Anda di halaman 1dari 9

MATERI KONSELING

LINTAS BUDAYA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2
No Nama Kelompok Ttd
1. Faturrahman
2. Nafadilla Aulia Haqi
3. Syfa Tara Anggesta
4. Lisa Maryani
BUDAYA DAN PERILAKU SOSIAL
Materi

1. Diri Dalam Konteks Sosial


Perbandingan antara individu-individu yang memiliki nilai-nilai independen
(yang sangat menghargai kebebasan, penentuan diri sendiri) dengan mereka yang
memiliki nilai-nilai interdependensi (saling ketergantungan).

Markus dan kitayama mengemukakan bahwa mewujudkan diri sendiri dalam


cara-cara yang berbeda ini memiliki kosenkuensi bagi prestasi diri dalam konteks
sosia dan kognisi social.
Pemantauan diri (self monitoring) merupakan proses dimana individu
mengadakan pemantauan terhadap pengelolaan kesan yang dilakukannya pada saat
berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, self monitoring adalah
penyesuaian perilaku seseorang terhadap norma-norma situasional atau harapan
orang-orang lain (Worchel, dkk., 2000).
Berdasarkan hal tersebut setiap individu-individu memiliki pemantauan diri
sendiri yang berbeda-beda. Pemantauan diri tinggi (high self monitoring) akan
memberikan suatu kesan yang mereka berikan pada orang lain dan pemantauan diri
rendah (low self monitoring) akan memberikan lebih banyak perhatian pada
perasaan-perasaan yang dialami dirinya sendiri. Dengan begitu, individu yang
memiliki self monitoring yang tinggi, perilakunya lebih pantas /layak sesuai
dengan sikap, pikiran dan perasaan yang sebenarnya.

2. Perbedaan Budaya Dalam Perilaku Antar Kelompok


Cara para ilmuan social dalam memahami hubungan dengan orang-orang lain
adalah melalui klasifikasi in-group dan out-group. Sehingga klasifikasi hubungan
in-group dan out-group untuk mempermudah seorang dalam memahami tingkah
laku seseorang terhadap orang lain. Dalam hal ini terdapat perbedaan budaya dalam
perilaku antar kelompok yaitu :
a. Perbedaan budaya dalam hubungan in-group dan out-group.
Perbedaan budaya dalam memahami konsep in-group dan out-group dapat
dipengaruhi oleh aturan-aturan dan standar-standar social dan budaya. Triadis
(1998) menemukan perbedaan hubungan diri in-group dan diri dengan out-group
dengan menggunakan media dimensi yang dikenal dengan individualism dan
kolektivisme untuk memahami perbedaan budaya dalam perilaku.
Karakteristik perbedaan antara budaya individualis dan kolektif dalam
keanggotaan in-group ini memiliki konsekuensi pada komitmen yang dimiliki
orang terhadap kelompok-kelompok berbeda, sedangkan budaya korektif dalam
keanggotaan out-group ini memiliki komitmen yang lebih besar terhadap
kelompok/group sehingga mereka menjadi menyatu dengan konsep diri dan
identitas diri.
b. Perbedaan budaya dalam ekspresi emosi yang dikaitkan dengan hubungan in
group dan out group
Hubungan diri dengan in group pada tipe kebudayaan individualistis
diperbolehkan mengepresikan perasaan negative dan kurang penting
menunjukkan perasaan negative. Sedangkan tipe kebudayaan kolektivistis
menekankan ekspresi perasaan negative dan lebih di dorong untuk menunjukkan
perasaan positif.
Hubungan diri dengan out group pada tipe kebudayaan individualistis
menekankan perasaan negative dan diperbolehkan mengepresikan perasaan
positif sebagaimana yang ditunjukkan pada in group. Sedangkan tipe
kebudayaan kolektivistis didorong untuk mengepresikan perasaan negative,
menekankan untuk menunjukkan perasaan positif demi untuk mempertahankan
harmoni in group.

