b
angka 1 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan/atau
Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 157
ayat (1) KUHP.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 4


Sanksi tegas terhadap pelaku penyebar hoax yang diatur melalui undang-undang formil
tidak membuat surut beberapa oknum pelaku untuk menyebarkan hoax.. Di Indonesia,
beredarnya viral isu hoax terkait telur palsu, ternyata membawa dampak besar. Kepala
satgas Pangan Irjen Pol Setyo Wasito mengatakan omzet telur di pasaran, baik dari sisi
peternak maupun pedagang menurut hingga 40 % (empat puluh persen)
(http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/03/22/omzet-telur-menurun-40-persen-akibat-
hoax-telur-palsu, diakses 4 Desember 2018).

Hoax juga menjadi bisnis bagi pelaku penyebar hoax, seperti kasus saracen, Selamatta
selaku Direktur Layanan Informasi Internasional Kementrian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia menyebutkan bahwa setiap kali berita bombastis (Clickbait) diklik,
maka pemilik situs bisa mendapatkan keuntungan dari iklan. Menurut penelusuran dari
Bareskrim, Sindikat SARACEN misalnya, memiliki 800.000 (delapan ratus ribu) akun lebih.
Jika 1000 x klik = 1 USD atau sekitar Rp. 14.000. Sungguh sebuah keuntungan yang cukup
membuat orang banyak tergiur karenanya. (https://kumparan.com/wa-wicaksono/forum-
promoter-2018-polri-sebab-hoax-persatuan-dan-kesatuan-indonesia-bisa-retak, diakses 4
Desember 2018).

Berdasarkan laman berita online www.turnbackhoax.id, terdapat alur Industri Kapital


Hoax yang dimulai dari produksi hoax yang dilakukan oleh produsen hoax. Mereka
memproduksi hoax dengan biaya yang berasal dari donatur yang sengaja memesan untuk
menghasilkan hoax (produk) seperti kebencian pada suatu tokoh/etnis/institusi dan lain
sebagainya, deligitimasi kebenaran, dan menciptakan ‘kebenaran’ sesuai kemauan si
pemesan hoax. Setelah dari pabrik hoax, proses bergulir pada makelar hoax. Makelar hoax
disini adalah proses marketing hoax dengan menggunakan akun buzzer. Para makelar hoax
menerima uang dari produsen hoax. Makelar hoax menggunakan akun buzzer untuk
melakukan provokasi, mainkan hastag, mainkan akun bot, dan sindikasi akun buzzer. Proses
terakhir dari Industri Hoax adalah Follower. Follower adalah Konsumen hoax yang
mengkonsumsi produk hoax tersebut. Follower tidak dibayar dan cenderung sukarela karena
kepentingan dan kebencian pada suatu institusi, tokoh, etnis, dll. Repson yang diharapkan
dari pemilik situs dengan buzzernya adalah like & share sehingga mendapatkan keuntungan
dari iklan (data Diolah dari situs Turnbackhoax.id)

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 5


Fenomena banyaknya kasus hoax dengan latarbelakang motivasi perbuatan yang
berbeda-beda serta kurang tegasnya penindakan bagi pelaku mendapat kritikan keras dari
pakar keamanan siber, Pratama Persadha mengatakan penegakan hukum terhadap pelaku
berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hatespeech) oleh aparat masih kurang tegas.
Sistem penangkal hoax juga masih lemah. "Bagaimana cara memerangi hoax? Penegakan
hukum, mohon maaf kemarin kami lihat Saracen, MCA, bgaimana perkembangannya? Dari
puluhan yang ditangkap, berapa yang dihukum, apa hukumannya, apa ada yang dilepaskan?"
kata Pratama dalam diskusi bertema 'Kampanye Asik, Damai dan Antihoax' di Cikini,
Jakarta Pusat, Sabtu (22/9/2018). "Masyarakat merasa menyebarkan berita hoax ini bukan
kejahatan. Penegakan hukumnya sangat minim sekali," sambung Pratama. Menurut Pratama,
ancaman di dunia siber sebenarnya tidak hanya hoax namun juga peretasan dan perilaku
negatif para netizen yang dapat memancing perpecahan. Dia kemudian menyebut sistem
pemerintah menangkal peretasan masih lemah."Ancaman dunia siber itu bukan hanya hoax,
tapi ada juga peretasan, perilaku negatif lain (dari netizen)?yang menyimpang. Kami ini
sangat, sangat, sangat, sangat lemah terhadap peretasan dan peretasan ini efeknya jauh lebih
membahayakan daripada hoax," ucap Pratama.

(https://www.kominfo.go.id/content/detail/14576/penegakan-hukum-terhadap-pelaku-
hoax-sangat-minim/0/sorotan_media, diakses 4 Desember 2018.

Wabah hoax dan ujaran kebencian yang beredar di media sosial, memaksa semua pihak
untuk bahu-membahu berupaya mencegah meluasnya wabah hoax karena mengancam
persatuan dan kesatuan. Upaya pencegahan perbuatan ujaran kebencian dan hoax saat ini
dimulai dari institusi pemerintah, khususnya dari seluruh Aparatur Sipil Negara. Aparatur
Sipil Negara (ASN) sebagai pemersatu bangsa berdasarkan amanat Undang Undang No. 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan dapat membantu pemerintah
untuk mencegah aktivitas ujaran kebencian dan hoax. Badan Kepegawaian Negara sebagai
Badan yang menaungi seluruh Aparatur Sipil Negara di Indonesia, mengeluarkan rilis terkait
fenomena semakin maraknya aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh
beberapa oknum Aparatur Sipil Negara.

Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas
ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN dikeluarkan untuk membantu
Pemerintah memberantas penyebaran berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian bermuatan

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 6


suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang berpotensi sebagai sumber perpecahan
bangsa, Badan Kepegawaian Negara (BKN) menegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara
(ASN) diminta menjalankan fungsinya sebagai perekat dan pemersatu bangsu sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN). Hingga Siaran Pers tersebut diterbitkan, BKN menyatakan bahwa Badan
Kepegawaian Negara telah menerima 14 aduan ujaran kebencian yang melibatkan aparatur
Sipil Negara (ASN) pusat dan daerah. Data tersebut tercatat sampai dengan bulan Mei tahun
2018. Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengungkapkan, bahwa terlapor aduan
ujaran kebencian terbanyak berprofesi sebagai Dosen ASN dan Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah Pusat. Laporan Ujaran Kebencian yang masuk ke BKN berupa pernyataan
ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hingga penyebaran
berita bohong (hoax) (https://nasional.kompas.com/read/2018/06/08/16095701/hingga-mei-
2018-bkn-terima-14-aduan-ujaran-kebencian-oleh-asn, diakses 22 Januari 2019).

Pengaduan dari masyarakat terkait keterlibatan ASN dalam ragam aktivitas ujaran
kebencian turut memperkeruh situasi bangsa. Menanggapi perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh sejumlah oknum ASN tersebut, BKN menganggap penting mengatur sanksi
tegas sanksi tegas dengan menggolongkan aktivitas ujaran kebencian dan penyebaran berita
palsu (hoax) yang dilakukan oleh ASN sebagai pelanggaran disiplin. Pelanggaran displin
PNS selama ini telah diatur melalui Peraturan Kepala BKN no. 54 Tahun 2010 tentang
Hukuman Disiplin. Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
ditindaklanjuti dengan dilayangkannya imbauan kepada Pejabat Pembina Kepegawai (PPK)
Instansi Pusat dan Daerah untuk melarang ASN di lingkungannya menyampaikan dan
menyebarkan berita berisi ujaran kebencian perihal SARA, serta mengarahkan ASN agar
tetap menjaga integritas, loyalitas, dan berpegang pada empat pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 seakan tidak
ada hambatan, bahkan tidak riuh seperti kebanyakan isu-isu kebijakan pemerintah yang
menuai pro dan kontra. Berdasarkan hasil observasi peneliti dikalangan ASN khususnya di
BPS Provinsi Sumatera Utara, Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian belum sepenuhnya diketahui bahkan dipahami oleh
ASN. ASN yang mengetahui tentang RILIS BKN seperti bapak Ramlan selaku Kepala

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 7


Bagian Tata Usaha Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara menyampaikan bahwa
apakah ketentuan rilis dimaksud dapat ditindaklanjuti seperti ketentuan kepegawaian yang
mengatur tentang ASN pada umumnya.

Menanggapi pernyataan bapak ramlan tersebut menjadi menarik, karenarilis yang


dikeluarkan oleh BKN merupakan produk kebijakan terkait dengan penambahan kategori
perbuatan yang termasuk kedalam hukuman disiplin ASN. Hukuman Disiplin ASN
yangseyogianya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan kemudian melalui Perka BKN Nomor 21 Tahun 2010
diatur tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Perbedaan pemahaman tentang Rilis BKN menimbulkan pro
dan kontra. Beberapa ASN malah cenderung memahami bahwa kebijakan yang dikeluarkan
oleh BKN sebagaimana tercantum dalam Rilis tersebut harus diikuti, tetapi ada juga yang
kritis dan menganggap bahwa kebijakan dalam rilis tersebut sudah menyinggung ranah
privat ASN sebagai pribadi.

Rilis yang dikeluarkan oleh BKN sebenarnya patut diberikan apresiasi dimana Rilis
BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian dibuat sebagai
langkah tindakan yang disengaja dilakukan oleh BKN karena aktivitas ujaran kebencian dan
hoax yang saat ini melanda Indonesia dan penyebarannya tidak bisa dihambat. Berdasarkan
observasi peneliti di media sosial melalui website https://turnbackhoax.id/, hari demi hari
penyebaran ujaran kebencian dan hoax sangat mengkhawatirkan. Apa yang dipublis pada
website https://turnbackhoax.id/ hanyalah beberapa hoax yang dapat dideteksi dan yang
dilaporkan oleh relawan, karena setiap hari di media sosial begitu banyak hoax yang
disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.Oleh karenanya, BKN menyadari
bahwa aktivitas ujaran kebencian dan hoax adalah permasalahan yang luar biasa, sehingga
diperlukan upaya penanggulangan yang luar biasa juga. Hal tersebutlah yang
melatarbelakangi dikeluarkannya Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei
2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian.

Hal ini juga menimbulkan tanggapan positif-negatif (pro-kontra) terhadap


dikeluarkannya Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam
aktivitas ujaran kebencian. Peneliti untuktertarik untuk mengkaji persepsi ASN Terhadap

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 8


implementasi Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam
aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin”.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimanakah Persepsi ASN Terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal
18 Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin?
b. Bagaimanakah Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin pada Aparatur
Sipil Negara (ASN)?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui Persepsi Terhadap Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18
Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin.
b. Untuk mengetahui penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei
2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin pada
Aparatur Sipil Negara (ASN).

1.4 Manfaat Penulisan


a. Manfaat Teoritis
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti khususnya bagi dasar ilmu
peneliti saat ini dalam bidang ilmu komunikasi dan memperkaya ilmu pengetahuan
komunikasi khususnya berkaitan dengan persepsi Aparatur Sipil Negara (ASN) tentang
Rilis BKN Nomor 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian
kebencian berkategori pelanggaran disiplin.

b. Manfaat Akademis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai berikut: Hasil penelitian ini
diharapkan berguna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu, terutama ilmu komunikasi
dalam kajian persepsi.

c. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini menjadi sumbangsih pemikiran terhadap penentuan
kebijakan terkait dengan aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 9


aparatur sipil negara yang dikeluarkan oleh Badan Kepagawaian Negara. Penelitian ini
juga diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi segenap pihak
(masyarakat luas, akademisi, peneliti serta pemerhati masalah aparatur sipil negara) yang
membutuhkan informasi tambahan mengenai beragam aktivitas aparatur sipil negara yang
cenderung bisa dikategorikan pelanggaran disiplin.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 10


BAB II URAIAN TEORITIS

2.1. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari
konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan
berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif,
pengumpulan data dapat dilakukan secara simultan dengan analisis data selama penelitian
berlangsung. Selanjutnya, Patton mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam
Ghony, 2012: 73):

“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down


the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the
socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what
is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the
practicioner what to do with out the necessity of long existencial or
epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes
both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its
weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions
of the paradigm.”
Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian adalah suatu
perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian
memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran. Paradigma itu lebih dari sekadar
orientasi metodologi.

Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat menjadikan berbagai
fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan suatu kerangka di mana
fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang memang ada. Dalam arti yang
paling nyata, untuk memahami paradigma, kita harus memahami proses bagaimana
paradigma itu ditemukan. Artinya, bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat
fenomena tertentu.

Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas


sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang
kehidupan sosial. Paradigma kualitatif memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas
bersama individu-individu. Kebersamaan inilah yang menghasilkan suatu realitas yang
dipandang secaraobjektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 11


sosial. Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial adalah
pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data. Artinya, konsep dan
teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan sumber sekaligus verifikasi teori
atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut sebagai first order concepts yang sangat
penting untuk mengembangkan second order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul
pada saat mencoba menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan
penekanan bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks
interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini dengan
model ilmu pengetahuan alam.

Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia itu
tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah
inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh
tentang manusia dan dunianya.Secara singkat, paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri
fenomenologis, induktif, inner behaviour dan holistik.

Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang sistematis dan
berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peneliti untuk mempelajari
suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam sistem tersebut yang dapat dilihat secara
total dan bukan secara bagian saja. Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan
sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan
lapangan (empiris), bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses
penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka
bentuk.

Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena secara


menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi holistik di bidang
sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan
ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu penelahaannya terhadap orang-orang
dalam interaksinya dengan latar sosial.

Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara lain (Ghony,
2012: 77):

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 12


a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa saja yang
berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif
para informan tidak terbatas pada laporan mereka ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi
juga pada apa yang ada di balik perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu
aspek fisik dari kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan
bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti
itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam studi ilmu sosial.
b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan dilihat dalam
konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku. Peneliti kualitatif lazimnya
berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya
terkuras habis-habisan pada analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja.
Pengumpulan data dari banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti
kualitatif. Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian,
situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi yang perkasa.
Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti kualitatif, setiap
informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru adalah terhormat dan
berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis kerja. Kemunculan teori berbasis
data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan
kaum naturalis karena teori ini akan kewalahan apabila disergap oleh informasi,
kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.
c. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses
daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang diamati. Proses yang membantu
perwujudan fenomena itulah yang paling berkesan, bukan fenomena itu sendiri.

2.2. Kajian Terdahulu


Penelitian yang dilakukan oleh Theresa Zerlina, dkk (2017) tentang persepsi Pegawai
Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil terhadap kewajiban penggunaan e-filing.
Subjek penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil di
Rektorat serta Fakultas Ekonomi UNDIKSHA Singaraja karena menggunakan metode
purposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Pendidikan Ganesha
(UNDIKSHA) Singaraja. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Persepsi
Pegawai Negeri Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil digali melalui wawancara mendalam.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 13


Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya persepsi positif, baik dari Pegawai Negeri Sipil
dan Calon Pegawai Negeri Sipil terhadap kewajiban penggunaan e-filing. Pegawai Negeri
Sipil dan Calon Pegawai Negeri Sipil merasakan manfaat dari penggunaan e-filing dan
menilai bahwa aplikasi e-filing mudah untuk digunakan karena bisa dilakukan dimana saja
dan kapan saja.
Penelitian yang dilakukan oleh Anita, Ulfa, Dkk tentang Persepsi Masyarakat Surabaya
Tentang Iklan “Manfaat Pajak” Di Televisi. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif.
Dari penelitian yang dilakukan, persepsi adalah negatif. Hal ini dapat diketahui dari
beberapa wawancara yang ditanyakan kepada informan, sebagian besar informan
menyatakan tidak setuju. Namun masih ada sebagian kecil yang mempunyai persepsi tidak
baik terhadap iklan “manfaat pajak” di televisi, karena iklan dianggap untuk mendapatkan
dukungan dalam proses iklan. Segala hal yang disajikan dalam iklan. Dari hasil penelitian
yang telah didapatkan maka saran yang diberikan kepada pembuat iklan”manfaat pajak” di
televisi. Dengan menampilkan citra yang berlebihan yang diiklankan karena dapat menjadi
kesan buruk terhadap yang diiklankan.
Penelitian yang dilakukan Linda Lambey, dkk (2017) tentang Analisis Persepsi dan
Ekspektasi Mahasiswa atas Kualitas Dosen Pembimbing Tesis di program Magister
Akuntansi FEB Universitas Sam Ratulangi Manado. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan exploratoryqualitative research dengan jumlah responden sebanyak 12 orang
mahasiswa yang telah menyelesaikan studimereka di program MAKSI ini. Data dianalisa
dengan menggunakan content analysis dan dikumpulkan melalui in-depth interviews,
observation dan document analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosen
pembimbing tesis dikatakan berkualitas jika dosen tersebut menguasai metode penelitian,
dosen senior yang sudah berpengalaman, dosen yang sudah memiliki publikasi/jurnal
internasional, dosen yang menguasai aplikasi komputer, dosen yang menguasai materi/topik
tesis yang dibimbing, dosen yang dapat mengarahkan mahasiswa dan dosen yang memiliki
ketelitian dalam membaca atau memeriksa tesis mahasiswa. Sedangkan persepsi mahasiswa
atas kualitas dosen pembimbing yang diinginkan oleh mahasiswa adalah dosen yang dapat
meluangkan waktu yang cukup untuk pembimbingan, dosen yang bisa memiliki kedekatan
emosional dengan mahasiswa bimbingannya, dosen yang mampu menjelaskan,
mengarahkan dan berkomunikasi dengan efektif dan dosen yang mampu membuat penelitian
yang berkualitas.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 14


Penelitian yang dilakukan Ryzki Fajar (2015) tentang Persepsi Anak Terhadap
Orangtua Yang Bekerja Penuh Waktu Di Luar Rumah: Studi Kualitatif dengan
Pendekatan Fenomenologis. Penelitian ini bermaksud untuk menilik persepsi subjek
terhadap kedua orangtua yang bekerja di luar rumah terkait dengan kehidupan sehari-hari
yang terjadi. Tujuan penelitian ini adalah memahami persepsi anak secara kognisi, afeksi,
dan psikomotor kepada orangtua mereka yang bekerja penuh waktu di luar rumah.
Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis dalam penelitian ini, khususnya IPA
(Interpretative Phenomenological Analysis). Metode ini dipilih dengan pertimbangan
bahwa IPA merupakan metode sistematis yang berfokus pada makna yang diperoleh
subjek kehidupan pribadi dan sosialnya. Subjek yang terlibat pada penelitian ini
berjumlah tiga orang yang terdiri dari dua wanita dan satu pria yang berasal dari kota
Semarang dan sekitarnya. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, peneliti menemukan
pemaknaan persepsi anak terhadap orangtua yang keduanya bekerja menghasilkan: (1)
pemaknaan secara kognisi pada kedua orangtua; (2) penerimaan secara afeksi pada kedua
orangtua; (3) bentuk perilaku pada kedua orangtua. Bentuk-bentuk dari hasil persepsi
terhadap orangtua yang bekerja membentuk perasaan dan harapan pada anak agar dapat
berkumpul bersama kedua orangtua serta mempengaruhi kedekatan serta kelekatan anak
dengan orangtuanya dan menjadikan anak mengetahui gambaran tentang dirinya dan
kedua orangtuanya, dengan demikian anak dapat memahami memposisikan dirinya
diantara kedua orangtua.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratu Matahari (2012) tentang Studi Kualitatif
Mengenai Persepsi Dan Perilaku Seksual Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam
Upaya Pencegahan IMS Di Kota Semarang Tahun 2012. Latar belakang penelitian
diperoleh dari peningkatan jumlah kasus IMS di Kota Semarang dengan jumlah kasus IMS
pada tahun2009 tercatat mencapai 2.471 kasusdan jumlah kasus IMS pada tahun 2011
adalah 2473 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi dan perilaku
seksual wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) diLokalisasi Sunan Kuning terhadap upaya
pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kota Semarang. Metode penelitian yang
digunakan adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview)pada enam PSK yang
mengalami IMS dan mewawancarai dua kelompok diskusi (FGD), seorang mucikari, dan
seorang petugas lapangan (PL) sebagai triangulasi. Analisis data menggunakan analisis isi
(contentanalysis). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pola Pengetahuan PSK dan persepsi

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 15


PSK terhadap IMS juga sudah baik, tetapi perilaku PSK dalamupaya mencegah penularan
IMS masih belum bisa dikatakan baik karena penggunaan kondom diantara pekerja seks
komersial pada saat melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya masih rendah.
Tidak adanya dukungan dari mucikari dalam meningkatkan perilaku pencegahan IMS. Hal
ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap kesehatan diri sendiri masih rendah.
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa Perilaku pencegahan PSK terhadap
penularan IMS belum baik. Perlu diadakan pelatihandengan metode role playing kepada
para PSK dan mucikari untuk meningkatkan kepedulian mereka terhadap kesehatan
sehingga diharapkan akan terjadi perubahan perilaku baru dalam upaya pencegahan
penularan IMS terhadap diri mereka sendiri atau pelanggan.

Penelitian Arif Mahroza (2018) tentang Persepsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi


Universitas Mulawarman Pada Vlog Presiden Joko Widodo. Peneliti menggunakan teori
Stimulus Organisme Respon. Menurut teori ini jika pesan disampaikan dengan cara yang
tidak menggunakan teknik-teknik penyampaian sebuah pesan yang menarik maka hal itu
pasti tidak akan membuat komunikan tertarik dan mengikuti maksud pesan tersebut.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Adapun
populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2013, 2014, 2015 dan 2016 yang
sudah pernah menonton vlog Presiden Joko Widodo yang berjumlah 123 orang, lalu
ditetapkan jumlah respondennya mengambil 25% dari 123 mahasiswa dan didapatkan hasil
sebanyak 31 mahasiswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan skoring, proses tabulasi, lalu mendeskripsikan data. Hasil dari penelitian ini,
mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman memberikan persepsi yang posifit
pada vlog Presiden Joko Widodo. Video yang dibuat lebih ini membuat para penontonnya
tertarik untuk menonton karena diberikan dengan visual dan audio yang menarik. Informasi
yang disampaikan juga sangat jelas karena saling terhubung antara visual dengan rekaman
suara Presiden Joko Widodo, juga dengan penambahan teks untuk memperjelas informasi
yang disampaikan sehingga respoden mempersepsikan bahwa vlog Presiden Joko Widodo
sebagai alat komunikasi yang lebih efektif kepada masyarakanya yang masuk dalam usia
remaja dan anak muda.

Penelitian yang dilakukan Girenda Kumala Cahyaningtyas (2017) tentang Persepsi


Masyarakat Terhadap Keterbukaan Informasi Publik Di Kota Semarang, Studi Kasus:
Masyarakat Pengguna Pusat Informasi Publik (Pip) Tahun 2017. Pembentukan persepsi

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 16


perlu dibangun agar masyarakat dapat menggunakan informasi yang disediakan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, tata kelola yang baik adalah praktik atau prosedur pemerintah
dan masyarakat mengelola sumber daya untuk menyelesaikan masalah publik. Penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat kota Semarang terhadap
pengungkapan informasi publik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif, dengan melakukan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi
dan studi literatur. Analisis data dilakukan dengan fase reduksi data, penyajian data,
verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pengetahuan
Kota Semarang tentang keberadaan KIP belum sepenuhnya mengacu pada UU KIP. 2)
kurangnya pemahaman masyarakat tentang penerapan KIP. 3) penilaian masyarakat
terhadap KIP umumnya cenderung hanya membutuhkan hasil yang memuaskan tetapi tidak
mengubah perilaku mereka untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Solusi untuk
mengatasi ini adalah pemerintah lebih proaktif dengan memberikan intelijen kepada
masyarakat melalui program-program inovatif terkait dengan pengungkapan informasi
publik.

Penelitan yang dilakukan Kasim M.M, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai Negeri
Sipil Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai
Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda). Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, diharapkan mampu memperbaiki
manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik karena PNS tidak lagi
berorientasi melayani atasannya, melainkan masyarakat. Aturan ini menempatkan PNS
sebagai sebuah profesi yang bebas dari intervensi politik dan akan menerapkan sistem karier
terbuka yang mengutamakan prinsip professionalisme yang memiliki kompetensi,
kualifikasi, kinerja, transparansi, objektivitas, serta bebas dari KKN yang berbasis pada
manajemen sumber daya manusia dan mengedepankan sistem merit menuju terwujudnya
birokrasi pemerintahan yang profesional. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
persepsi pegawai negeri sipil terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara di kantor Kelurahan Temindung Permai Kecamatan Sungai
Pinang Kota Samarinda beserta dampak yang ditimbulkan UU tersebut. Jenis penelitian ini
adalah kualitatif deskriptif, dimana pada penelitian bersifat memberikan gambaran tentang
keadaan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan. Temuan dari hasil penelitian ini bahwa

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 17


Persepsi Pegawai Negeri Sipil sangat setuju diterapkan sehingga memberikan peningkatan
kualitas disiplin, produktivitas, kemampuan, kinerja pegawai dan berdampak baik bagi
pegawai yang berdasarkan kompetensi, kualitas dan prestasi kerja pegawai.

Penelitian yang dilakukan harjeni (2016) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap


Eksistensi Pak Ogah. Penelitian ini merupakan penelitian sosial budaya. Jenis Penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan cara penentuan sampel
melalui teknik Purposive Sampling dengan memilih beberapa informan yang memiliki
kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti yakni yang mengetahui tentang aktifitas pak
ogah di kota Makassar tersebut . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi
masyarakat terhadap keberadaan pak ogah di kota Makassar tersebut. Penelitian ini
bersifat deskriptif kuantitatif, tentang Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Pak
Ogah di Kota Makassar. Peneliti akan menganalisis data atau informasi yang
dikumpulkan dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yaitu dengan
mengklasifikasikan data berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditentukan oleh
peneliti kemudian membandingkan data atau informasi dari setiap sumber-sumber yang
peneliti dapatkan dilapangan serta mencari hubungan antara data atau informasi yang
diperoleh yang ada kaitannya dengan focus penelitian, dan terakhir penarikan kesimpulan
dan verifikasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap
keberadaan pak ogah dalam setiap kalangan memiliki pandangan masing-masing, namun
apabila kita mengutamakan keamanan dan kenyamanan di jalan maka sebaiknya polisi
lalu lintaslah yang mengatur kendaraan tersebut karena ini merupakan tugas, tanggung
jawab, serta wewenangnya, karena ia adalah lembaga resmi selain dari pada itu yang tidak
memiliki wewenang di jalan bersifat ilegal seperti aktivitas pak ogah tersebut.

