Anda di halaman 1dari 18

Pengertian 

Kurikulum
Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang
beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di
suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. George
A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many
ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam
pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata
terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan
bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers.
Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has
changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to
learners under the auspices or direction of school.

Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa konsep
kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:

1. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam
bidang kurikulum dan pendidikan.
2. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang
didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
3. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu
rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan,
dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan
tertentu dari para peserta didik.

Sementara itu, Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian : (1) kurikulum sebagai
ide; (2) kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam
melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi pengajar; (4) kurikulum operasional yang
dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang
dialami oleh peserta didik; dan (6) kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

Teori Pendidikan dan Kurikulum
Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan
mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan
tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu : (1) pendidikan klasik;
(2) pendidikan pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.

1.Pendidikan klasik (classical education),

Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Essensialisme, dan
Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan
meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses.
Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para
ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai
peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima
informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu
kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-
ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.

2.Pendidikan pribadi (personalized education).

Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu.
Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari
kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan
pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan
pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan
tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey – memandang bahwa peserta didik merupakan satu
kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat
dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat
refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli
dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya
masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa,
yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model
kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari
lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih
menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),

3.Teknologi pendidikan,

Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik
tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda.
Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau
kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan
teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif
dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk
desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan
para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan
pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam
masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas
pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model
kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode
pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-
keterampilan dasar tertentu.

4.Pendidikan interaksional,

Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai
makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai
salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional
menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari
itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara
pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam
pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman
eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya
dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu
model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman,
hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja
sama untuk memecahkannya.
Landasan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan
pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan
kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan
yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum
yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri.
Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.

Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan
kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk
lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.

1.Landasan Filosofis

Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat
Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme,
progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran –
aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang
dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi
dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.

a.Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan
budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan
sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal
yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.

b.Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada
peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran
lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama
halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.

c.Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk
memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya
hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?

d.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik,
variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta
didik aktif.

e.Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban
manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada
progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan
sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari
terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan
dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak
diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam
praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih
mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun
demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran
landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.

2.Landasan Psikologis

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang
mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi
perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan
perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang
berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta
berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang
mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati
mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang
yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik
dalam pekerjaan pada suatu situasi“.

Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :


a.motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu
aksi.
b.bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.

Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau
pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang,
sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat
kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan.
Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh
lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan
karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik
peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat
kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5)
pertumbuhan dan perkembangan kognitif.

3.Landasan Sosial-Budaya

Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum
menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha
mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk
pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja
dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.

Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam
lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala
karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari
lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu
membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan
dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola
kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya
adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai
tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang
sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan
perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.

Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia
mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan
datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan
berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional
maupun global.

4.Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak
abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung
hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di
Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20,
pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil
menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh
pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada
pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai,
pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.

Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar
sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai
masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan
meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses,
memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap
ketidakpastian..

Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat
mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik
dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan
kelangsungan hidup manusia.

Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan
top-down the administrative model dan (2) the grass root model.

1. The administrative model;

Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling
banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator
pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya,
membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya,
terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu,
dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan
konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam
pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari
para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-
guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih
operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh
Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih
sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-
pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan
tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang
atau pejabat yang kompeten.

Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik,


administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena
datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam
pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan
beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The grass root model;

Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya
pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru
atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem
pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass
roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam
model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau
keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.
Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen
kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh
komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari
kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan,
pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.

Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga
penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya,
oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.

Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang
studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh
bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat
desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam
meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan
manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih


cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati
demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang
oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.

Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4)
organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa
dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.

A. Tujuan

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya
untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan
dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-
masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama.
Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan
menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can
manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide
education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common
destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke
dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah
atau satuan pendidikan tertentu.

Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.

1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya.

Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan
pendidikan.

Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi,
sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar :

1Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS

 Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya


 Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial
 Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
 Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di
tingkat lokal, nasional, dan global.

