Anda di halaman 1dari 40

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada selaput rongga perut (peritoneum)-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan
komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari
organ-organ abdomen (misalnya, apendisitis, salpingitis), rupture saluran
cerna atau dari luka tembus abdomen. Dalam istilah peritonitis meliputi
kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan
peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau
penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum bereaksi terhadap
stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit
yang mendasarinya.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membran serosa
rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan
tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas
peritoneal oleh bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan
gangguan usus dasar (contoh : sirosis dengan asites, sistem urinarius) ;
sekunder inflamasi dari saluran GI, ovarium/uterus, cedera traumatik atau
kontaminasi bedah (Doenges, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa
rongga abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri:
Organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari
organ reproduktif internal.(Brunner & suddarth, 2002).

28
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane
serosa rongga abdomen) dan organ di dalamnya (Muttaqin & Sari, 2011).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, suatu lapisan
endothelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa ( Jitwiyono &
Kristiyanasari, 2012).
B. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi
a) Peritoneum
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di
dalam tubuh yang terdiri dari bagian utama yaitu peritoneum parietal
yang melapisi dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang
meliputi semua organ yang ada didalam rongga itu (Pearce, 2009).
Peritoneum parietal yaitu bagian peritoneum yang melapisi
dinding abdomen dan peritoneum yaitu lapisan yang menutup viscera
(misalnya gaster dan intestinum). Cavitas peritonealis adalah ruangan
sebuah potensi karena organ-organ tersusun amat berdekatan. Dalam
cavitas terdapat sedikit cairan sebagai lapisan tipis untuk melumasi
permukaan peritoneum sehingga memungkinkan viscera abdomen
bergerak satu terhadap yang ain tanpa adanya gerakan. Organ
intraperitoneal adalah abdomen yang meliputi peritoneum vesiceral
dan organ ekstraperitoneal (retroperitoneal) adalah vesicelera yang
terletak antaran peritoneum pariatale dan dinding abdomen dorsal
(Pearce, 2009).
b) Mesinterium
Yaitu lembaran ganda peritoneum yang berawal sebagai
lanjutan peritoneum visceral pembungkus sebuah organ. Mesenterium
berisi jaringan ikat yang berisi pembuluh darah, pembuluh limfe
(Pearce, 2009).
c) Omentum
Yaitu lanjutan peritoneum visceral bilaminar yang melintasi
gaster dan bagian proksimal duadenum ke struktur lain. Omentum

28
terbagi menjadi 2 yaitu omentum minus dan omentum majus,
omentum minus menghubungkan curvatura minor gaster dan bagian
proksimal duodeneum dengan hepar dan ementum mencegah
melekatnya peritoneum visceral pada peritoneum parietal yang
melapisi dinding abdomen. Daya gerak omentum majus cukup besar
dan dapat bergeser – geser keseluruh cavitas paritonealis serta
membungkus organ yang meradang seperti appendiks vermiformitis
artinya omentum majus dapat mengisolasi organ itu dan melindungi
organ lain terhadap organ yang terinfeksi (Pearce, 2009).
d) Ligamentum Peritoneal
Yaitu lembar-lembar ganda peritoneum. Hepar dihubungkan
pada dinding abdomentum ventral oleh ligamentum falciforme dan
aster dihubungkan pada permukaan kaudal diafragma oleh ligamentum
gatrophenicul lien yang melipatkan balik pada hilum splenicum dan
colon tranversum oleh ligamentum gastroconicum. Plica peritonealis
adalah peritoneum yang terangkat dari abdomen oleh pembuluh darah,
saluran, dan pembuluh fetal yang telah mengalami oblitersi dan
resucessus peritonealis adalah sebuah kantong peritoneal yang
dibentuk oleh plica peritonealis (Pearce, 2009).
b. Fisiologi
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar dalam
tubuh. Peritoneum terdiri dari atas dua bagian yaitu peritoneum parietal
dan pertoneum viseral. Ruang yang terdapat di antara dua lapisan ini
disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Banyak lipatan atau
kantong yang terdapat dalam peritoneum sebuah lipatan besar atau
oementum mayor yang kaya akan lemak bergantung di sebelah depan
lambung (Pearce, 2009).
Omentum minor berjalan dari porta heparis setelah menyelaputi
hati ke bawah kurvatura minor lambung dan di sini bercabang menyelaput
lambung. Peritoneum ini kemudian berjalan keatas dan berbelok
kebelakang sebagai mesokolon ke arah posterior abdomen dan sebagian

28
peritoneum membentuk mesentrium usus halus. Omentum besar dan kecil,
mensenterium sebagian besar organ-organ abdomen dan pelvis, dan
membentuk perbatasan halus (Pearce, 2009).
C. Klasifikasi Peritonitis
a. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi
dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi
menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik : misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
(Smeltzer & Bare, 2001)
Merupakan infeksi pada peritoneum yang tidak berhubungan
dengan abnormalitas organ intra-abdominal dan terjadi secara spontan dan
penyebab utama kasus peritonitis primer ini adalah oleh karena infeksi
bakteri. (Marshall, 2004; Debas, 2004; Malangoni & Inui, 2006).
Peritonitis ini sering ditemukan pada pasien sirosis hepatic oleh karena
stadium akhir dari penyakit hepar yang lebih dikenal sebagai
Spontaneuous Bacterial Peritonitis (SBP). Sistem retikuloendotelium
hepar dikenal sebagai bagian utama untuk pemindahan bakteri dari darah,
dan penelitian pada binantang memberi kesan bahwa penghancuran bakteri
oleh sistem retikuloendotelium terganggu pada pasien dengan penyakit
sirosis hepatis dan penyakit hepar oleh karena alkoholik, dimana terjadi
penurunan aktivitas fagositik. (Marshall, 2004; Mazuski & Solomkin,
2009; Johnson, et al., 1997)
Pasien sirosis dengan asites menunjukkan timgginya kerentanan
terhadap infeksi bakteri, hal ini terutama disebabkan karena mekanisme
pertahanan tubuh yang inadekuat. Ada beberapa faktor predisposisi untuk
SBP, yaitu : tingkat keparahan penyakit hepar, menurunnya protein dan
tingkat C3 dalam cairan asites, perdarahan akut gastrointestinal, infeksi