Penelitian yang dilakukan Sutjipto (2018) tentang Pandangan Guru Dalam


Pengembangan Kurikulum Pendidikan Khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
secara komprehensif pandangan guru sekolah luar biasa dalam pengembangan kurikulum
pendidikan khusus pada dimensi perancangan dan asasnya. Penelitian melibatkan empat
puluh tiga guru sekolah luar biasa dari delapan sekolah. Data dikumpulkan dengan
menggunakan teknik diskusi kelompok terpumpun dan teknik analisis data menggunakan
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sudut pandang guru dalam
perancangan kurikulum pendidikan khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus harus
mengandung muatan-muatan pengetahuan praktis, kualitas karakter moral dan kinerja,

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 18


keterampilan penting, kompetensi, seni, dan praksis literasi. Selain itu, keluwesan,
fungsional, kemandirian, literasi, dan kejuruan merupakan asas-asas pengembangan
kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus.

Penelitian yang dilakukan Johana, Devi Eka, dkk (2017) tentang Persepsi Sosial Pria
Transgender Terhadap Pekerja Seks Komersial. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
secara mendalam persepsi sosial transgender terhadap pekerja seks komersial. Metode
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan model penelitian studi kasus
fenomenologi. Partisipan pada penelitian ini adalah tiga pria transgender yang berprofesi
sebagai pekerja seks komersial. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terpimpin,
observasi dan catatan lapangan. Teknik analisis data menggunakan analisis tematik dan
validasi data menggunakan triangulasi sumber dan member checking. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persepsi sosial pria transgender terhadap pekerja seks komersial
adalah seorang wanita yang bekerja memberilayanan seks komersial untuk tujuan
pemenuhan ekonomi dan kebutuhan psikologis. Mereka tidak memiliki penampilan fisik
menarik secara seksual namun memiliki interaksi sosial dan konsep diri yang baik.

Anita Ulfa, dkk (2018) tentang Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Iklan “Manfaat
Pajak” Di Televisi. Penelitian dengan judul persepsi masyarakat Surabaya tentang iklan
“manfaat pajak” di televisi adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana
persepsi terhadap iklan tersebut. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Dari
penelitian yang dilakukan, persepsi adalah negatif. Hal ini dapat diketahui dari beberapa
wawancara yang ditanyakan kepada informan, sebagian besar informan menyatakan tidak
setuju. Namun masih ada sebagian kecil yang mempunyai persepsi tidak baik terhadap iklan
“manfaat pajak” di televisi, karena iklan dianggap untuk mendapatkan dukungan dalam
proses iklan. Segala hal yang disajikan dalam iklan. Dari hasil penelitian yang telah
didapatkan maka saran yang diberikan kepada pembuat iklan”manfaat pajak” di televisi.
Dengan menampilkan citra yang berlebihan yang diiklankan karena dapat menjadi kesan
buruk terhadap yang diiklankan.

Peneliti mengangkat penelitian tentang Persepsi ASN terhadap Rilis BKN untuk
mengembangkan Penelitian yang dilakukan Kasim, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai
Negeri Sipil Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 19


Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian
Kasim sebatas untuk mengetahui persepsi ASN tentang keberadaan UU ASN No. Tahun
2014 dan penerapannya. Undang-Undang ASN merupakan ketentuan yang bersifat umum
mengatur banyak aspek tentang Aparatur Sipil Negara, banyak aspek ASN yang diatur
didalamnya dari hak, kewajiban, peningkatan karir, kepangkatan, pensiun, sampai dengan
hukuman disiplin. Kasim, dkk (2017) yang mengangkat penelitian tentang persepsi ASN
terhadap UU ASN No. 5 Tahun 2014 tidak memiliki fokus terhadap satu permasalahan dari
begitu banya aspek ASN yang diatur dalam undang-undang tersebut. Seharusnya dalam
melakukan penelitian khususnya terkait dengan penerapan peraturan perundang-undangan
maka sangat bijak apabila mengambil satu aspek saja, sehingga bisa menggambarkan
fenome yang terjadi dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi.

Peneliti mengambil judul tentang Persepsi ASN terhadap Rilis BKN Nomor:
006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori
Pelanggaran Disiplin ASN. Peneliti mengambil kekhususan dari aspek yang diatur dalam
Undang-undang ASN khususnya mengatur tentang aspek Hukuman Disiplin Pegawai
Negeri. Lebih khusus lagi, peneliti mengangkatnya dari fenomena yang sangat
mengkhawatirkan terkait dengan ujaran kebencian dan hoax yang melibatkan beberapa
oknum dari Aparatur Sipil Negara. Fokus permasalahan pada satu aspek dari ASN inilah
yang tidak diangkat pada penelitian Kasim, dkk (2017). Peneliti berusaha mengungkapkan
satu fokus permasalahan terkait dengan aspek hukuman disiplin ASN yang ingin diteliti
yakni Rilis yang dikeluarkan oleh BKN terkait dengan enam aktivitas ujaran kebencian.
Rilis yang dikeluarkan BKN sejak bulan mei tahun 2018 menimbulkan pro dan kontra. Rilis
tersebut masih dipertanyakan kekuatan hukum dalam penerapannya karena ketentuan baru
tentang hukuman disiplin yang disebutkan dalam rilis BKN tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Pemerintah dan akibatnya ketentuan
dalam rilis bisa berubah sewaktu-waktu dan tergantung kebutuhan. Substansi Hukuman
disiplin yang diatur juga menjadi pro dan kontra, karena cenderung masuk kedalam ranah
privat dari ASN. Ketentuan tentang pernyataan mendukung pendapat di media sosial seperti
kegiatan berkomentar (comment), suka (like), berkomentar kembali di twitter (retweet)
dipahami melanggar hak azasi sebagai pribadi. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran
dikalangan ASN maupun Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sebagai pelaksana rilis BKN
di Instansi Pemerintah, karena substani dalam rilis bkn cenderung bersifat sementara (ex

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 20


official) karena tidak diatur secara hirarki peraturan perundang-undangan dan diundngkan
dalam berita negara untuk dapat diketahui oleh seluruh masyarakat.

Dari beberapa pencarian yang dilakukan oleh peneliti melalui website pencari goole,
Peneliti tidak menemukan adanya kajian tentang persepsi ASN khususnya terkait hukuman
disiplin yang berkategori ujaran kebencian dan hoax. Ujaran Kebencian dan Hoax
merupakan sesuatu yang baru dan menjadi pro kontra karena beberapa oknum ASN terlibat
dalam aktivitas ujaran kebencian dan hoax. Peneliti ingin menggali persepsi ASN terhadap
Rilis yang dikeluarkan oleh BKN. Aktivitas ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh
Aparatur Sipil Negara (ASN) belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Rekomendasi kepada BKN selaku Instansi yang
ditunjuk untuk merancang revisi PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri, salah
satunya menyesuaikan nomenklatur Disiplin Pegawai Negeri Sipil menjadi Disiplin
Aparatur Sipil Negara, serta memasukkan ketentuan tentang aktivitas ujaran kebencian dan
hoax kedalam bab Disiplin Aparatur Sipil Negara pada PP 53 Tahun 2010.

2.3. Tinjauan Teori


2.3.1. Teori Persepsi

Persepsi merupakan proses dimana seseorang memperoleh stimulus atau


rangsangan dari lingkungannya yang ditangkap melalui alat indera yang melibatkan
faktor pikiran dan emosi sehingga menjadi sesuatu yang bermakna dan menimbulkan
respon tertentu. Menurut Atkinson et.al. (1997: 201) persepsi adalah suatu proses
dimana terjadi pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan.
Prosesnya adalah, stimulus yang diindera oleh individu kemudian diorganisasikan
dan diintepretasikan, sehingga individu menyadari/mengerti tentang apa yang
diindera tersebut.

Menurut Thoha (2002: 123) persepsi didefinisikan sebagai proses kognitif yang
dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Sedangkan
Irwanto (2002: 71) menyatakan persepsi adalah proses diterimanya rangsangan
(objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsangan itu

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 21


disadari dan dimengerti karena persepsi bukan sekedar penginderaan. Dengan
demikian dalam pembentukan persepsi terjadi proses penerimaan dan penafsiran
terhadap stimulus yang diindera oleh individu yang bertujuan memberikan arti
terhadap stimulus tersebut. Robbins (2001: 124) menyatakan bahwa tujuan dari
penginterpretasian atau penafsiran stimulus adalah ketika individu mempersepsikan
sesuatu agar stimulus itu dapat memberi makna kepada lingkungan mereka.Proses
pemberian arti melalui pengorganisasian dan penafsiran rangsangan akan
mempengaruhi perilaku individu sebagai bentuk respon terhadap rangsangan yang
diterima dari lingkungannya. Semakin baik pengorganisasian yang dilakukan dan
semakin komprehensif penafsiran yang diperoleh maka akan semakin baik pula
respon terhadap rangsangan tersebut dan begitu juga sebaliknya.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa proses pembentukan persepsi


melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Penerimaan rangsangan
Pada proses ini seseorang menerima rangsangan dari luar (objek, situasi maupun
peristiwa) yang diterima oleh inderanya baik itu penglihatan, pendengaran,
perasaan maupun penciuman.
b. Proses menyeleksi rangsangan
Rangsangan yang diterima oleh seseorang terkadang begitu banyak dan
bervariasi. Pada proses ini rangsangan yang diterima diseleksi berdasarkan
seberapa menariknya rangsangan tersebut untuk diberikan perhatian yang lebih.
c. Proses pengorganisasian
Rangsangan yang sudah diseleksi kemudian diorganisasikan dalam bentuk yang
mudah dipahami untuk kemudian dilakukan proses selanjutnya.
d. Proses Penafsiran
Pada proses ini dilakukan penafsiran terhadap rangsangan yang sudah diseleksi
untuk mendapatkan arti dan informasi.
e. Proses Pengecekan
Setelah diperoleh arti atau makna dari informasi yang ditafsirkan, kemudian
dilakukan pengecekan yang intinya adalah melakukan review terhadap kebenaran
informasi tersebut.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 22


f. Proses reaksi
Proses ini sudah mengarah pada bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap
informasi yang diperolehnya.
Sesuai dengan teori dan tahapan persepsi dapat disimpulkan bahwa
pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh pengamatan dan penginderaan
terhadap proses berpikir yang dapat mewujudkan suatu kenyataan yang diinginkan
oleh seseorang terhadap suatu obyek yang diamati. Dengan demikian persepsi
merupakan proses transaksi penilaian terhadap suatu obyek, situasi atau peristiwa.

Walgito (1991) mengemukakan terdapat 3 (tiga) aspek utama dari persepsi,


yaitu:

1. Kognisi
Aspek kognisi menyangkut komponen pengetahuan, pandangan, pengharapan
cara berpikir/mendapatkan pengetahuan, dan pengalaman masa lalu serta segala
sesuatu yang diperoleh dari hasil pikiran individu pelaku persepsi.
2. Afeksi
Aspek afeksi menyangkut komponen perasaan dan keadaan emosi individu
terhadap objek tertentu serta segala sesuatu yang menyangkut evaluasi baik buruk
berdasarkan faktor emosional seseorang.
3. Konasi atau psikomotor
Aspek konasi/psikomotor menyangkut motivasi, sikap, perilaku atau aktivitas
individu sesuai dengan persepsinya terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.
Persepsi bersifat tidak statis melainkan berubah-ubah atau dengan perkataan
lain sifatnya relatif atau tidak absolut, tergantung pada pengalaman sebelumnya,
sehingga akan menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang barangkali
sangat berbeda dari kenyataannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Luthans (2006:
194) yang menyatakan persepsi merupakan proses kognitif kompleks yang
menghasilkan gambaran dunia yang unik, yang mungkin agak berbeda dengan
realita.

Proses pembentukan persepsi pada individu dipengaruhi oleh berbagai faktor.


Robbins (2001: 89) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam
membentuk persepsi seseorang dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver),

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 23


dalam obyeknya atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana
persepsi itu dilakukan. Secara ringkas ketiga faktor tersebut, dilihat dalam gambar
berikut.

Faktor Pada Pemersepsi :

1. Sikap
2. Motif
3. Kepentingan
4. Pengalaman
5. Pengharapan

Faktor dalam situasi :

1. Waktu
2. Keadaan/tempat kerja PERSEPSI
3. Keadaan Sosial

Faktor Pada Target :

1. Hal Baru
2. Gerakan
3. Bunyi
4. Ukuran
5. Latar Belakang
6. Kedekatan

Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, Sumber: Robbins (2001: 90).

