Penulis:
Editor :
Drs. Mujilan, M.Ag.
Materi pembelajaran MPK Agama Islam ini diharapkan dapat membantu mahasiswa
untuk mengembangkan kajian tentang Islam secara komprehensif guna membentuk pribadi
muslim yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, beramal,
berakhlak mulia, memiliki etos kerja yang tinggi, menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-
nilai ajaran agama Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara,
2
serta menjadikan ajaran agama Islam tersebut sebagai landasan berpikir dan berperilaku
dalam pengembangan budaya, seni, iptek, dan profesinya kelak.
DAFTAR ISI
3
hal
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
SEJARAH DAN MAKNA AGAMA ISLAM
Jazirah Arab dibentuk oleh empat persegi panjang yang amat luas, meliputi kurang lebih
seperempat juta mil persegi. Di sebelah utara dibatasi oleh mata rantai daerah-daerah yang
terkenal dalam sejarah disebut daerah Bulan sabit yang subur (Fertile Crescent), yaitu daerah
Mesopotania, Syiria, dan Palestina, dengan tanah perbatasan yang berpadang pasir ; di sebelah
timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Parsi ; di sebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk
Parsi dan Samudera Hindia ; sebelah barat dibatasi Laut Merah. Daerah barat-daya dari
Yaman terdiri dari kota-kota pegunungan yang mengandung banyak air, yang sejak dulu kala
memungkinkan pertumbuhan pertanian dan perkembangan kebudayaannya yang relatif
semakin maju. Sisanya terdiri dari stepa (tanah datar yang luas dan kering) tidak mengandung
air dan merupakan padang pasir, diselingi oleh oasis (tanah subur di tengah gurun pasir) yang
secara kebetulan ada; dan dari beberapa jalan kafilah dan jalan perniagaan. Penduduknya
terutama terdiri dari orang desa nomaden, yang hidup dari peternakan, perniagaan ke daerah
oasis dan daerah tetangganya yang sudah menggarap tanah (Lewis:1994: 1).
Padang pasir negeri Arab ini berjenis-jenis, dan yang terpenting adalah yang disebut
Nufud, yaitu lautan aneka ragam bukit pasir yang selalu bergeser, sehingga merupakan
pemandangan alam dengan lingkungan yang selalu berubah, tanahnya agak keras dan terletak
di daerah yang semakin mendekati Syria dan Irak; daerah stepa yang tanahnya lebih pepat,
yang kebetulan air hujan dapat mengairinya, menghasilkan tanaman rempah-rempah dan
tanaman keras. Sisa daerah lainnya adalah padang pasir yang sangat luas dan tak dapat
ditembus orang dari arah barat daya. Komunikasi antar daerah sangat terbatas dan sulit, sama
sekali tergantung ada tidaknya wadi (jalur sungai yang mengiring), sehingga penduduk daerah
yang saling berjauhan hanya sedikit sedikit sekali kesempatannya untuk saling mengadakan
kontak satu sama lain (Lewis:1994: 1).
Bagian tengah dan utara jazirah, secara tradisional oleh orang Arab dibagi menjadi tiga
lingkungan (zone). Pertama Tihama, berasal dari bahasa Semit yang berarti tanah rendah,
yaitu tanah datar yang dirombak, dan lereng-lereng disepanjang pantai Laut Merah. Kedua,
Hijaz, yang berarti rintangan, membujur ketimur. Istilah ini asal mulanya diartikan bagi
sederertan pegunungan yang semata-mata memisahkan daerah pantai tanah datar dari plateu
(dataran tinggi) Najd, sebagian terbesar dari padanya adalah padang pasir Nufud (Lewis:1994:
2).
Sejak zaman dahulu kala, negeri Arab telah tumbuh menjadi daerah transit antara
negeri-negeri di Laut Merah dan Timur Jauh, dan sejarahnya berkembang semakin meluas
disebabkan oleh kesibukan lalu-lintas antara Timur dan Barat. Komunikasi ke dalam dan ke
luar jazirah Arab didukung oleh bentuk geografisnya, melewati jalur-jalur tertentu yang
terancam dengan baik. Yang pertama dari jalur-jalur itu ialah jalan raya Hijaz, mulai dari
pelabuhan-pelabuhan Laut Merah dan pos-pos perbatasan Palestina dan Transyordania,
menelusur bagian tengah pantai-pantai Laut Merah terus menuju ke Yaman. Jalan inilah yang
dari masa ke masa ramai oleh deretan kafilah, antara kerajaan Alexandria dan pengganti-
penggantinya di Timur Dekat dengan negeri-negeri Asia Jauh. Di daerah itu pulalah terletak
jalan kereta api Hijaz (Lewis:1994: 2).
Jalur kedua melewati Wadi’d Dawasir, mulai dari penghujung timur-laut Yaman ke
pusat negeri Arab, yang menghubungkannya dengan jalur-jalur lain, yaitu Wadi’s Rumma, ke
selatan Mesopotamia. Jalur tersebut adalah penghubung (medium) yang utama pada masa
dulu, antara Yaman dengan kebudayaan-kebudayaan Asyiria dan Babilonia. Akhirnya wadi’s
Sirhan yang mengaitkan Arab tengah dengan tetangga Syria via oasis Jawf (Lewis:1994: 2).
Para ahli geografi purba membagi Jazirah Arabia sebagai berikut:
a. Arabia Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah barat daya Lembah Syiria.
5
b. Arabia Deserta, yaitu daerah Syiria sendiri.
c. Arabia Felix, yaitu negeri Yaman, yang terkenal dengan nama Bumi Hijau (Amin: 2010:
55).
Ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arab sebagai berikut:
1. Arab Baidah (bangsa Arab yang telah punah), yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap
jejaknya dan tidak diketahui lagi, kecuali karena tersebut dalam kitab-kitab suci, seperti
kaum Ad, dan Samud. Di antara Kabilah mereka yang termasyhur, yaitu Ad, Samud,
Thasam, Jadis, dan Jurhum
2. Arab Baqiyah(bangsa Arab yang masih lestari), dan mereka terbagi dalam dua
kelompok, yaitu sebagai berikut.
a. Arab Aribah, yaitu kelompok Qathan, dan tanah air mereka yaitu Yaman. Di antara
kabilah-kabilah mereka yang terkenal, yaitu Jurhum, Ya’rab, dan dari Ya’rab ini
lahirlah suku-suku Kahlan dan Himyar.
b. Arab Musta’ribah, mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia, dari dusun
sampai ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian tengah jazirah Arabia dan
negeri Hijaz sampai Lembah Syria. Mereka dinamakan Arab Musta’ribah karena
pada waktu Jurhum dari suku Qahtaniyah mendiami Mekah, mereka tinggal
bersama Nabi Ibrahim as. serta ibunya, di mana kemudian Ibrahim dan putra-
putranya mempelajari bahasa Arab1 (Amin: 2010: 56).
Dari merkalah kemudian timbul bermacam kaum dan suku Arab, termasuk kaum
Quraisy, yang tumbuh dari induk suku Adnan Amin: 2010: 56).
Diantara suku-suku yang hidup dan berpengaruh di jazirah Arab adalah suku Quraisy,
dan suku Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, diantaranya yang terkenal adalah Jumh,
Sham, Ady, Makhzum, Taim, Zuhroh, dan marga-marga Qushay bin Kilab, yaitu: Abdud Dar
bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay.
Abdu Manaf memiliki 4 anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib, dan Hasyim. Dari
keluarga Hasyim inilah Muhammad saw lahir. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab
bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhor bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhor bin Nizar bin Ma’ad bin ’Adnan (setelah ’Adnan tidak ada
riwayat yang shahih sampai nabi Adam AS) (Al- Bajuri: 12).
Sedangkan keturunan Nabi Muhammad dari garis ibu adalah Nabi Muhammad bin
Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhroh bin Kilab. Dari Kilab garis keturunan Nabi
Muhammad saw dari garis ibunya Aminah bertemudengan garis keturunan ayahnya Abdullah.
(Al- Bajuri: 12 dan Al- Mubarakfuri: 2013: 24).
Hasyim merupakan pembesar kabilah pada zamannya. Disebut dengan panggilan
Hasyim (penghancur), karena dia rutin meremukkan (hasyama) roti kering untuk dicampur
dengan daging, lalu dijadikan bubur. Bubur itu ia tinggalkan sehingga bisa dimakan banyak
orang. Hingga kemudian, dia dijuluki Hasyim. Adapun nama Aslinya adalah ’Amr. Hasyim-
lah orang yang mencetuskan dua perjalanan musim panas ke Syam. 2 Dia juga dikenal
panggilan Sayyid Al- Bathha’ (pemimpin Al- Bathha)3(Al- Mubarakfuri: 2013:25).
1.1.2. Latar Belakang dan Tujuan Turunnya Agama Islam Kepada Nabi Muhammad
saw.
1
Lih. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hal. 18
2
Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim
panas dan negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu, mereka mendapat, jaminan keamanan dari
penguasa negeri-negeri yang dilewati. Ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena
itu, sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka. (dalam catatan
kaki Al- Mubarakfuri: 2013)
3
al- Bathha’ adalah sebuah kawasan di sekitar Mekkah Al- Mukarramah (penerjemah Sirah Nabi
6
Nabi Muhammad Saw, dilahirkan di tengah-tengah Bani Hasyim di Makkah, pada Senin
pagi, 9 Rabi’ul Awwal (Al-Mubarakfuri: 2013: 27). Adapula yang mengatakan 12 Rabi’ul
Awwal Tahun Gajah, yang bertepatan dengan 22 April 571 M.4 Bidan yang membantu
kelahiran beliau adalah Al- Syifa binti ’Amr, ibunda Abdurrahman ibn ’Auf. Ketika
melahirkan Rasulullah Saw,. terpancarlah cahaya dari Aminah yang menerangi istana-istana
yang ada di Syam. Kemudian Al- Shifa datang mengabarkan kepada Abdul Muththalib
tentang kelahiran Rasulullah Saw. Abdul Muththalib lalu datang dengan sumringah dan
bergembira. Dia membawa dan memasukkan bayi Aminah ke Ka’bah, bersyukur kepada
Allah, lalu mendo’akan dan menamainya Muhammad, dengan harapan cucunya itu menjadi
orang yang terpuji dimasa yang akan datang (Al- Mubarakfuri: 2013: 27).
Abdul Muththalib selanjutnya mengadakan aqiqah dan mengkhitan Muhammad pada
hari ketujuh setelah kelahiran, dan memberi makan kepada orang-orang sebagaimana
kebiasaan bangsa Arab ketika dikaruniai anak (Al- Mubarakfuri: 2013: 27).
Rasulullah kemudian di asuh oleh Ummu Aiman, seorang wanita berkebangsaan
Habsyah (Etiopia) yang merupakan hamba sahaya ayahnya, Abdullah. Ummu Aiman tetap
menjadi hamba sahaya sampai dia masuk Islam, lalu turut berhijrah, dan meninggal dunia
lima atau enam bulan setelah Nabi Muhammad Saw. wafat (Al- Mubarakfuri: 2013:27).
Sejak kecil, Nabi Muhammad Saw. tumbuh dewasa menjadi seorang yang berakal sehat,
energik, dan berperangai baik. Beliau tumbuh dewasa dengan menghimpun segenap sifat-sifat
terpuji dan adab yang mulia. Beliau menjadi teladan utama bagi manusia dalam hal pemikiran
yang benar dan pandangan yang lurus. Sebagaimana beliau menjadi contoh terbaik dalam hal
akhlak mulia, perangai baik, keistimewaan dalam kejujuran, sifat amanah, kepribadian,
keberanian, keadilan, kebijaksanaan, kewaspadaan (dari hal-hal tidak baik), sikap hidup
zuhud, qana’ah, kesabaran, syukur, malu, memenuhi janji, rendah hati, dan sikap untuk saling
menasihati (Al- Mubarakfuri: 2013:38).
Muhammad Saw. juga dikenal sebagai orang yang gemar menyambung silaturahim (tali
kekerabatan), sanggup menanggung beban berat dalam hidup manusia, mau membantu orang
kesulitan dalam menyambung hidup dengan menunjukkan lapangan pekerjaan, memuliakan
tamu, dan membenci hal- hal yang sifatnya khurafat (mitos atau takhayul) dan keburukan
yang tengah merebak di kaumnya. Muhammad Saw. tidak pernah ikut merayakan berbagai
hari perayaan untuk menyembah berhala dan perayaan-perayaan kemusyrikan. Beliau juga
tidak mau memakan daging yang dipersembahkan untuk berhala atau disembelih dengan
menyebut nama-nama selain nama Allah. Hampir-hampir beliau tidak sanggup menahan
emosi ketika seseorang bersumpah dengan nama Lata dan Uzza, apalagi menyentuh patung-
patung sembahan tersebut atau mendekatkan diri kepada mereka. Muhammad Saw. tidak
pernah meminum khamr dan masuk ketempat-tempat hiburan. Beliau tidak pernah menghadiri
acara-acara hiburan dan pesta, atau mendatangi klub-klub malam yang menjadi tempat
bersenang-senang para pemuda dan tempat berkumpulnya para pecinta pesta di Mekkah (Al-
Mubarakfuri: 2013: 38).
Dari uraian di atas bisa digambarkan bahwa kondisi bangsa Arab sebelum kedatangan
Islam, terutama di sekitar Mekkah masih diwarnai dengan menyambah berhala sebagai Tuhan
yang dikenal dengan istilah Paganisme (Mufrodi: 1997: 8) Selain menyembah berhala,
dikalangan bangsa Arab ada pula yang menyembah agama Masehi (Nashrani), agama ini
dipeluk oleh penduduk Yaman, Najran, dan Syam. Di samping itu juga agama Yahudi yang
dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran di Yaman dan Madinah, serta agama Majusi
(Mazdaisme) (Mufrodi: 1997:10), yaitu orang-orang persia (Amin: 2010: 63).
Sejak masih muda Muhammad saw telah menunjukkan sifat yang istimewa. Umur 6
tahun diajak berziarah oleh ibunya dan pembantunya Ummu Aiman ke kuburan ayahnya di
Madinah dan juga berziarah kepada keluarganya yang ada di Madinah, ketika beliau kembali
4
Ada yang berpendapat bahwa Rasulullah dilahirkan pada 12 Rabi’ul Awwal. Namun pendapat yang
Shahih dan lebih Masyhur adalah yang pertama, yaitu 9 Rabi’ul Awwal.
7
dari Madinah bersama Aminah dan Ummu Aiman, Aminah wafat di tengah perjalanan saat
kembali ke Mekkah, sejak itulaj Muhammad menjadi yatim piatu dan kembali ke Mekkah
dengan Ummu Aimah (Syamrakh: 2010), dia dipelihara oleh kakeknya, Abdul Mutthalib. Dua
tahun kemudian kakeknya meninggal, dan dia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika
umur 12 tahun, Muhammaddibawa pamannya turut serta dengan kafilah dagang ke Syam
(Suriah). Seorang pendeta Kristen bernama Buhairah, bergetar hatinya ketika memandang
dari atas biaranya.Awan yang bergumpal menaungi kafilah mengendarai unta di dalam kafilah
yang sedang menuju kota,Inilah roh kebenaran yang dijanjikan itu, pikirnya. Berdasarkan
petunjuk Taurat dan Injil, Pendeta itu mengetahui ciri-ciri seorang Nabi yang akan datang di
akhir zaman. Maka ia berpesan kepada Abu Talib agar menjaga anak tersebut, jangan sampai
diketahui orang-orang yang dengki. (Sumber)
Umur 25 tahun Muhammad saw menikah dengan Khadijah dan dikaruniai 6 orang anak:
2 putra: Qasim dan Abdullah, dan 4 putri: Zainab, Ruqaiyah, Ummu Kalsum, dan
Fatimah.Pada umur 35 tahun Muhammad saw dapat menyelesaikan suatu peristiwa yang
hampir menimbulkan perselisihan di antara suku, ketika para suku itu masing-masing merasa
lebih berhak untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Muhammad saw mengambil
surbannya dan meletakkan batu itu di atasnya, dan mempersilakan secara bersama setiap
kepala suku membawanya. Atas keputusannya yang melegakan semua pihak itu ia dijuluki Al-
Amin, artinya orang yang terpercaya. Menjelang umur 40 tahun ia sering mengasingkan diri
ke Gua Hira', sekitar 6 km dari Kota Mekah.
Dengan latar belakang kondisi bangsa Arab yang telah diuraikan di atas tadi maka masa
dimana Muhammad dilahirkan disebut dengan zaman Jahiliah, masa kegelapan dan
kebodohan dalam hal agama, sehingga keadaan seperti ini mendorong nabi untuk bertahanus
di Gua Hira, untuk mendapat ketenangan dan petunjuk dari Allah swt. Beliau merasa prihatin
atas kondisi bangsa Arab yang menyembah berhala. Di tempat inilah beliau menerima wahyu
pertama, yang berupa Surah al- ‘Alaq ayat 1-5. Dengan wahyu pertama ini, maka beliau telah
diangkat menjadi Nabi, utusan Allah (Amin: 2010: 65).
Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 (tahun Gajah)/6 Agustus 611 M, ia melihat cahaya
terang benderang memenuhi ruang gua Hira'. Tiba-tiba suatu makhluk unik berada di
depannya lalu memerintah: “Iqra’”! (bacalah). Muhammad menjawab, “Saya tak pandai
membaca.” Setelah tiga kali diulang, dan Muhammad menjawab serupa, makhluk unik yang
kemudian diketahui sebagai Jibril itu memeluk Muhammad saw erat-erat, lalu menyampaikan
wahyu sebagaimana tertera dalam QS. 96 (Al-'Alaq): 1-5 :
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manu-
sia) dengan perantaraan qalam. Dan yang mengajarkan kepada manusia apa yang belum
diketahuinya”. (QS.96 :1-5).
Dengan turunnya wahyu pertama ini resmilah Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul.
Beberapa minggu kemudian Jibril datang kembali dan menyampaikan wahyu sebagaimana
tertera dalam QS. 68 (Al-Qalam) : 1-7:
8
Artinya:
“Nun…demi kalam dan apa yang mereka tulis, demi nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad)
sekali-kali bukanlah orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang
besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung. Maka kelak kamu akan melihat dan (orang-orang kafir)pun akan melihat, siapa di
antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya; dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (QS. 68:1-7).
Dalam hal ini dakwah Nabi Muhammad dibagi menjadi dua periode yaitu:
a. Periode Mekah, ciri pokok dari periode ini adalah pembinaan dan pendidikan tauhid
(dalam arti luas);
b. Periode Madinah, ciri pokok dari periode adalah pendidikan sosial dan politik (dalam
arti luas) (Amin: 2010: 65).
Para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah kehidupan manusia dari manusia pertama, Adam
as sampai ke nabi terakhir, Muhammad saw cukup banyak. Namun secara pasti jumlahnya
tidak diketahui. Dalam QS. 35 (Fathir) : 24 Allah berfirman:
Artinya:
Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah pernah diutus kepadanya seorang
pembawa peringatan”. (QS. 35:24).
Artinya:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Ada Nabi-nabi yang diceritakan dalam Al-Qur'an, tetapi ada lagi yang tidak. Dalam QS.
40 (Ghafir) : 78 Allah berfirman:
9
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka
ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami
ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan
dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara)
dengan adil, dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah
memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah
memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa,
Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. 4:163)
Pada dasarnya setiap manusia telah ada hidayah yang menyertai kelahirannya, yaitu
instink (naluri) untuk mempertahankan hidupnya, kemudian dilengkapi dengan panca-indera,
akal atau fitrah dan qolbu untuk menerima kebenaran. Dan dengan akal sehatnya seseorang
akan memahami apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam QS. 17 (al-Isra') : 15 Allah
berfirman:
Artinya:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat
itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.” (QS 17:15).
Wahyu yang turun berikutnya dan mengandung pemantapan aqidah Islam adalah QS. 73
(Al-Muzammil) :1-8:
10
Artinya:
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari,
kecuali sedikit dari padanya, (yaitu) seperdua atau kuranglah dari seperdua itu sedikit atau
lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya
Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu
malam adalah lebih tepat (untukmu khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah
nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS Al-Muzammil,
73:1-8).
Wahyu-wahyu pertama sampai ketiga di atas turun dengan tema-tema yang sesuai
dengan masa pemantapan, yaitu perintah:
1. Membaca, iqra’ (sebagai sarana yang paling penting dalam menuntut ilmu)
2. Dalam menuntut (mencari dan menggali ilmu pengetahuan) hendaklah atas dasar iman
kepada Pencipta, sehingga segala ilmu yang diperoleh senantiasa berorientasi untuk
mengabdi kepada-Nya, dan untuk menggapai keridhaan-Nya.
3. Pentingnya alat (sarana) mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan: Iqra’ (membaca),
perlunya menulis dan alat tulis (‘allama bil-qalam) dan Nun (ada yang menafsirkan
dengan tinta).
4. Sebelum adanya kewajiban shalat 5 waktu, telah ada perintah kepada Nabi shalat malam
(tahajud), dan agar Nabi banyak membaca Al-Qur'an.
5. Keseimbangan antara memperbanyak ibadah (di waktu malam) dan bekerja keras (di
siang hari) untuk kehidupan dan perjuangan di jalan Allah.
Wahyu ke empat adalah QS. 74 (Al-Muddatstsir) : 1-7 yang memerintah Nabi untuk
bangkit menyampaikan dakwah:
Artinya:
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringa-an! Dan Tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan
janganlah kamu memberi (dengan bermaksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS Al-Mudatstsir, 74:1-7)
Dengan turunnya Surah Al-Muddatstsir ayat 1-7 tersebut, mulailah Rasulullah saw
berdakwah. Pertama-tama, ia melakukannya secara diam-diam di lingkungan rumah dan
keluarganya sendiri serta di kalangan rekan-rekannya. Dengan demikian, maka orang yang
pertama kali menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah wanita yang pertama
kali masuk Islam, menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, dialah pemuda muslim
pertama. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Ia merupakan pria
dewasa yang pertama masuk Islam. Lalu menyusul Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah
11
menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Muhammad saw sejak ibunya
masih hidup. (Sumber)
Dakwah yang dilakukan Nabi secara sembunyi-sembunyi, adalah dakwah yang terjadi
pada periode Mekkah, pada tiga tahun pertama (Amin: 2010: 65). Abu Bakar yang terkenal
julukan Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam), mereka adalah
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdul Rahman bin ‘Auf,
Talhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidillah bin Jarrah, dan al- Arqam bin Abil Arqam, yang
rumahnya dijadikan markas untuk berdakwah (rumah Arqam) (Amin: 2010: 66).
Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa teman dekatnya, seperti
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, dan
Talhah bin Ubaidillah. Mereka diajak Abu Bakar langsung menemui Nabi saw. Dengan cara
dakwah diam-diam ini, belasan orang telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama Nabi saw menjalankan dakwah secara diam-diam, turunlah
perintah agar Nabi saw melakukan dakwah secara terang-terangan.
Turunnya ayat 94 Surat al- Hijr, adalah perintah kepada Nabi Muhammad saw. Untuk
memulai berdakwah secara terang-terangan (Amin: 2010: 66).
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintah
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS. Al- Hijr 94).
Mula-mula dia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Dalam kesempatan
itu Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya orang yang menjadi mata-mata musuhnya sekalipun, tidak akan sampai hati
berdusta kepada kaum kerabatnya sendiri. Demi Allah, kalau saya berdusta kepada orang
ramai, saya tidak akan berdusta kepada kaum kerabatku.”(Sumber)
Namun, dakwah yang dilakukan Nabi tidak mudah karena mendapat tantangan dari
kaum kafir Quraisy. Hal tersebut timbul karena beberapa factor, yaitu sebagai berikut:
1. mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira
bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad saw. Berarti tunduk kepada pimpinan
Bani Abdul Muthallib.
2. Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3. Para pimpinan Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak menerima
ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat akar pada bangsa Arab,
sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkannya agama nenek moyang dan
mengikuti agama Islam.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki (Amin:
2010: 66).
Setelah cukup mendapat perhatian, ia meneruskan: “Demi Allah yang tiada Tuhan
selain Dia, saya adalah utusan Allah kepada kalian dan kepada manusia
umumnya.”(sumber). Ada sebagian kerabatnya yang menolak dengan cara yang lemah-lembut
dan ada pula yang menolaknya secara kasar. Salah seorang yang menolak secara kasar adalah
Abu Lahab (paman Nabi). Langkah dakwah selanjutnya yang diambil Nabi Muhammad saw
adalah pertemuan yang lebih besar. Nabi saw pergi ke Bukit Safa, dekat Ka’bah. Di atas bukit
itu, Nabi saw berdiri dan berteriak memanggil orang banyak. Penduduk segera berkumpul di
sekitar Nabi saw. Karena Nabi Muhammad adalah orang yang terpercaya dan belum pernah
berbuat seperti itu, maka penduduk berpendapat bahwa pastilah terdapat masalah yang
penting. Untuk menarik perhatian mereka, Nabi saw pertama-tama berkata, “Saudara-
saudaraku, jika aku berkata, di belakang bukit ini ada musuh yang besar siap menyerang
kalian, percayakah kalian?” Dengan serentak mereka menjawab, “Percaya! Kami tahu,
saudara belum pernah bohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya,saudaralah yang mendapat
gelar Al-Amin.” Kemudian Nabi saw meneruskan, “Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini
adalah seorang pemberi peringatan (nadzir). Allah memerintahkanku agar aku
12
memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada
Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azab-Nya dan saudara nanti
akan menyesal. Penyesalan di kemudian tiada gunanya.”(sumber)
Khutbah Nabi saw tersebut membuat orang marah. Sebagian yang hadir ada yang
berteriak-teriak marah dan ada yang mengejeknya gila. Namun ada pula yang diam saja.Pada
kesempatan itu Abu Lahab berteriak, ”Celakalah engkau hai Muhammad. Untuk inikah
engkau mengumpulkan kami?” Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab ini turunlah ayat
yang membalas Abu Lahab, (Sumber) (QS. Al-Lahab, 111: 1-5).
Reaksi-reaksi keras yang menentang dakwah Nabi saw bermunculan. Namun, usaha-
usaha dakwahnya tetap dilanjutkan terus tanpa mengenal lelah, sehingga hasilnya mulai nyata.
Jumlah pengikut Nabi saw yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah.
Hampir setiap hari ada yang bergabung kedalam barisan pemeluk Islam. Mereka terutama
terdiri dari kaum wanita, kaum budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah, namun
semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.(sumber )
Tantangan yang paling keras terhadap dakwah Nabi saw datang dari para penguasa dan
pengusaha Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak.Mereka menyusun siasat untuk dapat
melepaskan hubungan antara Abu Talib dan Nabi Muhammad saw. Mereka meminta agar Abu
Talib memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad saw agar berhenti dari dakwah
atau menyerahkan keponakannya itu kepada mereka. Abu Talib terpengaruh dengan ancaman
tersebut dan dia minta agar Nabi Muhammad saw menghentikan dakwahnya, tetapi Nabi
Muhammad saw menolak permintaan pamannya itu, dan bersabda yang artinya:“Demi Allah,
saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota
keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya.”Mendengar jawaban kemenakannya itu, Abu
Talib kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu.”(sumber).
Gagal dengan cara ini, mereka kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan
membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad saw. Pemuda itu
bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mughirah
berkata: “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk
kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah kita.” Usul Quraisy itu
langsung ditolak keras oleh Abu Talib dengan berkata: ”Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian
serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya
untuk kalian bunuh. Sungguh suatu saran yang tak mungkin bisa saya terima.”(sumber)
Setelah orang-orang Quraisy kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka meng-
hadapi Nabi Muhammad saw secara langsung. Orang Quraisy mengutus Utbah bin Rabi’ah
seorang ahli retorika untuk membujuk Nabi Muhammad saw. Mereka menawarkan takhta,
wanita, dan harta yang diduga diinginkan oleh Nabi Muhammad saw asalkan Nabi
Muhammad saw bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Nabi
Muhammad saw dengan mengatakan:
“Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini, hingga agama ini menang atau
aku binasa karenanya.”(sumber)
Setelah gagal membujuk Nabi Muhammad saw dengan diplomatik dan bujuk rayu,
kaum Quraisy mulai melakukan tindakan kekerasan. Mereka mempergunakan kekerasan fisik
setelah mengetahui bahwa rumah tangga mereka sendiri, para budak mereka juga sudah
banyak yang telah pemeluk agama Islam. Setiap suku menghukum dan menyiksa anggota
keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali. Usman bin Affan, misalnya,
dikurung dalam kamar gelap dan dipukuli sampai babak belur oleh anggota keluarganya
sendiri. Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu
mendorong Nabi Muhammad saw untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar Mekah.
Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun kelima kerasulannya, Nabi Muhammad
13
saw menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian,
karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu. Ia
merasa pasti bahwa pengikutnya akan diterima dengan terbuka. Rombongan pertama yang
terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita berangkat. Di antara anggota rombongan terdapat
Usman bin Affan beserta isterinya Ruqaiyah, (putri Rasulullah SAW), Zubair bin Awwam,
dan Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua dipimpin oleh Ja’far bin
Abi Talib. Ada yang mengatakan rombongan ini terdiri dari 80 pria. Sumber lain
menyebutkan mereka terdiri dari 83 pria dan 18 wanita.
Berbagai usaha dilakukan orang-orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habasyah
ini, termasuk membujuk raja agar menolak kehadiran umat Islam di sana. Namun berbagai
usaha itu gagal juga. Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, semakin bertambah
jumlah yang memeluknya. bahkan di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat
Quraisy masuk Islam, yakni Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin Khattab. Dengan
masuk Islamnya dua orang yang dijuluki “Singa Arab” itu, semakin kuatlah posisi umat Islam
dan dakwah Nabi Muhammad saw pada waktu itu.(sumber)
Menguatnya posisi Nabi Muhammad saw dan umat Islam tersebut membuat reaksi
kaum Quraisy semakin keras. Karena mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad
saw terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka berusaha melumpuhkan Bani
Hasyim secara keseluruhan dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan segala
bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan
hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan
yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tandatangani bersama-sama dan mereka
gantungkan di atas Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan
kesengsaraan.
Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama
tiga tahun dan merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu baru berhenti
karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu
sungguh suatu tindakan yang keterlaluan.5 Kesadaran itulah yang kemudian mendorong
mereka untuk melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian, Bani
Hasyim seakan dapat bernapas kembali dan pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim sampai di rumah masing-masing, Abu Talib, paman Nabi
Muhammad saw yang selalu membelanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari
setelah itu, Khadijah, istri Nabi yang tercinta dan teman seperjuangan yang selalu
mendampinginya, juga meninggal. Tahun ke-10 dari kenabian ini benar-benar merupakan
tahun kesedihan (‘Am al-Huzn) bagi Nabi Muhammad saw. Apalagi, sepeninggal dua
pendukung itu, orang Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi
Muhammad saw.6
Ada sementara orientalis (siapa 2 orang sebutkan ) menduga bahwa Nabi Muhammad
saw mulanya hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi
setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.
Pendapat ini keliru, karenaAllah dalam(Sumber)QS. 34 (Saba') : 28 telah berfirman:
5
Lih juga Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), cet ke-2, hal. 66-68
6
lih. Samsul Munir Amin, ibid,.
14
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (QS 34:28).
Para sejarawan berbeda pendapat tentang awal mula masuknya Islam ke Indonesia
pada abad ke-7 (abad 1 Hijriah)7. Pendapat yang umum mengatakan Islam baru berkembang
di nusantara pada abad ke 13 M8. Mereka berpatokan pada bukti-bukti keberadaan
pemerintahan Islam.Bukti perkembangan Islam di Indonesia yang cepat pada abad ke 15-16
M dan pendapat yang menyatakan bahwa Islam baru ada di Indonesia pada abad ke 13, bukan
berarti sebelum itu Islam belum masuk ke Indonesia. Di Jawa Timur, Leran (Gresik), telah
ditemukan batu nisan bertanggal 1082 M dari Fatimah Binti Maimun9 yang menunjukkan
adanya penganut Islam pada abad ke 11 M. Selain itu, catatan perjalanan yang dibuat orang
Cina dari zaman dinasti T’ang, menunjukkan bahwa telah ada komunitas muslim, khususnya
di Utara Sumatera, pada abad ke 7 Masehi (Thomas W. Arnold, tt.) Ironisnya, tidak ada
catatan dari orang Arab tentang komunitas mereka di Asia Tenggara. Catatan orang
Arab tentang Islam di Indonesia baru ada pada abad ke 14 M dari Ibnu Batutah. (sumber)
Selain itu, dalam catatan Marco Polo dituliskan, seorang penjelajah yang sedang
dalam perjalanan dari Cina menuju Persia melalui Selat Malaka, menyatakan bahwa ia
singgah di Aceh sekitar tahun 1292 M. Saat itu, banyak pedagang Islam dari Gujarat yang
sedang berdagang dan menyebarkan Islam dengan sukarela. Di samping para pedagang
Gujarat (India), Islam juga masuk ke Indonesia melalui para pedagang Arab dan Mesir. Hal
ini didasarkan pada dua alasan utama: (1) ketika Ibnu Batutah berkunjung ke Samudera Pasai
pada abad XIV, rajanya menggunakan Madzhab Syafi’I yang banyak terdapat di Mesir dan
Mekkah, bukan India. Alasan berikutnya (2) bahwa gelar-gelar kebanyakan raja-raja Aceh
sama seperti gelar raja Mesir, al- Malik (Mubarak: 2014: 149).
7
Dalam buku Samsul Munir Amin berjudul Sejarah Peradaban Islam hal. 301 dan Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam hal 191-192 yang menjelaskan para pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India yang
memasuki Indonesia untuk berniaga. Tahun ini sama percis ketika Islam pertama kali berkembang di Timur
Tengah. Hubungan ini menurut Amin adalah hubungan perdagangan yang juga menjadi hubungan penyebaran
agama Islam yang semakin lama semakin semakin lebih intensif.
Dalam buku Zaki Mubarak, Menjadi Cendikiawan Muslim dikatakan bahwa “masuknya Islam ke
Indonesia sejak abad ke-12 Masehi. Meskipun ada juga beberapa sejarahwan Malaysia-Indonesia yang
berpendapat, Islam telah dating di Nusantara sejak abad ke-7 M, atau abad pertama Hijriyah. Beberapa bukti
sejarah menunjukan bahwa Islam sudah mulai masuk Indonesia sekitar abad 11M”. lih. Zaki Mubarak, Menjadi
Cendikiawan Muslim, hal. 148
8
Dalam Sejarah Peradaban Islam karya Samsul Munir Amin dijelaskan bahwa “paling tidak ada dua
pendapat mengenai masuknya Islam di Indonesia. Pertama, pendapat lama, yang mengatakan bahwa Islam
masuk Indonesia pada abad ke 13 M. Pendapat ini dikemukakan oleh para sarjana, antara lain N.H Krom dan
Van Berg. Kemudian ternyata pendapat lama tersebut mendapat sanggahan dan bantahan. Kedua, pendapat baru
yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau satu abad Hijriyah. Pendapat baru ini
dikemukakan oleh H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Hamka, Sayed Alwi bin Tahir Alhadah, A. Hasjmy
dan Thomas W. Arnold”. Lih. Samsul Munir Amin dalam Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, dalam Manarul
Qur’an Jurnal Ilmiah Studi Islam Universitas Sains Al- Qur’an (UNSIQ) Wonosobo, Edisi Juli 2002, hal. 14;
Endang Saifudin Anshari, hal. 253.
9
Lih. Zaki Mubarak, Menjadi Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah, 2014), cet
ke-4, hal. 148. Dijelaskan dalam bukunya bahwa “ di Leran misalnya, terdapat prasasti dalam huruf dan bahasa
Arab tentang meninggalnya Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 M. Begitupula di Aceh, terdapat makam
Sultan Malik al- Saleh yang meninggal pada tahun 1297 M”.
15
Terkait dengan polemik kapan masuknya Islam ke Indonesia untuk pertama kalinya,
berdasarkan historiografi klasik terdapat empat grandi pointer (Mubarak: 2014: 149):
1. Islam dibawa langsung dari Arab
2. Islam diperkenalkan oleh para guru dan juru dakwah professional (yaitu mereka yang
khusus bertugas menyebarkan ajaran Islam semisal zending).
3. Penduduk yang mula-mula masuk Islam berasal dari kalangan penguasa, dan
4. Mayoritas para juru dakwah professional dating pada abad ke- 12 dan ke-13.
Selanjutnya untuk memperkuat grand pointer di atas, Mubarak dalam bukunya
mengambil pendapat Azra yang mengatakan bahwa meskipun mungkin Islam telah
diperkenalkan ke Nusantara sejak abad pertama Hijrah (abad ke-7 M), tetapi hanya setelah
abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata dan proses Islamisasi baru mengalami
akselerasi antara abad ke- 12dan abad ke- 16 (Mubarak: 2014: 149).
Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Indonesia atau Asia Tenggara secara umum,
menurut Azra, sedikitnya ada tiga teori besar (Azra: 2005: 17-19):
1. Teori yang menyatakan bahwa Islam dating langsung dari Arab, atau tepatnya
Hadralmaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd, Keyzer, Niemann, De Hollander, dan
Veth. Crawfurd menyatakan bahwa Islam dating langsung dari Arab, meskipun ia
menyebut adanya hubungan dengan orang-orang Mohammedan di India Timur. Keyzer
beranggapan bahwa Islam dating dari Mesir yang bermadzhab Syafi’i. Teori semacam
ini dikemukakan juga oleh Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya Islam di
Indonesia, pada 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab,
bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke- 11, melainkan pada abad I Hijriyah/
abad VII Masehi.
2. Teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India. Teori ini dikemukakan Pijnapel
tahun 1872. Ia menyimpulkan, dari catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo dan Ibnu
Batutta, bahwa orang-orang Arab bermadzhab Syafi’I dari Gujarat dan Malabar di India
yang membawa Islam ke Asia Tenggara melalui jalur perdagangan. Teori ini
dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang melihat para pedagang kota pelabuhan
Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah ini. Kemudian teori Snouck
ini dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Ia menunjukkan pantai Koromandel di
India sebagai tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka
menuju Nusantara, dan
3. Teori yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini
Bangladesh). Dia mengutip Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang
terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Di samping itu, Islam
muncul pertamakali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai timur, bukan dari Barat
(Malaka), pada abad ke- 11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan
Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di Semenanjung lebih sama
dengan Islam di Phanrang; elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip
dengan prasasti yang ada di Leran. Kemungkinan besar teori yang ketiga ini hanya
perkiraan belaka, sebab mazhab yang dominan di Benggala adalah madzhab Hanafi,
sementara mayoritas muslim di Semenanjung dan Nusantara secara keseluruhan
bermadzhab Syafi’i.
Menurut Mubarak, pandangan Azra di atas sesungguhnya bersifat komplimentari atau
saling melengkapi, satu dengan yang lain. Namun, demikian pandangan yang lebih kuat Islam
datang ke Indonesia lebih banyak melalui Hadralmaut (Yaman bagian selatan) melalui jalur
perdagangan. Kesimpulan ini berdasarkan banyaknya naskah-naskah kitab kuning dan
manuskrip di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, yang dianut mayoritas penduduk
Hadralmaut di Yaman. Ketika itu, para pedagang dan ulama Hadralmaut berlabuh di kota-kota
pesisir Jawa dan Sumatra. Seperti Samudra Pasai, Sumatra Barat, Ampel, Demak dan
Cirebon. Dari Cirebon berkembang ke Banten, ke pulau-pulau lain; Kalimantan, Sulawesi,
16
Ternate, Tidore, dan Bacan. Mereka menyebarkan Islam di Sana dengan cara damai, hingga
akhirnya masuk pada gelanggang politik dengan terbentuknya Kerajaan Cirebon yang
berhaluan Islam. Dari Cirebon, Islam tersebar luas melalui para bangsawan dan ulama-
ulamanya, ke seluruh tanah Jawa, terutama Jawa Barat. Faktor utama keberhasilan conversi
(masuknya penduduk local ke dalam Islam) ini adalah kemampuan para sufi menyajikan
Islam dalam kemasan yang atraktif dan menekankan aspek-aspek keluwesan ajaran Islam
serta menselaraskan ajaran-ajaran tasawuf Islam dengan mistisme setempat. Dalam hal ini,
para sufi tidak mempermasalahkan kepercayaan dan praktik keagamaan local secara ekstrim,
yang tidak bertentangan dengan agama Islam (Mubarak: 2014: 151).
Secara etimologis, kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata yad'u (fi‟il
mudhari‟) dan da’a (fi‟il madli) yang artinya adalah memanggil (to call), mengundang (to
invite), mengajak (to summer), menyeru (to propo), mendorong (to urge) dan memohon (to
prray). Selain kata dakwah, al-Qur’an juga menyebutkan kata yang memiliki pengertian yang
hampir sama dengan dakwah, yakni kata tabligh yang berarti penyampaian, dan bayan yang
berarti penjelasan. (Pimay, 2006: 2).
Sedangkan pengertian dakwah secara terminologi dapat dilihat dari pendapat beberapa
ahli antara lain:
a. Samsul Munir Amin (2009: 6) menyebutkan bahwa dakwah merupakan bagian yang
sangat esensial dalam kehidupan seorang muslim, dimana esensinya berada pada ajakan
dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima
ajaran agama Islam dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan bukan untuk
kepentingan pengajaknya.
b. Wahidin Saputra (2011: 2) menyebutkan dakwah adalah menjadikan perilaku muslim
dalam menjalankan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang harus didakwahkan
kepada seluruh manusia.
Dakwah artinya mengajak atau menyerukan orang untuk mentaati ajaran Islam dengan
berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dakwah ini merupakan kewajiban bagi setiap
muslim, sebagaimana dijelaskan dalam QS. 16 (Al-Nahl) : 125 :
Artinya:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS.16:125).
Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw agar berlaku lembut kepada setiap orang, dan
perlakuan lemah lembut itulah yang melapangkan jalan serta membukakan hati orang untuk
menerima Islam, sebagaimana dinyatakan dalam QS. 3 (Ali Imran) : 159 :
17
Artinya:
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu”(QS.3:159).
Dakwah yang dilakukan oleh para ulama' di Indonesia sangat memperhatikan kondisi
sosial budaya masyarakat Indonesia. Karena itu metode yang dipergunakan dalam berdakwah
adalah :
a. Keteladanan
Para ulama' menunjukkan contoh yang konkrit dalam menjalani kehidupan sehari-hari
sebagai manusia teladan. Praktik kehidupan yang mereka tampilkan menjadi daya tarik
betapa indahnya hidup dalam Islam, seperti kesantunan dalam berbicara, kejujuran,
murah hati dengan suka menolong orang yang kesusahan, dll.
b. Ceramah
Ceramah agama Islam merupakan dakwah model klasik dengan mengajak orang untuk
diberikan pencerahan tentang ajaran Islam.
c. Perkawinan
Perkawinan menjadi metode dakwah yang sangat efektif dalam berdakwah hingga saat
ini, hanya saja jangkauannya yang sangat terbatas, biasanya terbatas pada istri dan
keluarganya.
d. Menggunakan kesenian sebagai daya tarik massa;
Pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia ketika media massa belum
berkembang seperti saat ini, kesenian mempunyai daya tarik yang kuat untuk
memanggil massa. Melalui pagelaran kesenian tersebut dakwah dimasukkan dalam
substansi kesenian atau disajikan disela-sela pagelaran kesenian.
e. Pendekatan tasawuf (mistisisme dalam Islam).
Ketika Islam masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
agama Hindu dan Buddha. Titik temu antara ajaran agama Islam dengan ajaran Hindu
dan Buddha adalah melalui ajaran tasawuf, seperti dzikir, doa, i'tikaf, dll.
Diantara para ulama' yang sangat berperan dalam dakwah Islam di Indonesia adalah
yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Kata “wali” antara lain berarti pembela, teman
dekat, dan pemimpin. Dalam pemakaiannya, kata ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat
dengan Allah Swt. (waliyullah). Adapun kata “songo” (Bahasa Jawa) berarti sembilan. Maka
Wali Songo secara umum sering diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat
dengan Allah Swt, terus-menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan
kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia (Abd Aziz: 1999: 173). Adapun
sembilan wali tersebut, antara lain:
a. Sunan Gresik (w. 12 Rabiul Awal 822 H/141 M)
Nama lengkapnya adalah Maulana Malik Ibrahim pernah menetap di kerajaan Pasai
atau Perlak di Aceh. Maulana Malik Ibrahim putra dari Syekh Jumadil Kubra (Maulana
Akbar). Pada umumnya, silsilah Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk keturunan
Rasulullah. Meskipun masih terjadi perbedaan pendapat tentang urutan nama-nama garis
silsilah keturunannya (Rachmad: 2015:77).
18
Nama lain dari Maulana Malik Ibrahim adalah Kakek Bantal, Sunan Tandhes, Sunan
Raja Wali, Wali Quthub, Mursyidul Auliya Wali Sanga, Maula Maghribi, Sunan
Maghribi, atau Sunan Gribig (Rachmad: 2015:77)
Masa kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa tahun 1404 M bertepatan
dengan masa kepemimpinan Khilafah Turki Utsmani, yaitu Sultan Muhammad I (1379-
1421 M). Maulana Malik Ibrahim ditugaskan oleh Sultan Muhammad I untuk hijrah ke
Jawa, langsung dari Turki. Beliau adalah seorang ahli irigasi dan tata negara. Beliau
pernah ditugaskan ke Hidustan untuk membangun irigasi di daerah itu pada pemerintahan
Moghul (Rachmad: 2015:78-79).
Di dalam Dokumen Kropak Ferara disebut-sebut nama Syekh Ibrahim yang disegani
ajaran dan fatwanya serta menjadi panutan para wali sesepuh, termasuk Raden Rahmat
(Sunan Ampel). Kiranya Maula Malik Ibrahim inilah yang dimaksud dengan Syekh
Ibrahim tersebut.
Adapun secara utuh, terjemahan dari inskripsi batu nisan Syaikh Maulana Malana
Malik Ibrahim menurut J.P Moquette adalah sebagai berikut:
“Inilah makam almarhum al-maghfur, yang mengharap Rahmat Allah Yang Maha
Luhur, guru kebanggaan para pangeran, tomhkat penopang para raja dan menteri, siraman
bagi kaum fakir dan miskin, syahid yang berbahagia dan lambing cemerlang negara
dalam urusan agama: al-Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kakek Bantal, berasal
dari Kashan. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan menempatkan ke
dalam surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822H (Sunarto: 2012: 67)
Raden Ali Rahmatullah adalah nama asli Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah putra
Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Condrowulan. Selain Sunan Ampel, Ibrahim Asmarakandi
juga memiliki putra bernama Ali Murtadho. Sedangkan Abu Hurereh (Sunan Majagung) ialah
kemenakan iparnya (Rachmad: 2015: 90). Beliau merupakan penerus cita-cita dan perjuangan
Maulana Malik Ibrahim. Sunan Ampel terkenal sebagai perancang pertama kerajaan Islam di
Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak.
Ia memulai aktivitas pertama dengan mendirikan pesantren di Jawa Timur, yaitu
pesantren Ampel Denta, deket Surabaya. Di Pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para
pemuda Islam untuk menjadi da’i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Di antara pemuda yang
ia didik yaitu Sunan Giri, Raden Fatah, Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel) yang
kemudian dikenal dengan Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Maulana Ishak yang diutus untuk
mengislamkan Blambangan, dan banyak mubaligh lainnya (Solihin: 2005: 151).
Di dalam Babad Tanah Djawi digambarkan bahwa selain mengajari murid-muridnya
membaca al-Qur’an, Radem Rahmat juga mengajari mereka kitab-kitab tentang ilmu syariat,
tarekat, dan ilmu hakikat, baik lafal maupun makna. Raden Rahmat digambarkan
mencontohkan kehidupan yang zuhud dengan melakukan riyadhah ketat. Amaliah yang
dijalankan, sebagai berikut:
“Sunan Ampel tidak makan tidak tidur, ia mencegah hawa nafsunya/ ia tidak tidur malam
untuk beribadah kepada Tuhan/ fardhu dan sunnah tidak ketinggalan/ serta mencegah yang
haram maupun yang makruh/ tawajjuh memuji Allah”
19
Sunan Bonang bernama asli Makdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan
Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban, Arya Teja. Sunan Bonang lahir pada tahun 1449, dan
merupakan kakak kandung Sunan Drajat (Agus: 2013: 38)
Dalam hal keilmuan, Sunan Bonang belajar pengetahuan dan ilmu agama dari
ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan Ampel yang
lain seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen. Selain dari Sunan Ampel, Sunan
Bonang juga menuntut Ilmu kepada Syekh Maulana Ishak, yaitu sewaktu bersama-sama
dengan Raden Paku Sunan Giri ke Malaka dalam perjalanan haji ke Tanah Suci. Sunan
Bonang dikenal sebagai seorang peyebar Islam yang menguasai fikih, ushuluddin, tasawuf,
seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat.
Dalam berdakwah, Raden Makhdum Ibrahim dikenal sering menggunakan wahana
kesenian dan kebudayaan untuk menarik masyarakat. Salah satunya dengan perangkat
gamelan Jawa yang disebut bonang. Salah satu karya seni ciptaannya yang monumental
adalah lagu Tombo Ati (obat hati). Karya sastranya yang sangat terkenal dalam bentuk tulisan
ialah suluk wujil, sebuah kisah tentang seorang abdi bernama Wujil yang menerima ajaran
makrifat.