28
saluran kemih, factor iatrogenic, dan episode SBP sebelumnya. (Caruntu
& Benea, 2006). Peritonitis primer juga dapat terjadi pada sindrom
nefrotik dan systemic lupus erythematosus (SLE). (Debas, 2004). Anak-
anak dengan sindrom nefrotik atau yang memiliki asites berisiko tinggi
terhadap terjadinya peritonitis ini. (Daley, 2013).
Peritonitis primer juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan
kateter peritoneum, seperti pada kateter dialysis peritoneum, dimana
terdapat akses masuknya benda asing ke dalam rongga peritoneum. Tipe
peritonitis ini kadang dianggap menyebabkan peritonitis primer, atau
mungkin diuraikan tersendiri atau dipisahkan dari peritonitis primer.
(Mazuski & Solomkin, 2009). Pasien ditemukan dengan gejala demam,
myeri abdomen, nyeri tekan, dan sering ditemukan tanda dekompensasi
hepatic. Diagnosis ditegakkan dengan parasintesis, yang menunjukkan
infeksi monomikrobial (Escherichia coli, Klebsiella, atau streptococcus).
Cairan yang diperoleh dari parasintesis diperiksa dengan mikroskop
dengan pewarnaan Gram dan dkultur. Cairan tersebut bersifat asam (pH
7,3 atau kurang) dan mengandung lebih dari 500 sel darah putih/ml,
dimana lebih dari 25% adalah sel polimorfonuklear. Terapinya adalah
nonoperatif, menggunakan antibiotik intravena yang tepat. Angka
mortalitas dapat mencapai lebih dari 50% dan kebanyakan kasus
disebabkan oleh karena gagal hepar atau gagal ginjal. (King, 2007; Debas,
2004).
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder terjadi oleh karena masuknya mikroorganisme
ke dalam rongga peritoneum melaui defek dinding intestinal atau organ
abdomen lain sebagai akibat terjadinya perforasi, inflamasi, iskemia, atau
trauma (tumpul, tajam, atau iatrogenic) pada organ abdomen dan/ atau
dinding organ. Peritonitis sekunder juga dapat terjadi oleh karena
komplikasi pasca operasi (misalnya, kebocoran pada anastomosis usus).
(Veen, 2006).

28
Peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling sering
ditemukan. Beberapa kondisi yang paling sering menyebabkan peritonitis
sekunder antara lain appendicitis, diverticulitis, kolesistitits, trauma tajam
yang mengenai usus, dan perforasi gaster atau ulkus duodenum. (King,
2007; Hau, 2003) Abses intra-abdominal mungkin berkembang mengikuti
peritonitis sekunder. Pada kenyataannya, abses intra-abdominal adalah
hasil akhir dari respon host untuk peritonitis sekunder. Dengan demikian,
setelah kontaminasi rongga peritoneum akibat perforasi dari organ
berongga maka akan memicu mekanisme pertahanan host, yang berfungsi
untuk membatasi pengembangan dan penyebaran infeksi. Bakteri dan
partikel lainnya dengan cepat dihilangkan dari rongga peritoneum melalui
proses pembersihan mekanis, di mana cairan peritoneum beredar di dalam
rongga peritoneum akibat kontraksi diafragma dan diserap ke dalam sistem
limfatik melalui stomata khusus pada permukaan bawah diafragma. Proses
ini mengakibatkan penghapusan sebagian besar inokulum bakteri. Selain
pembersihan mekanis tadi, reaksi inflamasi dengan cepat dihasilkan dalam
rongga peritoneum untuk membantu dalam penghapusan materi infeksius.
(Mazuski & Solomkin, 2009)
Reaksi ini melibatkan pengenalan molekul mikroba patologis oleh
reseptor pola pengenalan pada makrofag di dalam rongga peritoneum, dan
memicu sinyal yang mempromosikan masuknya leukosit PMN dan
kemudian sel mononuklear ke dalam rongga peritoneum dengan cepat.
Sel-sel fagositik ini kemudian menghilangkan organisme patogen dari
rongga peritoneum. Akhirnya, proses sekuestrasi menyebabkan terjadinya
pembatasan infeksi. Penyerapan mikroskopis dihasilkan dari generasi
fibrin dan makromolekul lain yang memerangkap mikroorganisme dan
mungkin juga menutup perforasi saluran gastrointestinal. (Mazuski &
Solomkin, 2009).
Molekul perekat juga mendorong perekatan dari omentum,
mesenterium, dan dinding abdomen satu sama lain, yang menyebabkan
terjadinya pembatasan makroskopik dari proses infeksi. Secara

28
keseluruhan, mekanisme ini menghasilkan pembersihan yang komplit atau
pembentukan infeksi yang terlokalisir, yang dikenal sebagai abses intra-
abdominal. Dalam pengertian ini, maka, abses intra-abdominal merupakan
keberhasilan mekanisme pertahanan host. Sebaliknya, pertahanan lokal
yang buruk, maka infeksi akan menyebar, terjadi peritonitis tersier yang
merupakan kegagalan dari pertahanan normal host. (Mazuski & Solomkin,
2009).
c. Peritonitis tersier
Merupakan infeksi yang persisten atau berulang dari rongga
peritoneum setelah dilakukannya terapi peritonitis sekunder. Peritonitis
tersier timbul setidaknya dalam 48 jam setelah pengobatan yang
tampaknya berhasil pada peritonitis. (Lamme, 2005). Peritonitis tersier
merupakan tahap lanjut dalam peritonitis, ketika tanda-tanda klinis
peritonitis dan sistemik dari sepsis (misalnya, demam, takikardia, takipnea,
hipotensi, indeks jantung meningkat, resistensi vaskuler sistemik yang
rendah, leukopenia atau leukositosis, dan kegagalan multiorgan) bertahan
setelah pengobatan untuk peritonitis sekunder dan tidak ditemukannya
organisme atau adanya organiseme dengan virulensi yang rendah.
(Johnson, et al., 1997).
Peritonitis ini terjadi ketika manajemen source control, terapi
antibiotik, atau imunitas pasien tidak adekuat, sehingga disfungsi organ
menetap atau memburuk. Hal ini dibedakan dari peritonitis primer atau
sekunder karena flora mikroba sangat yang berbeda, hubungannya dengan
disfungsi organ, dan kematian yang signifikan. (King, 2007; Marshall,
2004).
Beberapa pasien menunjukkan gejala abdominal yang signifikan.
Untuk itu, pemeriksaan radiologi, terutama CT Scan berperan penting
dalam mendeteksi. Kebanyakan pasien memerlukan intervensi surgikal,
tetapi angka mortalitas untuk peritonitis ini tinggi, yaitu lebih dari
50%.(King, 2007). Evaluasi radiografi pasien dengan peritonitis yang
rekuren sering menunjukkan adanya beberapa, pengumpulan cairan intra-

