Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

KEGAWATDARURATAN KARDIOVASKULER

Di susun Oleh :
Kelompok 2
1. Agung Nugroho
2. Destri Mahesti
3. Eulalia Marcia D L A
4. Meisya Dhicki Candra
5. Meta Wulandari
6. Muh Khairil Wardi
7. Putu Novi Ernawati
8. Sang Ayu Ketut S S
9. Siti Waddah M
10. Subagyo

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah adalah salah satu
sarana untuk mengembangkan kreativitas mahasiswa juga pengetahuan yang dimiliki
mahasiswa. Makalah ini merupakan suatu sumbangan pikiran dari penulis untuk
dapat digunakan oleh pembaca.
Makalah ini disusun berdasarkan data-data dan sumber-sumber yang telah
diperoleh penulis. Penulis menyusun makalah ini dengan bahasa yang mudah
ditangkap oleh pembaca sehingga makalah ini dapat dengan mudah dimengerti oleh
pem-baca. Pada akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dalam memahami persoalan Kegawatan Sistem Kardiovaskuler.

Genggong, 10 November 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit jantung merupakan penyakit yang mematikan. Di seluruh dunia,
jumlah penderita penyakit ini terus bertambah. Ketiga kategori penyakit ini
tidak lepas dari gaya hidup yang kurang sehat yang banyak dilakukan seiring
dengan berubahnya pola hidup. Angka harapan hidup yang semakin meningkat
ditambah peningkatan golongan usia tua semakin memperbesar jumlah
penderita penyakit jantung yang sebagian besar diderita oleh orang tua.
Sekitar 83 persen penderita gagal jantung merupakan lansia. Gagal jantung
diastolik merupakan masalah utama disfungsi pendarahan pada orang gaek.
Dari para lansia berusia di atas 80 tahun yang menderita gagal jantung, 70
persen di antaranya memiliki fungsi sistolik yang normal. Sedangkan para
penderita gagal jantung yang berusia di bawah 60 tahun hanya kurang dari 10
persen yang fungsi sistoliknya masih bagus. Artinya, sebagian besar penderita
lansia tidak memiliki kelainan pada fungsi sistolik, namun mengalami kelainan
diastole. Sementara itu, hampir 75 persen pasien geriatri menderita gagal
jantung, hipertensi dan atau penyakit arteri koroner. Sedangkan para lansia
penderita gagal jantung diastolik akan mengalami gagal jantung dekompensasi
karena biasanya tekanan darahnya relatif tinggi dan tidak terkontrol. Selain itu,
sulit membedakan secara klinis antara gagal jantung diastol atau sistol karena
keduanya sering bercampur pada orang tua. Gejala yang mendadak merupakan
tanda umum gagal jantung akibat kelainan fungsi diastol.

1.2. Rumusan masalah


a. Bagaimana konsep dasar pneumothorax?
b. Bagaimana konsep dasar temponde jantung?
c. Bagaimana konsep dasar kontusio pulmoner dan myocardial?
d. Bagaimana management darurat chest pain?
e. Bagaimana management darurat keracunan digitalis?
f. Bagaimana management darurat hipertensif?

1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep teori management darurat pada sistem
kardiovaskuler
b. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui konsep dasar pneumothorax
 Untuk mengetahui konsep dasar temponde jantung
 Untuk mengetahui konsep dasar kontusio pulmoner dan myocardial
 Untuk mengetahui management darurat chest pain
 Untuk mengetahui management darurat keracunan digitalis
 Untuk mengetahui management darurat hipertensif
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR KASUS TRAUMA

2.1.1. Pneumothorax

2.1.1.1. Definisi

Pneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat


udara pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura
tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang
terhadap rongga dada.

2.1.1.2. Etiologi

Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh

1. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara


yang berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura.
Pneumothorax jenis ini disebut sebagai closed
pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat
inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat
ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak
sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan
menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga
terdapat hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar.
Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter
trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang
tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya.
Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun
sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat
lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral.
Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut.
Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax.

2.1.1.3. Epidemiologi
Pneumothorax dapat diklasifikasikan menjadi
pneumothorax spontan dan traumatik. Pneumothorax spontan
merupakan pneumothorax yang terjadi tiba-tiba tanpa atau
dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumothorax
jenis ini dibagi lagi menjadi pneumothorax primer (tanpa adanya
riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun sekunder
(terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya). Insidensinya sama
antara pneumothorax primer dan sekunder, namun pria lebih
banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada
pria, resiko pneumothorax spontan akan meningkat pada perokok
berat dibanding non perokok. Pneumothorax spontan sering
terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade
ketiga kehidupan (20-40 tahun). Sementara itu, pneumothorax
traumatik dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak
langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi
iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumothorax iatrogenik
merupakan tipe pneumothorax yang sangat sering terjadi.

2.1.1.4. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura
visceralis. Di antara pleura parietalis dan visceralis terdapat
cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan
serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan
negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam
proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase
inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan
intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi
tekanan intrapleura: -3 s/d -6 cmH2O.
Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura.
Adanya udara pada cavum pleura menyebabkan tekanan
negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi.
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya :
1. Pneumotorak spontan
Oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi,
keganasan), neonatal
2. Pneumotorak yang di dapat
Oleh karena : iatrogenik, barotrauma, trauma
3. Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis
a. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock
atau pre-shock
b. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau
pre-schock
4. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya
dengan hubungan luar menjadi :
a. Open pneumotorak
b. Closed pneumotorak

Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak


mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama
(Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple
pneumotorak, tension pneumotorak, dan open pneumotorak).

Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding


alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan
pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel
yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura.
Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang,
disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian
menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon
yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan
intralveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada
pneumotorak spontan, paru-paru kolpas, udara inspirasi ini
bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura
tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi
cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang
sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi
semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal
flutter.

Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi,


sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima
udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.

Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai


gejala pre-shock atau shock dikenal dengan simple
pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan
tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan
closed pneumotorak.
Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik
secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak
bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin
berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi
menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi
udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang
bersifat katup tertutup, terjadilah penekanan vena cava,
shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.
Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan
tension pneumotorak.

Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara


cavum pleura dengan lingkunga luar. Open pneumotorak
dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit
(sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada
saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan
intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi
cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang
sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergeser ke mediastinal yang
sehat. Terjadilah mediastinal flutter.

Bilamana open pneumotorak komplit maka saat


inspirasi dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak
mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara
terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat
katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava,
shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.
Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan
tension pneumotorak.

2.1.1.5. Penatalaksanaan Pneumothorax


1. Prinsip
a. Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan
pasien trauma secara umum (primary survey - secondary
survey)
b. Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah:
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik,
penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif
(berturutan)
c. Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa
dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray,
portable blood examination, portable bronchoscope.
Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan
memindahkan pasien dari ruang emergency.
d. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis
akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang
mengancam nyawa dan melakukan tindakan
penyelamatan nyawa.
e. Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik
dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur
penanganan trauma.
2. Primary Survey
a. Airway
1. Assessment :
a. perhatikan patensi airway dengar suara napas
b. perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan
gerakan dinding dada
2. Management :
a. inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh,
lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda
yang menghalangi jalan napas
b. re-posisi kepala, pasang collar-neck
c. lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau
intubasi (oral / nasal)

b. Breathing
1. Assesment
a. Periksa frekwensi napas
b. Perhatikan gerakan respirasi
c. Palpasi toraks
d. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
2. Management:
a. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
b. Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi
tension pneumotoraks, open pneumotoraks,
hemotoraks, flail chest

c. Circulation
1. Assesment
a. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
b. Periksa tekanan darah
c. Pemeriksaan pulse oxymetri
d. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya
sianosis)
2. Management
a. Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
b. Torakotomi emergency bila diperlukan
c. Operasi Eksplorasi vaskular emergency
3. Tindakan Bedah Emergency
a. Krikotiroidotomi
b. Trakheostomi
c. Tube Torakostomi
d. Torakotomi
e. Eksplorasi vaskular
2.1.1.5.1. Penatalaksanaan Pneumothoraks (UMUM)
Tindakan dekompressi yaitu membuat
hubungan rongga pleura dengan udara luar, ada
beberapa cara :
1. Menusukkan jarum melalui diding dada sampai
masuk kerongga pleura , sehingga tekanan udara
positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui
kontra ventil, yaitu dengan :
a. Jarum infus set ditusukkan kedinding dada
sampai masuk kerongga pleura.
b. Abbocath : jarum Abbocath no. 14 ditusukkan
kerongga pleura dan setelah mandrin dicabut,
dihubungkan dengan infus set.
c. WSD : pipa khusus yang steril dimasukkan
kerongga pleura.
2.1.1.5.2. Penatalaksanaan Pneumothoraks (SPESIFIK)
1. Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
a. Ciri:
1. Paru pada sisi yang terkena akan kolaps
(parsial atau total)
2. Tidak ada mediastinal shift
3. PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi),
pengembangan dada ↓
b. Penatalaksanaan: WSD
2. Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang semakin
lama semakin bertambah (progresif). Pada
pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil
(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar).
a. Ciri:
1. Terjadi peningkatan intra toraks yang
progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinal shift (pendorongan mediastinum
ke kontralateral), deviasi trakhea , venous
return ↓ → hipotensi & respiratory distress
berat.
2. Tanda dan gejala klinis: sesak yang
bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis
3. Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu
Ro
b. Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle
insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD
3. Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup
besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan
masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan
intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.
Dikenal juga sebagai sucking-wound . Terjadi
kolaps total paru.
a. Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat
menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada
paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan
(hematotoraks)

2.1.2. Temponade Jantung


2.1.2.1. Defenisi
Tamponade jantung merupakan suatu sindroma klinis
akibat penumpukan cairan berlebihan di rongga perikard yang
menyebabkan penurunan pengisian ventrikel disertai gangguan
hemodinamik (Dharma, 2009 : 67).
Tamponade jantung merupakan kompresi akut pada
jantung yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan dalam
pericardium dari rupture jantung, trauma tembus atau efusi yang
progresif (Dorland, 2002 : 2174).
Jadi tamponade jantung adalah kompresi pada jantung
yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraperikardial
akibat pengumpulan darah atau cairan dalam pericardium (250
cc bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100
cc bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung lambat) yang
menyebabkan penurunan pengisian ventrikel disertai gangguan
hemodinamik, dimana ini merupakan salah satu komplikasi yang
paling fatal dan memerlukan tindakan darurat.