Dalam penyebaran ajaran makrifat, Sunan Bonang mendapatkan amanah untuk
mengajarkan tentang singgasana Tuhan di Baitul Makmur yang disimbolkan dalam akal
manusia (Agus: 2013: 40)
Sunan Drajat lahir di Ampel Denta sekitar tahun 1470 M. Nama Aslinya adalah Raden
Qosim atau Syarifuddin. Ia adalah putra Sunan Ampel, adik dari Sunan Bonang. Dalam
Tarikh Al-Auliya disebutkan bahwa Sunan Drajat menikah dengan Dewi Sufiyah, putri Sunan
Gunung Jati Cirebon danmemiliki tiga orang putra, yaitu Pangeran Trenggono, Pangeran
Sandi, Dewi Wuryan (Agus: 2013:37).
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir
Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau
Lamongan sekarang. Setahun berikutnya, Sunan Drajat berpindah 1 km ke arah selatan dan
mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Pacitan-
Lamongan ( Rachmad: 2015: 114).
Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat
memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta mengambil lebih mengutamakan pencapaian
kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah memberi perhatian penuh, baru Sunan Drajat
memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan lebih
menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanann, pengentasan
kemiskinan,usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong.
Secara umum, ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan dakwah Islam dikenal
masyarakat sebagai pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang
dijadikan pijakan dalam kehidupan sebagaimana berikut
1. Memangun resep tyasing sasama (Kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu eling lan waspodo (Dalam Suasana gembira hendaknya tetap ingat
Tuhan dan selalu waspada)
3. Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayanig lampah (Dalam upaya mencapai
cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan)
Nama asli Sunan Kudus ialah Ja’far Sadiq. Ia lahir di di Kudus abad ke-15. Menurut
silsilahnya, Sunan Kudus mempunyai hubungan keturunan dengan nabi Muhammad Saw.
silsilah selengkapnya: Ja’far Sadiq bin Raden Usman bin Raja Pendeta bin Ibrahim al-
Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadilkaubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra
bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayyid Husein bin Ali r.a. Di antara Wali Songo,
beliaulah yang mendapatkan julukan wali al-I’mi (orang yang luas ilmunya), dan karena
keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penunut ilmu dari berbagai daerah di nusantara
(Solihin: 2005: 126-127).
Dalam masa berikutnya Sunan Kudus belajar kepada Raden Rahmat di Ampel Dento dan
Sunan Giri di Gersik. Dengan ketajaman fikiran dan kebersihan hati belia, mampu menguasai
ilmu dalam Islam seperti tauhid, ushul fiqih, fiqih, hadis, tafsir dan sastra. Atmodarminto
dalam bukunya Babad Demak menyebutkan bahwa Sunan Kudus adalah satu-satunya wali
yang paling menguasai ilmu fiqih, beliau menggantikan kedudukan Maulana Israil pada 1436
M (Rachmad: 2015: 95)
Sunan giri lahir di Blambangan pertenngahan abad ke-15. Nama Aslinya Raden Paku atau
disebut juga Dultan Abdul Faqih. Ia adalah putra dari Maulana Ishak. Salah seorang
saudaranya juga termasuk wali songo yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam
perjalanan Ibadah Haji ke Mekkah, Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir ke Pasai untuk
memperdalah pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai menjadi tempat berkembangnya ilmu
tauhid, keimanan, dan ilmu tasawuf. Disini ia sampai menemukan ilmu laduni. Sehingga
Gurunya menganugerahkan gelar ‘ain al-yaqin (solihin: 2005: 122).
Setelah wafatnya Sunan Ampel dan sebelum berdirinya kerajaan Islam Demak, tampuk
kepemimpinan dewan ulama Wali Songo berada di tangan Sunan Giri. Dalam Politik
kenegaraan, Sunan Giri Tampil sebagai pembesarnya. Beliau ahli tata negara di antara para
wali songo. Beliau juga menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman
tata cara keraton. Dalam hal ini, Sunan Giri dibantu Sunan Kudus yang juga ahli dalam soal
perundang-undangan dan hukum peradilan (Rachmad: 2015: 105)
Lembaga riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang dalam Sejarah dan Dakwah
Islamiyah Sunan Giri (1975), menemukan jejak sejarah bahwa salah satu bidang dakwah yang
di garap Sunan Giri adalah pendidikan. Dalam usaha dakwah lewat pendidikan, Sunan Giri
tidak sekedar mengembangkan sistem pesantren yang diikuti santri-santri dari berbagai daerah
mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa , Sumba,
Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu, melainkan mengembangkan pula sistem pendidikan
masyarakat yang terbuka dengan menciptakan berbagai jenis permainan anak-anak seperti
Jelungan, Jamuran, Gendi Gerit, dan tembang-tembang, permainan anak-anak seperti Padang
Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-cublak Suweng.
21
g. Sunan Kalijaga (w. prtengahan abad ke-15)
Sunan Kalijaga lahir akhir abad ke-14. Beliau terkenal sebagai wali yang berjiwa besar,
berwawasan luas, berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa Asli. Sunan Kalijaga
bernama asli Raden Mas Syahid. Daerah oprasional dakwahnya tidak terbatas, bahkan sebagai
mubaligh, ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena dakwahnya yang intelek maka
para bangsawan dan cendekiawan sangat simpati kpadanya, demikian juga lapisan masyarakat
awam, bahhkan penguasa (Solihin: 2005: 125)
Saat ia masih menjadi brandal dan belum bertobat, Sunan Kalijogo bernama Lokajaya.
Kemudian beliau menjadi seorang terhormat ketika bertemu Sunan Bonang, sebagai awal
pertobatannya. Lokakarya pernah menghadang perjalanan Sunan Bonang dengan cara
membentak dan mengencam, agar memilih menyerahkan harta atau nyawa. Dengan hati yang
tenang dan sabar, Sunan Bonang memanggil Lokajaya dengan sebutan Jebeng untuk
melunakan hatinya (Rachmad: 2015: 111).
Seperti wali-wali lain, dalam berdakwah, Sunan Kalijaga sering mengenalkan Islam
kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang
masih menganut kepercayaan agama lama. Dengan kemampuannya yang menajubka n
sebagai dalang yang ahli memainkan wayang, Sunan kalijaga selama berdakwah di Jawa
bagian barat dikenal penduduk sebagai dalang yang menggunakan berbagai nama samaran
(Sunarto: 2012:220)
Sebagai ulama yang juga budayawan, Sunan Kalijaga menciptakan tembang yang masih
digemari saat ini yakni Lir Ilir. Ia Juga diyakini menciptakan tokoh-tokoh pewayangan yang
bernuansa Islam, dengan tetap melestarikan budaya aslinya. Di dalam ilmu Makrifat, Sunan
Kalijaga menempati posisi istimewa setelah Sunan Ampel. Bahkan, Syekh Siti Jenar terang-
terangan mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan satu-satunya wali yang telah
merasakan dan mengalami puncak makrifat, namun belum memahami teorinya (Agus: 2013:
41)
h. Sunan Muria
Nama Asli Sunan Muria Raden Umar, dan Raden Prawata. Ia adalah putra Sunan
Kalijaga dari ibu Dewi Sarah. Jadi, ia merupakan kemenakan Sunan Bonang dan Sunan
Drajat, serta cucu Sunan Ampel (Agus: 2013:41)
Sunan Muria mencerminkan seorang Sufi yang Zuhud, yang memandang dunia ini sangat
kecil. Oleh sebab itu ia tidak silau terhadapnya. Tugasnya sehari-hari mengasuh dan mendidik
para santri yang hendak menyelami ilmu tasawuf, didampingi oleh putranya, Raden Santri.
Seperti halnya sufi-sufi lain, Sunan Muria mencerminkan pribadi yang menempatkan rasa
cintanya kepada Allah (Hubbulah) di atas segala-galanya (Solihin: 2005: 128).
Dalam melakukan dakwah Islam, Sunan Muria memilih pendekatan sebagaimana
dijalakan ayahanda, Sunan Kalijaga. Tradisi keagamaan lama yang dianut masyarakat tidak
dihilangkan, melainkan diberi warna Islam dan dikembangkan menjadi tradisi keagamaan
baru yang khas Islam. Demikianlah tradisi bacakan dengan tumpeng yang biasa
dipersembahkan ke tempat-tempat angker diubah menjadi kenduri, yaitu upacara mengirim
doa kepada leluhur dengan menggunakan doa-doa Islam di rumah orang yang
menyelenggarakan Kenduri.
22
Sunan Gunung Jati lahir di Mekkah pada 1448 M. Beliau banyak berjasa menyebarkan
Islam di Jawa Barat. Nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti raja-raja
Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari
Perkawinan Prabu Siliwagi dengan NYai Subang Larang, lahirlah Raden Walangsungsang,
Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara. Dari Lara Santang inilah lahir Syarif Hidayatullah
(Solihin: 2005:129)
Masa Kecil hingga remaja dihabiskan Syarif Hidayatullah di Pasai. Ia beguru kepada
Maulana Ishaq yang telah dianggap sebagai pamannya sendiri. Ketika ia dewasa, ia pergi ke
Jawa Timur dan beguru kepada Sunan Ampel. Setelah dirasa cukup, kemudian ia pulang ke
tanah asal ibundanya di Sunda. Akhirnya ia memilih menetap di Cirebon sehingga tereknal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Salah Satu strategi dakwah yang dilakukan Syarif Hidayat dalam memperkuat
kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon
adalah melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw., dan
para sahabat. Wilayah Cirebon semula adalah bawahan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang
berkewajiban membayar upeti tahunan berupa terasi dan garam. Namun, sejak Syarif Hidayat
menjadi Tumenggung Cirebon, ia menolak untuk membayar upeti tersebut. Namun,
Tumenggung Jagabaya dan pasukannya tidak berani berperang melawan Susuhunan Jati,
malahan memeluk Islam dan tidak kembali ke Pakuan Pajajaran. Mereka menjadi menjadi
pengikut Susuhunan Jati (Agus: 2012: 242)
1.2 1.2.3. Dakwah Islam di Indonesia dari Zaman Kerajaan Sampai Zaman
Penjajahan
Dalam waktu yang sangat relatif cepat, ternyata agama Islam dapat diterima dengan
baik oleh sebagian besar masyarakt Indonesia, mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja.
Sehingga penganut agama ini pada akhir abad ke-6 H (abad ke- 12 M), dan tahun-tahun
selanjutnya, berhasil menjadi suatu kekuatan muslim Indonesia yang ditakuti dan
diperhitungkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan agama Islam cepat berkembang di
Indonesia (Amin: 2010: 316-317). Menurut Dr. Adil Muhyiddin Al- Allusi, seorang penulis
sejarah Islam dari Timur Tengah, dalam bukunya Al- Urubatu wal Islamu fi Janubi Syarqi
Asia al-Hindu wa Indonesia (Al-Allusi: 1988) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang
menyebabkan Islam cepat berkembang di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Agama
Faktor agama, yaitu akidah Islam itu sendiri dan dasar-dasarnya yang
memerintahkan menjungjung tinggi kepribadian meningkatkan harkat dan
martabatnya, menghapuskan kekuasaan kelas rohaniawan seperti Brahmana dalam
sistem kasta yang diajarkan Hindu. Masyarakt diyakinkan bahwa dalam Islam
yang semua lapisan masyarakt sama kedudukannya, tidak ada yang lebih utama
dalam pandangan Allah swt. kecuali karena takwanya. Mereka juga sama di dalam
hukum, tidak ada yang diistimewakan meskipun keturunan bangsawan. Dengan
demikian, semua lapisan masyarakat dapat saling hidup rukun, bersaudara,
bergotong royong, saling menghargai, saling mengasihi, bersikap adil, sehingga
toleransi Islam merupakan ciri utama bangsa ini yang dikenal dunia hingga dewasa
ini.
Selain itu akidah sufi kaum muslimin juga ikut membantu memasyarakatkan Islam
di Indonesia, karena memiliki banyak persamaan dengan kepercayaan kuno
Indonesia, yang cenderung menghargai pada pandangan dunia mistik. Seperti
kepercayaan pada tiga dewa; kecantikan, kesenian dan kemahiran, yang
diwariskan Hindu, yang dasarnya animisme.
23
Animisme merupakan dasar pandangan agama kuno Indonesia, yang berlandaskan
pada ide bahwa semua pergolakan alam merupakan akibat dari pekerjaan kekuatan
gaib yang sangat hebat, dan sebagian dapat dijinakan dan diturunkan
kemarahannya dengan cara-cara tertentu.
2. Faktor Politik
Faktor politik yang diwarnai oleh pertarungan dalam negeri antara negara-negara
dan penguasa-penguasa Indonesia, serta oleh pertarungan negara-negara bagian itu
dengan pemerintah pusatnya yang beraga Hindu. Hal tersebut mendorong
penguasa, para bangsawan dan para pejabat di negara-negara bagian tersebut untuk
menganut agama Islam, yang dipandang mereka sebagai senjata ampuh untuk
melawan dan menumbangkan kekuatan Hindu, agar mendapat dukungan kuat dari
seluruh lapisan masyarakat. Hal itu dapat dibuktikan hingga kini, bahwa apabila
semangat keislaman dibangkitkan di tengah-tengah masyarakat, baik di Sumatra,
Jawa, maupun kepulauan Indonesia lainnya, dengan mudah sekali seluruh
kekuatan dalam semangat keislaman itu akan bangkit serentak sebagai suatu
kekuatan yang sangat dahsyat.
3. Faktor Ekonomis
Faktor ekonomis, yang pertama diperankan oleh para pedagang yang
menggunakan jalan laut, baik antar kepulauan Indonesia sendiri, maupun yang
melampaui perairan Indonesia ke Cina, India, dan Teluk Arab/Parsi yang
merupakan pendukung utamanya, karena telah memberikan keuntungan yang tidak
sedikit sekaligus mendatangkan bea masuk yang besar bagi pelabuhan-pelabuhan
yang disinggahinya, baik menyangkut barang-barang yang masuk maupun yang
keluar.
Ternyata orang-orang yang terlibat dalam perdagangan itu bukan hanya para
pedagang , tetapi di antara mereka terdapat para penguasa negara-negara bagian,
pejabat negara dan kaum bangsawan. Karena perdagangan melalui lautan
Indonesia dan India hampir seluruhnya dikuasai para pedagang Arab, maka para
pedagang Indonesia yang terdiri dari para pejabat dan bangsawan itu, yang
bertindak sebagai agen-agen barang Indonesia yang akan dikirim ke luar dan
sebagai penyalur barang-barang yang masuk ke Indonesia, banyak berhubungan
dengan para pedagang muslim Arab yang sekaligus mengajak mereka kepada
agama baru itu. Menurut riwayat, Sultan Pasai yang muslim itu mau membuka
pasar-pasarnya bagi penguasa kerajaan Malaka asalkan mereka bersedia menganut
Islam.
Demikianlah perdagangan antara kepulauan Indonesia berjalan pesat sekali, sehingga
Islam berhasil mencapai Irian atau Papua, sementara orang-orang Hindu bertahan di Bali dan
Lombok Barat (Amin: 2010: 319).
1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam pertama kali berdiri di Indonesia adalah Kerajaan Perlak, Kerajaa
Perlak adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3
Hijriyah (abad ke-9 Masehi) (As: 1996: 9).
Pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan
dakwah di bawah pimpinan nahkoda khalifah. Kerajaan Perlak didirikan oleh Sayid Abdul
Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah (Amin: 2010: 331). Menurut Hasjmy, nahkoda khalifah diduga berasal dari keturunan
bani khalifah yang berasal dari Jazirah Arab (Hasjmy: 1981).
Muljana menyatakan bahwa pada akhir abad ke-12, di pantai timur Sumatra terdapat
Negara Islam bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peurlak, didirikan oleh para
pedagang asing Mesir, Maroko, Persi, dan Gujarat, yang menetapkan di wilayah itu sejak
awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab menikah
24
dengan putri pribumi, keturunan Raja Perlak. Dari perkawinan tersebut ia mendapat seorang
anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak.
Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, bernama Alauddin Syah. Demikianlah ia
dikeal sebagai Sultan Alaiddin Syah dari negeri Perlakn (Muljana: 2007: 130).
Angkatan dakwah yang dipimpin nahkoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri
dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan
keluarga Istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suk Quraisy kawin dengan
seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama
Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab-Perlak
yang kemudian setelah dewasa dilantik menjadi raja Kerajaan Perlak pada tahun 225 H
(Amin: 2010: 331).
25
6. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak didirikan atas prakarsa para walisongo. Di bawah pimpinan Sunan
Ampel Denta. Walisongo bersepakat mengangkat Raden Fatah sebagai raja pertama Kerajaan
Demak. Ia mendapat gelar Raden Fatah sebagai raja Pertama Kerajaan Demak. Ia mendapat
gelar Senopati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panataagama. Raden
Fatah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam berbagi permasalahan agama
dibantu oleh para wali. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah
Vassal (kekuasaan) Majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Fatah. Daerah ini
semakin lama semakin berkembang menjadi daerah yang ramai dan pusat perkembangan
agama Islam yang diselenggarakan para wali. Masa kekuasaan pemerintah Raden Fatah
berlangsung kira-kira akhir abad ke- 15 M hingga awal abad ke-16 M. Disebutkan bahwa
Raden Fatah adalah anak seorang Raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa.
Raden Fatah merupakan raja pertama Demak yang sangat berjasa dalam pengembangan
agama Islam di daerah wilayah kekuasaannya. Ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Pati
Unus (Adipati Unus) yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Ketika ia
menggantikan kedudukan ayahnya Pati Unus baru berumur 17 tahun pada tahun 1507 M.
setelah ia menduduki jabatan sebagai raja, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka.
Semangat perengnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukkan oleh portugis tahun 1511
M. serangan yang dilakukannya mengalami kegagalan karena kerasnya arus ombak dan
kuatnya pasukan Portugis sehingga akhirnya ia kembali ke Demak tahun 1513 M (Amin:
2010: 336).
Sepeninggal Pati Unus, digantikan oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan
Gunungjati dengan Gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Sultan Trenggono memerintah
tahun1524-1546 M. Pada masa ini agama Islam berkembang sampai ke Kalimantan Selatan.
Dalam penyerangan ke Blambangan, Sultan Trenggono meninggal (1546 M) dan
kedudukannya digantikan oleh adknya, Sultan Prawoto. Pada masa Sultan Prawoto terjadi
kerusuhan sehingga ia terbunuh. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Jaka Tingkir yang
berhasil membunuh Aria Penangsang. Pada masa inilah kemudian Kerajaan Islam Demak
dipindah ke Pajang (Amin: 2010: 336).
7. Kerajaan Pajang
Kerajaan Islam Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Islam Demak. Kerajaan
Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia adalah menantu Sultan
Trenggonoa yang diberikan kekuasaan di Pajang. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari
tangan Aria Penangsang pada Tahun 1546 M, seluruh kebesaran kerajaan dipindah ke Pajang,
dan ia bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijawa, ia berusaha
memperluas wilayah kekuasaannya ke pedalaman kea rah timur sampai ke Madiun. Setelah
itu ai menaklukan Blora pada tahun 1554 M, dan Kediri pada tahun1577 M. pada tahun 1581
M ia mendapat pengakuan dari para raja di jawa sebagai raja Islam.pada masa
pemerinahannya kesusastraan dan kesenian keratin yang sudah maju di Demak dan Jepara
lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Demikian pula juga pengaruh Islam semakin kuat di
pedalaman Jawa (Amin: 2010:337).
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya pada tahun 1587 M kedudukannya digantikan oleh
Aria Penggiri, anak Sunan Prawoto, sementara anak Sultan Hadiwijaya, yaitu pangeran
Benowo diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria
Penggiri dengan mendapat bantuan dari Senopati Mataram. Usahanya tersebut berhasil dan ia
mendapat tanda terima kasih dari Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, ia
26
menolak tawaran tersebut dan hanya meminta pusaka Kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke
Mataram. Dengan demikian, kerajaan pajang berada di bawah perlindungan Mataram, yang
kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram (Amin: 2010: 337).
8. Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Islam Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati. Setelah permohonan
Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya
untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Sebab dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti
itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai 1601 M. sepeinggalnya, ia
digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang yang terkenal dengan Sultan Seda Ing
Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613 M. Sultan Seda Ing Krapyak kemudian
digantikan oleh Sultan Agung yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusuma Sayidin
Penataagama Khalifatullah ing Tanah Jawi (1613-1646 M). pada masa pemerintah Sultan
Agung inilah kontak bersenjata antara Kerajaan Mataram Islam dengan VOC mulai terjadi.
Pada tahun 1646 M, sultan Agung digantikan oleh putranya, yaitu Amangkurat I. Pada
masanya terjadi perang saudar dengan Pangeran Lit yang mendapat dukungan dari para
ulama. Akibatnya antara pendukungnya dibantai pada tahun 1674 M. Pemberontakan itu
kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 dan 16678 M. pemberontakan-pemberontakan
seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Islam Mataram (Amin: 2010: 338).
9. Kerajaan Cirebon
Kerajaan Islam Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di daerah Jawa Barat.
Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati diperkirakan lahir pada
tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Karena kedudukannya
sebagai walisongo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa seperti Demak dan
Panjang. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari
kekuassan Pajajaran, Sunan Gunungjati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum
menganut ajran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunungjati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah
lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Setelah
Sunan Gunungjati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pengeran Ratu atau
Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya
yaitu Panembahan Girilaya. Sepeninggal kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang
putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh yang memerintah Kesultanan
Kesepuhan dengan gelar Syamsuddin, dan Kartawijaya atau Panembahan Anom yang
memerintah Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin (Amin: 2010:338).
10. Kerajaan Banten
Kerajaan Islam Banten didirikan oleh Sunan Gunungjati. Setelah Sunan
Gunungjati menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon, dan kekuasaanya
diserahkan kepada anaknya yaitu Sultan Hasanuddin. Hasanuddin kemudian menikahi putri
Demak dan diresmikan menjadi panembahan Banten pada tahun 1552 M. Ia meneruskan
usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan wilayah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah
sekitarnya di Sumatra Selatan, setelah sebelumnya tahun 1527 menaklukan Sunda Kelapa.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Panjang, Sultan Hasanuddin
memerdekakan Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya digantikan
oleh putranya yaitu pangeran Yusuf. Pangeran Yusuf menaklukan Pakuan pada tahun 1579 M
sehingga banyak para bangsawan Sunda yang masuk Islam. Setelah pangeran Yusuf
meninggal pada tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Maulana Muhammad yang
27
masih muda. Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu Banten. Selama itu kekuasaan
dipegang oleh Qadhi bersama empat pembesar istana lainnya. Maulana Muhammad
meninggal pada tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu kedudukannya digantikan oleh
anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir. Ia memerintah
secara resmi pada tahun 1638 M. Pada usia Sultan Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1659 M) terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC karena
Sultan Ageng Tirtayasa anti Belanda. Sikapnya yang anti Belanda itu mendapat dukungan dari
seorang alim berpengaruh, yaitu Seikh Yusuf dari Makasar. Peperangan itu baru berakhir
dengan perdamaian pada tahun1659 M. Sikap anti Belanda ini tidak disetujui oleh anaknya,
yaitu Abdul Kahar yang bergelar Sultan Haji, ia lebih suka bekerjasama dengan Belanda
(Amin: 2010: 339).
11. Kerajaan Sukadana (Kalimantan Barat)
Berdasarkan pada prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar abad V M, di
Kalimantan Timur telah da Kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Kutai. Sedangkan kerajaan-
kerajaan Hindu lainnya adalah Kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat dan kerajaan Banjar
di Kalimantan Selatan. Pada abad XVI M, Islam memasuki daerah Kerajaan Sukadana.
Bahkan pada tahun 1590 Kerajaan Sukadan resmi menjadi kerajaan Islam yang menjadi
Sultan pertamanya adalah Sultan Giri Kusuma. Setelah itu, ia digantikan puteranya yaitu
Sultan Muhammad Syafruddin (Mubarak: 2014: 158).
12. Kerajaan Banjar (abad ke-16)
Kesultanan Banjar merupakan Kesultanan Islam yang terletak di Kalimantan
bagian Selatan. Kesultanan ini pada awalnya bernama Daha, sebuah kerajaan Hindu yang
berubah menjadi kesultanan Islam. Kesultanan Banjar berdiri pada tahun 1595 dengan
penguasa pertama Sultan Suriansyah. Islam masuk ke wilayah ini pada tahun 1470, bersama
dengan melemahnya Kerajaan Majapahit di pulau Jawa. Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh
Pangeran Samudra berperang dengan kerajaan Daha. Kemudian raja Sumdra meminta
bantuan ke Demak dengan janji jika menang maka raja beserta penduduknya akan masuk
Islam. Maka berangkatlah tentara Demak menyerbu kerajaan Daha. Dalam peperangan itu,
Kerajaan Banjar yang dibantu Demak menang. Sejak itu Pangeran Samudra masuk Islam, dan
Kerajaan Banjar dinyatakan sebagai kerajaan Islam pada tahun 1550 M (Amin: 2010: 340).
13. Kerajaan Goa (Makasar)
Kerajaan Goa awalnya merupakan kerajaan non-Islam. Raja Goa yang mula-mula
masuk Islam adalah Karaeng Tanigallo. Setalh masuk Islam, ia bergelar Sultan Alauddin
Awwalul Islam. Kemudian Kerajaan Goa (Makassar) dinyatakan sebagai Kerajaan Islam
Makassar pada tahun 1603. Sultan Alauddin Awwalul Islam memerintah sejak 1591-1638 M.
Wilayah kekuasaanya meliputi: Sulawesi selatan, Sulawesi Tenggara, dan pulau-pulau sekitar
Sumbawa(Amin: 2010: 341).
14. Kerajaan Bugis
Kerajaan Islam Bugis mulanya bukanlah kerajaan Islam. Raja Bugis yang pertama masuk
Islam adalah Lamdu Sadat. Setelah ia mangkat digantikan oleh putranya bernama Apu
Tanderi. Kerajaan Bugis meliputi Wajo, Sopeng, Sindenrengi, Tanette, dan lain-lain. Kerajaan
ini berdiri semasa dengan Kerajaan Islam Goa yang berpusat di Makasar (Amin:2010:341).
15. Kerajaan Ternate
28
Raja Ternate yang pertama masuk Islam adalah Raja Gapi Buguna atas ajakan
Maulana Husain. Setelah Masuk Islam, maka Ternate dinyatakan sebagai Kerajaan Islam.
Raja Gapi Baguna memerintah dari tahun 1465-1486 M setelah ia mangkat namanya
dikenal sebagai Raja Marhum (Amin: 2010:342).
16. Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore semasa dengan Kerajaan Ternate. Wilayah kerajaan ini meliputi
sebagian Halmahera, pantai barat Irian Jaya, dan sebagian kepulauan Seram. Raja Tidore
yang pertama masuk Islam adalah Cirali Lijtu, yang kemudian berganti nama menjadi
Sultan Jamaluddin (Amin: 2010: 342)
17. Kerajaan Bacan
Pada tahun 1521, raja Bacan yang memerintah negeri ini masuk Islam, namanya
kemudian menjadi Sultan Zainul Abidin. Wilayah Kerajaan Bacan meliputi Kepulauan
Bacan, Obi, Waigen, Salawati dan Misool. Ketika Portugis menguasai Maluku, sultan-
sultan Bacan mereka paksa untuk masuk agama Kristen (Amin: 2010: 342)
18. Kerajaan Jailolo
Raja Jailolo yang pertama kali masuk Islam ialah raja yang kesembilan. Setelah
masuk Islam namanya berganti dengan nama Sultan Hasanuddin. Kerajaan Islam Jailolo
ini berdiri tahun 1521. Wilayahnya meliputi bagian Halmahera dan pesisir utara Pulau
Seram. Ketika Portugis menguasai daerah-daerah Maluku, mereka memaksa Kerajaan
Jailolo untuk masuk Kristen (Amin: 2010: 343)
19. Kesultanan Buton (Abad ke-16)
Kesultanan Buton merupakan kerajaan Islam yang terletak di pulau Buton,
Sulawesi bagian Tenggara. Kerajaan Buton menjadi kesultanan setelah Halu Oleo, Raja
ke-6 kerajaan tersebut memeluk agama Islam. Penyebaran Islam secara luas dilakukan
oleh Syaikh Abdull Wahid bin Syarif Sulaiman al- Pathani, seorang ulama dari kesultanan
Johor asal Pathani. Peninggalan sejarah Kesultanan Buton berupa Benteng Kraton dan
Batupoaro yaitu batu tempat berkhalwat (mengasingkan diri) Syaikh Abdul Wahid di akhir
keberadaanya di Buton (Amin: 2010: 343).
20. Kesultanan Kutai (Abad ke-16)
Kesultanan Kutai terletak di sekitar Sungai Mahakam bagian Timur.pada
awaknya, Kutai merupakan kerajaan yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Buddha. Islam
berkembang pada masa kepemimpinan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M). Penyebaran
Islam dilakukan oleh seorang mubaligh bernama Said Muhammad bin Abdullah bin Abu
Bakar Al- Wars. Kesultanan ini mencapai puncak kejayaan pada masa Kesultanan Aji
Sultan Muhammad Salehuddin (1780-1850 M) memerintah (Amin: 2010: 343).
21. Kesultanan Bima (Abad ke-17)
Kesultanan Bima adalah kerajaan Islam yang terletak di pulau Sumbawa bagian Timur.
Kerajaan Bima berubah menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1620 setalah raja La Ka’i
memeluk Islam dan mengganti namnaya menjadi Sultan Abdul Khair. Pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Khair (1640-1682 M), kesultanan Bima menjadi pusat penyebaran
Islam kedua di Timur Nusantara setelah Makassar (Amin: 2010: 344).
29
Dari catatan di atas kedatangan Belanda dan portugis atau orang-orang Eropa Barat
sedikit banyak mengubah peta dakwah di Indonesia, dari yang tadinya damai menjadi
bertambah dengan unsur kekerasan dan perang. Terdapat sejumlah faktor yang menjadi
pemicu kedatangan bangsa Barat ke Indonesia dan kemudian melakukan penjajahan.
Pertama, pengalaman perjalanan Marcopolo yang dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul
Le Livre de Marco Polo. Di dalam buku tersebut Marcopolo menceritakan keindahan Dunia
Timur dan menyatakan bahwa Dunia Timur lebih maju dari Dunia Barat. Kedua, sebagai
dampak renaissans, Eropa mengalami kemajuan dalam sains dan teknologi. Orang Barat tidak
percaya lagi pada dogma gereja bahwa dunia ini seperti meja, mereka mulai percaya bahwa
bumi ini bulat seperti bola. Oleh karena itu, mereka berani berlayar di lautan yang
sebelumnya tidak pernah mereka jelajahi. Ketiga, suplai kebutuhan Eropa dari Timur berupa
rempah-rempah menjadi berkurang dan mahal sebagai dampak lanjut dari penaklukan Turki
terhadap Konstantinopel. Hal ini memicu mereka untuk mendapatkan kebutuhannya langsung
dari sumbernya.(Sarotono Kartodirdjo dkk., III, 1975: 327-380)
Awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke nusantara adalah untuk berdagang.Bangsa
Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama kali sampai di Asia Tenggara.Di samping
berdagang, Portugis juga menyebarkan agama Kristen dengan seorang pendeta yang terkenal
bernama Fransiscus Xaverius. Mereka berhasil menaklukkan ibukota kerajaan Islam Malaka
dan mendirikan benteng di sana. Namun, mereka gagal menaklukkan Sunda Kalapa, yang
sekarang bernama Jakarta. Di bawah pimpinan Fatahillah, Demak berhasil mengalahkan
Portugis di Sunda Kalapa tahun 1527 M. Portugis juga dipacu oleh semangat reconquesta,
artinya semangat menaklukkan kembali wilayah yang dianggap mereka dulunya milik
kerajaan Romawi Kristen. Bangsa Eropa berikutnya yang datang adalah Belanda dan
kemudian Inggris.Belanda dan Inggris adalah pesaing utama Portugis dan Spanyol di lautan
lepas.Persaingan itu selain dipicu oleh kepentingan ekonomi, khususnya rempah-rempah, juga
karena adanya perbedaan aliran antara Katolik yang dianut Portugis dan Spanyol dengan
Protestan yang dianut Balanda dan Inggris. Inggris tidak banyak pengaruh kolonialismenya
terhadap Indonesia dibandingkan dengan Belanda karena hanya menduduki Indonesia selama
5 tahun. Di samping itu, Inggris hanya menguasai sebagian kecil wilayah Indonesia, yaitu
Bengkulu, dan itu pun kemudian ditukar dengan koloni Belanda di Semenanjung Malaysia.
(MC. Ricklefs, 2005: 308-309)
Taktik devide et impera (mengadu-domba) dilakukan Belanda di Banten dan Mataram.
Dua kerajaan besar di Jawa (H.J. De Graaf dan Th.G.Th. 1986) ini pada akhirnya berhasil
dikuasai Belanda. Di Banten, Belanda berhasil memprovokasi Sultan Haji untuk memerangi
ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam peperangan itu, pasukan Sultan Haji yang didukung
Belanda berhasil mengalahkan dan memenjarakan Sultan Ageng Tirtayasa serta membuang
Syekh Yusuf, ulama besar kerajaan Banten ke Afrika Selatan, sehingga Banten kemudian
menjadi wilayah jajahan Belanda. Sementara di Mataram, Belanda agak mengalami kesulitan
karena Kerajaan Mataram adalah sebuah negara dengan penduduk yang besar dan wilayah
pedalaman yang luas. Di zaman Sultan Agung, Mataram dua kali menyerang benteng Batavia,
yaitu tahun 1627 M dari arah laut dan 1628 M dari arah darat, walaupun tidak berhasil karena
bocornya rencana penyerangan. Keberhasilan Belanda mengendalikan Mataram bermula dari
kebijakan ambisius Susuhunan Amangkurat I yang ingin memusatkan seluruh kekuasaan di
tangannya. Orang-orang kuat kerajaan Mataram dan daerah-daerah penting yang menentang
kebijakan raja dikucilkan dan diasingkan. Hal ini memicu timbulnya pemberontakan. Dia
tidak segan-segan membantai lebih dari 5.000 orang terdiri dari ulama, pria, wanita dan anak-
anak. Bahkan pada tahun 1659 M, Pangeran Pekik, ayah mertuanya sendiri, dibunuh.Tahun
1675 M muncul pemberontakan besar menentang Raja Amangkurat I. Tahun 1676 M Belanda
membantu Amangkurat I menghadapi pemberontakan dengan syarat VOC mendapatkan
kekuasaan di wilayah Priangan.(MC. Ricklefs, 2005: 164-175)
30
Bentuk perlawanan kaum muslimin Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terbagi
menjadi 2, yaitu: sebelum abad ke 20 yang berbentuk perlawanan fisik dan perlawanan pada
abad ke 20 dengan menggunakan metode baru. Perlawanan awalsebenarnya sudah
berlangsung sejak kedatangan bangsa Barat di nusantara. Terdapat perbedaan bentuk
perlawanan muslim Indonesia abad ke 19 dengan abad sebelumnya. Sebelum abad ke 19,
yang berperang adalah kerajaan Islam di Indonesia menghadapi persekutuan para pedagang
Belanda yang dipersenjatai (VOC). Sedangkan pada abad ke19, kerajaan-kerajaan Islam di
nusantara tidak lagi memerangi Belanda karena sudah di taklukkan, jadi yang berperang
terhadap Belanda adalah rakyat muslim menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Pada Abad
ke 19, seluruh wilayah Indonesia sudah ditaklukkan dan dikuasai Belanda, kecuali Aceh.Pada
masa ini muncul pertempuran-pertempuran besar di berbagai wilayah. Di Sumatera muncul
perang Paderi (1821-1838), Perang Aceh (1873-1912); di Jawa timbul perang Diponegoro
(1825-1830); di Kalimantan ada perang Banjar (1859-1862); di Indonesia Timur berkobar
perang yang dipimpin Patimura (1817). Di samping perang besar, muncul pula perlawanan
dengan skala kecil seperti: pemberontakan petani Cilegon di Banten (1888), gerakan Baujaya
di Semarang (1841), gerakan Haji Jenal Ngarip di Kudus (1847), Peristiwa Ciomas, Bogor
(1886), gerakan Cikandi Udik (1845) yang kesemuanya itu dapat dipatahkan Belanda. Ajaran
Islam menjadi inspirator munculnya perlawanan itu.(Sartono Kartodirdjo dkk., IV, 1975: 239-
307)
Setidaknya ada 5 aspek dari Islam yang mendorong munculnya semangat perlawanan
yaitu: 1) izin berperang (QS, 22:39), 2) ideologi Jihad, 3) cinta tanah air, 4) gema takbir, 5)
doktrin amar ma’ruf nahi munkar. Berkaitan dengan belum ditaklukkannya Aceh hingga awal
abad ke 20, maka ditugaskanlah Christian Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kekuatan dan
kelemaham umat Islam. Dalam kerangka tugas tersebut, Dr. Snouck pergi ke Mekah dan
mengaku telah beragama Islam dengan nama Abdul Gafar. Dia sempat meneliti pola perilaku
orang Indonesia yang bermukim di Mekah selama 6 bulan hingga akhirnya diusir setelah
terbukti hanya berpura-pura Islam. Dari hasil pengamatan Snouck, kemudian menjadi buku
berjudul De Atjehers, dia menasehatkan Belanda jika ingin memenangkan pertempuran
dengan kaum Muslim Aceh adalah: 1) dirikan sekolah sekuler sebanyak mungkin, 2) adu
domba antara muslim abangan dengan putihan, 3) adu domba antara tokoh adat dengan
ulama, 4) tindas gerakan politik Islam, 5) bantu umat Islam dalam melaksanakan ritual agama.
Awal Pembaharuan Islam di Indonesia bermula pada abad ke 19. Fenomena dan
dampak pembaharuan Islam ini muncul pertama kali di Minangkabau (Sumatera Barat).
Perang Paderi (Paderi sebutan Belanda terhadap perang tersebut yang berasal dari bahasa
Portugis, Pader yang berarti Bapak/ Pendeta) adalah konsekuensi logis dari adanya
pembaharuan pemikiran tentang Islam. Kaum Paderi adalah orang-orang Minang yang
bermukim di Mekah dan belajar Islam dari kaum Wahabi (pengikut Syekh Muhammad bin
Abdul Wahab). Mereka membawa paham Wahabi ke Indonesia. Oleh karena itu, kaum Adat
yang juga beragama Islam, dianggap oleh kaum paderi tidak melaksanakan Islam dengan
sungguh-sungguh. Hal itu terlihat dari peri kehidupan mereka sehari-hari yang suka mengadu
ayam, berjudi dan mabuk-mabukan. Persoalan itulah yang kemudian menimbulkan perang
besar di Minangkabau. Dari Minangkabau muncul pembaharu bernama Syekh Ahmad Khatib
yang kemudian berpengaruh pada gerakan pembaharuan Islam di abad ke 20. Puncak karirnya
adalah menjadi imam mazhab Syafii di Masjidil Haram. Ia dikenal sebagai tokoh yang
menentang pola pembagian waris di Minangkabau yang berdasarkan keturunan dari pihak ibu
dan tarekat Naqsabandiyah. Walaupun menjadi imam mazhab Syafii, tetapi ia tidak pernah
melarang murid-muridnya membaca tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Murid-
muridnya tidak hanya dari orang Minang seperti Mohammad Jamil Jambek, Haji Abdul
Karim Amrullah (Ayahnya Hamka, Ketua MUI pertama), tetapi ada juga orang Jawa seperti
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
31
Di tanah Jawa muncul pembaharuan Islam. Di belahan Barat Jawa terdapat Syekh
Nawawi al- Bantani. Syeikh Nawawi Al- Bantani di lahirkan di Tanara, Serang, Banten, pada
1230 H/ 1813 M. Ayahnya bernama Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Ki Jamal bin
Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Maqsum bin Ki Maswi bin Tajul Arsy (Pangeran Sunyararas)
bin Sultan Hasanuddin bin Sunana Gunungjati. Sedangkan ibunya bernama bernama Nyai
Zubaidah binti Singaraja. Kedua orang tua Syeikh Nawawi al- Bantani adalah keturunan
darah biru yang selalu mengedepankan imu agama (Ulum: 2015: 50).
Syeikh Nawawi Al- Bantani merupakan alim ulama asal Nusantara yang posisinya
sangat dihormati di Negeri Hijaz, sehingga beliau mendapat julukan Sayyid Ulama Hijaz.
Syaikh Nawawi al- Bantani adalah seorang Muallif dari berbagai disiplin ilmu diantaranya
adalah ilmu (Amin:2009: 55-66):
1. Tafsir, kitab karangannya dalam bidang ilmu tafsir adalah Tafsir al- Munir li
Ma’alim at- Tanzil atau Marah Labid Tafsir an- Nawawi.
2. Tasauf dan akhlaq, kitab karanganny dalam bidang ini adalah Sullam al- Taufiq,
Syarah Maraqi al- Ubudiyyah, Nashaih al- ‘Ibad, Misbah azh- Zhulam, Qami’
ath- Thugyan, dan Sullam al- Fudhala.
3. Fiqih, kitab karanganny dalam bidang fiqih adalah Syarah ‘Uqud al-Lujain,
Syarah Sullam al- Munajah, Nihayah az- Zain fi Irsyadi al- Mubtadi’in, Tausih
‘ala Fath al- Qarib, dan Sullam al- Taufiq. Karya lain dalam bidang fiqih adalah
As- Simar al- Yani’at, Syarah ‘ala Riyadh al- Badi’at. Kitab fiqih ini merupakan
komentar terhadap karya Syaikh Muhammad Hasbullah. At- tausyih, Syarah ‘ala
Fathu al- Qarib al- Mujib, kitab ini merupakan komentar terhadap karya Ibn
Qasim al- Ghazali.
4. Teologi, karyany dalam bidang ini adalah Fath al- Madjid.
5. Hadits, karyanya dalam bidang ini adalah Tanqih al- Qaul al- Hatsis, Syarah ‘ala
Lubab al- Hadits. Kitab yang membahas empat puluh haditstentang prilaku
utama, ini merupakan ulasan terhadap karya Imam Jalaluddin asy- Syuyuti.
6. Tauhid, karyanya adalah Nur azh- Zhalam, Syarah ‘ala Manzhumah bi ‘Aqidah
al – Awwam. Kitab ini merupakan komentar terhadap karya Sayyid Ahmad
Marzuki Al- Makki.
7. Dan kitab-kitab lainnya seperti kitab tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad
saw. merupakan ulasan terhadap karya Imam Sayyid Ja’far al Barzanji. Kitab
tersebut di beri nama oleh Seikh Nawawi dengan Madariju ash Shu’ud, Syarah
‘ala Maulid an- Nabawi.
Nashaihul Ibad, Syarah ‘ala al- Munbihat al- Isti’dad li yaumil ma’ad. Kitab
yang berisi petuah kepada manusia terkait dengan hari kiamat, merupakan ulasan
terhadap ksarya Syaikh Sihabuddin Ahmad al- Ashqalani.
Al- Aqdus Samim, Syarah ‘ala Manzhumat as- Sittin Masalatan al- Musamma bi
al- Fathul al- Mubin. Kitab yang membahas enam puluh masalah yang berkaitan
dengan tauhid dan fiqh ini merupakan ulasan terhadap karya Syaikh Mustafa bin
Usman al- Jawi al- Qaruti, selama ulama Garut.
8. Dan lain sebagainya.
Dari salah satu keturunannya yang masih ada sampai sekarang K. H Dr (HC) Ma’ruf
Amin yangsaat ini menjabat sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia (MUI).Syeikh
Muhammad Arsyad Al- Banjari, seorang ulama yang menjadi mufti besar Kalimantan (Amin:
2010: 340).Beliau dikenal juga sebagai Tuanku Haji Besar dan Datu Kelampayan
(Ariani:2010: 378). Saghir Abdullah, seorang peneliti Kalimantan, menjulukinya sebagai
Matahari Islam Nusantara (Abdullah: 1983:2). Kiprah Syekh Arsyad tidak saja dikenal di
daerah Kalimantan Selatan dan Indonesia tetapi juga pada negeri-negeri jiran seperti
32
Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Hal ini disebabkan karya
yang monumental, kitab Sabilal al-Muhtadin (Ariani:2010: 378) banyak dipelajari oleh umat
Islam di negara-negara tersebut. Lebih dari itu, kitab ini tersimpan rapi di beberapa
perpustakaan besar dunia, seperti Mekkah, Mesir, Turki dan Beirut (Humaidy: 2004: 5).
Pemikiran Syekh Arsyad dalam bidang keagamaan meliputi beberapa
aspek(Ariani:2010:287), yaitu :
a. Aspek akidah, beliau berusaha untuk memurnikan Akidah Islam dari ajaran lama
seperti bid’ah dhalalah, melarang ajaran wujudiyah dan berusaha meyakinkan
Sultan Nata Alam bahwa ajaran wahdatul wujud itu bertentangan dengan faham
ahlus sunnah wal jama’ah.
b. Aspek Syariah, beliau menulis kitab-kitab Fiqh berdasarkan mazhab Syafi’i,
seperti kitab Sabilul Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr al-Din dan kitab al- Nikah.
Kelebihan Syekh Arsyad terletak pada ketepatannya memilih persoalan yang
urgen untuk diuraikan secara lengkap dan disempurnakan dengan pemberian
contoh yang aplikatif dalam kehidupan masyarakat.
c. Aspek Dakwah, beliau mengembangkan tiga bentuk dakwah, dakwah bil hal,
dakwah bil lisan dan dakwah dengan tulisan. Ia mengaplikasikan konsep
dakwahnya sebagai manifestasi dari pemikirannya hingga menyentuh berbagai
aspek kehidupan secara mendasar.
d. Aspek Tasawuf, Syekh Arsyad menulis dua buah kitab risalah yang memuat
uraian berbagai ‘syirik hati’ dan bagaimana cara membuangnya dengan
meningkatkan tauhid asma, tauhid af’al, tauhid sifat, sampai kepada tauhid dzat.
Sementara itu, di Jawa Tengah ada Ahmad Ripangi. Ia mengarang buku dalam bahasa
Jawa dalam bentuk puisi yang meliputi ushuluddin, fikih dan tasawuf. Ia sangat militan dalam
mengkritik perilaku umat Islam di Jawa yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan
Sunnah. Oleh karena para pemimpin agama di Jawa yang diangkat Belanda merasa terganggu
dengan ajaran Ahmad Ripangi, maka kemudian Belanda mengasingkannya ke Ambon.
Pada awal abad ke 20, perlawanan kaum muslimin terhadap penjajahan tidak lagi
dalam bentuk militer, walaupun masih ada sejumlah pemberontakan bersenjata. Para tokoh
perlawanan menyadari perlunya pengorganisasian dalam melawan kolonialisme, sehingga
pertumpahan darah sia-sia dapat dihindarkan. Oleh karena itu, muncullah pada masa ini
organisasi-organisasi yang bergerak menyadarkan umat tentang pentingnya kemerdekaan dan
bebas dari penjajahan. Akan tetapi, sayangnya di antara organisasi itu sebagiannya tidak
mendasarkan perjuangannya kepada Islam walaupun tokoh-tokohnya adalah muslim. Bentuk
perlawanan terhadap penjajah pada abad 20 memperlihatkan adanya perubahan paradigma,
yaitu tidak menekankan unsur militer saja, tetapi memanfaatkan hampir semua aspek yang
ada seperti partai politik, organisasi sosial dan pendidikan, media massa untuk membentuk
opini, lobi dengan kaum oposisi di Parlemen Belanda dsb. Inilah yang kemudian menuai
hasilnya dalam bentuk kemerdekaan Indonesia kemudian. Unsur yang menjadi perhatian
utama gerakan Islam pada awal abad ke 20 adalah pendidikan dengan menggunakan sistem
organisasi moderen. Di samping itu, pengajaran agama Islam umumnya masih menggunakan
bahasa atau tulisan Arab tanpa memperdulikan apakah masyarakat umum dapat mengerti dan
memahaminya. Pada masa ini Al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga
lebih dipahami. Bahkan, khutbah Jumat yang pada abad sebelumnya menggunakan bahasa
Arab, diganti dengan bahasa Indonesia kecuali dalam menukil ayat Al-Quran atau Hadis. Hal
lain yang menambah kemajuan umat Islam Indonesia pada masa ini adalah adanya kajian
fiqih kontemporer yang sesuai dengan perkembangan yang ada. Di bidang ekonomi dan
33
politik, pada masa ini muncul Jami’atul khair 1905. Sarekat Islam tahun 1911 M. Organisasi
ini awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi.Sejarawan
berbeda pendapat mengenai tahun berdirinya. Deliar Noer menyebut tahun 1911; Ahmad
Mansur Suryanegara menyebut tahun 1906. Warna politik organisasi ini semakin kental
dengan masuknya tokoh yang bernama HOS Cokroaminoto tahun 1912.Pada tahun 1915 Haji
Agus Salim ikut menjadi aktivis organisasi tersebut.Organisasi ini berhasil merekrut anggota
dalam jumlah yang besar sehingga diproklamasikannya kemerdekaan RI. Di bidang sosial dan
pendidikan muncul organisasi Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Islam
(Persis), Al Irsyad, Sumatra Thawalib, Jamiatul Wasshliyah dan Persatuan Umat Islam (PUI).