28
peritoneal. Pengobatannya sulit, respon terhadap antibiotik sistemik
rendah, dan prosedur drainase perkutan yang berulang atau upaya agresif
pada operasi abdomen tidak memiliki dampak yang signifikan pada klinis
pasien. Sebuah penelitian melaporkan besarnya kematian terkait dengan
isolasi Candida atau Enterococcus dari pasien dengan peritonitis yang
mungkin mencerminkan gejala sisa dari disfungsi organ lebih lanjut pada
pasien yang kritis. (Marshall, 2004). Tergantung pada tingkat lokalisasi
proses infeksi, peritonitis biasanya diklasifikasikan menjadi peritonitis
lokal (intra-peritoneal abses) atau difus. Risiko kematian secara langsung
berkaitan dengan tingkat disfungsi organ. (Marshall, 2004).
D. Etiologi Peritonitis
a. Peritonitis primer (Spontaneus)
Peritonitis berarti suatu respon inflamasi dari peritoneum dalam
rongga abdomen dalam hal aktivasi kaskade mediator lokal dengan
stimulus yang berbeda. Oleh karena itu, agen infeksius (bakteri, virus) dan
non-infeksius (bahan kimia : empedu) dapat menyebabkan peradangan
pada lapisan peritoneum. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi ke
dalam lingkungan rongga peritoneum yang steril melalui perforasi usus,
misalnya ruptur dari apendiks dan divertikel kolon. Bahan kimia yang
dapat mengiritasi peritoneum, misalnya asam lambung dari perforasi
gaster atau empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi hepar.
Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga
pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. (Akujobi, et al.,
2006).
Etiologi peritonitis juga tergantung pada jenis peritonitis. (Daley.,
2013). Peritonitis primer pada pasien dewasa disebabkan oleh penyakit
sirosis hepatis dan asites, sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh
sindroma nefrotik dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Pasien asites
yang disebabkan oleh penyebab lain, sepreti gagal jantung, keganasan,
penyakit autoimun, juga berisiko tinggi untuk berkembangnya peritonitis
ini. (Zinner, et al., 1997) Peritonitis primer juga dapat disebabkan oleh

28
karena penggunaan kateter peritoneum, seperti pada kateter dialisis
peritoneum. (Mazuski & Solomkin, 2009).
b. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker
serta strangulasi usus halus (Brian, 2011).
Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2012) peritonitis juga bisa
disebabkan secara langsung dari luar seperti operasi yang tidak steril,
terkontaminasi talcum veltum, lypodium, dan sulfonamide, serta trauma
pada kecelakaan seperti ruptur limpa, dan ruptur hati.
Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyakit pada organ
abdomen, trauma pada abdomen, dan operasi intra-abdominal sebelumnya.
Penyakit pada organ abdomen, contohnya inflamasi usus (appendicitis dan
divertikulitis), strangulasi obstruksi (volvulus dengan strangulasi, closed-
loop adhesive obstruction), perforasi (gaster, neoplasma (karsinoma
kolon), duodenum), dan vascular (ischemic colitis). Trauma pada abdomen
dapat berupa trauma tajam, tumpul, atau iatrogenik. Peritonitis sekunder
akibat komplikasi operasi, contohnya kebocoran anastomosis usus. (Mieny
& Mennen, 2013).
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier timbul akibat gagalnya terapi peritonitis atau
karena imunitas pasien yang tidak adekuat. Gangguan sistem imun yang
signifikan pada pasien dengan peritonitis teriser menyebabkan
mikroorganisme dengan patogenik yang rendah untuk proliferasi dan
menyebabkan penyakit ini. (King, 2007; Marshall, 2004; Lopez, et al.,
2011).
E. Manifestasi Klinis Peritonitis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara

28
bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes
psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi
berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat
biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan
atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan
vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric. (Ardi, 2012)
Gejala Klinis menurut Ahmad H. Asdie, 1995: 1612
a. Nyeri abdomen akut dan nyeri tekan
b. Badan lemas
c. Peristaltik dan suara usus menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi

28
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.

Menurut Jitowiyono dan Kristiayanasari (2011) tanda dan gejala dari


peritonitis yaitu syok (neurologic dan hivopolemik) terjadi pada penderita
peritonitis umum, demam, distensi abdomen, nyeri tekan abdomen, bising
usus tidak terdengar, nausea dan vomiting.

F. Patofisiologi Peritonitis
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler
dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini
segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan

28
yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang
lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada
ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra
abdomen (peningkatan aktivitas inhibitor activator plasminogen) dan fibrin
karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa
merupakan reaksi penting pertahanan tubuh tetapi sejumlah bakteri dapat
dikarantina dalam matriks fibrins. Matrix fibrin tersebut yang memproteksi
bakteri dari mekanisme pembersih tubuh (Muttaqin, 2001).
Efek utama dari fibrin mungkin berhubungan dengan tingkat
kontaminasi bakteri peritoneal. Pada study bakteri campuran, hewan
peritonitis mengalami efek sistemik defibrinogenisasi dan kontaminasi
peritoneal berat menyebabkan peritonitis berat dengan kematian dini ( < 48
jam ) karena sangat sepsis ( Muttaqin, 2011).