2.1.2.2. Etiologi
Etiologinya bermacam-macam yang paling banyak
maligna, perikarditis, uremia dan trauma (ENA, 2000: 128).
Tamponade jantung bisa disebabkan karena neoplasma,
perikarditis, uremia dan perdarahan ke dalam ruang pericardial
akibat trauma, operasi, atau infeksi (Mansjoer, dkk. 2001 :
458).
Penyebab tersering adalah neoplasma, idiopatik dan
uremia. Perdarahan intraperikard juga dapat terjadi akibat
katerisasi jantung intervensi koroner, pemasangan pacu
jantung, tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan
(Panggabean, 2006 : 1604).
2.1.2.3. Patofisiologi
Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi
pericardium menyebabkan hambatan serius aliran darah ke
jantung ( gangguan diastolik ventrikel ). Penyebab tersering
adalah neoplasma, dan uremi. (Penggabean, 2006 : 364 ).
Neoplasma menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel
secara abnorma pada otot jantung. Sehingga terjadi hiperplasia
sel yang tidak terkontrol, yang menyebabakan pembentukan
massa (tumor). Hal ini yang dapat mengakibatnya ruang pada
kantong jantung (perikardium) terdesak sehingga terjadi
pergesekan antara kantong jantung (perikardium) dengan
lapisan paling luar jantung (epikardium).
Pergesekan ini dapat menyebabkan terjadinya
peradangan pada perikarditis sehingga terjadi penumpukan
cairan pada pericardium yang dapat menyebakan tamponade
jantung. Uremia juga dapat menyebabkan tamponade jantung
(Price, 2005 : 954). Dimana orang yang mengalami uremia, di
dalam darahnya terdapat toksik metabolik yang dapat
menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi pada
perikardium).
Selain itu , tamponade jantung juga dapat disebabkan
akibat trauma tumpul/ tembus. Jika trauma ini mengenai ruang
perikardium akan terjadi perdarahan sehingga darah banyak
terkumpul di ruang perikardium. Hal ini mengakibatkan
jantung terdesak oleh akumulasi cairan tersebut.

2.1.2.4. Manifestasi klinik


1. Diagnosis klasik “Trias Beck”
a. Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Penurunan tekanan arteri (hipotensi)
c. Suara jantung menjauh
2. Pulsus paradoksus : kedaan fisiologis dimana penurunan
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan.
3. Bila penurunan >10mmHg, tekanan nadi <30mmHg, tekanan
sistolik <100mmHg, dan bunyi jantung yang melemah.
4. Pulsus paroduksus terjadi karena pembesaran ventrikel kanan
akibat inspirasi menekan sputum dan rongga ventrikel
kirimengurangi volume ventrikel kiri dan menurunkan
curah jantung sekuncup
5. Kussmaul sign : peningkatan distensi dan tekanan vena secara
paradoksal selama inspirasi
6. Ewart sign : dikenal juga Pins sign, diobservasi pada pasien
dengan efusi pericardial luas.
7. Didapatkan area redup, dengan suara bronchial dan
bronchophony di bawah sudut scapula kiri
8. Precardial frinction rub (+)
9. Lihat kemungkinan ada jejas trauma di daerah pericardium
atau perkiraan menembus jantung
10. Gelisah, cemas
11. Nyeri dada
a. Menjalar ke leher, bahu, punggung atau abdomen
b. Sharp, stabbing
c. Memburuk jika bernapas dalam
12. Dyspnea
13. Takikardia, takipnea
14. Kulit pucat, dingin, sianosis

2.1.2.5. Pemeriksaan Fisik Fokus


Gejala yang paling sering ditemukan adalah dyspnea,
tachycardia, dan peningkatan jugular venous pressure
(JVP).Bekas cedera dinding dada tampak padaa pasien trauma.
Tachycardia, tachypnea, dan hepatomegaly ditemukan lebih dari
50% pasien dengan tamponade jantung, sedangkan bunyi jantung
menjauh dan pericardial friction rub ditemukan pada sekitar
sepertiga pasien. Beberapa pasien datang dengan keluhan pusing,
mengantuk, atau palpitasi.Kulit yang dingin, basah dan nadi yang
lemah karena hipotensi juga dapat tampak pada pasien dengan
tamponade. Adapun Pemeriksaan fisik focus untuk Head to toe
antara lain :
1. Kepala dan wajah : pucat, bibir sianosis.
2. Leher : peninggian vena jugularis.
3. Dada : ada jejas trauma tajam dan tumpul di daerah dada,
tanda kusmaul, takipnea, bunyi jantung melemah / redup dan
pekak jantung melebar.
4. Abdomen dan pinggang : tidak ada tanda dan gejala.
5. Pelvis dan Perineum : tidak ada tanda dan gejala.
6. Ekstrimitas : pucat, kulit dingin, jari tangan dan kaki
sianosis.
(Yarlagadda,2011).