Muhammadiyah berdiri tahun 1912 yang pendiriannya sebagai reaksi atas gerakan
kristenisasi. Aktivitas kristenisasi yang meningkat dengan banyak dibangunnya sekolah dan
rumah sakit, merangsang tokoh-tokoh Islam di Yogya melakukan hal serupa. Berdirinya NU
Pada tahun 1926 sebagai suatu usaha untuk melestarikan pendidikan pesantren di seluruh
Indonesia, yang mengembangkan ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Organisasi ini
mengarahkan umat Islam agar memiliki pemahaman yang bersifat wasatiyah (moderat),
tawazun (seimbang), i’tidal (adil dan lurus) dan tasamuh (toleran). Oragnisasi ini dibentuk
untuk melanjutkan perjuangan para wali dan para ulama yang mengembangkan pemahaman
Islam melalui sanad yang jelas, dari Nabi saw, khulafaurrasyidin, para sahabat, tabi’in dan
seterusnya. Pada 1926 NU mengutus komite hijaz dengan pimpinan KH. Wahab Chasbullah
untuk menyampaikan surat kepada penguasa Haramain agar tetap diberikan kebebasan dalam
bermadzhab sehingga tidak dimonopoli oleh madzhab-madzhab tertentu saja. Komite hijaz
juga memohon kepada penguasa Haramain agar tidak menghancurkan tempat-tempat
bersejarah di Mekkah dan Madinah. Surat permohonan yang dibawa Komite Hizaj tersebut di
balas oleh penguasa Haramain dengan jawaban yang simpatik.
Persatuan Islam (Persis) dan Al Irsyad sebenarnya juga termasuk ke dalam kelompok
pembaharu, namun fokus kerja mereka berbeda. Persis cenderung lebih menekankan pada
pemurnian ibadah (khas) sesuai dengan sunnah Nabi tanpa harus berpegang kaku pada
mazhab. Sementara Al Irsyad cenderung khusus untuk mengenbangkan kehidupan sosial,
pendidikan dan dakwah pada masyarakat keturunan Arab di Indonesiaa.
Awalnya, Kerajaan Jepang berjanji akan membantu Indonesia bebas dari penjajahan
Belanda. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah eksploitasi Indonesia untuk kepentingan
industri Jepang dan Perang Dunia II dimana Jepang terlibat di dalamnya. Setelah Jepang
mengalami kemunduran dalam PD II, mereka menjanjikan kemerdekaan Indonesia dan
mewadahinya dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Persiapan
Kemerdekaan) dan Dokuritsu Zyunbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan). Badan tersebut
menghasilkan Konstitusi (UUD) yang di dalamnya ada peraturan tentang “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Peraturan ini disepakati,
termasuk golongan Kristen yang diwakili Mr. Maramis, tanggal 22 Juni 1945 dan dikenal
dengan Piagam Jakarta. Dalam perkembangan berikutnya pada tanggal 18 Agustus
1945,peraturan tersebut ada sedikit perubahan dengan menghapus Ketuhanan dengan
Kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diganti dengan Ketuhanan
yang Maha Esa. Perubahan ini dilakukan untuk menghindari perpecahan dikalangan
masyarakat Indonesia, yang baru merdeka. Perubahan ini dalam rangka mengantisipasi
beberapa usul yang disampaikan dari wilayah Indonesia bagian Timur. Perubahan tersebut
diatas disetujui juga oleh wakil ummat Islam seperti Wahid Hayim dan Abdul Kahar
Mudzakkir. Menurut Ki Bagus Hadikusumo, orang terakhir yang dibujuk mengubah Piagam
Jakarta, yang dimaksud Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid; dan Tuhan yang dimaksud
adalah Allah seperti tertera di alinea pertama Pembukaan UUD 1945.
34
Betapapun ada perbedaan antara kaum tradisional dengan modernis dalam masalah
pemahaman keagamaan, namun sikap mereka terhadap kolonialisme Belanda sama. Hal ini
terbukti setelah proklamasi kemerdekaan 1945, mereka bahu-membahu berjihad
mempertahankan kemerdekaan.Tokoh dan pendiri NU, KH.Hasyim Asy‘ari, bahkan
mengeluarkan fatwa yang menyatakan wajib hukumnya memerangi tentara sekutu termasuk
Belanda dengan mengeluarkan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi itu
mewajibkan umat Islam membela tanah air Indonesia, dan apabila meninggal menjadi syahid.
Resolusi Jihad itu (22 Okt 1945) sekarang ditetapkan menjadi Hari Hantri Nasional.
Sementara itu, Sudirman, salah seorang anggota Muhammadiyah dan mantan komandan
tentara Pembela Tanah Air (PETA) semacam milisi bentukan Jepang untuk melawan sekutudi
Jawa Tengah, diangkat menjadi panglima angkatan bersenjata Indonesia.
Keterlibatan kaum muslimin dalam mengelola pemerintahan Indonesia merdeka
sebenarnya telah dimulai sejak terbentuknya berbagai organisasi seperti,Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama),PSII, dan PERTI.Tokoh-tokoh Islam
tersebut pada revolusi fisik telah turut dalam pemerintahan seperti M. Natsir yang menjabat
Menteri Penerangan dan Moh.Roem yang terlibat perundingan dengan Belanda (yang terkenal
dengan perundingan Roem-Royen). M. Natsir berperan penting dalam mengembalikan bentuk
negara Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi negara kesatuan dengan mosi integralnya.
Peran itulah yang kemudian menjadi sebab dipercayanya M. Natsir oleh Presiden Sukarno
untuk membentuk kabinet dan menjadi Perdana Menteri pada tahun 1950; kabinet pertama
yang dipercayakan kepada tokoh dari partai politik Islam. Peran Kabinet Natsir (1950-1951)
yang penting adalah menjadikan Indonesia sebagai anggota PBB yang ke-60. Tokoh-tokoh
NU dan Partai Islam lain juga berperan, misalnya: Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama,
demikian juga tokoh-tokoh yang berasal dari kalangan Muhammadiyah.
Kabinet berikutnya yangdipimpin tokoh Masyumi adalah Burhanudin Harahap (1955-
1956). Dalam kabinet ini juga terdapat unsur dari NU, yaituMuahmmad Ilyas sebagai Menteri
Agama dan R Sunarjo sebagai menteri dalam negeri. Dari kalangan PSII Harsono
Cokroaminoto dan demikian juga tokoh Muhammadiyah. Burhanudin berhenti menjadi
Perdana Menteri bukan karena mendapatkan mosi tidak percaya dari anggota parlemen
ataupun karena kesalahan dalam keputusan politik, justru karena sukses menjalankan program
utama kabinet yaitu Pemilihan Umum 1955, dalam pemilu pertama itu yang dilaksanakan
mentri dalam negeri oleh R Sunarjo sebagai kabinet Burhanudin harahap, partai politik Islam
memperoleh pendukung sekitar 40 %. Ada empat partai yang memperoleh suara dukungan
terbesar yaitu: partai PNI mendapat 57kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, PKI 39 kursi.
Pemilu itu dinilai paling berkualitas sepanjang abad ke 20. Pada masa ini pula muncul
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat, yang dikenal umum
sebagai pemberontakan dan sering dikaitkan dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
di Sulawesi Utara. PRRI adalah sebuah gerakan yang timbul karena kekecewaan sejumlah
tokoh politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Sejumlah tokoh partai Masyumi
terlibat dalam kasus tersebut, seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara.
“Pemberontakan” PRRI akhirnya ditumpas Sukarno dan tokoh-tokohnya dipenjarakan.
Era Demokrasi Terpimpin dimulai pada tanggal 5 Juli 1959, yaitu sesaat setelah
dikeluarkannya Dekrit Presiden yang membubarkan parlemen.Karena parlemen setelah
berkali-kali sidang tidak dapat memutuskan dasar negara RI, karena masing-masing kelompok
tidak bisa memenuhi persyaratan. Zaman ini diwarnai dengan pembubaran partai politik yang
menentang kebijakan Presiden Sukarno, termasuk di dalamnya partai Masyumi. Partai Islam
yang bertahan di masa ini dan ikut terlibat dalam pemerintahan Sukarno adalah Nahdhatul
Ulama. Setelah bubarnya Masyumi, partai NU menjadi wakil umat Islam di kancah
pemerintahan untuk melanjutkan persaingan dengan PKI. Selanjutnya setelah PKI terlibat
35
dalam gerakan 30 September 1965 maka partai NU-lah yang pertama kali mengusulkan
pembubaran PKI pada 5 Oktober 1965. Dimasa pemerintahan Bung Karno selain dikalangan
NU juga ada beberapa tokoh yang masuk kabinet dari kalangan Ormas Islam lain. Sebagai
contoh KH. Idham Kholid (menkokesra)dari NU, M. Dahlan (Menag)dari NU, dan dari
Ormas Islam yang lain adalah Mulyadi Joyomartono, dan Said Sukanto Cokroatmojo dari
Muhammadiyah dan Sarikat Islam.
Presiden Sukarno akhirnya harus turun dari kursi kekuasaan dan kemudian digantikan
Suharto. Pertama karena Sukarno memberikan mandat politis kepada Suharto dalam bentuk
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966 M. Kedua karena Suharto dianggap
sebagai pemimpin yang berhasil menumpas gerakan Komunis. Pada mulanya, perubahan
rezim kekuasaan dari Sukarno ke Suharto dianggap sebagai peluang untuk berperannya
kembali Islam dalam panggung politik. Hal ini dibuktikan dengan dibebaskannya tokoh-tokoh
penentang Sukarno dari penjara seperti M. Natsir, Hamka, KH. Imron Rosyadi dsb. Kebijakan
Suharto setelah resmi diangkat sebagai Presiden tahun 1967, adalah mengorbitkan Golongan
Karya (Golkar) sebagai mesin politiknya. Pada pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971,
terdapat sepuluh partai yang bersaing berebut kursi parlemen; diantaranya yaitu: GOLKAR
236 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 24 kursi, PNI 20 Kursi, PSII 10 kursi, Parkindo 10 kursi,
katolik 3 kursi, perti 2 kursi, IPKI 0, MURBA0. Dari 10 partai tersebut 4 adalah Partai Islam,
yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Akan tetapi pada pemilu berikutnya tahun 1977, terjadi
penggabungan Partai sehingga hanya ada tiga partai yang bersaing, yaitu: 1. PPP, yang
dianggap mewakili Islam 2. Golkar, partainya pemerintah yang berkuasa dan 3.PDI, yang
dianggap mewakili Nasionalis. Pada pemilu 1987, tidak ada lagi partai Islam. PPP telah
mengubah simbol partai dari Ka’bah menjadi Bintang dan mengganti asasnya dari Islam
menjadi Pancasila. Dekade 1980-an terjadi fenomena deislamisasi politik dan kampanye
negatif terhadap Islam yang dilakukan besar-besaran oleh pemerintah. Tahun 1982, Pancasila
ditetapkan sebagai satu-satunya azas (atau dikenal juga dengan azas tunggal) yang dianggap
sebagian tokoh Muslim sebagai kampanye anti Islam. Meskipun demikian ternyata dakwah
Islam terus berkembang tidak melalui jalur politik, tetapi melalui jalur pendidikan,
pengembangan pesantren, birokrasi, dakwah di sekolah-sekolah umum, dan di perguruan
tinggi. Dengan demikian Islam tetap menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia.
Di Era Reformasi muncul kembali peran Islam, terutama di lapangan politik. Masa
reformasi bermula dari kebijkan depolitisasi Islam pada zaman Suharto. Ketika Islam dilarang
dijadikan label politik tahun 1980-an,sebagaimana air yang dibendung, ia mencari format dan
bentuk baru sebagai manifestasinya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an muncul gerakan
mengartikulasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari yang lebih personal seperti: semangat
mengkaji Islam dalam bentuk grup-grup halaqoh, penerjemahan dan penerbitan buku-buku
dan majalah-majalah yang lebih komprehensif dan mendetil dalam membahas Islam,
fenomena semakin banyaknya wanita yang menggunakan jilbab, dsb. Disamping itu, gerakan
Islam tahun 1990-an mempunyai perhatian dan keterkaitan dengan perkembangan isu-isu
Islam Internasional seperti Palestina, Afghanistan dan Irak. Krisis moneter yang terjadi tahun
1997, menyebabkan dasar-dasar ekonomi yang menjadi legitimasi orde baru menjadi rapuh.
Ketika krisis moneter itu berkembang menjadi krisis ekonomi yang menyebabkan inflasi
hingga 150%, dan kemudian berkembang lagi menjadi krisis multi dimensi, maka
pemerintahan Suharto tidak dapat dipertahankan lagi. Peristiwa Trisakti tahun 1998, yang
menyebabkan tewasnya 4 mahasiswa akibat peluru yang dilepaskan aparat keamanan menjadi
pemicu kerusuhan yang timbul di mana-mana. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
mahasiswa dengan mengepung dan menduduki gedung parlemen untuk menuntut adanya
reformasi, yang artinya menuntut mundurnya Suharto dari kursi kekuasaan. Organisasi
kepemudaan yang terlibat dalam peristiwa itu antara lain BEM, HMI, PMII, IMM, KAMMI;
saat ini beberapa tokohnya duduk di parlemen. Pada akhirnya gerakan reformasi mencapai
36
puncaknya tanggal 20 Mei 1998. Pada tanggal tersebut, Suharto menyatakan mundur sebagai
Presiden RI di Istana Negara dan posisinya digantikan oleh BJ. Habibie. Dalam masa
pemerintahannya yang singkat, Habibie (yang juga pendiri dan ketua ICMI [Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia] pertama) berhasil menurunkan inflasi dan menstabilkan nilai
tukar rupiah dari Rp 16.000 per 1 dolar AS menjadi Rp 12.000. Pada masa pemerintahanya
muncul banyak Partai Politik baru berbasis Islam seperti Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK).
Pemilu yang diadakan oleh Presiden Habibie tahun 1999 dianggap lebih berkualitas
dibandingkan dengan pemilu di zaman Orde Baru.Dari 550 kursi parlemen, sekitar 40%nya
diduduki oleh Partai berbasis Islam.
Islam di Indonesia menjadi agama yang memberikan inspirasi pembebasan,persatuan
dan keutuhan nusantara lebih dari 8 abad. Dalam uraian terdahulu telah tergambarkan
bagaimana Islam menjadi inspirasi perlawanan terhadap muncul dan berkembangnya
kezaliman dan ketidakadilan. Kolonisasi dan eksploitasi yang dilakukan bangsa Barat
(Portugis, Inggris dan Belanda) mendapatkan perlawanan sengit dari kerajaan-kerajaan Islam
di nusantara. Bahkan pada abad ke 19, perlawanan semakin meluas dan tidak hanya dilakukan
oleh elit kerajaan tetapi juga dilakukan oleh rakyat jelata di pelosok pedesaan. Jutaan Gulden
dan ribuan nyawa telah diderita Belanda sebagai dampak perlawanan Muslim Indonesia. Pada
abad ke 20, perlawanan bangsa Indonesia tidak hanya dalam bentuk perlawanan militer, tetapi
meluas ke dalam hampir semua bidang kehidupan seperti politik, ekonomi dan sosial.Pada
masa ini muncul sejumlah organisasi Islam modern yang menerapkan prinsip pengetahuan
rasional dan memanfaatkan perkembangan teknologi.
Berdirinya negara Indonesia bukan akhir dari dakwah Islam di Indonesia, walaupun sebagian
ulama ada yang membuat pernyataan bahwa negara Indonesia adalah final atau akhir dari
perjuangan. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan sehingga mendekati
model Islam yang ideal sebagaimana yang terwujud dalam generasi para sahabat Nabi. Dilihat
dari berbagai aspek dan sudut pandang, masih banyak hal yang perlu dikerjakan. Dari segi
pendidikan masih sangat sedikit jumlah para sarjana.Menurut Data Badan Statistik (BDS)
Sementara pengagguran lulusan Perguruan Tinggi mencapai 11,19 persen, atau setara 787
ribu dari total 7,03 orang yang tidak memiliki pekerjaan.
(http://www.harnas.co/2016/11/17/kemenaker-jumlah-pengangguran-sarjana-meningkat ).
Dari segi ekonomi, per-bulan September 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk
dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai
27,76 juta orang (10,70 persen). https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1378).
Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab, diambil dari derivasi kata dasar
salima-yaslamu-salamatan wasalaman, yang artinya “ selamat, damai, tunduk, patuh, pasrah,
menyerahkan diri, rela, puas , menerima, sejahtera dan tidak cacat” (Al-Munawir, 1984 : 669).
Dari ilmu morfologi, kata Islam diambil dari aslama-yuslimu-islaman, memiliki beragam
makna, antara lain dijelaskan dalam Al-Qur'an : 1). Ketaatan, dijelaskan, QS.72 (Al-Jin) : 14;
2). Menyerahkan diri, QS.2 (Al-Baqarah) : 112; dan 3). Tunduk dan patuh, QS.3 (Ali Imran) :
85.
37
Pengertian Islam secara terminologis atau istilah adalah agama atau peraturan-
peraturan Allah yang diwahyukan kepada Nabi dan Rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat
manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Zakky Mubarak Syamrakh,
2010 : 51). Jadi, kata agama dalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian sama dengan
kata al-dien dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa-bahasa Eropa sama dengan
religion (Inggris), la religion (Perancis), de religie (Belanda), die religion (Jerman).
Secara bahasa, perkataan agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tidak pergi,
tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Sedang kata dien mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan. Dien juga mengandung pengertian
peraturan-peraturan, berupa hukum yang harus dipatuhi, baik dalam bentuk perintah yang
wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan berikut balasan dan
ganjarannya.
Kata dien dan kata jadiannya dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 94 kali dalam berbagai
makna dan konteks, antara lain berarti pembalasan (QS 1:4); undang-undang duniawi atau
peraturan yang dibuat (QS 12:76); agama yang datang dari Allah: Dienullah (QS 3:83). Bila
Dien dirangkaikan dengan kata al-haq sehingga membentuk kata Dienulhaq, maknanya
adalah agama yang dibawa Rasulullah saw sebagai agama yang benar, yakni Islam (QS 9:33).
Pada ayat lain, kata din menunjukkan arti bukan hanya agama Islam saja, tetapi juga selain
Islam, seperti ayat Al-Qur’an yang berbunyi Lakum dienukum wa liya dien. (bagimu
agamamu dan bagiku agamaku) (QS 109:6 dan QS 61:9).
Inti agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang berimplikasi pada kepercayaan
kepada aturan Tuhan bagi manusia. Kepercayaan tersebut tumbuh dalam kehidupan manusia
sejak pertama manusia diciptakan. Kepercayaan manusia kepada ajaran agama, khususnya
Tuhan, dilandasi oleh:
1. Adanya kepercayaan bahwa di luar kekuatan manusia ada kekuatan yang lebih
perkasa yaitu kekuatan Ghaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan
ghaib itu sebagi tempat memohon pertolongan. Manusia merasa harus mengadakan
hubungan baik dengan kekuatan Ghaib tersebut dengan mematuhi perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaan hidupnya
di akhirat tergantung pada adanya hubunan baik dengan kekuatan Ghaib tersebut.
3. Adanya respon yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam bentuk perasaan
takut atau perasaan cinta. Selanjutnya respons itu mengambil bentuk pemujaan atau
penyembahan dan tatacara hidup tertentu bagi masyarakat yang besangkutan.
4. Paham adanya yang kudus (the sacred) dan suci, seperti kitab suci, tempat ibadah,
dan sebagainya.
Artinya: Orang Islam adalah orang yang menyebabkan orang lain selamat melalui ucapan
dan perbuatannya.
Dalam ajaran agama Islam, Allah hanya menurunkan satu agama saja, yaitu Islam.
Karena itu sekalipun di dunia ini banyak sekali agama yang berkembang, Allah hanya
mengakui kebenaran satu agama saja, yaitu Islam, seperti dinyatakan dalam QS. 3 (Ali Imran)
: 19:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-
orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya" (QS. 3 : 19)
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS.5:3)
Allah juga mengingatkan agar umat manusia tidak mencari agama selain Islam, karena
usaha tersebut justru akan merugikan manusia itu sendiri, seperti yang difirmankan dalam QS.
3 (Ali Imran): 85:
39
Artinya:
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (QS.3:85).
Pernyataan yang pada dewasa ini mengganggu pikiran kita ialah, apakah agama itu
benar-benar diperlukan oleh manusia? Jika kita mau meninjau sejenak sejarah peradaban
manusia, kita akan tahu, bahwa agama adalah kekuatan raksasa yang telah mewujudkan
perkembangan manusia seperti sekarang ini. Bahkan semua yang baik dan mulia dalam diri
manusia itu dilandasi oleh iman kepada Allah. Ini adalah kebenaran yang tak dapat dibantah
sekalipun oleh orang atheis (orang yang tak percaya kepada Allah). Para nabi, seperti:
Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, telah mengubah sejarah manusia dan mengangkat derajat
mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak pernah diimpikan.
Fungi utama agama Islam dalam kehidupan umat manusia secara umum adalah:
a. Sebagai hidayah, yaitu petunjuk kebenaran sehingga manusia mengetahui jalan kehidupan
yang benar, yang mengantarkannya pada kehidupan yang damai, yang menjaga
keselamatan agar tidak tersesat pada kehidupan yang menyengsarakannya. Dalam QS. 2
(Al-Baqarah): 185 Allah berfirman:
Artinya:
"(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)" (QS.2:
185)
b. Sebagai aturan atau jalan kehidupan yang menjaga manusia dari kesesatan, seperti
dinyatakan dalam QS. 45 (Al-Jatsiyah): 18:
Artinya:
"Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui" (QS.45:18).
c. Sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit hati, seperti pemarah, dengki, kikir,
malas, dsb. Dalam QS. 10 (Yunus): 57 Allah berfirman:
Artinya:
40
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman" (QS.10:57).
Artinya:
"Dan kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang
zalim selain kerugian" (QS.17:82).
Artinya:
(12). Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah.(13). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim).(14). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta
yang paling baik (QS.23:12-14).
e. Sebagai motivator agar manusia tetap tabah menghadapi berbagai cobaan dan kesulitan
hidup, atau bahkan mungkin perlakuan tidak adil dari penguasa yang dhalim, sehingga
manusia tidak putus asa, karena setiap usaha menegakkan kebenaran itu pasti ada
cobaannya, dan setiap kesulitan itu akan mendatangkan kemudahan. Dalam QS. 65 (Al-
Thalaq): 7 Allah berfirman:
Artinya:
"Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"
(QS.65:7).
41
Artinya:
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir" (QS.12:87).
Dari aspek hukum, tujuan agama Islam diturunkan oleh Allah kepada manusia ada lima,
yaitu:
a. Memelihara agama dengan mentauhidkan Allah disertai dengan ketaatan menjalankan
aturan Allah.
b. Memelihara jiwa (diri) dengan kewajiban mempertahankan hidup, dan dilarang membunuh
diri maupun jiwa orang lain dan apapun yang berkaitan dengan kerusakan diri.
c. Memelihara keturunan dengan adanya lembaga pernikahan untuk memelihara kejelasan
keturunan seseorang, dan dilarang melakukan perzinaan (hubungan seks di luar nikah).
d. Memelihara akal dengan kewajiban menghindari segala macam hal yang menyebabkan
akal cidera dan tidak normal, seperti meminum minuman yang memabukkan, termasuk
macam-macam narkoba: narkotika, putaw, heroin, morfin, eksatasi dsb.
e. Memelihara harta dengan keharusan memperoleh harta secara halal serta dilarang
mendapatkannya dengan cara yang haram, seperti mencuri, merampas, merampok, menipu,
korupsi, dll.
Sebagai satu-satunya agama yang diturunkan oleh Allah, Islam merupakan agama yang
memiliki karakteristik berikut:
a. Agama Tauhid, artinya Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan ke-Esakan
Allah secara murni, bahkan dalam agama Islam, Tauhid merupakan ajaran yang mendasari
semua ajaran Islam. Dalam QS. 112 (Al-Ikhlash): 1-4 Allah berfirman:
Artinya:
(1).Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.(2). Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.(3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,(4). Dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."(QS.112:1-4).
Artinya:
"Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang".(QS.2 : 163)
b. Agama sempurna, artinya agama Islam mengandung ajaran yang memberi petunjuk pada
seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan kesempurnaan ajaran Islam tersebut, orang
42
Islam memiliki landasan dasar dalam berbuat, sehingga apabila perbuatannya sesuai
dengan ajaran Islam, akan memperoleh nilai ibadah, dan diberikan balasan pahala oleh
Allah. Kesempurnaan ajaran agama Islam tersebut secara tegas disebutkan dalam QS. 5
(Al-Maidah): 3:
Artinya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS.5:3).
c. Agama fitrah, artinya ajaran agama Islam itu sesuai dengan fitrah kehidupan manusia.
Karena itu ajaran agama Islam tidak menimbulkan efek negatif dalam kehidupan manusia.
Dalam QS. 30 (Al-Rum): 30 Allah berfirman:
Artinya:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"
(QS.30:30).
d. Agama universal, artinya agama yang berlaku sampai akhir masa. Nabi Muhammad saw
adalah nabi yang terakhir, nabi penutup, sehingga agama Islam yang diterimanya dari
Allah merupakan agama yang berlaku terus menerus sampai akhir masa. Dalam QS. 34
(Saba’): 28 Allah berfirman:
Artinya:
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui" (QS.34:28).
Rasulullah Muhammad saw sebagai pembawa agama Islam adalah rasul terakhir. Dalam
QS. 33 (Al-Ahzab): 40 Allah berfirman:
Artinya:
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu" (QS.33:40).
43
e. Agama yang mengandung kebenaran mutlak, artinya kebenaran ajaran Islam tidak
bergantung pada dukungan pembenaran unsur lain, karena agama Islam berupa firman-
firman Allah, dan Allah adalah Yang Maha Benar Mutlak. Dalam QS. 2 (Al-Baqarah): 147
Allah menegaskan dengan firman-Nya:
Artinya:
"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-
orang yang ragu" (QS.2:147).
Artinya:
"Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa"
(QS.2:2).
f. Agama mudah dan fleksibel, artinya pelaksanaan ajaran agama Islam sangat mudah dan
memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk mengamalkannya sesuai dengan
kemampuannya. Islam menghargai kondisi-kondisi tertentu dalam kehidupan manusia.
Karena itu Islam tidak menuntut agar semua ajaran agama Islam diamalkan secara
sempurna apabila kondisinya tidak memungkinkan, seperti apabila sedang sakit. Dalam
QS. 2 (Al-Baqarah): 286 Allah berfirman:
Artinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir"
(QS.2:286).
Secara garis besar, agama Islam mengandung tiga ajaran pokok, yaitu (1) akidah atau
iman; (2) syari'ah atau islam; dan (3) akhlak atau ihsan. Pembagian ruang lingkup ajaran
agama Islam pada ketiga ajaran tersebut didasarkan aspek hubungan antara fungsi ajaran
44
agama Islam dengan potensi kehidupan manusia yang menerima amanah sebagai khalifah
Allah di bumi untuk menunaikannya sehingga agama Islam sebagai "rohmatan lil 'alamin" di
alam kehidupan ini dapat terealisasi. Potensi kehidupan manusia tersebut adalah (1) qolbu
untuk beriman; (2) akal untuk memahami; dan indera serta fisik untuk beramal. Materi ajaran
agama Islam dalam ketiga ruang lingkup tersebut akan diuraikan pada pokok bahasan dua.
Dalam sebuah Hadis dikisahkan, bahwa Nabi Muhammad saw melakukan uji kelayakan
dan kepatutan semacam fit and proper tes terhadap seorang sahabat yang akan diangkat
sebagai gubernur di Yaman: yang artinya : Diriwayatkan dari al-Harits bin Amr, bahwa
Rasulullah s.a.w. mengutus Muadz ke Yaman. Beliau bertanya, “Bagaimana kamu mengambil
dasar hukum di sana/Yaman) ? “ Muadz menjawab “ Aku akan menghukumi perkara dengan
apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an), “ Jika di Kitabullah, hukum tersebut tidak
ada ? tanya beliau lagi. “Aku akan menghukuminya dengan apa yang terdapat di dalam
Sunnah Rasulullah saw. Jika di Sunnah Rasulullah, hukum itu tidak ada ? Muadz kembali
menjawab, “ Aku akan berijtihad dengan pikiranku, “ maka beliaupun berkata, “ Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah saw.“ (H.R.al-Tirmidzi,
no:1249, Abu Dawud, no. 3119, dan Ahmad : 21000).
Mengambil hikmah atau intisari dari dialog yang terjadi antara Rasulullah s.a.w. dengan
Muadz bi Jabbal r.a, tersebut di atas ditegaskan bahwa sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an,
Sunnah atau Hadis dan ijtihad (ra’yu), (Zakky Mubarak. Sy, hal 89). Dalam riwayat yang lain
Rasulullah saw berpesan yang artinya:
“Kutinggalkan kepadamu dua perkara, dan kamu sekalian tidak akan sesat selama
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur`an) dan (Sunnah) Rasul-Nya.
Dari pesan Nabi ini, para sahabat dan para ulama sesudahnya berpendapat bahwa sumber
ajaran Islam ada 2 (dua), yaitu: Al-Qur`an dan Sunnah atau Hadis. Sedangkan menurut Hadis
Muadz, sebagian ulama lagi mengatakan bahwa sumber ajaran Islam ada 3 (tiga), yaitu: Al-
Qur'an, Sunnah atau Hadis dan Rakyu atau Ijtihad.
Disamping itu, ada pula ulama yang berpendapat bahwa ketiga sumber tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Menurut mereka, tidak bisa Al-
Qur’an berdiri sendiri tanpa Sunnah, dan begitu pula Sunnah tanpa Al-Qur’an. Sebagai contoh
dikemukakan, ketika Al-Qur’an menyuruh kita melakukan shalat “Aqimusshalah…!”, kita
tidak dapat melakukan shalat dengan benar, tanpa adanya penjelasan Sunnh, karena memang
Al-Qur’an pada umumnya ayat-ayatnya bersifat global atau garis besar, dan Sunnah salah satu
fungsinya adalah menjelaskan, atau menafsirkan Al-Qur’an. Sebaliknya Sunnah tidak bisa
pula dipergunakan kalau bertentangan dengan Al-Qur’an. Akal pikiran mempunyai peran
yang sangat penting untuk memecahkan berbagai permasalahan yang tidak diatur secara tegas
di dalam Al-Qur'an dan Hadis melalui ijtihad.
Penegasan tentang sumber ajaran agama Islam yang menyebutkan ketiga sumber ajaran
tersebut dan tertibnya terdapat di dalam QS.4 (Al-Nisa'): 59:
Artinya:
45
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(QS.4:59).
2.5.1. Al-Qur'an
a. Pengertian Al-Qur'an
Al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun (sejak Nabi
diangkat menjadi Rasul umur 40 tahun sampai menjelang wafatnya pada umur 63 tahun).
Sebagaimana lazimnya setiap Rasul diutus dengan bahasa kaumnya, maka demikian juga Al-
Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan bahasa Arab. Dalam QS. 43 (Al-
Zukhruf): 2-3 Allah berfirman:
46
Artinya:
(2). Demi Kitab (Al-Qur`an) yang menerangkan.(3).Sesungguhnya Kami menjadikan Al-
Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya) (QS.43:2-3).
Sebagai firman Allah, Al-Qur'an dalam bentuk aslinya berada dalam Induk Al-Kitab
yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), sebagaimana dinyatakan dalam QS. 43 (Al-Zukhruf): 4:
Artinya:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah
benar-benar tinggi (nilainya) dan amat mengandung hikmah (QS.43:4).
Untuk menyampaikan firman-Nya kepada manusia, Allah memilih Nabi atau Rasul lalu
Allah menyampaikannya dengan 3 cara:
a. Dengan wahyu (langsung ke dalam hati Nabi)
b. Dari belakang tabir (wahyu diserap oleh indra Nabi tanpa melihat pembawa wahyu).
c. Dengan mengutus malaikat (Jibril) yang membawa wahyu.
Artinya:
"Dan tidak ada seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan
perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya) apa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana" (QS.42:51).
Artinya:
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur`an karena hendak cepat-cepat
(menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpukannya (di dadamu)
dan membuatmu pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menjelaskannya"
(QS.75:16-19).
Al-Qur’an selain enak dibaca karena bahasanya yang bersastra tinggi dan mengandung
nada yang ajaib (tajwid), mudah sekali membedakannya dari teks yang bukan Al-Qur’an.
Ayat-ayatnya tidak sulit dihapal, sehingga ribuan orang menghapalkannya, baik sebahagian
47
atau keseluruhannya. Inilah sebagian dari maksud jaminan Allah bahwa Dialah yang
menurunkan Al-Qur’an dan Dia pula yang memelihara (keotentikan) nya, sebagaimana
dinyatakan dalam QS. 15 (Al-Hijr): 9:
Artinya:
"Sesunguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya" (QS.15:9).
c. Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dan 30 juz, mengandung pokok-pokok dari berbagai hal
di dalamnya. Kelengkapan kandungan Al-Qur’an diterangkan sendiri di dalam Al-Qur’an
sebagai berikut yang artinya “ Dan tidaklah ada yang Kami luputkan (tinggalkan) di dalam
al-Kitab (Al-Qur’an) sesuatu pun (Q.S. Al-An’am, 6 : 38).
Dengan demikian, secara garis besar/umum, Al-Qur'an mengandung prinsip-prinsip
pokok ajaran sebagai petunjuk, pedoman bagi manusia dalam menghadapi kehidupan yang
luas dan terus berkembang, yaitu:
a. Pokok-pokok keimanan/keyakinan
b. Prinsip-prinsip syari’ah
c. Janji atau kabar gembira kepada yang berbuat baik (basyir) dan ancaman siksa bagi yang
berbuat dosa (nadzir)
d. Kisah-kisah, sejarah
e. Dasar-dasar dan isyrat-isyarat ilmu pengetahuan, seperti: astronomi, fisika, kimia, ilmu
hukum, ilmu bumi, ekonomi, pertanian, kesehatan, teknologi dan lain sebagainya.
d. Fungsi Al-Qur’an
Berdasarkan uraian di atas, agama Islam merupakan agama samawi (berasal dari langit)
yang diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam, kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
kelanjutan dan penyempurnaan dari misi nabi-nabi sebelumnya. Tujuannya adalah untuk
mengesakan Allah dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang bertakwa kepada Allah,
beradab dan berbudi luhur, baik terhadap sesama manusia, makhluk lainnya maupun terhadap
lingkungan di sekitarnya. (Mohammad Daud Ali, 1995 : 14/ Zakky Mubarak Syamrakh,
2010 : 61). Secara garis besar, fungsi Al-Qur'an tersebut adalah :
1. Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk (hidayah) bagi manusia.
Kehidupan manusia di muka bumi bertujuan untuk mencapai kebahagiaan. Setiap orang
memiliki penilaian tentang kebahagiaan yang hendak dicapainya yang sesuai dengan
pandangan dasarnya dalam melihat kehidupan. Al-Qur’an memberikan petunjuk kearah
pencapaian kebahagiaan, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui penghambaan diri
kepada Allah dengan mentaati aturan-Nya. Apabila hidup telah diletakkan dalam
penghambaan yang mutlak kepada Allah, maka ridha Allah akan turun dan kebahagiaan
yang hakiki akan dapat dicapai. (A. Toto Suryana AF dkk, 1996 : 42)
2. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap segala sesuatu.
Al-Qur’an diturunkan Allah ke muka bumi untuk memberikan penjelasan terhadap segala
sesuatu, sehingga manusia memiliki pedoman dan arahan yang jelas dalam rangka
melaksanakan tugas hidupnya sebagai makhluk Allah. Yang dimaksud dengan segala
sesuatu bukanlah apa saja yang ada di bumi ini, karena Al-Qur’an bukanlah kamus atau
ensiklopedi, tetapi Al-Qur’an memberikan dasar-dasar yang bersifat global dan mendasar.
48
Ini berarti bahwa di dalam Al-Qur’an telah ada pokok-pokok agama, norma-norma,
hukum-hukum dan pokok-pokok segala sesuatu yang dapat membawa manusia kearah
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3. Al-Qur’an berfungsi memberikan rahmat dan menyampaikan kabar gembira kepada
manusia yang berserah diri. Yang dimaksud dengan kabar gembira adalah bahwa Al-
Qur’an memberikan harapan-harapan masa depan bagi orang-orang yang beriman, beramal
shaleh, tunduk dan patuh kepada aturan Allah, yaitu janji Allah untuk memberikan
kesenangan dan kenikmatan yang tiada tara. Sehingga dengan demikian seorang muslim
dapat hidup optimis dan tidak putus asa dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup
yang dihadapinya.
3. Al-Qur’an sebagai penawar jiwa yang sakit (syifa')
Al-Qur’an berfungsi juga sebagai obat (penawar) bagi manusia, sebagaimana firman Allah
dalam QS.17 : 82 yang artinya “ Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. Syifa' artinya obat, penawar
atau penyembuh. Sasaran dari penyembuhan ini adalah hati, yaitu memberikan
penyembuhan terhadap segala penyakit hati yang menjadikan manusia menderita sakit
rohaniah. Penyakit rohaniah dapat menghinggapi manusia setiap saat dalam bentuk
kecemasan, kegelisahan, dan kekecewaan yang dapat mengakibatkan kekosongan dan
kegoncangan jiwa. (A. Toto Suryana AF, dkk, 1996 : 43-44).
e. Kedudukan Al-Qur’an
Dalam Tarikh Tasyri’ Islami (sejarah pembinaan hukum Islam), kita menemukan bahwa
Al-Qur’an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. Pada masa Rasulullah
saw., setiap persoalan selalu dikembalikan solusi dan pemecahannya kepada Al-Qur’an.
Rasulullah saw. sendiri, dalam tata perilaku sehari-hari, selalu mengacu kepada Al-Qur’an.
Hidup beliau kata Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah ra, merupakan pengejawantahan dan
refleksi dari nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an. “Akhlaknya adalah Al-Qur’an,”
demikian jawab Aisyah ketika di tanya Sa’ad bin Hisyam soal budi pekerti (akhlak)
Rasulullah saw. (H.R. Ahmad, no. 24629).
Mengenai dalil yang menunjukan kehujahan Al-Qur’an, selain yang di atas, ada
beberapa dalil yang lain yang mewajibkan kaum mukmin untuk secara totalitas menaati Allah
dan Rasul-Nya, antara lain dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 31:
Artinya:
“ Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang"
(QS3 : 31).
Menurut Zakky Mubarak yang mengutip dari Syaikh Rasyid Ridha, bahwa mayoritas
ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan masalah
ibadah, masalah pengadilan, dan masalah politik, di dalam Al-Qur’an tidak lebih dari
sepersepuluh isi Al-Qur’an. Sebagian ulama menghitung bahwa ayat-ayat hukum yang
berhubungan dengan masalah ibadah dan muamalah ada lima ratus (sebagian ahli lain ada
yang berpendapat bahwa hanya dua ratus ayat). Ayat-ayat hukum tersebut kebanyakan
berhubungan dengan masalah ibadah atau masalah keagamaan secara khusus, karena masalah
49
duniawi kebanyakan berdasarkan 'urf (kebiasaan), pengetahuan, dan ijtihad ulama. (Rasyid
Ridha, 1983: 470).
2.5.2. Sunnah/Hadis
a. Pengertian Sunnah/Hadis
Menurut wasiat Nabi yang menjadi pedoman umatnya dari kehidupan beliau adalah
Sunnah, tetapi juga dikenal dengan istilah Hadis. Istilah hadis menurut para ahli hadis adalah
sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa pebuatan, perkataan,
maupun persetujuan beliau (taqrir). Kata sunnah menurut kamus bahasa Arab bermakna
jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup.
Artikel definit Al (alif dan lam) merupakan simbol untuk menunjukkan makna spesifik.
Jadi Sunnah bermakna keteladanan kehidupan Nabi (yang benar-benar dilakukannya). Sedang
hadis mempunyai arti cerita, riwayat atau kabar yang dinisbahkan kepada Nabi. Sebuah hadis
mungkin tidak mencakup sunnah, atau boleh jadi hadis bisa merangkum lebih dari sebuah
sunnah. Maka para muhadisin mengklasifikasi suatu hadis dan mendudukkannya apakah hadis
tersebut dapat dijadikan pedoman dan rujukan sebagai sunnah atau hadis tersebut berstatus
dhaif atau lemah, atau palsu yang ditolak (mardud) untuk dijadikan pedoman atau sumber
ajaran Islam.
b. Sejarah Sunnah/Hadis.
Seratus tahun setelah hijrah (abad ke-1), ketika para ahli hadis mengumpulkan dan
menuliskan hadis-hadis Nabi, terdapat banyak sekali hadis. Untuk menguji validitas dan
kebenaran suatu hadis, para muhadisin (pengumpul dan periwayat hadis) menyeleksi berbagai
riwayat tentang hadis dengan memperhatikan jumlah dan kualitas jaringan periwayat hadis
tersebut yang dikenal dengan sanad. Bila periwayat hadis itu dalam jaringan pertama (yang
menyaksikan kejadian suatu hadis, umpamanya menyangkut cara Nabi shalat adalah orang
banyak, kemudian menceritakannya kepada orang banyak pula, dan seterusnya hingga sampai
ke pencatat hadis sehingga tidak dimungkinkan orang-orang itu berbohong, maka hadis yang
serupa ini disebut mutawatir. Jika perawinya sedikit (penyampaian riwayat dengan jumlah
terbatas) dan seterusnya sampai pada pencatat hadis (perawi), maka jalur periwayatan serupa
ini disebut ahad.
c. Klasifikasi Sunnah/Hadits
50
3) Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai pada
tingkat masyhur maupun mutawatir. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur kepada
golongan hadis ahad.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, hadis dibagi menjadi:
a. Hadis maqbul, yaitu hadis yang dapat diterima
b. Hadis mardud, yaitu hadis yang ditolak.
Ditinjau dari kualitasnya, hadis dibagi menjadi:
1) Shahih, yaitu hadis yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang baik dan kuat
hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya dapat dipertanggungjawabkan.
2) Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali dari segi hafalan
perawinya kurang baik.
3) Dhaif, yaitu lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang
pembawanya kurang baik.
4) Maudhu’, yaitu hadis palsu, hadis yang dibikin oleh seseorang dan dikatakannya sebagai
sabda atau perbuatan Nabi .
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, dan janganlah
kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)"
(QS.8:20).
b) Kepatuhan kepada Sunnah Rasulullah berarti patuh dan cinta kepada Allah.
Di dalam QS. 4 (Al-Nisa’) : 80 Allah menyatakan:
Artinya:
"Barangsiapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka" (QS.4:80).
2.5.3. Ijtihad/Rakyu
a. Pengertian Ijtihad/Rakyu
Al-ra’yu artinya penglihatan yang berasal dari kata ra`a (melihat). Akan tetapi yang
dimaksud dengan penglihatan di sini bukanlah penglihatan mata, melainkan penglihatan akal.
Al-ra`yu merupakan hasil suatu proses yang terjadi pada otak manusia setelah terlebih dahulu
memperoleh masukan (input). Oleh karena itu, sering terjadi bahwa proses pemikiran itu
sangat tergantung kepada jumlah masukan yang dimiliki seseorang (seperti: penguasaan
tentang Al-Qur'an dan Sunnah, penguasaan bahasa Arab dan perangkatnya, keluasan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya, dsb). Makin kaya masukan, makin dalam proses
pemikirannya. Proses pemikiran ini sering juga disebut ijtihad.
Ijtihad diambil dari kata ijtahada - yajtahidu – ijtihadan, yang artinya mengerahkan
segala kesungguhan dan ketekunan secara optimal untuk menggali dan menetapkan suatu
hukum (syara’) dari sumber Al-Qur`an dan Sunnah. Karena itu ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur`an dan Sunnah. Kesungguhan memahami sumber ajaran Islam
(Al-Qur`an dan Sunnah) dilakukan para mujtahid dengan jalan memahami apa yang tersurat
(teks) dan apa yang tersirat (konteks) dalam nash (Al-Qur`an dan Sunnah) seraya pula
memperhatikan jiwa, rahasia hukum, 'illat (alasan atau sebab-akibat), dan unsur-unsur
kemaslahatan yang dikandung kedua sumber tersebut.
Ijtihad merupakan keunikan yang spesifik dalam ajaran Islam yang universal, sehingga
penerapan hukum-hukum syara’ serta pengalihan hukum dan norma baru dapat diselaraskan
dengan situasi dan kondisi yang berlaku tanpa keluar atau meninggalkan sumber pokoknya
(Al-Qur`an dan As-Sunnah). Berbagai masalah kontemporer yang muncul dewasa ini, yang
secara teknis belum didapati di dalam Al-Qur`an dan Sunnah, menempatkan kedudukan
ijtihad makin terasa penting.
Al-Quran menghargai, menghimbau dan menyeru para pemikir (mujtahid) untuk
mengerahkan segala kemampuannya untuk memahami kitab suci Al-Qur’an sedalam-
dalamnya dan seluas-luasnya. Di dalam QS. 59 (Al-Hasyr): 2 Allah menyatakan:
52
Artinya:
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka
dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka, dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang
mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan. (QS.59:2).
Ayat tersebyt menyatakan, beri’tibarlah, berpikirlah, hai orang-orang yang berakal, patutilah
Al-Qur’an ini sebagai rahmat bagi manusia dalam menjalankan agama dengan
memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya.
b. Syarat-Syarat Berijtihad
Para ulama menetapkan beberapa syarat bagi orang yang hendak melakukan ijtihad,
syarat-syarat tersebut adalah:
a. Mengetahui nash Al-Qur`an dan Sunnah
b. Mengetahui dan menguasai bahasa Arab
c. Mengetahui soal-soal ijma’
d. Mengetahui ushul fiqih.
e. Mengetahui nasikh dan mansukh.
f. Mengetahui ilmu-ilmu penunjang lainnya.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sumber ajaran Islam ada
tiga (1) Al-Qur’an; (2) Sunnah/Hadis; dan (3) Ijtihad/rakyu. Menurut Prof.H.Mohammad
Daud Ali, guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia: (a) ketiganya merupakan satu
rangkaian kesatuan dengan urutan keutamaan yang telah mantap dan konsisten serta stabil,
tidak dapat diubah-ubah; (b) Al-Qur’an dan Sunnah/Hadis merupakan sumber utama,
sedangkan ijtihad/rakyu merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan yang
dihasilkan oleh para mujtahid.
Ijtihad dapat dilakukan secara individu, kelompok, atau oleh seluruh mujtahid. Dalam
sejarah ijtihad, masa kekhalifahan Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khathab ketika para
mujtahid dari kalangan sahabat belum berpencar keberbagai daerah Islam, ijtihad seluruh para
mujtahid dari para sahabat telah melahirkan kesepakatan tentang sesuatu masalah hukum yang
disebut ijma'. Mulai masa kekhalifahan Usman bin 'Affan setelah para mujtahid berpencar
keberbagai daerah Islam, ijma' tidak terjadi lagi. Karena itu hasil ijtihad para mujtahid dapat
saja terjadi perbedaan disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan, pengalaman, budaya
masyarakat dimana mujtahid hidup, kekhasan masalah yang diijtihadi, metode ijtihad yang
dipergunakan, dan lain sebagainya (A.Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam : 52).
53
Menyikapi adanya perbedaan hasil ijtihad tersebut bagi umat Islam yang tidak punya
kompentensi untuk melakukan ijtihad sendiri adalah :
a). Ittiba', yaitu melakukan kajian berbagai aspek ijtihad secara komprehensif dari para
mujtahid yang menghasilkan ijtihad yang berbeda-beda tersebut. Kajian tersebut akan
menghasilkan pengetahuan tentang hasil ijtihad yang lebih kuat atau meyakinkan untuk
diikuti. Orang yang melakukan kajian ijtihad tersebut disebut muttabi'.
b). Muqollid, yaitu mengikuti hasil ijtihad ulama' mujtahid yang diyakini kekuatannya tanpa
melakukan kajian proses dan hasil ijtihad tersebut bagi umat Islam yang tidak
mempunyai kompetensi untuk melakukan kajian ijtihad. Yang tidak diperbolehkan dalam
Islam adalah taqlid buta, yaitu mengikuti hasil ijtihad orang tanpa meyakini kekuatan
hasil ijtihad tersebut. Biasanya taqlid buta terjadi karena faktor-faktor yang tidak
dibenarkan dalam Islam, seperti faktor kultus dan ta'ashub atau fanatisme.
c). Menghargai hasil ijtihad lain yang tidak diikuti. Ijtihad tidak mengandung kebenaran
mutlak, tetapi kebenaran relatif karena dilakukan oleh mujtahid yang tidak ma'shum,
hanya Al-Qur'an dan Sunnah/Hadis yang mengandung kebenaran mutlak. Apabila ijtihad
didasarkan pada indikator-indikator yang sifatnya situasional atau kondisional, maka
dapat saja terjadi pada masa yang sama terdapat ijtihad yang berbeda-beda, yang hanya
tepat untuk situasi dan atau kondisinya masing-masing, atau tepat pada masa tertentu
tetapi pada masa yang lain justru memerlukan ijtihad yang berbeda karena situasi atau
kondisinya berubah.
Artinya:
54
... inna fii dzalika la aayatin li kulli ’abdin muniib (... Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya)
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada penciptanya, yaitu Allah.