Dari gambar diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

 Pertama, faktor yang ada pada pelaku persepsi (perceiver), yang termasuk
faktorpertama adalah sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau minat,
pengalaman dan pengharapan individu.
 Kedua, faktor yang ada pada obyek atau target yang dipersepsikan yang
meliputihal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 24


 Ketiga, faktor konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan yang meliputi
waktu,keadaan atau tempat kerja dan keadaan sosial.
Prasetijo (2005:69) yang dikutip Arifin (2017) dalam jurnal penelitian tentang
Analis Fator Yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa Untirta Terhadap Keberadaan
Perda Syariah di Kota Serang menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi
persepsi pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang memengaruhi persepsi, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam
diri individu, yang mencakup beberapa hal antara lain :
1. Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang
diperoleh ini akan memengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan arti
terhadap lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi pada tiap
orang berbeda-beda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga dapat
berbeda.
2. Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk
memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental yang
ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian
seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan memengaruhi persepsi
terhadap suatu obyek.
3. Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak
energi atau perceptual vigilance yang digerakkan untuk mempersepsi.
Perceptualvigilance merupakan kecenderungan seseorang untuk memperhatikan
tipetertentu dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat.
4. Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya
seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan
jawaban sesuai dengan dirinya.
5. Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan
dalam arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian lampau
untuk mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas.
6. Suasana hati. Keadaan emosi memengaruhi perilaku seseorang, mood ini
menunjukkan bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang dapat
memengaruhi bagaimana seseorang dalam menerima, bereaksi dan mengingat.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 25


Faktor eksternal yang memengaruhi persepsi, merupakan karakteristik dari
lingkungan dan obyek-obyek yang terlibat di dalamnya. Elemen-elemen tersebut
dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan
memengaruhi bagaimana seseorang merasakannya atau menerimanya. Sementara itu
faktor-faktor eksternal yang memengaruhi persepsi adalah :
1. Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan bahwa
semakin besarnya hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk dipahami.
Bentuk ini akan memengaruhi persepsi individu dan dengan melihat bentuk
ukuran suatu obyek individu akan mudah untuk perhatian pada gilirannya
membentuk persepsi.
2. Warna dari obyek-obyek. Obyek-obyek yang mempunyai cahaya lebih banyak,
akan lebih mudah dipahami (to be perceived) dibandingkan dengan yang sedikit.
3. Keunikan dan kekontrasan stimulus. Stimulus luar yang penampilannya dengan
latar belakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang
lain akan banyak menarik perhatian.
4. Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna
lebih bila lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali
dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa
memengaruhi persepsi.
5. Motion atau gerakan. Individu akan banyak memberikan perhatian terhadapobyek
yang memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan dibandingkan obyek
yang diam.

Perkembangan Persepsi
Persepsi berkembang secara bertahap, baik terjadi pada hewan maupun
manusia. Berikut akan dipaparkan proses perkembangan persepsi bayi sejak bayi
lahir: (Suciati, 2015:92)
1. Dunia yang Dilihat Ketika Bayi Lahir.
Meskipun retina dari bayi yang dilahirkan belum berfungsi dengan
sempurna, namun para psikolog meyakini bahwa sudah dapat melihat meskipun
dengan cara yang berbeda dengan cara melihat orang dewasa. Secara umum
penglihatan bayi masih relatif kabur, sedangkan setelah enam bulan baru sama
penglihatannya dengan manusia dewasa. Penglihatan bayi yang baru lahir masih

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 26


belum tepat, misalnya saja bagaimanapun juga ia belum bisa untuk
mengendalikan otot mata untuk mengkoordinasikan gerakan benda, sehingga
yang nampak dari padanya hanya sebatas gelap, terang, putih, serta abu-abu. Hal
ini berlangsung sampai pada usianya beberapa minggu.
2. Persepsi Bentuk Dini
Sel-sel kortikal yang betugas mendeteksi suatu bentuk, sudah ada sejak bayi
dilahirkan. Pada saat itu, bayi diperkirakan sudah dapat melihat sehingga dapat
mengikuti benda yang bergerak seperti gerakan mata yang melompat-lompat. Ia
juga sudah mampu membedakan yang mana obyek dan yang mana latar. Bayi
juga sudah bisa mengenali garis lengkung dan kompleksitas. Ia juga bisa memilih
pola tertentu yang lebih memiliki keunikan. Kesimpulan ini diperoleh
berdasarkan pada penelitian tentang gerakan bola mata bayi yang dihadapannya
diberikan dua pola yang berbeda. Fantz sebagaimana dinukil Suciati
membuktikan bahwa bayi-bayi nampaknya lebih suka melihat untuk waktu yang
lama untuk pola-pola yang agak rumit disajikan didepan mata bayi, maka ada
kecenderungan bayi untuk melihat pola yang mengandung garis lengkung
dibandingkan mengandung garis lurus. Penelitian ini dilakukan selama 10
minggu pada 22 bayi Amerika.(Suciati, 2015:93) Dengan penelitian Fantz ini
muncullah penelitian lain yang bersifat lanjutan dengan menghasilkan beberapa
kombinasi seperti:
a. Bayi yang baru lahir lebih memilih tiga dimensi dari pada bidang datar.
b. Lebih menyukai benda yang bergerak dari pada diam.
c. Lebih suka memandang bentuk yang mirip wajah dari pada benda lainnya.
d. Dengan kata lain bayi dengan usia 0 bulan sudah memiliki daya pilih.
3. Persepsi Kedalaman Dini
Bower mengungkapkan bahwa dalam mempersepsikan kedalaman
melakukan penelitian terhadap bayi di bawah delapan minggu yang ternyata juga
mampu mempersepsikan kedalaman. Pada usia 10 hari, bayi yang ditelentangkan
akan menunjukkan perilaku melindungi mukanya bila ada benda yang terlalu
dekat dengan wajahnya (Suciati, 2015:94) Persepsi kedalaman berkembang pada
beberapa bulan pertama. Meskipun kebanyakan kemampuan persepsi bersifat
bawaan, pengalaman juga memainkan peranan penting. Bila seorang bayi
kehilangan pengalaman tertentu pada periode waktu yang penting periode kritis

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 27


maka kemampuan persepsi mereka juga akan rusak. Kemampuan bawaaan tidak
akan bertahan lama karena sel-sel dalam system saraf mengalami kemunduran,
berubah, atau gagal membentuk jalur saraf yang layak. Salah satu cara untuk
mempelajari periode penting ini adalah dengan melihat apa yang terjadi ketika
pengalaman persepsi di awal kehidupan gagal muncul. Untuk melakukan hal ini,
para peneliti biasanya mempelajari hewan yang kemampuan indera dan
persepsinya serupa manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ternyata
bayi sudah bisa mengorganisir lingkungannya secara tiga dimensi segera setelah
mereka dilahirkan.
4. Keadaan Pikiran
Motivasi pribadi, nilai, tujuan hidup, minat, pengharapan terhadap sesuatu
mempengaruhi persepsi masing-masing orang. Penelitian dari Hastorf dan Cantril
membuktikan bahwa motivasi berpengaruh terhadap persepsi. Penelitian yang
dilakukan dengan responden siswa dua sekolah yang sedang bertanding
sepakbola. Masing-masing penonton dari kedua belah pihak dipersilakan untuk
menghitung terjadinya pelanggaran pada peserta. Terbukti bahwa siswa penonton
menilai lawan melakukan dua kali pelanggaran lebih banyak daripada peserta
dari asal sekolah yang sama (Suciati, 2015:94) Dengan demikian, motivasi, nilai,
harapan dan emosi menyebabkan subyek memberikan penekanan yang secara
pribadi bermakna bagi dirinya.
5. Kebudayaan
Persepsi yang dimiliki seseorang dipegaruhi oleh perbedaan budaya dan
pengalaman-pengalaman. Contoh kasus, bahwa suku-suku Afrika primitif yang
hanya terbiasa dengan lingkungan alamiah dimana karya-karya merekapun lebih
banyak berbentuk lingkaran-lingkaran dan lengkungan-lengkungan, tidak akan
mengalami gejala ilusi Muller-Lyer jika kepada mereka diperlihatkan kedua garis
diatas karena persepsi mereka tidak dipengaruhi oleh kebiasaan melihat garis-
garis dan sudut-sudut. Kebudayaan seperti kebiasaan hidup, tampak juga dalam
berbagai gejala hubungan manusia dengan lingkungan dalam kehudupan sehari-
hari. Penduduk perkampungan kumuh di kota-kota besar biasa menggunakan air
kali untuk kepentingan mandi, mencuci, dan kakus mempersepsikan air kali itu
sebagai sesuatu hal yang masih dalam batas-batas optimal sehingga mereka
menggunakan air kali itu dengan enak saja. Sebaliknya orang biasa tinggal

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 28


dipermukiman mewah, tidak mungkin akan menggunakan air kali itu (Suciati,
2015:95) Dengan demikian, jelaslah bahwa persepsi ditentukan oleh pengalaman
dan pengalaman dipengaruhi oleh kebudayaan.
6. Ketepatan Persepsi Interpersonal
Proses persepi terdap manusia berbeda dengan proses persesi terhadap
benda. Sifat manusia yang flexibel (tidak statis) dan memengaruhi pihak
pemersepsi membuat “ketepatan” menjadi persoalan penting. Newcomb
mengatakan ada dua hal yang menyebabkan ketepatan persepsi yang bersifat
sosial: (Newcomb, 1985:75).
7. Mengenali Keadaan Emosional Orang Lain
Kebanyakan orang menganggap bahwa dirinya sudah cukup bisa menilai
orang lain secara tepat. Satu-satunya cara untuk bisa memahami orang lain secara
tepat adalah dengan melakukan interaksi secara intens. Berbagai ekspresi dari
sekedar melihat foto tidak dapat langsung disimpulkan tanpa melakukan
komunikasi tatap muka dalam jangka waktu tertentu. Dalam sebuah eksperimen,
penilai tidak dapat membedakan antara cinta, kebahagiaan dan suka cita, takjub,
takut dan menderita, kemarahan dan ketegasan, jijik dan penghinaan. Hal ini
dikarenakan bahwa diperlukan tanda-tanda lain yang mendukung penilaian
seperti tingkah laku. Semakin banyak informasi yang diperoleh melalui tanda-
tanda situsional maupun dalam tingkah laku, maka penilaian terhadap perasaan-
perasaan orang lain semakin tepat.
8. Derajat Kepandaian Menilai Orang Lain
Secara intuitif, orang mengaku dapat melakukan penilaian terhadap orang
lain. Intuitif tidak dapat menggantikan pembuktian secara sistematis. Pengalaman
dan belajar adalah dua hal yang menjadi syarat bagi sebuah penilaian yang tepat.
Para remaja menjadi penilai bagi satu dengan yang lain, karena pengalaman yang
dijalaninya membuatnya pandai melakukan penilaian. Kepandaian juga berasal
dari faktor belajar. Dokter gigi belajar dari pasien-pasiennya tentang hal-hal yang
menyebabkan ketidak enakan. Pengacara menjadi mampu dan ahli untuk
mengenali kasus-kasus kliennya karena ia belajar bertahun-tahun. Kiranya tidak
bisa dipisahkan secara jelas bagaimana pengalaman dan belajar sebaga faktor
penentu ketepatan penilaian. Pengalaman akan menjadikan pembelajaran bagi
individu untuk menjadi pandai dalam mempersepsikan orang lain.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 29


Proses Persepsi
Persepsi memiliki 2 (dua) bentuk proses yaitu pemrosesan top-down dan
buttom-up. (Feldman, 2012:35) Kita dapat menyimak potongan huruf-huruf ini: da-
at-ah-nd-ba-ak-li-at-ni-an-se-ia-hu-uf-et-ga-ya-ih-la-gk-n? Dengan melihat dan
membaca spontan, beberapa orang tidak memerlukan waktu yang lama untuk
menebak rangkaian kalimat di atas. Dapatkah anda baca kalimat ini yang setiap huruf
ketiganya dihilangkan? dan benar, bahwa itulah kalimat yang melengkapi potingan
huruf tersebut.

Pemrosesan top-down diatur oleh pengetahuan, pengalaman dan motivasi pada


tingkat yang lebih tinggi. Anda dapat menemukan arti dari kalimat yang tidak
lengkap di atas karena pengalaman membaca yang sebelumnya sudah Anda miliki
dan memang bahasa Indonesia tertulis mengandung ketidak lengkapan. Tidak setiap
huruf dalam masing-masing kata perlu ditulis agar kita dapat mengodekan arti dari
pada kata tersebut. Terlebih lagi, mungkin kita juga berharap bisa membaca kalimat
tersebut. Contoh lain adalah bagaimana bisa membaca sms teman yang memang
huruf-hurufnya sangat tidak lengkap, misalnya: sy ng th knp km tdk brgkt kul hr ni
(saya tidak tahu mengapa kamu tidak berangkat kuliah hari ini). Ajaib memang,
tetapi itulah kenyataannya bahwa sebuah makna bisa terbentuk dari sesuatu yang
tidak lengkap. Sebuah pengalaman juga merupakan faktor penting penentu persepsi.
Ketika kita pernah makan di restoran X dan kita kemudian merasakan gatal-gatal di
badan dan ketahuan hal itu disebabkan karena alergi, maka kita akan segera
menyimpulkan hal yang sama manakala teman kita mengalami hal yang sama.
Seseorang mungkin menjadi takut menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk
kesekian kalinya setelah beberapa kali dia mengalami kegagalan atau patah hati.
Dalam diri seseorang tersebut berarti sudah terbentuk makna bahwa dia selalu gagal
dalam menjalin hubungan. (Suciati, 2015:97)

Pemrosesan top-down digambarkan oleh konteks yang penting dalam


menentukan bagaimana kita memersepsi objek. Konteks dalam hal ini berhubungan
dengan harapan. Misalnya saja ketika orang melihat barisan huruf A sampai huruf F,
dibawahnya dipasangkan angka 10-14. Apa yang kira-kira yang di persepsikan?
Kebanyakan dari kita akan memaknai bahwa keduanya adalah barisan angka dan
huruf yang jumlahnya 4. Namun bila kita lebih hati-hati lagi ternyata kita melihat

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 30


bahwa huruf B mirip dengan angka 13. Persepsi ini dipengaruhi oleh adanya harapan
bahwa kedua barisan huruf dan bilangan adalah sekuen. (Suciati, 2015:97).