2.1.2.6. Pemeriksaan penunjang


1. Rontgen standar : foto servikal, thorakal, dan pelvis
Rontgen dada menunjukkan gambaran “water bottle-shape
heart:, kalsifikasi pericardial.
2. Laboratorium
a. Creatini kinase dan isoenzin : Meningkat pada MI dan
trauma jantung
b. Profil renal dan CBC : uremia dan penyakit infeksi yang
berkaitan dengan perikarditis
c. Protrombin time (PT) dan aPTT (activated partial
thromboplastin time) : menilai risiko pendarahan selama
intervensi misalnya drainase pericardial
3. EKG
a. Didapatkan PEA (Pulseless Electric Activity),
sebelumnya dikenal sebagai Electromechanical
Dissociaation, merupakan dimana EKG didapatkan irama
sedangkan pada perabaan nadi tidak ditemukan pulsasi.
b. PEA dapat ditemukan pada tamponade jantung, tension
pneumothoraks, hipovolemia, atau rupture jantung.
c. EKG juga digunakan untuk memonitor jantaung ketika
melakukan aspirasi perikardium
4. CVP (central venous pressure), normalnya 10-12
5. Pulse-oximetry
6. Echocardiografi : menilai pericardium
7. USG abdomen (FAST) : mendeteksi cairan rongga
perikardium

2.1.2.7. Penatalaksanaan
Tamponade jantung adalah keadaan darurat
medis. Sebaiknya, pasien harus dipantau di unit perawatan
intensif. Semua pasien harus menerima hal-hal berikut:
1. Jika nadi teraba, aspirasi jarum merupakan terapi awal dans
erring dapat menyelamatkan nyawa.
a. Aspirasi dilakukan dengan jarum spinal pendek ukuran
16-18 yang disambungkan dengan kunci tiga jalur (three
way stopcock) dan semprit 50 ml.
b. Jarum ditusukkan sedikit disebelah kiri processus
xipideus dan di arahkan ke sefal dan ke kiri sampai darah
dapat diaspirasi. Kedalaman tusukan biasanya 3 sampai 4
cm. Tindakan ini hendaknya dilakukan dengan
pemantauan EKG, kecuali dalam keadaan sangat darurat.
Sebuah klem alligator digunakan sebagai sadapan (lead)
EKG dan disambungkan kejarum, kemudian terus
dimajukan sampai dilihat arus cedera (current of injury)
pada monitor. Jarum yang sekarang menyentuh
permukaan pericardium, kemudian sedikit ditarik
kembali ke ruang pericardium, dan cairan kembali.
c. Kateret vena sentral dapat dipasang melalui jarum
tersebut dan dibiarkan ditempat yang memungkinkan
tindakan aspirasi periodic untuk mencegah pengumpulan
cairan kembali.
2. Ekspansi volume dengan darah, plasma, dekstran, atau
larutan natrium klorida isotonik, yang diperlukan untuk
mempertahankan volume intravaskular cukup: Sagrista-
Saauleda dkk mencatat peningkatan yang signifikan dalam
output jantung setelah ekspansi volume.
3. Istirahat di tempat tidur dengan ketinggian kaki: ini dapat
membantu meningkatkan kembali vena.
4. Obat inotropik (misalnya, Dobutamine): ini dapat berguna
karena mereka tidak meningkatkan resistensi pembuluh
darah sistemik sambil meningkatkan output jantung.
5. Positif-tekanan ventilasi mekanis harus dihindari karena
dapat menurunkan kembali pembuluh darah dan
memperburuk tanda-tanda dan gejala tamponade.

2.1.2.8. Komplikasi
1. Gagal jantung
2. Syok kardiogenik
3. Henti jantung

2.1.3. Kontusio (Pulmoner)


2.1.3.1. Definisi
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru
yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan
kendaraan atau tertimpa benda berat.

2.1.3.2. Etiologi

1. Trauma toraks
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks
4. Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme
perdarahan dan edema parenkim
5. Fraktur iga
2.1.3.3. Manifestasi Klinis

1. Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma


2. Dispnea
3. ↓ PO₂ arteri
4. Ronki
5. Infiltrat pada foto thoraks
6. Pada kondisi berat dapat disertai : sekret trakeobronkial yang
banyak, hemoptisis, dan edema paru

2.1.3.4. Primary surveys

Primary surveys di TKP (ABCDE). Yang dinilai :

1. A :

a. Kelancaran jalan napas


b. Jika penderita dapat berbicara mengindikasikan A-nya
baik
c. Identifikasi kemungkinan-kenungkinan obstruksi A (eg
oleh karena benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea, fraktur
servikal)

2. B :

a. Melibatkan paru, dinding dada, dan diafragma à harus


dievaluasi secara cepat
b. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernapasan
c. Auskultasi untuk memastikan udara masuk ke paru-paru
d. Perkusi untuk menilai adanya udara atau darah pada
rongga pleura
e. Inspeksi dan palpasi dapat menilai kelainan dinding dada

3. C :

a. Penilaian volume darah dan CO


1. Tingkat kesadaran : akibat ↓ suplai darah ke otak,
kesadaran ↓
2. Warna kulit (dapat membantu diagnosis hipovolemik)
:wajah yang pucat keabuan, kulit ekstrimitas yang
pucat menandakan hipovolemik
3. Nadi, periksa pada nadi yang besar eg. Femoralis,
karotis untuk kekuatan, kecepatan, dan irama :
* tidak cepat, kuat, teratur = normovolemi
* cepat, kecil = hipovolemi
* tidak teratur = biasanya ganggu jantung
* tidak ditemukan = perlu resusitasi segera
b. Penilaian perdarahan ada tidak perdarahan luar,,,
perdarahan juga bisa terjadi di dalam/internal/tidak terlihat
eg. Perdarahan pada rongga thoraks, abdomen, sekitar
fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur
pelvis, atau sebagai akibat luka tembus dada/perut