Pengertian beribadah kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit, dengan membatasi
pengertian pada aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Peribadahan berarti
ketundukan manusia pada hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik
yang berupa hubungan vertikal dengan Allah, maupun horizontal dengan sesama manusia dan
makhluk Allah lainnya.
Peribadahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap
terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu
peribadahan harus dilakukan secara sadar dan suka rela, karena Allah sebenarnya tidak
membutuhkan peribadahan manusia. Dalam hal ini, dalam QS. 51 (al-Dzariyat) : 56 Allah
menjelaskan:
Artinya:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku"
(QS.51:56).
Artinya:
(12).Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.(13).Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim).(14). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik
(QS.23:12-14).
Ayat tersebut menjelaskan tentang penciptaan manusia dari unsur fisik, sedangkan manusia
dicipta dari dua unsur, yaitu unsur fisik dan unsur ruh. Karena itu dalam QS.15 (al-Hijr) : 28-
29 Allah berfirman:
55
Artinya:
"(28).Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk, (29).Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud" (QS.15:28-29).
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari dua unsur, yaitu (1) unsur
materi tanah; dan (2) unsur non materi ruh dari Allah. Dalam Hadis dijelaskan bahwa setelah
terjadi konsepsi, proses pertumbuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. 23 (Al-
Mukminun) : 12-14 tersebut adalah (1) nuthfah selama 40 hari; (2) 'alaqah selama 40 hari; dan
(3) mudhghah selama 40 hari, dan kemudian Allah meniupkan ruh-Nya sehingga sempurnalah
calon manusia sebagai janin yang hidup secara materi dan ruh.
Sejak sebelum manusia diciptakan, Allah telah menyampaikan irodahnya kepada para
malaikat bahwa manusia akan diciptakan sebagai khalifah-Nya di bumi sebagaimana Allah
firmankan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) 30:
Artinya:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."(QS.2:30).
56
Artinya:
"Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS.6:165).
Makna khalifah Allah adalah pengemban amanah Allah. Amanah yang Allah
percayakan kepada manusia adalah menegakkan aturan Allah di bumi ini sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis, yang adil, sehingga manusia khususnya dan semua makhluk pada
umumnya merasakan rahmat Allah. Rahmat Allah tersebut dalam kehidupan manusia
digambarkan dengan kehidupan yang makmur sebagaimana firman Allah dalam QS.
11(Hud) : 61:
Artinya:
"Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan
kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-
Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya)
lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."(QS.11:61).
Manusia memiliki potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat dilahirkan ke
dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat dikelompokkan pada dua aspek, yaitu potensi
fisik, dan potensi ruhaniah. Potensi fisik manusia telah dijelaskan pada bagian yang lalu,
sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, qalb, dan emosi atau perasaan. Dalam Al-Qur’an
akal diartikan dengan kebijaksanaan (wisdom), inteligensia (intelligent), dan pengertian
(understanding). Dengan demikian, di dalam Al-Qur’an akal diletakkan bukan hanya pada
ranah rasio semata, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu, akal diartikan dengan hikmah
atau kebijaksanaan.
Al-Qalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Musa
Asy’ari (1992) menyebutkan arti qalb dengan dua pengertian, yaitu pengertian kasar atau
fisik, yang berupa segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak disebelah kiri,
yang sering disebut jantung, dan pengertian yang halus yang bersifat Ketuhanan serta
ruhaniah, yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan,
dan arif. Dengan demikian, akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam,
sedangkan mengimani Allah adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu. Keduanya merupakan
57
kesatuan daya ruhani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia dapat memasuki
kesadaran tertinggi yang menerima, memahami, dan meyakini kebenaran Ilahi.
Adapun nafsu (bahasa Arab al-Hawa, dalam bahasa Indonesia sering disebut hawa
nafsu), adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Dorongan ini sering disebut dorongan ghoriziyah, insting, karena sifatnya yang bebas tanpa
mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut sebagai dorongan kehendak
bebas. Dengan nafsu, manusia dapat bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang
lain. Kecenderungan nafsu yang bebas, jika tidak terkendali dapat menyebabkan manusia
memasuki kondisi yang membahayakan dirinya. Untuk mengendalikan nafsu, manusia
menggunakan akalnya, sehingga dorongan-dorongan tersebut dapat menjadi kekuatan positif
yang menggerakkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar manusia dapat bergerak
ke arah yang jelas dan baik, maka agama berperan untuk menunjukkan jalan yang harus
ditempuhnya. Nafsu yang terkendali oleh akal dan berada pada jalur yang ditunjukkan agama
disebut al-nafs al-muthmainnah, yang diungkapkan dalam QS.89 (al-Fajr):27-30:
Artinya:
(27). Hai jiwa yang tenang.(28).Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.(29).Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,(30).Masuklah ke
dalam syurga-Ku (QS.89:27-30).
Dalam QS.12 (Yusuf) : 53 diingatkan oleh Allah bahwa nafsu yang baik tersebut adalah nafsu
yang dirahmati Allah sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang" (QS.12:53)
Dengan demikian, manusia ideal adalah manusia yang mampu menjaga fitrah (hanif) nya, dan
mampu mengelola serta memadukan potensi akal, qalb, dan nafsunya secara harmonis.
Pada diri manusia terdapat perpaduan karakter yang berlawanan. Manusia adalah hadis,
baru, dari sifat jasmiahnya, dan azali dari roh Ilahiahnya. Oleh karena itu pada diri manusia
terdapat karakter baik yang mencerminkan sifat Tuhan dan karakter buruk yang
mencerminkan sifat buruk nafsu dari materi. Dalam QS. 91 (Al-Syams) : 7-10 Allah
berfirman:
58
Artinya:
(7). Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),(8). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.(9). Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu,(10).Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS.91:7-
10).
Dihadapan Allah, manusia sama dengan makhluk Allah lainnya, seperti hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan makhluk-makhluk lainnya, tetapi manusia diberikan anugerah khusus berupa
akal dan qalbu. Karena itu Allah menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang
terbaik sebagaimana firman Allah dalam QS. 95 (Al-Tin) : 4:
Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"
(QS.95:4).
Artinya:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS.17:70).
Sekalipun manusia telah Allah ciptakan dalam bentuk yang terbaik dan dimuliakan dibanding
makhluk lainnya, tetapi martabat manusia ditentukan oleh nilai kehidupannya. Martabat
manusia tersebut adalah :
1). Muttaqun, orang yang bertakwa, yaitu orang yang mentaati aturan Allah dengan
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
2). Mukmin, orang yang beriman, yaitu orang yang mempercayai ke enam rukun iman dan
mengikrarkannya secara lisan, serta mengamalkan perintah-perintah Allah.
3). Muslim, orang yang beragama Islam, yaitu orang yang mengikrarkan dua kalimat
syahadat disertai dengan ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, dan ketundukan terhadap
aturan-aturan Allah.
4). Muhsin, orang yang berbuat baik, yaitu orang yang beramal untuk kebaikan hidup
dirinya, orang lain, dan makhluk lain.
5). Mukhlish, orang yang ikhlash, yaitu orang yang melakukan kegiatan dengan niat hanya
karena Allah.
6). Mushlih, orang yang menciptakan kebaikan, yaitu orang yang beramal untuk memberikan
kemanfaatan hidup diri sendiri, orang lain, dan makhluk lain.
7). Kafir, orang yang mengingkari atau menolak, yaitu orang yang mengingkari ada-Nya
Allah, atau menolak perintah Allah.
59
8). Fasik, orang yang keluar dari kebenaran, yaitu orang yang semula mukmin tetapi
kemudian tidak mau taat pada aturan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan aturan Allah.
9). Munafik, orang yang pura-pura dalam beragama Islam atau beriman, yaitu orang yang
apabila berkata dusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberikan amanah berkhianat.
10). Musyrik, orang yang menyekutukan, yaitu orang yang menyekutukan Allah dengan selain
Allah sebagai Tuhan, atau menyekutukan peribadahan kepada Allah dan kepada selain
Allah.
11). Murtad, orang yang kembali keluar atau keluar dari Islam, yaitu orang yang semula
beragama Islam kemudian keluar dari Islam, baik orang tersebut kemudian menganut
agama selain Islam atau tidak beragama.
Sekalipun manusia telah Allah ciptakan sebagai makhluk terbaik dan Allah karuniakan
potensi yang terlengkap dibandingkan dengan potensi makhluk lainnya, tetapi manusia tetap
relatif, artinya punya keterbatasan. Relativitas manusia tersebut mengakibatkan manusia tidak
mampu mencapai kepastian yang mengandung kebenaran mutlak. Karena itu sejak awal
manusia diciptakan, Allah selalu memberikan petunjuk kepada manusia untuk membimbing
relativitas potensinya agar manusia tidak tersesat atau bimbang dalam ketidak-pastian.
Petunjuk tersebut Allah berikan melalui wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya. Ajaran
yang terdapat didalam wahyu Allah tersebut yang disebut agama, atau dalam istilah Al-Qur'an
disebut syariah, artinya jalan kehidupan. Secara universal, manusia memiliki karakter yang
sama. Karena itu Allah turunkan satu syariah, satu agama sejak manusia yang pertama Allah
ciptakan sekaligus rasul pertama, yaitu Rasulullah Adam as sampai manusia terakhir yang
hidup di bumi ini kepada rasul terakhir, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Syariah atau agama
yang Allah turunkan kepada semua manusia adalah Islam. Dalam QS.3 (Ali Imran) : 19 Allah
berfirman:
Artinya:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-
orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah
maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya" QS.3:19).
Kemudian Allah mengingatkan manusia untuk tidak mencari agama selain Islam agar tidak
merugi sebagaimana firman Allah dalam QS.3 (Ali Imran) : 85:
Artinya:
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripada-Nya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (QS.3:85).
60
3.2. Tanggung Jawab Manusia Beragama Islam
3.2.1.Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
Makna yang esensial dari kata ’abdun (hamba) adalah pengabdian sebagai wujud
ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya
layak diberikan kepada Allah, yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan
pada kebenaran dan keadilan berdasarkan ketentuan Allah.
Dalam hubungan dengan Allah, manusia menempati posisi sebagai ciptaan, dan Allah
sebagai Pencipta. Posisi ini mempunyai konsekuensi adanya keharusan manusia
menghambakan diri kepada Allah, dan dilarang menghamba pada sesama manusia atau
makhluk lainnya. Kesediaan manusia untuk menghamba hanya kepada Allah dengan sepenuh
hatinya, akan mencegah manusia pada penghambaan terhadap sesama manusia atau makhluk
lainnya. Tanggung jawab ’abdullah terhadap dirinya adalah memelihara ketakwaan yang
melahirkan ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tanggung
jawab manusia kepada Allah untuk mengabdi tersebut di dalam Al-Qur'an disebut hablun min
Allah.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi
khalifah memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya
mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan kehidupan.
Sebagai wakil Allah, Allah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan-
Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang
terkandung dalam ciptaan-Nya. Kekuasaan manusia sebagai wakil Allah dibatasi oleh aturan-
aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang mewakilkannya, yaitu
hukum-hukum Allah, baik yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an (ayat Quraniyah),
maupun yang tersirat dalam alam semesta (ayat kauniyah).
Dengan demikian, manusia sebagai hamba dan khalifah Allah merupakan kesatuan yang
saling menyempurnakan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang memiliki kebebasan
berkreasi dan sekaligus menghadapkannya pada tuntutan kodrat yang menempatkan posisinya
pada keterbatasan. Kekhalifahan manusia pada dasarnya diterapkan pada kontek individu dan
sosial yang berporos pada Allah, seperti firman Allah dalam QS. 3 (Ali Imran) : 112:
Artinya:
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali
mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena
mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas" (QS.3:112).
61
BAB II
POKOK POKOK AJARAN AGAMA ISLAM
Akidah secara etimologi berasal dari kata 'aqada ya'qidu 'aqdan, artinya simpul atau
ikatan dari dua utas tali dalam satu buhul sehingga menjadi tersambung. Aqada berarti pula
janji yang kokoh, karena janji merupakan ikatan kesepakatan antara dua pihak yang
mengadakan perjanjian. Akidah menurut terminologi adalah sesuatu yang mengharuskan hati
membenarkannya, yang membuat jiwa tenang dan menjadi kepercayaan yang bersih dari
kebimbangan dan keraguan. Atau sering juga disebut dengan keyakinan. Istilah akidah masih
bersifat umum untuk berbagai agama, misalnya akidah Trinitas pada Kristen atau Trimurti
pada Hindu dan sebagainya. Sedangkan iman dari segi bahasa berarti kepercayaan atau
keyakinan, dan dari segi istilah sama dengan akidah.
Dalam redaksi Al-Quran, akidah Islam disebut dengan iman. Iman bukan hanya berarti
percaya, melainkan keyakinan yang kuat yang mendorong dan mendasari seorang muslim
untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman itu sangat luas. Iman senantiasa bersinergi
dengan perbuatan atau amal saleh. Karena itu iman didefinisikan dengan : “Mengucapkan
dengan lisan, membenarkan dengan hati dan melaksanakan dengan segala anggota badan
(perbuatan)". Iman hendaknya berwujud penyataan dengan lidah, dilandasi dengan keyaknian
dalam hati dan sebagai buktinya disertai dengan perbuatan baik dan ikhlas yang sesuai dengan
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Dalam ajaran Islam, akidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas
sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qadha' dan qadar. Hal
ini didasarkan kepada Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin
Khathab ra yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’. Akidah Islam adalah pokok kepercayaan
seorang muslim yang harus dipegang sebagai sumber keyakinan yang mengikat. Ketika ia
berakidah Islam maka ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Menjadi
seorang mukmin berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran
agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS 2 (Al-Baqarah) : 208:
62
Artinya:
“ Hai orang yang beriman, masukalah ke dalam Islam secara keseluruhan dan jangan kamu
turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimau”
(QS.2:208)
Akidah Islam membentuk perilaku kehidupan seorang muslim. Ada beberapa pokok manfaat
dan pengaruh iman dalam kehidupaan manusia antara lain:
1. Iman menyelapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan
4. Iman memberikan ketentraman jiwa
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah)
6. Iman memelihara sikap ikhlas dan konsekuen
7. Iman memberikan keberuntungan.
Para ulama membagi ruang lingkup akidah ke dalam 4 (empat) pembahasan, yaitu : (1)
Ilahiyat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan masalah Ketuhanan utamanya
pembahasan tentang Allah. (2) Nubuwwat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan utusan-
utusan Allah, yaitu para nabi dan para rasul Allah. (3) Ruhaniyat, yaitu pembahasan yang
berkenaan dengan makhluk gaib, seperti Jin, Malaikat, dan Iblis. (4) Sam’iyyat, yaitu pem-
bahasan yang bekenaan dengan alam ghaib, seperti alam kubur, akhirat, surga neraka, dan
lain-lain.
Materi iman atau yang sering disebut dengan Rukun Iman yang harus diyakini seorang
muslim ada enam, sebagai mana sabda Rasulullah : “Iman itu hendaknya engkau percaya
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, qadha
dan qadar Allah yang baik dan yang buruk“ (HR. Muslim.). Enam hal di atas merupakan
materi keimanan yang harus diyakini dan dihayati setiap muslim. Berikut penjelasan
singkatnya :
a. Iman kepada Allah. Beriman kepada Allah maksudnya adalah meyakini dalam hati
dengan sesungguhnya tanpa keraguan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan
Maha Kuasa, tidak beranak dan tidak diperanakkandan, serta tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya. Allah Esa dalam wujud-Nya, Esa dalam dzat-Nya, Esa dalam sifat-
sifat-Nya, dan Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Ajaran Keesaaan Allah disebut
dengan Tauhid. Selanjutnya Keesaan Allah dijabarkan dalam Tauhid Uluhiyyah, Tauhid
Rububiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat.
b. Iman kepada Malaikat. Beriman kepada malaikat artinya meyakini bahwa Allah
menciptakan malaikat, yaitu mahluk ghaib yang diciptakan dari cahaya, senantiasa patuh
dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan Allah. Malaikat merupakan hamba yang
mulia dan terpelihara dari berbuat kesalahan. Para malaikat diberi berbagai tugas oleh
Allah, diantaranya menyampaikan wahyu, mencatat amal baik dan buruk, menyampaikan
rizki, memberikan dorongan/spirit untuk berbuat kebajikan pada manusia dan sebagainya.
c. Iman kepada Kitab. Beriman kepada Kitab-kitab Allah artinya meyakini bahwa Allah
menurunkan wahyunya kepada para Nabi dan Rasul yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya.
Kitab-kitab Allah berisi berbagai informasi, aturan dan hukum-hukum Allah bagi
manusia. Kitab suci yang disebutkan dalam Al-Qur’an ada empat, yaitu: (1) Kitab Taurat,
yang diturunkan kepada Nabi Musa as, (2) Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi
63
Daud as., (3) Kitab Injil, yang diturunkan ada Nabi Isa as, dan (4) Kitab Al-Qur'an, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-
Qur’an, ada yang telah hilang atau sebagian mengalami perubahan, karena perkembangan
waktu dan intervensi pikiran manusia. Al-Quran datang meluruskan berbagai
penyimpngan, kesalahan dan menghapus keberlakuan kitab-kitab sebelumnya. Oleh
karena itu kitab-kitab terdahulu sudah berakhir masa berlakunya sejak Al-Qur’an
diturunkan.
d. Iman kepada para Rasul. Beriman kepada Rasul maksudnya adalah meyakini bahwa
Allah memilih hamba-Nya yang dijadikan Rasul. Hamba terpilih ini menjadi pembimbing
bagi umat manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah. Rasul menerangkan segala
sesuatu yang datang dari Allah. Manusia juga memerlukan contoh perilaku yang dapat
mereka teladani dalam kehidupan nyata. Salah satu bukti tentang kerasulan mereka,
Allah membekali para utusan-Nya dengan mukjizat. Mukjizat dapat diartikan dengan
suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan yang digunakan untuk mendukung
kebenaran kenabian seorang nabi atau rasul, sekaligus melemahkan lawan-lawan/musuh-
musuh yang meragukan kebenarannya. Menurut Imam Ahmad Ibnu Hambal, Nabi
seluruhnya berjumlah 124 ribu, sedangkan Rasul berjumlah 313 orang, (dalam riwayat
lain 315 orang). (Zaki Mubarak : 45). Adapun Rasul yang disebutkan dalam Al-Quran
berjumlah 25 orang, dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw. Iman kepada
Rasul juga mengharuskan kita meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para
Nabi, tidak ada Nabi sesudahnya.
e. Iman kepada Hari Akhir. Beriman kepada Hari Akhir adalah meyakini akan kedatangan
Hari Akhirat. Iman kepada hari akhir meyakini adanya kehidupan yang kekal abadi
setelah hancurnya alam semesta ini. Manusia akan mendapat balasan yang seadil-adilnya
atas amal perbuatan yang dilakukan sewaktu hidup di dunia. Tentang kapan datangnya
kiamat yang mengakhiri kehidupan dunia dan mengawali kehidupan akhirat, tidak ada
orang yang dapat memastikannya termasuk Nabi dan Rasul kecuali Allah.
f. Iman kepada Qadha dan Qadar Allah. Beriman kepada Qadha dan Qadar Allah
maksudnya meyakini bahwa Allah menetapkan ketentuan atau takdir-Nya terhadap segala
sesuatu, yang baik maupun buruk. Qadha pengertiannya menurut bahasa adalah
ketetapan, sedangkan Qadar adalah ukuran. Segala sesuatu yang ada di alam nyata
maupun ghaib terwujud menurut qadha dan qadar Allah. Semua kejadian dan peristiwa
telah direncanakan dan dalam ketetapan ilmu Allah. Semua makhluk tidak dapat
melampaui batas ketetapan tersebut dan Allah menuntun mereka ke arah yang seharusnya
mereka tuju. Dalam iman kepada Qadha' dan Qadar Allah ini, hendaknya manusia tetap
husnudzan atau berbaik sangka terhadap ketentuan Allah. Apapun yang menimpa
manusia pasti ada hikmah yang terkandung di balik peristiwa tersebut.
Dalam ajaran Islam, akidah memiliki kedudukan yang sangat penting, ibarat suatu
bangunan, akidah adalah pondasinya. Sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti Syariah dan
Akhlak merupakan sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi
adalah bangunan yang sangat rapuh. Tidak perlu ada gempa atau badai yang menerpanya,
bahkan sekedar menahan beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur
berantakan. Akidah dapat pula diibaratkan akar dalam sebuah pohon. Perumpamaan yang
sangat menarik dalam Al-Qur’an bahwa seorang mukmin itu laksana "Kalimatan thoyyibah"
(kalimat yang baik), dan laksana pohon yang baik (syajaratun thoyyibah). (QS.14:24-25).
Kalimat yang baik itu adalah laa ilaha illa Allah (syahadat). Dalam Tafsir Jaami’ul Bayan,
Ibnu Jarir Ath Thabari juga menjelaskan kalimatan thoyyibah adalah persaksian tiada Tuhan
selain Allah, dan syajarotun toyyibah adalah seorang mukmin, ashluha tsabitun artinya laa
64
ilaha illa Allah yang tertanam di dalam hati seorang mukmin, wa far’uha fis-samaai yakni
amal perbuatannya akan menjulang ke langit.
Jika kita renungkan ayat di atas, indikator pohon yang baik atau berkualitas ada tiga
hal:
a. Ashluha tsabitun (akarnya menghujam ke perut bumi). Akar yang kuat menjadi dasar dan
tumpuan tumbuhnya pohon yang besar. Di sinilah pentingnya peran sang penanam yang
ikhlas dan sungguh-sungguh, berkorban tanaga, pikiran dan membutuhkan waktu yang
cukup lama. Semakin dalam akarnya, maka semakin kuat pula pohon itu, tidak mudah
tumbang walau dihantam badai. Akar ibarat akidah tauhid (iman) yang tertanam di dalam
lubuk hati sanubari seorang mukmin. Jika akidahnya kuat, maka ia mampu menghadapi
cobaan dan godaan hidup seberat apapun. Akidah tauhid harus ditanamkan oleh orang tua
dan guru kepada anak sejak dini. Peran keduanya sebagai pendidik sangat penting agar
akar akidah anak menghujam ke lubuk hati sanubari. (QS.31:13).
b. Far’uha fis-samai (dahannya menjulang ke langit). Pohon yang sudah berurat berakar,
akan menumbuhkan batang yang besar, dahan dan ranting yang banyak serta berdaun
lebat. Ia akan membagikan oksigen yang bersih dan kesejukan bagi manusia, hijau dan
menyejukkan. Inilah ibarat seorang mukmin yang taat dalam menjalankan syariah Islam,
baik dalam ibadah ritual maupun sosial (muamalah).
c. Tu’tii ukulaha kulla hiin (berbuah setiap waktu). Pohon yang baik tidak hanya berakar
kuat dan berdahan besar, tapi juga berbuah banyak dan enak. Bukan hanya pada
musimnya, tapi di setiap musim tiada henti. Pohon berbuah menguntungkan pemiliknya
dan orang lain. Semakin bagus kualitasnya, semakin tinggi pula harganya.
Inilah perumpamaan mukmin yang taat pada syariah dan berakhlak karimah. Akidah dan
syariah yang kuat dan benar mestilah berbuah akhlak mulia (karakter Islami). “Sebaik-baik
Keislaman seseorang adalah yang terbaik akhlaknya”. (HR. At-Turmudzi).
Dalam Islam, akidah yang benar merupakan pokok tegaknya agama dan kunci
diterimanya amal perbuatan manusia. Akidah Islam yang bersendikan Tauhid atau
mengesakan Allah, menegaskan bahwa Tauhid tidak boleh tercampur dengan syirik. Banyak
ayat Al-Quran menunjukkan bahwa amal perbuatan manusia tidak akan diterima apabila
tercampur dengan syirik. (QS. 19: 110.) Oleh sebab itu para Rasul yang diutus oleh Allah ke
muka bumi ini sangat memperhatikan tegaknya akidah. Prioritas dakwah mereka adalah
Akidah.
Dalam Islam, antara iman dan amal shaleh terdapat hubungan yang terintegtasi. Iman
berorientasi pada rukun iman yang enam, sedangkan amal shaleh berorientasi pada rukun
Islam yang lima, yaitu tentang ibadah dan pengamalannya, dan muamalah dengan sesama
manusia. Meskipun hal yang paling menentukan adalah akidah/iman, tetapi tanpa integrasi
amal dalam perilaku seorang muslim, maka keislaman seorang menjadi tidak utuh. Sebab
eksistensi perilaku luar seorang muslim cermin batinnya. Amal merupakan wujud keimanan
seseorang. Orang yang beriman kepada Allah harus menampakkan imannya dalam amal. Iman
dan amal ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam Al-Quran banyak sekali dijelaskan sifat atau tanda orang beriman. Implementasi
iman seseorang dapat terlihat pada sifat yang melekat pada tingkah lakunya. Orang yang
menerapkan iman maka akan muncul darinya amal dan ketinggian akhlak dalam kehidupan
sehari-hari. Sifat orang beriman dipaparkan dalam berbagai surat Al-Quran, diantaranya; QS.
3 (Ali Imron) : 120; QS. 5 (Al Maidah) : 12; QS. 8 (Al Anfal) : 2;, QS. 9 ( At Taubah) : 52;
QS. 23 (Al Mukminun) : 2-11; dll. Sebagai contoh disebutkan sifat/tanda orang beriman
65
dalam QS.23 (Al Mukminun) : 2-11, antara lain : (1) Khusyu' dalam menjalankan shalat, (2)
Menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak berguna, (3) Menunaikan zakat, (4) Menjaga
amanah dan janji, (5) Menjaga shalat.
Seorang hamba yang beriman pada Allah akan taat menjalankan amal ibadah,
menyembah hanya kepada Alllah semata, tidak mensekutukan-Nya dengan apapun. Apabila
menghadapi tantangan, hambatan, dan masalah, maka ia akan bertawakkal dengan berserah
diri kepada-Nya. Ia meyakini bahwa segala sesuatu di dunia terjadi dengan kehendak Allah.
Di samping itu, ketika manusia beriman dengan malaikat-Nya, maka ia wujudkan dalam
kehidupan ini untuk selalu menjalankan kebaikan, sebagaimana juga malaikat berbuat baik
menjalankan perintah Allah. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang dilakukan diawasi
oleh Allah melalui malaikat-Nya. Ia akan selalu berhati-hati berbuat sesuatu karena semua
akan dipertanggungjawabkan.
Implementasi iman kepada kitab suci, dapat diwujudkan dengan memiliki kepercayaan
diri yang kuat akan kebenaran aturan Allah dalam kitab suci-Nya. Maka ia akan menata
hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga hidupnya memiliki harapan masa
depan yang jelas dan pasti.
Iman kepada Rasul dapat diwujudkan dengan meneladani perilaku para Rasul dalam
kehidupan. Setiap Rasul merupakan suri tauladan hidup bagi umatnya, baik itu ibadah
maupun muamalah, tingkah laku maupun tutur katanya. Iman kepada para rasul dapat
direalisasikan dengan berusaha selau berlaku jujur (shidiq), bertanggungjawab mengemban
amanah, menyampaikan nasehat/misi kebenaran (tabligh), berlaku cerdas dan bijaksana
(fathonah). Sejarah hidup para Rasul merupakan inspirasi bagi umat beriman untk menjalani
hidup dengan benar, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan.
Iman kepada Hari Akhir akan berdampak pada perilaku sehari-hari. Keimanan ini
melahirkan keyakinan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini, semua akan dihitung.
Setiap detik diupayakan memiliki makna yang baik yang akan berbuah pahala di akhirat.
Diantara perilaku yang dapat mencerminkan iman kepada hari akhir adalah taat dan patuh
beribadah, menjauhi kemaksiatan, suka bersedekah, suka membantu orang lain, tidak silau
pada gemerlap dunia, bersyukur, bersikap jujur dan adil, selalu berusaha menjadi lebih baik,
bersikap rendah hati, optimis dan lapang dada.
Iman kepada hari Qadha dan Qadar menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang ada
dan terjadi di alam semesta ini merupakan kehendak dan kuasa Allah. Maka sebagai orang
yang beriman tidak boleh meratapi takdir, mencela bagian/nasib yang diberikan Allah. Allah
memberikan yang terbaik sesuai dengan sifat Kasih dan Sayang-Nya. Iman kepada Qadha dan
Qadar melahirkan sikap optimis, tidak mudah putus asa dan kecewa. Orang beriman bila
mendapat keberuntungan, ia bersyukur dan merasa bahwa semua karunia Allah, sehingga ia
ingin berbagi dengan orang lain. Ketika ia mendapat kemalangan atau musibah ia hadapi
dengan sabar dan tabah. Sikap positif ini akan dapat pahala yang luar biasa dari Allah.
2. Syariah Islam
2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Syariah Islam
Syariah menurut bahasa berarti jalan. Dahulu orang Arab mempergunakan kata itu
untuk menyebut jalan setapak menuju ke sumber mata air. Dalam hal ini syariah dapat berarti
jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Secara terminologi syariah berarti sistem norma
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Syariah merupakan aspek norma, aturan atau
hukum dalam ajaran Islam. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari aqidah Islam.
Menjalankan syariah merupakan bukti dan wujud keimanan dalam Islam. Akidah takkan
sempurna tanpa syariah. Melaksanakan syariahpun akan dinilai sia-sia apabila tanpa
berakidah terlebih dahulu. Syariah adalah norma hukum dasar, yang wajib diikuti setiap
muslim yang diwahyukan Allah. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan dirinci oleh Nabi
Muhammad saw melalui Sunnahnya. Oleh karena itu syariah terdapat dalam Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah..
Ilmu yang membahas syariah, dinamakan Ilmu Fikih. Jadi Ilmu Fikih adalah ilmu yang
membahas hukum Islam yang berhubungan dengan perbuatan para orang mukallaf.
Pemahaman hukum syariah dituangkan dalam kitab-kitab fikih dan disebut dengan hukum
fikih.
67
Syariah Islam diturunkan Allah kepada manusia sebagai pedoman yang memberikan
bimbingan dan pengarahan agar manusia dapat menjalani hidup di dunia ini dengan benar
sesuai kehendak Allah. Syariah merupakan aturan yang ditetapkan Allah yang berisi peritah
yang harus ditaati dan larangan yang mesti dijauhi. Manusia dapat bebas berperan sebagai
khalifah Allah di muka bumi sesuai panduan syariah yang menjamin kesejahteraan lahir dan
batin dan menghindarkan diri dari kesesatan. Syariah menunjukkan jalan menuju tercapainya
kebahagiaan yang abadi, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian syariah
berperan memberikan petunjuk tentang hakikat hidup manusia.
Syariah Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat, dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, alam
lingkungan maupun hubungan dengan Tuhan. Secara umum syariah terbagi menjadi dua
bagian, yaitu ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus sering disebut dengan istilah
ibadah saja atau ibadah), sedangkan ibadah umum sering diungkapkan dengan istilah
muamalah atau ibadah ghairu mahdhah. Bidang ibadah melingkupi berbagai ritual yang wajib
dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah, seperti Shalat, Puasa, Zakat dan
Haji. Adapun muamalah dalam pengertian yang luas mencakup ketetapan Allah yang
langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, seperti ekonomi, pernikahan,
hutang piutang, kesehatan, politik dan sebagainya.
Tata-cara ibadah khusus lazimnya diuraikan secara terperinci dan dicontohkan langsung
oleh Rasulullah saw. Oleh karenanya umat Islam harus mengikuti ketentuan yang
diperintahkan Allah dan diajarkan Rasullullah saw. Ibadah bersifat tertutup, tidak seorangpun
boleh menambah aturan atau tatacara yang baku tersebut. Pelanggaran terhadap tatacara,
syarat-rukun dalam ibadah ini menjadikan ibadah tersebut tidak sah alias batal. Akan tetapi
muamalah biasanya hanya dijabarkan pokok-pokoknya saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk
dikembangkan melalui ijtihad.
Dalam ibadah khusus, para ulama menetapkan kaidah yaitu “Semua tidak boleh
dilaksankan, kecuali yang diperintahkan Allah atau diconttohkan Rasul-Nya". Melakukan hal
baru (bid’ah) dalam ibadah menjadikan praktik ibadah itu ditolak. Adapun dalam bidang
muamalah, maka berlaku kaidah “Semua boleh dilakukan, kecuali yang dilarang Allah dan
Rasul-Nya". Ruang lingkup muamalah sangat luas. Jenis dan macamnya tidak ditentukan
dalam Al-Quran maupun Sunnah. Suatu perbuatan dapat dikategorikan dalam ibadah yang
bersifat umum apabila perbuatan tersebut bukan termasuk yang dilarang Allah dan Rasul-Nya
dan dilakukan dengan niat karena Allah.
Ibadah khusus, keberadaanya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari Al-
Qur’an maupun dari Sunnah. Tatacaranya juga harus mengacu pada contoh dari Nabi
Muhammad saw. Shalat, mislanya, maka gerakan, doa dan tatacaranya harus mengikuti apa
yang dipraktikkan Rasulullah saw. Sebagaimana dalam sebuah sabdanya, beliau menyatakan :
"Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat". Asas ibadah adalah ketataan. Sebagai
hamba kita wajib meyakini bahwa apa yang diperintahklan Allah swt semata-mata untuk
kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk kebaikan Allah.
Adapun prinsip muamalah adalah menjaga hubungan dengan sesama manusia berjalan
dengan harmonis, adil, saling meridloi antar pihak yang terlibat, mendatangkan kemaslahatan,
menghindari kemudaratan, tidak merugikan dan tidak dirugikan serta selaras dengan aturan
yang ditetapkan Allah. Oleh karenanya, muamalah dalam ajaran Islam bersifat fleksibel dan
luas. Semua aktivitas muamalah boleh selama tidak ada larangan. Kaidah perumusan fikihnya
mungkin saja mengikuti perkembngan zaman. Boleh saja tatacaranya mengalami modernisasi
dengan syarat tidak melanggar aturan umum yang ditetapkan syariah Islam.
68
2.1.3. Perbedaan Syariah Islam Dengan Fikih Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Ada dua istilah yang berhubungan dengan hukum Islam tersebut. Pertama Syariah; dan kedua
adalah Fikih. Syariah merupakan hukum Islam yang ditetapkan langsung dan tegas oleh
Allah. Materi hukum yang terdapat dalam syariah seringkali menyangkut hal- hal yang pokok
dan utama. Hukum ini dapat dan perlu dikembangkan dengan ijtihad. Hasil pengembangannya
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Fikih.
Dalam praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, kedua istilah itu (Syariah dan Fikih)
dirangkum dalam istilah Hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti karena keduanya sangat erat
hubungannya, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan landasan
fikih dan fikih merupakan pemahaman orang (yang memenuhi syarat) tentang syariah
tersebut. Oleh karena itu seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan
benar harus dapat membedakan antara syariah Islam dengan Fikih Islam.
Hukum Islam kategori syariah bersifat konstan, tetap, berlaku sepanjang zaman. Ia tidak
mengenal perubahan dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Situasi dan
kondisilah yang menyesuaikan dengan syariah. Sedang hukum Islam kategori Fikih bersifat
fleksibel, elastis, relatif, mengenal perubahan, dan dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi.
Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syariah Islam disebut Islamic
Law, sedangkan Fikih Islam diistilahkan dengan Islamic Jurisprudence. Secara sederhana
syariah merupakan ketentuan hukum yang disebut langsung oleh Allah melalui firman-Nya
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw dalam kitab-kitab Hadits. Sedang Fikih
adalah rumusan–rumusan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam. Oleh
karena Fikih adalah hukum yang dikembangkan dari pemahaman manusia, maka produk fikih
sangat mungkin berbeda-beda.
Hukum Fikih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu secara kongkrit,
mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat
lain. Ada satu kaidah Fikih yang menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu
menyebabkan perubahan hukum (fikih). Jadi hukum Fikih cenderung relatif, bersifat dhanni
(dugaan kuat) , tidak absolut (qath’i) sebagaimana hukum syariah yang menjadi norma dasar
hukum fikih. Karena hukum Fikih harus berlandaskan hukum syariah, maka hukum fikih
tidak boleh bertentangan dengan hukum syariah, apalagi kalau ketentuan syariah itu jelas
bunyinya (qath’i), tidak mungkin diartikan lain dari makna yang dikandungnya. Contoh:
Ketentuan syariah Islam tentang wanita dan pria sama-sama menjadi ahli waris almarhum
orangtuanya. Hukum fikih tidak boleh menyatakan suatu ketentuan, misalnya, wanita tidak
berhak menjadi ahli waris seperti keadaan masyarakat Arab sebelum Islam.
Pada pokok perbedaan antara syariah dan Fikih adalah sebagai berikut :
1. Syariah terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan Fikih terdapat dalam kitab-kitab Fiqih.
2. Syariah bersifat fundamental, ruang lingkupnya lebih luas dari Fikih, sedang Fikih
bersifat instrumental.
3. Syariah berlaku abadi sebagai suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sedang Fikih
merupakan karya manusia, sifatnya berubah dari masa ke masa.
4. Syariah hanya satu, sedang Fikih amat mungkin lebih dari satu. Hal ini dapat kita lihat
pada aliran-aliran fikih yang disebut mazahib atau kelompok-kelompok.
5. Syariah menujukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragamannya.
(M. Daud Ali, 1999)
Sebagaimana diuraikan di atas, Fikih senantiasa berubah. Karena sifatnya yang berubah-
ubah Fikih biasanya disandarkan kepada ulama mujtahid yang memformulasikannya. Seperti
Fiqh Hanafi, Fikih Syafi’i, Fikih Maliki, Fikih Hambali dan sebagainya, sedangkan syariah
senantiasa disandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
69
2.2. Implementasi Syariah Islam Dalam Kehidupan.
2.2.1. Implementasi Ibadah Mahdhah Dalam Kehidupan.
Dalam ajaran Islam, syariah dengan dua bagiannya ibadah dan muamalah merupakan
aspek operasional dalam beragama. Ruang lingkup ibadah berkisar sekitar bersuci dan rukun
Islam (minus syahadat). Jadi pembahasan ibadah khusus meliputi Thaharah, Shalat, Zakat,
Puasa dan Haji. Syahadat merupakan kajian akidah karena menyangkut pernyataan keyakinan
kepada Allah swt dan Nabi Muhammad saw. Namun syahadat merupakan hal yang amat
penting karena ketiadaannya menjadikan seluruh ibadah tidak berguna dan sia-sia dihadapan
Allah swt. Begitu pula, keislaman seseorang tidaklah cukup hanya dalam ucapan syahadat
saja, namun harus diwujudkan dengan melaksanakan ritual ibadah dan interaksi sosial yang
sesuai ajaran Islam.
Setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat seorang muslim diwajibkan melaksanakan
shalat lima waktu sehari semalam, yang didahului dengan thaharah (bersuci). Thaharah secara
garis besar terdiri dari beberapa bagian, yaitu bersuci dari najis dan bersuci dari hadas.
Bersuci dari hadas terdiri dari dua bagian, yaitu hadas besar yang dapat dihilangkan dengan
mandi dan hadas kecil, cara bersucinya dengan berwudhu. Zakat adalah memberikan sebagian
harta yang telah ditetapkan bagi orang-orang yang mampu dan diberikan kepada mereka yang
berhak menerimanya, yang disebut mustahik. Mustahik terdiri dari delapan golongan, yaitu
fakir, miskin, ibnu sabil, gharim, 'amil, muallaf, budak yang ingin memerdekakan dirinya dan
sabilillah.
Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan bagi umat Islam. Puasa dilakukan dengan
meninggalkan makan, minum, bercampur dengan istri/suami dan segala yang
membatalkannya dari fajar di waktu subuh sampai terbenam matahari di waktu maghrib.
Melaksanakan ibadah haji, diwajibkan seumur hidup sekali bagi setiap orang muslim yang
memiliki kemampuan, baik biaya maupun keamanan perjalanan. Berhaji artinya mengunjungi
Baitullah di Makkah dan tempat-tempat lain yang disyariatkan dalam rangka ibadah mencari
keridhaan Allah swt.
Seorang muslim yang menerapkan ibadah dengan benar, maka ia akan memiliki pribadi
yang tangguh berakhlak mulia. Ibadah dalam Islam adalah sarana penerapan nilai-nilai utama
dalam kehidupan. Ritual Ibadah bukan hanya kumpulan doa tanpa makna atau gerakan tanpa
tujuan. Berbagai ritual ibadah diperintahkan Allah melalui para Nabi dan Rasul banyak
bermuara pada pembentukan akhlak, seperti dalam perintah shalat. Shalat adalah salah satu
ibadah wajib yang diperintahkan oleh Allah. Perintah shalat disebutkan dalam banyak ayat Al-
Qur’an. Begitu pentingnya shalat sehingga kelak shalat adalah ibadah pertama yang diperiksa
dalam perhitungan amal di akhirat dan menjadi tolok ukur seluruh amal ibadah lainnya.
Dalam QS.29 (Al-Ankabut) :45 Allah berfirman:
Artinya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-
ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.QS.29: 45).
70
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa muara dari ibadah shalat adalah terbentuknya
pribadi yang terbebas dari sikap keji dan mungkar. Pada hakikatnya adalah terbentuknya
manusia berakhlak mulia, bahkan kalau kita telusuri proses ritual shalat selalu dimulai dengan
berbagai persyaratan tertentu, seperti harus suci badan, pakaian dan tempat, dengan cara
mandi dan berwudhu. Intinya shalat dipersiapkan untuk membentuk sikap manusia selalu
bersih, patuh, taat peraturan dan melatih seseorang untuk tepat waktu.
Ibadah puasa dilakukan untuk meninggikan kualitas manusia yang di dalam bahasa Al-
Qur’an dipergunakan sebutan takwa. Berdasarkan hal ini, maka puasa sangat berhubungan
erat dengan pembentukan mental dan karakter manusia. Ritual puasa bertujuan membentuk
akhlak mulia. Bila sedang berpuasa, kita dilarang mencaci, bergunjing, berbohong, berbuat
maksiat, berkata kotor. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
”Jika salah seorang di antaramu melaksanakan puasa, maka janganlah berkata kotor,
menipu, jika seseorang mencelamu atau hendak membunuhmu, maka katakanlah
sesungguhnya saya sedang puasa,” (HR. Muslim).
Ternyata ritual puasa disiapkan untuk mendidik dan membentuk kita agar berperilaku terpuji,
sebuah kepribadian yang mencerminkan sebagai muslim yang berakhlak mulia.
Zakat mempunyai dampak sosial yang dahsyat dalam rangka mengatasi persoalan
ekonomi dan kesejahteraan umat. Zakat menumbuhkan sifat solidaritas, kepedulian sesama
manusia. Bagi orang yang menunaikan zakat atau muzakki, zakat membersihkan jiwa dari
sifat kikir, egois dan tamak. Zakat merupakan wujud kesyukuran muslim terhadap karunia
harta yang diberikan Allah kepadanya.
Adapun ibadah haji sebagai ritual dalam Islam mempunyai peran penting dalam
pembentukan akhlak mulia. Hal ini dapat kita ketahui dari berbagai larangan selama
pelaksanaan haji berlangsung, seperti larangan membunuh binatang, berkata kotor, berbuat
keji, fasik, bertengkar, bergunjing, saling berbantahan, mencuri dan berbagai tindakan maksiat
lainnya. Demikian juga hikmah ritual haji di antaranya adalah saling pengertian, rasa
tanggung jawab, persamaan hak, saling menghargai, berfikir universal, persaudaraan universal
dan bersabar dalam berbagai situasi. Dalam QS. 2 (Al-Baqarah): 197 Allah berfirman:
Artinya:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. 2 : 197).
Dalam haji kita dididik untuk meninggalkan perbuatan asusila, maksiat, dan berbagai
tindakan amoral lainnya. Ini semua merupakan bukti bahwa ibadah haji dipersiapkan untuk
membentuk manusia berakhlak mulia. Bila dalam ibadah haji berperilaku tercela maka ibadah
haji secara spiritual akan sia-sia. Haji seperti itu tidak bernilai spiritual di sisi Allah, hanya
menjadi sebuah wisata untuk menghilangkan kejenuhan sehari-hari tanpa memberi arti.
71
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa interaksi dengan
manusia lainnya. Untuk itu, Allah telah menetapkan berbagai aturan norma yang menjamin
keharmonisan, keadilan dan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi ini. Aturan–aturan
yang berkaiitan dengan kehidupan antar sesama manusia ini dalam ajaran Islam dihimpun
dalam ajaran muamalah. Mengacu kepada pembagian hukum menurut isinya seperti yang
dipelajari dalam ilmu hukum, maka muamalah dapat dibagi dalam dua bagian besar, yakni (1)
Hukum perdata atau privat, seperti munakahat (perkawinan), wirasah (kewarisan), wasiat, dll.
(2), Hukum Publik misalnya hukum a) jinayah (pidana), b). maliyah/iqtishad (ekonomi), c)
siyasah atau al-ahkam al-sulthaniyah (politik dan ketatanegaraan, d) siyar (hukum
internasional), dll.
Muamalah di bidang ekonomi yang dimaksud disini adalah aturan hukum Islam tentang
usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang, jasa penitipan
dsb. Ekonomi Islam berwatak ke-Tuhanan. Hal ini tercermin pada aturan dan sistem yang
harus dipedomani oleh pelaku ekonomi. Ciri tersebut bermula dari suatu keyakinan bahwa
kepunyaan Allahlah semua faktor ekonomi termasuk diri manusia itu sendiri. Kepada-Nya
dikembalikan segala sesuatu. Manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin
namun tetap dalam batas koridor aturan main Allah swt. (Q.S; Al-Ra’du 26, QS. Al-Syuura:
12). Ekonomi Islam mempunyai nilai-nilai normatif yang mengikat. Setiap tindakan seorang
muslim tidak boleh lepas dari nilai. Jadi dalam mengimplentasikan muamalah di bidang
ekonomi nilai-nilai moral merupakan syarat nilai (value loaded), bukan sekedar nilai tambah
(added value), apalagi bebas nilai (value neutral). Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, ekonomi
Islam mepunyai empat ciri kahs atau karakteristik. Empat karakteristik tersebut adalah :
Rabbaniyyah (ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan, dan Pertengahan.
a). Ekonomi Rabbaniyyah, yaitu ekonomi Islam sebagai ekonomi Ilahiah. Seorang muslim
ketika menanam, bekerja, ataupun berdagang dan lain-lain adalah dalam rangka
beribadah kepada Allah. Ketika mengkonsumsi dan menikmati berbagai harta yang baik
menyadari itu sebagai rezki dari Allah. Seorang muslim tunduk kepada aturan Allah,
tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan yang riba, tidak
melakukan penimbunan, tidak akan berlaku zalim, tidak akan menipu, tidak akan berjudi,
tidak akan mencuri, tidak akan menyuap dan tidak akan menerima suap. Seorang muslim
tidak akan melakukan pemborosan, dan tidak kikir.
b). Ekonomi Akhlak, artinya tidak adanya pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak.
Islam tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas
nilai-nilai dan keutamaan yang diajarkan agama.
c). Ekonomi Kemanusiaan, yaitu kegiatan ekonomi yang tujuan utamanya adalah
merealisasikan kehidupan yang baik bagi umat manusia dengan segala unsur dan
pilarnya. Selain itu bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya yang disyariatkan. Nilai kemanusaian terhimpun dalam ekonomi Islam seperti
nilai kemerdekaan, kemuliaan, keadilan, persaudaraan, saling mencintai dan saling tolong
menolong di antara sesama manusia.
d). Ekonomi Pertengahan, yaitu nilai pertengahan atau nilai keseimbangan. Pertengahan yang
adil diantara dua sistem, sistem kapitalis yang sangat individualistis, berpihak pada
kelompok pemilik modal dan sistem sosialis yang memasung kebebasan individu dan
memandang kepentingan negara di atas segala sesuatu.
Secara umum beberapa nilai prinsipil dalam ekonomi Islam adalah : a) Alam ini mutlak
milik Allah; b).Alam merupakan karunia Allah untuk dinikmati dan dimanfaatkan secara bijak
72
oleh manusia dalam bata-batas kewajaran; c) Hak milik perseorangan diakui sebagai hasil
usaha yang halal dan dipergunakan dengan cara halal untuk hal yang halal pula; d) Allah
melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia; e) Di dalam harta
orang kaya itu terdapat hak orang fakir miskin dan kelompok penerima lainnya dengan
menunaikan zakat; f) Kegiatan ekonomi berjalan atas asas kebersamaan dan keadilan, tidak
merugikan pihak lain maupun dirugikan .
Salah satu fungsi hukum Islam adalah sarana untuk mengatur sebaik mungkin proses
interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman dan sejahtera.
Kesempurnaan Islam dapat dilihat dari aturannya mengenai kehidupan sosial, hubungan antar
manusia dalam masyarakat. Al-Qur’an demikian rinci menyampaikan hal-hal tersebut.
Sebagai contoh, Al-Qur’an menyebutkan bagaimana aturan hubungan antara laki-laki dan
perempuan, larangan memperolok-olok orang lain, larangan mengejek orang lain, dan
perintah untuk tidak sombong. Islam juga membahas mengenai karakteristik masyarakat
Islam yang di dalamnya diatur nilai-nilai Islam.
Pergaulan merupakan suatu fitrah bagi manusia karena sesungguhnya manusia
merupakan makhluk sosial. Karena ruang lingkup kehidupan sosial sangat luas, dalam kajian
ini hanya mengulas tentang norma/aturan pergaulan antar manusia. Berikut dijelaskan dalam
syariah Islam terkait dengan hubungan/pergaualan antar sesama manusia:
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (QS. 17:32).