Sebuah eksperimen dilakukan di kelas ketika mengajar. Pada layar disajikan


huruf M saja yang memenuhi layar. Mahasiswa diminta untuk memberi makna huruf
M tersebut. Apa yang terjadi? Dalam lima orang mahasiswa ternyata memberikan
makna yang sangat berbeda. Ada yang menyatakan bahwa M berarti Minum, M
adalah marah, M adalah masak, M adalah Motor Gede (moge) , dan mahasiswa
terakhir menyatakan M adalah muka. Berbagai bentuk pemaknaan tersebut setelah
ditelusuri sebabnya, mengapa mereka memersepsi huruf M menjadi seperti itu.
Persepsi M minuman muncul karena mahasiswa tersebut memang dalam keadaan
lapar dan berharap segera makan. M marah muncul karena ternyata mahasiswa
merasakan bahwa minggu ini adalah banyak perrmasalah, M masak muncul karena
ternyata mahasiswa yang bersangkutan hobi memasak. M Motor Gede (Moge)
muncul karena mahasiswa yang bersangkutan penggemar Motor Gede (Moge).
Adapun M muka karena yang bersangkutan baru saja membersihkan mukanya
setelah dari kamar mandi. Berdasarkan eksperimen tersebut persepsi yang muncul
bisa disimpulkan sebagai sebuah hasil dari harapan.

Proses top-down tidak muncul begitu saja, tetapi harus dengan bantuan dari
proses buttom-up. Pemrosesan buttom-up terdiri atas kemajuan dalam mengenali dan
memroses informasi dari komponen-komponen individual dari suatu stimulus dan
beralih menjadi persepsi terhadap keseluruhan. Kita tidak akan dapat mencapai
kemajuan dalam pengenalan kita terhadap huruf dan angka sebagaimana dicontohkan
di atas tanpa mampu memersepsi bentuk-bentuk individual dari huruf-huruf tersebut.
Beberapa persepsi dengan demikian terjadi pada tingkat pola dan ciri dari masing-
masing huruf yang terpisah.

Pemrosesan top-down dan buttom-up terjadi secara simultan, dan saling


berinteraksi dalam persepsi terhadap dunia atau sekeliling kita. Pemrosesan buttom-
up membuat kita mampu untuk memproses karakteristik fundamental daristimulus,
sementara proses top-down menjadikan kita dapat membawa pengalaman kita untuk
melakukan persepsi. Ketika kita belajar lebih tentang proses kompleks yang terlibat
dalam persepsi ini, kita mengembangkan sebuah pengembangan yang lebih baik

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 31


tentang bagaimana otak secara berkelanjutan menginterpretasikan informasi dari
indera dan membuat kita dapat memberikan respon yang tepat kepada lingkungan.

Persepsi pada masing-masing individu memiliki kecenderungan berbeda satu


dengan yang lainnya. Pareek (1984: 13) mengemukakan ada 4 (empat) faktor utama
yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi, yaitu :

a. Perhatian
Terjadinya persepsi pertama kali diawali oleh adanya perhatian. Tidak semua
stimulus yang ada di sekitar dapat ditangkap semuanya secara bersamaan.
Perhatian biasanya hanya tertuju pada satu atau dua objek yang menarik bagi
kita.
b. Kebutuhan
Setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu kebutuhan
yang sifatnya menetap maupun kebutuhan yang sifatnya hanya sesaat, dimana
masing-masing orang memiliki kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan
yang lainnya.
c. Kesediaan
Kesediaan adalah harapan seseorang terhadap suatu stimulus yang muncul, agar
memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterima lebih efisien sehingga akan
lebih baik apabila orang tersebut telah siap terlebih dahulu.
d. Sistem Nilai
Sistem nilai yang berlaku dalam diri seseorang atau masyarakat akan
berpengaruh terhadap persepsi seseorang.

2.3.2. Konsep Makna

Konsep makna telah menarik perhatian disiplin komunikasi, psikologi,


sosiologi, antropologi dan linguistik. Itu sebabnya beberapa pakar komunikasi sering
menyebutkan kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Makna,
sebagaimana dikemukakan oleh Fisher dalam Sobur (2015:19), merupakan konsep
yang abstrak, yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritis ilmu
sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna
manusia sebagai salinan “ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 32


mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang
sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respons yang dikeluarkan dari
Skinner. Seperti yang dijelaskan oleh De Vito bahwa “ makna ada dalam diri
manusia.

“Makna” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: arti, maksud pembicara
atau penulis. Makna adalah proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu
pesan. Semua ahli komunikasi, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1996), sepakat
bahwa makna kata sangat subjektif words don’t mean, people mean (Sobur,
2015:20). Ada tiga hal yang dijelaskan para filsufdan linguis sehubungan dengan
usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni : (1) menjelaskan makna
secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, (3) menjelaskan makna
dalam proses komunikasi (Kempson, dalam Sobur:2015:23). Maka dari itu
sesungguhnya istilah makna adalah istilah yang memiliki banyak arti. Menurut F.R
Plamer dikutip Sobur (2015:24), untuk dapat memahami apa yang disebut makna,
kita mesti kembali ke teori Ferdinand de Saussure. Dimana dalam bukunya, Course
inGeneral Linguistik (1916), de Saussure menyebut tanda linguistik. Tiap
tandalinguistik terdiri atas dua unsur, yakni yang diartikan (unsur makna) dan
yangmengartikan (unsur bunyi). Kedua unsur ini, yang disebut unsur
intralingual,biasanya merujuk pada sesuatu referen yang merupakan unsur
ekstralingual. Sedangkan kata Peursen, “manusia ditandai dengan kata” (Sobur,
2015:24).

Tipe-tipe Makna
Brodbeck (1993) dalam Sobur (2015:26-26) mengemukakan bahwa sebenarnya
ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda :
1. Menurut tipologi Brodbeck, adalah makna referensial; yakni, makna suatu istilah
adalah objek, pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu.
2. Tipe makna yang kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Suatu istilah dapat
saja memiliki arti referensi dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai
referen, tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia
tidak mempunyai arti.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 33


3. Tipe makna yang ketiga dari Brodbeck mencangkup makna yang dimaksudkan
(intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah atau lambang bergantung pada
apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.

Pemaknaan Audiens
Pemaknaan akan terjadi jika ada yang namanya audiens. Pada awalnya,
sebelum media massa ada, audiens adalah sekumpulan penonton drama, permainan
dan tontonan. Setalah ada kegaiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan
sebagai penerima pesan-pesan media massa. Pemaknaan menjadi inti komunikasi
dikarenakan jika makna yang diberikan tidak akurat, tidak mungkin akan terjadi
komunikasi yang efektif. Semakin tinggi derajat kesamaan antar individu, semakin
mudah dan semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok
identitas (Mulyana, 2005).

Makna dalam Komunikasi

Aminuddin dalam Sumadiria (2006:26) makna dibagi menjadi tiga tingkatan,


yakni:
1. Makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga
membuahkan proposisi kebahasaan.
2. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
3. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Makna yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan
fenomena sosial. Makna sebagai konsep komunikasi, mencangkup lebih dari sekedar
penafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak
pemahaman, aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para
komunikator.

2.3.3. Tinjauan Teori tentang Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian (hatespeech) dan hoaks (berita bohong)bernuansa ujaran


kebencian melanda menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Direktorat Tindak
Pidana Siber Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bersama Direktorat

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 34


Keamanan Khusus Badan Intelijen Keamanan mengungkap sindikat penyebar isu-isu
provokatif di media sosial. Pada 26 Februari 2018, Polri melakukan penangkapan di
beberapa tempat terhadap pelaku yang tergabung dalam grup WhatsApp "The
FamilyMuslim Cyber Army (MCA)”. Pada tanggal 4 Maret, satu lagi anggota MCA,
warga Kisaran Asahan, Sumatra Utara, ditangkap di Serdang Bedagai, Sumatera
Utara. Polri juga menangkap individu-individu yang dituding menyebar ujaran
kebencian dan hoaks bernuansa ujaran kebencian secara pribadi di media sosial.

Indriyanto Seno Adji selaku Guru Besar Hukum Pidana Universitas


Krisnadwipayana, mengatakan fenomena ujaran kebencian dan hoaks muncul karena
tahun politik yang sedang berjalan (Media Indonesia, 3 Maret 2018). Kepala Biro
Penerangan Masyarakat, Brigjen Mohammad Iqbal, Polri telah mendeteksi ratusan
konten provokatif mengandung ujaran suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),
hoaks, dan ujaran kebencian sepanjang tahun 2018. Total jumlah konten provokatif
sampai dengan bulan Maret 2018 berjumlah 642 konten. Ujaran kebencian telah
mendorong semangat saling mencaci, memaki, dan membenci. Jika gejala ini
dibiarkan, maka negeri ini akan semakin berada dalam bahaya perpecahan dan
konflik sosial (Republika, 8 Maret 2018).

Pembentukan opini dengan ujaran kebencian dan hoaks bernuansa ujaran


kebencian terus ditindak oleh Polri. Namun Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid meminta Polri tidak tebang pilih dalam
menangani persoalan tersebut, agar aparat penegak hukum tidak ditafsirkan memiliki
kepentingan politik dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Menurut Hidayat,
segala sesuatu perlu dibuktikan secara hukum. Dalam hal ini, terkait dengan hak
berpendapat dan berekspresi maka pengkritik pemerintah tidak boleh dianggap
sebagai penyebar ujaran kebencian.

Batasan Pengertian Ujaran Kebencian

Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa untuk menghentikan ujaran kebencian


dapat dilakukan melalui pengembangan budaya toleransi sebagai basis prevensi dan
melalui pendekatan represif yaitu dengan penegakan hukum. Namun langkah yang
juga penting adalah dengan memahami kebebasan berbicara (freedom of speech) dan
ujaran kebencian (hate speech) (Media Indonesia, 3 Maret 2018). Pemahaman kedua

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 35


perbedaan istilah ini akan mencegah ketidakpastian hukum dan multitafsir, sehingga
tidak menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan
ekspresi.

Memahami antara istilah kebebasan berbicara dan ujaran kebencian terkait


dengan jaminan hak atas kebebasan menyatakan pikiran/pendapat dengan lisan,
tulisan, dan ekspresi sebagaimana diatur dan dijamin Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI Tahun 1945). Jaminan hak asasi,
memahami dan menilai suatu tindakan yang dapat termasuk ke dalam hate speech
atau tidak, bertujuan agar konsepsi hatespeech tidak disalahpahami, baikoleh
penegak hukum maupun masyarakat. Penegakan hukum terhadap pelanggaran
larangan mengenai ujaran kebencian dapat diterapkan secara profesional sesuai
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun di


dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar.
Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang
dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual)
maupun tidak langsung (berhenti pada niat). Menurut Susan Benesch, jika ujaran
tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang
atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan (Anam dan Hafiz,
2015).

David O. Brink mengataan bahwa pernyataan atau ujaran yang bersifat


diskriminatif namun tidak termasuk dalam kategori ujaran kebencian. Hal ini dapat
dicontohkan pada stereotipe yang bias dan jahat, namun tidak sampai pada derajat
stigmatisasi, merendahkan, sangat menyakiti ataupun melukai. Brink menyataan
bahwa hate speech lebih buruk dari sekedar pernyataan yang diskriminatif. Ia
menggunakan simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena keterikatannya
pada kelompok tertentu dan sebagai ekspresi dari penghinaan kepada targetnya agar
menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis (Anam dan Hafiz, 2015).

Ujaran kebencian (Hatespeech) sangat dekat dengan jaminan hak berpendapat


dan berekspresi. Kesalahan dalam menilai dan meletakkan ukuran ucapan, ujaran
atau pernyataan yang terkategori ke dalam hate speech justru akan berdampak pada

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 36


pembatasan terhadap hak berpendapat dan ekspresi. Sebaliknya, membuka kran
ekspresi seluas-luasnya tanpa mengindahkan aspek-aspek pernyataan yang
mengandung ujaran kebencian justru membiarkan masyarakat berada pada situasi
saling membenci, saling curiga, intoleran, diskriminatif, bahkan dapat menimbulkan
kekerasan terhadap kelompok tertentu yang lebih lemah (Anam dan Hafiz, 2015).