28
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat menyebabkan infeksi
paristen dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses
melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses kelingkungan yang steril.
Pertahanan tubuh tidak dapat mengeleminasi agen infeksi dan mencoba
mengontrol penyebaran melalui system kompartemen. Proses ini dibantu oleh
kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum yaitu fagositosis.
Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal ( yang disebabkan oleh penyakit
visceral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri
telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal
berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insiden pembentukan
abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatkan angka kematian. Studi
terbaru menunjukkan bahwa infeksi nasokomial di organ lain (pneumonia,
spesies, infeksi luka) juga menigkatkan kemungkinan pembentukan abses
abdomen berikutnya (Muttaqin, 2011).
Faktor-faktor virulensi bakteri akan menghambat proses fagositosis
sehingga menyebabkan pembentukan abses. Faktor-faktor ini adalah
pembentukan kapsul, pembentuka fakultif anaerob, kemampuan adhesi, dan
produksi asam suksinat. Sinergi antara bakteri dan jamur tertentu mungkin
juga memainkan peran penting dalam merusak pertahanan tubuh. Sinergi
seperti itu mungkin terdapat antara B fagilis dan bakteri gram negative
terutama E. Coli, dimana ko invokulasi bakteri secara signifikasi
meningkatkan perforasi dan pembentukan abses ( Muttaqin, 2011).
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan sebuah kumpulan
cairan yang terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, mentum dan
sebelah organ viseral. Mayoritas abses terjadi selanjutnya pada peritonitis.
Sekitar setengah dari pasien mengembangkan abses sederhana, sedangkan
separuh pasien yang lain mengembangkan sekunder abses kompleks fibrinosa
dan organisasi dari bahan abses. Pembentukan abses terjadi didaerah
perisplenik, kantong yang lebih kecil, dan puteran usus kecil, serta
mesenterium (Muttaqin, 2011).

28
Selanjutnya abses terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel
menjadi satu permukaan sekitarnya. Perleketan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang pula tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa. Bila
bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka
aktivitas motolitas usus menurun dan meningkatkan resiko ileus peristaltic
(Muttaqin, 2011).
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka akan menyebabkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator misal interleukin, dari kegagalan organ. Oleh
karena tubuh mencoba untuk mengompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi badikardi
begitu terjadi syok hipovolamik (Muttaqin, 2011).
Organ – organ di dalam vakum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh parmeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga
peritoneum dan lumen–lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal
dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemik bertambah dengan adanya kenaikan suhu, intake
yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di rongga peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha
pernafasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan perfusi (Muttaqin, 2011).

G. Komplikasi Peritonitis
Menurut Kristiyanasari (2012) ada beberapa komplikasi yang dapat
terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini.
 Septikemia dan syok septic.
 Syok hipovolemik.

28
 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem.
 Abses residual intraperitoneal.
 Portal Pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut.
 Adhesi.
 Obstruksi intestinal rekuren

H. Penatalaksanaan Peritonitis
a. Menurut Kristiyanasari (2012) ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang
perlu diketahui yaitu test laboratorium : leukositosis, hematokrit
meningkat dan asidosis metabolik meningkat. Untuk pemeriksaan X-Ray :
foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), akan didapatkan
ileus, usus halus dan usus besar dilatasi, dan udara dalam rongga abdomen
terlihat pada kasus perforasi. Menurut Muttaqin dan Sri (2011)
pemeriksaan dapat membantu dalam mengevaluasi kuadran kanan misal
prihepatic abses, kolesistitis biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst dan
kuadran kiri misal appendiksitis, abses tuba ovarium, abses douglas, tetapi
kadang pemeriksaan terbatas karena adanya nyeri distensi abdomen dan
gangguan gas usus, USG juga dapat untuk melihat jumlah cairan dalam
peritoneal.
b. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok
dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan
vena yang berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti
elektrolit dan kehilangan protein. Lakukan nasogastric suction melalui
hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus. Resusitasi
dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral,
dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
c. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:

28
 Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5
mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV
setiap 8 jam
 Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik,
dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
d. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis
yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar
tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka
dapat diberikan antibiotka ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,
sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan
dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
e. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum,
dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase
berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus
(misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.
f. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah
peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor
adalah insisi dan drainase terhadap abses. (Saifuddin, Abdul Bari.2008.
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo).
g. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah

28
yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat
inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah
sebagai berikut :
 Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama
dari penatalaksanaan medik.
 Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
 Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi
abdomen.
 Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
 Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
 Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian
utama).
 Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi ( appendks ), reseksi,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
 Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.

Menurut Price 2009 pemeriksaan diagnostic peritonitis dibagi menjadi


beberapa pemeriksaan yaitu :

1. Test laboratorium
a) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil

28
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan
atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma
yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.
b) Hematokrit meningkat
c) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada
pasien peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
2. X. Ray
Dari tes X Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral), didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang
untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen
akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan
proyeksi anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan,
dengan sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang
dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan
ukuran kaset dan film ukuran 35×43 cm. Sebelum terjadi peritonitis,
jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka
pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis
antara lain:
a) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada
tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran

28
usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus,
gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
b) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan
perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase
usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi,
sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di
kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra
diafragma dan air fluid level.
c) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
a) Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan
nafas berupa secret, lidah jatuh atau benda asing
b) Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan
nilai berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya.
c) Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji
keseimbangan cairan dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output
dan intake klien.
d) Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan
GCS, adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah
A : Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri

28
U: Tidak Ada Nyeri
e) Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat
diketahui kelaianan yang muncul, pada abdomen akan tampak
distensi sebagai akibat perubahan sirkulasi, penumpukan cairan
dan udara yang tertahan dilumen.
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap
yang paling enentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian
adalah pengumpulan data (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 24).
1) Identitas : Nama pasien, umur, jenis kelamin, suku /bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di
bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan
iskemia, peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom
nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis
dengan asites.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna,
komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan akibat
pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan
ruptur hati.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis
ini disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka
kemungkinan diturunkan ada.
6) Pemeriksaan Fisik
a) Sistem pernafasan (B1)

28
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot
bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b) Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan
hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan
irama jantung irregular akibat pasien syok (neurogenik,
hipovolemik atau septik), akral : dingin, basah, dan pucat.
c) Sistem Persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak
namun hanya mengalami penurunan kesadaran.
d) Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e) Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit
dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti
obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain
itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan
peristaltic usus turun (<12x/menit).
Pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring
tenang di tempat tidur, telentang, dengan lutut tertekuk dan
sering dengan pernapasan interkostal yang terbatas karena
gerakan apapun akan memperberat nyeri abdomen Keadaan
umum pasien tampak lemah. (Lange & Lederman, 2010). Suhu
tubuh berkisar antara 38 ͦC - 40 ͦC, bahkan bisa mencapai 42°C.
Suhu subnormal 35°C merupakan klinis pasien dengan sepsis
intraabdomen atau syok septik. (Mandel, et al., 2009). Demam
adalah mekanisme endogen dasar untuk membantu melawan
infeksi. Bahkan, peningkatan suhu tubuh yang biasanya
ditemukan selama infeksi bakteri, termasuk peritonitis,
tampaknya menjadi penting untuk mengoptimalkan pertahanan
host terhadap bakteri. (Feldman, et al., 2010).