2.1.3.5. Secondary surveys

1. D : (sepintas bisa primary tapi selengkapnya bisa secondary)

a. Tingkat kesadaran, Ukuran dan reaksi pupil, Tanda – tanda


lateralisasi, Tingkat/level cidera spinal : Tingkat kesadaran
dapat dinilai dengan GCS atau APVU. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan :

1. ↓ oksigenasi (hipoksia) atau hipoperfusi (hipovolemi)


ke otak
2. Trauma langsung pada otak / trauma kapitis
3. Obat-obatan, alkohol

2. E : (secondary)

a. Pemeriksann head to toe, periksa kemungkinan-


kemungkinan trauma lain, jaga suhu tubuh pasien / cegah
hipotermia (selimuti,dll)

2.1.3.6. Tatalaksana

Resusitasi Awal

1. A :

a. Usaha untuk membebaskan A harus melindungi vertebra


servikal
b. Dapat dengan chin lift atau jaw thrust
c. Dapat pula dengan naso-pharyngeal airway atau oro-
pharyngeal airway
d. Selama memeriksa dan memperbaiki A tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi leher
e. Pertimbangkan bantuan A definitif (krikotirotomi,
ETT,dll) kl ragu berhasil

2. B :
a. Kontrol A pada penderita yang A tgg karena faktor
mekanik, gg ventilasi, atau ada gg kesadaran à bisa
dengan intubasi ETT (oral/nasal) à jika ETT tidak bisa
(karena KI atau masalah teknis),, bisa surgical A /
krikotiroidotomy
b. Setiap penderita trauman,,, beri o₂,, jika tidak intubasi,
bisa pakai sungkup

3. C :

a. Jika ada perdarahan arteri luar, harus segera


DIHENTIKAN, bisa dengan balut tekan atau dengan
spalk udara. Jangan pakai Torniquet, karena dapat
merusak jaringan dan menyababkan iskemia distal,,
sehingga torniquet hanya dipakai jika ada amputasi
traumatik
b. Jika ada ganggu sirkulasi pasang iv line (sekalian ambil
sampel darah u/ diperiksa lab rutin dan tes kehamilan).
c. Infus, RL / kristaloid lain 2-3 L , jika tidak respon beri
gol darah sesuai,,, kl dak ado ber gol O Rh – / gol O Rh +
titer rendah hangatkan dulu untuk mencegah hipotermia
d. Jangan beri vasopresor, steroid, bicarbonat natricus

4. Tambahan :

a. Monitor EKG
b. Pasang kateter urin dan lambung
c. Rontgen , dll.

5. Tujuan:

a. Mempertahankan oksigenasi
b. Mencegah/mengurangi edema
c. Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan
(iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu
ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)
d. Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan
memasang ventilasi mekanik dengan continuous positive
end-expiratory pressure (PEEP)

6. Prognosis

Dengan diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat


prognosisnya baik

7. Komplikasi

Sindrom distres pernapasan pada dewasa

2.2 MEDICAL EMERGENCY

2.2.1. Chest Pain

2.2.1.1. Pengertian

Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang


mengganggu daerah dada dan seringkali merupakan rasa nyeri
yang diproyeksikan pada dinding dada (referred pain)

Nyeri Coroner adalah rasa sakit akibat terjadinya iskemik


miokard karena suplai aliran darah koroner yang pada suatu saat
tidak mencukupi untuk kebutuhan metabolisme miokard.

Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura


(pleuritis) karena lapisan paru saja yang bisa merupakan sumber
rasa sakit, sedang pleura viseralis dan parenkim paru tidak
menimbulkan rasa sakit (Himawan, 1996)

2.2.1.2. Etiologi
1. Cardial
a. Koroner
b. Non Koroner
2. Non Cardial
a. Pleural
b. Gastrointestinal
c. Neural
d. Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)

2.2.1.3. Tanda Dan Gejala


Tanda dan gejala yang biasa menyertai nyeri dada adalah :
1. Nyeri ulu hati
2. Sakit kepala
3. Nyeri yang diproyeksikan ke lengan, leher, punggung
4. Diaforesis / keringat dingin
5. Sesak nafas
6. Takikardi
7. Kulit pucat
8. Sulit tidur (insomnia)
9. Mual, Muntah, Anoreksia
10. Cemas, gelisah, fokus pada diri sendiri
11. Kelemahan
12. Wajah tegang, merintih, menangis
13. Perubahan kesadaran
2.2.1.4. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG 12 lead selama episode nyeri
a. Takhikardi / disritmia
b. Rekam EKG lengkap : T inverted, ST elevasi / depresi, Q
Patologis
2. Laboratorium
a. Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH
b. Fungsi hati : SGOT, SGPT
c. Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin
d. Profil Lipid : LDL, HDL
3. Foto Thorax
4. Echocardiografi
5. Kateterisasi jantung

