Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

Anak dengan Demam Tifoid

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :
dr. Anik Dwiani, Sp.A

Disusun oleh :
Hanif Habibur Rohman

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Anak dengan Demam Tifoid

Disusun oleh :
Hanif Habibur Rohman
20120310059

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada Tanggal 21 Juli 2017

Pembimbing

dr. Anik Dwiani, Sp.A


BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid atau typhoid adalah penyakit infeksi yang sering dicemaskan bila saat

seseoraang menderita panas. Memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi demam tetapi

tidak semua demam harus didiagnosis demam tifoid, justru pneyebab paling sering demam

adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis typoid relatif tidak mudah karena pada awalnya

manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi

pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering mengalami

bias untuk mengenali typoid.

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica

serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat

menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk

ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah

demam tifoid. Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir

untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air

tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah

terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.

Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau

permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara

oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di

Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun.

Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya

anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci
tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air

besar dalam rumah.

Insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan

sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar

negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta

kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2010. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus

per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan

kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per

tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia

Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian

dunia lainnya
BAB II

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. L

Umur : 4 Tahun 4 bulan

Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir : 20 Februari 2013

Alamat : Manding, Dawang RT 3

Masuk RS tanggal : 29 Maret 2017.

Diagnosa masuk : Demam (Febris) Hari-7 Suspek Demam Tifoid

Anamnesis

A. Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluhan utama : Demam

Anak datang bersama orang tua ke RSUD dengan kesadaran lemas, keluhan demam

sejak hari senin siang (hari ke 7) SMRS. Demam dirasakan naik turun dan dirasakan

sore demam naik. Selain demam, anak mengeluh sariawan (+),nyeri kepala (+) , nyeri

perut (-) dan nafsu makan menurun sejak 4 hari terakhir . Mual (-), Muntah (-) , batuk

dan pilek (-) , nyeri telan (-) ataupun riwayat kejang disangkal.. BAB terakhir sedikit

cair 1x tanpa lendir dan darah, BAK tidak ada keluhan dan nyeri (-). Pasien

mengatakan setiap demam tinggi diberikan paracetamol terakhir kemarin malam

pukul 22.00

B. Riwayat penyakit pada keluarga yang diturunkan :

- Riwayat kejang atau epilepsi (-)


- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat diabetes mellitus (-)

- Riwayat penyakit asma (-)

- Riwayat penyakit alergi obat (-)

1) Riwayat Imunisasi

Ibu mengatakan bahwa anak melakukan imunisasi sesuai dengan jadwal

2) Riwayat Penyakit dahulu

Riwayat kejang (-), riwayat typoid (-), riwayat demam berdarah (-), riwayat

infeksi saluran kemih (-), riwayat infeksi saluran pernafasan (-)

C. Riwayat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan

1) Ekonomi

Anak berasal dari kedua orang tua yang berkecukupan secara ekonomi . Bapak

bekerja sebagai pegawai swasta dan ibu sebagai ibu rumah tangga.

2) Sosial dan Lingkungan

Anak tinggal bersama orang tuanya dan anak saat ini duduk di TK dan dari

pengakuan ibunya sering jajan sembarangan jika disekolahnya maupun saat di

rumahnya.

D. Anamnesis Sistem

1) Sistem Saraf Pusat

Penurunan kesadaran (-), demam (+), menggigil (-), kejang (-)

2) Sistem Kardiovaskuler

Sesak (-), pucat (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-)

3) Sistem Respirasi
Batuk (-),pilek (-), sesak nafas (-), suara lendir (-), krepitasi (-), ronki (-), wheezing (-)

4) Sistem Urinaria

BAK (+) normal dengan warna urin jernih kekuningan tanpa rasa nyeri.

5) Sistem Gastrointestinal

Frekuensi BAB normal, terakhir BAB cair 1x

6) Sistem Integumental

Turgor dan elastisitas dalam batas normal, kelainan kulit (-), ruam (-)

7) Sistem Musculoskeletal

Gerakan bebas aktif, nyeri otot (-)

E. Pemeriksaan Fisik

Kesan umum : Anak tampak sakit , lemas

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital

Suhu : 38oC (per aksilar)

Nadi : 104 x/menit. nadi teraba kuat, reguler

RR : 21 x/menit

TD : 100/70 mmHg

Status Gizi

Berat Badan : 15,5 kg

Tinggi Badan : 102 cm

Umur : 4 tahun 4 bulan

- BMI : BB/(TB)2= 15,5/(1,02)2= 14.90

- TB/U  Normal
- BB/U  Gizi Baik

- IMT/U  Gizi Baik

(sesuai kurva growthchart untuk laki-laki 2-20 tahun CDC)

A. Kepala

Bentuk : Mesocephal

Ukuran : Normochepal

Rambut : Warna tampak hitam, tidak rontok, distribusi merata.

Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga : Serumen (-/-), cairan ditelinga (-)

Hidung : Lendir (-/-) , napas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-)

Mulut : Pucat (-), bibir pecah-pecah (-), lidah tifoid (tepi hiperemis, tengah

putih) (+), sariawan (+) , nafas berbau (+), gusi berdarah (-)

Faring : Hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)

B. Leher

Pembesaran limfonodi (-), kaku (-)

C. Thoraks

Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-), ketinggalan gerak (-)

Palpasi : Vokal fremitus (+/+)

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi

Paru-paru : Vesikuler (+/+) Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-) Krepitasi (-/-)

Jantung : S1 S2 Reguler (+)

D. Abdomen

Inspeksi : Datar / buncit (-)

Auskultasi : Peristaltik Usus (+)


Perkusi : Timpani (+)

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-),splenomegali(-)

E. Genitalia

Tidak ditemukan tanda-tanda peradangan pada bagian genitalia.

F. Ekstremitas

Akral hangat, capilary reffil time< 2 detik,

G. Kulit

Turgor kulit baik, lembab, dan tidak berwarna pucat, ruam (-)

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksan darah lengkap dan urinalisa 29 Mei 2017

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.9 9.5 - 14.0 g/dl
Lekosit 12.16 10.00 - 26.00 10^3/uL
Eritrosit 4.70 4.00 - 5.00 10^6/uL
Trombosit 257 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 36.8 42.0 - 52.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 36 40-60 %
Limfosit 50 45-65 %
Monosit 6 2-8 %
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 92 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
URINALISA
Warna Kuning Kuning
Kekekruhan Jernih Jernih
Reduksi Negatip Negatip
Bilirubin Negatip Negatip
Keton Urin Negatip Negatip
BJ 1.015 1.015-1.025
Darah Samar Negatip Negatip
PH 7.00 5.00-8.50
Protein Negatip Negatip
Urobilinogen 0.20 0.20-1.00 EU/dl
Nitrit Negatip Negatip
Lekosit Esterase Negatip Negatip
SEDIMEN URIN
Eritrosit 0-2 0-2 /LPK
Lekosit 0-2 0-3 LPK
Sel Epitel Positip Positip /LPK
Kristal
Ca Oksalat Negatip Negatip /LPK
Asam Urat Negatip Negatip /LPK
Amorf Positip Negatip /LPK
Silinder
Eritrosit Negatip Negatip /LPK
Leukosit Negatip Negatip /LPK
Granular Negatip Negatip /LPK
Bakteri Negatip Negatip /LPK

G. Diagnosis Kerja

Demam (Febris) H-7 Suspek Demam Tifoid


H. Penatalaksanaan

- Infus KN3B 8 tpm makro

- Cefixim 2x50 mg

- Parasetamol Syr 3 X 1 ¼ cth KP

- Candesartan 4x1cc drop

- Tirah baring

- Diet rendah serat

I. Follow up Bangsal

29/05/17 S : Anak datang bersama orang tua ke - Infus KN3B 8


RSUD dengan kesadaran lemas, keluhan tpm makro
21.00
demam sejak hari senin siang (hari ke 7) - Cefixim 2x50
SMRS. Demam dirasakan naik turun dan mg
dirasakan sore demam naik, kadang- - Parasetamol
kadang malam. Selain demam, anak Syr 3 X 1 ¼
mengeluh sariawan (+), sedikit nyeri cth KP
kepala dan nafsu makan menurun. Mual - Candesartan
(-), Muntah (-) , batuk, pilek (-) , nyeri 4x1cc drop
telan (-) ataupun riwayat kejang - Tirah baring
disangkal.. BAB terakhir sedikit cair 1x - Diet rendah
tanpa lendir dan darah, BAK tidak ada serat
keluhan dan nyeri (-)
O : KU : Sedang
S= 37,4oC R= 22 x/mnt,
N= 94 x/mnt ,TD= 100/80 mmHg
- Kulit
Turgor kulit baik, lembab, warna kulit
tidak pucat, ruam (-)
- Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-) sclera
ikterik (-)
Hidung : Lendir hidung (-), epistaksis
(-)
Mulut : Bibir pecah-pecah (-), tonsil
hiperemis (-) faring hiperemis (-),
lidah tifoid (tepi hiperemis, tengah
putih) (+), nafas berbau(+), gusi
berdarah (-), sariawan (+)
Telinga : Serumen (-), cairan (-)
- Leher : Pembesaran Limfonodi (-).
- Thoraks :
Simetris (+), deformitas (-), retraksi
dinding dada (-)
Suara Paru : Vesikuler +/+ Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Suara Jantung : S1 S2 reguler (+)
- Abdomen :
Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-),
hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Ekstremitas
Akral Hangat, CRT<2detik
A: Demam tifoid
30/05/2017 S : Demam (-),mual (-), muntah (-). Nyeri - Infus KN3B 8
08.00 perut (-), pusing (-), lemas (-), BAB 1x tpm makro
cair dan BAK tidak ada keluhan. Nafsu - Cefixim 2x50
makan masih sedikit mg
- Parasetamol
O : KU: Sedang
Syr 3 X 1 ¼
S= 36,7 oC TD= 100/70 mmHg
cth KP
R= 24 x/mnt, N= 84 x/mnt
- Candesartan
- Kulit 4x1cc drop
- Tirah baring
Turgor kulit baik, lembab, warna kulit
- Diet rendah
tidak pucat, ruam (-)
serat
- Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-) sclera
ikterik (-)
Hidung : Lendir hidung (-), epistaksis
(-)
Mulut : Bibir pecah-pecah (-), tonsil
hiperemis (-) faring hiperemis (-),
lidah tifoid (tepi hiperemis, tengah
putih) (+), nafas berbau(+), gusi
berdarah (-), sariawan berkurang.
Telinga : Serumen (-), cairan (-)
- Leher : Pembesaran Limfonodi (-).
- Thoraks :
Simetris (+), deformitas (-), retraksi
dinding dada (-)
Suara Paru : Vesikuler +/+ Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Suara Jantung : S1 S2 reguler (+)
- Abdomen :
Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
,hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Ekstremitas
Akral Hangat, CRT<2detik
A : Demam tifoid
31./05/2017 S : Demam (-),mual (-), muntah (-). Nyeri BLPL
08.00 perut (-), pusing (-), lemas (-), BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Nafsu makan
masih sudah baik
O : KU: Sedang
S= 36,5 oC TD= 100/70 mmHg
R= 21x/mnt, N= 84 x/mnt
- Kulit
Turgor kulit baik, lembab, warna kulit
tidak pucat, ruam (-)
- Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-) sclera
ikterik (-)
Hidung : Lendir hidung (-), epistaksis
(-)
Mulut : Bibir pecah-pecah (-), tonsil
hiperemis (-) faring hiperemis (-),
lidah tifoid (tepi hiperemis, tengah
putih) (+), nafas berbau(+), gusi
berdarah (-), sariawan berkurang.
Telinga : Serumen (-), cairan (-)
- Leher : Pembesaran Limfonodi (-).
- Thoraks :
Simetris (+), deformitas (-), retraksi
dinding dada (-)
Suara Paru : Vesikuler +/+ Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Suara Jantung : S1 S2 reguler (+)
- Abdomen :
Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
,hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Ekstremitas
Akral Hangat, CRT<2detik
A : Demam tifoid
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh

Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan

bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri,

sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe

usus dan peyer’s patch. Penyakit infeksi akut ini terdapat pada saluran pencernaan

dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan

gangguan kesadaran.

B. EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara

berkembang. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan

oleh infeksi sistemik Salmonela thypii. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000

per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia. Usia penderita yang

terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91%

kasus, meningkat setelah umur lebih dari 5 tahun.

C. ETIOLOGI

Sebanyak 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sedangkan

sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Salmonella adalah bakteri gram negatif,

berflagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai


antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri

dari protein, dan envelope antigen (Vi) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai

makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel

yang dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R

yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Dalam serum penderita

terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

D. PATOFISIOLOGI

Demam typoid meningkat pada musim penghujan, dan sering terjadi di negara

berkembang. Proses pencernaan makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh feses

manusia awal dari penyebaran penyakit ini. Penyakit ini juga sering ditularkan melalui

air yang terkontaminasi dan juga secara fekal-oral.

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,

yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-

organ ekstra intestinal sistem retiukuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di aliran

darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta

usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.

Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada

sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya

di ileum dan jejenum. Sel-sel M, sel-sel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan

tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus,

mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang sampai di RES pada
organ hati dan limpa melalui sirkulasi sistemik. Salmonella typhi mengalami multiplikasi

di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati

dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya

ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu, maka

Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus toraksikus masuk ke

dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dpat mencapai organ manapun, akan

tetapi tempat yang disukai Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung

empedu, dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Periode inkubasi berkisar 10-14 hari.
E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang dicurigai demam tifoid sebagai diagnosanya antara lain

didapatkan onset demam yang lama, Semua pasien demam tifoid selalu menderita

demam pada awal penyakit. Demam pada tifoid mempunyai ciri khas yakni step ladder

temperature chart yang ditandai dengan demam terutama dimalam hari yang timbul

insidious, kemudian naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir

minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi dan pada minggu ke empat

demam turun perlahan kemudian lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti

kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan tetap menetap. Pada saat demam

sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti

kesadaran berkabut, delirium, obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai

koma. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu

apatis sampai somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,

noreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi, anak akan tampak toksik/sakit

berat. Gejala gastrointestinal pada demam tifoid sangat bervariasi. Pada sebagian lidah

tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Pasien dapat

mengeluh obstipasi, obstipasi kemudian disusul episode diare, akan tetapi mungkin pula

normal. Banyak dijumpai juga gejala meteorismus. Hepatomegali lebih sering

ditemukan dibanding splenomegali pada anak-anak di Indonesia.Pembesaran ini juga

diikuti nyeri pada perabaan. Bronchitis dapat dijumpai. Bradikardia relatif jarang

dijumpai pada anak. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola atau

rose spot, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit, namun

hal ini jarang terjadi pada anak di Indonesia yang umumnya mempunyai kulit tidak

putih. Jika tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan pada

minggu ke 2 – 4.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam gangguan

gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka klinisi

dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Gejala dan tanda infeksi secara

umum muncul dalam minggu pertama. Keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi

akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun,

nyeri perut, diare atau sulit buang air beberapa hari. Gejala klinis bervariasi dari yang

ringan sampai berat dengan komplikasi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh

meningkat dan menetap. Penurunan kesadaran dapat terjadi. Ikterik dapat terjadi bila

terjadi peningkatan enzim hati. Lidah tifoid dapat ditemukan pada sebagian besar

penderita. Hepatomegali dan splenomegali dapat ditemukan. Pada pemeriksaan

laboratorium dapat ditemukan anemia karena adanya depresi sumsum tulang, defisiensi
Fe, ataupun perdarahan usus. Jumlah lekosit yang menurun yakni lekopeni