28
Pemeriksaan denyut nadi menunjukkan takikardia yang
lemah. and a diminished palpable peripheral pulse volume are
indicative of hypovolemia. Tekanan darah dipertahankan dalam
batas normal pada awal proses penyakit, kemudian seiring
berlanjutnya proses peritonitis tekanan darah turun ke tingkat
shock. Respirasi semakin cepat dan dangkal untuk memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan dan untuk mengoreksi asidosis
yang timbul. (Wittmann, 2010; Mandel, et al., 2009)
Sklera dan konjungtiva dapat terlihat ikterus atau pucat.
Dada diperkusi dan diauskultasi untuk menyisihkan
pneumonia, khususnya pada lobus bawah, yang dapat
mengakibatkan temuan abdominal. Pemeriksaan jantung harus
dapat menyisihkan ada tidaknya gagal jantung kongestif atau
penyakit katup jantung, meskipun terapi cairan yang agresif
diperlukan dan gagal jantung kongestif yang akut dengan
pembesaran hepar dan peregangan kapselnya dapat
menyebabkan nyeri perut. Pada pemeriksaan abdomen biasanya
ditemukan tanda-tanda inflamasi peritoneum. (Feldman, et al.,
2010; Lange & Lederman, 2010)
Inspeksi dan Auskultasi. Abdomen diinspeksi untuk
mencari tanda-tanda distensi dan jejas. Perut akan tampak
distensi, seiring dengan perkembangan ileus atau asites.
(Feldman, et al., 2010; Awori, et al., 1999). Pasien diminta
untuk menunjukkan titik yang paling nyeri pada perutnya
dengan satu jari. Auskultasi dimulai dari kuadran yang
berlawanan dari titik tersebut. Auskultasi dilakukan untuk
menentukan apakah bising usus hilang, normal, atau
meningkat. Bising usus yang meningkat menandakan obstruksi
sebagai proses primer penyakit atau sebagai bagian dari proses
inflamasi lokal. Sering kali sebuah fokus inflamasi sebagian
ditutup oleh usus kecil. Ileus lokal muncul sebagai hasil dari

28
obstruksi fungsional. Pada peritonitis bising usus akan menurun
dan hampir tidak terdengar. (Feldman, et al., 2010; Lange &
Lederman, 2010).
Palpasi dan Perkusi. Palpasi pada abdomen dilakukan
pada tahap terakhir dari pemerikaan, adalah untuk mengetahui
apakah nyeri yang dihasilkan oleh proses intraabdomen
menyebabkan inflamasi peritoneum parietal. (Feldman, et al.,
2010). Pemeriksaan abdomen pada pasien dengan asites
menunjukkan adanya tanda shifting dullness. Palpasi dimulai
dari kuadran paling jauh dari titik yang paling nyeri. Kegunaan
dari palpasi abdomen adalah untuk mengkonfirmasi lokasi yang
paling nyeri dan tekanan dari berbagai bagian dari dinding
abdomen anterior. Untuk melakukan hal ini, pemeriksa mulai
dari bagian perut yang tidak menunjukkan gejala dan menekan
sampai daerah yang paling nyeri. Pada pasien dengan
peritonitis akut akan ditemukan kekakuan pada otot dinding
abdomen dengan tanpa perbedaan yang berarti dari satu
kuadran dengan kuadran yang lain.
Pasien dengan nyeri lokal dan peningkatan tonus
dinding abdomen yang terlokalisasi, pertahanan volunter dan
involunter harus dibedakan. (Mieny & Mennen, 2013;
Wittmann, 2010) Kekakuan dari otot-otot abdomen dihasilkan
oleh pertahanan volunter dan juga refleks spasme otot. Refleks
spasme otot dapat menjadi sangat kuat sehingga perut dapat
kaku seperti papan, seperti yang biasa tampak pada peritonitis
yang disebabkan oleh perforasi dari ulkus peptikum. (Mandel,
et al., 2009). Pertahanan volunter pada penemuan nyeri tekan
sedang dapat salah diinterpretasikan sebagai kekakuan jika
pasien tampak begitu gelisah dan palpasi terlalu kuat. Biasanya
tidak perlu terburu-buru untuk memeriksa rebound tenderness
pada saat palpasi, jika sudah dapat ditemukan pada saat

28
dilakukan auskultasi dan perkusi. Palpasi yang terlalu kuat
dapat menyebabkan pasien kesakitan sehingga mereka
kemudian tidak mau bekerja sama untuk pemeriksaan
selanjutnya. (Lange & Lederman, 2010)
Hiperesonan disebabkan oleh gas yang terakumulasi
pada usus yang distensi, biasanya terdengar pada perkusi.
(Wittmann, 2010). Tidak adanya pekak hati pada perkusi
menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga peritoneum.
Pneumoperitoneum akibat ruptur organ berongga dapat
menyebabkan menurunnya pekak hati pada perkusi. (Mandel,
et al., 2009).
f) Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut
dengan aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas,
kekuatan otot mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun
akibat kekurangan volume cairan.
7) Analisa Data
2. Diagnosa Keperawatan
1. (00132) Nyeri Akut (Domain 12, Kelas 1)
2. (00007) Hipertermia (Domain 11, Kelas 6)
3. (00002) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(Domain 2, Kelas 1)
4. (00011) Konstipasi (Domain 3 Kelas 2)
5. (00195) Resiko Ketidakseimbangan elektrolit (Domain 2 , Kelas 5)

28
3.3 Intervensi Keperawatan dan Rasional

Rencana Perawatan
Dx Keperawatan Intervensi
Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Rasional
(NIC)