Prinsip-prinsip Camden, suatu dokumen yang disepakati oleh para ahli HAM
tentang pembatasan hak ekspresi dalam kaitannya dengan hate speech, mendorong
setiap Negara untuk mengadopsi hukum yang melarang advokasi kebencian antar
bangsa, ras atau agama yang mengandung penyebarluasan diskriminasi, kebencian
dan kekerasan. Untuk menjaga penyalahgunaan pembatasan hak, legislasi harus
membuat secara rigit definisi yang ketat, antara lain yaitu: istilah ‘kebencian’ dan
‘kekerasan’ yang mengacu pada perasaan merendahkan, menghina, membenci yang
kuat dan irasional yang ditujukan kepada kelompok sasaran tertentu; Istilah
‘advokasi’ mensyaratkan adanya maksud untuk mempromosikan kebencian secara
terbuka terhadap kelompok sasaran tertentu; dan istilah ‘penyebarluasan’ mengacu
pada pengungkapan pernyataan terhadap kelompok kebangsaan, ras atau agama
tertentu yang menciptakan risiko diskriminasi, kebencian dan kekerasan yang
mendesak terhadap orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok tersebut
(Anam dan Hafiz, 2015).

Pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa batasan pengertian ujaran
kebencian adalah ujaran yang mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-
kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung
(aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat) yaitu menginspirasi orang lain
untuk melakukan kekerasan atau menyakiti orang atau kelompok lain.

Larangan Ujaran Kebencian dalam Peraturan Perundang-Undangan

Negara-negara di Dunia mengadopsi ketentuan-ketentuan tentang ujaran


kebencian dan bersepakat untuk memberantasnya. Instrumen internasional mengatur
tentang dengan ujaran kebencian, seperti: Deklarasi HAM PBB 1948; Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention
On The Elimination OfAll Forms Of Racial Discrimination/CERD); dan Kovenan

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 37


Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (international Covenant on Civil
andPolitical Rights /ICCPR).

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No.


19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memuat
larangan dan ancaman pidana bagi pelaku yang membuat ujaran kebencian ataupun
berita bohong. Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 UU ini memuat ancaman pidana bagi
setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Tindak pidana ini dirumuskan secara materiil. Artinya tindak pidana tersebut selesai
sempurna bila akibat perbuatan telah timbul yaitu adanya kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik. Unsur sengaja artinya pelaku menghendaki untuk menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan, dan menghendaki atau setidaknya menyadari akan
timbul akibat kerugian bagi konsumen. Pelaku juga mengerti bahwa apa yang
dilakukannya itu tidak dibenarkan (sifat melawan hukum subjektif), dan mengerti
akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen transaksi elektronik.

Ancaman pidana juga ditujukan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA
(Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 UU ITE). Tindak pidana ini juga dirumuskan secara
materiil. Artinya, tindak pidana selesai sempurna akibat adanya rasa kebencian atau
permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (KUHP) Pasal 207 dan Pasal 310-Pasal 321 juga memuat larangan
melakukan penghinaan, dengan segala bentuknya, yang menyerang kehormatan dan
nama baik. Substansi dalam pasal-pasal ini telah dimuat kembali dalam RUU KUHP.
Dalam RUU KUHP, yang dimaksud dengan “penghinaan” adalah menyerang
kehormatan atau nama baik orang lain. Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika
perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, baik secara lisan,
tulisan, maupun dengan gambar yang menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang, sehingga merugikan orang tersebut.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 38


Definisi dari “penghinaan” banyak bergantung pada temperamen zaman,
pendapat kontemporer, moral dan kondisi sosial serta pandangan masyarakat yang
berbeda pula. Penghinaan didefinisikan sebagai perbuatan yang merugikan reputasi
orang lain sehingga dapat menurunkan pandangan masyarakat terhadapnya atau
mencegah orang ketiga bergaul atau berurusan dengannya (Arend, 1997).

Bentuk aktivitas ujaran kebencian yang masuk dalam kategori pelanggaran


disiplin ASN berdasarkan rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 sebagai berikut:

1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang
bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang
mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan
antargolongan;
3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian (pada poin 1 dan 2)
melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost instagram dan
sejenisnya);
4. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut,
memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
5. Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina,
menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang- Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
6. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada
poin 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di
media sosial.

Bagi ASN yang terbukti melakukan pelanggaran pada poin 1 sampai 4 dijatuhi
hukuman disiplin berat dan ASN yang melakukan pelanggaran pada poin 5 dan 6
dijatuhi hukuman disiplin sedang atau ringan.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 39


2.3.4. Tinjauan Teori Hoax

Dalam cambridge dictionary, kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon.
Kegiatan menipu, rencana menipu, trik menipu, disebut dengan hoax. Pada situs
hoaxes.orgdalam konteks budaya mengarah pada pengertian hoax sebagai
aktifitasmenipu: Ketika sebuah surat kabar dengan sengaja mencetak cerita palsu,
kami menyebutnya tipuan. Kami juga menggambarkan aksi publisitas yang
menyesatkan, ancaman bom palsu, penipuan ilmiah, penipuan bisnis, dan klaim
politik palsu sebagai tipuan.

Dalam merriamwebster.com, hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali


pembaca/pendengar untuk mempercayai sesuatu, padalah sang pencipta berita palsu
tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang
paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan
yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Defenisi lain menyatakan hoax
adalah suatu tipuan yang digunakan untuk mempercayai sesuatu yang salah dan
seringkali tidak masuk akal yang melalui media online
(http://www.merriamwebster.com, diakses 3 Desember 2018). Hoax bertujuan
membentuk opini publik, menggiringnya, dan membentuk persepsi juga untuk
having fun (bersenang-senang) yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna
internet dan media sosial.

Hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikansebagai suatu bentuk penipuan


yang tujuannya untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Hoax dalam
Bahasa Indonesia berarti berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Sedangkan
menurut kamus bahasa Inggris, hoax artinya olok-olok, cerita bohong, dan
memperdayakan alias menipu. Walsh (2006) dalam bukunya berjudul “Sins Against
Science,The Scientific Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others” menuliskan bahwa
istilah hoax sudah adasejak tahun 1800 awal era revolusi industri di Inggris. Asal
kata hoax diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni ‘hocus’ dari mantra
‘hocus pocus’, frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa ‘simsalabim’. Bahkan
Boese (2002) dalam bukunya“Museum of Hoaxes” menuliskan bahwa jauh sebelum
itu, istilah hoax pertama kali terpublikasi melalui almanak atau penanggalan palsu

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 40


yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff pada tahun 1709 untuk meramalkan kematian
astrolog John Partridge.

Hoax menurut Bungin (2017) meskipun memiliki ‘masa hidup’ dalam


kognitif lebih pendek dari pada konstruksi sosial media massa, namun hoax
memiliki daya rusak sporadic yang kuat dan luas di masyarakat. Hoax adalah salah
satu persoalan serius dalam etika komunikasi karena dapat merusak citra lawan.
Semua berita hoax tidak saja merugikan subjek hoax namun juga menyerang dan
merusak tatanan etika di masyarakat, bahkan dapat menjadi mesin pembunuhan
karakter seseorang.

Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas RI)


menyatakan kepada tribunnews “Hoaks itu pekerjaan orang jahat yang tidak
peduli terhadap dampak buruk yang akan dirasakan masyarakat. Tujuannya untuk
memecah belah masyarakat. Produksi hoaks itu disengaja, karena informasi hoaks
memiliki nilai ekonomis bagi pemecah bangsa.” Agus menegaskan, bahwa Hoaks
sangat efektif untuk memecah belah terkhusus sebagai alat politik. “Hoaks itu
efektif, apalagi jika sudah menggunakan kerangka teoritis dalam mengkonsepnya.
Mereka akan mencari tema-tema yang bisa menimbulkan emosi masyarakat. Itu
yang perlu kita waspadai.”
(http://www.tribunnews.com/regional/2018/11/16/gubernur-lemhanas-
penyebaran-hoaks-dilakukan-orang-jahat-terkonsep-dan-bukan-kebetulan, diakses
27 November 2018).

Hoax menurut Ketentuan Perundang-Undangan (KUHP dan ITE)

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE ada salah satu unsur yaitu menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan, apakah bohong dan menyesatkan adalah hal yang sama
dan apakah jika menyesatkan sudah pasti bohong?

Undang-undang ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan berita


bohong dan menyesatkan. Untuk memahami kata bohong dan menyesatkan
sebenarnya terdapat ketentuan serupa dalam pasal 390 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) walaupun rumusannya frasanya berbeda yakni “menyiarkan
kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut: Barang siapa dengan

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 41


maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak
menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang
dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269),
terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa
kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar
bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga
menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian. Hal mana juga berlaku pada
Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Suatu berita yang menceritakan secara tidak betul tentang
suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong.

Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa
“menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam
kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat
orang berpadangan salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi
pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi.
Unsur-unsur tersebut yaitu:
1. Setiap orang.
2. Dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. dalam
artikel Danrivanto Budhijanto, "UU ITE Produk Hukum
Monumental" (http://news.unpad.ac.id/?p=10313, diakses 4 Desember 2018)
menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur, ed) ’perbuatan dengan
sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa
juga apakah perbuatan itu dilakukan tanpa hak? Menurutnya, kalau pers yang
melakukannya tentu mereka punya hak. Namun, bila ada sengketa dengan pers,
UU Pers (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ed) yang
jadi acuannya.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 42


3. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.
Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus
terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai
dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan
seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru). Apabila berita bohong
tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut
penulis seharusnya tidak dapat dilakukan pemidanaan.
Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur
yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus
mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan
pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi
elektronik.
Perlu diketahui bahwa penerapan pasal 28 tersebut diatas, diterapkan bagi siapa
saja atau pelaku yang perbuatan menyebarkan berita bohong tersebut dilakukan
melalui transaksi elektronik atau media internet.

2.3.5. Teori Media Sosial

Aktivitas ujaran kebencian dan hoax paling banyak menyebar melalui media
sosial. Satu sisi media sosial dapat meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih
erat, wadah bisnis online, dan lain sebagainya. Sisi lainnya media sosialsering
menjadi pemicu beragam masalah seperti maraknya penyebaran hoax, ujaran
kebencian, hasutan, caci maki, adu domba dan lainnnya yang bisa mengakibatkan
perpecahan bangsa. Media sosial sendiri menurut Van Dijk (2013) adalah platform
media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka
dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial dapat dilihat
sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna
sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.

Sedangkan Boyd (2009) mendefinisikan media sosial sebagai kumpulan


perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul,
berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain.
Wright dan Hinson berpendapat bahwa media sosial memiliki kekuatan pada user
generated content (UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 43


editor sebagaimana di institusi media massa. UGC yang tersebar melalui internet
bertujuan untuk berbagi dan memfasilitasi percakapan diantara penggunanya
(Goldfine, 2011).

Pepitone (dalam Westerman, 2013) juga mengatakan media sosial dianggap


sebagai salah satu teknologi yang penggunaannya meningkat sebagai sumber
informasi. Sementara Villanueva mengatakan media sosial merupakan bagian
internet yang memberikan kekuasaan setiap orang untuk menginformasikan
gagasannya kepada orang lain, baik secara interpersonal, maupun ke banyak orang
(Winkelmann, 2012). Menurut Susanto (2011) terdapat masalah yaitu pihak yang
patut dipercaya dan bagaimana menyaring informasi sehingga berguna bagi
pembaca. Ketidakjelasan sumber informasi dan keberagaman informasi yang
mengarah pada hoax tersebut cenderung menjadi teror.

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan Wiki merupakan
bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Menurut Antony Mayfield dari iCrossing, media sosial adalah mengenai menjadi
manusia biasa. Manusia biasa yang saling membagi ide, bekerjasama dan
berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, berfikir, berdebat, menemukan orang yang
bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan dan membangun sebuahkomunitas.
Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri. Selain
kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri
dalam media sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat. Tak
terkecuali, keinginan untuk aktualisasi diri dan kebutuhan menciptakan personal
branding. Teknologi-teknologi web baru memudahkan semua orang untuk membuat
dan yang terpenting menyebarluaskan konten mereka sendiri. Post di Blog, tweet,
atau video di YouTube dapat direproduksi dan dilihat oleh jutaan orang secara gratis.
Pemasang iklan tidak harus membayar banyak uang kepada penerbit atau distributor
untuk memasang iklannya. Sekarang
pemasang iklan dapat membuat konten sendiri yang menarik dan dilihat
banyak orang (Zarrella, 2010: 2).

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 44


Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai
"sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi
dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-
generated content".

Jenis-jenis Media Sosial


Media sosial teknologi mengambil berbagai bentuk termasuk majalah, forum
internet, webblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video,
peringkat dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori-teori dalam bidang
media penelitian (kehadiran sosial, media kekayaan) dan proses sosial (self-
presentasi, self-disclosure) Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi
untuk berbagai jenis media sosial dalam artikel Horizons Bisnis mereka diterbitkan
dalam 2010.
Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:
1. Proyek Kolaborasi
2. Website mengizinkan usernya untuk dapat mengubah, menambah, ataupun me-
remove konten – konten yang ada di website ini.Contohnya wikipedia.
3. Blog dan microblog
User lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu di blog ini seperti curhat
ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Contohnya Twitter, Blogspot, Tumblr,
Path dan lain-lain.
4. Konten
Para user dari pengguna website ini saling meng-share konten – konten media,
baik seperti video, ebook, gambar dan lain-lain. Contohnya Youtube.
5. Situs jejaring sosial
Aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat
informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi
itu bisa seperti foto-foto. Contoh Facebook, Path, Instagram dan lain-lain.
6. Virtual game world
Dunia virtual dimana mereplikasikan lingkungan 3D, di mana user bisa muncul
dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain
selayaknya di dunia nyata, contohnya game online.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 45


7. Virtual social world. Dunia virtual yang di mana penggunanya merasa hidup di
dunia virtual, sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain.
Namun, Virtual Social World lebih bebas, dan lebih ke arah kehidupan,
contohnya second life.