polimorfonuklear. Penyebab leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini

akibat replikasi kuman didalam peyer patches yang merupakan makrofag jaingan usus

sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear lekosit granul seperti netrofil

batang atau segmen. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat

meningkat mencapai 20.000-25.000 mikroliter kubik, dan juga pada anak biasanya

cenderung akan ditemukan angka leukosit yang tinggi. Penyebab lainnya bias karena

primer dan sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid itu sendiri, sedangkan

sekunder bila terdaoat infeksi tumpangan. Makrofag jaringan merupakan limfosit

sehingga tidak jarang terjadi limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh demam. Oleh

karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung

jenis bias jadi shift to the right. Trombositopeni sering dijumpai, kadang berlangsung

beberapa minggu pada demam tifoid berat. Pemeriksaan enzim hati serum dapat

meningkat dan bilirubin sering di atas normal (tetapi tidak terlalu tinggi) sehingga dapat

menunjukkan ikterus.

Pada pemeriksaan penunjang lainnya dapat digunakan pemeriksaan serologi

widal yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatic (O), dan flagella

(H).Apabila titer O aglutinin sekali periksa menunjukkan > 1/200 atau pada titer

sepasang menujukkan kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

Tes Widal spesifik untuk tifoid tapi tidak reliabel. Dua serial diperlukan biasanya

dalam 10-14 hari (kebanyakan pasien tidak mau menunggu lama untuk diagnosis atau

mereka kembali sudah membaik) dan titer antibodi naik 3-4 kali diantara serial untuk

diagnostik. Paparan sebelumnya atau vaksinasi dapat menghasilkan titer yang tinggi

tanpa infeksi aktif/akut.Kenaikan titer S.thypi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer

fase akut ke fase konvalesens menandakan uji widal positif.Titer O (body): 0


(negatif)1/80 → ringan (suspek),1/80 - 1/160 → + (sedang),1/160 - 1/320 → ++

(berat).Titer H (flagel) : tidak spesifik,jika H> 1/320 → suspek. Titer terhadap

antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah

mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Pembentukan antibody

mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal minggu kedua, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi

selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula akan timbul agglutinin O,

kemudian diikuti agglutinin H. Pada penderita yang sudah sembuh agglutinin O masih

tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan.

Uji widal ini pada saat ini sudah tidak digunakan lagi sebagai patokan diagnosis oleh

karena kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis

dan sebaliknya dapat timbul negatip palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti

biakan darah postif.

Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah. Pada dua

minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien

lebih besar daripada minggu berikutnya. Spesimen yang digunakan untuk

pemeriksaan kultur dapat berupa darah, sumsum tulang, tinja dan urin. Kultur darah

dan sumsum tulang dibutuhkan untuk diagnosa tifoid, kultur tinja dibutuhkan untuk

monitoring tifoid dan juga untuk diagnosa. Biakan yang dilakukan pada urin dan

feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari

aspirasi sum-sum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi. Hasil positif didapat pada

90% kasus. Isolasi S. Typhi dari sumsum tulang merupakan gold standard untuk

demam tipoid dan lebih sensitif daripada kultur darah. Terdapat sejumlah besar

bakteri yang ditemukan pada sumsum tulang, sepuluh kali lebih besar daripada darah,

dan terlindung dari antibiotik sistemik. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif
sehingga tidak digunakan dalam praktek sehari-hari. Biakan sumsum tulang ini masih

positif hingga minggu ke-4. Dengan ditemukannya jumlah bakteri pada hasil kultur

sebagai dasar untuk diagnosa. Sel darah dihancurkan oleh digitonin ( agen penghancur

yang dihasilkan oleh pertumbuhan bakteri), semakin banyak sel darah yang lisis

menunjukkan semakin banyaknya jumlah bakteri. Sensitivitas kultur darah tertinggi

terdapat pada minggu pertama hingga kedua sakit dan berkurang seiring perjalanan

penyakit. Namun, kultur darah membutuhkan waktu 2-5 hari sampai teridentifikasi

mikroorganisme. Kultur darah dapat mengidentifikasi 45-70% pasien dengan demam

tifoid, tergantung pada jumlah sampel, dan jumlah bakteri S.typhi, tipe media kultur

yang digunakan dan lamanya masa inkubasi. Faktor-faktor tersebut berperan dalam

keberhasilan isolasi mikroorganisme dalam darah, termasuk media laborat yang

memadai, aktivitas intrinsik bakteri dalam darah, volume darah yang diambil untuk

kultur, keberadaan antibiotik dan waktu pengambilan darah. Kultur tinja juga penting

untuk menunjang diagnosis, dan monitoring karier S. Typhi setelah penyembuhan

klinis, suatu faktor resiko untuk keluarganya. Kultur tinja, digunakan media yang

mengandung selenite dengan manitol. Median Selenite F merupakan gold standar

pada pemeriksaan kultur tinja digunakan untuk diagnosa tifoid akut. Daerah lain bisa

dikultur tetapi tidak merupakan spesimen diagnostik rutin, seperti kultur traktus

gastrointestinal atas tetapi kurang ditoleransi untuk anak kecil karena dapat terjadi

risiko aspirasi.