28
1.Nyeri Akut (00132)  Paint Level  Paint Management  Paint Management
Domain 12 : kenyamanan  Paint control 1. Kaji nyeri secara komprehensif 1. dapat mempermudah dalam
Kelas 1 : Kenyamanan fisik  Comfort level termasuk lokasi, karakteristik, penegakan diagnostik yang
durasi, frekuensi, kualitas dan tepat dan menemukan
Tujuan : Setelah dilakukan
Definisi : pengalaman sensori dan faktor presipitasi. abnormalitas.
tindakan keperawatan selama …
emosional yang tidak menyenangkan yang 2. Observasi reaksi nonverbal
x24 jam Nyeri akut dapat diatasi
muncul akibat kerusakan jaringan yang dari ketidaknyamanan 2. menemukan adanya
dengan
actual atau potensial atau di gambarkan abnormalitas pada klien yang
dalam hal kerusakan sedemikian rupa Kriteria Hasil : mngakibatkan
(international association for the study of 3. gunakan teknik komunikasi ketidaknyamanan
paint) : awitan yang tiba-tiba atau lambat 1. Tanda-Tanda vital dalam terapeutik untuk mengetahui 3. agar memperrmudah dalam
dari intensitas ringan hingga berat dengan rentang normal pengalaman nyeri pasien pemeriksaan dan menganalisis
akhir yang dapat di antisipasi atau 2. Mampu mengontrol nyeri 4. kaji kultur yang mempengaruhi keluhan klien.
diprediksi berlangsung 3. Melaporkan bahwa respon nyeri 4. menemkan kelainan atau
nyeri berkurang dengan penyebab nyeri yang

< 6 bulan.
menggunakan manajemen nyeri 5. evaluasi pengalaman nyeri dirasakan klien

28
Batasan karakteristik : 4. Mampu mengenali nyeri (skala, masa lampau 5. mempermudah dalam
1. Perubahan selera makan intensitas, frekuensi dan tanda pemeriksaan lanjutan atau
2. Perubahan tekanan darah nyeri) mengetahui letak nyeri yang
3. Perubahan frekuensi jantung 5. Menyatakan rasa nyaman timbul yang pernah terjadpada
4. perubahan frekuensi jantung setelah nyeri berkurang 6. evaluasi bersama klien dan tim masa lampau.
5. perubahan frekuensi pernapasan kesehataan lain tentang 6. mempermudah dalam
6. Diaforesis ketidakefektifan kontrol nyeri penaganan lanjutan jika terjadi
7. perilaku distraksi (mis, berjalan masa lampau. ketidakefektisan kontrol nyeri.
mondar-mandir mencari orang lain 7. bantu klien dan keluarga untuk 7. membantu dalam proses
atau aktivitas lain yang berulang) mencari dan menemukan penyembuhan nyeri pada klien
8. mengekspresikkan perilku (mis, dukungan dengan adanya dukungan yang
gelisah, merengek, menangis) dapat menangani nyeri klien.
9. masker wajah (mis, mata kurang 8. membantu klien agar tetap
bercahaya, tampak kacau, gerakan 8. kontrol lingkungan yang dapat dalam keadaan nyaman dan
mata berpencar atau tetap pada satu mempengaruhi nyeri seperti membantu dalam proses
fokus meringis) suhu ruangan, pencahayaan penyembuhan.
10. sikap melindungi area nyeri dan kebisingan.
11. fokus menyempit (mis, gangguan 9. pilih dan lakukan penanganan 9. agar mempermudah dalam
persepsi nyeri, hambatan proses nyeri (farmakologi, dan non proses penyembuhan klien atau
berpikir, penurunan interaksi dengan farmakologi dan interpersonal) mengatasi nyeri pada klien.

28
orang dan lingkungan) 10. evaluasi keefektifan kontrol
12. indikasi nyeri yang dapat diamati nyeri 10. melihat adanya perkembangan
13. perubahan posisi untuk menghindari klien dalam mengatasi atau
nyeri mengontrol nyeri.
14. sikap tubuh melindungi 11. Kolabaorasi dengan dokter jika 11. Dapat mempermudah dalam
15. dilatasi pupil ada keluhan dan tindakan nyeri melakukan pemeriksaan
16. melaporkan nyeri secara verbal tidak berhasil. kembali menngenai maslah
17. gangguan tidur nyeri yang belum teratasi.
Faktor yang berhubungan :  Analgesic Administration
1. Agens cedera (mis, biologis, zat kimia) 1. tentukan lokasi,  Analgesic Administration
2. fisik dan psikologis karakteristik,kualitas, dan 1. agar dapat membatu klien
derajat nyeri sebelum dalam proses penyembuhan.
pemberian obat.
2. cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi. 2. agar mengurangi adanya
3. cek riwayat alergi kesalahan dalam pemberian
obat.
4. plih analagesik yang 3. mengetahui adanya alergi obat
diperlukan atau kombinasi pada klien.

28
dari analgesik ketika 4. membatu dalam pemilihan
pemberian lebih dari satu. obat yang berpengaruh pada
5. tentukan pilihan analgesik klien sehingga nyeri dapat di
tergantung tipe dan netralisir pada saat pembearian
beratnya nyeri lebih dari satu obat.
6. monitor vital sign sebelum 5. membantu proses
dan sesudah pemberian peneebatkanan nyeri pada
analgesik pertama kali klien pada saat nyeri timbul.
6. melihat adanya abnormalitas
7. berikan analgesik tepat pada klien pada saat
waktu terutama saat waktu pemberian obat sebelum dan
nyeri hebat sesudah pertama kali.
8. evaluasi efektifitas 7. membantu klien pada saat
analgesik,tandadan gejala. penyembuhan atau pada saat
nyeri hebat.
8. melihat apakah obat nyeri
yang diberikan pada klien
efektif atau tidak pada tanda
dan gejala yang timbul.

28
2.Hipertermia (00007)  Thermoregulation  Fever Treatment  Fever Treatment
Domain 11 : Keamanan/ 1. Monitor suhu sesering mungkin 1. Menjaga agar suhu pasien
Tujuan : Setelah dilakukan
Perlindungan 2. Monitor IWL tetep dalam keadaan stabil.