Syariat muamalah yang terkait pergaulan lawan jenis dalam Islam meliputi : (1)
hendaknya setiap muslim menjaga pandangan matanya dari melihat lawan jenis secara
berlebihan. Dengan kata lain hendaknya dihindarkan berpandangan mata secara bebas.
Perhatikanlah firman Allah berikut ini, (QS. 24:300; (2) hendaknya setiap muslim
menjaga auratnya masing-masing dengan cara berbusana Islami agar terhindar dari fitnah.
Secara khusus bagi wanita dijelaskan dalam QS. 24 :31. Batasan aurat bagi pria adalah
antara pusat ke lutut, sedangkan wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak
tangan; (3) tidak berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada perbuatan zina (QS.
17: 32), misalnya berkhalwat (berdua-duaan di tepat yang terlindung dari pandangan
orang lain) dengan lawan jenis yang bukan mahram. Nabi bersabda yang artinya:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah berkhalwat dengan
seorang wanita (tanpa disertai mahramnya) karena sesungguhnya yang ketiganya
adalah syaithan (HR. Ahmad); (4) menjauhi pembicaraan atau cara berbicara yang bisa
‘membangkitkan syahwat’. Arahan mengenai hal ini kita temukan dalam QS.33:31;
(5) hendaknya tidak melakukan ikhtilat, yakni berbaur antara pria dengan wanita dalam
73
satu tempat. Hal ini diungkapkan Abu Asied, bahwa “Rasulullah saw pernah keluar dari
masjid dan pada saat itu bercampur baur laki-laki dan wanita di jalan, maka beliau
bersabda: “Mundurlah kalian (kaum wanita), bukan untuk kalian bagian tengah jalan;
bagian kalian adalah pinggir jalan (HR. Abu Dawud).
b) Pergaulan Sejenis.
Nabi Muhammad saw menetapkan tata krama yang harus diperhatikan, beliau
bersabda: “Tidak dibolehkan laki-laki melihat aurat (kemaluan) laki-laki lain, begitu
juga perempuan tidak boleh melihat kemaluan perempuan lain. Dan tidak boleh laki-laki
berkemul dengan laki-laki lain dalam satu kain, begitu juga seorang perempuan tidak
boleh berkemul dengan sesama perempuan dalam satu kain.” (HR. Muslim)
Sejarah membuktikan, bahwa Nabi Muhammad saw disamping sebagai Rasul, sebagai
kepala agama, juga kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah Yatsrib yang kemudian
diganti oleh beliau dengan nama Madinah al-Munawwarah sebagai wilayah kekuasaan Nabi.
Kota tersebut sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai
aturan dasar kegenaraannya. (Harun Nasution, Islam Rasional, gagasan dan Pemikiran,
1996:227). Penyelenggaraan pemerintahan dalam ajaran Islam harus mendasarkan
pada prinsip-prinsip politik dan perundang-undangan pada kitab Al-Qur’an dan Sunnah.
Karena itu setiap bentuk peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh pemerintah
mengikat setiap muslim untuk mentaatinya.
Sedangkan dalam kamus Littre (1870) politik adalah ilmu memerintah dan mengatur
negara. Dan kamus Robert (1962) politik adalah seni memeritah dan mengatur masyarakat
manusia. Dengan demikian Politik Islam adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat
berdasarkan ajaran Islam dan semua urusan seluruh umat. Pengaturan masyarakat tidak hanya
khusus untuk umat saja, akan tetapi semua yang berada dibawah kekuasaan wilayah Islam.
Hal ini pada awal pemerintahan Islam di Madinah sejak Nabi Muhammad saw, membangun
Madinah sudah dikatakan sebagai kepala Negara karena Islam telah mempunyai wilayah
kekuasaan, masyarakatnya (rakyatnya) yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
Undang-undang peraturannya (piagam Madinah), masyarakat di luar muslimpun tetap
dilindungi berdasarkan peraturan peraturan Nabi saw.
Terdapat tiga pendapat di kalangan pemikir muslim tetntang kedudukan politik dalam
Islam
Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap
didalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Kemudian lahir
sebuah istilah yang disebut degan fikih siyasah (sistem kenegaraan dalam Islam) merupakan
bagian integral dari ajaan islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem
74
ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad saw dan oleh para Khulafa al-rasyidin yaitu sistem khilafah.
Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat.
Artinya agama tidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi
Muhammad hanyalah seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain bertugas menyampaikan
risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk mendirikan dan memimpin
suatu Negara.
Ketiga, menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat di dalamnya
segala sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa Islam sebagaimana
pendapat barat yang hanya mengatur hubungn manusia dengan Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai
bagi kehidupan bernegara.
Agama dan Politik adalah dua hal yang integral. Semua agama pasti membutuhkan
kekuasaan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi ummatnya serta memberikan
perlindungan kepada pengikut setia yang menyebarkan ajarnnya. Oleh karena itu Islam tidak
bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan Negara, sebab Islam
bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja, Namun Islam juga mengajarkan
bagaimana betuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan ummat yang menyangkut
kepentingan dan kemaslahatan merek, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap
rakyat, serta menjadi pencegah adanya kezholiman oleh penguasa. Oleh karena itu setiap
kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan ummat, termasuk menjaga agar seluruh
urusan ummat ini terlaksana sesuai dengan syariat Islam. Sebab umat Islam diperintahkan
untuk berhukum kepada ketentuan Allah yang diturunkan kepada Nabi.saw.
Eksistensi politik sebenarnya sudah terlihat sejak dulu. Dalam sejarah perjuangan para
sahabat terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa agama Islam memang memiliki
otoritas terhadap politik. Dalam mengangkat seorng khalifah, para sahabat memberikan syarat
kepada khalifah agar memegang teguh al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak karena tahu
bahwa politik tidak mungkin dipisah-pisahkan dari agama, sehingga mereka akan mengangkat
khalifah berdasarkan pertimbangan yang terbaik. Dalam hal ini, bukan berarti politik itu baru
lahir pada masa Rasullah. Karena sejak manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin,
maka politik ada saat itu.
Para pemikir muslim sebagian besar sepakat bahwa Madinah adalah Negara Islam
yang pertama dan apa yang dilakukan Rasul setelah hijjrah dari Mekah ke Madinah adalah
memimpin masyarakat Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul tetapi juga
sebagai kepala negara Islam Madinah.
Menurut Abdul Halim Mahmud (1998) bahwa islam juga memiliki politik luar negeri.
Tujuan dari politik luar negeri tersebut adalah penyebaran dakwah kepada manusia di penjuru
dunia, mengamankan batas territorial umat islam dari fitnah agama, dan system jihad
fisabilillah untuk menegakan kalimat Allah SWT. Jadi politik bermakna instansi dari Negara
untuk kedaulatan Negara dan ekonomi.
Artinya:
"Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu
menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-
Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka" (QS.20:123).
Demikian diantara prinsip-prinsip Politik Islam yang dapat kita implementasikan dalam
kehidupan bernegara. Paparan di atas, tidak menutup kemungkinan adanya prinsip-prinsip
yang lain.
78
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama
Islam. Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan
lebih dahulu, sebab, kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persisi maknanya.
Yang dimaksud adalah istilah-istilah (1) hukum, (2) hukm dan ahkam, (3) syariah atau
syariat, (4) fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah
tersebut.
b). Hukum
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam
pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah-laku
manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang
dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa
hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis
dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui
asaskonkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum
dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia
untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam
konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.
Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi hukum
Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu
mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang
disinggung di muka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan
manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya. Interaksi manusia
dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh seperangkat ukuran tingkah-laku yang di
dalam bahasa Arab, disebut hukmjamaknyaahkam.
83
tubuh jasmani yang tidak berpenyakit,mental yg baik,sosial yang baik,dan spiritual atau iman
yang baik dan benar.
(c). Siwak
84
Syariat Islam juga memperhatikan kebersihan muut dan gigi melalui perintah siwak. Dalam
arti khusus, bersiwak adalah membersihkan gigi dengan menggunakan kayu siwak, sedangkan
dalam arti umum adalah tiap benda yang digunakan untuk membersihkan gigi. Dari
pengertian ini, siwak dapat diartikan dengan sikat gigi atau sejenisnya.
Nabi menganjurkan bersiwak setiap kali hendak shalat, memasuki masjid,sebelum tidur,
ketika bangun tidur dsb. Hudzaifah meriwayatkan bahwa Rosulullah jika bangun malam maka
menggosok giginya dengan siwak.
Betapa pentingnya siwak ini, dinyatakan dalam hadits, sekiranya tidak memberatkan
umat pasti akan mewajibkannya. Disebutkan dalam hadits : sekiranya tidak memberatkan
umatku atau kepada manusia maka pasti aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali shalat
(HR Bukhri Muslim) .
Siwak juga berfungsi ntuk menciptakan kesehatan pergaulan,menghindari adanya bau
makanan melalui bau mulut, seperti setelah memakan bawang merah dan sejenisnya. Siwak
menyucikan mulut dan diridhoi Rob (HR Bukhari)
Secara khusus bersiwak dinyatakan dapat membuat seseorang lebih percaya diri saat
berkomunikasi dengan orang lain sebagaimana dinyatakan dalam hadits :siwak itu dapat
menambah kefasihan seorang laki laki (HR Abu Na’im).
Nabi adalah orang yang paing banyak melakukan siwak, sebagaimana dinyatakan dalam
haditsnya :aku adalah orang yang terbanyak melakkan siwak dibanding kalian (HR Bukhari).
Juga dinyatakan dalam riwayat bahwa perbuatan pertama yang dilakukan nabi setiap kali
masuk ke rumah adalah bersiwak, dinyatakan dalam hadits nabi : dari Aisyah ia berkata,
bahwa perbuatan pertama yang dilakukan Nabi seawaktu memasuki rumahnya adalah
bersiwak (HR Ahmad)
Dari Aisyah, ketika Rosulullah menjenguk orang sakit atau orang sakit dibawa kepada
beliau, maka beliau berucap :
“hilangkanlah penyakit,wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah dan Engkau Pemberi
kesembuhan, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit” (muttafaq alaih)
f). Sifat yang Harus Dimiliki oleh Tenaga Medik dan Para Medik
Yang dimaksud dengan tenaga medik adalah para dokter, sedang tenaga para medik
ialah perawat, bidan, laboran dsb. Mereka merupakan manusia manusia yang mempunyai
keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit,dan merawat penderita, tingkah laku
mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan. Haruslah ada hubungan kejiwaan yang
akrab antara mereka dengan penderita. Islam mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah
didasarkan atas iman dan pengabdian diri kepadaNya.
Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan tenaga para
medik, maka Islam mengajarkan beberapa sifat yang harus dipunyai antara lain :
86
(a). Beriman
Sebab tanpa iman, segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan hilang
sia-sia di mata Alloh.
Dalilnya surat al-ashri 2-4 : sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali mereka
yang beriman dan beramal saleh.
(b). Tulus dan ikhlas karena Alloh
Dalil surat al bayyinah ayat 5 : “dan aku tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah
kepada Alloh dengan ikhlas”
(c). Jujur
(d). .Penyantun
Artinya ikut merasakan penderitaan orang lain dan karena itu suka menolong orang ain
dalam kesukaran
“segala orang penyantun disukai oleh Alloh yang maha peyantun, santunilah orang
yang di bumi nscaya kamu akan disantuni oleh yang di langit “ ( riwayat Tirmidzi dan
Abu Dawud dalam Kitab A-Targhib )
(e). Peramah
Bergaul tidak kaku dan menyenangkan
“maka karena rahmat Alloh engkau berlemah lembut kepada mereka, sekiranya engkau
berlaku kasar dan berhati bengis, niscaya mereka benjauhkan diri dari sekitarmu” Al
Imran 159
“sesungguhya kamu tidak dapat melapangi manusia dengan hartamu, tetapi manis muka
dan baik budi yang dapat melapangi mereka “ (riwayat Abu Ya’la disahkan oleh Hakim
dar Abu Hurairah , dalam kitab Buughul Maram )
(f). Sabar
Tidak lekas emosional dan lekas marah.
“sesungguhnya orang yang sabar dan pemaaf adalah termasuk pekerti yang perlu dan
dipelihara” Asy syura ;43
(g). Tenang
Tidak gugup betapapun keadaan gawat, “ tetaplah kamu bersifat tenang”(HR ath
thabrani dan Baihaqi dari Ab Musa)(g).
(h). Teliti
Berhati – hati,cermat dan rapi ;”sesungguhnya Allah menyukai jika seseorang
mengerjakan suatu pekerjan dengan teliti” (HR Baihaqi,Abu Ya’la,Ibnu asakir dll)
Sakit akan menyebabkan gangguan kesejahteraan pribadinya dan juga dapat berpengaruh
kepada keluarga dan lingkungannya. Oleh karena itu beberapa kewajiban orang sakit :
(a). Wajib memeriksakannya ke dokter.
“Rosulullah mengunjungi orang sakit, lalu bersabda : bawalah ke dokter.Maka
berkataah orang yang hadir :”engkau berkata demikian ya Rosululah? Beliau menjawab
: Ya karena Alloh tidak menurunkan sesuatu penyakit melainkan menurunkan pula
obatnya”(HR Bukhari dan Muslim)
(b). Sabar
Sabar dan tidak gelisah dalam menghadapi cobaan/penyakit adalah selaras dengan firman
Alloh ; sabarlah atas segala yang menimpa engkau, dan sesungguhnya demikian itu
termasuk pekerti yang utama (surat Luqman ;17)
(c). Ingat kepada Alloh ; ketahuilah bahwa dengan ingat kepada Allah itu hati akan tenteram
( Ar ra’du ayat : 13)
(d). Bertobat
87
Apabila pasien menyadari cobaan yang diiterimanya iu ada kaitan dengan dosa yang
diperbuatnya,maka bertobatlah ; Hai orang orang yang beriman, bertobatlah dengan
sebenar benanya tobat niscaya Robmu menghapuskan kejahatan – kejahatanmu (At
tahrim ;8)
(e). Tetap mengharapkan sembuh
“janganlah kamu berputus asa dari pertolongan Alloh, sesungguhnya tidak akan
berputus asa dari pertoongan Alloh kecuali orang orang kafir “(surat Yusuf :87)
(f). Berwasiat
Bagi pasien disunahkan agar berwasiat untuk ahli warisnya, apalagi kaau sakitnya
dirasakan berat.
“diwajibkan atas kamu bila kamu dekat mati, berwasiatlah kepada ibu bapak, kaum
kerabat,jika kamu mempunyai harta benda dengan ukuran yang layak,yang demikian itu
adalah suatu kewajiban atas orang – orang yang takut kepada Allah” (al baqarah 180)
Manusia yang sedang sakit atau menderita, layaknya cenderung mendekatkan diri kepada
Alloh. Oleh karena itu segenap tindak tanduk dan tutur kata perawat dan jururawat hendaknya
menunjukkan kearifan dan kasih sayang. Terlebih lagi kepada orang yang sedang sakit keras
atau menghadapi sakaratul maut.
(a). Sakaratul maut dilihatdari sudut Islam
Sakaratul maut arti hafiahnya adalah mabuk maut, maksudnya adalah si sakit dalam
keadaan naza’ yaitu dalam keadaan dicabut nyawanya oleh malaikat maut, sedang dalam
proses pemisahan nyawa dari badannya.
Rasululllah mengunjungi orang sakit ( yg sedang sakaratul maut) kemudian beiau
bersabda : Aku tahu apa yang djumpai, tidak ada satu uratpun darinya kecuali
mengalami/merasakan sakitnya maut atas ketajamannya (HR Ibnu Abi Dunya).
Dalam melukiskan cengkeraman maut itu Rasullulah bersabda : Dia seperti tiga ratus
pukulan dengan pedang (HR Ibnu Abi Dunya Al Hasan)
Menjelang Rasululah wafat, di sisi beliau ada sebuah mangkuk berisi air, kemudian
mencelupkan tangan ke dalam air, mengusap wajah dan berdoa : Ya Alloh
mudahkanlah atas saya sakaratul maut (HR Bukhari Muslim)
(b). Kewajiban tenaga medis / para medis
a. Tutup mata dan mulutnya, ikat dagunya agar mulut tidak terbuka kembali, letakkan
kedua tangannya di dada, dan ikat kedua jempol kakinya agar kaki tidak terbuka,
b. Menghadapkan si sakit ke arah kiblat, dengan posisi miring di atas sisi kanan.
Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ketika tiba di Madinah
menanyakan Bara’ bin Ma’rur. Dijawab : dia telah meninggal dunia dan mewasiatkan
sepertiga hartanya buat Engkau ya Rasulullah dan dia telah mewasiatkan juga agar
dia dihadapkan ke kiblat bila dia sudah dekat wafat. Maka Nabi besabada : wasiatnya
sudah sesuai dengan Islam (HR Al Hakim )
c. Talkin
Rasulullah bersabda : Talkinkanlan orang – orang yang hampir wafat dengan kalimat
Laa ilaaha illallah (HR Al Jamaah)
Dalam hadits yang lain : barang siapa yang akhir kehidupannya mengucapkan Laa
ilaaha illallah pasti masuk surga (H Ahmad dan Abu Dawud)
88
3. Akhlak Islam atau Ihsan
3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak Islam
Kata akhlak merupakan bentuk jamaK (plural) dari kata khuluk, berasal dari bahasa
Arab yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan. Menurut istilahnya,
akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan
sesuatu dengan senang dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran dan paksaan. Dalam KBBI,
akhlak berarti budi pekerti atau kelakuan. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak ialah sifat yang
tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Perkataan akhlak bersumber dari kalimat dalam
Al-Qur’an, diantaranya QS.68 (Al-Qolam) : 4:
Definisi di atas menggambarkan bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati
(kondisi hati), bisa baik bisa buruk yang tercermin pada perilaku. Tingkah laku yang dapat
dikatakan sebagai akhlak seseorang haruslah dilakukan berulang-ulang, tidak cukup hanya
sekali melakukan perbuatan tersebut. Akhlak bukan hanya perbuatan lahir, namun merupakan
cermin keadaan jiwa. Perbuatan itu sudah melekat dalam jiwanya sehingga dapat dilakukan
secara spontan tanpa banyak pertimbangan. Umat Islam senantiasa berpatokan pada akhlak
Nabi Muhammad saw. Akhlak terpuji yang ada dalam diri Rasulullah saw patut kita
jadikan contoh dan suri tauladan yang baik. Ada dua sumber yang harus dijadikan sebagai
pegangan hidup yakni Al-Qur’an dan Sunnah yang keduanyapun dijadikan sumber akhlak
Islamiyah.
Dalam bahasan ini akhlak tidak terlepas dari akidah dan syariah, karena akhlak
merupakan pola tingkah laku yang timbul sebagi manifestasi dari aspek keyakinan dan
ketaatan kepada norma. Akhlak merupakan perilaku yang tampak terlihat jelas dalam kata-
kata maupun perbuatan yang dimotivasi oleh iman dan amaliah ibadah. Jika iman dan praktik
ibadahnya baik semestinya yang muncul adalah akhlak yang baik (al-akhlak al-karimah). Jika
iman dan ibadahnya buruk, maka yang keluar dalam perilakunya adalah akhlak yang buruk
(al-akhlak al-mazmumah).
Akhlak mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Bahkan boleh
dinyatakan bahwa tujuan seseorang beragama adalah terciptanya idividu dan masyarakat yang
berakhlak mulia. Al-Qur'an banyak memuat secara spesifik ayat-ayat yang berbicara masalah
akhlak. Bahkan setiap ayat yang berbicara ibadahpun, seringkali dikaitkan di ujung ayat
dengan tujuan ibadah yaitu pembentukkan akhlak. Seperti perintah menjalankan shalat agar
manusia dapat menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. (QS.29:45).Ketika Allah
mewajibkan orang-orang beriman untuk berpuasa Ramadhan (QS.2:183), maka Allah jelaskan
tujuannya supaya menjadi orang-orang yang bertakwa. Bertakwa berarti menjauhi perbuatan
buruk dan senantiasa melakukan perbuatan baik.
Ruang lingkup akhlak Islam sama dengan ruang lingkup ajaran agama Islam itu sendiri.
Karena Hukum Islam mencakup segenap aktivitas manusia, maka ruang lingkup akhlakpun
89
dalam Islam mencakup semua aktivitas manusia di seluruh bidang kehidupan. Sasaran akhlak
Islam mencakup pola perilaku kepada Allah, kepada sesama manusia, hingga pola perilaku
kepada alam sekitarnya (binatang, tumbuhan dan makhluk yang tak bernyawa).
Uraian singkat ketiga ruang lingkup akhlak Islam tersebut adalah:
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah Sang Khalik. Setidaknya ada empat
alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, yaitu (1). karena Allahlah yang telah
menciptakan manusia; (2). karena Allahlah yang telah memberikan perlengkapan pancaindera,
berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan qolbu atau hati sanubari, disamping
anggota tubuh yang kokoh dan sempurna kepada manusia; (3). karena Allahlah yang telah
menyediakan berbagai bahan dan sarana yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia,
seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
sebagainya; (4). karena Allahlah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan menguasai daratan dan lautan. Banyak cara yang dapat dilakuka dalam berakhlak
kepada Allah, diantaranya dengan cara men-Tauhidkan-Nya, takwa kepada-Nya, mencintai-
Nya, ridho dan ikhlas terhadap segala ketentuan-Nya dan bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya,
bertasbih, beristighfar, selalu bedoa kepada-Nya, beribadah, dan selalu mencari keridhoan-
Nya.
Tiitik tolak akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji yang demikian Agung. Berkenaan
dengan akhlak kepada Allah, dapat dilakukan dengan cara banyak memujinya. Selajutnya
sikap tersebut dilanjutkan dengan senantiasa bertakwa dan bertawakkal kepada-Nya, yaitu
dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang menguasai diri manusia.
Diantara nilai-nilai akhlak Islam yang potensial menciptakan kehidupan sosial yang
harmonis adalah:
a. Ikhlas
Ikhlas adalah salah satu hal yang bisa menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima
Allah. Yang dimaksud dengan pengertian ikhlas adalah memurnikan ibadah atau amal shalih
hanya untuk Allah dengan mengharap ridho dari Nya semata. Jadi dalam beramal kita hanya
mengharap balasan dari Allah, tidak dari manusia atau makhluk-makhluk yang lain. Hal-hal
yang merusak keikhlasan misalnya riya' (pamer), 'ujub (membanggakan diri) dan sum’ah
(ingin kesohor). Imam Ibnul Qayyim menjelaskan arti ikhlas, yaitu meng-Esakan Allah di
dalam tujuan atau keinginan ketika melakukan ketaatan. Ia juga menjelaskan bahwa makna
ikhlas adalah memurnikan amalan dari segala yang mengotorinya. Inilah bentuk pengamalan
dari firman Allah dalam QS.1 (Al-Fatihah) : 5:
Artinya:
"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan."(QS.1:5).
b. Jujur
Jujur adalah sifat penting dalam ajaran agama Islam. Jujur adalah berkata terus terang.
Lawan kata kejujuran adalah kebohongan. Orang yang bohong atau pendusta tidak ada
nilainya dalam Islam. Bohong adalah modal utama seorang munafik, penfitnah, pengadu
domba, penipu, koruptor, dsb. Kebohongan merupakan pembuka sifat buruk lainnya. Salah
satu akhlak menonjol dari Rasulullah saw adalah shidiq (jujur). Shidiq berarti benar atau jujur.
Akhlak jujur seperti Rasulullah tersebut wajib dimiliki juga oleh setiap muslim dan muslimah
di mana dan kapanpun berada. Seorang muslim dituntut selalu berada dalam
keadaan jujur lahir batin. Jujur hati (shidq al-qalb), jujur dalam perkataan (shidq al-hadits)
dan jujur dalam perbuatan (shidq al-`amal). Kejujuran sangat dijunjung tinggi dalam Islam.
Allah swt mensifati diri-Nya dengan sifat jujur sebagaimana disebutkan dalam QS.4 (Al-
Nisa') : 87:
91
Artinya:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan
mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah
orang yang lebih benar perkataan (Nya) dari pada Allah ?” (Qs. an-Nisa’: 87).
c. Adil
Kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti seimbang, proporsional, tidak berat
sebelah. Adil secara istilah ada beberapa makna antara lain: menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Menurut Al Ghozali, adil adalah keseimbangan antara sesuatu yang lebih dan yang
kurang. Sedangkan menurut Ibnu Miskawaih, keadilan adalah memberikan sesuatu yang
semestinya kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu. Kata adil dilawankan dengan kata
dzalim, yang berarti aniaya, menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Islam
memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia
Allah menurunkan ajaran Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat yang
menyelamatkan dan membawa rahmat pada seluruh alam (rahmatan lil alamin) (Qs.21: Al-
Anbiya’: 107). Untuk itu, Islam meletakkan ajaran adil sebagai salah satu di antara nilai-nilai
kemanusiaan yang asasi dan dijadikan sebagai pilar kehidupan pribadi, rumah tangga dan
masyarakat. Allah mengutus para Rasul dalam rangka untuk menegakkan dan mewujudkan
keadilan di muka bumi. Dalam QS.57 (Al-Hadid) : 25 Allah berfirman:
d. Rendah Hati
Sifat rendah hati adalah diantara sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim.
Sifat rendah hati ini dalam QS.25 (Al-Furqān) : 63 disebutkan:
92
Artinya:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan (QS. 25:63)
Hamba-hamba Allah yang rendah hati adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini
dengan tenang, mantap dan tidak menyombongkan diri. Andaikata kebetulan sedang diberi
nikmat oleh Allah berupa kekayaan, maka ia tidak memamerkan kekayaannya itu. Andaikata
ia seorang yang diberi ilmu oleh Allah, maka ia tidak sombong dengan ilmunya. Andaikata ia
adalah orang yang berpangkat, maka kepangkatan dan jabatannya tidak lantas membuatnya
merendahkan orang lain. Nabi Muhammad saw pernah mengingatkan yang artinya:
e. Kasih Sayang
Nabi Muhammad saw diutus Allah tiada lain untuk merahmati semesta alam (QS.
21:107). Maka tentulah bukan kebetulan bila ternyata Nabi Muhammad saw dan agama yang
dibawanya merupakan rahmat. Merupakan kasih sayang bagi semesta alam. Dalam QS.9
(Taubah) : 128 Allah berfirman:
Artinya:
“Benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, yang
terasa berat baginya penderitaan kalian; penuh perhatian terhadap kalian; dan terhadap
orang-orang mukmin sangat pengasih lagi penyayang” (QS. 9:128).
Siapapun yang mempelajari sirah Nabi Muhammad saw akan menjumpai kisah-kisah
kasih sayang Nabi Muhammad saw, sebagaimana siapapun yang mempelajari syariah agama
Islam akan dengan mudah menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam. Kasih
sayang bisa dengan mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari sang Rasul, baik sebagai
bapak dan suami dalam lingkungan keluarga, sebagai saudara di kalangan kerabat, sebagai
teman di kalangan sahabat, sebagai guru di antara para murid, sebagai pemimpin di kalangan
ummat, bahkan sebagai manusia di tengah mahluk-mahluk Allah yang lain.
f. Sabar
Sabar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi
sulit dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga
dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa
orang yang memilikinya. Sabar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan tahan
menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati) dan lain-
lainnya. Allah telah memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya untuk sabar bukan saja dalam
menghadapi cobaan dan ujian, namun juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya .
Ada banyak persoalan dan situasi yang kita hadapi di dunia yang harus kita sikapi
dengan sabar. Para ulama menerangkan bahwa kesabaran dapat kita implementaskan dalam
93
situasi berikut : 1) Sabar dalam melaksanakan perintah Allah; b) Sabar untuk meninggalkan
dan menjauhi larangan Allah; c). Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan; dan d). Sabar
dengan orang-orang sekitar yang tidak senang dengan kita.
Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan haruslah
berorientasi pada implementasi nilai-nilai yang diajarkan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang hanya berfokus pada kecerdasan intelektual telah gagal membawa manusia
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Pendidikan yang berhasil
hendaknya mampu membangun kebaikan sikap dan perilaku peserta didik disamping
kecerdasannya. Upaya impelmentasi nilai harus terus mendapat sokongan agar nilai-nilai
tersebut menjadi bagian dari kehidupan diri seseorang. Dalam akhlak, nilai-nilai keutamaan
tidaklah cukup dengan hanya mengetahuinya. Tetapi harus ditambah dengan melatihnya terus
menerus untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan tersebut. Dalam ilmu tasawuf,
perbaikan akhlak harus berawal dari pensucian hati atau tasfiat al-qalb. Pensucian hati diawali
dengan menjauhi berbagai larangan Allah dan melaksanakan kewajibankewajibann-Nya.
Juga diikuti dengan melaksanakan hal-hal yang disunnatkan. Barulah kemudian melakukan
ar-Riyadhah. Ar-Riyadah artinya latihan spiritual, membiasakan diri dengan berzikir
mengingat Allah dan melakukan berbagai macam kebajikan.
Hati orang beriman itu bersih. Kemaksiatan yang diperbuat manusia menjadikan hatinya
kotor, kelam dan berkarat. Taat kepada perintah Allah tidak mengikuti godaan syahwat dapat
mengkilaukan hati. Sebaliknya hati menjadi hitam akibat dosa dan maksiat. Maka barang
siapa melakukan dosa, segera hapuskan dengan istighfar dan diikuti dengan kebajikan.
Kebajikan dapat mengembalikan cahaya yang redup. Di dalam hati yang bersih, akan muncul
cahaya yang menyebar ke seluruh anggota badan. Cahaya itu terlihat dengan tutur kata yang
lembut, bijak, suka memaafkan, suka menolong orang lain dan perilaku baik lainnya dalam
kehidupannya sehari-hari.
Upaya mengubah kebiasaan yang buruk menurut Ahmad Amin, yang dikutip Ishak
Soleh adalah dengan melakukan hal-hal berikut ini :
a. Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya.
b. Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat dan
tekad semula.
c. Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang.
d. Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik.
e. Menghindarkan diri dari kebiasaan buruk dan meninggalkannya sekaligus.
f. Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak kemaksiatan dalam jiwa, berusaha
selalu istiqamah, ikhlas, dan jiwa tenang.
g. Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali dalam
pembentukkan watak pribadi.
h. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.
3.3. Hubungan Akhlak Dengan Akidah atau Iman dan Syariah atau Islam
Sebagai bentuk perwujudan iman (aqidah), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan
syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan diatas, berakhlak baik juga dalam rangka ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Syariah menjadi standard ukuran yang menentukan
apakah suatu amal-perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan aturan dan
rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang
mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum pada syariah pada asasnya
berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi
wajib, sunnah/mandub, mubah (wenang), makruh dan haram. Syariah memberi batasan-
batasan terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan
yang benar tentang benar dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syariah. Syariah
menjadi bingkai dan praktik akhlaq, atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq.
Praktik akhlaq tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai
penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syariah. Sedangkan akhlaq yang tidak
menjadi penyempurna pelaksanaan syariah adalah perbuatan batal. Jadi, kedudukan akhlak
adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang.
Dengan demikian, syariah berfungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan
seseorang kepada kesempurnaan akhlak. Sedangkan akhlak adalah nilai-nilai keutamaan yang
bisa menghantarkan seseorang menuju tercapainya kesempurnaan keyakinan. Akhlak adalah
perwujudan dari proses amal ibadah, sehingga seseorang hamba dapat meningkatkan kualitas
iman dan amal ibadahnya dengan akhlak tersebut.
95
4. Aliran dan Mazhab yang Berkembang dalam Pemahaman Ajaran Islam
4.1. Pengertian Aliran dan Madzhab
96
Secara garis besar, aliran tasawuf dibagi menjadi dua bagian, yaitu tasawuf
akhlaki dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki diterima oleh mayoritas umat Islam,
sedangkan tasawuf falsafi hanya dianut sebagian kecil dari umat Islam. Selain
madzhab-madzhab yang ada di dalam khazanah keilmuan Islam, madzhab, paham,
atau aliran juga terdapat dalam kajian yang bersifat umum, seperti aliran atau
madzhab di bidang sains, bidang filsafat, bidang teknologi, ilmu-ilmu sosial, ilmu
politik, dan sebagainya.
98
yang menyerupai-Nya. Keyakinan terhadap keesaan Allah s.w.t., disebut juga
“Tauhid”, dari kata “wahhada–yuwahidu”, yang artinya mengesakan. Sedangkan ilmu
yang membahas masalah ini disebut dengan ilmu Tauhid, atau Ilmu Kalam (ilmu
yang membahas Kalam Allah, apakah ia qadim atau hadis). Disebut juga Ilmu
Ushuluddin karena ilmu tersebut membahas pokok-pokok Agama.
Akidah pada dasarnya adalah teks-teks al-Qur’an atau al-Sunnah yang
menjelaskan tentang ketuhanan dan keyakinan. Karena akidah ini merupakan teks
dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tidak ada perbedaan di kalangan para ulama.
Misalnya, dalam memahami surat al-Ikhlas.
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia”. Bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Esa
(tunggal), tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya merupakan kesepakatan semua ulama dan umat Islam, tidak ada
perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam rangka pengembangan pemehaman teks al-Qur’an, yang menyatakan
bahwa Allah itu Esa (satu atau tunggal), dipertanyakan apakah satunya Allah itu
sama dengan satunya makhluk, seperti batu, kayu, atau benda-benda lainnya?.
Menjawab pertanyaan ini, para ahli akidah menyampaikan pandangan-
pandangannya.Misalnya mereka menyatakan bahwa satunya Allah dengan benda
itu berbeda. Dzat Allah tidak terdiri dari bagian-bagian, tidak memerlukan ruang
dan waktu, sedangkan dzat makhluknya terdiri dari bagian-bagian, dari molekul
sampai atom, dan memerlukan ruang dan waktu. Kajian ini dilakukan dalam rangka
memurnika ajaran tauhid, sehingga terhindar dari noda-noda syirik. Pendalaman
akidah, oleh para ahli sebagaimana disebutkan di atas, berkembang menjadi suatu
disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Kalam. Ilmu ini, merupakan hasil ijtihad
para ahli di bidang itu untuk mempertahakan akidah, dan keimanan dengan
menggunakan akal dan pikiran. Karena ilmu kalam merupakan hasil dari
pemahaman para ahli, maka mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda,
sehingga menimbulkan beberapa aliran.
Disiplin ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam, diambil dari kata Kalam Allah atau
al-Qur’an yang pernah menjadi perdebatan pada awal perkembangan Islam klasik.
Perdebatan itu berkisar pada status al-Qur’an (kalam tadi) apakah ia qadim
(terdahulu yang tidak ada awalnya) atau hadits (baru). Dari perdebatan inilah, ilmu
ini dinamakan Ilmu Kalam. Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam telah disinggung secara
ringkas pada kajian yang lalu, selanjutnya kajian di bidang ini akan memasuki
pengenalan secara lebih mendalam tentang aliran-aliran yang ada dalam disiplin
ilmu tersebut, yaitu (1) Aliran Khawarij, (2) Aliran Syiah, (3) Aliran Murji’ah, (4)
Aliran Jabariyah, (5) Aliran Qadariyah, (6) Aliran Muktazilah, (7) Aliran Ahlusunnah
wal Jamaah yang terdiri dari Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.
Aliran (1) Khawarij, kelompok ini asal mulanya adalah bagian dari pasukan
Ali bin Abi Thalib.Ketika Ali melakukan arbitrase dengan pihak Mu’awiyah, mereka
menganggap bahwa Khalifah Ali mau berdamai dengan pemberontak. Dengan
demikian, ia telah menyeleweng dari ajaran Islam. Setelah peristiwa arbitrase itu,
mereka keluar (kharaja) dari pasukan Ali, dan membentuk suatu kekuatan yang
menentang pasukan Ali, dan menentang pasukan Mu’awiyah. Aliran ini dipelopori
oleh Abdullah bin Abi Wahab al-Rasyidi. Aliran ini dinamakan khawarij, karena
mereka keluar dan memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Aliran ini
selanjutnya menganggap kafir pada semua tokoh yang terlibat dalam arbitrase atu
99
tahkim antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mereka
mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, Abu Musa al-Asy’ari dan Amru bin Ash, bahkan
khalifah Utsman bin Affan pun dikafirkan oleh mereka, karena setelah tujuh tahun
masa pemerintahannya, ia dianggap melenceng dari ajaran Islam.
Aliran yang pertama kali muncul ini berkembang semakin jauh lagi, dan
semakin ekstrem, mereka mengkafirkan semua orang Islam yang pernah berbuat
dosa besar. Karena orang Islam yang pernah berbuat dosa besar itu dianggap kafir,
maka harus diperangi dan dibinasakan. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini
semakin ekstrem, bersikap keras dan radikal, dan melakukan teror secara keji.
Kelompok ini kemudian terpecah menjadi berbagai aliran, yang satu sama yang lain
saling bermusuhan. Pecahan dari aliran-aliran itu adalah (a) al-Muhakkimah,
kelompok ini merupakan aliran Khawarij yang asli, yang awalnya adalah bagian dari
pasukan Ali bin Abi Thalib. Aliran ini terus mengembangkan pemahaman yang
semakin sempit dan semakin keras.Mereka memahami teks-teks al-Qur’an dan al-
Sunnah secara dzahiriyahnya saja, sehingga banyak pandangan-pandangannya yang
menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Karena orang yang pernah
berbuat dosa besar dianggap telah kafir, maka harus dibinasakan. Dengan demikian,
apabila ada seorang muslim yang berbuat dosa besar seperti zina, minum-minuman
keras atau meninggalkan shalat, dianggap telah kafir dan harus dibunuh dan
diperangi.
Karena aliran ini melakukan pemahaman secara tekstual dan sempit, maka
perselisihan dalam tubuh aliran khawarij tidak dapat dihindari. Mereka saling
mengkafirkan dan saling memerangi dari kalangan mereka sendiri. Timbullah
kemudian (b) Aliran al-Azaariqah di bawah pimpinan Nafi’ ibnu al-Arzaq.
Kemudian, timbul lagi (c) Aliran al-Najdad, dipimpin oleh Najdah ibnu Amir al-
Hanafi di Yamamah. Kelompok berikutnya (d) al-Ajaaridah dipimpin oleh Abdul
Karim ibnu Ajrad. Aliran selanjutnya adalah al-Sufriyah, dipimpin oleh Ziyad ibnu
al-Asfar, aliran berikutnya (e) al-Ibadiyah. Masing-masing aliran atau sekte yang
disebutkan di atas, meskipun sama-sama aliran khawarij, terjadi permusuhan, saling
membantai dan saling memerangi. Mereka juga saling mengkafirkan satu sama lain.
(Harun Nasution, 2016:15-18)
Aliran (2) Syiah, kalau Aliran Khawarij menentang dan memusuhi Ali bin Abi
Thalib, maka Aliran Syiah adalah aliran yang membela dan mendukung Ali. Aliran
ini disebut Syiah, berasal dari kata “Syiah Ali” yang maksudnya adalah pengikut Ali
bin Abi Thalib. Aliran ini berkeyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam, harus
berada di tangan Ahlul Bait yaitu keturunan Nabi Muhammad s.a.w. melalui
Fatimah al-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Dari keduanya melahirkan keturunan,
yaitu Hasan dan Husein dan keturunan mereka seterusnya. Aliran ini mempercayai
bahwa para imam itu bersifat ma’shumterpelihara dari berbuat dosa. Karena itu,
ketaatan para jamaah ataupun rakyat kepada para imamnya sangat kuat. Dalam
sejarah perkembangannya, aliran ini terpecah menjadi beberapa bagian, seperti Syiah
Itsna Asyariah, atau Syiah dua belas imam, Syiah Sab’iyah atau Ismailiyah, Syiah
Zaidiyah, Syiah Ja’fariyah, dan berbagai aliran lainnya. Sebagian dari aliran-
alirannya seperti juga aliran-aliran yang lain, ada yang menjadi ekstrem sehingga
dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Aliran (3) Murji’ah. Sebagai reaksi terhadap Aliran Khawarij yang sangat
ekstrem, keras, dan radikal, serta sering melakukan teror, maka lahirlah Aliran
Murji’ah, aliran yang terlampau liberal yang mengajarkan bahwa setiap orang
muslim yang percara kepada Allah (beriman), ia tetap muslim meskipun
100
mengerjakan dosa besar. Dosanya adalah urusan pribadinya dengan Tuhan. Apabila
Tuhan berkehendak untuk mengampuni, pasti diampuni. Golongan ini disebut
Murji’ah, diambil dari kata rajaa, berasal dari kalimat Arja’a-Yurji’u yang artinya
mengharap, menyerahkan, dan menangguhkan. Mereka mengharap pengampunan
dari Allah, atas segala dosa yang dikerjakan manusia, menangguhkan dan
menyerahkan dosa itu pada ketentuan Allah di akhirat. Dalam perkembangan
selanjutnya, Aliran Murji’ah berkembang menjadi dua kelompok. Kelompok (a)
Murji’ah yang moderat, yang mengembangkan pandangan bahwa seorang muslim
yang berbuat dosa besar itu tetap muslim. Mengenai dosanya, diserahkan kepada
keputusan Allah s.w.t.. Mungkin orang itu memperoleh siksa terlebih dahulu, sesuai
dengan ukuran dosanya, baru kemudian dibebaskan dari siksa tersebut.
Masih dalam Aliran Murji’ah yang moderat, mereka berpandangan bahwa
mungkin saja orang yang berdosa besar itu diampuni oleh Allah s.w.t. dengan
rahmat dan kasih sayang-Nya. Karena sesungguhnya, Allah s.w.t. Maha Pengampun
dan Maha Penyayang. Kelompok (b) Aliran Murji’ah yang ekstrem, yang dipimpin
oleh Jahm Ibnu Shafwan. Aliran ini disebut juga Alirah Jahmiyah, aliran ini
berpandangan bahwa seorang muslim yang percaya kepada Tuhan, dan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah menjadi kafir. Karena sesungguhnya
keimanan seseorang atau kekafirannya terletak di dalam hati, bukan dalam bagian
lain dari tubuh manusia. Orang yang melakukan sikap seperti ini dalam pandangan
mereka tetap muslim, tidak menjadi kafir, meskipun lahiriahnya ia menyembah
berhala, mengikuti ajaran, dan mengikuti kegiatan agama lain, asal hatinya tetap
beriman kepada Allah, mereka tetap sebagai seorang muslim. (Harun Nasution,
2016:24
Aliran berikutnya (4) adalah Jabariyah. Aliran ini timbul dari pengembangan
pemikiran, bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya,
termasuk manusia. Tuhan memiliki kekuasaan yang mutlak, serta berkehendak
secara mutlak pula. Dari sini timbullah pertanyaan dalam diri manusia, sampai
dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan
kekuasaan mutlak Tuhan. Apakah manusia tidak memiliki kemampuan sama sekali,
sehingga bergantung secara keseluruhan kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Ataukah
manusia diberi kewenangan oleh Tuhan untuk melakukan aktifitasnya? Dengan
demikian, manusia memiliki kemampuan untuk menentukan perbuatannya.
Dalam menyikapi pertanyaan seperti ini, kaum Jabariyah berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham mereka terikat pada kehendak
mutlak Tuhan. Karena itu, nama Jabariyah diambil dari kata jabarayang artinya
adalah memaksa. Aliran ini berpandangan bahwa perbuatan manusia itu dikerjakan
secara terpaksa berdasarkan kehendak Tuhan. Paham ini disebut juga paham
fatalisme (Inggris) atu predestination. Semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh
takdir Tuhan sejak semula. Aliran ini, sungguh pun dipopulerkan oleh Jahm ibnu
Shafwan, sesungguhnya perintis yang paling awal dipelopori oleh al-Ja’d ibnu
Dirham. Jahm ibnu Shafwan dalam Aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang
mendirikan golongan al-Jahmiyah yang termasuk dalam kalangan Murji’ah yang
ekstrem.
Paham golongan ini menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan
untuk berbuat apapun. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mampu memilih. Manusia dalam segala perbuatannya
adalah terpaksa oleh ketentuan Tuhan, disebutkan mereka:
101
َاختَِيار
ْ جبُْوٌر ِفْي َأْفعَِالِه َل ُقْدَرةَ َلُه َوَل ِإَرَادَة َوَل
ْ هَُو َم
“Perbuatan-perbutan itu terpaksa, tidak ada kemampuan baginya, tidak ada kehendak, dan
tidak ada pilihan”. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan di dalam dirinya,
tidak berbeda dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda mati, seperti air
mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, dan sebagainya. Segala
perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk
dalam perbuatan-perbuatan untuk mengerjakan kewajiban, memperoleh pahala atau
menerima siksa. (Harun Nasution, 2016:35).
Aliran Jabariyah, dalam rangka menguatkan pandangan-pandangannya
mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, misalnya:
... ...
“... Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekiranya Allah tidak menghendaki...”. (QS. al-
An’am, 06:111).
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu kerjakan itu". (QS. Al-Shaffat,
37:96).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid, 57:22).
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar”. (QS. Al-Anfal, 08:17).
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Insan,
76:30).
Aliran yang ke (5) adalah Aliran Qadariyah. Aliran ini merupakan lawan yang
ekstrem dari Aliran Jabariyah. Kalau menurut Aliran Jabariyah, manusia tidak
memiliki kekuasaan, kehendak, dan tidak bisa memilih, maka Aliran Qadariyah
berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan, kehendak, dan bisa
menentukan pilihan oleh dirinya sendiri, bukan terpaksa oleh takdir dari Tuhan.
Aliran Qadariyah menegaskan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya sendiri. Manusia mempunyai
kemampuan dan kebebasan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Karena
itu, aliran ini diambil dari kata Qadaratau kemampuan. Dalam bahasa Inggris aliran
ini dikenal dengan nama freewill dan freeact. Aliran ini dipelopori oleh Ma’bad al-
Juhaini dan temannya, Ghailan al-Dimasyqi.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuataannya, manusia
sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendaknya dan
kekuasaannya sendiri. Manusia sendirilah yang melakukan untuk menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan buruk, berdasarkan kemauan dan
dayanya sendiri. Dalam paham ini, manusia merdeka dan bebas dalam tingkah
lakunya. Ia berbuat baik atas kemauan dan kehendaknya sendiri, demikian juga
dalam perbuatan jahat. Dalam paham ini, tidak dibahas tentang nasib manusia yang
102
telah ditetapkan terlebih dahulu, yang hanya bertindak mengikuti nasibnya yang
telah ditentukan dari zaman azali. (Harun Nasution, 2016:34).
Aliran ini, mengemukakan pandangan-pandangannya dengan menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an, antara lain:
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) maka berimanlah, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) maka kafirlah.”. (QS. Al-
Kahfi 18:29).
“Berbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Fusshilat, 41:40).
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),
kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran,
03:165).
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubahnya dengan dirinya sendiri”. (QS. Al-Ra’d, 13:11).
Aliran selanjutnya (6) Muktazilah. Aliran ini dinamai Muktazilah, diambil
dari awal mula peristiwanya, ketika Washil bin Atha’ yang menjadi murid Hasan al-
Bashri berbeda pandangan dengan pendapat gurunya. Dalam majelis itu, ada salah
seorang yang menanyakan kepada Hasan al-Basri mengenai hukumnya orang yang
berdosa besar, bagaimana kedudukan mereka, muslim atau kafir. Di mana pula
mereka ditempatkan di akhirat. Ketika Imam Hasan al-Bashri sedang berpikir untuk
menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Washil bin Atha yang menjadi muridnya
mendahulu menjawab. Ia mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar itu
tidak mukmin dan tidak kafir, akan tetapi mengambil posisi di antara keduanya (al-
Manzilah baina al-Manzilatain). Sejak peristiwa itu, Washil bin Atha berdiri keluar dari
majelis Hasan al-Bashri dan memisahkan diri ke tempat lain. Maka dikatakan oleh
murid-murid Imam Hasan al-Bashri: “Washil telah memisahkan diri dari kami
(i’tazala ‘annaa)”. Sejak saat itu, Washil bin Atha disebut Muktazilah.
Ajaran yang paling utama yang dikemukakan aliran ini adalah konsep al-
Manzilah baina al-Manzilatain atau suatu tempat di antara dua tempat. Istilah ini
diberikan kepada orang muslim yang berbuat dosa besar dan tidak bertaubat, maka
kedudukan orang itu, bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki
posisi (tempat) di antara kafir dan mukmin. Dengan demikian, ajarannya berbeda
dengan ajaran Khawarij dan Murji’ah. Ajaran yang kedua, lebih mendekati kepada
ajaran Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki kebebasan untuk
melakukan perbuatan-perbuatannya dan menetapkan pilihan-pilihan. Ajaran yang
ketiga, aliran ini meniadakan sifat-sifat Tuhan, maksudnya bahwa sifat-sifat Tuhan
yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, bukanlah sifat yang mempunyai
wujud sendiri di luar Dzat Tuhan. Tetapi sifat-sifat itu merupakan esensi dari Tuhan
itu sendiri. Ajaran dari aliran ini lebih banyak melakukan pendekatan dengan akal,
sehingga banyak melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an agar disesuaikan
dengan akal manusia. Demikian kuatnya kekuatan akal dalam aliran ini, sehingga
103
apabila ada ketetapan wahyu yang bertentangan dengan akal, maka akal itulah yang
dikuatkan, sebaliknya wahyu tersebut dilakukan dengan melencengkan makna yang
sesungguhnya. (Harun Nasution, 2016:43-45).