Pemeriksaan Penunjang lain yang dapat dilakukan adalah serologi IgM anti

Salmonella. IgM anti salmonella atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah

pemeriksaan diagnostic in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk

mendeteksi infeksi Tifoid akut.Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap

antigen Lipo Polisakarida bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas
mencapai > 95% dan > 91%. Bahan yang digunakan adalah serum diperoleh dari

darah utuh yang dipisahkan setelah mengalami proses pemusingan. Serum disimpan

pada suhu -20OC sampai dilakukan analisis. Darah utuh diambil sebanyak 3 ml

melalui venapuncture pada pasien yang dicurigai menderita demam tifoid.Prinsip

pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay

(IMBI).Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui

kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu

indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09

(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS

Salmonella typhi (reagen warna coklat). Sedimentasi partikel dengan kekuatan

magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya

inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM

Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan

warna akhir reaksi terhadap skala warna. Semakin merah warna yang terlihat dan

semakin negatif hasil yang didapat, sedangkan semakin biru warna yang muncul

menunjukan semakin positif hasilnya. Hasil negatif jika skor 0-2 dan positif jika skor

3-10. Terdapat 3 interpretasi hasil :

- Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

- Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

- Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat seperti reliable oleh karena

bersifat immunodominan yang kuat, bersifat thymus independent tipe 1,

imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imu nogenik) dan merupakan

mitogen yang sangat kuat terhadap sel B, dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa
bantuan limfosit T sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat,

lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui

aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain, dan angka spesifitas yang

tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di alam maupun

diantara mikroorganisme.

Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella dapat mendeteksi

infeksi akut Salmonella, muncul pada hari ke 3 demam, sensifitas dan spesifitas

yang tinggi terhadap kuman Salmonella, sampel darah yang diperlukan relatif

sedikit. Dari pemeriksaan- pemeriksaan penunjang tersebut, IDAI mengeluarkan

rekomendasi pada 2016 untuk diganostik demam tifoid sebagai berikut

REKOMENDASI IDAI No.: 018/Rek/PP IDAI/VII/2016 Pengurus Pusat Ikatan

Dokter Anak Indonesia yang disusun oleh : UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI.

Rekomendasi :

1. Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur

darah mempunyai sensitivitas terbaik (40–60%), bila dilakukan pada minggu

pertama—awal minggu kedua.

2. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam

tifoid, untuk pengobatan pasien segera, dapat digunakan pemeriksaan serologis

antibodi terhadap antibody Salmonella typhi.

3. Pemeriksaan Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan,

karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah foto toraks

apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.Foto abdomen dilakukan apabila

diduga terjadi komplikasi inraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan

saluran cerna. Pada perforasi usus akan tampak gambaran distribusi udara tak
merata, airfluid level, bayangan radiolusen didaerah hepar dan udara bebas pada

abdomen.

G. DIFERENTIAL DIAGNOSIS

Bila terdapat demam lebih dari 1 minggu sedangkan penyakit yang dapat menerangkan

penyebab tersebut belum jelas, perlulah dipertimbangkan pula selain demam tifoid,

yakni paratifoid A,B,C, influenza, malaria, tuberculosis, dengue, dan infeksi saluran

kemih.

H. TATALAKSANA

1. Antibotik

- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral, atau IV dibagi dalam

dosis selama 10-14 hari.

- Amoksisilin 100 mg/kg/bb hari, oral atau intravena, selama 10 hari

- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari

- Seftriaksosn 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuscular, sekali sehari, selama

5 hari

- Sefiksim 10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari

2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran

Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran

membaik

Antibiotik merupakan terapi kausatif pada demam tifoid. Sesuai Pedoman Pelayanan

Medis IDAI pada lini pertamanya adalah kloramfenikol dengan dosis 50-100

mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Selain timbulnya

resistensi, kloramfenikol juga dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, sehingga


penyedia terapi mempertimbangkan alternatif terapi lini pertama lainnya, antara lain

amoxicillin, dan kotrimoksazol. Pemilihan terapi lainnya bisa menggunakan

Sefalosporin generasi ketiga adalah golongan obat lain yang digunakan untuk

mengobati demam enterik. Sediaan intravena dari golongan obat ini sangat

bermanfaat untuk mengatasi sepsis akibat bakteri secara umum dan kerjanya

berspektrum luas. Golongan ini direkomendasikan sebagai terapi lini kedua untuk

mengatasi demam enterik jika tidak dapat diatasi dengan obat lain atau jika penyakit

tergolong berat. Dosis yang dianjurkan untuk seftriakson dan sefiksim untuk

mengatasi demam tanpa komplikasi adalah 80 mg/kgBB selama 10-14 hari dan 10

mg/kgBB/hr selama 7-14 hari berturut-turut. Seftriakson dianggap sebagai pengganti

siprofloksasin yang tingkat resistensinya telah sangat tinggi.

Pemberian dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatan

dispersingkat dan relaps tidak terjadi. Lama demam turun (time of fever

defervescence) merupakan salah satu parameter keberhasilan pengobatan. Demam

yang tetap tinggi menunjukkan kemungkinan komplikasi, fokus infeksi lain, resistensi

S. typhi, atau salah diagnosis.

Selain antibiotik, bila pada demam tifoid berat didapatkan kejadian penurunan

kesadaran dapat diberikan deksametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dbagi 3 dosis

hingga kesadaran membaik.