28
Kelas 6 : Termoregulasi tindakan keperawatan selama … 2. Menjaga agar cairan dalam
x24 jam Hipertermia dapat diatasi tubuh klien tetap dalam
Definisi : Peningkatan suhu tubuh di atas dengan 3. Monitor warna dan suhu kulit keadaan stabil.
kisaran normal 3. Menjaga apabila ada
Kriteri Hasil :
abnormalitas yang terjadi pada

1. Suhu tubuh dalam rentang warna dan suhu kulit klien.


Batasan Karakteristik : normal 4. Monitor tekanan darah, nadi dan 4. Menjaga apabila ada kelainan
1. Konvulsi 2. Nadi dan RR dalam rentang RR atau abnormalitas pada TTV.
2. Kulit kemerahan normal 5. Menjaga WBC, Hb, dan Hct
3. Peningkatan suhu tubuh di atas kisaran 3. Tidak ada perubahan warna 5. Monitor WBC, HB, dan Hct tetap dalam keadaan normal.
normal kulitb dan tidak ada pusing 6. Mejaga klien agar tetap dalam
4. Kejang keadaan suhu normal.
5. Takikardi 6. Berikan anti piretik  Temperature Regulation
6. Takipnea 1. Mencegah apbila terjadi
7. Kulit terasa hangat hipetermi dan hipotermi.
 Temperature Regulation 2. Menjaga agar suhu klien tetap
Faktor yang berhubungan: 1. Monitor tanda-tanda hipertermi dalam keadaan normal.
1. Anastesia dan hiportermi
2. Penurunan respirasi 2. Selimuti pasien untuk mencegah  Vital Sign Monitoring
3. dehidrasi hilangnya kehangatan tubuh 1. Menjaga agar TTV klien tetap

28
4. pemajanan lingkungan yang panas dalam keadaan normal.
5. penyakit  Vital Sign Monitoring 2. Mejaga VS klien tetap dalam
6. pemakaian pakaian yang tiak sesuai 1. Monitor TD, Nadi, suhu dan RR keadaan normal pada saat
dengan suhu lingkungan berbaring,duduk atau berdiri.
7. peningkatan laju metabolisme 2. Monitor VS saat klien berbaring, 3. Mejaga TTV klien
8. medikasi duduk atau berdiri sebelum,selama dan setelah
9. trauma aktivitas agar tetap dalam
10. aktivitas berlebihan keadaan stabil.
3. Monitor TD, Nadi, RR Sebelum,
selama dan setelah aktivitas

3.Ketidakseimbangan nutrisi kurang  Nutrition Management  Nutrition Management


dari kebutuhan tubuh (00002)  Nutritional Status : food and 1. Kaji adanaya alergi makanan. 1. Melihat adanya alergi makanan
Domain 2 : Nutrisi fruit 2. Kolaborasi dengan ahli gizi pada klien.
Kelas 1 : Makan  Intake untuk menentukan jumlah kalori 2. Menentukan kebutuhan gizi yang
 Nutritional status : Nutrient dan nutrisi yang dibutuhkan sesuai pada klien.
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup intake klien.
untuk memenuhi kebutuhan metabolik  Weight Control 3. Yakinkan diet yang dimakan 3. Memperbaiki Diet yang dijalankan
mengandung tinggi serat untuk klien agar mengonsumsi makanan
Tujuan : Setelah dilakukan
Batasan Karakteristik : mencegah konstipasi. yang mengandung tinggi serat
tindakan keperawatan selama …

28
1. Kram Abdomen x24 jam Ketidakseimbangan untuk mecegah kelainan seperti
2. Nyeri abdomen nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh konstipasi.
3. Menghindari makanan dapat diatasi dengan 4. Memperbaiki gizi klien agar
4. Berat badan 20% atau lebih di bawah 4. Berikan makanan yang abnormalitas yang terjadi dapat
Kriteria Hasil :
berat badan ideal mengandung gizi tinggi, (sudah teratasi.
5. Kerapuhan kapiler 1. Peningkatan berat badan sesuai di konsulatsikan pada ahli gizi).
6. Diare dengan tujuan. 5. Ajarkan klien bagaimana 5. Meningkatakan gizi klien dengan
7. Kehilangn rambut berlebihan 2. Menunjukkan peningkatan membuat catatan makanan membuat catatan makanan harian
8. Bising usus hiperaktif fungsi pengecapan darn harian. agar kebutuhan gizi klien teratasi.
9. Kurang makanan menelan. 6. Menjaga jumlah nutrisi dan kalori
10. Kurang informasi 3. Mampu mengidentifikasi 6. Monitor jumlah nutrisi dan agar tetap dalam keadaan normal.
11. Kurang minat pada makanan kebutuhan nutrisi kandungan kalori. 7. agar klien mampu memahami
12. Penurunan berat badan dengan asupan 4. Tidak terjadi penurunan berat kebutuhan nutrisinya.
makanan adekuat badan yang berarti 7. Berikan informasi tentang
13. Kesalahan konsepsi kebutuhan nutrisi. 8. melihat apakah klien sudah mampu
14. Kesalahan informasi 8. Kaji kemampuan klien untuk dalam menangani kebutuhan
15. Membran mukosa pucat mendapatkan nutrisi yang nutrisinya.
16. Ketidakmampuan memakan makanan diperlukan.  Nutrition Monitoring
17. Tonus otot menurun 1. Mejaga BB klien agar tetap dalam
18. Mengeluh gangguan sensasi rasa  Nutrition Monitoring 2. Melihat adanya interaksi yang

28
19. Mengeluh asupan makanan kurang 1. BB klien dalam batas normal terjadi pada anak atau orang tua
dari RDA (Recommended daily dan Monitor adanya penurunan selama makan.
allowance) BB 3. Dapat menemukan abnormalitas
20. Cepat kenyang setelah makan 2. Monitor interaksai anak atau keadaan normal yang terjadi pada
21. Sariawan rongga mulut orang tua selama makan. klien selama makan dan pengaruh
22. Steatorea 3. Monitor lingkungan selama lingkunagan sekitar yang
23. Kelemahan otot pengunyah makan ditimbulkan.
24. Kelemahan otot untuk menelan 4. Dapat menemukan Abnormalitas
yang terjadi pada klien jika klien
Faktor yang berhubungan : mengalami mual dan muntah.
1. Faktor biologis 4. Monitor mual dan muntah. 5. Melihat adanya pertumuhan dan
2. Faktor ekonomi perkembangan pada klien setelah
3. Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi dilakuakan tindakan atau
nutrient 5. Monitor pertumbuhan dan penanganan.
4. Ketidakmampuan untuk mencerna perkembangan . 6. Dapat menemukan Abnormalitas
makanan yang terjadi pada saat terjadi
5. Ketidakmampuan menelan makanan edema, hipermik, hipertonik papila
6. Faktor psikologis lidah dan cavitas oral.
6. Catat adanya edema, hipermik,
hipertonik papila lidah dan

28
cavitas oral.