Aliran yang ke (7) Ahlusunnah wal Jama’ah. Istilah Ahlusunnah wal Jama’ah
diambil dari pengertian al-Sunnah (al-Hadis) yaitu segala ucapan, perbuatan, dan
ketetapan dari Nabi s.a.w.. Istilah ini ditonjolkan karena aliran-aliran yang telah
disebutkan di atas, dan terutama aliran Muktazilah tidak banyak memakai al-
Sunnah. Sedangkan aliran ini berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan
demikian, Ahlusunnah adalah aliran yang banyak berpegang teguh pada al-Sunnah
sebagai pedoman yang kedua setelah al-Qur’an. Istilah al-Jama’ah diambil dari
pengertian mayoritas umat Islam yang disebut juga al-Sawad al-A’dzam, yaitu umat
Islam yang terbanyak. Dengan demikian, Ahlusunnah mengembangkan pemahaman
agama yang dipedomani oleh bagian terbesar dari umat Islam.
Selain berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, ahlusunnah wal jamaah
juga mengikuti bimbingan para sahabat Nabi, terutama al-Khulafa al-Rasyidun yaitu
Abu Bakar r.a., Umar bin Khattab, r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib
r.a.. Pengembangan selanjutnya paham ini mengikuti juga bimbingan para tabi’in,
yaitu para ulama setelah periode para sahabat Nabi. Mereka memiliki nasab
keilmuan yang terus menerus dari guru yang satu ke guru yang lain, sampai kepada
para sahabat, dan Nabi s.a.w.. Aliran ini, mengambil jalan tengah yang moderat,
tidak ekstrem dan tidak keras, seperti aliran-aliran sebelumnya. Karena itu,
definisinya yang paling mudah Ahlusunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang
mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya, serta para tabi’in. (
)من سار على طريق النب وأصحابه والتابعي.
Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari, cucu dari Abu Musa al-
Asy’ari yang pernah menandatangani arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali Ibnu Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah pada 873
M, dan wafat di Baghdad 935 M. Al-Asy’ari asal mulanya adalah murid dari al-Juba’i
seorang tokoh Muktazilah yang sangat cerdas. Al-Asy’ari sebagai murid pilihan
yang sangat cerdas pula sering mewakili gurunya dalam perdebatan-perdebatan
ilmiah keagamaan yang terjadi pada masa itu. Al-Asy’ari menjadi pengikut
Muktazilah kurang lebih selama empat puluh tahun. Kemudian, ia melakukan
pemikiran-pemikiranyang mendalam untuk membahas dan mempertimbangkan
aliran itu. Sampai kemudian ia tidak puas dengan aliran tersebut, akhirnya ia keluar
dari aliran itu.
Keluarnya al-Asy’ari dari aliran Muktazilah, diawali setelah terjadi
perdebatan antara dia dengan gurunya al-Juba’i. Perdebatan itu dikemukakan
sebagai berikut:
Al-Asy’ari: “Wahail al-Juba’i, bagaimanakah kedudukan tiga orang ini, yaitu seorang
mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat?”. Al-Juba’i menjawab: “Yang Mukmin di
akhirat masuk surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari neraka”.
Al-Asy’ari bertanya lagi: “Apabila anak kecil itu ingin memperoleh tempat surga,
apakah bisa?”. Al-Juba’i menjawab: “Tidak bisa, tidak mungkin ia mendapat tempat
di surga karena kepatuhannya kepada Tuhan waktu kecil belum mempunyai
kepatuhan untuk berhak masuk surga”. Al-Asy’ari bertanya lagi: “Kalau sekiranya
anak kecil itu protes kepada Tuhan, mengapa aku tidak dihidupkan sampai dewasa,
sehingga aku bisa berbuat baik dan kemudian bisa masuk surga”. Al-Juba’i
mejawab: “Allah akan mengatakan padanya, Aku lebih tahu tentang dirimu, karena
104
kalau kamu sampai dewasa, kamu akan menjadi orang jahat, maka demi kasih
sayang-Ku, Aku wafatkan engkau di waktu kecil”. Al-Asy’ari bertanya lagi: “Kalau
demikian, orang kafir dan orang jahat akan protes kepada Allah, wahai Allah,
Engkau telah mengetahui bahwa kalau aku dewasa akan menjadi orang kafir dan
jahat, mengapa engkau tidak wafatkan aku di waktu kecil seperti anak itu”. Dalam
pertanyaan terakhir dari al-Asy’ari ini, ternyata al-Juba’i seorang yang sangat cerdas
pandai berdiskusi dan berdebat, serta memiliki argumen yang rasional, tidak bisa
menjawab sepatah katapun.
Setelah terjadi dialog itu, kemudian al-Asy’ari mengasingkan diri khusus
untuk mempelajari kembali ajaran-ajaran Muktazilah dan aliran-aliran lain, selama
kurang lebih lima belas hari. Setelah mengasingkan diri, kemudian al-Asy’ari keluar
dari rumahnya, dan menyampaikan orasi di mesjid raya. Ia menyatakan keluar dari
Muktazilah dan menyampaikan rumusan-rumusan baru tentang teologi yang
kembali kepada teologi yang dikembangkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Yang
dimaksud dari teologi ini adalah Aliran Ahlusunnah wal Jama’ah. Selain dari al-
Asy’ari, aliran Ahlusunnah wal Jamaah juga dikembangkan oleh Abu Manshur al-
Maturidi di Samarkand. Nama lengkapnya adalah Abu Manshur Muhammad ibnu
Muhammad ibnu Mahmud al-Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan
kedua dari abad ke-9 M, dan meninggal pada tahun 944 M.(Harun Nasution,
2016:65-70).
Ajaran pokok dari aliran ahlusunnah adalah mengikuti pemahaman Nabi dan
para sahabatnya, dan dipahami secara integral dan holistik, tidak dipahami secara
parsial dan ekstrem. Aliran-aliran lain, memahami Islam secara parsial. Mengambil
sebagian ayat atau hadis yang menunjang pendapatnya saja, sehingga
pemahamannya tidak utuh. pemahamannya bersifat parsial dan terjerembab dalam
pemahaman yang keras, radikal, dan banyak menjurus ke teror kepada sesama umat
manusia. Segera setelah al-Asy’ari memproklamirkan diri keluar dari Muktazilah
dan mendirikan paham Ahlusunnah wal Jama’ah, langsung diikuti oleh umat Islam
dari berbagai kalangan, dan menyebar ke seluruh dunia. Aliran ini merupakan aliran
yang diikuti oleh mayoritas umat Islam, sampai sekarang. Aliran-aliran lain telah
hilang dari sejarah, kecuali sebagian kecil saja yang masih bertahan dan itupun
menjadi aliran yang dianut oleh kalangan minoritas umat Islam.
106
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.Kemudian jika si suamimentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 02:229-230).
Ayat di atas menjelaskan suatu hukum peceraian, apabila seorang suami telah
menceraikan istrinya tiga kali, maka ia tidak dapat merujuknya, dan tidak boleh
menikahinya kembali kecuali apabila bekas istrinya itu pernah dinikahi oleh orang
lain. Dari pemahaman ini, timbul perbedaan pandangan terhadap mantan istri yang
telah diceraikan tiga kali dan sudah menikah lagi dengan orang lain. Apakah cukup
dengan nikah saja, dan tidak perlu bercampur suami istri? Atau harus bercampur
dulu sebagai layaknya suami istri? Bagi ulama yang tidak memperoleh informasi
dari hadis, mereka berpandangan bahwa mantan istri itu apabila telah diceraikan
oleh suaminya, meskipun ia belum bercampur (berhubungan seksual) dengannya,
maka mantan suaminya yang pernah menceraikannya sebanyak tiga kali, boleh
menikahi kembali mantan istrinya tersebut. Karena ayat di atas tidak menjelaskan
apakah harus sudah bercampur suami istri atau belum.
Akan tetapi, bagi ulama yang memperoleh informasi dari hadis yang
berkaitan dengan masalah tersebut, memahaminya berbeda dengan ulama tadi.
Ulama ini berpandangan, bahwa wanita itu harus sudah nikah dengan suami yang
baru dan harus bercampur suami istri. Pandangan ini berdasarkan kepada ayat di
atas dan juga hadis Nabi sebagai berikut:
، طَلَق َرُجٌل اْمَرأَتَهُ ثََلثثا فَبتَبَزلوَجَها َرُجٌل ُثل طَلَقَها قَبْبَل أَْن يَْدُخَل ِببَبا: ت
ْ ََعْن َعائَشةَ رضي ال عنها َقال
ِ
ِ
َل َحلتب: ك فَبَقبباَل َ صبللى اللبهُ َعلَْيبِه َوَسبلَم َعبْن َذلب ِ ِ
َ فَُسبئَل َرُسببوُل اللبه، فَبأََراَد َزْوُجَهببا اْلَلوُل أَْن يَبتَبَزلوَجَهببا
(سيبلَتَِها َما َذاَق اْلَلوُل)رواه مسلم ِ ِ
ْ َ ُيَُذوَق اْلخُر مْن ع
Dari Aisyah r.a., menginformasikan: Seorang laki-laki menceraikan istrinya tiga kali (talak
tiga), kemudian mantan istrinya dinikahi seorang laki-laki yang lain. Kemudian laki-laki itu
menceraikannya sebelum ia mencampurinya (belum melakukan hubungan seksual). Mantan
suami yang pertama berkehendak untuk menikahi wanita itu. Maka Nabi s.a.w. ditanya
mengenai hal ini. Beliau menjawab: Tidak, sehingga suami yang paling akhir telah
merasakan madunya sebagaimana telah dirasakan oleh suami yang pertama (suami yang
kedua telah menggauli istrinya). (HR. Muslim, 1433).
Kasus seperti ini banyak dijumpai pada masa-masa yang lalu, karena
transmisi dan penyebaran hadis belum terjadi seperti sekarang. Hal ini banyak
terjadi dan menyebabkan perbedaan pandangan, antara satu ulama dengan ulama
yang lain, disebabkan sampai atau tidaknya suatu hadis.
107
Perbedaan pandangan (4) disebabkan oleh perbedaan pemahaman dalam
istilah tertentu, misalnya pemahaman tentang orang yang diberi amanah harus
mengembalikan amanah itu pada pemiliknya secara sempurna, sebagaimana
dijelaskan ayat berikut:
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruhmu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Ayat ini, menegaskan bahwa setiap orang yang diberi amanah harus
mengembalikan kepada pemiliknya dengan sempurna. Dalam kenyataan dijumpai,
si B memimjam mobil kepada A, ternyata mobilnya hilang. Kasus seperti ini, tidak
dijelaskan secara rinci dalam ayat tadi, hanya ditegaskan si B supaya
mengembalikan mobil milik A secara utuh. Pengertian utuh atau dikembalikan
secara sempurna itu mengundang perdebatan, maka terjadilah perbedaan
pandangan antara tiga kelompok ulama di bawah ini, ulama X, Y, dan Z. Ulama X
berpandangan bahwa mengembalikan secara utuh, adalah B harus membayar
kepada A seharga mobil waktu dibeli,misalnya harganya 200 juta. Ulama Y
berpandangan bahwa B harus mengembalikan kepada A sesuai dengan harga mobil
waktu hilang, yaitu harganya adalah 100 juta. Ulama Z memahami dengan
mengembalikan secara utuh adalah mengambil harga pertengahan antara waktu
mobil dibeli dengan waktu mobil hilang. Dengan demikian, menurut ulama Z, B
harus mengembalikan kepada A sebanyak 150 juta. Kasus seperti ini banyak
dijumpai dalam menetapkan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Perbedaan pandangan (5) disebabkan oleh tidak terdapatnya nash, baik al-
Qur’an maupun al-Sunnah dalam suatu masalah, terutama masalah-masalah yang
baru. Sebagai contoh penemuan-penemuan baru dalam bidang kedokteran, misalnya
bagaimana hukumnya transfusi darah, hukum transplantasi anggota tubuh, hukum
euthanasia, hukum aborsi sebelum mencapai kehamilan usia 120 hari, dan berbagai
masalah lain yang timbul dalam kehidupan modern dan post-modern. Menghadapi
kenyataan ini maka tidak bisa dihindari adanya banyak perbedaan antara satu ulama
dengan ulama yang lainnya. Karena penentuan hukumnya dilakukan secara ijtihad.
Perbedaan pandangan (6) berdasarkan perbedaan pengalaman di lapangan.
Ulama-ulama Madinah karena merupakan sumber hadis, maka lebih banyak
menggunakan hukum dengan ketetapan dari tradisi ulama Madinah. Sebaliknya
ulama-ulama di Syam karena waktu itu tidak banyak memperoleh informasi hadis,
maka mereka menetapkan hukum dengan al-Qur’an dan dengan ijtihad. Cara seperti
ini, mengakibatkan juga perbedaan pandangan yang banyak. Sebagai contoh
misalnya, Imam Malik lebih mengambil ketetapan dari tradisi ulama Madinah,
daripada keterangan dari Hadis Ahad. Sedangkan di tempat lain, lebih menguatkan
Hadis Ahad dari tradisi ulama-ulama Madinah maupun Mekkah.
Berbagai macam penyebab timbulnya perbedaan aliran dan madzhab,
sebagaimana diuraikan di atas, baru sebagian saja. Masih banyak penyebab-
penyebab lain yang harus dibahas dalam tulisan yang lebih mendalam dan lebih
luas.
108
Salah satu wujud dari ajaran pokok ajaran agama Islam adalah Akhlak.
Akhlak pada wujudnya yang paling awal dalah teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah
yang mengajarkan tentang budi pekerti yang luhur. Dalam perkembangan
selanjutnya, berdasarkan ijtihad para ahli, melahirkan Ilmu Tasawuf. Karena Ilmu
Tasawuf merupakan hasil ijtihad para ahli, maka terdapat aliran-aliran sebagaimana
disinggung dalam kajian di atas. Akhlak pengertiaanya menurut bahasa adalah
perangai, adab, perbuatan, ‘urf, baik yang terpuji maupun yang tercela.
Pengertian akhlak secara sosiologi di Indonesia, maksudnya adalah perangai
dan tingkah laku yang baik. Karena itu, apabila dikatakan bahwa Ahmad seorang
yang berakhlak, maksudnya ia memiliki perangai yang baik. Apabila kata akhlak
dikaitkan dengan kata Islam atau disebut al-Akhlak al-Islamiyah, berarti perbuatan
dan tingkah laku yang terpuji sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Akhlak secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu (1) akhlak terhadap khaliq
(pencipta) yaitu Allah s.w.t., dan (2) akhlak terhadap makhluk, yaitu segala sesuatu
yang diciptakan oleh Allah. Makhluk ini terdiri dari alam jamadi (benda mati) yang
terdiri dari benda padat, benda cair, dan gas. Selanjutnya adalah alam Nabati (flora)
yang terdiri dari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan. Alam hewani (fauna),
dan alam insani (manusia) yang terdiri dari berbagai macam ras dan suku.
Akhlak terhadap khaliq (Allah s.w.t.) adalah dengan jalan mentaati segala
perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, berdoa kepada-Nya, bertaubat dan
beristighfar. Akhlak terhadap makhluk (nyata) dibagi dua terdiri dari akhlak
terhadap manusia dan selain manusia. Akhlak terhadap manusia terdiri dari akhlak
terhadap Nabi dan Rasul, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap keluarga,
akhlak terhadap masyarakat, akhlak terhadap bangsa, dan hubungan antar bangsa.
Akhlak terhadap Nabi dan Rasul misalnya adalah mentaati segala perintahnya,
menjauhi segala larangannya, mengikuti sunnahnya, meneladani perilakunya, dan
mencintai para Nabi dan Rasul, melebihi cintanya pada sesuatu termasuk
kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Akhlak kepada diri sendiri, misalnya berbuat
kebajikan, menjauhi berbagai hal yang tercela, menjaga kesehatan, memanfaatkan
usianya untuk berbuat baik agar bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat manusia
dan makhluk lain. Akhlak terhadap keluarga misalnya berbakati kepada orangtua
baik ibu, ayah, kakek, nenek dan seterusnya, menyayangi dan membimbing anak-
anak dan berbuat kebajikan secara umum untuk keluarga.
Akhlak terhadap masyarakat diantaranya adalah saling berwasiat tentang
kebenaran, keadilan, ketabahan dan kesabaran, saling tolong menolong dalam
kebajikan, saling merajut silaturrahim dan cinta kasih antar sesama anggota
masyarakat. Akhlak terhadap bangsa adalah kita harus mentaati keputusan-
keputusan yang telah disepakati dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.Melakukan aktifitas terpuji yang dapat meningkatkan kualitas bangsa dan
negara. Saling bersikap toleransi dalam berbagi perbedaan. Akhlak terhadap
hubungan antar bangsa misalnya kita harus mengusahakan perdamaian dunia dan
menolak segala bentuk kekerasan atau peperangan. Masing-masing negara tidak
ikut campur tangan terhadap urusan negara lain.
Akhlak selain manusia, seperti alam jamadi, hendaklah menjaga
kelestariannya dan memanfaatkannya dengan baik demi kemaslahatan semua
makhluk. Akhlak terhadap alam nabati adalah menjaga kelestariannya,
memanfaatkannya untuk kebaikan bersama dan tidak merusaknya. Akhlak terhadap
alam hewani adalah menyayangi hewan, tidak menyiksanya atau menyakitinya dan
109
memanfaatkan hewan untuk kebaikan sesama makhluk dengan tanpa menyakiti.
(Zakky Mubarak, 2014:166-171).
Dalam rangka mewujudkan akhlak sebagaimana disebutkan di atas dalam
kehidupan sehari-hari, para ulama yang ahli di bidang ini melakukan berbagai
macam ijtihad, dan menetapkan tatacara agar bisa diperaktikkan oleh setiap orang
yang ingin memiliki akhlak yang luhur. Hasil ijtihad itu menjadi disiplin ilmu
tersendiri yang disebut ilmu tasawuf. Tasawuf pengertiannya secara etimologis
dijumpai banyak makna, diantaranya: (1) diambil dari kata ahlu shuffah, yaitu para
sahabat Nabi yang tinggal disamping masjid Nabawi yang menghabiskan umurnya
untuk mendalami ajaran Islam dari Nabi s.a.w. mereka hidupnya sangat sederhana.
Makna yang ke (2) diambil dari al-Shaf barisan shalat yang paling depan, maksudnya
orang-orang sufi itu memperoleh keutamaan bila dibandingkan dengan manusia
muslim pada umumnya. Makna yang ke (3) diambil dari kata shafiyyun yang artinya
jernih atau suci. Maksudnya seorang shufi adalah mereka yang telah dapat
mensucikan dirinya dari penyakit rohani (kejiawaan), melalui latihan-latihan yang
berat dan terstruktur.
Makna yang ke (4) diambil dari kata shopos berasal dari kata yunani yang
berarti hikmah. Dinamai demikian, karena orang-orang shufi memiliki hikmah yang
tinggi, dan memiliki kebijaksanaan yang tulus. Makna berikutnya (5) berasal dari
kata shauf yang artinya adalah bulu domba atau kain woll kasar yang terbuat dari
bulu-bulu hewan. Dinamai demikian, karena orang-orang shufi sering mengenakan
pakaian sederhana seperti ini, sebagai protes terhadap kemewahan yang berlebihan
dan perbuatan-perbuatan maksiat yang sering dilakukan oleh para pejabat negara,
keluarga dan antek-anteknya. Pakaian sederhana ini sebagai lawan dari pakaian
mewah, seperti sutra dan sejenisnya yang sering dikenakan oleh para pemimpin dan
keluarganya. Dari kelima istilah di atas, yang paling tepat secara bahasa adalah
pengertian yang kelima. Kata itu apabila ditashrif, maka ketemulah kalimattasawuf
yang merupakan mashdar dari kata tasawwafa, yang artinya orang yang mengenakan
pakaian dari bulu domba. (Mushtafa al-Suk’ah: 1972: 574-591).
Pengertian tasawuf secara terminologis, dalam pengertiannya yang sangat
sederhana adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagi seoang
muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan sedekat-dekatnya. Jalan
itu biasanya ditempuh melalui zuhud dan beberapa stasiun yang harus dilalui
seperti (1) taubat, (2) al-Wara’, (3) faqir, (4) tawadhu, (5) takwa, (6) tawakkal, (7)
ridha, (8) cinta, dan (9) al-Makrifat. Stasiun-stasiun ini ada sedikit perbedaan yang
dikemukakan oleh ahli tasawuf yang satu dengan ahli tasawuf yang lain. Namun
demikian, perbedaan itu tidak terlalu besar.
Al-Zuhud maksudnya, bahwa seorang yang menuju jalan tasawuf atau sufi
harus meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. Seorang calon shufi harus terlebih
dahulu menjadi zahid yang disebut juga asketik. Setelah menjadi seorang yang
zahid, baru ia bisa mengikuti stasiun-stasiun berikutnya, sebagaimana disebutkan di
atas. Stasiun (1) taubat, maksudnya seorang shufi atau tasawuf harus bertaubat dari
segala kesalahanya. Dimulai tobat dari dosa-dosa besar, tobat dari dosa-dosa kecil
dan meninggalkan segala sesuatu yang syubhat ataupun meragukan. Stasiun (2) al-
Wara’ maksudnya, seorang calon sufi harus meninggalkan segala hal yang bersifat
syubhat atau yang meragukan, misalnya ketika ia akan memakan daging hewan,
sembelihannya benar atau tidak, sesuai dengan ajaran Islam atau tidak? Atau jika
makanan lain dipertanyakan apakah diperoleh dengan cara yang halal atau tidak.
Apabila hal itu tidak pasti dan timbul keraguan, maka segera ditinggalkan.
110
Stasiun (3) al-Faqr, maksudnya adalah tidak mengharap lebih dari apa yang
dia peroleh, tidak ngoyo mencari rezeki, kecuali hanya untuk dapat menjalani
kehidupan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pantangan meminta bantuan
kepada orang lain, sungguhpun ia sangat membutuhkan. Stasiun (4) al-Shabr, yaitu
bersikap tabah dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya.Menerima secara tulus terhadap musibah yang menimpa dirinya.
Hanya menunggu pertolongan yang datangnya dari Allah. Sabar dalam menjalani
penderitaan dan tidak menunggu pertolongan dari siapapun kecuali dari Allah.
Stasiun (5) tawadhu adalah bersilap rendah hati merendah dalam segala hal,
meskipun ia memiliki kemampuan dan kesitimewaan-keistimewaan yang ada
padanya. Stasiun (6) al-Takwa, pengertiannya secara bahasa adalah bersikap hati-
hati, menjaga diri dan takut terhadap murka Allah, secara etimologis maksud dari
takwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya
dengan keikhlasan yang murni dan ketulusan yang mendalam.
Stasiun (7) tawakkal, maksudnya adalah menyerahkan diri atau pasrah
terhadap ketentuan dan ketetapa dari Allah s.w.t. terhadap dirinya dan terhadap
makhluk lain pada umumNya. Dengan demikian, seorang yang bertawakkal akan
selalu berada dalam keadaan tenang, dan tentram. Apabila mendapat karunia, ia
bersyukur dan apabila kena musibah dia bersabar dan selalu menyerahkan diri
kepada Allah s.w.t.. Mereka juga selalumengalah tidak mau makan apabila ada
orang lain yang lebih membutuhkan pada makanan itu. Tidak terlalu memikirkan
terhadap hari esok atau masa depan dalam kehidupan dunia, ia merasa cukup
dengan apa yang ada. Percaya kepada janji Allah, menyerahkan segalanya kepada
Allah, dan karena Allah.Stasiun (8) a-Ridha maksudnya adalah menerima dengan
tulus segala ketentuan dan ketetapan dari Allah s.w.t., menerima qada dan qadar-
Nya dengan perasaan bahagia. Mengeluarkan perasaan benci dari dirinya sehingga
yang tinggal di dalam dirinya hanya perasaan cinta, senang, dan bahagia. Merasa
senang bila ditimpa malapetaka sebagaimana ia merasa senang ketika ia
memperoleh nikmat. Tidak merasakan sedih terhadap qada dan qadarnya, malahan
menyambutnya dengan perasaan cinta yang bergelora, ketika mendapat berbagai
cobaan.
Stasiun (9) cinta, yang dimaksud dengan cinta di sini adalah cinta yang sangat
mendalam kepada Allah s.w.t.. Mereka meraih dan memeluk kepatuhan yang sangat
mendalam kepada perintah Tuhan dan membenci terhadap segala aktifitas yang
membangkang terhadap-Nya. Menyerahkan diri sepenuh hati kepada yang dicintai,
yaitu Allah s.w.t..Mengosongkan hati dari segela sesuatu kecuali dari yang amat
dicintainya yaitu Allah s.w.t.. Stasiun (10) makrifat (Gnosis), maksudnya adalah
mengenal Allah secara mendalam sehingga dapat tergambarkan hubungan yang
sangat erat antara manusia dengan Tuhannya dengan bentuk gnosis, pengenalan
terhadap Tuhan dengan hati sanubari. Apabila seorang sufi telah mencapai
tingkatan makrifat, maka ia akan memperoleh pengetahuan dari Allah s.w.t. yang
tidak diperoleh orang lain melalui ilham. Dengan demikian, pengetahuan yang
dimiliki seorang yang telah mencapai tingkatan ini, sangat luas dan mendalam dan
banyak hal yang tidak bisa diketehaui oleh manusia pada umumnya.
Tasawuf sampai tingkatan inilah yang diterima oleh mayoritas umat Islam,
tingkatan-tingkatan berikutnya dianggap sudah ekstrem sehingga tidak bisa
diterima kecuali oleh sebagian kecil umat Islam. Tingkatan tasawuf yang ditolak oleh
mayoritas umat Islam dan hanya diikuti oleh sebagian kecil dari mereka adalah
paham tasawuf yang mengarah kepada al-Ittihad yang memiliki dua bentuk, yaitu
111
al-Hulul dan wihdatul wujud. Al-Huluul dikemukakan oleh Abu Manshur al-Hallaj,
sedangkan wihdatul wujud dikemukakan oleh Ibnu Arabi. (Harun Nasution,
2016:66-67).
Al-Ittihad merupakan salah satu tingkatan dalam tasawuf setelah tingkatan-
tingkatan yang disebutkan di atas. Dalam paham ini, seorang sufi merasa dirinya
telah bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan dari cinta yang sangat mendalam
sehingga yang mencintai (sufi) dan yang dicintai (Allah) telah menjadi satu. Seorang
sufi yang telah dapat mensucikan dirinya dengan stasiun-stasiun yang telah
disebutkan di atas, dan telah dapat menghilangkan eksistensinya(fana), maka ia
merasa bersatu dengan Tuhan. Ittihad ini bisa melalui dua bentuk, yaitu melalui al-
Hulul, yaitu paham yang mengatakan bahwa Tuhan masuk ke dalam tubuh manusia
tertentu, mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di
dalam Tubuh itu dilenyapkan. Dengan demikian, seorang sufi yang telah mencapai
tingkatan ini, kadang-kadang menyebut dirinya Ana al-Haq (aku ada adalah sebagian
dari tanda-tanda kebesaran Tuhan).
Bentuk yang kedua dari al-Ittihad adalah wahdatul wujud (kesatuan
wujud/unity of existence). Paham ini merupakan suatu tingkatan dari paham hulul
dan dikembangkan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi yang lahir dar Mursia tahun 1194 M.
(Harun Nasution, 2016:75). Dalam paham wahdatul wujud, nasut yang ada di dalam
hulul diubah oleh Ibnu Arabi menjadi al-Khalq (makhluk), dan lahut menjadi al-haq
(Tuhan). Al-Khalq dan al-Haq adalah dua aspek bagi segala sesuatu, aspek yang
bagian luar disebut al-Halq, sedangkan aspek yang berada di dalam disebut al-Haq.
Kata-kata al-Halq dengan al-Haq merupkan sinonim dari al-‘Ardh (aksiden) dan al-
Jauhar (substansi) dan dari aspek al-Dzahir (lahir) dan al-Bathin (batin). Menurut
paham ini segala sesuatu yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek lahir dan
batin yang merupakan al-‘Ardh dan al-Halq yang mempunyai sifat kemakhlukan
dan aspek dalam yang merupakan al-Jauhar dan al-Haq yang memiliki sifat
ketuhanan. Dalam perkataan yang singkat, bahwa pada segala sesuatu terdapat sifat
ketuhanan dan sifat kemakhlukan.
Oleh karena paham al-Ittihad, al-Huluul dan Wihdatul wujud merupakan
paham sufi yang dianggap ektrem oleh mayoritas umat Islam, sebaiknya dipelajari
hanya sebagai pengetahuan untuk memperluas wawasan, tidak untuk
diamalkanatau diyakini. Adapun paham-paham sufi yang selain itu, sebagaiaman
disebutkan di atas, seperti al-Zuhud, al-Mahabbah, al-Makrifah, dan sebagainya bisa
diterima oleh mayoritas umat Islam.Hal ini bisa diamalkan sebagai jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan yang sedekat-dekatnya. Sebagaimana
dekatnya seorang kekasih dengan kekasihnya atau demikian dekat sebagaimana
orang yang mencintai dan yang dicintai (Allah s.w.t.).
BAB III
DIMENSI SOSIAL DAN BUDAYA ISLAM
1. Keluarga Islam
1.1. Pengertian Keluarga Islam
Di dalam bahasa Arab, kata “keluarga” disebut ahl atau ahila yang berarti keluarga
secara menyeluruh termasuk kakek, nenek, paman, bibi dan keponakan. Dalam pengertian
yang lebih luas, keluarga dalam Islam merupakan satu kesatuan unit yang besar yang
disebut ummah atau komunitas umat Islam. Keluarga Islam adalah keluarga yang rumah
tangganya ditegakkan adab-adab Islam, baik yang menyangkut individu maupun keseluruhan
anggota rumah tangga. Keluarga Islam adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas
landasan ibadah, mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah swt. Keluarga Islam adalah keluarga yang
rumah tangganya menjadi teladan, panutan dan dambaan umat, mereka betah tinggal di
dalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan rohani, mereka berkhidmat kepada Allah
dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun sempit.
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab yang berarti tenang atau “ketenangan”. Al-Jurjani
mengemukakan satu definisi, yaitu adanya ketenteraman bahwa Allah senantiasa bersifat
Rahmah yang selalu dilimpahkan kepada makhluk-Nya ke dalam hati pada saat datangnya
goncangan dan cobaan. Dalam keseluruhannya sakinah merupakan ketentraman jiwa dan
ketenangan batin (al-Jurjani, t.th.:106). Sakinah merupakan suatu ketenangan yang sering
didahului oleh gejolak, karena dalam setiap rumah tangga diwarnai dengan gejolak, bahkan
kesalahpahaman, namun ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah (ketenangan).
Kata Mawaddah, memiliki arti kelapangan dada dan terhindarnya jiwa seseorang dari
kehendak yang buruk. Mawaddah artinya adalah cinta sejati, cinta tidak lengkap kecuali bila
semua unsur-unsur terpenuhi, yaitu perhatian, tanggung jawab, penghormatan, serta
pengetahuan. Cinta yang dibingkai dalam hati yang mawaddah, tidak lagi akan memutuskan
hubungan. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan terhindar dari keburukan-
keburukan. Sedangkan Rahmah adalah kasih sayang, kondisi psikologis yang muncul di
dalam hati, karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan
untuk memberdayakannya. Karena itu, dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami istri
rela bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala
yang mengganggu dan mengeruhkannya. (M. Quraish Shihab, 2013: 209). Dengan demikian
115
keluarga Islam yang sakinah, mawaddah dan rahmah adalah keluarga yang didalamnya penuh
dengan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan, akibat menyatunya pemahaman dan
kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.
Rasulullah saw. adalah orang yang sangat berhasil memberikan suri tauladan yang baik
bagi umatnya, mulai dari masalah memimpin umat sampai kepada memimpin keluarga.
Dalam hal memimpin keluarga misalnya, Nabi Muhammad saw. mengajarkan kepada
umatnya agar membina rumah tangga yang harmonis, keluarga yang bahagia, yang dipenuhi
dengan ketenangan dan cinta kasih, Beliau bersabda yang artinya:
“Ada tiga kebahagiaan, yaitu: (1) memiliki istri yang shalihah, bila engkau memandangnya
menyenangkanmu, dan bila engkau pergi hatimu mempercayai bahwa ia dapat menjaga
dirinya dan menjaga hartamu, (2) kendaraan yang layak, dan (3) rumah yang luas yang
banyak didatangi tamu. (HR. Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mubarak ‘ala al-Shahihain, II/175
No. 2684).
Dalam hadis di atas digambarkan tentang kebahagiaan manusia atau keluarga Islam
akan tercapai bila memenuhi beberapa hal, yaitu rumah yang luas, maksudnya bukan berarti
rumah yang secara fisik berukuran luas, tetapi merupakan tempat tinggal yang memberikan
kenyamanan, ketentraman, dan kelapangan hati seperti rumah yang dimiliki oleh Rasulullah
saw., kendaraan yang layak maksudnya tidak terbatas pada mobil pribadi atau kendaraan lain,
tetapi kendaraan yang bisa menghantarkan pemiliknya ke tempat-tempat yang baik dan
diridhai oleh Allah, sedangkan istri atau suami yang shalihah dan shalih merupakan
pendamping hidup yang senantiasa beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah serta selalu
mengingatkan jika salah satu di antara keluarga melakukan kesalahan.
Keluarga Islam adalah keluarga yang rumah tangganya sakinah, mawadah, dan rahmah
(perasaan tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah
setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya. Baiti
jannati (rumahku surgaku), demikian slogan mereka sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah
saw. untuk membentuk ummah yang kuat. Fatima Heeren dalam bukunya Women in Islam
(1993), menyebutkan empat syarat dalam membangun keluarga Islam, yaitu : (1) keluarga
Islam harus menjadikan keluarga sebagai tempat utama pembentukan generasi yang kuat
dengan cara menyediakan keluarga sebagai tempat yang aman, sehat dan nyaman bagi
interaksi antara orang tua dan anak; (2) kehidupan berkeluarga harus dijadikan sarana untuk
menjaga nafsu seksual laki-laki dan perempuan; (3) keluarga Islam harus menjadikan
keluarga sebagai tempat pertama dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan seperti cinta dan
kasih sayang; (4) keluarga Islam harus dijadikan sebagai tempat bagi setiap anggotanya untuk
berlindung dan tempat memecahkan segala permasalahan yang dihadapi anggotanya.
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30: 21).
Apabila keluarga Islam telah terbentuk maka tugas dan tanggungjawab dalam
kehidupan keluarga Islam adalah :
a. Mendidik Keluarga Secara Islam
Setelah mampu membina keluarga dalam kehidupan secara mandiri sesuai dengan perintah
Allah, maka tugas selanjutnya adalah mendidik keluarga dan anak-anak agar menjadi
generasi penerus yang saleh. (QS.3 (Ali Imran) :9), dan juga menjadi orang-orang yang
senantiasa menjaga diri dan keluarga dari segala hal yang menjerumuskan ke dalam api
neraka. (QS.66 (Al-Tahrim) :6).
b. Berbakti kepada orang tua.
117
Setelah hidup mandiri dengan keluarga yang sakinah, dipenuhi dengan ketentraman dan
kebahagiaan, jangan lupa hendaknya selalu berbakti kepada orang tua yang telah
melahirkan, menyusui, merawat dan membimbing selama bertahun-tahun, sehingga
menjadi anak yang baik dan terpuji. Berbakti kepada orang tua dalam pandangan Islam,
merupakan keharusan yang selalu dijaga dengan baik. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an
disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua demikian pentingnya, sehingga
diletakkan pada posisi yang signifikan, setelah kita berbakti kepada Allah. (QS.31
(Luqman) :14, dan QS.46 (Al-Ahqaf) :15).
2. Masyarakat Islam
2.1.Pengertian Masyarakat Islam
Sebagai agama besar yang dianut oleh satu milyar lebih umat manusia, Islam telah
membentuk masyarakat yang kuat dalam tatanan yang penting dan teratur yang disebut
dengan masyarakat Islam. Islam adalah agama wahyu terakhir yang disebarkan oleh Nabi
Muhammad saw. Beliau menyebarkan agama ini sehingga banyak orang yang masuk Islam
dan menjadikan umat Islam menjadi umat yang kuat dalam masyarakat yang aman, tertib dan
tentram. Agama Islam menjadikan orang-orang yang menganutnya menjadi sebuah
masyarakat Islam yang sangat erat. Pengertian dari masyarakat Islam itu sendiri adalah
masyarakat yang seluruh atau sebagian besar anggotanya merupakan orang-orang Islam dan
berpedoman pada akidah dan hukum Islam.
Menurut Muhammad Quthb, bahwa masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang
segala sesuatunya bertitik tolak dari Islam dan tunduk pada sistematika Islam. Berangkat dari
hal tersebut di atas, maka suatu masyarakat yang tidak diliputi oleh suasana Islam, corak
Islam, bobot Islam, prinsip Islam, syariat dan aturan Islam serta berakhlak Islam, bukan
termasuk masyarakat Islam. Masyarakat Islam bukan hanya sekedar masyarakat yang
beranggotakan orang Islam, sementara syariat Islam tidak ditegakkan di atasnya, meskipun
mereka shalat, puasa, zakat dan haji. Lebih jauh lagi bahwa masyarakat Islam bukanlah
masyarakat yang melahirkan suatu jenis Islam khusus untuk dirinya sendiri, diluar ketetapan
Allah yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Atas dasar itulah, masyarakat Islam harus
menjadikan segalah aspek hidupnya, prinsip-prinsipnya, amal perbuatannya, nilai hidupnya,
jiwa dan raganya, hidup dan matinya terpancar dari sistem Islam. Oleh karena itu, kekuasaan
yang mengatur kehidupan manusia haruslah kekuasaan yang mengatur adanya manusia itu
sendiri. Dengan demikian, tetaplah Allah saja yang mempunyai kekuasaan tertinggi, sehingga
masyarakat Islam senantiasa diperintah dan diatur oleh pola syariat-Nya.
Dalam pandangan Muhammad Quthb bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang
berbeda dengan masyarakat lain. Letak perbedaanya yaitu, peraturan-peraturannya khusus,
undang-undangnya yang Qur’ani, anggota-anggotanya yang beraqidah satu, aqidah islamiyah
dan berkiblat satu. Sedangkan menurut Mahdi Fadhlullah bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat Islam adalah satu-satunya masyarakat yang tunduk kepada Allah dalam segala
masalah dan memahami bahwa makna ibadah itu tidak cukup dengan melakukan syiar-syiar
keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, karena itu hanya bentuk ibadah
nyata. Dari pengertian di atas, terdapat kejelasan bahwa yang menjadi dasar pengikat
masyarakat Islam adalah rasa iman kepada Allah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
yang mengikat masyarakat Islam adalah dasar persamaan aqidah, bukan didasarkan atas
ikatan jenis bangsa, tanah air, warna kulit, maupun bahasa. Masyarakat Islam inilah yang
memiliki watak dan adat istiadat yang terpadu walaupun terdiri dari beberapa suku bangsa,
warna kulit, dan bahasa. Ia tetap memiliki dan menjalin ikatan yang kuat berupa tali
persaudaraan yang mengakar dari nilai-nilai agama Islam.
Masyarakat Islam dibentuk berdasarkan ajaran dan tata nilai Islam, yang mengandung
arti bahwa prinsip-prinsip dasar yang membentuk dan membina masyarakat itu adalah nilai-
nilai luhur ajaran agama Islam. Masyarakat ini berorientasi pada pondasi tauhid, karena itu,
falsafah sosialnya didasarkan pada sistem nilai yang paling utama. Masyarakat itulah yang
mampu mempraktikkan sanksi-sanksi yang murni dalam upaya menegakkan kebenaran,
keadilan, kasih sayang serta pelayanan masyarakat yang dibentuk berdasarkan etika
Ketuhanan Yang Maha Esa yang bertopang pada: (a) mentaati perintah Allah yang
dicerminkan dengan kasih sayang terhadap sesama anggota masyarakat; (b) bersyukur
terhadap rahmat dan nikmat Allah, segala puji bagi-Nya semata, yang dicerminkan pada
upaya mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat material dan spiritual,
berlandaskan pada kaidah-kaidah moral yang mulia; (c) rasa dekat dengan Tuhan yang
dicerminkan dalam perasaan takut pada larangan-Nya yang akan membentuk sikap dan jiwa
yang adil dan bertanggungjawab, menghindari tingkah laku curang dan menolak kejahatan
dalam anggota masyarakat (Departemen Agama RI, 1997: 50).
Masyarakat Islam dibentuk dan dibina berdasarkan azas dan prinsip dasar etika
kemulian manusia. Semua anggota masyarakat diarahkan untuk melaksanakan kebaikan
sehingga meraih kemuliaan lahir dan batin, di dunia maupun akhirat. Dalam QS. 49 (Al-
Hujurat): 133 Allah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
49: 13)
Untuk mencapai kemuliaan itu, memerlukan pembentukan kekuatan iman bagi setiap
individu anggota masyarakat, yang apabila disebut asma Allah, merasakan dan menghayati
sifat-sifat keagungan dan kemuliaan-Nya, bertambahlah keimanan mereka, dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. Mereka adalah anggota masyarakat yang mendirikan shalat
dengan khusyu’ dan menafkahkan sebagian rizki yang mereka miliki. Kemuliaan manusia,
mengharuskan setiap orang menghormati orang lain dalam segala interaksi sosialnya.
Manusia lain perlu dihargai dan diberikan hak-haknya sebagai anggota masyarakat secara
adil, atas dasar persamaan derajat di hadapan Tuhannya. Takwalah yang menentukan derajat
seseorang dan status kedudukannya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Fungsi masjid pada masa Rasululah saw. dapat diuraikan antara lain sebagai berikut: (1)
untuk melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat wajib, shalat sunnah, sujud, i’tikaf, dan
shalat-shalat sunnah yang bersifat insidental seperti shalat 'Id, shalat gerhana, dan sebagainya;
(2) sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam; (3) sebagai pusat informasi Islam; (4)
tempat penyelesaian perkara dan pertikaian, menyelesaikan masalah hukum dan peradilan
serta menjadi pusat penyelesaian berbagai problem yang terjadi pada masyarakat; (5) masjid
sebagai pusat kegiatan ekonomi. Yang dimaksud kegiatan ekonomi, tidak berarti sebagai pusat
perdagangan atau industri, tetapi sebagai pusat untuk melahirkan ide-ide dan sistem ekonomi
yang Islami, yang melahirkan kemakmuran dan pemerataan pendapatan bagi umat manusia
secara adil dan berimbang; (6) sebagai pusat kegiatan sosial dan politik. Kegiatan sosial tidak
bisa dipisahkan dari masjid sebagai tempat berkumpulnya para jamaah dalam berbagai lapisan
masyarakat.
Masjid merupakan pusat ibadah, dakwah dan peradaban Islam dalam sejarahnya yang
panjang, mengalami berbagai macam perubahan dan pergeseran, mulai dari perubahan yang
bersifat positif sampai pergeseran yang bersifat negatif. Selama berada dalam pergeseran yang
bersifat negatif, ia bergeser dari fungsi yang sesungguhnya sampai pada fungsi yang sangat
terbatas. Ia tidak lagi menjadi pusat dakwah dan perubahan Islam, tetapi hanya berfungsi
sebagai tempat ibadah mahdhah saja. Bila kita melakukan pengamatan secara teliti terhadap
kenyataan yang berkembang dewasa ini, pada umumnya masjid-masjid yang ada dapat
dikategorikan dalam dua bagian, yaitu (1) masjid yang sesuai dengan konsep ajaran Islam,
atau paling tidak, bisa mendekati fungsi masjid yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., dan
(2) masjid-masjid yang tidak sesuai lagi dengan profil mesjid yang dikehendaki ajaran Islam.
Lembaga menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah bakal dari sesuatu, asal mula
yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi
yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan. Menurut Ensiklopedi
Indonesia, lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai
hasil pendidikan yang diinginkan. Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-
alat pendidikan, jadi badan/lembaga pendidikan yaitu organisasi atau kelompok manusia yang
karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar
proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar.
Secara terminologi lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat
berlangsungnya proses pendidikan Islam. Lembaga pendidikan itu bersifat konkrit berupa
sarana dan prasarana dan juga bersifat yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan
peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
121
3.2.2. Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga Pendidikan Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan
sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. Kebutuhan itu bermacam-macam,
antara lain kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, termasuk kebutuhan
pendidikan. Sebagai lembaga, ia mempunyai beberapa fungsi, di anataranya adalah: (1)
122
memberikan pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok
mereka; (2) memberikan pegangan kepada masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial
menurut sistem tertentu yakni sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya; dan (3)
menjaga keutuhan masyarakat.
Lembaga pendidikan Islam memiliki peran yang sangat fundamental dalam memberikan
berbagai ilmu pengetahuan kepada umat Islam. Oleh karena itu peran lembaga pendidikan
bukanlah sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (knowledge), tetapi juga melakukan transfer
nilai (values) kepada setiap peserta didik. Pada era modern ini, setiap keluarga tentu
membutuhkan lembaga pendidikan yang berkualitas untuk mendidik putra-putrinya. Oleh
karena itu para pengelola lembaga pendidikan Islam harus bekerja profesional, sebab lembaga
pendidikan yang terorganisasi dengan baiklah yang bisa menjawab kebutuhan itu. Munculnya
lembaga pendidikan yang berkualitas tentu akan menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk
melahirkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan zaman, yaitu sumber
daya manusia yang tidak hanya berkualitas secara akademis, tetapi juga secara non akademis.
Melihat pentingnya lembaga pendidikan Islam dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, sejak awal Rasulullah saw. telah memberikan perhatian khusus kepada
pengembangan pendidikan. Ketika pertama kali mengembangkan ajaran Islam di kota Mekah,
beliau telah menggunakan beberapa lembaga sebagai sentra pendidikan untuk mengajarkan
agama Islam. Melalui sentra-sentra pendidikan yang ada ketika itu, kaum muslimin
memperoleh berbagai pengetahuan yang menjadi modal bagi mereka untuk keluar dari
kebodohan dan penindasan orang lain. Pengetahuan-pengetahuan yang mereka peroleh itu,
kemudian mereka ajarkan kepada istri, anak, dan sanak keluarga mereka, sehingga lahirlah
sebuah komunitas muslim yang sangat kuat.
Melihat dari beberapa fungsi yang melekat pada lembaga sosial tersebut di atas, jelas
bahwa kalau seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, ia harus
memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan
(Soerjono Soekanto, 1982:193).
Lembaga ekonomi Islam merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk
mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga
tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya, keberadaannya
harus dipandang dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat, serta nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Menurut undang undang (UU) perbankan No. 7 tahun 1992, BPR adalah lembaga
keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan.
Pada UU perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan
bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah. Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip syariah tertuang pada surat
direksi Bank Indosnesia No. 32/36/KEP/ tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan
prinsip syariah tanggal 12 Mei 1999. Dalam hal ini pada teknisnya BPR syariah beroperasi
layaknya BPR konvensional namun menggunakan prinsip syariah.
Istilah bank tanpa bunga sebenarnya dapat memberikan konotasi yang berbeda dari
esensi bank syariah. Istilah tanpa bunga sering diasosiasikan dengan tanpa biaya (no interest)
yang sebenarnya tidak tepat. Oleh karena itu sebaiknya kita pakai saja istilah bank bagi hasil
yang juga dipakai bank Indonesia atau tepatnya bank syariah. Bank syariah merupakan sebuah
lembaga keuangan yang berdasarkan hukum Islam yang merupakan sebuah lembaga baru
yang amat penting dan strategis peranannya dalam mengatur perekonomian dan
mensejahterakan umat Islam.
Cara beroperasi bank syariah ini hakikatnya sama dengan bank konvensional biasa,
yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik lainya yang menurut syariah Islam
tidak dibenarkan. Bank syariah memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank
konvensional lainnya, namun bukan berarti bank syariah tidak mengenakan beban kepada
mereka yang menikmati jasanya. Beban tetap ada namun konsep dan cara perhitungannya
tidak seperti perhitungan bunga dalam bank konvensional.
Pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI adalah usaha saling melindungi
dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset
atau tabarru' memberikan pola pengembalian resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan
syariah.
Pegadaian syariah dalam hukum Islam berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:
124
a. Akad Rahn. Secara istilah, rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai
jaminan hutang dengan dasar bisa diambil kembali oleh orang yang berhutang setelah dia
mampu menebusnya.
b. Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa. Melalui akad ini dimungkinkan bagi penggadai untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang yang berharga milik nasabah yang telah melakukan akad.
BTM terdiri dari dua istilah yaitu baitul mal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih
mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat,
infak dan shadaqah, sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dana dan
penyaluran dana komersial. Baitul Maal wal Tamwil (BMT) atau Usaha Mandiri Terpadu,
adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh
kembangakan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta
membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam:
keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan. BMT bersifat terbuka,
independen, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk
mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat
sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.
5.1. Persatuan
Persatuan adalah gabungan (ikatan, kumpulan dan sebagainya) beberapa bagian yang
sudah bersatu. Dalam persatuan itu bisa saja banyak hal yang berbeda seperti perbedaan
agama, suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, agama dsb bersatu dalam suatu wadah.