3. Persepsi Sosial (Mempersepsikan Orang Lain)


Dalam persepsi social dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Perbedaan gaya atribusi secara lintas budaya
Atribusi adalah penarikan kesimpulan yang dilakukan individu tentang
penyebab kejadian-kejadian dan perilaku-perilaku orang lain. atribusi
merupakan bagian terpenting, karena itu suatu cara-cara seseorang untuk dapat
memahami orang lain atau diri sendiri dilihat dari perilaku dan kejadian-kejadian
yang dialami orang lain atau dirinya sendiri.
Dalam gaya atribusi terdapat beberapa kekeliruan (bias) dalam
memperseprikan perilaku orang lain yaitu:
 Fundamental attribution error, yaitu kekeliruan karena adanya
kecenderungan untuk menjelaskan perilaku orang lain dengan menggunakan
atribusi internal, tetapi menjelaskan perilaku sendiri menggunakan atribusi
eksternal.
 Self- serving bias, yaitu kecenderungan mengantribusikan keseuksesan diri
sendiri pada factor internal (misalnya kemampuan atau usaha) dan kegagalan
pada factor-faktor situasional (mengajar yang buruk atau ada gangguan teman
atau urusan rumah).
 Deferensive attribution, yaitu kecenderungan untuk menyalahkan korban
karena tidak keberuntungannya (misalnya derampo atau diperkosa) daripada
lingkungan sekitar.
Dalam hal ini para ilmuan banyak menggunakan Self- serving bias untuk
melihat suatu gejala dengan membandingkan antara kebudayaan yang cenderung
korektif dengan individualistik.
Hasil studi yang dilakukan oleh para ilmuan bahwa reaksi terhadap
peristiwa-peristiwa kehidupan oleh orang-orang dengan latar belakang budaya
korektif lebih mungkin untuk belajar mengelola diri dengan tak menonjolkan
diri (self-effacement) dan mengeritik diri sendiri (self-criticism). Sehingga
budaya korektif lebih menonjol dari pada budaya individualistic untuk
mengatribusikan kegagalan pada factor internal (kurang abilitas) dan cenderung
berfikiran negative tentang diri sendiri lebih valid dari pada berfikir positif.
Sedangkan orang dengan latarbelakang individualistic di motivasi untuk
meningkatkan diri (self-enhancement, sehingga enderung mengambil tanggung
jawab pada pengalaman-pengalaman pribadi positif daripada negative.
Ada beberapa ilmuan yang berpendapat bahwa atribusi tidak hanya
dipengaruhi oleh budaya saja tetapi dari factor-faktor social, ras dan gender.
Dalam pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa orang-orang dari budaya
yang berbeda memiliki gaya atribusi dan bias-bias yang berbeda juga. Adanya
interaksi antar budaya juga bisa menjadi factor kesuksesan dan kegagalan
seseorang.
b. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain (Sosial Comparison)
Perbandingan antara sikap dan perilaku tergantung pada nilai-nilai
independen atau interpenden. Pada kelompok budaya individualis perbandingan
sosial dapat memberikan suatu tanggapan akan kualitas dan kemampuannya,
dengan begitu memperkuat atau memperlemah perasaan tentang diri. Sedangkan
dalam kelompok budaya korektif perbandingan social dapat menimbulakan
perbedaan makna tergantung pada sasaran dengan siapa perbandingan-
perbandingan itu dibuat.
Dalam hal ini, budaya individualis lebih menekankan nilai positif pada asertif
dan kepercayaan diri.