4.(00011) Konstipasi
 Bowel elimination
Domain 3: Eliminasi dan pertukaran  Constipation/ impaction  Constipation/ impaction
 Hydration
Kelas 2 : Fungsi gastrointestinal Management Management

Tujuan : Setelah dilakukan 1. monitor tanda dan gejala 1. Menjaga klien jika tanda dan
Definisi : penurunan pada frekuensi tindakan keperawatan selama … konstipasi. gejala konstipasi timbul kembali.
normal defekasi yang disertai oleh x24 jam Konstipasi dapat diatasi 2. Melihat adnya abnormalitas
kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap dengan. 2. monitor bising usus pada usus
feses atau pengeluaran feses yang kering, 3. Melihat adanya Abnormalitas
keras dan banyak Kriteria Hasil 3. monitor feses : frekuensi, pada feses
konsistensi dan volume 4. dapat menemukan adanya
1. mempertahankan bentuk feses
Batasan Krakteristik : 4. identifiksi faktor penyebab dan faktor penyebab lain yang
lunak setiap 1-3 hari

28
1. nyeri abdomen 2. Bebas dari ketidaknyamanan konstribusi konstipasi bersangkutan mengenai konstribusi
2. nyeri tekan abdomen dengan teraba dan konstipasi konstipasi
resistensi otot 3. mengidentifikasi indikator 5. menjaga agar intake klien tetap
3. nyeri tekan abdomen tanpa teraba untuk mencegah konstipasi dalam keadaan stabil
5. dukung intake cairan
resistensi otot 4. feses lunak dan berbentuk 6. Melihat adanya abnormalitas
4. anoreksia pada konsistensi gerakan usus
6. memantau gerakan usus
5. perubahan pada pola defekasi
termasuk konsistensi,
6. penurunan frekuensi
frekuensi, bentuk, volume dan
7. penurunan volume feses 7. menjaga klien jika terjadi
warna
8. distnsi abdomen penurunan atau frekuensi bising usus
7. konsultasikan dengan dokter
9. rasa tekanan rektal terjadi.
tenteang penurunan atau
10. keletihan umum
kenaikan frekuensi bising usus
11. feses keras dan berbentuk 8. dapat mencegah terjadinya
8. pantau tanda-tanda dan gejala
12. sakit kepala pecahnya usus dan melakuakn
pecahnya usus dan atau
13. bising usus hiperaktif pencegahan.
peritonitis
14. bising usus hiporaktif 9. membatu klien untuk
9. jelaskan etiologi masalah dan
15. peningkatan tekanan abdomen mengetahui penyebab dan tindakan
pemikiran untuk tindakan
16. tidak dapat makan atau mual apa yang akan dilakukan.
untuk pasien
17. nyeri pada saat defekasi
18. tidak dapat mengeluarkan feses 10. Membantu klien dalam
10. mendorong meningkatkan

28
19. muntah asupan cairan pemenuhan cairan .
11. evaluasi profil obat untuk efek 11. Melihat adanya alergi obat
Faktor yang berhubungan : samping gastroinstentinal. atau efek smping yang ditimbulkan
1. Fungsional : obat pada klien.
1.) kelemahan otot abdomen 12. anjurkan klien atau keluarga
2.) kebiasaan mengabaikan dorongan klien untuk mencatat warna, 12. Melihat adanya abnormalitas
defekasi volume, frekuensi dan pada klien mengenai volume,
3.) kurang aktivitas fisik konstitensi tinja frekuensi, dan konsistensi tinja.
4.) kebiasaan defekasi tidak teratur 13. Agar pasien mampu menjaga
2. Psikologis : 13. ajarkan pasien atau keluarga pola asupan nutrisi.
1.) Depresi, srres emosi bagaimana untuk menjaga 14. agar masalah klien dapat
3. Farmakologis : buku harian makanan teratasidengan adanya asupan serat
1.) Anti depresan 14. anjurkan pasien dan keluarga yang tinggi.
2.) diuretik, garam besi untuk diet tinggi serat 15. agar klien dan keluarga dapat
3.) penyalahgunaan laksatif 15. ajarkan pasien atau keluarga memahami sistem proses pencernaan
4.) simpatomimemik tentan proses pencernaan yang normal dan dapat melihat adnya
4. Mekanis : normal abnormalitas.
1.) Ketidakseimbangan elektrolit
2.) kemoroid
3.) Obesitas

28
4.) obstruksi pasca bedah
5.) abses rektal
6.) tumor
5. Fisiologis :
1.) perubahan pola makan
2.) perubahan makanan
3.) penurunan motilitas straktus
gastrointestinal
4.) dehidrasi
5.) ketidakadekuatan hygen oral
6.) asupan serat tidak cukup
7.) asupan cairan tidak cukup
8.) kebiasaan makan buruk

28
5. (00195) Resiko Ketidakseimbangan  Fluid Management  Fluid Management
 Fluid Balance
elektrolit 1. pertahankan catatan intake dan 1. agar asupan nutrisi klien
 Hydration
Domain 2 : Nutrisi output tetap dalam keadaan stabil.
 Intake
Kelas 5 : Hidrasi 2. monitor status hidrasi 2. melihat adanya Abnormalitas
Tujuan : Setelah dilakukan
yang terjadi pada vital sign.
tindakan keperawatan selama …
Definisi : resiko mengalami perubahan 3. Menjaga agar status hidrasi
x24 jam Resiko
kadar elektrolit serum yang dapat 3. monitor vital sign dalam keadaan stabil.
Ketidakseimbangan elektrolit dapat
mengganggu kesehatan 4. menjga terjadinya resiko
diatasi dengan.
4. kolaborasi pemberian cairan kesalahan pada saat

Kriteria Hasil IV pemberian IV.


Faktor resiko : 5. agar status nutrisi klien tetap
1. defisiensi volume cairan 1. tidak ada tanda dehidrasi 5. monitor status nutrisi dalam rentan normal.
2. diare 2. tekanan darah, nadi, suhu 6. Agar intake Oral tetap dalam
3. disfungsi endokrin dalam batasan normal keadaan stabil.
3. elastis turgor kulit baik, 6. dorong masukan oral
4. gangguan mekanisme regulasi
5. efek samping obat membran mukosa lembab dan 7. melihat adanya respon kliean
tidak ada rasa haus yang 7. monitor respon klien terhadap
6. muntah terhadap penambahan cairan.
berlebihan penambahan cairan
8. Melihat adanya abnormalitas
8. monitor berat badan
yang terjadi.

28
28

Anda mungkin juga menyukai