Wadah itu bisa umpamanya organisasi, kumpulan pada suatu lembaga pendidikan, pada suatu
wilayah umpamanya tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan, dan bisa dalam satu negara. Contoh
persatuan adalah apa yang kita pupuk dan kembangkan secara terus menerus di negara kita
Indonesia ini. Dalam keaneka-ragaman kita bersatu dalam suatu negara, “Negara Kesatuan
Republik Indonesia” (NKRI). Kita bersatu diikat oleh komitmen bersama: Satu nusa, satu
125
bangsa, satu bahasa (Indonesia). Semboyan kita “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi
tetap satu). Satu negara, satu bangsa, satu bahasa, bersatu mengisi kemerdekaan, membangun
bersama dengan tujuan yang sama: mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan negara
adil dan makmur yang merata.
Al-Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan, karena pada hakikatnya manusia
adalah umat yang satu. Arti umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik
persamaan tempat, wilayah, waktu, bahasa, agama, atau mungkin satu keturunan. Dalam QS.
21 (Al-Anbiya’) : 92 Allah berfirman:
Walaupun Al-Qur’an mengakui adanya kelompok, suku, dsb, namun Al-Qur’an juga
mengisyaratkan bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dapat digabungkan ke dalam
satu wadah. Dalam konteks paham kebangsaan, Rasulullah saw memasukkan sahabatnya
Salman Al-Farisi dari Persia, Suhaib dari Rumawi, dan Bilal dari Ethiopia ke dalam kelompok
orang Arab. Jumlah anggota satu ummat tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Ada yang
berpendapat minimal empat puluh orang atau seratus orang. Tetapi Al-Qur’an pun
menggunakan kata ummat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak
keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s.
misalnya disebut sebagai umat oleh Allah dalam QS. 16 (Al-Nahl) : 120:
Artinya:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada
Allah, hanif, dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan)" (QS.16:120).
Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata ummat dalam Al-Qur’an sangat
lentur, dan menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan.
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa manusia mulanya memang berasal dari satu keturunan,
dan kemudian berkembang menjadi golongan-golongan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Tuhan menghendaki adanya bangsa-bangsa, dengan proses yang dilakukan umat manusia
yang secara sepakat ingin bersatu menjadi suatu golongan dari yang terkecil hingga terbesar.
Dalam QS. 49 (Al-Hujurat) : 13 Allah berfirman:
Artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal" (QS.49:13).
126
Al-Qur’an mengakui manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.
Manusia berasal dari satu pasang kemudian berkembang biak, lalu berkelompok-kelompok,
berbangsa-bangsa, menurut suku, wilayah, dan bisa menurut ras dsb. Tetapi dalam
bertanggung jawab kepada Allah tentang amal perbuatannya adalah secara individu. Dalam
QS 49:13 tersebut dijelaskan bahwa Tuhan memandang tinggi rendahnya derajat martabat tiap
orang tergantung pada tingkat takwa masing-masing individu. Dasar kemuliaan manusia
bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaannya kepada Allah. Tanggung
jawab individual manusia tersebut dijelaskan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 286:
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum Kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."QS.2:286).
5.2. Kerukunan
Bermacam-macam suku, golongan, bahasa, etnis, ras, kulit, adat istiadat manusia
merupakan salah satu bentuk dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Hal tersebut ditegaskan dalam
QS. 30 (Al-Rum) : 22:
Artinya:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui" (QS.30:22).
Pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, apalagi
menimbulkan sikap superioritas, dan pelecehan. Harmoni sosial hanya akan terwujud apabila
masing-masing anggota masyarakat saling menghargai dan menghormati.
Agama Islam adalah agama damai. Dari arti etimologisnya “Islam” artinya selamat,
damai, sejahtera dan berserah diri (kepada Tuhan Yang Maha Esa). Kita tidak ingin
mengganggu pemeluk agama lain, baik dengan cara memaksa, atau menghalang-halangi
mereka dalam menjalankan agamanya. Sebaliknya kita pun tidak ingin diganggu pemeluk
agama lain. Inilah hakikat kedamaian. Kita bersikap toleransi terhadap semua umat sebagai
satu umat manusia. Tetapi tidak dalam arti kita mencampur-adukkan ajaran-ajaran agama
dalam satu paham “sinkretisme”. Kita masing-masing tetap dalam agama, kepercayaan dan
127
sistem pengamalan agama kita masing-masing. Dalam QS. 109 (Al-Kafirun) : 1-6 Allah
menegaskan:
Artinya:
1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(QS.109:1-6).
Kata toleransi berasal dari bahasa latin tolerare yang berarti bertahan atau memikul.
Toleran disini diartikan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak di sukai, atau
memberikan tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat
(Siagian, 1993:115). Dengan demikian, toleransi menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk
menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Menurut Wabste’s New Amarica
Dictionary, arti toleransi adalah liberty toword the option others, patients with other
(memberikan kebebasan (membiarkan) pendapat orang lain berlaku sabar menghadapi orang
lain). Toleransi diartikan memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat
bersamaan sikap menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan diri
atau sabar. Oleh kerena itu, diantara orang-orang yang berbeda pendapat harus
memperlihatkan sikap yang sama, yaitu saling menghargai dengan sikap yang sabar.
Persamaan kata toleransi dalam bahasa Arab adalah kata tasamuh. Tasamuh dalam
bahasa Arab berarti membiarkan suatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling
memudahkan. Dari kata tasamuh tersebut dapat diartikan agar diantara mereka yang berbeda
pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat dalam berpendapat. Masing-masing
kelompok yang berbeda pendapat memperoleh hak untuk mengembangkan pendapat dan
tidak saling menjegal satu sama lain.
Dari beberapa pendapat di atas toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang,
memberikan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki
seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap
prinsip-prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan
atau prinsip yang di anutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kuat atau
istiqomah untuk memegang keyakinan atau pendapat sendiri.
128
Toleransi adalah suatu sikap menenggang rasa dengan menghargai, membiarkan atau
membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan orang lain
yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sikap ini perlu dan penting dimiliki
setiap orang, kelompok, golongan yang hidup dalam masyarakat yang pluralistik (yang terdiri
dari berbagi suku, agama, budaya, bahasa, kebiasaan, adat-istiadat) seperti halnya dalam
masyarakat kita di Indonesia. Semboyan yang merekat kehidupan kita menjadi satu bangsa
yang bersatu “Bhineka Tunggal Ika” sangat sesuai dengan jiwa dan sikap hidup bertoleransi
ini.
Dalam setiap agama, begitu juga dalam Islam kehidupan toleransi sangat dianjurkan.
Anjuran ini dapat kita petik dari berbagai ayat Al-Qur’an antara lain:
1. Manusia diciptakan oleh Allah mulanya dari satu pasang kemudian berkembang biak
dan dijadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar satu sama yang lain saling
kenal mengenal, dan berlomba meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Karena
kemuliaan yang hakiki disisi-Nya adalah orang yang paling bertakwa. Firman Allah
dalam QS. 49 (Al-Hujurat) : 13 menegaskan:
Artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnnya orang yang paling mulia diantara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu, Seungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS.49:13).
2. Tidak boleh dan tidak seyogyanya seseorang atau satu golongan manusia menghina,
mencela, mencemooh memperolok-olok orang lain. Boleh jadi yang dicemooh lebih baik
dari yang mencemooh, seperti yang diingatkan oleh Allah dalam QS. 49 (Al-Hujurat): 11:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita yang lain (karena boleh
jadi) wanita-wanita yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-
olok)”(QS.49:11)
3. Dalam kehidupan beragama tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti agama
yang dianutnya. Dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 256 Allah mengingatkan:
Artinya:
129
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui" (QS.2:256).
4. Sekalipun Allah telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang benar dan agar umat
manusia mengimaninya, tetapi Allah memberi kebebasan kepada umat manusia sebagai
pertanggungjawaban pribadi, apakah ia mau beriman kepada Allah atau mau kufur
kepada-Nya. Hal tersebut ditegaskan dalam QS. 18 (Al-Kahfi) : 29:
Artinya:
"Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek" (QS.18:29).
Toleransi secara aktif adalah sikap turut serta merasakan perasaan atau pikiran yang
sama dengan orang atau kelompok lain, seperti ikut serta merasakan sedih dan turut
belasungkawa atas bencana, musibah yang menimpa tetangga, kenalan, sahabat, tanpa
membedakan agama, suku, golongan dsb. Sebagai sesama manusia, kita merasakan perasaan
tetangga itu. Begitu juga kalau ada tetangga yang kekurangan, yang mengalami kesulitan
dalam hidup. Setiap agama mengajarkan sikap toleransi. Nabi Muhammad mengatakan:
“Tidak beriman seseorang yang tidur kenyang sedang tetangganya tidak bisa tidur karena
lapar.”
Toleransi dalam sikap pasif bisa berarti memberikan kebebasan (membiarkan) orang
lain untuk melakukan kesukaannya sesuai dengan bakat, kesenangan, pekerjaan, hobby, adat
istiadat, atau mungkin menjalankan ajaran agamanya. Akan tetapi perlu diingat bahwa batas-
batas kebebasan melakukan sesuatu dalam rangka bertoleransi hendaklah memperhatikan
kebebasan orang lain. Seorang pemuda yang senang musik umpamanya ia bebas untuk
menyetel musik yang ia sukai, tetapi kebebasannya terbatas dengan kebebasn orang lain yang
sedang membutuhkan ketenangan, umpamanya sedang belajar, sedang tidur dsb.
Dalam sejarah kehidupan umat Islam sikap toleransi telah diletakakan pada saat awal
Nabi Muhammad saw. membangun Negara Madinah. Nabi melihat adanya pluralitas yang
terdapat dikota Madinah. Pluralitas yang dihadapi Nabi antara lain tidak hanya karena
perbedaan etnis semata, tetapi juga perbedaan yang disebabkan agama. Madinah tidak besifat
homogen dengan agama, tetapi di Madinah disamping sebagian penduduknya beragama
Islam, terdapat pula penduduk yang bergama Yahudi bahkan Watsani. Melihat pluralitas
keagamaan ini Nabi berinisiatif untuk membangun kebersamaan dalam kehidupan bangsa
yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Piagam
Madinah. Dalam pandangan Nurholish Madjid (1992:195) Piagam Madinah merupakan
dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha.
Bahkan sesungguhnya Nabi menjamin keamanan ummat non Islam dimana saja, sepanjang
masa, sepanjang mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
130
Contoh lain dari wujud toleransi Islam terhadap agama diperlihatkan oleh Umar Ibn al-
Khaththab. Umar Ibn al-Khaththab membuat pernjanjian dengan penduduk Yerusalem setelah
kota suci itu ditaklukan oleh kaum muslimin. Isi perjanjian tersebut antara lain berbunyi: Ia
(Umar) menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja
dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk beragama
secara keseluruhan. Gereja–gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, tidak
akan dikurangi sesuatu apapun dari gareja–gareja itu dan tidak pula dari lingkungannya.
Kebijakan politik yang dilakukan baik Nabi maupun Umar diatas tentu dengan dasar-
dasar pijakan yang terdapat dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 256:
Artinya:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS.2:256).
Artinya:
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya?(QS.10:99).
Ayat–ayat terebut menjadi dasar tentang adanya kebebasan manusia untuk menentukan
pilihan atas agama. Prinsip–prinsip itulah yang seharusnya menjadi dasar kebijakan politik
umat Islam pada zaman modern ini, sebagaimana prinsip-prinsip kebebasan beragama yang
terjadi pada zaman klasik, tetapi hal itu kelihatannya jauh dari kenyataan saat ini. Dalam
131
hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam
berbuat baik dan bertindak adil dengan siapapun yang tidak memerangi umat Islam. Islam
mengutamakan terciptanya suasana perdamaian. Adanya kerjasama yang baik antara umat
Islam dengan umat bergama lain tidakkah menjadi halangan dalam Islam. Kedaan demikian
digambarkan dalam QS. 9 (Al-Taubah) : 6:
Artinya:
"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui
(QS.9:6).
Dalam QS. 60 (Al-Mumtahanah) : 7-8 secara tegas Allah juga menjelaskan, bahwa
sikap toleran umat Islam dapat menimbulkan rasa simpati umat non Islam, dan hal itu bisa
memotivasi lahirnya iman di dalam dada mereka, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
(7).Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang
kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(8).Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS.60:7-8).
Seiring arti toleransi di atas yaitu memberikan tempat kepada orang yang berbeda
agama, tidak berarti mengakuai kebenaran semua agama. Toleransi tidak dapat diartikan
melakukan pembenaran semua agama dan tidak pula diartikan kesedian untuk mengikuti
ibadah-ibadah agama lain. Allah telah menentukan bahwa agama yang diridhoi di sisi-Nya
hanyalah agama Islam. Antara agama Islam dengan agama kenabian mungkin ditemukan
adanya persamaan, tidak ada perbedaan dalam beberapa hal, yang menurut keyakinan Islam,
hal itu karena semula agama tersebut juga berasal dari Allah, tetapi dalam perkembangan
terjadi campur tangan manusia. Begitu pula agama Islam dan agama bukan kenabian,
kemungkinan terdapat persamaan, terutama dalam ajaran moralnya, karena akal budi manusia
bisa sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang sejalan dengan wahyu. Islam merupakan
agama fitrah, yang mampu dikenali dalam ajaran kemanusiaannya dengan pikiran dan hati
nurani yang jernih. Itulah sebabnya, Islam berkali-kali menegaskan untuk menegakkan yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar, yang mampu dikenali dengan potensi diri manusia yang
jernih, seperti perintah Allah dalam QS. 3 (Ali Imran) : 104:
Toleransi harus dibedakan dari kompromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan
orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberikan dan
menerima demi tercapai kebersamaan. Kompromisme tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan beragama. Kompromisme dalam beragama akan melahirkan corak keagamaan
yang sinkretik. Nabi saw pernah diminta kaum musyrik Mekah ikut melakukan ibadah
menurut ajaran mereka, dan mereka secara bergiliran akan melakukan peribadahan menurut
ajaran yang disampaikan oleh Nabi, yaitu Islam. Menghadapi ajakan kaum musyrik tersebut
Allah menurunkan wahyu dalam QS. 109 (Al-Kafirun) : 1-6:
Artinya:
(1). Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
(2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
(3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
(4). Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
(5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
(6). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(QS.109:1-6).
Betapun baiknya ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya ummat Islam bersikap
terhadap kaum agama lain, tetapi BILA menyangkut pelaksanaan ibadah tidak terjadi
kompromi di dalamnya. Ibadah adalah kekhasan hubungan manusia dengan Allah, dan hanya
Allah sendiri yang mengetahui cara yang harus dilakukan umat manusia untuk beribadah
kepada Allah, Tuhannya tersebut. Karena itu umat manusia harus mengikuti cara-cara yang
telah diperintahkan oleh Allah.
Dalam QS. 4 (Al-Nisa’) : 59 secara tegas Allah memerintahkan mentaati Ulil Amri
disamping taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan firman-Nya:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(QS.4:59).
133
Pemerintah adalah orang yang diberikan amanah, kepercayaan untuk memimpin agar
tercipta kehidupan yang harmonis, yang aman, yang sejahtera, yang dilindungi oleh Allah
sebagaimana digambarkan dalam QS. 34 (Saba’) : 15:
Artinya:
"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
"Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha
Pengampun"(QS.34:15).
Program-program Pemerintah tidak akan dapat berjalan dengan baik kalau tidak didukung
oleh rakyat. Begitu pula sebaliknya, keinginan dan usaha rakyat juga tidak akan membuahkan
hasil dengan baik kalau tidak didukung oleh Pemerintah. Karena itu diperlukan kebersamaan
antara rakyat dengan Pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang aman, sentosa, makmur,
dan memperoleh ampunan Allah.
Budaya atau kebudayaan atau kultur menurut definisi Sir Edward B. Taylor dari
pertengahan abad ke-19 adalah “Keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam sejarah dan
diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui tradisi yang mencakup organisasi sosial:
ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu.” Dari definisi ini
dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan dapat mencakup rohani dan maddi (material), baik
potensi-potensi, maupun keterampilan (Inggr: technique; Yun: technikos, dari techne =
keterampilan, kepandaian membuat/mencapai sesuatu). Kebudayaan selalu bersifat sosial,
karena tidak ada kebudayaan perseorangan, melainkan selalu meliputi sekelompok manusia:
suku, sukubangsa, dan bangsa (nation). Kebudayan juga mengalami evolusi, dan perubahan
dari masa ke masa. Maka kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah, perkembangan ilmu dan
kreasi manusia (berevolusi dan historic). Dalam pengertian sempit ada yang membatasi
dengan seni dan ilmu. Di dalam arti ini orang berbudaya adalah orang yang berilmu dan
mencintai seni. (lih. Ensiklopedi Indonesia, Van Hoeve, Jilid 1, hal 531-532).
Islam sebagai agama sempurna yang seimbang antara mementingkan kehidupan akhirat
dan tak melupakan dunia, sangat membuka luas upaya manusia dalam menciptakan berbagai
kreasi, berbagai bentuk dan warna budaya untuk kemakmuran hidup di dunia ini. Dalam
Kerangka Dasar Ajaran Islam atau ruang lingkup ajaran agama Islam, bidang ini
dikategorikan sebagai ”muamalah”. Islam menghargai budaya yang muncul dari berbagai
masyarakat sebagai suatu kekayaan peradaban. Tradisi-tradisi, adat istiadat, dan aturan-aturan
yang mewarnai prilaku masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari tidak dilarang
selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Banyak kita temukan bentuk yang sama dan juga berbeda dalam perikehidupan kaum
muslimin di berbagai belahan bumi, umpamanya: mode pakaian, bahasa, masakan dan
makanan, adat istiadat, sistem pendidikan, hukum, ekonomi, dan tata cara pergaulan sehari-
hari, pemerintahan, penciptaan alat-alat tradisional maupun modern, dsb. Dalam
134
perkembangannya, ada diantaranya yang tetap mempertahankan budaya lama, dan ada lagi
yang berubah, dan kadang berakulturasi antara berbagai budaya masyarakat. Justru Islam
menganjurkan agar dalam menciptakan kemajuan-kemajuan peradaban, sebagai bagian dari
budaya manusia, berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dan terunggul. Dalam QS.2
(Al-Baqarah) : 148 Allah berfirman:
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw memang turun dan berkembang
bermula di Jazirah Arab. Juga, baik Nabi Muhammad saw sendiri maupun sumber ajaran
Islam, Al-Qur’an dan Sunnah dengan berbahasa Arab. Contoh-contoh kasus, seperti jenis
makanan, cara makan-minum, berpakaian, kendaraan, tata cara kehidupan banyak yang khas
Arab dan dikemukakan dalam tataran kehidupan di zaman Nabi hidup, abad ke-6 dan ke-7 M.
Tidak dapat disangkal, beberapa corak budaya Arab, sedikit banyak ada pengaruhnya terhadap
kehidupan masyarakat muslim di berbagai belahan bumi. Malah ada pula kelompok
masyarakat yang ingin meniru sedekat-dekatnya tata-cara kehidupan sehari-hari seperti Nabi
yang khas Arab itu. Sebagai contoh untuk meniru Nabi, orang memakai jubah, surban,
memelihara jenggot, dsb. Apakah boleh? Tentu ya. Tetapi Nabi sendiri mengatakan bahwa
hal-hal yang berkaitan dengan agama, seperti soal akidah dan ibadah, kepadanyalah kita
merujuk dan meniru, tapi dalam masalah dunia, yang erat kaitannya dengan budaya dan
peradaban yang lebih berdimensi urusan dunia, dia mengatakan, ”Anda lebih tahu tentang
dunia Anda”. Tentulah Nabi tahu akan sifat budaya dan peradaban dari masa ke masa, dari
suatu tempat ke tempat lain, memang selalu berubah dan terus berkembang, sehingga karakter
agama kita yang menghendaki kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan, tidak mau
membelenggu umat yang memiliki sifat berubah dan berkembang.
Al-Qur’an memiliki kata-kata, kalimat-kalimat dengan istilah yang kaya makna. Suatu
kata umpamanya telah ditemukan maknanya di suatu zaman, tapi di zaman lain, makna itu,
dapat berubah dan berkembang. Sebagai contoh kita ambil, kata: sayyaroh (dulu artinya
kafilah, atau para pelancong yang berkelompok-kelompok, kini artinya mobil yang jenisnya
sangat banyak); sulthon (yang dulu artinya kekuasaan, atau penguasa, kini ada yang
mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek. Qalam yang dulu artinya
pena, kini ada yang mengartikannya sebagai teknologi informasi, atau apa saja media alat
menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi.
Salah satu unsur budaya yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat adalah
bahasa. Al-Qur’an yang diturunkan dengan bahasa Arab, selain memang kitab ini sangat kaya
makna, juga mengandung keindahan sastra, mudah dihafal dan enak didengar. Jutaan orang
menyimpan mushafnya, dan setiap orang muslim belajar membacanya, menghafalnya
135
sebagian atau seluruhnya, dan ada pula oang-orang yang secara khusus menggali makna,
terjamahan, tafsir dan takwilnya. Dalam QS.39 (Al-Zumar) : 28 Allah berfirman:
Setiap orang dalam masyarakat dituntut untuk berbudaya, berkreasi menciptakan hal-hal
yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Budaya yang baik dalam Islam dikenal
sebagai amal shalih. Amal saleh tidak terbatas pada ibadah saja, bahkan segala perbuatan,
aktivitas, kreasi, ciptaan-ciptaan seni berupa sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat adalah
amal shalih. Dalam QS. 16 (Al-Nahl) : 97 Allah berfirman:
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.16:97)
Dalam istilah lain budaya di dalam Al-Qur’an dikenal dengan kasab (usaha, perbuatan,
tindakan, perkataan, kreasi, dsb). Dalam QS.2 (Al-Baqarah) : 286 Allah berfirman:
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir QS.2:286)
Kasab bisa berupa perbuatan (budaya) yang baik dan bermanfaat, dan bisa pula berupa
perbuatan (budaya) yang buruk. Budaya buruk seperti ketidak pedulian pada lingkungan,
membabat hutan semena-mena, membuang sampah sembarangan, dsb. Dalam QS.30 (Al-
Rum) :41 Allah mensinyalir masalah tersebut dengan firman-Nya :
136
Artinya:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. 30:41).
Berbudaya di dalam Al-Qur’an juga dikenal sebagai “musta’mir” (pemakmur), beramal dan
berbuat berbagai hal serta menciptakan alat-alat (teknologi) untuk memakmurkan bumi,
sebagaimana firman Allah dalam QS. 11 (Hud): 61:
Artinya:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena
itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku
amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS.11:61)
Budaya adalah usaha, perbuatan, perkataan, tindakan, ciptaan, kreasi, yang telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Nabi saw mengingatkan, yang artinya:
"Allah menyenangi pekerja, yang melakukan pekerjaannya dengan baik” (HR. Ath-Thabrani).
Budaya dan kebiasaan bertegur sapa menurut Sunnah Nabi Muhammad saw dijelaskan, yang
artinya:
" (Agar kiranya) yang muda memberi salam kepada yang tua (lebih besar), yang berjalan
kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.” (HR. Muttafaq 'alaih).
Budaya memakai tangan kanan. Suatu hal yang perlu dipertahankan dan dididikkan kepada
anak-anak dan keluarga, supaya dalam memberi, menerima dan melakukan hal-hal yang baik
dan terpuji dilakukan dengan memakai tangan kanan sebagaimana sabda Rasulullah saw yang
artinya:
"Jika Anda makan, makanlah dengan tangan kanan, minum dengan tangan kanan,
mengambil dengan tangan kanan, dan memberi dengan tangan kanan.” (HR. Al-Hasan bin
Saifan)
Budaya saling menolong dan menghargai pertolongan perlu terus dipertahankan dan dalam
ragka ini budaya saling mengungkapkan rasa terima kasih juga demikian, sebagaimana sabda
Rasulullah saw yang artinya:
Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memasuki agama kita, karena memang tidak
ada paksaan dalam beragama. Akan tetapi kebiasaan-kebiasaan umat Islam dalam
melaksanakan agamanya dengan baik, akan menjadi daya tarik yang kuat bagi umat lain
untuk sekurang-kurangnya bersimpati kepada agama Islam. Banyak hal yang khas dari
budaya Islam yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Budaya mudik pada hari
lebaran umpamanya, adalah khas budaya Islam Indonesia. Budaya-budaya lain seperti
bersalam-salaman, menerima tamu dengan ramah, murah senyum, dan saling memaafkan,
agar tetap dipertahankan sebagai budaya yang mulia.
Budaya meliputi juga ilmu dan seni perlu ditingkatkan dan dikembangkan supaya
menjadi sistem pergaulan yang baik dalam masyarakat. Dalam mengembangkan budaya,
agama Islam tidak menutup kesempatan untuk saling menerima dan memberi dengan
perilaku, adat istiadat yang telah ada dalam masyarakat. Selama hal itu tidak merusak akidah
dan ibadah, kita tidak menutup diri untuk menerima budaya itu sebagai bagian dari tata hidup.
Justru salah satu maksud dari pengembangan budaya Islam adalah untuk menghapus dan
membebaskan umat dari perilaku syirik umpamanya, atau melenyapkan budaya-budaya yang
dilarang dan bertentangan dengan agama Islam.
Islam dapat menerima seluruh hasil karya manusia selama sejalan dengan ajaran Islam.
Namun demikian, perlu kehati-hatian dalam menginterpretasi ajaran Islam dibidang budaya
agar disatu sisi tidak menimbulkan kesulitan, dan disisi lain tidak terjebak dalam persoalan
subhat. Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Al-Quran memerintahkan kaum
muslimin untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan ma’ruf (hal yang sudah
dekenal oleh orang banyak sebagai kebaikan) dan mencegah perbuatan mungkar (hal yang
berlawanan dengan kebaikan). Ma’ruf merupakan budaya masyarakat yang sejalan dengan
nilai-nilai agama Islam, sedangkan mungkar adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan
ajaran Islam.
Dari sini, hendaknya setiap muslim memelihara nilai-nilai budaya yang ma’ruf dan
sejalan dengan ajaran Islam, dan ini akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni
budaya setiap masyarakat yang bermanfaat. Seandainya terdapat pengaruh yang negatif dan
dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni dari suatu masyarakat, maka kaum muslimin
daerah itu harus tampil mempertahankan ma’ruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta
membendung setiap usaha, dari manapun datangnya, yang dapat merongrong ma’ruf tersebut.
Bukankah Al-Qur'an memerintahkan untuk menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar sebagaimana disebutkan dalam QS. 9 (Al-Taubah) : 71 :
138
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS 9:71).
Islam dengan demikian sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi
manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi
tersebut sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.
Adakah kegunaan budaya Islam? Ya, tentulah sangat berguna, dan sangat banyak
gunanya, karena kebudayaan merupakan suatu identitas ummat. Ada ungkapan, ”Jangan lihat
sepatu seseorang, tapi perhatikan berapa jauh dia melangkah”. Sepatu adalah alat melangkah,
tapi kalau sepatu tak dipakai untuk melangkah apa gunanya? Islam adalah agama yang bagus
dan terpuji, memiliki aturan-aturan yang luas dan lengkap agar pemeluknya dapat berhubngan
dengan Tuhannya (hablun minallah) dan tampil berwibawa di dalam gelanggang dunia, dalam
tataran pergaulan ummat manusia (hablun minannas). Tapi kalau umatnya tidak mau
menjalankan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya dengan baik dan benar, sehingga berperilaku
yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, maka hal itu ibarat orang memiliki sepatu yang bagus
tetapi tidak dipakai untuk melangkah. Budaya yang baik, dan perilaku terpuji, merupakan
ajaran utama dalam agama Islam.
Orang Islam hendaknya menjadi orang yang berbudaya mulia dan terpuji. Arti asli dari
Islam sebagai damai dan cinta kedamaian, merupakan pijakan yang pas dalam
mengembangkan budaya Islam, sehingga sikap toleransi, tenggang rasa, ramah, saling
memaafkan, tidak pendendam, dan segala bentuk akhlak terpuji tampil dan muncul dari
perilaku yang membudaya dalam masyarakat Islam. Sebaliknya perilaku teror, senang
membuat huru hara, beringas, tidak menenggang rasa, penyebar fitnah, dsb bukanlah datang
dari ajaran Islam. Umat Islam seyogyanya menjadi ummat yang mulia, terpuji dan pelopor
kebaikan, kedamaian dan keadilan. Allah berfirman dalam QS 2 (Al-Baqarah):143:
Perkembangan seni Islam diawali dari munculnya hubungan timbal balik antara
peradaban orang-orang Arab dengan bermacam peradaban penduduk asli di Timur Tengah dan
139
Timur Dekat, serta percampuran beberapa tradisi kebudayaan di bawah naungan Islam. Kaum
muslimin, baik mereka yang berkebangsaan Arab maupun yang bukan Arab, telah mewarisi
seni artistik kebudayaan Timur Tengah zaman kuno. Bentuk-bentuk seni yang mereka bangun
sesuai dengan perspektif nilai Islam. Para tukang dan seniman muslim berusaha menanpilkan
cita Keesaan Tuhan (tauhid) dalam karya seninya.
Bentuk-bentuk seni yang ada pada masa awal adalah :
1. Puisi.
Islam tidak mengizinkan jenis puisi tertentu yang sifatnya tidak Islami. Para penyair harus
mengubah isi puisi-puisinya sesuai dengan citarasa Islam dan mengungkapkan cita-cita
Islam lewat syair. Diantara tokoh-tokoh penyair Islam adalah Hasan bin Tsabit dan Ka’b
bin Zuhayr.
2. Masjid.
Pada masa perkembangan seni Islam pada masa awal, konsep masjid adalah Islamis, tapi
tenaga/tukangnya non-muslim. Pada masa itu asal-usul kebangsaan atau keyakinan dari
sang tukang atau senimam kurang penting, misalnya masjid Al-Nabawi (Masjid Nabi) di
Madinah dibangun abad pertama hijriyah/abad ke-7 M, masjid Jami’ Al-Umawi (masjid
Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat Al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerussalem dibangun
tahun 72 H/691 M. Lewat Kubah Batu ini dapat dikenali tanda kebesaran bangunan
arsitektur Islam masa awal. Kubah Batu dibangun oleh arsitek-arsitek Syiria. Ruang dalam
bangunan disinari oleh lima puluh enam jendela. Mosaik dengan warna-warna cemerlang
dipakai untuk menghiasi bangunan ini. Di antara karya-karya mosaik pada bangunan ini,
ada “hiasan tanaman merambat yang ke luar dari jambang di tengah dan membentuk
lengkungan ke kiri dan ke kanan, masing-masing berisi seikat buah anggur dan lima
lembar dedaunan. Kumpulan hiasan ini dapat dianggap sebagai salah satu tema asli yang
paling penting pada masa awal seni Islam.”
140
Masjid Salim, dan beberapa masjid lainnya. Di masa Dinasti Safawi masjid-masjid indah
juga didirikan di kota Isfahan, ibukota Safawi
Menurut Islam, seni bukan sekedar untuk seni yang absurb dan hampa nilai (laghwun).
Keindahan bukan berhenti pada keindahan dan kepuasan estetis, sebab semua aktivitas hidup
tidak terlepas dari lingkup ibadah yang universal. Seni Islam harus memiliki semua unsur
pembentuknya yang penting, yaitu : jiwanya, prinsipnya, metode, cara penyampaiannya,
tujuan dan sasarannya. Motivasi seni Islam adalah spirit ibadah kepada Allah swt, bukan
mencari popularitas ataupun materi duniawi semata.
Seni Islam harus memiliki risalah dakwah melalui sajian seninya, yaitu melalui tiga
pesan :
a. Ketauhidan dengan menguak dan mengungkap kekuasaan, keagungan dan transendensi
(kemahaan-Nya) dalam segala-galanya, ekspresi dan penghayatan keindahan alam,
ketakberdayaan manusia dan ketergantungannya terhadap Allah, prinsip-prinsip uluhiyah
dan 'ubudiyah.
b. Kemanusiaan dan penyelamatan HAM serta memelihara lingkungan, seperti mengutuk
kedzaliman/penindasan, penjajahan, perampasan hak, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan, memberantas kriminalitas, kejahatan, kebodohan, kemiskinan, perusakan
lingkungan hidup, menganjurkan keadilan, kasih sayang, kepedulian sosial, dsb.
c. Akhlak dan kepribadian Islam, seperti pengabdian, kesetiaan, kepahlawanan atau
kesatriaan, solidaritas, kedermawanan, kerendahan hati, keramahan, kebijaksanaan,
perjuangan atau kesungguhan, keikhlasan, dst. Juga penjelasan nilai-nilai ke-Islaman
dalam berbagai segi yang menyangkut keluarga dan kemasyarakatan, pendidikan,
ekonomi, dan politik.
Seni adalah sesuatu yang bersifat abstrak, dapat dipandang, didengar dan disentuh oleh
jiwa tetapi sulit dinyatakan melalui kata-kata. Sukar untuk mentakrifkan seni secara tepat
sesukar untuk menerangkan konsep keindahan dan kesenangan itu sendiri. Al-Farabi
menjelaskan bahwa seni adalah ciptaan yang berbentuk keindahan. Al-Ghazali juga
menjelaskan bahwa seni adalah kerja yang berkaitan dengan rasa jiwa manusia yang sesuai
dengan fitrahnya.
Menurut perspektif Islam, daya kreatif seni adalah dorongan atau desakan yang
diberikan oleh Allah yang perlu digunakan sebagai bantuan untuk
‘memeriahkan/mensyiarkan’ kebesaran Allah. Berseni haruslah beralamatkan kepada perkara-
perkara makruf (kebaikan), halal, dan berakhlak. Jiwa seni mestilah ditundukkan kepada
141
fitrah asal kejadian manusia kerana kebebasan jiwa. Dalam membentuk seni hendaklah
menurut kesucian fitrahnya yang dikaruniakan Allah. Fungsi seni lebih kurang sama dengan
akal supaya manusia menyadari keterkaitan antara alam, Ketuhanan dan rohani atau dengan
alam fisikal. Lantas ia menyadari keagungan Tuhan dan keunikan penciptaan-Nya. Konsep
kesenian menurut perspektif Islam ialah membimbing manusia ke arah konsep Tauhid dan
pengabadian diri kepada Allah. Seni dibentuk untuk melahirkan manusia yang benar-benar
baik dan beradab. Motif seni beralamatkan kebaikan dan berakhlak. Selain itu, seni juga
seharusnya lahir sebagai satu proses pendidikan yang bersifat positif dan tidak lari dari pada
batas-batas syariah.
Ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk melarang, paling
sedikit dalam arti “memakruhkan” nyanyian, yaitu QS.17 (Al-Isra') :64, QS.53 (Al-Najm) :
59-61, dan QS.31 (Luqman):6. QS. 17 (al-Isra’): 64 tersebut adalah perintah Allah kepada
setan:
Artinya:
“Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) diantara mereka (manusia) dengan
suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan
kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka
kecuali tipuan belaka.” (QS.17:64).
Kata “suaramu” dalam ayat tersebut menurut sementara ulama adalah nyanyian. Tetapi
benarkah demikian? Membatasi arti “suara” dengan “nyanyian” merupakan pembatasan yang
tidak berdasar, dan kalaupun itu diartikan “nyanyian”, maka nyanyian yang dimaksud adalah
yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat ini. Dan suatu ketika ada nyanyian
yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini.
Artinya:
“Apakah kamu merasa heran terhadap pembentukan ini (adanya kiamat)? Kamu
menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu samidun (QS.53:59-60).
Kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti “dalam keadaan
menyanyi-nyanyi”. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun
digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian, tetapi dalam
kamus-kamus bahasa, seperti Mu’jam Maqayis Al-Lughah, dijelaskan bahwa akar kata
samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa
142
menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan serius atau tidak
mengindahkan selain apa yang dihadapinya.
Dengan demikian, kata samidun dalam ayat tersebut dapat diartikan lengah, karena
seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan
orang lain. Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI, kata samidun diartikan
seperti keterangan di atas, yakni lengah. Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti nyanyian,
maka nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang yang
menertawakan adanya hari kiamat, dan atau melengahkan mereka dari peristiwa yang
seharusnya memilukan mereka.
Ayat ketiga yang dijadikan argumen keharaman menyanyi atau mendengarkannya
adalah QS.31 (Luqman): 6 :
Artinya:
"Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa al-hadits (kata-kata yang tidak
berguna) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang menghinakan.”
(QS.31:6).
Artinya:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-
buruk suara ialah suara keledai.” (QS 31:19)
Imam Al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah
memuji suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik.
(Lihat Imam AL-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz IV Jilid II, hal 141).
Allah tidak hanya menciptakan langit, melainkan juga memeliharanya. Bukan hanya
hifdhon, tetapi juga zinatan (hiasan yang indah). Begitulah pernyataan Allah dalam QS.37
(Al-Shoffat): 6-7, dan QS. 41 (Fushshilat) :12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat
diperoleh darinya bukan sekedar “daging segar”, tetapi juga hiasan yang memperindah
penampilan seseorang. Dalam QS.16 (Al-Nahl) : 14 Allah berfirman:
Artinya:
“Dan kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS.16:6).
Artinya:
Telah pasti datangnya ketetapan Allah[818] Maka janganlah kamu meminta agar
disegerakan (datang) nya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan.(QS.:1).
Dalam QS.7 (Al-A'raf): 31 bahkan Allah memerintahkan umat manusia untuk memakai
pakaian yang indah ketika pergi ke masjid sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan" (QS.7:31).
Dalam hadis riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra. dikisahkan, katanya:
“Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar.
Maka Nabi saw bersabda yang artinya :
“Hai ‘Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang
Anshar senang dengan hiburan (nyanyian) (HR.Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz (lihat Imam Al-
Syaukani dalam Nailul Author, Jilid VI, hal 187).
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil
berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun
menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu) tentang
wanita."(HR.Ahmad)
Ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai
pada batas “bersaing” untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin
Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi saw:
“Sahabat Rasul Malik Mararah Al-Rahawi bertanya kepada Nabi saw : Wahai Rasul, Allah
telah menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang engkau lihat. Aku tidak ada
seseorang yang melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah yang
demikian merupakan keangkuhan? Nabi saw menjawab: Tidak. Keangkuhan adalah
meremehkan hak dan merendahkan orang lain.” (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Rasulullah saw sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau
memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu beliau naik ke mimbar,
namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya sedemikian kagum
dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi saw bersabda:
“Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata, kami sama sekali belum pernah
melihat pakaian yang lebih indah dari ini. Nabi bersabda : Sesungguhnya saputangan Sa’d
bin Mu’adz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat.”
145
Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya
tentang keindahan surgawi.
Secara umum kata atau term seni berarti ‘halus’(dalam rabaan) ‘kecil dan halus’, tipis
dan halus’, ‘lembut dan enak (didengar), ‘mungil dan elok’(tubuh), ‘sifat halus’. Secara
etimologis seni dapat didefinisikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu
yang bermutu tinggi (Kamus, 1990 : 816). Ukuran tinggi itu jika orang lain bisa mengatakan
indah, kagum, atau luar biasa terhadap ciptaan tersebut. Kata seni sering dirangkai dengan
kata lain, umpama budaya sehingga menjadi ‘seni budaya, ‘gelar seni budaya’. Pengertian ini
sebenarnya rancu karena seni itu sebenarnya merupakan satu unsur dari budaya. Dalam kajian
budaya, unsurnya yang mesti ada mencakup tujuh hal, yaitu: sosial, politik, bahasa, agama,
ekonomi, seni, dan eistetika. Seni budaya sebenarnya hanya seni itu sendiri atau bagian dari
seni, dan biasanya secaara praktis terbatas pada seni tari, seni suara, seni panggung, atau
gabungan dari ketiga seni itu seperti kalau kita mendengar sebuah pernyataan “Saputra dan
kawan-kawannya menjadi duta seni budaya Indonesia ke berbagai manca negara”. Apa yang
mereka lakukan di luar negeri atas nama bangsa Indonesia hanya menggelar seni dalam
panggung di hadapan pemirsa.
Bolehlah dikatakan bahwa Islam ‘ya’ terhadap seni, tetapi seperti apa? Jawaban
pertanyaan ini dapat dijelaskan dalam dua level, operasional dan konsepsional tentang seni.
Inti ajaran Islam dalam rumusan verbal dan perbandingan antar agama-agama adalah Tauhid.
Essensi tauhid adalah meng-Esa-kan Tuhan, bukan hanya dalam level keyakinan, melainkan
total kehidupan. Karena itu, fenomena apa pun yang berlabel Islam pasti dan harus berasal,
beroperasional, dan bermuara pada tauhid. Islam yang sumber ajaran pokoknya Al-Quran dan
Sunnah, kandungannya menyediakan pembentukan kebudayaan lengkap. Semuanya
terbawahkan oleh posisi tauhid. Tauhid berada di puncak piramida sesuatu yang disebut Islam.
Atas dasar alur pikir ini maka mendevinisikan seni Islam kiranya dapat dipahami. Seni Islam
dapat didevinisikan sebagai segala produk historis yang memiliki nilai eistetis yang telah
dihasilkan oleh orang-orang Islam dan dalam kurun sejarah Islam, berdasarkan pandangan
eistetika Tauhid dan selaras dengan semangat keseluruhan peradaban Islam, dengan enam ciri
yang diambilkan dari ideal Al-Quran: abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi,
dinamis, dan rumit (Alfaruqi, l999 : vii-viii). Pertama-tama yang harus disadari dalam devinisi
ini adalah sifatnya yang aplikatif dalam arti mengabstraksi prestasi seni yang telah dicapai,
meskipun dapat juga dikenakan sebagai kerangka paradigmatik.
a). Abstraksi
Yang dimaksud ciri abstraksi dalam seni Islam adalah pengingkaran naturalisme dan
pencegahan menghadirkan fenomena natural dalam karya seni, khususnya adalah seni patung.
Kalau pun harus akan mencipta karya-karya figuratif alami harus diupayakan denaturalisasi
(Alfaruqi, 1999 : 8). Demikian inilah diagnosa pengamat seni Islam. Iqbal yang filosof dan
seniman (Syarif, 1973 : 99) menyarankan bahwa seni yang benar adalah seni yang bebas dari
belenggu alam (Darb-I Kalim : 115). Seni yang meniru alam dianggap pengemis di depan
146
pintu alam. Dalam idea Insan Kamil, Iqbal menggubah syair yang potongannya sebagai
berikut:
Thou dist Create night and I made the lamp
Thou dist Create cly and I made the cup
Thou dist Create desert, mountains, and forrests
I produce the orchards, gardens, and grocests
It is I who turneth stone into a mirror
And it is I who turneth passion into an antitode
(Audah, 1981: xvi, Danusiri, 1996 : 139, mengutip dari Iqbal)
Dalam bait tersebut nampak jelas bahwa hasil karya yang dikehendaki adalah sama
sekali baru dan orisinal, tidak duplikatif, tidak pula meniru dari yang sudah ada. Secara
kebetulan banyak teks hadis Nabi Muhammad yang mencela seniman yang berkarya secara
naturalis mulai tingkat rendah hingga amat berat, padahal hadis tersebut diyakini
kebenarannya secara mutlak oleh umat Islam karena memang itu juga wahyu. Diantara teks-
teks yang dimaksud adalah:
(1) Allah melaknat seniman naturalisme: ‘La’ana . . . almusawwir (Allah melaknat . . .
pematung/naturalis (H.R.Bukhari dari Ibnu Juhaifah).
(2) Malaikat menjauh dari rumah yang di dalamnya ada patung naturalis. Demikian sabda
Rasulullah yang artinya: Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di
dalamnya ada patung naturalis; (H.R.Bukhari dari Ibnu ‘Abbas). Hadis ini tercatat
hingga 49 kali.
(3) Pembuat patung naturalis akan disiksa : "Dan sesungguhnya orang yang membuat patung
(naturalis) akan disiksa besok pada hari kiamat" (HR.Bukhari dan Muslim)
(4) Siksaan, pada nomor tiga di atas amat pedih: "Sesungguhnya diantara yang amat berat
siksaannya adalah orang yang memahat menyerupai atau menyamai ciptaan Allah"
(HR. Bukhari dan Muslim).
(5) Pematung naturalis memang menjadi penghuni neraka: "Sesungguhnya sebagian
penduduk neraka besok pada hari kiamat untuk mendapat siksa yang amat berat adalah
para seniman naturalis" (HR. Muslim).
(6). Pematung naturalis dituntut untuk memberi nyawa atau menghidupkan hasil karyanya:
"Barang siapa membuat patung naturalis di dunia, ia dituntut untuk meniupkan roh di
dalamnya besok pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupnya" (H.R. Muslim dari
Ibnu ‘Abbas; atau beliau bersabda: “Hidupkanlah!”(HR.-Bukhari).
"jika kamu terpaksa harus membuat patung naturalis, maka buatlah pohon atau sesuatu lain
yang tidak bernyawa" (HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas).
" An artist may not know anything about the nature of art. The process of cration is often
incomprehensible to the artist. He created, and be creates in a particular manner, but very
often he can not explain why he work in a certain way and not other. He knows he is right; he
feels it in his hones that a thing should be just so that the least alternation would spoil it, but
for the life of him he can not give any clear and convincing reasons wich would be obvious to
critic" (Kalim, 1973 : 249).
Dalam kasus seperti ini sang seniman hanya menyadari bahwa tindakannya benar dan hasil
karyanya indah. Secara etis memang tidak ada masalah dengan hukum, artinya tidak haram
sepanjang ciri-ciri naturalisme tidak ada.
148
pengekangan individuasi bagi bagian-bagian penyusunannya. Ia juga mencegah modul
manapun dalam desain tersebut untuk lebih menonjol dibanding yang lain.
e). Dinamisme
Seni Islam amat dinamis atas dasar ruang dan waktu. Kombinasi antara keduanya, satu
dengan yang lain lebih mendominasi bisa saja terjadi sepanjang menghasilkan eistetika di
bawah siraman Islam.
f). Rumit
Detail yang rumit merupakan ciri ke enam sebuah karya seni Islam. Kerumitan
memperkuat kemampuan suatu pola Arabeks untuk menarik perhatian pengamat dan
mendorong konsentrasi kepada entitas struktural yang dipresentasikannya. Sebuah garis atau
figur, selembut apa pun diolah, tidak akan pernah menjadi satu-satunya ikon dalam rancangan
seni Islam. Hanya dengan multiplikasi elemen-elemen internal serta peningkatan kerumitan
penataan dan kombinasi, akan dapat dihasilkan dinamisme dan momentum pola infinit.
Ke enam ciri tersebut harus selalu ada dalam sebuah karya seni Islam, sifatnya
situasional tergantung macam apa sebuah karya seni hendak dicipta. Dan, ciri-ciri tersebut
secara umum kiranya, dalam tampilan praktis, bukan monopoli seni Islam. Ke enam ciri ini
akan lebih menjadi ciri-ciri yang benar-benar hakiki jika indahnya sebuah karya seni muncul
dari pandangan Tauhid atau keindahan yang dapat membawa kesadaran transendensi Ilahiah
(Alfaruqi, l999 : vii).
Sekurang-kurangnya terdapat dua aliran besar dalam seni, yaitu seni untuk seni (the art
for the art) dan seni untuk sesuatu (the art for the others).
"Aku diutus hanyalah utuk menyempurnakan kebaikan akhlak" (HR. al-Laisi dari Malik bin
Anas).
Suatu hal lain menjadi kelemahan doktrin seni untuk seni adalah menyaksikan alam
semesta, yang menurut pandangan iman adalah refleksi karya Agung Sang Maha Pencipta,
dipandang sebagai sesuatu yang statis dan tidak bermakna karena lepas dari sensasi-sensai
keindahan dari sang seniman. Flaubert si pendukung mazhab ini amat membenci kenyataan.
Keindahan pegunungan Alpen tidak menimbulkan daya tarik baginya. Baudelaire menatap
alam dalam penampakan keasliannya, ia pandang sebagai sesuatu yang monoton dan
menjemukan. Menurutnya, seni harus berhubungan nilai absolut dan tertinggi, yaitu dipakai
untuk menggantikan filsafat dan agama (Syarif, l984 : 116). Kalau sudah sampai tahap begini,
seniman tidak bisa menjadi filosof dan agamawan, demikian sebaliknya. Tidak pula ia
menjadi seniman yang berdoktrin “Seni untuk seni” secara setengah-setengah dan menjadi
agamawan atau filosof setengah-setengah. Menjadi agamawan setengah-setengah adalah fasiq
yang secara praktis adalah rusak. Bahkan, arti fasiq semula adalah sesuatu yang keluar dari
kulitnya atau keluar dari perlindungan. Fasiq dalam arti agama berarti keluar dari ketaatannya
pada Allah (Anis,II : 687). Kalau agama seniman yang menjunjung tinggi doktrin “seni untuk
seni” dan ia amat kuat dukungannya, sementara ia adalah seorang agamawan, boleh jadi ia
kurang kesadarannya terhadap agamanya. Dalam kasus Islam, agama ini menuntut kepada
pemeluknya supaya masuk ke dalam Islam secara total dan menyeluruh. Demikian seruan
Allah dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 228:
150
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan
janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata
bagimu" QS. 2 : 228)
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa ketika seseorang memeluk agama Islam
secara tidak totalitas, sisanya adalah pengikut langkah syetan. Dengan demikian seniman yang
menjunjung tinggi doktrin “seni untuk seni” hingga tahap menepikan filsafat dan agama
menurut pandangan Islam seni itu adalah seni syetan. Karena itu seniman yang bermazhab
“seni untuk seni” dan mereka ini memeluk agama, khususnya Islam, hendaklah bertaubat dan
pindah kepada paham seni yang fungsionalis-religius. Seandainya harus dicari manfaatnya
dari doktrin seni untuk seni sebenarnya masih ada, tetapi amat terbatas dan sifatnya terapiutik
yang dalam hasanah Froedian termasuk orang-orang gila yang asyik dengan dunianya sendiri
dan tidak hirau dengan dunia sekelilingnya. Segi positif yang lain adalah karya ciptaannya
selalu fres, orisinal, dan kreatif karena anti naturalisme. .