Fungsi Media Sosial


Fungsi media sosial dapat diketahui melalui kerangka honeycomb. Menurut
kietzmann, etl (2011) menggambarkan hubungan kerangka kerja honeycomb sebagai
penyajian sebuah kerangka kerja yang mendefenisikan media sosial dengan
menggunakan tujuh kotak bangunan fungsi yaitu identify, conversations, sharing,
presence, relationships, reputation, dan groups.
1. Identify, menggambarkan pengaturan identitas para pengguna dalam sebuah
media sosial menyangkut nama, usia, jenis kelamin, profesi, lokasi serta foto
2. Conversations, menggambarkan pengaturan bagaimana para pengguna
berkomunikasi dengan pengguna lainnya dalam media sosial
3. Sharing, menggambarkan pertukaran, pembagian, serta penerimaan konten berupa
teks, gambar, atau video yang dilakukan oleh para pengguna.
4. Presence, menggambarkan apakah para pengguna dapat mengakses pengguna
lainnya
5. Relationship, menggambarkan para pengguna terhubung atau terkait dengan
pengguna lainnya.
6. Reputation, menggambarkan para pengguna dapat mengidentifikasi orang lain
serta dirinya sendiri
7. Groups, menggambarkan para pengguna dapat membentuk komunitas, dan sub
komunitas, yang memiliki latar belakang, minat, atau demografi.

Hoax di Media Sosial


Hasil penelitian Situngkir (2017) dengan judul “Spread of Hoax in Social
Media”, menyimpulkan bahwa Twitter, sebagai layanan micro-blogging merupakan
salah satu media efektifmenyebarkan berita dari orang ke orang dalam kecepatan
yang sebanding dengan media massa konvensional. Hoax memiliki cakupan populasi
yang besar dalam lima sampai enam kali tweet, dan berpotensi lebih besar secara
eksponensial, kecuali media konvensional menghentikan penyebaran hoax tersebut.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 46


Hasil penelitian Allcott dan Gentzkow (2017) dengan judul “Social Media and
Fake News inthe 2016 Election”, menyimpulkan bahwa platform media sosial seperti
Facebook memiliki struktur yang sangat berbeda dari teknologi media sebelumnya
(media mainstream). Konten di media sosial dapat disampaikan antara pengguna
tanpa penyaringan pihak ketiga, pemeriksaan fakta, atau penilaian editorial. Rata-rata
orang dewasa AS membaca dan mengingat urutan satu atau beberapa artikel berita
palsu selama masa pemilihan, dengan keterpaparan yang lebih tinggi terhadap artikel
pro-Trump daripada artikel pro-Clinton. Seberapa besar dampak hasil pemilihan ini
bergantung pada efektivitas paparan hoax dalam mengubah cara orang memilih.

2.3.6. Defenisi Pegawai Negeri


Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara yang
bertugasmemberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur adil
dan meratadalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan danpembangunan.
Pegawai negeri menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian perubahan atas Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah
Sebagaiberikut ″Pegawai negeri adalah setiap warga Negara yang telah memenuhi
syaratyang telah ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi
tugasdalam suatu jabatan negeri,atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji
berdasarkanperaturanperudang-undangan yang berlaku.″ Pengertian Pegawai Negeri
Menurut pasal 92 KUHP adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan
berdasarkan peraturan-peraturan umum dan jugamereka yang bukan dipilih tapi
diangkat menjadi anggota DPR, DPD dan kepala-kepala Desa dan sebagainya.
Pengertian tersebut hanya berlaku untuk kejahatanjabatan dan kejahatan-
kejahatanlainnya yang diatur dalam KUHP.
Pengertian pegawai negeri menurut Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bab II pasal pasal 3
yaitu″Pegawai negeri adalah unsur aparatur Negara abdi Negara, dan abdi
masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, Undang-
undang Dasar 1945,Negara dan pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan
dan pembangunan.″

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 47


Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 2 Pegawai Negeri terdiri dari:

1. Pegawai Negeri terdiri dari


a. Pegawai NegeriSipil; dan
b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
2. Pegawai NegeriSipil terdiri dari
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat : Pengertian Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah
PNS yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja Negara
(APBN) dan bekerja pada departemen, lembaga pemerintah non-departemen,
kesekretariatan Lembaga Negara, instansi vertikal di daerah provinsi,
kabupaten/kota, kepaniteraan pengadilan, atau dipekerjakan untuk
menyelanggarakan tugas negara lainnya.
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah, Pegawai negeri sipil daerah provinsi/
kabupaten/ kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatandan
Belanja Daerah (APBD) dan bekerja pada Pemerintah Daerah atau
dipekerjakan di luar instansi induknya.

2.3.7. Defenisi Aparatur Sipil Negara (ASN)

Aparatur sipil Negara yang dimaksud berdasarkan Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)terdapat pada
bab I pasal 1 ayat ( 2) yaitu ˮPegawai Aparatur Sipil Negara yangselanjutnya disebut
pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja yang diangkat oleh Pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam
suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undanganˮ.

Selanjutnya menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


2014 Tentang aparatur sipil Negara (ASN) terdapat pada bab I pasal 1 ayat (3) yaitu
ˮPegawai negeri sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga Negara
Indonesiayang memenuhi syarat tertentu, dinagkat sebagai pegawai ASN secara
tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahanˮ.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 48


Selanjutnya menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 Tentang aparatur sipil Negara (ASN) terdapat pada bab I pasal 1 ayat (4) yaitu
ˮPegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang selanjutnya disingkat PPPK
adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat
berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
melaksanakantugas pemerintahanˮ.

Tugas ASN
Tugas aparatur sipil Negara berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun2014 Tentang aparatur sipil Negara bab IV pasal 11 yaitu :
1. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat Pembina kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Memberikan pelayanan publik yang professional dan berkualitas dan
3. Mempererat persatua dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Disiplin ASN
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
Tentang aparatur Negara bab VIII pasal 86 Paragraf 11 yaitu :
1. Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas,
PNS wajib memenuhi disiplin PNS
2. Instansi pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan penegakan disiplin
terhadap PNS serta melaksanakan penegakan disiplin terhadap PNS wajib
terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya penigkatan disiplin
3. PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin Ketentuan
lebih lanjut mengenai disiplin sebagaiman dimaksud pada ayat (1),ayat (2),dan
ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 49


2.4. Kerangka Pemikiran

ASN

Penggunaan Media Sosial


6 Ujaran Kebencian
Hoax
Hukuman Disiplin PNS

Sosialisasi Rilis BKN No.


006/RILIS/BKN/V/2008

Persepsi ASN mengenai konsep Persepsi ASN mengenai


penerapan dan dampak

Pemahaman ASN terhadap Rilis BKN


No. 006/BKN/Rilis/2018 tentang Enam
Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori
Hukuman Disiplin

Penggunaan media sosial yang baik dan benar serta aspek kognitif ASN yang diperoleh dari
ketertarikan membaca, memahami bacaan, kepuasan membaca, menyakini bacaan dan
frekwensi membaca terkait ujaran kebencian dan hoax akan mempengarui persepsi ASN
tentang Rilis Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian
Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 50


III. IMPLKASI METODOLOGI

3.1. Tipe Penelitian


Peneliti mengambil kajian penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif-
kualitatif. Peneliti melakukan pengumpulan data dari hasil wawancara, dokumentasi, dan
observasi maka untuk selanjutnya data tersebut akan dianalisis lebih mendalam lagi
sehingga membentuk suatu kesimpulan ilmiah-alamiah yang dapat diterima oleh berbagai
kalangan, terutama dalam hal ini adalah instansipemerintah sebagai obyek penelitian dan
seluruh ASN di instansi pemerintah di Indonesia.

Meleong (2004:10) menyebutkan beberapa alasan memilih metode ini yaitu:


pertama, menyesuaikan metode ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan
jamak (kompleks/heterogen). Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan informan. Dan yang ketiga, metode ini lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajamanpengaruh bersama terhadap pola-pola
nilai yang dihadapi.

Metode ini juga dapat menggambarkan abstraksi dari berbagai macam alternatif
pengembangan penanganan ujaran kebencian dan hoax di Instansi-instansi pemerintah
secara teoritis – kritis dan obyektif. Alasan lain dari dipilihnya metode ini dikarenakan
pemahaman seseorang terhadap sebuah permasalahan lebih bersifat kualitatif yang
didasarkan pada persepsi, eksplorasi pemikiran, penjelasan dan pengembangan konsep.
Selain itu, pemilihan metode ini juga didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh
David Osborne dan Ted Gaebler (1996:393, dalam Sanyoto, 2006:64) yaitu :

“Untuk mengkombinasikan pengukuran kuantitatif dengan evaluasi kualitatif,


Manajer yang baik dapat memperoleh pandangan yang besar dalam kinerja
dengan memperhatikan angka-angka yang relevan, tetapi mereka dapat
memperoleh pandangan yang sama nilainya dengan menggunakan waktunya
untuk mengamati program, perwakilan atau pemberi jasa, berbincang-bincang
dengan para pekerja dan mendengarkan pelanggan”.
Metode penelitian kualitatif berarti berbicara pada proses dalam rangka pencapaian
suatu tujuan (hasil akhir) yang diinginkan, bukan berbicara pada output (keluaran/hasil
akhir), membatasi studi dengan fokus yang jelas, dan hasilnya dapat disepakati oleh kedua
belah pihak (peneliti dan subyek penelitian). Dalam penelitian kualitatif, tidak sekadar

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 51


mendeskripsikan sebuahfenomena, yang terpenting adalah menjelaskan makna,
mendeskripsikan makna dari fenomena yang muncul, bahkan menjelaskan ”meta maknawi”
yaitu makna dibalik makna. Kehandalan dari penelitian deskriptif-kualitatif terletak pada
peneliti sendiri. Dengan demikian, apabila format deskriptif-kualitatif ini dilakukan dengan
sungguh-sungguh, dengan varian-varian deskriptif yang akurat, pengamatan terhadap
fenomena yang tajam dan dengan triangulasi (baik metode pengumpulan data, sumber data
maupun teori) yang sungguh-sungguh maka penelitian ini tak kalah baiknya dan tak kalah
berkualitasnya dengan analisis-analisis lainnya (Bungin, 2010 :150).

3.2. Fokus Penelitian


Masalah dalam penelitian kualitatif dinamakan fokus. Penetapan fokus dalam
penelitian kualitatif sangat penting karena untuk membatasi studi dan mengarahkan
pelaksanaan suatu pengamatan. Fokus dalam penelitian kualitatif sifatnya abstrak, artinya
dapat berubah sesuai dengan latar belakang penelitian.

Memfokuskan dan membatasi pengumpulan data dapat dipandang kemanfaatannya


sebagai reduksi data yang sudah diantisipasi sebelumnya dan merupakan pra-analisis yang
mengesampingkan variabel-variabel dan berkaitan untuk menghindari pengumpulan data
yang berlimpah.

Penentuan fokus memiliki dua tujuan yaitu:

1. Penetapan fokus untuk membatasi studi, bahwa dengan adanya fokus penelitian,
tempat penelitian menjadi layak. Sekaligus membatasi fokus pada domain/kategori
yang mengandung banyak data/informasi dari domain-domain atau kategori-kategori
tertentu;
2. Penentuan fokus secara efektif menetapkan kriteria sumber informasi untuk menjaring
informasi yang mengalir masuk, sehingga temuannya memiliki arti dan nilai yang
strategis bagi informan.

Fokus penelitian dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian yaitu mencoba menjawab pertanyaan :

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 52


1. Bagaimanakah Persepsi ASN di BPS Provinsi Sumatera Utara Terhadap Rilis BKN No.
006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 tentang enam aktivitas ujaran kebencian
berkategori pelanggaran disiplin?
2. Bagaimanakah Penerapan Rilis BKN No. 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018
tentang enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin pada Aparatur
Sipil Negara (ASN)?

3.3. Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan pada penelitian ini didasarkan pada data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan, termasuk wawancara dan
observasi dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada lembaga/institusi maupun individu.
Data-data yang dijaring, dikodifikasikan dan dideskripsikan adalah bersumber dari jawaban
para informan terhadap pertanyaan yang diajukan dalam wawancara. Selain itu tidak
menutup kemungkinan akan menggunakan memo untuk mencatat ide-ide, pemikiran-
pemikiran dan gagasan-gagasan yang akan muncul sewaktu-waktu saat peneliti berada di
lapangan.
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan
sebagai dokumen resmi dan literatur-literatur yang lain, yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas dalam kajian mandiri, seperti : Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN, Undang-
Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor:21 Tahun 2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Undang-Undang
Kitab Hukum Pidana No. 1 Tahun 1946, Undang Undang No 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Selain
itu bahan sekunder juga didapatkan dari literatur-literatur seperti buku panduan, surat kabar,
seminar, internet, dan lain-lain.