2.2.1.5. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
a. Airway
1. Bagaimana kepatenan jalan nafas
2. Apakah ada sumbatan / penumpukan sekret di jalan
nafas?
3. Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada bunyi nafas
tambahan?
b. Breathing
1. Bagaimana pola nafasnya ? Frekuensinya? Kedalaman
dan iramanya?
2. Aapakah menggunakan otot bantu pernafasan?
3. Apakah ada bunyi nafas tambahan?
c. Circulation
1. Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis?
Kualitas (isi dan tegangan)
2. Bagaimana Capillary refillnya, apakah ada akral dingin,
sianosis atau oliguri?
3. Apakah ada penurunan kesadaran?
4. Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T, S, N, RR, HR?
2. Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji lebih jauh pada nyeri
dada (koroner) :
a. Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya, penjalarannya (nyeri dada
koroner : mulai dari sternal menjalar ke leher, dagu
atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)
b. Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti kejang, meremas,
menusuk, mencekik/rasa terbakar, dll.
c. Ciri rasa nyeri
Derajat nyeri, lamanya, berapa kali timbul dalam
jangka waktu tertentu.
d. Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta perkembangannya secara
berurutan
e. Keadaan pada waktu serangan
Apakah timbul pada saat-saat / kondisi tertentu
f. Faktor yang memperkuat / meringankan rasa nyeri
misalnya sikap/posisi tubuh, pergerakan, tekanan, dll.
g. Gejala lain yang mungkin ada atau tidaknya hubungan
dengan nyeri dada.
2.2.2. Keracunan Digitalis

2.2.2.1. Pengertian

Saat ini, penggunaan Digoxin (Digitalis) dibidang


kardiovaskular telah mengalami penurunan, hal ini disebabkan
oleh karena rentang terapeurik Digoxin yang sempit dan juga efek
samping serta kejadian intoksikasi yang sering terjadi.

Digoxin tidak lagi menjadi terapi lini pertama dalam


penanganan Gagal Jantung kongestive akan tetapi dalam
penanganan kasus Atrial fibrilasi dengan gagal jantung kongestive
digoxin mempunyai tempat untuk pengendalian frekuensi nadi
(Rate Control). Apabila digunakan secara berlebihan, digitlis
dapat berfungsi sebagai racun.

2.2.2.2. Gejala dari Intoksikasi digitalis diantaranya ialah :

1. Gejala Ekstra kardiak:

a. Sistem Syaraf Pusat:

a) Gangguan penglihatan (Gejala awal)


b) Penurunan kesadaran
c) Lethargy
d) Lelah
e) Neuralgia
f) Sakit kepala
g) Pusing (Dizziness)
h) Confusion or giddiness
i) Halusinasi
j) Kejang (jarang)
k) Paresthesia and nyeri neuropati

b. Sistem Gastro Intestinal

a) Anorexia
b) Weight loss
c) Gagal tumbuh (Pasien pediatrik)
d) Muntah
e) nyeri perut
f) Iskemik mesenterik- Komplikasi yang jarang dari
pemberian IV cepat

2. Gejala Kardiak

a) Berdebar-debar (Palpitasi)
b) Pingsan (Syncope)
c) Bengkak pada tungkai
d) Hipotensi