Islam sebagai salah satu agama besar dunia dan yang paling belakangan menyatakan
bahwa Al-Quran diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu. Dalam hal ini Allah berfirman
yang artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab untuk menjelaskan segala
sesuatu, Q.S. 16 : 138). Sudah barang tentu bukan dalam arti penjelasan teknis dan detail
yang diberikan oleh Al-Quran, melainkan hanya prinsip-prinsip dasarnya. Keluasan jangkauan
Islam ini diakui juga oleh Orientalis seperti H.A.R. Gibb dengan pernyataannya: “Islam is
much more than system of theology. It is a complite civilization”. Noor Cholish Madjid
menyatakan Islam sebagai agama doktrin dan peradaban. Point yang diperoleh dari premis ini
adalah Islam mengandung soal seni. Kandungan ini amat kecil barangkali sehingga amat
samar dan akibatnya sulit memotret secara jelas apa itu seni Islam, bagaimana umat Islam
mengapresiasi kesenian yang semuanya menjadi wacana yang hangat yang secara keseluruhan
atau sekurang-kurangnya secara mayor mencurigai seni.
Mengkaji Seni Islam selalu tertumbuk pada jalan buntu ketika hendak memasuki
wilayah kajian seni Islam. Di kalangan Islam terdapat pro dan kontra.
a. Hingga kini belumn ada lembaga apapun juga yang secara formal dan sistematis
melakukan kajian seni secara komprehensif, filosofis (eistetika atau filsafat seni Islam,
yang merumuskan batasan nilai keindahan sesuai dengan ajaran Islam), teoritik (sejarah,
struktur, dan klasifikasi: apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni muslim), praktik
(kajian tentang teknik-teknik perbidang), dan apresiatif (kritik seni yang mengkaji
perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat
muslim) yang mengatasnamakan lembaga seni Islam. Inti pendirian kelompok ini
menyatakan bahwa Seni Islam itu tidak ada, dan yang ada adalah orang Islam berseni.
b. Sebagian umat Islam atau bisa disebut seniman muslim bersemangat menunjukkan
berbagai dalil ‘aqliyah’ (rasional) bahwa Al-Quran sendiri mengandung nilai seni yang
amat tinggi dan demonstratif bahwa Musabaqah Tilawatil Qur’an digelar di mana-mana,
demikian juga seni kaligrafi Islam-Arab, maupun naqliyah (teks yang bersumber dari Al-
Quran maupun Sunnah (Alfaruqi, 1999: v-vi). Inti pendirian kelompok ini adalah seni
151
merupakan salah satu dari kandungan atau jangkauan Islam. Dalam bab ini tentu
dinyatakan bahwa seni Islam itu ada.
c. Seni lukis, Pahat, atau Patung
Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara tentang patung
pada tiga surat Al-Quran.
a. Dalam QS.21 (Al-Anbiya’) : 51-58 diuraikan tentang patung-patung yang disembah oleh
ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Sikap Al-Quran terhadap patung-patung itu, bukan sekedar
menolaknya, tetapi merestui penghancurannya, sebagaimana firman Allah dalam QS.21 (Al-
Anbiya') : 58:
Artinya:
“Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang
terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya)
kepadanya.” (QS.21:58).
Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim di atas, yaitu
bahwa beliau menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar. Membiarkan satu di
antaranya dibenarkan, karena ketika itu berhala tersebut diharapkan dapat berperan sesuai
dengan ajaran tauhid. Melalui berhala itulah Nabi Ibrahim membuktikan kepada mereka
bahwa berhala, betapapun besar dan indahnya, tidak wajar untuk disembah. Dalam QS.21
(Al-Anbiya') : 63-64 Allah berfirman:
Artinya:
“Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya (penghancuran berhala-berhala
itu). Maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka kembali
kepada kesadaran diri mereka, lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kalian semua adalah
orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)” (QS.21: 63-64).
Sekali lagi Nabi Ibrahim tidak menghancurkan berhala yang terbesar pada saat berhala
itu difungsikan untuk satu tujuan yang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan
berhalanya, tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang diharapkan darinya.
b. Dalam QS.34 (Saba’) :12-13 diuraikan tentang nikmat yang dianugerahan Allah kepada
Nabi Sulaiman:
Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca,
marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca
tafsirnya menyangkut ayat tersebut). Di sini, patung-patung tersebut, karena tidak disembah
atau diduga akan disembah, maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai
sebagai bagian dari anugerah Ilahi.
Dalam QS.3 (Ali ‘Imran) : 48-49 dan QS. 5 (Al-Maidah) :110 diuraikan mukjizat Nabi Isa
antara lain adalah menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya,
kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah, sebagaimana firman Allah
dalam QS.3 (Ali Imran) : 49:
Artinya:
Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku
telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, Yaitu aku
membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, Maka ia
menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak
dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan
seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu Makan dan apa yang kamu simpan
di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran
kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman (QS.3:49).
Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena faktor syirik tidak
ditemukan, maka Allah membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan
demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya, melainkan karena
kemusyrikan dan penyembahannya.
Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah
berfirman dalam QS.7 (al-A'raf) 74:
Artinya:
“Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa)
sesudah kaum ‘Ad, dan memberikan tempat bagimu di bumi, kamu dirikan istana-istana di
153
tanah yang datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat kerusakan.”
(QS.7:74).
Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli dalam bidang ini
sampai-sampai relief yang mereka buat demikian indah bagaikan “sesuatu yang hidup”,
menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman, maka kepada
mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan ‘keahliannya” itu, yakni keluarnya seekor
unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta itu makan dan
minum (QS Al-A’raf, 7:73 dan QS Al-Syu’ara, 26:155-156), bahkan mereka meminum
susunya. Ketika itu relief-relief yang mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding dengan
unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka
tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan
palu godam terhadap mereka (Baca QS 91:13-15). Yang digaris bawahi di sini adalah pahat-
memahat yang mereka tekuni itu ialah nikmat Allah yang harus disyukuri, dan harus
mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah. Allah sendiri
yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian mereka itu, pada hakikatnya
merupakan “Seniman Agung” kalau istilah ini dapat diterima.
Dalam hal sikap Islam terhadap seni pahat atau patung, Syaikh Muhammad At-Tahir bin
Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman
menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam
memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah daging dalam jiwa orang-
orang Arab serta orang-orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-
patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut bukan karena dalam patung
terdapat keburukan, tetapi karena patung tersebut dijadikan sarana bagi kemusyrikan. Atas
dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang melarang menggambar atau melukis dan
memahat makhluk-makhluk hidup.
Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang
dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta
mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka Sunnah Nabi
mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah
yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad ‘Imarah dalam bukunya Ma’alim
al-Manhaj a-Islami yang penerbitannya disponsori oleh Dewan Tertinggi Da’wah Islam, Al-
Azhar bekerja sama dengan Al-Ma’had Al-‘Alami lil Fikr al-Islami (International Institute for
Islamic Thought).
Sejarah kehidupan Rasulullah membuktikan bahwa beliau tidak melarang nyanyian
yang tidak mengantar kepada kemaksiatan. Bukankah sangat populer di kalangan umat Islam,
lagu-lagu yang dinyanikan oleh kaum Anshar di Madinah dalam menyambut Rasulullah ?
Memang benar, apabila nyayian mengandung kata-kata yang tidak sejalan dengan ajaran
Islam, maka ia harus ditolak. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa dua orang wanita
mendendangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam
peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antara syairnya adalah:
“Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok..”
"Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara
pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah" (HR. Ahmad).
Bukankah semua ini menunjukkan bahwa “menyanyikan” Al-Quran tidak terlarang, dan
karena itu menyanyi secara umum pun tidak terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak
sejalan dengan tuntunan Islam. Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab?
Ataukah harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas jawabannya adalah: Tidak.
Kesenian tidak harus berbicara tentang Islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung,
atau anjuran untuk berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang akidah. Seni
Islam adalah seni yang dapat menggambarkan wujud ini, dengan “bahasa” yang indah serta
sesuai degan cetusan fitrah. Seni Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi
pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan
sempurna antara kebenaran dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan Nami
Muhammad saw dengan sangat indah sebagai tokoh genius yang memiliki berbagai
keistimewaan. Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni yang
ditampilkannya adalah seni Islam, karena ketika menggambarkan hubungan beliau dengan
hakikat mutlak yaitu Allah, penggambaran itu tidak sejalan dengan pandangan Islam
menyangkut manusia. (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, hlm. 119)
Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh menggambarkan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana Anda berada. Anda boleh memadukannya
dengan apa saja, boleh berimajinasi karena lapangan seni Islam adalah semua wujud, tetapi
“sedikit catatan” yaitu jangan sampai seni yang Anda tampilkan bertentangan dengan fitrah
atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai, misalnya, pemaparan tentang
manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam
aspek debu tanahnya, tidak disertai dengan unsur ruh yang menjadikannya sebagai manusia.
155
Jika catatan ini diindahkan, maka pada saat itu pula, seni telah mengayunkan langkah untuk
berfugsi sebagai sarana dakwah Islamiyah.
Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran, bahkan melukiskan dengan sangat indah,
kelemahan-kelemahan manusia; gejolak nafsu birahi pun ditampilkannya, “Dan dirayunya
pemuda yang ada di rumahya, ditutupnya semua pintu amat rapat, sambil berkata “inilah
daku”. Sesungguhya dia telah bermaksud melakukan itu dan pemuda itu pun bermaksud…”.
Begitu sekelumit dari sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Allah dalam QS.12
(Yusuf) : 23-24) yang artinya:
Artinya:
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk
menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke
sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan
Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS.12:23-
24)
Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf as. punya keinginan yang buruk
terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata
dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Tetapi Al-Quran tidak larut dalam melukiskannya, karena ini dapat menghanyutkan, tetapi
juga dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu tanah manusia, kisahnya
dilanjutkan dengan menggambarkan kesadaran para pelaku, sehigga pada akhirnya bertemu
debu tanah dan ruh itu pada sosok kedua hamba Allah itu.
Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajaran-Nya dengan menyentuh seluruh
totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran,
antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi melalui
gambaran-gambaran konkret dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang
mencapai puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni untuk dakwah,
dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum memanfaatkan secara maksimal
apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan Al-Quran itu.
Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati manusia,
maka tentu tidak ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu digambarkan dalam bahasa
gerak dan mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh pengembangan,
karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam
segala hal, tetapi dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan dan nafas
penampilannya, kemudian setelah itu mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan
jiwa dan nafas tersebut dalam kreasi seninya. Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai
salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan
kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan seni dan
hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia,
156
menggambarkan akibat baik atau buruk dari satu pengalaman, maka pada saat itu, seni yang
ditampilkannya adalah seni yang bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya
dilukiskjan kelemahan manusia dalam batas dan penampilannya yang tidak mendorong
kejatuhannya.
Al-Quran dan Sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah, berdialog, dan
bersambung rasa dengan manusia. Dan pada saat kita menikmati suatu lukisan yang “hidup”,
maka lukisan itu telah menjelaskan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh berbeda dengan
ungkapan Rasulullah saw ketika melukiskannya dengan bahasa lisan : Gunung ini (Uhud)
mencintai kita dan kita pun mencintainya.
Memang Al-Quran, demikian juga Sunnah, sangat memperhatikan sisi “hidup” pada
penggambaran yang diberikannya. Perhatikan bagaimana Al-Quran melukiskan tanah yang
gersang sebagai tanah yang mati, dan tanah yang subur sebagai tanah yang hidup (QS Al-
Baqarah, 2:164). Bahkan, bagaimana Al-Quran melukiskan alam raya ini bagai sesuatu yang
hidup dan mampu berdialog sebagaimana dikisahkan dalam QS.41 (Fushshilat) : 11:
Artinya:
“Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan langit (ketika itu) masih merupakan
asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi,“Datanglah kamu berdua menurut
perintah-Ku suka atau tidak suka!” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati”
(QS. 41: 11).
Bahkan segala sesuatu yang hidup bertasbih kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam
QS. 17 (Al-Isra') : 44:
Artinya:
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya (Allah).
Tiada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.” (QS. 17:44).
Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup, bukan sekedar bertujuan
seni, tetapi untuk mengingatkan kepada manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup
dan memiliki kepribadian. Sehingga, manusia perlu menjalin hubungan “persahabatan”
dengannya, atau paling tidak alam raya perlu dipelihara, dijaga kesinambungannya serta
dilimpahkan kepadanya rahmat dan kasih sayang.
Iptek singkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kata ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang
157
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di (bidang pengetahuan) itu.
Pengetahuan berasal dari kata ”tahu” (mengerti) sesudah melihat (menyaksikan), mendengar,
atau mengalaminya sendiri. Pengetahuan itu akan menjadi suatu ilmu setelah disusun dan
dirumuskan secara sistematis. Dalam agama Islam istilah ilmu sangat dikenal, bahkan di
dalam Al-Quran kata ilmu dengan berbagai bentuknya disebutkan dengan berulang-ulang
sebanyak 854 kali. Kata ini digunakan berkaitan dengan arti suatu proses pencapaian
pengetahuan dan obyek pengetahuan.
‘Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alamun jamaknya a’lam
(bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya.
Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda
dengan ‘arafa (mengetahui), ‘arif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan).
Allah tidak dinamakan ‘arif, tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia Mengetahui),
dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu untuk Allah dalam hal-hal yang diketahui-Nya,
walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikanlah: ya’lamu maa fi al-arhaam
(Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), maa tahmil kullu untsa (apa yang
dikandung oleh setiap betina/perempuan), maa fi anfusikum (yang di dalam dirimu), maa fis
samawat wa maa fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khaainat al-‘ayun wa maa tukhfiy
ash-shuduur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga ‘ilm yang
disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia
unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin
dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan dalam QS.2 (Al-Baqarah) : 31 dan 32:
Artinya:
“Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya.
Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orag yang benar (menurut
dugaanmu). “Mereka (para malaikat) menjawab, “Maha Suci Engkau tiada pengetahuan
kecuali yang telah Engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS.2: 31-32)
Teknologi, adalah kemampuan teknik dalam pengertiannya yang utuh dan menyeluruh,
bertopang kepada pengetahuan ilmu-ilmu alam yang bersandar kepada proses teknis tertentu.
Sedangkan teknik adalah pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenanan
dengan hasil industri (bangunan, mesin dsb). Istilah teknik, berasal dari bahasa Yunani
teknikos, artinya dibuat dengan keahlian. Secara luas, teknik adalah semua manifestasi dalam
arti materiil yang lahir dari daya cipta manusia untuk membuat segala sesuatu yang
bermanfaat guna mempertahankan kehidupan. Dalam arti klasik, teknik adalah ilmu
pengetahuan dalam pengertian luas, yang bertopang kepada ilmu-ilmu alam dan eksakta yang
mewujudkan ilmu-ilmu: perencanaan, konstruksi, pengamanan, utilitas, tepat guna, dan
sebagainya dari semua bangunan teknik, sipil maupun militer.
Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian
banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat
sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang
158
memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan
berulang-ulang al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah
untuk manusia. Dalam QS.45 (Al-Jatsiyah) : 13 Allah berfirman:
Artinya:
“Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai anugerah) dari-Nya (QS.45:13).
Artinya:
“Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk, “(QS.87:2-3)
Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya. Hal tersebut difirmankan dalam
QS.13 (Al-Ra'du) :15:
Artinya:
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan
petang hari. (QS.13:15).
Benda-benda alam apalagi yang tidak bernyawa tidak diberi kemampuan memilih, tetapi
sepenuhnya tunduk kepada Allah melalui hukum-hukum-Nya, sebagaimana firman Allah
dalam QS. 41 (Fushshilat) : 11:
Artinya:
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit yang ketika itu masih
merupakan asap, lalu Dia (Allah) berkata kepadanya, “Datanglah (tunduklah) kamu berdua
(langit dan bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!” Mereka berdua berkata “Kami
datang dengan suka hati” (QS. 41:11).
159
Pada sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri hukum-hukum yang
berkaitan dengan alam raya, sebagaimana diinformasikan oleh Allah dalam QS.2 (Al-
Baqarah) : 31:
Artinya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! (QS.2:31).
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini
berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya. Adanya potensi itu dan tersedianya
lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap
perintah dan hukum-hukum Allah, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian
mengenai hukum-hukum tersebut. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi
untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Allah. Keberhasilan memanfaatkan alam
itu merupakan buah teknologi.
Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab. Ciri mereka antara
lain disebutkan dalam QS.3 (Ali ‘Imran) : 190-191:
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS.3:190-191)
Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab, yaitu tafakkur dan dzikir.
Kemudian keduanya menghasilkan natijah yang diuraikan pada ayat 195. Natijah bukanlah
sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak, melainkan melampauinya sampai kepada
pengalaman dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dapat ditambahkan
bahwa “khalq as-samawat wal ardh” disamping berarti membuka tabir sejarah penciptaan
langit dan bumi, juga bermakna “memikirkan tentang sistem tata kerja alam semesta”. Karena
kata khalq selain berarti “penciptaan”, juga berarti “pengaturan dan pengukuran yang cermat”.
Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada penciptaan teknologi
yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia.
Jadi dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Al-
Quran. Dalam QS.27 (Al-Naml) : 88 Allah berfirman:
160
Artinya:
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal, ia
berjalan sebagai jalannya awan. (begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh
tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS.27:88)
Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap
kehadiran dan Kemahakuasaan Allah, selain juga harus memberi manfaat bagi kemanusiaan,
sesuai dengan prinsip Bismi Rabbik. Teknologi dan hasil-hasilnya disamping harus
mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan bahwa manusia adalah
khalifah yang kepada-Nya tunduk segala yang berada di alam raya ini.
Artinya:
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami
turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di
antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu
malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang
sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.” (QS. 10:24).
Al-Qur`an memuji sekelompok manusia yang dinamainya “albab”. Ciri mereka antara
lain disebutkan dalam QS 3:190-191. Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non
materi, fenomena dan non fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dapat dilihat,
diketahui manusia pun tidak. Dalam QS.16 (Al-Nahl) : 8 Allah berfirman:
161
Artinya:
Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal[820] dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya (QS.16: 8)
Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah terbatas. Karena itu wajar
sekali Allah menegaskan dalam QS.17 (Al-Isra') :85:
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-
ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS.17: 85).
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa
neraka.” (QS. 3: 190-191).
Al-Qur`an ketika mula pertama diturunkan, telah menegur kekeliruan yang dilakukan
manusia. Selama di era kejahilan Tuhan-tuhan diciptakan dan disembah sebagai berhala.
Masyarakat tersentak ketika muncul suatu informasi bahwa “diri mereka” sendiri diciptakan
secara berproses dari segumpal darah kemudian diciptakan menjadi manusia, lalu lahir ke
dunia. Agar mereka belajar, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
membaca, mencoba, memperhatikan, menyelidiki dan merumuskan suatu teori. Kesemuanya
hendaklah dilakukan dengan berbasis iman, dengan menyebut nama Tuhan atau mengucap
“bismi rabbika allazi khalaq” (Membaca dan belajar dengan nama Tuhanmu Yang
Menciptakan), sebagaimana firman-Nya dalam QS. 96 (Al-'Alaq) : 1-5:
162
Artinya:
”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (QS 96:1-5).
Tuhan mengajar manusia (wa `allama Aadamal asma-a kullaha), mengajari Adam nama-
nama benda seluruhnya. Alam semesta ini sebagai kosmos yang berarti “serasi, harmonis.”
Dalam bahasa Arab “alam” adalah satu akar kata dengan ilmu (ilmu pengetahuan) dan
`alamah (alamat, pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya
Yang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu sebagai pertanda adanya Tuhan,
jagad raya ini disebut ayat-ayat yang menjadi sumber ajaran dan pelajaran bagi manusia.
Salah satu pelajaran dan ajaran yang diambil dari pengamatan terhadap alam semesta ialah
keserasian, keharmonisan dan ketertiban.
Hakikat kosmos adalah teologis, yakni penuh maksud, memenuhi maksud penciptanya,
dan kosmos bersifat demikian adalah karena adanya rancangan (teknologi). Alam tidaklah
diciptakan dengan sia-sia, atau secara main-main. Alam bukanlah ada secara kebetulan, ada
dengan tidak disengaja. Alam diciptakan dengan kondisi sempurna sebagaimana firman Allah
dalam QS.21 (Al-Anbiya') : 16:
Artinya:
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya
dengan main-main.” (QS 21:16).
Al-Qur’an sangat konsen dalam mendorong manusia untuk terus mencari ilmu
pengetahuan dan mengembangkannya menjadi nyata dalam teknologi agar manusia
menyadari akan kebesaran PenciptaNya. Apapun yang akan ditemukan oleh manusia dalam
kemajuan ilmu dan teknologi akan mengantar manusia pada suatu pengakuan terhadap
kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 41
(Fushshilat) : 53:
Artinya:
“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan
pada diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan
apakah tidak cukup Tuhanmu itu bagimu, bahwa Dia sungguh menyaksikan segala sesuatu.”
(QS 41:53).
Diantara ayat-ayat Al-Qur'an ada yang berbicara tentang teknologi khusus, seperti :
a. Teknologi Transportasi
Di dalam QS.16 (al-Nahl) : 8 Allah berfirman:
b. Teknologi Informasi
Dalam QS.96 (Al-'Alaq) : 4-5 Allah berfirman:
Artinya:
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (QS. 96:4-5)
c. Teknol\ogi Antariksa
Dalam QS.55 (Al-Rahman) : 33 Allah berfirman:
Artinya:
“Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”
(QS. 55:33).
Sunnah-sunnah Rasulullah saw yang menjelaskan tentang iptek sangat banyak karena
memang Islam sangat memperhatikan iptek. Karena itu hanya sebagian kecil saja yang dinukil
dalam tulisan ini, yaitu :
a. Dari Abud Darda` ra berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para
malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan
sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-
makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan
pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu
atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas
seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi
tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan
ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian
yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy no.2683, dan isnadnya
hasan, lihat Jami’ul Ushuul 8/6)
164
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu dia
menyampaikannya (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar, maka kadang-
kadang orang yang disampaikan ilmu lebih memahami daripada orang yang
mendengarnya.” (HR. At-Tirmidziy no. 2659 dan isnadnya shahih, lihat Jaami’ul Ushuul
8/18)
b. Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw beliau bersabda yang artinya:
“Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali
dari tiga hal: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih
yang mendo’akannya.” (HR. Muslim no.1631)
c. Adapun pahala menuntut ilmu Rasululllah saw. bersabda: “Orang yang menuntut ilmu
berarti menuntut rahmat; orang yang menuntut ilmu berarti menjalankan rukun Islam dan
pahala yang diberikan kepadanya sama dengan pahala para nabi.” (H.R. Ad-Dailami dari
Anas r.a).
d. Nabi Muhammad saw juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah pewaris
para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat dalam HR Abu Dawud.
e. Bahkan Nabi tidak tanggung-tanggung lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu
kabilah, :“Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang
‘alim.” (HR Thabrani)
f. Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu-waktu bisa
tersesat karena kurangnya ilmu. “Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah
seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).
g. Nabi Muhammad saw mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu. “Menuntut ilmu itu
wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir
hingga sampai ke liang lahat.”
h. Perintah untuk berguru sangat dianjurkan walaupun harus sampai kenegeri Cina. “Uthlubul
‘ilma walaw bishshiin”, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Hadits ini diriwayatkan dari
jalan Abu ‘Atikah Al Bashri, dari Anas bin Malik.
i. Apabila kamu melewati taman-taman surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya,
“Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi saw menjawab,
“Majelis-majelis taklim.” (HR. Ath-Thabrani)
j. “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke
surga.” (HR. Muslim)
k. Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan
purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
Dalam ajaran Islam, usaha pengembangan iptek merupakan bagian dari pengabdian
manusia kepada Allah, untuk meningkatkan kualitas ketakwaannya kepada Allah, sehingga
tidak ada kegiatan yang sia-sia atau yang hanya berakhir di kehidupan dunia ini semata.
Untuk meraih nilai pengabdian tersebut, pengembangan iptek harus memenuhi ketentuan sbb:
a. Niat karena Allah.
165
Karena menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang Islam, maka mengembangkan
iptek merupakan perwujudan ketaatan seorang muslim terhadap kewajiban tersebut. Niat
karena Allah dalam setiap usaha akan melandasi keikhlasan dan ketundukan pada aturan
Allah.
b. Mengintegrasikan pengetahuan yang disediakan oleh Allah dalam bentuk ayat-ayat kauniah
dan ayat-ayat tanziliah. Ayat kauniah adalah pengetahuan yang terhampar di alam
kehidupan dan ayat tanziliah adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw
berupa Al-Qur'an.
c. Berorientasi pada kemashlahatan umat manusia. Rasulullah saw mengingatkan bahwa
sebaik-baik manusia adalah orang yang paling tinggi kebaikannya terhadap orang lain.
Karena itu iptek jangan sampai menimbulkan kerugian bagi kehidupan umat manusia.
d. Menjaga keseimbangan alam. Kegiatan penelitian dalam rangka pengembangan iptek harus
memperhatikan keseimbangan alam, jangan sampai menimbulkan kerusakan yang dapat
mengganggu keseimbangannya yang justru akan merugikan manusia sendiri.
e. Menyadari bahwa iptek adalah hasil kerja manusia yang tidak dapat menghasilkan
kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak hanyalah datang dari Allah Yang Maha Mutlak.
karena itu kebenaran iptek harus diposisikan dibawah kebenaran mutlak yang ditunjukkan
oleh Allah.
Al-Qur’an sangat konsen dalam mendorong manusia untuk terus mencari ilmu pengetahuan
dan mengembangkannya menjadi nyata dalam teknologi agar manusia menyadari akan
kebesaran Penciptanya. Apapun yang akan ditemukan oleh manusia dalam kemajuan ilmu dan
teknologi akan mengantar manusia pada suatu pengakuan terhadap kebesaran dan kekuasaan
Allah sebagai Pencipta:
Manusia bukan hanya dituntut menguasai bumi, malah ditantang untuk menerobos
langit, dan manusia memang juga diberi potensi-potensi untuk keluar batas-batas bumi agar
dapat mengamati alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, Penciptanya. Di dalam
Al-Qur'an, Allah menantang makhluk-Nya, jin dan manusia:
Artinya:
”Wahai golongan jin dan manusia, jika kamu ingin menembus langit dan bumi, cobalah, tapi
kamu tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sultan. “(QS 55:33).
Perkataan “sultan” dalam kitab ayat tersebut memiliki arti “kekuatan”, dari masa ke
masa membawa makna yang terus berkembang. Kalau dulu mungkin diartikan sebagai sultan
(penguasa), sekarang ini arti harfiah “penguasa” dan “kekuatan” lebih dapat disumbangkan
oleh kekuatan dan kekuasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan iptek itu manusia telah
dapat mencapai tepian ufuk langit hingga sampai ke bulan, dan kini serta terus menerus tiada
henti manusia terus berupaya untuk menggapai cakrawala, ufuk langit yang lebih tinggi.
Sebaliknya menembus bumi dan langit tanpa teknologi akan sia-sia. Petani dengan alat
sederhana, seperti cangkul dan linggis umpamanya, seberapa dalamkah ia dapat menggali
menembus bumi. Paling dalam 10 sampai 20 m. Lebih dalam dari itu, manusia sudah mulai
memerlukan alat-alat yang lebih canggih, dan itu akan dapat dipenuhi melalui teknologi.
Dengan teknologi, manusia telah mampu menggali sampai jauh ke dasar bumi, malah ke
166
bawah dasar laut telah dibuat jalan kereta api, seperti terowongan yang menghubungkan
Inggris dan Prancis. Dengan teknologi manusia dapat mengirimkan robot-robot untuk
menyelidiki dasar laut. Malah ada yang telah mengancang-ancang ingin membuat
permukiman di dalam laut. Manusia bukan hanya dituntut menguasai misteri bumi, melainkan
juga diberi potensai-potensi ke luar batas-batas bumi guna menemukan dan meyakini
kebesaran Allah yang telah menciptakannya: “Wahai golongan jin dan manusia jika kamu
sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, silakan lintasi, tapi kamu tidak akan
dapat melintasinya kecuali dengan sulthan (kekuatan)”.(QS 55:33). Penundukan Allah
terhadap alam raya bersama potensi yang dimiliki manusia bila digunakan secara baik akan
menimbulkan teknolgi. Karena itu teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus
mengingatkan manusia kepada Allah Pencipta alam semesta ini, juga memberi ingat agar
manusia menyadari bahwa ia adalah khaaliah Allah yang dapat menundukkan alam semesta
atas izin Penciptanya.
Al-Qur`an menyodorkan kepada manusia dengan pedoman sains-sains (pengetahuan)
yang berhubungan dengan pengetahuan bumi dan pengetahuan angkasa luar dan memberinya
dengan perlengkapan-perlengkapan agar memperoleh dan menyelidiki segala sesuatu demi
membuka dan membedah urai akan materi-materinya. Cara demikian yang mendorongnya
memperoleh segala sesuatu yang dapat dimungkinkan di dunia dan menggunakannya demi
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dengan teknologi, Tuhan menganjurkan kepada
jin dan manusia untuk mencoba meningkatkan kemampuannya supaya dapat menjelajahi
jarak-jarak yang sangat jauh dan yang sulit sekali ditempuh, kemana saja, yang termasuk juga
ke langit. Untuk menjelajah angkasa luar manusia telah menemukan teknologi antariksa, yaitu
suatu ilmu teknik dalam arti luas yang bertujuan memperoleh manfaat dari penempatan
peralatan, dan kesanggupan manusia untuk mengarungi dan bertempat tinggal di antariksa.
Dengan kapal udara dan jet, manusia dapat melesat dengan cepat menembus cakrawala,
menggapai langit dan luar angkasa. Malah sudah dikirim pesawat tanpa awak penjelajah
pelanet-planet yang dikirim selama bertahun tahun yang lalu sampai sekarang. Secara aktif
pesawat-pesawat tanpa awak itu mendeteksi dan mengirimkan berbagai informasi yang
direkamnya dari angkasa luar.
Setelah manusia diciptakan Allah tidaklah dibiarkan dalam kebodohan sehingga
makhluk ini mengembara di atas bumi dengan tidak berdaya. Tapi, Tuhan Yang Maha
Pengasih telah melimpahkan potensi berupa akal dan qalbu, diajarkannya untuk memahami
elemen-elemen alam lalu menyelidiki dan menggunakan benda-benda yang terpendam dalam
bumi dan yang tersebar di langit demi memenuhi kebutuhannya. Nama-nama benda telah
memberikan indikasi tata-nama lewat manusia yang dapat melihat dan mengerti tentang alam
serta karakteristik-karakteristiknya, dari segala benda-benda (segala sesuatu). Yang demikian
itu adalah jelas-jelas merupakan penghargaan yang sangat tinggi bagi manusia:
Manusia mulai berpikir dari apa yang telah diberikan kepadanya berbagai kekuatan dan
kemampuan untuk lebih mendalami rahasia-rahasia dunia fisik. Siapakah sebenarya yang
memberikan kekuatan dan kemampuan kecerdasan manusia untuk menguasi benda-benda
material dan memanfaatkannya demi mencukupi kebutuhannnya sendiri? Ini semua untuk
memberikan keuntungan, dari Allah, bahwa manusia diharapkan mampu mengemban amanah
sebagai khalifah-Nya di atas bumi.
Ingatlah “iqra’ bismirabikalladzi khalaq” (bacalah dengan nama Tuhanmu yang
Menciptakan", bukan Tuhan-tuhan yang diciptakan dan bukan pula tuhan yang tak mampu
menciptakan sesuatu). Itulah tempat manusia tunduk, bukan kepada alam dan segala yang
diciptakan. “`Allama bil-qalam” (yang mengajar dengan qalam). Apakah arti qalam? Makna
qalam terus berkembang dari zaman ke zaman, mulai dari alat tulis sederhana, sampai arti
qalam di abad modern ini, seperti: mesin tik, komputer, mesin-mesin percetakan, cetak jarak
jauh, internet, dan kini yang mengagumkan adalah hand-phone dengan aneka fungsinya yang
terus berkembang. “Qalam” adalah alat tulis dan alat rekam, sebagai lambang teknologi,
167
karena sesungguhnya Tuhan bisa saja mengajar manusia bukan dengan cara biasa seperti
umpamanya ia mengajar para nabi dan orang-orang tertentu tanpa alat. Tapi Tuhan hendak
memberi pengertian kepada manusia, bahwa dengan alat manusia akan dapat menguasai alam
dan menciptakan peradaban yang lebih maju.
Dari wahyu pertama ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra’ bismi
Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan
akhirnya, haruslah karena Allah. Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi
Al-Azhar, memahami “Bacalah demi Allah” dengan arti untuk kemashlahatan makhluk-Nya.
Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhkan Allah ?
Semboyan “Ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh Islam. Apapun
ilmunya, materi pembahasannya harus Bismi Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai
Rabbani, sehigga ilmu yang dalam kenyataan dewasa ini mengikuti pendapat sebagian ahli
“bebas nilai”, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan muslim. Umat Islam harus
menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi
tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah saw sering berdoa: “Wahai
Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”Atas dasar ini pula,
berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap rahasia alam metafisika, tidak boleh
dilakukan. Artinya, hatilah mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam metafisika.
Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam
raya, menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dari
alam raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama. Perhatikan misalnya ketika
Al-Quran menguraikan as-samawat wal ardh. Dalam QS.2 (Al-Baqarah) :164, penjelasan
ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya’qilun (sungguh terdapat tanda-tanda bagi
orang yang berakal). Sedangkan dalam QS.3 (Ali Imran) :190, ketika menguraikan persoalan
yang sama diakhiri dengan kalimat la ayatin li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi Ulil Albab atau orang-orang yang memiliki saripati segala sesuatu).
Inilah antara lain fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang alam raya, yang
darinya dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih
oleh mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang berpikir), (QS.10
(Yunus):24), ya’lamun (yang mengetahui), (QS.10 (Yunus):5), yatazakkarun (yang
mengambil pelajaran), (QS.16 (Al-Nahl) :13), ya’qilun (yang memahami), (QS.16 (Al-Nahl) :
12), yasma’un (yang mendengarkan), (QS.30 (Al-Rum) :23), yuuqinun (yang meyakini),
(QS.45 (Al-Jatsiyah) :4), al-mu’minin (orang-orang yang beriman), (QS.45 (Al-Jatsiyah) :3),
al’alimin (orang-orang yang mengetahui), (QS.30 (Al-Rum) :22).
Bagaimanakah hubungan antara agama dan ilmu, apakah tak berlawanan? Sama sekali
tidak! Dapat ditegaskan di sini bahwa tak pernah ada sarjana-sarjana muslim yang dibunuh
atau dipenjarakan seperti yang dialami Miklas Kopernigk (Latin: Nicolaus Copernicus) yang
mati merana pada tahun 1543 M, Giordano Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M, dan
Galileo Galilei yang mati merana di penjara pada tahun 1642 M (setelah dipaksa mengingkari
teorinya yang sejalan dengan teori Koppernigk) dibawah pengadilan iman (inquisition) Gereja
Roma. Atau seperti yang dialami oleh Miguel Serveto (Michael Servet) penemu peredaran
darah (dengan menukil dari Abu al-Hasan ‘Ali ibn an-Nafis, wafat 1288 M), yang dibakar
tahun 1553 M di bawah reformator Jean Calvin.
Sarjana-sarjana muslim bertolak dari Tauhid menganggap hukum-hukum alam sebagai
sunnatullah yang objektif, tertib dan teratur. Mereka tidak merancukan kepercayaan dengan
metoda pembahasan ilmiah atau memutarbalikkan fakta-fakta. Khurafat memang dilarang
oleh Islam. Mereka tidak dibelenggu oleh kedunguan-kedunguan gambaran alam semesta
yang dipunyai Ptolemaios dan dilindungi oleh gereja berdasarkan nash-nash kitab Kejadian
168
(1:6-8; 1:14-19 dan Kitab Yushak 10-12), Perjanjian Lama. Segala kesimpulan objektif tak
pernah berlawanan dengan Al-Quran dan Sunnah, bahkan Al-Quran mereka anggap selalu
memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah mereka.
Islam menjadi ahli waris pusaka kecendekiaan semua peradaban besar sebelumnya,
kecuali peradaban besar Timur Jauh, serta Islam menjadi sebuah tempat belindung di sebuah
jagat ruhani baru. Pasal ini haruslah diulangi, khususnya karena sekian banyak orang di Barat
keliru mengira, bahwa Islam hanya bertindak sebagai sebuah jembatan yang dilalui oleh
gagasan-gagasan masa purba diserahkan kepada Eropa abad-abad tengah. Sebetulnya tiada
sesuatu pun yang lebih jauh dari kebenaran, karena tak ada gagasan, teori, atau ajaran
memasuki benteng pikiran Islam, kalau tidak lebih dahulu dimuslimkan dan diutuh padukan
ke dalam pandangan dunia Islam yang menyeluruh. Apa pun juga yang tak dapat mengikat
perdamaian (salam) dengan Islam, lambat laun terusir dari gelanggang kehidupan cendekia
Islam atau sepenuhnya dibuang ke tepi permadani warna-warni ilmu pengetahuan Islam.
Tertarik oleh metoda ilmiah Islam seorang Katholik Roma anggota Ordo Fransiskan
dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292) datang belajar bahasa Arab ke Paris antara
tahun 1240 dan 1250 serta antara 1257 dan 1268. Di sana terdapat banyak terjemahan buku-
buku ilmiah Islam ke dalam bahasa Latin dan juga naskah-naskah asli di dalam bahasa Arab.
Ada juga terdapat orang-orang Perancis yang pandai berbahasa Arab disamping mungkin
terdapat pula orang-orang muslimin Spanyol yang bekerja sebagai penerjemah.
Dengan modal bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari ilmu pasti dan ilmu
pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana Kristen lainnya pada masa itu. Dengan
membawa sejumlah besar buku-buku ilmiah Islam dari Paris kemudian antara tahun 1250 dan
1257 ia pulang dan melanjutkan pelajaran bahasa Arabnya pada Universitas Oxford. Beberapa
buah karya sarjna-sarjana muslim di antaranya Al-Manazhir karya ‘Ali al-Hasan ibn Haitam
(965-1038 M) diterjemahkannya ke dalam bahasa Latin, bahasa ilmiah Eropa pada masa itu.
Di dalam naskah-naskah tersebut terdapat keterangan-keterangan mengenai mesiu dan
mikroskop. Secara tak jujur ia mencantumkan namanya sendiri pada terjemahan-terjemahan
itu dan dengan demikian melakukan plagiat terang-terangan. Hal itu sama sekali berlainan
dengan yang dilakukan kaum muslimin dengan menerjemahkan karya-karya Phytagoras (±
530 - ± 495 pra-M), Plato (425 – 347 pra-M), Aristoteles (388-322 pra-M), Aritarchos (310-
230 pra-M), Euclides (lahir ± 330 pra-M) dan Klaudios Plotemaios (87-168 M) dan lain-lain
dengan menyebutkan pengarang-pengarang aslinya.
Kira-kira empat abad kemudian seorang Ingris lain bernama Francis Bacon (1561-1627)
menyebarkluaskan teori induksi dan percobaan-percobaan (experiment) ilmiah atau
empirisme ilmiah di dalam karya-karyanya The Advancement of Learning (1605), Novum
Organum (1620), De Augmentis Scientiarum (1623), Sylva Sylvarum (1624) dan New
Atlantis (1624). Dengan adanya penemuan cetak buku (1450) oleh Johann Gutenberg (1400-
1468-an) buku-buku tersebut telah dicetak dan sekalipun dibakar oleh gereja, sebagian dapat
diselamatkan dan kemudian dicetak ulang. Demikianlah Dunia Barat yang buta mengenai
asal-usul apa yang disebut Baconian philosophy itu kemudian telah mengasalkan (ascribed)
metoda ilmiah kepadanya. Barulah atas dasar metoda ilmiah itu kemudian ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang dengan pesat di Eropa dan Amerika Serikat. Kegiatan
menterjemahkan buku-buku ilmiah Islam sebenarnya memang telah dimulai oleh seorang
Perancis bernama Gerbert d’Aurignac (940-1003) ke dalam bahasa Latin, karena bahasa-
bahasa nasional belum lagi berkembang pada masa itu. Ilmu Gerbert yang bersekolah di
Catalonia, Spanyol Timur-Laut, pada masa itu demikian unggul dan menonjol, hingga di
kemudian hari ia menaiki tahta Paus sebagai orang Perancis pertama yang menjadi Paus
Sylvester II. Pengikutnya adalah Gerard de Cremona, lahir di Cremona, Lombardia, Italia
Utara. Ia tinggal di Toledo, Spanyol, dimana terdapat banyak kaum muslimin yang pandai
berbahasa Latin, di samping bahasa Spanyol. Dengan bantuan mereka ia telah selesai
menterjemahkan 92 buah buku ilmiah Islam ke dalam bahasa Latin, antara lain buku Al-Asrar
169
(Rahasia-rahasia) karya Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria Ar-Razi (Razes, Rases, atau
Rhazes, 866-926) dan karya dokter Abul Qasim Az-Zahrawi (w. 926) tentang metoda
pembedahan, serta buku Abu Muhammad Dhiyauddin Al-Baithar (Alpetragius, w. 1248)
tentang ilmu tumbuh-tumbuhan. Kebangkitan kembali (renaissance) pada abad ke-14,
reformasi abad ke-15, rasionalisme abad ke-17, dan pencerahan (aufklaerung, enlightenment)
abad ke-18, memancar karya-karya ilmiah kaum muslimin itu, tetapi telah terlepas dari
Tauhid serta berubah menjadi antroposentrik dan menjadi duniawiah (secularistic).
Uraian di atas, mengemukakan bahwa buku-buku filsafat dan ilmiah dilatinkan dari atau
melalui bahasa Arab diakui sendiri oleh sarjana-sarjana Barat. Dr. W.F. Stuterheim berkata,
“Tak perlu dikatakan betapa besar peranan mereka (kaum muslimin) di dalam menyimpan
perbendaharaan Yunani bagi Barat pada suatu masa ketika Barat belum lagi berminat
kepadanya.” Berkata pula A. Armitage, “Dengan jalan ini kadang-kadang pada abad ke-12
sarjana-sarjana Kristen-Eropa memperoleh pemilikan Almagest karangan Ptolemaios dan
karya-karya ilmiah Aristoteles belum lagi di dalam asli-asli Yunaninya, melainkan di dalam
terjemahan-terjemahan Latin dari Bahasa Arab.”
Di bidang ilmu alam jumlah penemuan-penemuan mereka lebih besar lagi. Kesimpulan
ringkas berikut membuktikan pentingnya suatu pengetahuan tingkat tinggi mengenai ilmu
alam teoretik khususnya mengenai optika dan mengenai penciptaan-penciptaan alat-alat
mekanika yang paling berguna; penemuan bahan-bahan kimia yang paling pokok seperti
alkohol, asam sendawa dan asam belerang; tindakan-tindakan hakiki seperti penyulingan
(distilasi); penerapan kimia kepada farmasi dan perdagangan, terutama pembuatan oksida-
oksida dari logam-logam, pembuatan kertas dari kain-kain usang yang mereka jadikan
pengganti papyrus, atau kertas sutera Tiongkok. Mungkin merekalah yang pertama kalinya
menggunakan pedoman untuk pelayaran; betapapun juga merekalah yang membawa
penemuan pokok ini ke bawah perhatian Eropa.
Pada akhirnya penemuan senjata-senjata api. Pada tahun 1205 ‘Amir Ya’qub di dalam
pertempuran Mahdiyya telah menggunakan artileri sebagai senjata terakhir; pada tahun 1273
Sultan Abu Yusuf pada pertempuran Sijilmasa (di Maroko Selatan) mempergunakan meriam-
meriam. Pada tahun 1342 dua orang Inggris, Lord Derby dan Lord Salisbury, hadir pada
pertempuran Algericas, yang dipertahankan dengan cara yang sama oleh orang-orang Arab.
Ketika musafir-musafir ini telah menyaksikan daya akibat mesiu, maka mereka bawa
penemuan ini ke negeri mereka. Karena merekalah orang-orang Inggris di Cressy
mempergunakannya empat tahun kemudian.
Di dalam ilmu kedokteran kaum Muslimin mengikuti pengarang-pengarang Yunani
serta kemudian membuat kemajuan-kemajuan yang sangat pesat. Hampir seluruh pengetahuan
kedokteran Eropa pada kurun Renaissance berasal dari mereka. Kemajuan yang paling
menonjol yang mereka capai di dalam ilmu kedokteran ialah di dalam pembedahan; pelukisan
penyakit-penyakit; material medica (bahan-bahan obat) dan farmasi. Mereka menemukan
sejumlah cara kerja yang banyak di antaranya: penggunaan air dingin pada typhus, pada
zaman modern muncul kembali setelah berabad-abad dilupakan. Materia medica berutang
budi kepada mereka mengenai banyak obat-obatan seperti kassia, daun sena Mekah (obat
pencahar), kelembak, buah asam, kamper, alkohol, ammonia, dan lain-lain. Merekalah
pencipta-pencipta farmasi yang sebenarnya. Kebanyakan preparat-preparat yang sekarang
masih dipakai diasalkan kepada mereka: sirop, emulsi. pomade, salep, air sulingan dan lain
sebagainya.
Ilmu bedah berutang budi mengenai perkembangannya yang pertama kepada orang-
orang Arab. Karya mereka dipergunakan sebagai dasar bagi pengajaran pada fakultas-fakultas
kedokteran sampai belum lama berselang. Pada abad ke-sebelas hitungan tahun kita, mereka
telah mengetahui pengobatan catarac dengan pengenceran atau ekstrak kristalin; lithonomi;
pengobatan perdarahan-perdarahan dengan membasahinya dengan air dingin; pemakaian
obat-obatan yang menggigit kulit; seton-seton dan pembakaran dengan api. Pembiusan, yang
170
penemuannya dianggap dari jaman modern, rupa-rupanya telah mereka ketahui. Memang
mereka berbicara tentang kegemaran mereka akan pembiusan sebelum melakukan
pembedahan-pembedahan, agar si sakit dapat ditidurkan, hingga muncul hilangnya kesadaran
dan daya rasanya. Mereka pun mempunyai kepercayaan yang tak tanggung-tanggung akan
ilmu kesehatan di dalam pengobatan kedokteran serta menaruh kepercayaan yang besar akan
alat-alat bantuan alam. Ilmu kedokteran yang dinanti-nantikan yang sekarang tampak-
tampaknya merupakan kata putus ilmu pengetahuan modern, bersoal jawab dengan cara yang
sama
Daftar Pustaka
172
Imarah, Muhammad, Dr., Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattanie, Islam dan Pluralitas
Perbedaan dan Kemajemukan dalam bingkai Persatuan, Jakarta : Gema Insani Press,
1999
Kaelany HD, Dr.MA., 2007, Islam Agama Universal, Jakarta: Midada Rahma Press.
_____, 2007, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Cet.2, Jakarta: Bumi Aksara
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900, Jilid 1. Jakarta:
Gramedia, 1987.
Maarif, A. Syafii, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988
Majelis Ulama Indonesia, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: 1991.
Mujilan, Drs., M.Ag., dkk, 2009, Sistem Evaluasi Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Departemen Agama RI
Mujilan, Drs, MA dan Dr. Nurwahidin, MA. MPK Pendidikan Agama Islam (Mahasiswa
Universitas Indonesia),Jakarta, Midada Press, 2013.
Nasution, Harun, 1995, Islam Rasional, Bandung: Mizan.
_____, 1978, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
_____, 1975, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1982.
_____, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafitipers, 1987.
Qaiyim, Ibn, Drs., Islam Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni, dalam Islam Agamaku,
Buku Teks UP, Midada Rahma Press, Jakarta, 2008.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Penerjemah KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dkk., Peran Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta : Rabbani Press, 2001
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: UGM Press, 1991.
Shafiyyurrahman, Syaikh, al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad
saw dari Kelahiran hingga Detik-detik Terakhir, Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi
Mahdi Fadulullah, Titik Temu Agama Dan Politik, Solo: Ramadhani, 1991.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
_____, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1999.
Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: GIP, 1996.
Tim Prima Pena, tth. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ttp : Gita Media Press.
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002
Van Hoeve, tth. Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, cet. Ke VI.
Zakky Mubarak Syamrakh, Dr. Menjadi Cendikiawan Muslim (Kuliah Islam di Perguruan
Tinggi), Jakarta, Yayasan Ukhuwah Insaniah, 2010.
173