3.3.1. Wawancara
Wawancara merupakan proses percakapan dengan maksud untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian kegiatan, organisasi, motivasi , perasaan
dan sebagainya, yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan pada yang diwawancarai (interviewee) yang

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 53


memberikan jawaban atas pertanyaan (Bungin, 2001: 108). Wawancara juga dapat
dilakukan secara tertutup dengan menggunakan instrumen kuesioner.

Nawawi (2001:111) menjelaskan bahwa wawancara adalah usaha


mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan,
untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung
dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi
(interviewer/information hunter) dengan sumber informasi (interviewee). Secara
sederhana wawancara diartikan sebagai alat pengumpul data dengan
mempergunakan tanya jawab antara pencari informasi dan sumber informasi. Materi
wawancara adalah tema yang ditanyakan kepada informan, berkisar antara masalah
dan tujuan penelitian.

3.3.2. Dokumentasi
Bungin (2010:121) mengatakan bahwa metode dokumenter adalah salah satu
metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada
intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Sekalipun demikian, sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam
bahan yang berbentuk dokumentasi.

Bahan dokumen secara eksplisit berbeda dengan literatur, tetapi kemudian


perbedaan diantaranya hanya dapat dibedakan secara gradual. Literatur adalah
bahan-bahan yang diterbitkan, baik secara rutin maupun berkala. Sedangkan
dokumenter adalah informasi yang disimpan dan didokumentasikan sebagai bahan
dokumenter. Dokumenter terdiri dari beberapa macam yaitu : (1) otobiografi; (2)
surat-surat pribadi, buku-buku atau catatan harian, memorial; (3) kliping; (4)
dokumen pemerintah maupun swasta; (5) cerita roman dan cerita rakyat; (6) data di
server dan flashdisk; dan (7) data tersimpan di website, dan lain-lain (Bungin,
2010:122)

Huberman dan Matthew (1992:15-21) menegaskan bahwa dokumentasi yang


berupa tulisan ataupun film bagi peneliti dapat digunakan untuk diproses (melalui
pencatatan, pengetikan, atau alat tulis), tetapi kualitatif tetap menggunakan kata-
kata, yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 54


3.3.3. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti : telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Oleh karena itu, observasi
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Dengan kata lain,
observasi merupakan metode atau teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin,
2010:115)

Teknik observasi berguna untuk menjelaskan dan merinci gejala yang terjadi,
dimaksudkan sebagai pengumpulan data selektif sesuai dengan pandangan seorang
peneliti. Selain itu terdapat data yang tidak dapat ditanyakan kepada informan, ada
diantaranya yang membutuhkan pengamatan secara langsung peneliti. Beberapa item
yang perlu diobservasi yaitu lingkungan kerja informan secara langsung, penggunaan
media sosial dalam pekerjaan ataupun untuk mendukung kepentingan pribadi lainnya
seperti benda, peralatan, perlengkapan, termasuk letak dan penggunaannya, yang
terdapat di lokasi penelitian; para ASN lainnya, termasuk status, jenis kelamin, usia
dan sebagainya; kegiatan yang berlangsung, tindakan-tindakan, serta waktu
berlangsungnya peristiwa.

3.4. Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif yang sifatnya induktif
(kesimpulan khusus menjadi umum), yaitu usaha untuk memperoleh kesimpulan
berdasarkan pemikiran yang alamiah dari berbagai jawaban yang diperoleh atau dengan kata
lain mencoba mendalami dan meneropong gejala sosial-politik dengan mengintepretasikan
masalah yang terkandung di dalamnya.

Kesimpulan atas intepretasi jawaban yang akan diambil dari analisis deskriptif ini
bersifat tentatif/tidak tentu, selalu diulang-ulang karena sewaktu-waktu kesimpulan yang ada
saat ini dikemudian hari dapat berubah. Intinya kesimpulan yang akan dibuat dari hasil
analisis data kualitatif dimaksudkan agar kita dapat memahami persepsi ASN terhadap enam
aktivitas ujaran kebencian yang berkategori hukuman disiplin.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 55


Analisis kualitatif umumnya tidak digunakan sebagai alat mencari data dalam arti
frekuensi akan tetapi digunakan untuk menganalisis proses sosial yang berlangsung dan
makna dari fakta-fakta yang tampak dipermukaan itu. Dengan demikian, maka analisis
kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta, bukan sekadar untuk
menjelaskan fakta tersebut.

Matthew dan Huberman (1992:20-22) Ada beberapa teknik analisis data yang dapat
dilakukan yaitu reduksi data (penyaringan/pemilahaan data), display data (penyajian data),
verifikasi data (pengujian keabsahan/kebenaran data). Reduksi data merupakan proses
pemilihan, pemusatan pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
dengan melakukan pemotongan (rangkum) data sehingga hanya hal-hal yang pokok saja
yang diambil. Display data yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, melihat gambaran
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian dengan membuat matrik atau
tabel. Tahap verifikasi yakni mencari hubungan, persamaan, dari data yang diperoleh baik
pada saat sebelum, selama maupun setelah pengumpulan data sehingga dapat dicapai suatu
kesimpulan. Kesimpulan tersebut harus dapat disepakati oleh peneliti dan subyek penelitian.

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan- kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi

Bagan 3. Teknik Analisis Data

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 56


BAB IV KESIMPULAN

Persepsi merupakan proses mengolah pengetahuan yang sebelumnya kita miliki untuk
merespon stimuli dari lingkungan sekitar yang ditangkap oleh panca indera kemudian
memberikan arti atau makna terhadap stimuli tersebut. Proses pembentukan persepsi setiap
individu melalui beberapa tahapan: pertama dimulai dari menerima rangsangan dari stimuli oleh
panca indera, kemudian menafsirkan untuk kemudian memperoleh arti atau makna, selanjutnya
setelah menerima arti atau makna dilakukan pengecekan informasi tersebut benar atau tidak, dan
proses terakhir adalah melihat reaksi terhadap informasi yang diterima atau dipahami tersebut,
apakah seseorang akan menentukan sikapnya sampai pada akhirnya prilaku.

Proses pembentukan persepsi pada individu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Robbins
(2001: 89) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam membentuk persepsi seseorang
dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam obyeknya atau target yang
dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui persepsi pada individu yakni Aparatur Sipil Negara di BPS
Provinsi Sumatera Utaraterhadap stimuli berupa Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018
tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN. Penelitian ini
akan menghasilkan data terkait pemahaman ASN tentang rilis tersebut. Substansi pro dan kontra
yang tergambarkan dalam penelitian ini menjadi rekomendasi bagi BKN selaku instansi yang
berwenang mengatur hukuman disiplin tentang Aparatur Sipil Negara. Penelitian ilmiah terhadap
suatu fenomena (stimuli) yang dialami ASN dan menggambarkan persepsi ASN dan dampak dari
stimuli (rilis) tersebut akan memperkaya rekomendasi terhadap aturan hukuman disiplin tentang
aktivitas atau perbuatan yang belum diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun
2010 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 57


DAFTAR PUSTAKA

Anam, M. Choirul & Hafiz, Muhammad. (2015). “Surat Edaran Kapolri Tentang Penanganan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia”, Jurnal Keamanan
Nasional, Vol. 1, No. 3, hal. 341-364.
Allcott, H., Gentzkow, M. (2017). Social Media and FakeNews in the 2016 Election. Report
research. Diakses dari situs: https://web.stanford.edu/~gentzkow/research/fakenews.pdf,
tanggal 23 April 2017.
Andreas M Kaplan, & Michael Haenlein. (2010). Users of the World, Unite! The Challenges and
Opportunities of Social Media. Business Horizons, 53, hlm 59-68Boese, A. (2002).The
Museum of Hoaxes. Hardcover–November 11, 2002.
APJII. 2017. Laporan Survey APJII 2017,
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_2017_v1.3.pdf,
diakses agustus 2018
Arif Mahroza (2018) tentang Persepsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman
Pada Vlog Presiden Joko Widodo.eJournal Ilmu Komunikasi, 2018 : 6 (3): 464-478
Arifin, Hadi Suprapto. Fuadu, Ikhasan. Kuswarno (2018) tentang Analisis Faktor Yang
Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa Untirta Terhadap Keberadaan Perda Syariah di Kota
Semarang. Jurnal Penelitin Komunikasi dan Opini Publik Vol. 21 No. 1
Arend, Patrice S. (1997). Defamation In AnAge Of Political Correctness: Should A False Public
Statement That A Person Is Gay Be Defamatory?, 18 N. Ill. U. L.Rev. 99, Northern Illinois
University Law Review Fall 1997, Copyright 1997 Board Of Regents For Northern Illinois
University.
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. 1983. Introduction To Psychology. San Diego :
Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Boyd, D. 2009. Sosial Media is here to say…now what?Redmond. Washington: Microsoft
Tech Fest. Retrieved from www. Danah. Org/paper/talks.MSTechFest2009.html. tanggal
23 September 2017.
Bungin, Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.
Bungin, B. 2017. Politik Hiperreality dan Communicatioan Jammed. dalam buku Turn
BackHoax Tantangan Literasi Media Digital. Surabaya: Buku Litera dan Aspikom Korwil
Jawa Timur.
Girenda Kumala Cahyaningtyas (2017) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Keterbukaan
Informasi Publik Di Kota Semarang, Studi Kasus: Masyarakat Pengguna Pusat Informasi
Publik (Pip) Tahun 2017. Journal of Politic and Government Studies, Volumen Vol 6, No 04
Harjeni (2016) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Pak Ogah.Jurnal Equilibrium
Pendidikan Sosiologi Volume III No. 2
Huberman, Michael dan Matthew, Miles. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 58


Johana, Devi Eka, dkk (2017) tentang Persepsi Sosial Pria Transgender Terhadap Pekerja Seks
Komersial.Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, hlm 16-21
Kasim M.M, dkk (2017) tentang Persepsi Pegawai Negeri Sipil Terhadap Penerapan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Aparatur Sipil
Negara Di Kantor Kelurahan Temindung Permai Kecamatan Sungai Pinang Kota
Samarinda).
Linda Lambey, dkk (2017) tentang Analisis Persepsi dan Ekspektasi Mahasiswa atas Kualitas
Dosen Pembimbing Tesis di program Magister Akuntansi FEB Universitas Sam Ratulangi
Manado. Jurnal Riset Akuntansi dan Auditing “Good Will”, Vol. 8 No. 2
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Nawawi , Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor:21 Tahun 2010 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil
R. Soesilo.1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ratu Matahari (2012) tentang Studi Kualitatif Mengenai Persepsi Dan Perilaku Seksual Wanita
Pekerja Seks Komersial (Psk) Dalam Upaya Pencegahan Ims Di Kota Semarang Tahun
2012. Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 3, Desember 2012 : 113 – 123
Rilis BKN Nomor: 006/RILIS/BKN/V/2018 tentang Enam Aktivitas Ujaran Kebencian
Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN.
Ryzki Fajar (2015). Persepsi Anak Terhadap Orangtua Yang Bekerja Penuh Waktu Di Luar
Rumah: Studi Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologis.Jurnal Empati, Volume 4(4),
197-201

Sanyoto, Yahnu Wiguno. 2006. Pemahaman Aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung


Terhadap Prinsip-Prinsip Good Governance. Bandarlampung: Unila Press.
Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature : Panduan Praktis
Jumalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sutjipto (2018) tentang Pandangan Guru Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Khusus.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 3, Nomor 1
Undang-Undang Kitab Hukum Pidana No. 1 Tahun 1946
Undang Undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 59


Ulfa, Anita, dkk. (2018). Persepsi Masyarakat Surabaya Tentang Iklan“Manfaat Pajak” Di
Televisi, Jurnal Untag
Zerlina, Theresa, dkk. (2017). “Persepsi Pegawai Negeri Sipil Dan Calon Pegawai Negeri Sipil
Terhadap Kewajiban Penggunaan E-Filing”, e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan
Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1, Volume: 8 No: 2

Internet :
“Hoaks Belum Mereda”, Republika, 8 Maret 2018, hal. 1.
“Politik Uang Redup, Hoaks Subur”, Media Indonesia, 10 Maret 2018, hal. 5.
“Cambridge Dictionary”, http://dictionary. cambridge.org/dictionary/english/ hoax#translations,
diakses 14 Desember 2018.
Hoaxes.org. 2018. What is hoax, http://hoaxes.org/Hoaxipedia/What_is_a_hoax, diakses 4
Desember 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 25 Desember 2018 pukul 11.37 WIB.
Oxford Dictionari. 2017. Hoax. Diakses darisitus
:https://en.oxforddictionaries.com/definition/hoax, diakses 4 Desember 2018.
UUD 1945 Perubahan,
https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf,
diakses 4 Desember 2018
http://www.merriamwebster.com, diakses 3 Desember 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Media_baru, diakses 4 Desember 2018.
Goldfine, E. (2011). Best Practice: The Use of SocialMedia Throughout Emergency dan
Disaster Relief. Diakses dari http://www.unapcict.org/ecohub/best-practices-the-use-of-
social-media-throughout-emergency-disaster-relief-1 tanggal 20 Mei 2017

Tugas Mata Kuliah Kajian Mandiri | 60

Anda mungkin juga menyukai