Tindakan bedah dilakukan bila komplikasi terjadi seperti perforasi usus.

Tindakan suportif pada kasus demam tifoid adalah dimana pada demam tifoid ringan

masih dapat dirawat dirumah. Pasien demam tifoid berada dalam keadaan tirah baring

dan isolasi memadai dengan desinfeksi pakaian dan ekskreta.Kebutuhan cairan dan

kalori harus tercukupi, dimana diet harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi
protein.Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat sehingga tidak

merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

Pada demam tifoid berat perlu dilakukan rawat inap dirumah sakit, dengan

pertimbangan asupan cairan dan kalori, diet, dan obat-obatan, dimana :

a) Cairan dan kalori

- Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori

diberikan melalui sonde lambung

- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan

dengan kadar natrium rendah

- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan

- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik

- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2

- Pelihara keadaan nutrisi

- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit

b) Antipiretik, diberikan apabila demam > 39°C, kecuali pada pasien dengan riwayat

kejang demam dapat diberikan lebih awal

c) Diet

- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna

- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan

kalori cukup

d) Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan

perforasi usus

Dalam pemantuan terapi demam tifoid diperlukan evaluasi demam dengan memonitor

suhu.Apabila pada hari ke-4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus

segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi
terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat

dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan

membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi, dan pengobatan dapat

dilanjutkan di rumah.

I. KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid melibatkan SSP, sistem kardiovaskuler, sistem

pulmonary, sistem tulang dan sendi, sistem hematobilier, sistem gastrointestinal.

Komplikasi yang paling serius adalah perforasi usus yang dihubungkan oleh tingginya

angka kematian dan banyak terjadi pada daerah yang tidak tersedia pusat

kesehatan.Adanya ulserasi pada plak payeri pada ileum terminal, yang dapat

berkembang menjadi perforasi saluran cerna akibat invasi bakteri. Angka kematian

yang terjadi bervariasi antara 4,8 %- 30,5 %. Perforasi usus dapat terjadi pada 0,5-3%

dan terbanyak terjadi pada ileum terminal. Tipe perforasi yang paling sering terjadi

adalah tipe cecal soliter. Angka mortalitas pada perforasi tifoid secara signifikan

dipengaruhi oleh perforasi multiple dan kontaminasi peritonel yang berat. Pada

perforasi ileum membutuhkan intervensi bedah sebanyak 9% hingga 50% kasus.

Perforasi pada tifoid terjadi pada anak dan remaja (83% pada awal dekade pertama dan

kedua kehidupan). Pada perforasi usus ini akan ditandai dengan nyeri perut yang

semakin meningkat (biasanya pada kuadaran kanan bawah), nyeri tekan pada palpasi

(tenderness), muntah, dan diikuti tanda-tanda peritonitis seperti bising usus menurun

sampai menghilang, defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang. Perforasi

ileum karena tifoid merupakan komplikasi tifoid yang berhubungan dengan morbiditas

yang perlu mendapatkan penanganan segera dan memerlukan intervensi bedah.

Perforasi ileum menunjukkan endemis dari demam tifoid. Waktu terjadinya perforasi
ileum tidak diketahui secara pasti meskipun sering dilaporkan terjadi pada minggu

ketiga proses infeksi. Penelitian terkini menunjukkan perforasi ileum terjadi lebih awal

di negara berkembang dan gejala muncul satu sampai dua minggu sebelum perforasi

terjadi, penyebab perforasi ileum terjadi lebih awal belum diketahui. Dengan terjadinya

perforasi, bakteri yang terdapat dalam ileum terutama E.coli keluar ke cavum

peritoneum dan menyebabkan peritonitis. Jumlah perforasi tifoid pada anak lebih

rendah, penyebabnya belum diketahui.Sedangkan perdarahan usus sebanyak 1-10% dari

kasus demam tifoid anak.Perdarahan usus terjadi oleh karena terbentuknya ulcer yang

menembus dinding mukosa usus hingga kepembuluh darah. Komplikasi yang jarang

terjadi adalah perforasi dan gangren pada kantung empedu. Pada semua kasus yang

ditemukan membutuhkan intervensi bedah melalui open cholesystectomy.

Manifestasi neuropsikiatri dilaporkan pada daerah endemik, antara lain: status

konvusional toksik yang dicirikan sebagai disorientasi, delirium yang merupakan

karakteristik dari stadium lanjut demam tifoid. Di beberapa kasus, gambaran gangguan

neuropsikiatri dapat ditemui pada stadium- stadium awal. Manifestasi neurologis lain

yang ditemukan karena infeksi salmonella misalnya ataksia dan kebutaan dengan

kelainan di kortikal. Namun manifestasi neuroogis ini jarang ditemukan pada anak-

anak.

Manifestasi cardiopulmonary pada pasien dengan hasil positif Salmonella typhi

kultur darah dan kultur bone marrow menunjukkan komplikasi pada jantung sebanyak

4,6% meliputi: mikarditis, perikarditis, dan emboli pulmoner, sedangkan komplikasi

pulmoner sebanyak 6,2%.Manifestasi ekstraintestinal lainnya yang dapat terjadi adalah

tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik, pielonefritis,

osteomielitis.
J. PROGNOSIS

Prognosis pasien tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan terapi, usia,

keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka

mortalitas >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, peraatan, dan pengobatan.

Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,

meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas

yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhy

≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada

anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% seluruh

pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis

dibandingkan dengan populasi umum. Karier urin kronis dapat juga terjadi tetapi

jarang, dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis. Secara umum,
karier demam tifoid yang tidak diterapi, angka mortalitasnya mencapai 10-20 %.

Beberapa pasien menunjukkan komplikasi yang permanen, yang meliputi gangguan

neuropsikiatri.

K. PENCEGAHAN

Penurunan endemisitas suatu daerah tergantung pada pembuangan sampah

dan tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Setiap individu harus

memperhatikan kualitas makanan dan minuman yangdikonsumsi. Salmonella typhi di

dalam air akan mati apabila dipanasi 57o Cuntuk beberapa menit atau dengan proses

iodinasi atau klorinasi. Edukasi juga penting untuk diberikan bagi pelancong yang

masuk ke daerah endemis. Imunisasi aktif dapat memnbantu menekan angka kejadian

demam tifoid. Vaksin demam tifoid dikenal tiga macam yakni, yang berisi kuman yang

dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi

kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B, yang dimatikan (TAB vaccine)

telah puluhan tahun diberikan dengan suntikan subcutan, namun vaksin ini hanya

memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping local pada tempat

suntikan cukup sering. Vaksin yang berisi kuman salmonella hidup yang dilemahkan

(Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang dua hari,

memberi daya perlindungan 3 tahun dengan efikasi 60-82%.Vaksin Ty-21a diberikan

pada anak berumur 6 tahun keatas. Vaksin yang berisi komponen Vi dari salmonella

typhi diberikan secara suntikan intramuscular memberikan perlindungan 60-70%

selama 3 tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun dengan efikasi 27

bulan setelah vaksin sebesar 91%.


BAB IV

ANALISA KASUS

Anak datang bersama orang tua ke RSUD dengan kesadaran lemas, keluhan demam

sejak hari senin siang (hari ke 7) SMRS. Demam dirasakan naik turun dan dirasakan

sore demam naik, kadang-kadang malam. Selain demam, anak mengeluh sariawan

(+), nyeri kepala (+) dan nafsu makan menurun. Mual (-), Muntah (-) , batuk, pilek (-

) , nyeri telan (-) ataupun riwayat kejang disangkal.. BAB terakhir sedikit cair 1x

tanpa lendir dan darah, BAK tidak ada keluhan dan tidak nyeri. Pasien mengatakan

setiap demam tinggi diberikan paracetamol terakhir tadi malam pukul 22.00. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum : Anak tampak sakit sedang , lemas,

kesadaran : compos mentis, tanda vital, suhu : 38oC (per aksilar), nadi: 108 x/menit.

nadi teraba kuat, regular, RR: 21 x/menit, TD : 90/70 mmHg. Pada pemeriksaan

kepala , bentuk : mesocephal, rambut : warna tampak hitam, tidak rontok, distribusi

merata, mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (/-), telinga:

serumen (-/-), cairan ditelinga (-), hidung : Lendir (-/-) , napas cuping hidung (-/-),

epistaksis (-/-), mulut : pucat (-), bibir pecah-pecah (-), lidah tifoid (tepi hiperemis,

tengah putih) (+), sariawan (+) , gusi berdarah (-), faring : hiperemis (-), pembesaran

tonsil (-), leher : pembesaran limfonodi (-), kaku (-). Thoraks : simetris, retraksi

dinding dada (-), ketinggalan gerak (-), vokal fremitus (+/+) sonor (+/+), vesikuler

(+/+) ronkhi (-/-) wheezing (-/-) krepitasi (-/-), cor S1 S2 Reguler (+). Abdomen :

datar / buncit (-), peristaltik Usus (+), timpani (+), nyeri tekan epigastrium (+),

hepatomegali (-),splenomegali(-). Ekstremitas : akral hangat, capilary reffil time < 2

detik.

Pada anamnesis anak sudah mengalami demam naik turun selama 7 hari

yang mana merupakan salah satu ciri dari demam tifoid. Demam juga terus menerus
tinggi terutama diakhir minggu pertama, yang mana akan membentuk suatu gambaran

step ladderchart temperature dimana demam timbul insidious, kemudian naik secara

bertahap setiap harinya, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu

kedua demam terus menerus tinggi dan pada minggu ke empat demam turun perlahan

kemudian lisis. Selain itu, adanya faktor risiko dimana anak sedang duduk di bangku

taman kanak-kanak dan suka jajan sembarangan disekolah, dimana demam tifoid

ditularkan melalui transmisi oro-fekal, sehingga penularan melalui makanan dan

minuman sangatlah mungkin terjadi. Pada pemeriksaan fisik, anak didapatkan lidah

tifoid, yakni sebagian lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan

ujungnya kemerahan. Lidah tifoid dapat ditemukan pada penyakit yang mempunyai

demam tinggi lebih dari 7 hari, karena pada demam lebih dari 7 hari, anak akan

mengalami dehidrasi, sehingga saliva yang ada dalam mulut juga berkurang dan

menyebabkan hal ini. Selain itu, ibu mengatakan bahwa anaknya BAB cair 1x. Hal ini

sesuai pada demam tifoid dimana akan terjadi gangguan pada sistem gastrointestinal

baik dapat berupa konstipasi maupun diare, dimana pada pasien ini sebelum masuk

RSUD orang tau mengatakan bahwa anaknya BAB cair 1x.

Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan pada pasien ini adalah serologis

antibodi IgM salmonella yang akan muncul pada hari ke 5, dimana didapatkan hasil

+5 yang menandakan positif infeksi. Dikatakan negatip bila hasilnya <2, borderline

bilamana = 3, dan positif bila >4. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan

adanya infeksi terhadap Salmonella.Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini

adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah urin rutin dimana terdapat

angka leukosit pada urin sebesar 0-3 LPK, leukosit esterase didapatkan negatip

protein negatip , nitrit (-) dan anak ini tidak ditemukan keluhan yang mengarah pada
infeksi saluran kemih, seperti nyeri saat berkemih, frequency, urgency, nyeri

pinggang. Kemudian juga pada hasil tes urinalisa tidak didapatkan nitrit yang mana

uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam

keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat

diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa

kuman Gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit

positif berarti terdapat kuman dalam urin.

Untuk penatalaksaan pada pasien ini diberikan antibiotik cefixim 2x50 mg,

parasetamol Syr 3 X 1 ¼ cth KP, Candesartan 4x1cc drop untuk sariwawan,

Tatalaksana utama pasien dengan demam tifoid adalah pemberian antibotik.Antibiotik

lini pertama yang digunakan adalah kloramfenikol. Menurut IDAI, antibiotik lain

yang dapat digunakan adalah amoksisilin, kotrimoksasol, seftriakson, dan sefiksim.

Kloramfenikol merupakan antibiotik yang mekanisme kerjanya menghambat sintesis

protein bakteri dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari oral atau IV dibagi 4 dosis selama

10-14 hari. Namun karena adanya risiko resistensi yang terjadi pada saat ini, dapat

digunakan antibiotik lain seperti Ampisilin yang merupakan golongan antibiotik beta

laktam-penisilin segolongan dengan amoksisilin yang mekanisme kerjanya

menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosis yang digunakan adalah

100mg/kgbb/hari secara oral atau intravena selama 10 hari. Cefotaxim merupakan

golongan antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang mana juga merupakan golongan

beta laktam. Pemberian melalui intravena dosis tinggi tersebut memberikan manfaat

yaitu waktu perawatan dispersingkat dan mencegah relaps agar tidak terjadi. Lama

demam turun (time of fever defervescence) merupakan salah satu parameter

keberhasilan pengobatan. Demam yang tetap tinggi menunjukkan kemungkinan

komplikasi, fokus infeksi lain, resistensi S. typhi, atau salah diagnosis


Terapi lain yang diberikan adalah pemberian antipiretik untuk mencegah

demam menjadi lebih tinggi sehingga gangguan kesadaran tidak terjadi. Pada pasien

ini diberikan PO tablet paracetamol 3x500 mg (kp) bila t>37.5 celcius dengan dosis

10-15 mg/kgBB/hari. Terapi suportif lain pada demam tifoid adalah tirah baring dan

isolasi memadai dengan desinfeksi pakaian dan ekskreta pada pasien ini. Selain itu,

diet rendah serat dan mudah dicerna dengan kebutuhan kalori yang cukup juga

diberikan agar tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.Setelah demam

reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup

Prognosis pada pasien demam tifoid sangat ditentukan oleh tergantung

kecepatan diagnosa dan ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan

ada tidaknya komplikasi


BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Brusch JL, Garvey T, Corales R, Schmitt SK. 2016. Tifoid Fever.


www.emedicine.medscape.com (Akses 18 mei 2017)

Butta, Ahmed Zulfiqar 2015. Nelson, Pediatric Textbook 20th Edition. Philadelpia,
Elsevier. Pg 954-958.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009. Pedoman Pelayanan Medis Jilid I:Demam
Tifoid. Hal 47-53.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis:Demam
Tifoid. Hal 338-346

John Wain, et al, 2013, Specimens and Culture Media for The Laboratory Diagnosis
of Tifoid Fever

Liqing Zhou, 2014, A Fast and Higly Sensitive blood Culture PCRT method for
Clinical Detection of Salmonella Enterica Serovar Typhii

Nelwan, RHH. 2012. Tatalaksana terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia Kedokteran
vol.39 No 4. Hal 246-250

Sunarto. Diagnosis Klinis Awal dari Masalah Menuju Diagnosis edisi 2. 2012.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Ramyil, MS, et al, 2013, Comparative Study on The Use of Widal Test and Stool
Culture in he Laboratory Diagnosis of Salmonella Infection in Adult and Children in
Jos Metropolis, Plateau State, Nigeria.International Journal of Science and Research
Vol.2 Issue 3 : 435-441

Septiawan, Kadek., Herawati, Sianny., Yasa, IWPS., 2014, Pemeriksaan


Immunoglobulin Anti Salmonella dalam diagnosis demam tifoid. Bagian Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.

Thomas C darton, Christop J dombke dkk, 2013. Typhoid epidemiology, diagnostics


and the humanchallenge model. Wolters Kluwer Health

Anda mungkin juga menyukai