4. Daya Tarik Interpersonal


a. Telaah lintas budaya tentang daya tarik interpersonal: Cinta dan keintiman
Menurut para peneliti lintas budaya merupakan konsep ketertarikan, cinta,
dan keintiman berbeda pada tiap-tiap budaya. Menurut Ting-Tommy (1991)
membandingnya ranting commitment love, pemeliharaan mengungkapkan diri
(disclosure maintenance), ambivalensi, dan ekspresi konflik. Commitmet love
diukur melalui ranting tentang perasaan kelekatan, perasaan memiliki dan
komitmen terhadap pasangannya; disclosure maintenance melalui ranting
perasaan yang terpusat pada diri pribadi dalam hubungan; Ambivalensi melalui
ranting tentang kebingungan atau keyidakpastian pasangan atau hubungannya;
ekspresi konflik melalui ranting tentang frekuensi argument-argumen terbuka
dan keseriusan problem.
b. Perkawinan antar budaya dan antar ras
Adanya perbedaan dalam sikap yang mengarah pada cinta, daya tari
interpersonal dan perkawinan maka tak mengherankan jika perkawinan antar
budaya atau antar ras membawa pada masalah-masalah dan isu-isu yang
spesifik.
Menurut para peneliti konflik antar budaya timbul dalam beberapa area,
mencangkup ekspresi cinta dan keintiman, corak komitmen, dan sikap yang
mengarah pada perkawinan itu sendiri dan pola pengasuhan anak ketika
pasangan memiliki anak.
Perbedaan budaya yang menjadi salah satu penyebab timbulnya
permasalahan dalam budaya. Seperti dalam pengasuhan anak. Sehingga banyak
orang tua yang sering bertengkar akibat memiliki budaya yang berbeda0beda
dalam pengasuhan anak.
Menurut Fontaine permasalahan tersebut dapat diatasi dengan adanya
suatu komitmen terhadap suatu hubungan yaitu: seseorang harus menyadari
warisan budaya pasangannya; mereka harus saling menghargai legitimasi
warisan budaya dalam berhubungan satu dengan lainnya. Sehingga seorang
yang telah mencapai komponen diatas berarti orang tersebut dapat
mengembangkan kesadaran atau metakultural.

5. Resolusi Konflik
Lind, dkk. (1978) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa cara-cara
adversarial dalam menyelesaikan konflik secara legal lebih disukai pada negara-
negara individualis seperti Perancis, Jerman, Inggris dan Amerika. Leung dan lind
(1986) menemukan bahwa orang cina lebih memilih tipe inquisitorial. Sebab cara
ini lebih mungkin dapat mengurangi kebencian dan dendam dengan pihak lain.
bahkan mereka juga lebih menyukai prosedur yang lebih informal misalnya
melalui penengahan dan beragaining.
Menurut Ting-Toomey dan Lin (1991) membandingka pilihan gata menangani
konflik antara mahasiswa Amerika sangat individualis dan Taiwan sangat
korektif. Mahasiswa Taiwan memilih menggunakan gaya peneganan konflik yang
diidentifikaikan sebagai memenuhi kewajiban (obliging), menghindar (avoiding),
intergrating dan kompromi. Sedangkan Amerika memilih gaya dominating yang
bergantung pada kepribadian masing-masing individu.
6. Pengaruh Budaya Pada Komunikasi
Komunikasi adalah proses menyampaikan pesan atau makna dari pengirim
kepada penerima. Setiap orang menggunakan beberapa saran datau alat untuk
mengungkapkan atau mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan keinginannya
kepada orang lain. Sarana itu dapat membentuk perilaku verbal dan nonverbal.
Setiap budaya akan memilki aturan-aturan bagaimana cara seseorang untuk
melakukan komunikasi tersebut baik melalui verbal maupun nonverbal.

7. Pengaruh Budaya Pada Gender


Gender merupakan hasil kontruksi yang berkembang selama masa kanak-kanak
sabaimana mereka disosialisasikan dalam lingkungannya. Ada perbedaan
reproduksi dan biologis mengarah pada pembagian kerja yang berbeda antara pria
dan wanita dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan inilah yang mengakibatkan
perbedaan ciri-ciri sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara pria dan
wanita yang menimbulkan suatu budaya.
Budaya mempengaruhi suatu gender seperti ada suatu budaya yang mendukung
kesamaan antara pria dan wanita tetapi budaya lain tidak mendukung itu sama.
a. Perbedaan gender budaya dalam peran gender dan stereotype
Menurut William dan best (1990) bahwa perbedaan gender dalam konsep
diri (self-concept). Hasilnya bahwa pria menunjukkan ranting diri (self) dan
ideal-self yang lebih maskulin daripada wanita dan wanita lenih feminism
daripada pria. Sehingga pria maupun wanita menilai ideal-self (gambaran diri
yang diharapkan) adalah yang lebih maskulin daripada diri mereka sendiri
(real-self). Akibatnya mereka lebih banyak memiliki cirri-ciri sifat (trait)
secara tradisional yang dikaitkan dengan pria. Konsep diri pria (male-self-
concept) cenderung dinilai lebih kuat daripada konsep diri wanita (female-self-
concept),
b. Perbedaan gender dalam karakteristik-karakteristik psikologis yang lain secara
lintas budaya.

Anda mungkin juga menyukai