2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA

 Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan
sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
 Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu
ekonomi
 Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu
ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
 Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang
majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional

3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK

 Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
 Berwirausaha dalam bidangnya
 Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
 Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.

4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK

 Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya


 Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
 Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
 Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan
global.

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat
abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai
dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan
tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before”
(Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional
ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses
pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam
aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran
spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :

1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata
kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku
peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik
dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau
ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi
atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada
tingkat berikutnya.

Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat
yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada
pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau
aspek kognitif.

Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka
tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih
berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.

Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka
tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan
bekerja sama.

Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori
pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.

Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks
boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang
pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena
itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model
eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada,
sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .

B. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan
dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik
(perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama.
Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan
pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel
dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat
dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau
pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa
konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan
tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau
pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan
kurikulum.

Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan,
minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik
dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi
pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-
masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang
berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa
dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi
pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang
lebih kecil dan obyektif.

Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam
kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat
sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam
prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..

Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik
memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan
materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.

1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan
kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan
zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana
materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat
akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut
pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan
hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk
mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk
mengembangkan sendiri kemampuan mereka.

Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997)
mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :

1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.


2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian
menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis
sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut
sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur,
dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer
dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur
kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a)
pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e)
interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat
interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a)
sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin
dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi
tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

CStrategi pembelajaran

Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan
kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki
konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi
tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan
oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi
pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam
proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya
dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah
atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme.
Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik
itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan
kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan
mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan
rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.

Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam
bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika
kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan
sejenisnya.

Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan
guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi
peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar
dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan
berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.

Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan
kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat
penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis
masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis
dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau
media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of
learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan
belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap
strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran
dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi
pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat
melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.

D. Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam
mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah,
yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan
pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua
materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai
akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling
berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang
sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah
satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core
tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada
kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah
diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan
belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya
diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat
pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan
pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1)
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran
estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran
tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal
disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik
disediakan kegiatan pengembangan diri.

E. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui
kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be
defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja
kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya
terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu,
Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the
quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the
degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan
oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi
keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah
satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar
siswa.

Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip
pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and
valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”

Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu
dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk
mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk
mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain.
Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori,
interview, catatan anekdot dan sebagainya

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya
maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat
digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan
menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana
pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran,
memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari
Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)

Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum,
yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran
multivariasi.

Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input,
Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang
digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud
membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk
akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi.
Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu
: Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi
sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi
tersebut adalah, sebagai berikut :

1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang
akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang
bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang
dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan
materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang
digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar,
pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih
panjang.

Perubahan Kurikulum
Kenapa kurikulum harus berubah ? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang, ketika menanggapi
terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia. Jawabannya pun sangat beragam, bergantung pada
persepsi dan tingkat pemahamannya masing-masing. Sepanjang sejarahnya, di Indonesia telah mengalami
beberapa kali perubahan hingga ada kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri, ganti kurikulum”.

Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current
curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan
setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu.

Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah pertanyaan dan
perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko yang sangat besar, apalagi kalau
perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.

Namun dalam konteks KTSP, perubahan kurikulum pada tingkat sekolah justru perlu dilakukan secara terus
menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan secara radikal dan menyeluruh, namun
bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah.

Kita maklumi bahwa semenjak pertama kali diberlakukan KTSP yang terkesan mendadak, kegiatan
pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan “keterpaksaan” demi mematuhi ketentuan
yang berlaku, sehingga model yang dikembangkan mungkin saja belum sepenuhnya menggambarkan
kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai,
tentunya dibutuhkan perbaikan – perbaikan yang secara terus-menerus berdasarkan data evaluasi, hingga pada
akhirnya dapat ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata sekolah.
Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak awal memberlakukan
KTSP hingga ke depannya tidak pernah melakukan perubahan-perubahan apapun. Hampir bisa dipastikan
sekolah yang demikian, sama sekali tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.

Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah, seyogyanya di sekolah
dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas untuk memanage kurikulum di sekolah.
Memang saat ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya
dipegang oleh wakasek kurikulum). Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan tugas -tugas
yang hanya bersifat rutin dan teknis saja, seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan umum atau
kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain, mengimplementasikan, dan mengevaluasi serta
mengembangan kurikulum yang lebih inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan.

Dengan adanya Tim Pengembang Kurikulum di sekolah maka kegiatan manajemen kurikulum mungkin akan
jauh lebih terarah, sehingga pada gilirannya pendidikan di sekolah pun akan jauh lebih efektif dan efisien.

Pengelolaan Kurikulum Sekolah Kategori


Mandiri /Sekolah Standar Nasional
Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum nasional yang bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi untuk melayani
kebutuhan siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa.

Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan kurikulum nasional
yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum guna melayani kebutuhan peserta didik
tertentu yang berhak memperoleh pendidikan khusus. 2) ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan
peserta didik yang berhak memperoleh pendidikan khusus.

Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI dan SKL yang
berlaku secara nasional, sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan standar kompetensi sesuai
dengan standar nasional pendidikan.

Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu terlebih dulu
melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi
dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur kreteria berikut ini : (1) Konsep dasar, (2) Konsep
yang menjadi dasar untuk konsep berikut, (3) Konsep yang berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering
muncul pada Ujian Akhir (Munandar, 2001).

Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan untuk diberikan secara
tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan dalam
bentuk kegiatan mandiri (Slameto, 1991).

Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi pelajaran yang digunakan dalam
penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang disusun satuan pendidikan dengan pengorganisasian materi
kurikulum dibuat menjadi materi umum/wajib dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai
dengan uraian di atas adalah kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit semester.

Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam satuan kredit semeser (sks).
Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mata pelajaran umum (MPU), mata pelajaran dasar (MPD),
dan mata pelajaran pilihan (MPP). MPU harus diambil oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan
pribadi yang memiliki akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa sebagai warganegara
yang baik. MPD harus diambil peserta didik sebagai landasan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. MPP adalah sejumlah mata pelajaran yang disusun menjadi program bidang tertentu yang dipilih
sesuai dengan minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi di perguruan tinggi. Namun, mata
pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh peserta didik yang telah memilih program lain untuk
memperkaya bidang karirnya.
Mengingat kemungkinan bervariasinya mata pelajaran yang dipilih peserta didik maka sekolah perlu menunjuk
petugas pengelola data akademik untuk mendata kemajuan belajar setiap peserta didik dan menyimpannya
dengan baik yang dapat dibuka kembali setiap diperlukan. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi
peserta didik yang pernah absen dan mengatur jadwal kegiatan remidial bagi peserta didik yang belum
mencapai kompetensi minimal yang ditetapkan.

Sekolah menunjuk guru sebagai petugas pembimbing akademik yang membina peserta didik maksimum 16
orang setiap guru. Guru pembimbing akademik bertugas membantu peserta didik memilih mata pelajaran yang
akan diambil pada suatu semester, memilih program jurusan, dan menyelesaikan persoalan akademik secara
umum serta menjawab pertanyaan akademik dari orang tua peserta didik yang menjadi binaannya. Peserta didik
yang pada suatu semester memiliki indeks prestasi (IP) tinggi maka pada semester berikutnya diberi
kesempatan untuk mengambil beban belajar lebih banyak sehingga dapat mencapai kebulatan studi dalam
rentang waktu kurang dari enam semester, dan sebaliknya.

Tentang Pengembangan Diri dalam KTSP


A. Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai
reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan
peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.

Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan
menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang
kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan
mencakup tiga komponen yaitu: (1) Mata Pelajaran; (2) Muatan Lokal dan (3) Pengembangan Diri.

Komponen Pengembangan Diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku untuk dikembangkan pada
semua jenjang pendidikan. Sebagai sesuatu yang dianggap baru, kehadirannya menarik untuk didiskusikan dan
diperdebatkan, Sejumlah pertanyaan banyak diajukan diantaranya saja : Apa hakekat Pengembangan Diri itu ?
dan Bagaimana pula pelaksanaan kegiatan Pengembangan Diri di sekolah ?

Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dipaparkan secara teoritik tentang hakekat pengembangan diri dan
beberapa alternatif pemikiran tentang pelaksanaan kegiatan pengembangan diri di sekolah, untuk dijadikan
sebagai salah satu bahan rujukan dalam kegiatan Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, sehingga kegiatan
Pengembangan Diri di sekolah lebih dapat dipertanggungjawabkan.

B. Hakikat Pengembangan Diri

Penggunaan istilah Pengembangan Diri dalam kebijakan kurikulum memang relatif baru. Kehadirannya
menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun dalam prakteknya. Jika menelaah literatur tentang
teori-teori pendidikan, khususnya psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat
disepadankan dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak dikenal.
Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality). Istilah diri dalam
bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari
kepribadian, yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari
atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture (gambaran diri),
sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the self (aku tak sadar) (Nana Syaodich
Sukmadinata, 2005). Menurut Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan
eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau rasional,
untuk membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia
luar.

Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada yang realistis atau justru
tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan
berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya, terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk memiliki
kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan menimbulkan
pribadi yang bermasalah. Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan seseorang
dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung melabrak norma dan etika standar yang
berlaku, serta memandang sepele orang lain. Selain itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki
sikap dan pemikiran yang over estimate terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat
menyebabkan seseorang cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian.
Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya namun
juga bagi lingkungan sosialnya.

Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam
bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya, sedangkan perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau
tidak senang akan keadaan dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri
(penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap
dan mencintai diri yang berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme.
Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan masochisme.

Disamping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang tidak realistis dan berlebihan,
serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat
menimbulkan frustrasi, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang
yang kurang memiliki cita-cita tidak akan mendorong ke arah kemajuan.

Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa (1971) mengemukakan tiga komponen tentang diri, yaitu
: (1) aku ideal (ego ideal); (2) aku yang dilihat dirinya (self as seen by self); dan (3) aku yang dilihat orang lain
(self as seen by others). Dalam keadaan ideal ketiga aku ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang
sehat, sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara ketiga aku tersebut merupakan
gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.

Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita bisa melihat arah dan hasil yang diharapkan dari
kegiatan Pengembangan Diri di sekolah yaitu terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta
didik yang realistis, sehingga peserta didik dapat memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.

C. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri

Secara konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 kita mendapati
rumusan tentang pengembangan diri, sebagai berikut :

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri
bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri
sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat
dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan
pengembangan karir peserta didik.

Berdasarkan rumusan di atas dapat diketahui bahwa Pengembangan Diri bukan merupakan mata pelajaran yang
harus diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan pengembangan diri jelas berbeda dengan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata pelajaran. Seperti pada umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk
setiap mata pelajaran dilaksanakan dengan lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas, sesuai
dengan alokasi waktu yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran reguler), di bawah tanggung
jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di bidangnya. Walaupun untuk hal ini dimungkinkan
dan bahkan sangat disarankan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna memperdalam
materi dan kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata pelajaran.

Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif),
melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah satunya dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan
ekstra kurikuler yang disediakan sekolah, di bawah bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina
dari unsur sekolah maupun luar sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler yang lazim
diselenggarakan di sekolah, seperti: pramuka, olah raga, kesenian, PMR, kerohanian atau jenis-jenis ekstra
kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan untuk pengembangan
diri.

Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang memiliki kompetensi di bidangnya, kegiatan pengembangan
diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar jam efektif yang bersifat temporer, seperti
mengadakan diskusi kelompok, permainan kelompok, bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang bersifat kelompok. Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan pengembangan
diri dapat dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk mengkaji buku,
mengunjungi nara sumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran dan
pengembangan diri siswa itu sendiri.

Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan diri bisa saja dilakukan secara
klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak dijadikan andalan, karena bagaimana pun dalam
pendekatan klasikal kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minatnya relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan dengan tujuan
dari pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang pengembangan diri di atas.

Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terjadi
pengurangan jumlah jam efektif setiap minggunya, namun dengan adanya pengembangan diri maka sebetulnya
aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang, siswa justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai
kegiatan pengembangan diri yang memang lebih bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di dalam ruangan
kelas.

Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan prinsip keragaman individu. Secara psikologis, setiap siswa
memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta karakateristik lainnya yang beragam. Oleh karena itu, bentuk
kegiatan pengembangan diri pun seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan.

Hal yang fundamental dalam dalam kegiatan Pengembangan Diri bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus
terlebih dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan minat, yang dapat dilakukan
melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori,
observasi, studi dokumenter, wawancara dan sebagainya).

Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling menjadi amat penting, melalui kegiatan aplikasi instrumentasi
data dan himpunan data, bimbingan dan konseling seyogyanya dapat menyediakan data yang memadai tentang
kebutuhan, bakat, minat serta karakteristik peserta didik lainnya. Data tersebut menjadi bahan dasar untuk
penyelenggaraan Pengembangan Diri di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat temporer, kegiatan ekstra
kurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri.

Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan Pengembangan Diri tidak identik dengan Bimbingan dan
Konseling. Bimbingan dan Konseling tetap harus ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di
sekolah dengan keunikan karakteristik pelayanannya.

Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah kemungkinan besar akan menggunakan
konsep baru menggantikan Pola 17 yang selama ini diterapkan. Ke depannya kemungkinan akan digunakan
konsep baru yang lebih dikenal sebutan Bimbingan dan Konseling Komprehensif dan Pengembangan
(Developmental and Comprehensive Guidance and Counseling), dimana layanan Bimbingan dan Konseling
lebih bersifat menyeluruh (guidance for all) dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis (clinical atau
therapeutical approach) akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan pengembangan (developmental
approach). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua pendekatan tersebut
adalah :

Pendekatan Pengembangan :

 Bersifat pedagogis
 Melihat potensi klien (siswa)
 Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
 Menggembirakan klien (siswa)
 Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
 Bersifat humanistik- religius
 Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
 Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif

Pendekatan Klinis (Model Lama):

 Bersifat klinis
 Melihat kelemahan klien
 Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
 Konselor serius
 Klien (siswa) sering tertutup
 Dialog menekan perasaan klien
 Klien sebagai obyek

Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi pengembangan, seperti layanan
Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok kiranya perlu lebih dikedepankan dan ditingkatkan lagi
dari segi frekuensi maupun intensitas pelayanannya.

Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak kegiatan sekaligus juga
banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian tersendiri. Namun
secara prinsip, bahwa pengelolaan dan pengorganisasian pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk
melayani seluruh siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai bakat, minat, dan
kebutuhannya masing-masing dan pengembangan diri menjadi wilayah garapan bersama antara komponen
pembelajaran dan komponen Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan keunikan tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing.

D. Kesimpulan

Pengembangan Diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari struktur Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta
didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian
yang sehat dan utuh.

Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun seyogyanya lebih banyak
dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer,
bersifat individual maupun kelompok.

Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik dan bimbingan dan
konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk mengidentikasi kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta
didik melalui kegiatan aplikasi instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan
pengembangan diri.

Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh
karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi nyata di
sekolah.

Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang banyak
mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan berlangsung, dikaitkan
dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah :

“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam cara hidup yang
berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada paksaan atau keharusan, ketekanan,
ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untuk
mendapatkan keterampilan itu. Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung,
kita akan mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki kedambaan
akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya duduk diam seperti kaum
penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin memandangi awan berarak melaju di atas Creag
Dhubh, atau mendengarkan suara rintik hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan
berhenti mengucur, itu semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan,
ide, harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…” (Combie
White, 1997).
Sumber Bacaan

Daeng Sudirwo. 2002 Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi Daerah. Manajerial. Vol .01.
No1:72-79
Deddiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur
Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung :
P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja
Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek

Anda mungkin juga menyukai