2.2.2.3. Kriteria EKG untuk intoksikasi digitalis


1. ECG changes typical for digoxin use (digoxin = Lanoxin) are:
a. ST Depresi dengan gambaran ‘scooped out’ Flat, negative
or biphasic T wave
b. Pemendekan QT interval
c. IPeningkatan amplitudo u-wave
d. Prolonged PR-interval
e. Sinus bradycardia
2. Aritmia yang sering terjadi pada keracunan digitalis:
a. AV block. termasuk complete AV block and Wenkebach.
b. Tachyarrhythmias:
1. Junctional tachycardia
2. Atrial tachycardia
3. Ventricular ectopia, bigemini, monomorphic ventricular
tachycardia, bidirectional ventricular tachycardia
2.2.2.4. Waktu Paruh
Masa paruh Digoxin berkisar diantara 36-48 jam untuk pasien
dengan fungsi ginjal yang normal, dan 4-6 hari pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal
2.2.2.5. Efek Samping
Efek dari digoxin akan meningkat pada keadaan Hipokalemia,
sehingga pengawasan terhadap keseimbangan elektrolit mesti
dilakukan pada pasien-pasein dengan penggunaan rutin Digoxin.
2.2.2.6. Keadaan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya Intoksikasi
Digitalis:
1. Overdosis Obat
2. Terapi Diuretik
3. Penurunan Fungsi ginjal
4. Hipokalsemia
5. Hipomagnesaemia
6. Hipotiroid
2.2.2.7. Management darurat keracunan
Dilakukan tindakan ABCDE segera mungkin bila terjadi keracunan tersebut..
1. Airway (Jalan napas)
Bebaskan jalan napas dari sumbatan.Apabila perlu pasang pipa endotrakeal.
2. Breathing (Pernapasan)
Jaga agar pasien dapat bernapas dengan baik. Apabila perlu berikan bantuan
pernapasan.
3. Circulation (Peredaran Darah)
Tekanan darah dan nadi dipertahankan dalam batas normal. Berikan infus
cairan dengan normal salin, dekstrosa atau Ringer Laktat.
4. Dekontamination (Pembersihan)
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk
menurunkanpemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah
kerusakan. Petugas,sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan
pelindung berupa sarung tangan,masker dan apron. Tindakan dekontaminasi
tergantung pada lokasi tubuh yang terkenaracun yaitu:
Dekontaminasi gastrointestinal penelanan merupakan pemaparan yang
tersering, sehingga tindakan pemberian bahanpengikat (karbon aktif),
pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah
atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan
bahan toksik.
5. Emesis
Dapat dilakukan secara mekanik dengan merangsang daerah orofaring
bagian belakang. Dengan obat-obatan dapat diberikan larutan Ipekak 10-
20 cc dalam satu gelas air hangat, dan dapat diulang setelah 30 menit, atau
dapat diberikan Apomorfin 0,6 mg/kgBB i.m atau 0,01 mg/kgBB/iv.
Tindakan emesis tidak dilakukan pada keracunan bahan korosif, misalnya
air aki, penderita dengan kesadaran menurun atau kejang-kejang dan
keracunan minyak tanah.
a. Kumbah Lambung
Kubah lambung bertujuan mencuci sebersih mungkin bahan
racun dari lambung, namun kurang bermanfaat apabila dilakukan 4
jam setelah bahantertelan, karena bahan telah melewati lambung dan
telah diabsorsi oleh usus. Dengan memakai pipa nasogastrik yang
besar dimasukkan air,apabila mungkin air hangat 200 sampai 300 cc
setiap kumbah lambung sampai bersih. Pada akhir kumbah lambung
dimasukkan 30 g norit.
b. Katarsis (urus-urus)
Dilakukan apabila bahan racun diperkirakan telah mencapai usus,
yang berguna membersihkan usus halus sampai kolon, dengan
memakai 30g Magnesium Sulfat. Tidak dilakukan katarsis pada
orang kejang atau pada keracunan bahan korosif.
6. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat
pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran
cerna dapat digunakan pemberian aktif yang diberikan berulang dengan
dosis 30-50 gram (0,5-1 gram/kgBB) setiap 4 jam per oral/ enteral.
Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat seperti kabarmazepin,
Chloredecone, quinin, dapson, digoksin, nadolol, fenobarbital,
fenilbutazone, fenitoin,salisilat, teofilin, phenoxyacetate herbisida.
Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada dokter spesialis
penyakit dalamkarena tindakan spesialistik berupa cara eliminasi racun
yaitu:
a. Diuresis paksa (forced diuresis)
Terutama berguna pada keracunan yang dapat dikeluarkan
melalui ginjal. Tidak boleh dikerjakan pada keadaan syok,
dekompensasi jantung, gagal ginjal, edema paru dan keracunan akibat
bahan yang tidak dapat diekskresi melalui ginjal.
Jenis diuresis paksa (DP) adalah DP Netral, DP Alkali, dan DP
Asam. Ada istilah DP setengah yang artinya dengan memberikan
cairan 3 liter selama 12 jam (setengahhari) dan FDP satu artinya
memberikan cairan 6 liter dalam 24 jam (satu hari).
1. Diuresis paksa netra
Diuresis paksa netral dengan diberikan Ca glukonas iv, 3 liter
cairan glukosa 10%dalam waktu 12 jam dan furosemid. Cara
pemberian sama dengan DP Netral hanya perlu ditambahkan ½
ampul Na bikarbonas pada setiap cairan infus dekstrosa
5%.Diuresis Paksa Asam dipakai pada keracunan karena
amfetamin, striknin, dan fenisiklidin. Diberikan 1,5 amonium
klorida dan 500 cc dekstrosa 5%. Pemberian 500 cc dekstrosa 5%
dan 500 cc normal salin secara bergantian, dengan kecepatan 1liter
pada jam pertama, dan dilanjutkan 500 cc perjam. Pantau elektrolit
serum dan darah setiap jam. Apabila pH urine lebih dari 7,0
ditambahkan amonium klorida pada 500 cc dekstrosa 5%.
2.Alkalinisasi urin
3.Asidifikasi urin
4.Hemodialisis/peritoneal dialisis.
Dilakukan pada keracunan dengan koma yang dalam, hipotensi
berat, kelainan asam basa dan elektrolit, penyakit ginjal berat,
penyakit jantung, penyakit paru, penyakit hati dan pada kehamilan.
Umumnya dilakukan pada keracunan pada dosis letal dari bahan
alkohol, barbiturat, karbamat, asetaminofen, aspirin, fenasetin,
amfetamin,logam berat dan striknin.
b. Pemberian Antidotum
Antidotum (bahan penawar) berguna untuk melawan efek racun
yang telah masuk pada organ target. Tidak semua racun mempunyai
antidote yang spesifik. Pada kebanyakan kasus keracunan sangat
sedikit jenis racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot
yang tersedia secara komersial sangat sedikit jumlahnya. Beberapa jenis
antidotum pada keracunan dapat dilihat pada Tabel 2.
c. Tindakan Suportif
Guna mempertahankan fungsi vital, perlu perawatan menyeluruh,
termasuk perawatan temperatur, koreksi keseimbangan asam basa atau
elektrolit, pengobatan infeksi dan lain-lain.
2.2.2.8. Prinsip penatalaksanaan keracunan
Mungkin jika kita harus menghapalkan langkah-langkah yang
harus dilakukan seperti tertera di atas, barangkali akan sulit, tapi
prinsip utama penatalaksanaan keracunan adalah: “Mencegah
/menghentikan penyerapan racun”. Bila Racun ditelan, prinsipnya
cuma dua:
1. Encerkan racun yang ada dalam lambung, sekaligus
menghalangi penyerapannya dengan cara memberikan cairan
dalam jumlah banyak. Cairan yang dipakai adalah air biasa
atau susu. Pengenceran dengan susu tidak boleh dilakukan
pada penderita yang menelan kamper.
2. Upayakan pasien muntah (emesis), efektif bila dilakukan
dalam 4 jam setelah racun ditelan. Dapat dilakukan dengan
cara mekanik yaitu dengan merangsang dinding faring dengan
jari atau suruh penderita untuk berbaring tengkurap, dengan
kepala lebih rendah dari pada bagian dada. Emesis tidak boleh
dilakukan pada keracunan zat korosif, keracunan zat kerosene,
serta pada penderita tidak sadar. Tindakan di atas tidak boleh
dilakukan pada pasien yang tidak sadar. Segera bawa ke
Rumah Sakit.
2.2.3. Kedaruratan Hipertensif

Krisis Hipertensi (KH) biasanya secara klinis mudah dilihat tanda dan
gejalanya.
2.2.3.1. Tanda dan Gejala
Tanda umum adalah:
1. Sakit kepala hebat
2. nyeri dada
3. pingsan
4. tachikardia > 100/menit
5. tachipnoe > 20/menit
6. Muka pucat

2.2.3.2. Tanda Ancaman Kehidupan


Gejala KH:
1. Sakit Kepala Hebat
2. nyeri dada
3. peningkatan tekanan vena
4. shock / Pingsan

2.2.3.3. Pengkajian
Pengkajian dengan pendekatan ABCD.
1. Airway
a. yakinkan kepatenan jalan napas
b. berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau
nasopharyngeal)
c. jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli
anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU
2. Breathing
a. kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter,
untuk mempertahankan saturasi >92%.
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breath
mask.
c. Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan
menggunakan bag-valve-mask ventilation
d. Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji
PaO2 dan PaCO2
e. Kaji jumlah pernapasan / Auskultasi pernapasan
f. Lakukan pemeriksan system pernapasan
g. Dengarkan adanya bunyi krakles / Mengi yang
mengindikasikan kongesti paru

3. Circulation
a. Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengan suara
gallop
b. Kaji peningkatan JVP
c. Monitoring tekanan darah
d. Pemeriksaan EKG mungkin menunjukan:

a) Sinus tachikardi
b) Adanya Suara terdengar jelas pada S4 dan S3
c) right bundle branch block (RBBB)
d) right axis deviation (RAD)
e. Lakukan IV akses dekstrose 5%
f. Pasang Kateter
g. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
h. Jika ada kemungkina KP berikan Nifedipin Sublingual
i. Jika pasien mengalami Syok berikan secara bolus Diazoksid,
Nitroprusid

4. Disability
a. kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
b. penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk
kondisi ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis segera
dan membutuhkan perawatan di ICU.
5. Exposure
a. selalu mengkaji dengan menggunakan test kemungkinan KP
b. jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan
dan pemeriksaan fisik lainnya.
c. Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda gagal jantung kronik
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada


kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum
pleura ini dapat ditimbulkan oleh robeknya pleura viceralis dan robeknya dinding
dada pleur parientalis.

Tamponade jantung merupakan suatu sindroma klinis akibat penumpukan


cairan berlebihan di rongga perikard yang menyebabkan penurunan pengisian
ventrikel disertai gangguan hemodinamik. Temponade Jantung disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan
dalam pericardium dari rupture jantung, trauma tembus atau efusi yang progresif.

Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi
pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
Kontusio Paru ini disebabkan oleh trauma toraks, Kecelakaan lalu lintas, terjadi
terutama setelah trauma tumpul toraks, dapat pula terjadi pada trauma tajam dg
mekanisme perdarahan dan edema parenkim, Fraktur iga.

Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah
dada dan seringkali merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada.
Penyebab dari nyeri dada ini adalah: Nyeri Dada: Cardial (Koroner, Non
Koroner), Non Cardial (Pleural, Gastrointestinal, Neural, Psikogenik).

Saat ini, penggunaan Digoxin (Digitalis) dibidang kardiovaskular telah


mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh karena rentang terapeurik Digoxin
yang sempit dan juga efek samping serta kejadian intoksikasi yang sering terjadi.
Apabila digunakan secara berlebihan, digitlis dapat berfungsi sebagai racun.

Kedawatdaruratan hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan


sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Krisis
Hipertensi (KH) biasanya secara klinis mudah dilihat tanda dan gejalanya.

3.2 Saran
Penyusunan makalah ini sangatlah jauh dari sempurna. Jadi apabila ada
kekurangan dari penyusunan ini kami harapkan kritik dan sarannya. Demi
bergunanya makalah ini di masa depan tentunya.
DAFTAR PUSTAKA

Angela, et.al, 2012. Essentials of gerontological nursing, adaptation to the


aging process, JB Lipincott, comp.
Annete, GL. 2011. Gerontological nursing, Mosby year Book, St, Louis Miss.
Doenges, Marilynn E,Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC, 2000.
Goodman Gilman. 2009. Digitalis intoxication. In:the pharmacological basis
of therapeutics, 8th edition, Pergamon press
Hudak, Gallo. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Edisi IV,
Jakarta, EGC
Mauskopf JA; Wenger TL: Cost effectiveness analysis of the use of digoxin
immune Fab for treatment of digoxin toxicity. Am-JCardiol. 1991; 68: 1709-14.
Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit,
Edisi 4, Jakarta: EGC
Smeltzer, Bare. 2013. Buku Ajar keperawatan Medical Bedah, Bruner &
Suddart, Edisi 8, Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai