Anda di halaman 1dari 98

Jurnal

Kebidanan dan Keperawatan


Vol. 9 No. 1, Juni 2013 ISSN 1858-0610

Hubungan antara Stres Psikososial dengan Perilaku Merokok pada Remaja


Gani Apriningtyas B, Sumarni DW, Akhmadi 1-9

Pengaruh Home Visit terhadap Kemampuan Pasien dan Keluarga dalam Merawat
Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa
Mamnu'ah 10-18

Penerapan Budaya Keselamatan Pasien sebagai Upaya Pencegahan Kejadian


Tidak Diinginkan (KTD)
Ag. Sri Oktri Hastuti 19-28

Efektivitas Metode Perawatan Luka Moisture Balance Terhadap Penyembuhan Luka


pada Pasien Ulkus Diabetikum
Salia Marvinia, Widaryati 29-36

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Ekslusif


Risa Devita 37-46

Pemanfaatan Metadon pada Injecting Drug Users di Puskesmas Gedong Tengen


Yogyakarta
Herlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro 47-56

Gambaran Faktor-Faktor Kepatuhan Diet Lanjut Usia Penderita Hipertensi


Kurnianto Priambodo, Lutfi Nurdian Asnindari 57-64

Pengaruh Status Kepegawaian Terhadap Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap


Muhammad Saefulloh 65-73

Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS Mendapatkan Perawatan Keluarga:


Studi Fenomenologi
Suratini, Wiwin Wiarsih, Henny Permatasari 74-83

Hubungan Antara Kualitas Pelayanan Kesehatan Posyandu dengan Frekuensi


Kunjungan Ibu Balita
Rahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati 84-92
.
HUBUNGAN ANTARA STRES PSIKOSOSIAL DENGAN
PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA

Gani Apriningtyas B, Sumarni DW, Akhmadi


PSIK-FK UGM, Bagian Jiwa RSUP dr. Sardjito
E-mail: gani64171@gmail.com

Abstract: This research aims at determining the relationship between


psychosocial stress and smoking behavior in teenagers. This research is
a descriptive research with quantitative design (correlation analytic) and
cross sectional approach. The population was teenagers who were
identified as smokers. The samples were a number of 56 respondents
who were taken by using quota sampling technique. The instruments of
this research were a psychosocial stress questionnaire and smoking
behavior questionnaire. The result of the statistic test showed the signifi-
cance value on p 0.021 (p<0.05) in the positive correlation. Spearman-
Rank test showed the correlation value (r) on 0,308. The conclusion
was an association between psychosocial stress and smoking behavior
in teenagers but the correlation was not strong enough.

Keywords: teenagerssmoking behavior, psychosocial stress

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara


stres psikososial dengan perilaku merokok pada remaja. Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan analitik korelasi dan
pendekatan waktu cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah
65 siswa yang teridentifikasi berperilaku merokok dan diperoleh sampel
sebanyak 56 orang dengan quota sampling. Instrumen yang digunakan
adalah kuesioner stres psikososial dan angket perilaku merokok. Hasil
uji statistik menunjukkan nilai significancy (p) 0,021 (p<0,05), arah
korelasi positif, nilai korelasi (r) Spearman-Rank sebesar 0,308. Terdapat
korelasi antara stres psikososial dengan perilaku merokok pada remaja
dengan kekuatan korelasi lemah.

Kata kunci: perilaku merokok remaja, stres psikososial


2 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

PENDAHULUAN merokok dan cara pencegahan yang dapat


Di Indonesia, usia rata-rata bersen- dilakukan remaja. Melihat fenomena peri-
tuhan dengan rokok adalah pada saat usia laku merokok remaja yang semakin mening-
14-15 tahun. Dinyatakan bahwa 3 dari 10 kat, dan salah satu faktor penyebabnya ada-
pelajar (30,9%) merokok sebelum berumur lah stres, maka peneliti tertarik untuk meneliti
10 tahun. Hasil survei menunjukkan bahwa adakah hubungan antara stres psikososial
lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar SMP yang dialami remaja dengan perilaku
Indonesia pernah merokok (Hidayati, merokok.
2011). Hasil survei yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi DIY tahun 2006 METODE PENELITIAN
dan 2008 menunjukkan 18,7% remaja di Penelitian ini adalah penelitian kuan-
DIY adalah perokok aktif (Dinas Kesehatan titatif dengan analitik korelasi dan meng-
Provinsi DIY, 2010). Alasan merokok yang gunakan rancangan cross-sectional. Pene-
dikemukakan antara lain untuk meringankan litian dilakukan pada bulan Juni 2011 di
ketegangan dan stres sebanyak 54,59% dan SMP PGRI Kasihan Bantul. Populasi pene-
29,36% lainnya menyatakan untuk bersantai litian adalah siswa kelas VII dan VIII yang
(Tempo Interaktif, 2011). teridentifikasi berperilaku merokok yang
Individu dalam tiap tahap perkem- berjumlah 65 orang. Penentuan sampel se-
bangan remaja akan mengalami stres (Ibung, cara Quota Sampling. Sampel ditentukan
2008). Stres yang terjadi pada usia remaja dengan menggunakan tabel penentuan jum-
bermanifestasi dalam bentuk lari dari lah sampel yang menggunakan tabel Krejcie,
tanggung jawab dan melakukan perilaku dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (Sudi-
berisiko tinggi (Dwiyathitami, 2011). Salah yanto, 1998). Berdasarkan pedoman terse-
satu perilaku berisiko pada remaja yang di- but, sampel yang diperlukan dalam penelitian
lakukan adalah penggunaan rokok (Sadock ini berjumlah 56 orang. Kriteria inklusi pene-
& Saddock, 2003). Hal ini ditunjukkan oleh litian ini adalah siswa yang kooperatif, aktif
penelitian yang dilakukan pada siswa di mengikuti kegiatan belajar mengajar, dan
Malang mengenai hubungan stres dengan siswa yang teridentifikasi berperilaku
perilaku merokok menunjukkan terdapat merokok.
hubungan antara tingkat stres dan tingkat Instrumen penelitian berupa kuesioner
perilaku merokok (Rohman, 2009). Instrumen Penilaian Stres Psikososial (IPSP)
Berdasarkan hasil wawancara dengan dan angket perilaku merokok. Kuesioner
guru di SMP PGRI, sekolah belum pernah IPSP berisi 35 butir keadaan yang berlaku
mendapatkan penyuluhan mengenai rokok sebagai stresor dan 1 butir (butir ke 36) yang
ataupun bahaya merokok. Berdasarkan masih kosong untuk tambahan apabila ada
hasil studi pendahuluan, diketahui bahwa peristiwa lain yang belum disebutkan. Cara
dari 15 orang yang diduga merokok, 10 penilaian koesioner ini adalah dengan
diantaranya adalah perokok dan 5 dianta- memberikan bobot 0 jika tidak terganggu, 1
ranya mengalami stres psikososial. Perawat jika terganggu, serta 2 jika sangat terganggu
mempunyai peran serta tanggung jawab oleh peristiwa tersebut. Untuk objektifitas
dalam penanganan serta pencegahan peri- penilaian derajat beratnya stresor, maka
laku merokok pada remaja. Dalam hal ini, diberikan bobot yang berbeda pada tiap
perawat dapat berperan sebagai edukator peristiwa (Tabel 1). (Sudiyanto, 1998).
dimana perawat dapat memberikan infor- Penghitungan skor masing-masing
masi serta sosialisasi mengenai dampak butir adalah dengan mengalikan bobot butir
Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial... 3

dengan bobot perasaan responden terhadap HASIL DAN PEMBAHASAN


peristiwa, kemudian taraf beratnya stresor
ditentukan dengan menjumlah semua butir Karakteristik Responden
peristiwa yang ada. Stres psikososial kemu- Responden dalam penelitian ini terdiri
dian dikategorikan menjadi 0 tidak meng- dari 56 siswa perokok. Berdasarkan data
alami stres, (1-8) mengalami sedikit stres, karakteristik responden diketahui bahwa
(9-16) stres ringan, (17-24) stres sedang, sebagian besar responden adalah laki-laki
(25-33) stres berat, (34-40) stres sangat be- yaitu sebesar 83,93% (Tabel 2). Hasil ini
rat dan (>41) malapetaka (Asmara, 2004). sesuai dengan data WHO (2010), bahwa
Sedangkan perilaku merokok dikategorikan prevalensi merokok pada pria lebih tinggi
menjadi perokok ringan bila menghisap 10 dibandingkan dengan wanita. Pria sebesar
batang rokok atau kurang per hari, perokok 40%, sedangkan wanita (9%) dan jumlah
sedang bila menghisap antara 11 hingga 20 pria yang merokok untuk persentase 80%
batang rokok per hari, dan perokok berat mendekati satu juta orang.
bila menghisap lebih dari 20 batang rokok Pada tabel 2 terlihat bahwa responden
per hari. yang berperilaku merokok sebagian besar
(58,93%) berusia kurang dari atau sama
Tabel 1. Butir dan Bobot Peristiwa Stre- dengan 14 tahun. Sesuai dengan data survei
sor Psikososial pada anak sekolah yang berusia 13-15
tahun di Jakarta yang menunjukkan bahwa
Butir Bobot
lebih dari 20% anak adalah perokok tetap.
1-5 1 Alasannya karena remaja ingin mencoba hal
6-10 2 baru maupun pengaruh dari teman sebaya
11-15 3 (Astuti, Kustanti, & Hartini, 2009).
16-20 4
21-30 5 Tabel 2. Karakteristik Responden Ber-
dasarkan Jenis Kelamin dan
31-35 6
Usia

Instrumen ini telah diuji dan dapat digu- Karakteristik


Jumlah Persentase
nakan sebagai instrumen penelitian selan- Responden
jutnya. Nilai Cronbach-Alpha adalah Jenis Kelamin
0,9139 yang berarti instrumen (>0,6) ini Laki-laki 47 83,93
dinyatakan valid dan reliabel sehingga dapat Perempuan 9 16,07
dilakukan untuk pengambilan data (instru-
Total 56 100
men) pada penelitian ini (Sudiyanto, 1998).
Usia
Pengumpulan data dalam penelitian ini
≤14 tahun 33 58,93
adalah dengan cara mengambil data langsung
dari subjek penelitian. Dalam pengumpulan >14 tahun 23 16,07
data ini, peneliti dibantu oleh seorang asis- Total 56 100
ten. Data yang telah dikumpulkan ditabulasi
terlebih dahulu, dikelompokkan, dan kemu- Karakteristik responden berdasarkan
dian dianalisis dengan uji korelasi Spear- pekerjaan ayah diperoleh bahwa 50% ayah
man-Rank. responden bekerja sebagai wiraswasta.
4 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

Sedangkan berdasarkan pekerjaan ibu, Tabel 4. Karakteristik Responden Ber-


diperoleh bahwa sebagian besar ibu res- dasarkan Pendidikan Ayah dan
ponden merupakan ibu rumah tangga yaitu Pendidikan Ibu
sebesar 58,93% (Tabel 3).
Karakteristik Jumlah Persentase
Tabel 3. Karakteristik Responden Ber- Responden
dasarkan Pekerjaan Ayah dan Pendidikan Ayah
Ibu
SD 15 26,79
Karakteristik SMP 10 17,86
Jumlah Persentase
Responden SMA 27 48,21
Pekerjaan Ayah Akademi/Perguru- 4 7,14
Wiraswasta 28 50,0 an Tinggi
PNS/Polri/TNI 2 3,57 Total 56 100
Buruh Tani 18 32,14 Pendidikan Ibu
Lainnya 3 5,36 SD 15 26,79
Tidak Bekerja 5 8,93 SMP 15 26,79
Total 56 100 SMA 24 42,86
Pekerjaan Ibu Akademi/Perguru- 2 3,57
an Tinggi
Wiraswasta 13 23,21
Total 56 100
PNS/Polri/TNI 0 0
Buruh Tani 8 14,29
Lainnya 2 3,57
World Health Organization (WHO) yang
Tidak Bekerja 33 58,93 menunjukkan bahwa persentase perokok
Total 56 100 lebih besar terjadi pada kelas sosial ekonomi
rendah (28% wanita dan 32% pria) diban-
dingkan dengan yang terjadi pada kelas
Berdasarkan pendidikan ayah dan ibu sosial ekonomi tinggi (14% wanita dan 17%
menunjukkan bahwa keduanya sebagian pria) (WHO, 2010).
besar mempunyai pendidikan terakhir pada Melihat data Tabel 4, berdasarkan
jenjang SMA yaitu ayah sebesar 48,21% tingkat pendidikannya, diketahui bahwa
dan ibu sebesar 42,86% (tabel 4). orangtua responden, baik ayah maupun ibu,
Status sosial ekonomi dapat dilihat an- sebagian besar berpendidikan SMA. Hal ini
tara lain dari tingkat pendidikan dan peker- mempengaruhi tingkat pengetahuan orang-
jaan (Rohman, 2009). Dari data didapatkan tua terhadap bahaya merokok. Pengetahuan
bahwa sebagian besar responden memiliki individu terhadap bahaya merokok mempe-
orang tua dengan pekerjaan sebagai wira- ngaruhi perilaku merokok seseorang. Sema-
swasta (pedagang kecil/pedagang asongan) kin rendah tingkat pengetahuannya terhadap
dan buruh/tani dengan tingkat pendidikan bahaya rokok, maka akan semakin besar
terakhirnya adalah SMA. Dapat dikatakan risiko untuk melanjutkan perilaku mero-
bahwa sebagian besar responden berasal koknya (Ding dalam Putri, Dasuki, &
dari kalangan sosial ekonomi rendah. Data Hasanbasri, 2005).
Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial... 5

Gambaran Stres Psikososial Responden Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Perilaku


Merokok Responden di SMP
Tabel 5. Tingkat Stres Psikososial Res- PGRI Kasihan Bantul Tahun
ponden di SMP PGRI Kasihan Ajaran 2010/2011 Kelas VII
Bantul Tahun Ajaran 2010/ dan VIII
2011 Kelas VII dan VIII
Klasifikasi Perilaku Jumlah
Stres Psikososial Jumlah Merokok
Tidak Stres 6 Perokok Ringan (≤10) 52
Sedikit 19 Perokok Sedang (11-20) 4
Ringan 7 Perokok Berat (>20) 0
Sedang 3 Total 56
Berat 9
Sangat Berat 9 Perbedaan hasil penelitian tersebut
Malapetaka 3 dapat terjadi karena perbedaan usia respon-
den, dimana responden pada penelitian Sari,
Total 56
Ramdhani dan Eliza (2003) berusia antara
15 hingga 22 tahun. Sebagai pembanding,
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian
sebagian besar responden berada pada ting- Radityasari (2010) yang mengungkapkan
kat sedikit stres (33,93%). Sebagai pem- bahwa responden mengkonsumsi antara 1
banding, hasil dari penelitian Kusuma dan hingga 10 batang rokok setiap hari.
Prabandari (2007) yang menunjukkan bah-
wa remaja berada pada tahap tidak stres. Pola Perilaku Merokok Responden
Perbedaan hasil yang ada dapat disebabkan Pola perilaku merokok responden me-
oleh perbedaaan karakteristik responden, liputi usia pertama kali merokok, alasan per-
yang merupakan siswa yang mempunyai la- tama kali merokok, alasan merokok saat ini,
tar belakang tingkat perekonomian mene- cara mendapatkan rokok, tempat biasa me-
ngah ke atas. Pada penelitian ini ditemukan rokok, lingkungan yang merokok, sumber
stresor yang paling banyak dialami dan informasi tentang rokok, informasi mengenai
dirasakan mengganggu responden adalah bahaya merokok, mengetahui bahaya merokok
adanya keinginan yang belum terpenuhi, dan jumlah uang untuk merokok (tabel 7).
karena responden berada pada tingkat Penelitian ini menunjukkan bahwa se-
ekonomi menengah ke bawah. banyak 37,50% responden menghisap ro-
kok pertama kali saat berusia 12 tahun. Se-
Gambaran Perilaku Merokok Responden suai dengan penelitian lain bahwa subjek
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa merokok sejak usia 12-16 sebanyak 56%
sebagian besar responden adalah perokok (Radityasari, 2010). Diketahui bahwa seba-
ringan yaitu sebesar 92,86%. Hasil yang gian besar responden menyatakan alasan
berbeda ditunjukkan dalam penelitian Sari, pertama kali menghisap rokok karena ajak-
Ramdhani dan Eliza (2003) bahwa sebagian an teman (36%) diikuti dengan menghilang-
besar responden 51,33% merokok antara kan stres. Perkembangan penggunaan rokok
11-22 batang. dipengaruhi oleh beberapa hal yang
6 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

Tabel 7. Pola Perilaku Merokok Responden di SMP PGRI Kasihan, Bantul Tahun
Ajaran 2010/2011

Kategori dengan Persentase


Pola Perilaku Merokok Jumlah
Tertinggi
Usia Pertama Kali Merokok Usia 12 tahun 21
Alasan Pertama Kali Merokok Ajakan teman 27
Alasan Merokok Saat Ini Menghilangkan jenuh 24
Cara Mendapatkan Rokok Penjual asongan 31
Tempat Biasa Merokok Tempat umum 32
Lingkungan yang Merokok
a. Keluarga Ayah 36
b. Teman Dekat >10 orang 24
c. Guru 1- 5 orang 30
Sumber Informasi Orangtua 22
Pernah Mendapat Informasi Ya 48
Mengenai Bahaya Rokok
Jumlah Uang yang Dihabiskan <10 ribu 31a
Untuk Merokok

kompleks seperti personal, sosial dan kebu- Sebagian besar responden memper-
dayaan yang dapat bervariasi sepanjang oleh rokok atau membeli rokok dari penjual
waktu dalam tiap tahap perkembangan yang asongan atau warung kecil yaitu sebesar
dapat berdampak pada laki-laki dan pe- 31%. Hal ini terkait dengan banyaknya wa-
rempuan (WHO, 2010). rung di sekitar lingkungan sekolah, sehingga
Sebagian besar responden merokok responden dapat dengan leluasa membeli
untuk menghilangkan kejenuhan (33,80%) rokok secara eceran. Beberapa penelitian
disertai alasan lain yaitu menghilangkan stres. menunjukkan hasil yang serupa yaitu pada
Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian Radityasari (2010) di mana
penelitian, diantaranya adalah penelitian sebagian besar subyek membeli rokok seca-
Prabandari (1994) bahwa alasan seorang ra ecer di warung pinggir jalan.
remaja merokok antara lain adalah coba- Data yang diperoleh menunjukkan
coba, terlihat macho, ditawari oleh teman, bahwa responden paling banyak menghisap
mempererat persahabatan, tidak ketinggalan rokok di tempat umum (pinggir jalan, mall,
jaman, menyenangkan dan mengurangi stres. warung/kafe/restoran dan angkutan umum)
Komalasari dan Helmi (2000) mengung- yaitu sebesar 53,33%. Hasil yang sama
kapkan bahwa remaja mempunyai suatu ditunjukkan pada penelitian Astuti, Kustanti,
pandangan bahwa rokok dapat membantu dan Hartini (2009) bahwa sebanyak 37,5
mengurangi beban masalah, namun jika % remaja dengan persentase terbesar mero-
remaja tidak menemukan pemecahan atas kok di tempat umum, karena bebas dari
masalah yang terjadi maka akan semakin pengawasan guru dan orangtua, sehingga
meningkatkan perilaku merokoknya. merasa aman.
Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial... 7

Diketahui bahwa ayah merupakan psikososial semakin besar pula tingkat


anggota keluarga dengan persentase ber- perilaku merokok yang dilakukan (jumlah
perilaku merokok terbesar dalam anggota rokok yang dihisap bertambah). Kekuatan
keluarga (43,93%). Sesuai dengan penelitian korelasi antara kedua variabel dalam pene-
Harjanto, Purwanta dan Rahmat (2004) litian ini lemah yang berarti bahwa remaja
bahwa 91,7% orangtua remaja yang mero- mempunyai kecenderungan untuk merokok
kok juga merupakan perokok. Remaja saat stres.
dengan orangtua yang merokok mempunyai Finkelstein dan Booker (dalam Roh-
kecenderungan 0,96 kali untuk merokok man, 2009) menjelaskan bahwa tingkat stres
(Nurkania, dkk, 2007). yang tinggi berakibat terhadap meningkatnya
Responden mendapatkan informasi risiko seseorang untuk merokok. Hal ini
tentang rokok sebagian besar dari orangtua terkait dengan harapan agar dapat teralih
(29,33%) dan televisi (26,67%). Ini menun- rasa tegang atau keadaan yang menye-
jukkan bahwa remaja mempunyai akses babkan stres tersebut dengan merokok.
yang tinggi terhadap media baik media cetak Harjanto (2004) menjelaskan bahwa kea-
maupun elektronik, karena media dapat daan stres yang termasuk dalam faktor
dijadikan sebagai sumber informasi, hiburan kepribadian yaitu faktor yang berasal dari
maupun sarana interaksi dengan teman dalam diri seseorang berpengaruh dalam
(Nurkania, Hakimi & Prabandari, 2007). perilaku/konsumsi terhadap rokok (Har-
Sebagian besar responden mengha- janto, dkk, 2004).
biskan kurang dari sepuluh ribu untuk Pada penelitian ini meskipun terdapat
membeli rokok (55,36%). Beberapa studi korelasi yang bermakna, namun kekuatannya
mengindikasikan remaja yang banyak meng lemah. Hal ini didukung oleh penelitian
habiskan uang sakunya mempunyai tingkat Koval, dkk, (2004) menyatakan bahwa me-
yang tinggi dalam penggunaan rokok. Di rokok pada siswa tingkat SMP tidak selalu
beberapa negara remaja lebih sensitif terkait dengan masalah stres yang dialami,
terhadap harga rokok, semakin tinggi harga namun hal ini berbeda pada tingkat SMA
rokok akan berpengaruh pada seberapa awal di mana stres sangat mempengaruhi
uang yang diperlukan untuk merokok dan keinginan remaja untuk merokok. Selain itu
mempunyai dampak substansial pada juga didukung oleh data-data penelitian lain
penggunaan rokok (WHO, 2010). bahwa alasan remaja merokok menun-
jukkan persentase terbesar yaitu karena
Hubungan Antara Stres Psikososial menghilangkan kejenuhan.
dengan Perilaku Merokok Responden
Hasil uji statistik menunjukkan nilai SIMPULAN DAN SARAN
significancy (p) 0,021 (p<0,05), arah ko-
relasi positif, nilai korelasi (r) Spearman- Simpulan
Rank sebesar 0,308. Hasil korelasi tersebut Pada tingkat stres psikososial, seba-
dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hu- gian besar responden berada pada tingkat
bungan bermakna antara stres psikososial sedikit stres. Pada tingkat perilaku mero-
dengan perilaku merokok pada remaja di kok, sebagian besar responden berada pada
SMP PGRI Kasihan Bantul. Arah korelasi tingkat perokok ringan. Terdapat hubungan
positif menunjukkan hubungan yang searah, bermakna antara stres psikososial dengan
yang artinya semakin besar tingkat stres perilaku merokok pada remaja di SMP
8 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

PGRI Kasihan, Bantul dengan arah positif Harjanto, T., Purwanta., & Rahmat, I. 2004.
namun mempunyai kekuatan korelasi yang Faktor-faktor yang Mempenga-
lemah. ruhi Perilaku Merokok di Ka-
langan Pelajar SMU Negeri 1
Saran Kartasura Jawa Tengah. Skripsi.
Bagi SMP PGRI Kasihan, Bantul Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
diharapkan dapat lebih meningkatkan Universitas Gadjah Mada.
pendidikan kesehatan tentang perilaku Komalasari, D., & Helmi, A. F. 2000.
merokok pada siswa-siswa terkait perilaku Faktor-faktor Penyebab Perila-
merokok siswa, agar menghentikan kebia- ku Merokok pada Remaja, (On-
saan merokok sedini mungkin. line), (http://avin.staff.ugm.ac.id/
data/jurnal/perilakumerokok_avin.
DAFTAR RUJUKAN pdf.2000§), diakses 3 Juni 2011.
Astuti, F., Kustanti, A., & Hartini, S. 2009. Koval, J. J., Linda, L. P., Stella, S. H., &
Gambaran Persepsi, Sikap, dan Pe- Chan. 2004. Psychosocial Variables
rilaku Merokok pada Siswa In A Cohort of Students In Grades
Sekolah Menengah Pertama 8 and 11: A Comparison of Current
(SMP) di Urban Kabupaten Slem- and Never Smokers. Preventive
an. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogya- Medicine, 39: 1017-1025.
karta: Universitas Gadjah Mada. Kusuma, M. T., & Prabandari, L. 2007.
Byrne, D. G., & Mazanov, L. 2003. Ado- Hubungan Antara Status Stres
lescent Stress and Future Smoking Psikososial dengan Status Gizi
Behavior A Prospective Investi- Siswi SMP Stella Duce 1 Yogya-
gation. Journal of Psychosomatic karta. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Research, 54: 313-321. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Mada.
Yogyakarta. 2010. Riset Kesehat- Nurkania, N., Hakimi, M., Prabandari, Y.
an Dasar Badan Penelitian dan S. 2007. Pengaruh Penerapan
Pengembangan Kesehatan Ke- Kawasan Tanpa Rokok di Seko-
menterian Kesehatan Republik lah Terhadap Sikap dan Perilaku
Indonesia. Jakarta: Dinas Kesehatan. Berhenti Merokok di Kalangan
Dwiyathitami, Ni. M. 2011. Mengenal Stres Siswa SMA di Kota Bogor. Tesis.
Pada Anak, (Online), (http://www. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
balipost.co.id/mediadetail.php§ Universitas Gadjah Mada.
module=detailberita&kid=24&id Prabandari, Y. S. 1994. Pendidikan
=48084§), diakses 15 Februari 2011. Kesehatan Melalui Seminar dan
Hidayati, N. 2011. Tiga dari 10 Pelajar Diskusi sebagai Alternatif Pe-
di RI Merokok Sebelum Umur 10 nanggulangan Perilaku Merokok
Tahun, (Online), (http://m.detik. pada Remaja Pelajar SLTA di
com dari browser ponsel anda! detik Kodya Yogyakarta. Tesis. Tidak
news.com), diakses 15 Februari diterbitkan. Yogyakarta: Universitas
2011. Gadjah Mada.
Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial... 9

Putri, I., Dasuki, D., Hasanbasri, M. 2005. empatijurnal1.pdf. 2003), diakses 9


Struktur Keluarga dan Perilaku April 2011.
Merokok pada Remaja Analisi Sadock, V. A., & Saddock, B. J. 2003.
Data sakerti 3 Tahun 2000. Tesis. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Psychiatry Behavioral Sciences/
Universitas Gadjah Mada. Clinical Psychiatry. 9th Edition.
Radityasari, A. 2010. Gambaran Perilaku Lippincott Williams & Wilkins:
Merokok Siswa SMA/Sederajat di Philadelphia.
Kota Semarang Tahun 2010. Sudiyanto, A. 1998. Pengaruh Pendidikan
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Univer- Kesehatan Jiwa Keluarga Terha-
sitas Diponegoro: Semarang, dap Kekambuhan Penderita
(Online), (http://eprints.undip.ac.id/ Gangguan Afektif Berat. Disertasi.
17277/), diakses 3 Juni 2011. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Rohman, A. 2009. Hubungan Antara Universitas Gadjah Mada.
Tingkat Stres dan Status Sosial
Tempo Interaktif. 2011. Perokok Muda
Ekonomi Orang Tua dengan
Makin Menggila, (Online), (http://
Perilaku Merokok Pada Remaja.
majalah.tempointeraktif.com/id/
Skripsi. Jurusan Bimbingan dan
arsip/2008/01/28/KSH/
Konseling dan Psikologi Fakultas
mbm.20080128.KSH126188.id.html),
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
diakses 15 Februari 2011.
Malang, (Online), (http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/BK- World Health Organization. 2010. Gender,
Psikologi/article/view/2685), Women, and the Tobacco Epi-
diakses 27 Februari 2011. demic: 3. Prevalence of Tobacco
Use and Factors Inûuencing Ini-
Sari, A. T. O., Ramdhani, N., & Eliza, M.
tiation and Maintenance Among
2003. Empati dan Perilaku Mero-
Women (Online), (http://www.
kok di Tempat Umum. Jurnal Psi-
who.int/tobacco/ publications/
kologi, XXX (2): 81-90, (Online),
gender/women_tob_epidemic/en/),
(http://neila.staff.ugm.ac.id/word
diakses 15 Februari 2011.
press/wpcontent/uploads/2008/02/

.
PENGARUH HOME VISIT TERHADAP KEMAMPUAN
PASIEN DAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA
KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA

Mamnu'ah
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta
Email: nutriatma@yahoo.co.id

Abstract: The purpose of this quasi-experiment study was to determine


the effect of home visit on the abilities of clients and their families in
taking care of the family member with mental problem in Banaran village,
Galur, Kulon Progo. The sample of this research were patients who had
mental problem and their families. The sampling technique used in this
research was a random sampling technique taken from 11 clients who
were given four home visits in a month. The data were analyzed using
paired t-test. After the patients were given the home visit, the researchers
measured the respondents' abilities. The result showed that there was
an effect of home visits on the client's ability (p=0.000) and there was
no effect of home visit on the family ability in taking care the patients
(p=0.480).

Keywords: home visit, family and patients ability to care, mental problem

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Home


Visit Terhadap Kemampuan Pasien dan Keluarga dalam Merawat
Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Desa Banaran
Galur Kulonprogo. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi
Experiment. Responden penelitian ini adalah pasien dan keluarga yang
mempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Teknik
sampel yang digunakan adalah acak pada sejumlah 11 responden yang
diberikan intervensi home visit sebanyak empat kali selama sebulan,
kemudian diukur tingkat kemampuan pasien dan keluarga. Analisis data
yang digunakan adalah Paired T Test. Diperoleh hasil adanya pengaruh
home visit terhadap kemampuan pasien (p=0,000) dan tidak ada pengaruh
home visit terhadap kemampuan keluarga (p=0,480).

Kata kunci: home visit , kemampuan keluarga dan pasien dalam


merawat, gangguan jiwa
Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit ..... 11

PENDAHULUAN keluarganya dengan baik namun sebaliknya


Menurut Departemen Kesehatan RI pada keluarga yang tidak menjalankan fungi
(2000) kesehatan jiwa merupakan suatu keluarga dengan baik maka akan mempe-
kondisi yang memungkinkan perkembangan ngaruhi klien. Darwis (2007) mengatakan
yang optimal baik secara fisik, intelektual banyak keluarga tidak membawa pulang
dan emosi dari seseorang yang selaras de- klien karena malu, merasa terganggu, tidak
ngan orang lain. Organisasi Kesehatan Du- mampu merawat dan sebagainya. Akibat-
nia (WHO) mendefinisikan kesehatan seba- nya, kapasitas rumah sakit menjadi tidak
gai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, mencukupi. Keluarga yang keberatan mene-
bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit rima kembali klien di lingkungan keluarga
atau kelemahan. Definisi tersebut menekan- akan menambah beban klien akibatnya klien
kan kesehatan sebagai suatu keadaan sejah- tidak betah di keluarga dan merasa nyaman
tera yang positif, bukan sekedar keadaan di rumah sakit. Penerimaan keluarga ini sa-
tanpa penyakit. Orang yang memiliki kese- ngat penting bagi kesembuhan klien karena
jahteraan emosional, fisik dan sosial dapat apabila klien sembuh akan mempengaruhi
memenuhi tanggung jawab kehidupan, ber- fungsi keluarga.
fungsi dengan afektif dalam kehidupan sehari- Masalah lain yang dirasakan keluarga
hari dan puas dengan hubungan interpersonal dengan adanya gangguan jiwa di keluarga
dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2008). dapat mempengaruhi kemampuan ekonomi
Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk keluarga dalam membayar biaya rumah
menjamin setiap orang dapat menikmati sakit. Biaya yang harus dikeluarkan keluarga
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari cukup tinggi. Keluarga diharuskan mengun-
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang jungi anggota keluarganya yang mengalami
dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya gangguan jiwa di rumah sakit secara rutin,
kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud padahal belum tentu jarak rumah sakit
terdiri atas preventif, promotif, kuratif, reha- dengan tempat tinggal klien dekat sehingga
bilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah membutuhkan biaya untuk transportasi dan
psikososial (Undang-Undang No. 36 Tahun akomodasi.
2009 Tentang Kesehatan). Berbagai macam cara dipilih keluarga
Kesehatan jiwa merupakan suatu ren- untuk mencapai fungsi keluarga. Penelitian
tang meliputi sehat jiwa, risiko dan gangguan terkait pernah dilakukan oleh Seloilwe
jiwa. Setiap orang berisiko apakah akan se- (2006) tentang pengalaman dan kebutuhan
hat jiwa, mengalami masalah psikososial keluarga dengan gangguan jiwa di rumah di
maupun gangguan jiwa. Hasil Riskesdas Botswana. Hasilnya bahwa merawat ang-
(2007) menunjukkan angka gangguan jiwa gota keluarga dengan gangguan jiwa mem-
berat di Indonesia mencapai 0,46%, di buat keluarga bingung, sedih dan merupakan
Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai penderitaan tiada habisnya. Pemberi pera-
0,38%. Angka ini masih di bawah angka na- watan dituntut untuk melakukan koping seti-
sional akan tetapi beban akibat gangguan ap hari, menjadi tidak jujur dengan anggota
jiwa sangat berat apalagi bagi keluarga yang keluarga yang mengalami gangguan, mani-
merawat pasien dengan gangguan jiwa. pulatif, akomodatif, menerima dan negosiasi
Adanya gangguan jiwa di keluarga terhadap situasi yang terjadi.
mempengaruhi fungsi keluarga. Keluarga Besarnya dampak yang ditimbulkan
yang berfungsi dengan baik akan dapat gangguan jiwa terhadap keluarga khususnya
memberikan perawatan pada anggota yang merawat perlu diantisipasi dengan cara
12 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

salah satunya adalah melakukan berbagai yang mengalami gangguan jiwa. Penelitian
macam penelitian yang dibutuhkan untuk ini merupakan penelitian Pre-post Experi-
menentukan kebijakan pelaksanaan terapi ment dengan mengukur sebelum dan sesuah
keluarga yang dibutuhkan keluarga ketika diintervensi lalu diukur hasilnya (Noto-
merawat anggota keluarganya yang menga- atmodjo, 2010). Populasi adalah keselu-
lami gangguan jiwa. Melalui penelitian ini, ruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
diharapkan home visit yang dilakukan oleh (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian
perawat puskesmas akan membantu me- ini yaitu semua pasien dan keluarga yang
ningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang berjumlah 75 orang.
gangguan jiwa. Sampel adalah bagian populasi yang akan
Berdasarkan wawancara dengan pera- diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik
wat penanggung jawab program jiwa di yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007).
Puskesmas Galur II didapatkan data bahwa Sampelnya adalah pasien dan keluarga yang
jumlah pasien gangguan jiwa di Desa Ba- bertanggungjawab merawat pasien yang
naran sebanyak 75 pasien, angka ini tertinggi mengalami gangguan jiwa di rumahnya. Tek-
dibandingkan dua desa lainnya yaitu di Desa nik sampel yang digunakan adalah random
Nomporejo 30 pasien dan di Desa Krang- sampling sebanyak 11 orang pasien dan ke-
gan sebanyak 34 pasien. Petugas juga men- luarga yang akan dilakukan intervensi.
jelaskan adanya 15 pasien yang tidak kontrol Instrumen yang digunakan dalam penelitian
lagi ke puskesmas padahal sebelumnya rutin ini adalah lembar kuesioner dalam bentuk
kontrol, kondisi ini menggambarkan salah satu pertanyaan tertutup dan ceklist. Instrumen
indikator kemampuan pasien dan ketidak- yang digunakan untuk intervensi home visit
mampuan keluarga dalam merawat anggota menggunakan standar prosedur operasional
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. yang telah disusun oleh peneliti.
Berdasarkan latar belakang dan per- Metode yang digunakan dalam pe-
masalahan, maka dapat diasumsikan bahwa ngumpulan data adalah dengan memberikan
home visit mampu meningkatkan kemam- kuesioner dan ceklist untuk mendapatkan
puan pasien dan keluarga dalam merawat data kemampuan keluarga dalam merawat.
anggota keluarga yang mengalami gangguan Kemampuan pasien diukur menggunakan
jiwa sehingga rumusan masalah dari peneli- ceklist. Home visit dilakukan empat kali
tian ini adalah “Bagaimana pengaruh home pertemuan, pertemuan pertama membica-
visit terhadap kemampuan pasien dan kelu- rakan tentang cara mengatasi gejala, perte-
arga dalam merawat anggota keluarga yang muan kedua cara memenuhi kebutuhan
mengalami gangguan jiwa?” Penelitian ini ADL, pertemuan ketiga cara bersosialisasi
bertujuan untuk menganalisis pengaruh dan pertemuan keempat manajemen obat.
home visit terhadap kemampuan pasien dan Kegiatan ini dilakukan selama satu bulan,
keluarga dalam merawat anggota keluarga tiap pertemuan dilakukan selama 60 menit.
yang mengalami gangguan jiwa. Pengukuran kemampuan keluarga dilak-
sanakan satu jam sebelum intervensi dan
METODE PENELITIAN satu jam setelah dilakukan intervensi pada
Penelitian ini merupakan penelitian pertemuan keempat. Dalam proses pengum-
Quasi Experiment untuk menilai pengaruh pulan data, peneliti dibantu oleh dua orang
home visit terhadap kemampuan pasien asisten. Data yang diperoleh dilakukan uji
keluarga dalam merawat anggota keluarga normalitas data. Hasilnya diperoleh data
Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit ..... 13

terdistribusi normal sehingga dilakukan uji responden adalah diantara 28,96-49,03.


parametrik menggunakan paired t Test Sedangkan umur keluarga yang merawat
(Sugiyono, 2010). didapatkan rata-rata 52 tahun (95% CI:
44,38-59,80), dengan standar deviasi 11,47.
HASIL DAN PEMBAHASAN Umur termuda 35 tahun dan umur tertua 72
Desa Banaran merupakan desa binaan tahun. Dari hasil estimasi interval dapat
Puskesmas Galur II Kabupaten Kulon disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa
Progo. Desa ini mempunyai angka gangguan rata-rata umur responden adalah diantara
jiwa lebih tinggi dibandingkan dua desa lain- 44,38-59,80.
nya. Pelayanan kesehatan jiwa sudah dila-
kukan di puskesmas ini. Kunjungan ke rumah Karakteristik Responden Berdasarkan
pasien dan keluarga dilakukan tetapi tidak Jenis Kelamin
terjadwal secara rutin dan materi kunjungan Tabel 2 menunjukkan bahwa respon-
juga tidak terstruktur. Karakteristik respon- den pasien paling banyak perempuan
den dapat dilihat pada tabel 1. sebanyak 6 (54,5%) sedangkan responden
keluarga paling banyak laki-laki sebanyak
Karakteristik Responden Berdasarkan 54,5%.
Umur, Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata Karakteristik Responden Berdasarkan
umur pasien adalah 39 tahun (95% CI: Tingkat Pendidikan
28,96-49,03), dengan standar deviasi 14,93 Tabel 3 menunjukkan bahwa pendi-
tahun. Umur termuda responden adalah 22 dikan responden pasien paling banyak SMA
tahun dan umur tertua 78 tahun. Dari hasil sebanyak 5 (45,5%) sedangkan responden
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa keluarga paling banyak SD dan SMA
95% diyakini bahwa rata-rata umur sebanyak 4 (36,4%).

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Variabel Mean SD Minimal-Maksimal 95% CI


Umur Pasien 39 14,93 22-78 28,96-49,03
Umur Keluarga 52 11,47 35-72 44,38-59,80

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Pasien Keluarga
Jenis Kelamin
Frekuensi % Frekuensi %
Laki-laki 5 45,5 6 54,5
Perempuan 6 54,5 5 45,5
Jumlah 11 100 11 100
14 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Pasien Keluarga
Pendidikan
Frekuensi % Frekuensi %
Tidak sekolah 1 9,1 0 0
SD 2 18,2 4 36,4
SMP 3 27,2 3 27,2
SMA 5 45,5 4 36,4
Jumlah 11 100 11 100

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan


Pasien Keluarga
Pekerjaan
Jenis Kelamin
Frekuensi % Frekuensi %
Tidak bekerja 6 54,5 0 0
IRT 3 27,2 3 27,2
Buruh 0 0 3 27,2
Swasta 1 9,1 4 36,5
Tani 0 0 1 9,1
Pensiunan 1 9,1 0 0
Jumlah 11 100 11 100

Karakteristik Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Berdasarkan


Jenis Pekerjaan Hubungan Keluarga
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden Tabel 5 menunjukkan hubungan
pasien sebagian besar tidak bekerja sebanyak keluarga dengan pasien, sebagian besar
6 (54,5%) sedangkan responden keluarga sebagai orang tua, ada 4 orang (36,3%).
sebagian besar bekerja swasta sebanyak 4
(36,5%). Analisis Bivariat
Hasil uji statistik pengaruh home visit
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Res- terhadap kemampuan pasien dan keluarga
ponden Berdasarkan Hu- dalam merawat anggota keluarga yang
bungan dengan Pasien mengalami gangguan jiwa diuji menggunakan
T Test Paired Test dan didapatkan hasil
Hubungan Frekuensi Persentase seperti pada tabel 6.
Kakak/adik 3 27,3 Pada tabel 6 tersebut ditunjukkan
Anak 1 9,1 bahwa rata-rata kemampuan pasien sebe-
Orang tua 4 36,3 lum dilakukan home visit adalah 43,63
Suami 2 18,2 dengan standar deviasi 7,80. Setelah dila-
Tante 1 9,1 kukan home visit didapatkan rata-rata
Jumlah 11 100 51,63 dengan standar deviasi 7,01. Terlihat
nilai mean perbedaan sebelum dan sesudah
Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit ..... 15

Tabel 6. Distribusi Rata-Rata Skor Kemampuan Pasien Sebelum dan Sesudah


Dilakukan Home Visit

Variabel Mean SD SE P Value N


Kemampuan
Sebelum 43,63 7,80 2,35 0, 000 11
Sesudah 51,63 7,01 2,11

Tabel 7. Distribusi Rata-Rata Skor Kemampuan Keluarga Sebelum dan Sesudah


Dilakukan Home Visit

Variabel Mean SD SE P Value N


Kemampuan
Sebelum 11,18 6,20 1,87 0,480 11
Sesudah 12,09 3,36 1,01

intervensi adalah 8 dengan standar deviasi home visit, terjadi kenaikan sebanyak 8
4,242. Hasil uji statistik didapatkan nilai poin. Hal ini menunjukkan bahwa home visit
0,000 maka dapat disimpulkan ada yang dilakukan tenaga puskesmas selaku
perbedaan yang signifikan antara sebelum penanggung jawab program kesehatan jiwa
dan sesudah dilakukan home visit. di masyarakat memberikan dampak positif
untuk meningkatkan kemampuan pasien. Hal
Kemampuan Keluarga ini sesuai dengan teorinya Keliat (2012)
Kemampuan keluarga dalam merawat bahwa adanya perawat Community Men-
anggota keluarga yang mengalami gangguan tal Health Nursing (CMHN) di puskesmas
jiwa dapat dilihat pada tabel 7. mempunyai tugas salah satunya adalah
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa melakukan kunjungan kepada pasien akan
rata-rata kemampuan keluarga sebelum dila- mampu meningkatkan kemampuan pasien
kukan home visit adalah 11,18 dengan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
standar deviasi 6,20. Setelah dilakukan seperti mandi, berdandan, interaksi sosial
home visit didapatkan rata-rata 12,09 de- dan berobat secara teratur.
ngan standar deviasi 3,36. Terlihat nilai mean Kemampuan pasien mengalami pe-
perbedaan sebelum dan sesudah intervensi ningkatan hal ini didukung oleh pendidikan
adalah 0,909 dengan standar deviasi 4,109. pasien yang sebagian besar SMA sehingga
Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,480 ma- memudahkan dalam memberikan pendi-
ka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan dikan kesehatan. Notoatmodjo (2003)
yang signifikan antara sebelum dan sesudah memberikan gambaran bahwa kemampuan
dilakukan home visit. meliputi kognitif, afektif dan psikomotor.
Kemampuan pasien sebelum dilaku- Dalam home visit ini diberikan ketiga hal
kan home visit pada skor 43,63 dan me- tersebut kepada pasien. Kemampuan meng-
ningkat menjadi 51,63 setelah dilakukan atasi gejala gangguan jiwa yang dialami,
16 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

interaksi sosial, kepatuhan minum obat dan Penelitian terkait pernah dilakukan oleh
penggunaan fasilitas kesehatan yang diberi- Seloilwe (2006) tentang pengalaman dan
kan pemerintah. Usia pasien yang rata-rata kebutuhan keluarga dengan gangguan jiwa
berusia 39 tahun memudahkan transfer di rumah di Botswana. Hasilnya bahwa
kemampuan. Umur menjadi salah satu merawat anggota keluarga dengan gangguan
pendukung terjadinya peningkatan kemam- jiwa membuat keluarga bingung, sedih dan
puan pasien dalam menerima materi yang merupakan penderitaan tiada habisnya.
diberikan. Pemberi perawatan dituntut untuk melaku-
Home visit yang dilakukan perawat kan koping setiap hari, menjadi tidak jujur
puskesmas kepada pasien merupakan dengan anggota keluarga yang mengalami
bagian dari peran, fungsi dan tugas perawat. gangguan, manipulatif, akomodatif, mene-
Apalagi jika dilakukan secara teratur dan rima dan negosiasi terhadap situasi yang
terstruktur seperti dalam penelitian ini. terjadi. Kondisi inilah yang dialami keluarga
Dalam pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa dalam penelitian ini. Keluarga mengatakan
(DSSJ), peran perawat jiwa sebagai ma- sangat berat mempunyai anggota keluarga
najer pelayanan kesehatan jiwa di komunitas yang mengalami gangguan jiwa.
dapat memberi kewenangan membentuk Adanya sikap positif akan memudah-
kader-kader kesehatan jiwa yang bertugas kan keluarga melakukan perawatan. Psiko-
sebagai kepanjangan tangan perawat motor atau kemampuan praktek merujuk
puskesmas (Keliat, 2010). Tugas home visit pada pergerakan muskuler yang merupakan
bisa berkoordinasi dengan para kader hasil dari koordinasi pengetahuan dan
kesehatan jiwa sehingga pasien senantiasa menunjukkan penguasaan terhadap suatu
merasa diperhatikan oleh petugas. tugas atau ketrampilan (Craven, 2006).
Kemampuan keluarga sebelum dilaku- Kemampuan psikomotor akan ditunjukkan
kan home visit rata-rata 11,18 dan mening- keluarga dalam keseharian ketika merawat
kat menjadi 12,09, terjadi peningkatan pasien. Aspek tersebut penting dalam pera-
sebanyak 0,909. Peningkatan ini sangat watan pasien.
sedikit. Hasil uji statistik memperlihatkan Pada penelitian ini tidak semua kelu-
tidak ada pengaruh home visit terhadap arga mempunyai sikap positif, ada yang
kemampuan keluarga. Hal ini berkaitan de- mengatakan sama saja begitu-begitu terus.
ngan beban yang dirasakan keluarga dengan Ini merupakan tantangan besar bagi perawat
adanya anggota keluarga yang mengalami CMHN untuk membuat metode baru yang
gangguan jiwa merupakan hal sangat berat mampu membangun sikap positif keluarga
dan banyak sumber stresor di keluarga yang dalam memberikan perawatan kepada
mempengaruhi keberfungsian keluarga. anggota keluarga yang mengalami gangguan
Menurut Torrey (1988 dalam Arif, 2006) jiwa. Menurut Stuart dan Laraia (2005) juga
bahwa adanya klien gangguan jiwa dalam menjelaskan bahwa keyakinan positif terha-
keluarga merupakan stresor yang sangat dap suatu pengobatan akan mempercepat
berat yang harus ditanggung keluarga. kesembuhan pasien. Untuk itulah diperlukan
Keluarga sebagai matriks relasi maka seluruh sikap positif keluarga dalam melakukan
anggotanya terhubung satu sama lain akan perawatan kepada pasien.
terkena dampak yang besar. Keseimbangan Tidak adanya pengaruh home visit
keluarga sebagai suatu sistem mendapatkan terhadap kemampuan keluarga juga didu-
tantangan yang besar. kung usia keluarga yang merawat pasien
Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit ..... 17

rata-rata berusia 52 tahun. Sehingga ke- psikoedukasi bagi keluarga diharapkan


mampuan menangkap informasi dan ke- mampu mengatasi permasalahan keluarga.
mauan untuk meningkatkan kemampuan Sesuai teori Stuart (2009) bahwa psiko-
pasien kurang mendukung. Sehingga dibu- edukasi keluarga, triangle therapy mampu
tuhkan peran serta masyarakat melalui kader memberikan solusi bagi keluarga dalam
kesehatan jiwa untuk membantu mendam- memberikan perawatan pasien gangguan jiwa.
pingi keluarga dalam memberikan pera-
watan pada pasien gangguan jiwa. Adanya SIMPULAN DAN SARAN
kader kesehatan jiwa sangat membantu
keluarga memonitor dan mengevaluasi per- Simpulan
kembangan kemampuan pasien sekaligus Berdasarkan pembahasan dapat di-
melaporkan segera ke perawat jiwa puskes- simpulkan bahwa kemampuan pasien
mas apabila terjadi kekambuhan pasien sebelum dilakukan home visit rata-rata
gangguan jiwa (Keliat, 2010). 43,63 dan meningkat menjadi 51,63 setelah
Beard dan Gillespie, (2001 dalam For- dilakukan home visit. Kemampuan kelu-
tinash dan Worret, 2004) mengemukakan arga sebelum dilakukan home visit rata-rata
bahwa tidak semua keluarga cukup kuat 11,18 dan meningkat menjadi12,09 setelah
untuk mengatasi tuntutan anggota keluarga dilakukan home visit. Ada pengaruh home
yang mengalami gangguan jiwa. Anggota visit terhadap kemampuan pasien dalam
keluarga mungkin akan mengalami kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari di Desa
untuk membicarakan masalah yang mereka Banaran dan tidak ada pengaruh home visit
temukan selama merawat anggota keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam
yang mengalami gangguan jiwa. Adanya ra- merawat anggota keluarga yang mengalami
hasia dalam keluarga tentang anggota kelu- gangguan jiwa di Desa Banaran.
arga yang mengalami gangguan adalah hal
yang umum sehingga tidak mudah men- Saran
dapatkan informasi dari pemberi perawatan Diharapkan kepala desa Banaran be-
keluarga maupun anggota keluarga lainnya. kerjasama dengan Puskesmas Galur II
Pada beberapa kasus, keluarga juga memberikan dukungan dengan melakukan
mengalami disfungsi dan tidak mampu pendampingan secara terstrukur kepada
memberi support yang penting bagi klien. keluarga dan pasien untuk meningkatkan
Kadang-kadang anggota keluarga tidak kemampuannya dalam melakukan kegiatan
mampu berperan atau menyelesaikan tugas- sehari-hari. Diharapkan penanggung jawab
nya dengan berbagai alasan. Ketidakmam- program keperawatan jiwa di Puskesmas
puan sering terjadi selama waktu stres dan Galur II melakukan home visit secara terja-
transisi terutama jika keluarga mengalami dual untuk pasien dan keluarga yang meng-
kecaman/ejekan. alami gangguan jiwa. Bagi pasien diharapkan
Pada penelitian ini juga tidak semua dapat menerapkan pengetahuan dan kete-
keluarga terbuka menerima kunjungan dari rampilan yang diberikan saat home visit
petugas kesehatan. Ada hal-hal yang tidak bisa dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti selan-
mereka ceritakan secara terbuka dan jutnya diharapkan melakukan penelitian
menganggap sebagai aib keluarga yang tidak menggunakan metode lain yang dilakukan
perlu diceritakan. Padahal kondisi ini akan saat home visit untuk meningkatkan
menambah beban keluarga selama merawat kemampuan keluarga dan dilakukan dalam
pasien. Home visit dengan memberikan jumlah sampel yang lebih besar.
18 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

DAFTAR RUJUKAN Keliat, B.A. 2010. Manajemen Kepe-


Arif, I. S. 2006. Skizofrenia Memahami rawatan Jiwa Komunitas Desa
Dinamika Keluarga Pasien. Ce- Siaga (CMHN Intermediate
takan Pertama. PT Refina Aditama: Course). EGC: Jakarta.
Bandung. Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta:
Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Jakarta.
VI. Rineka Cipta: Jakarta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Pene-
Craven, R.F. & Hirnle, C.J. 2006. litian Kesehatan. (Edisi Revisi).
Fundamental of Nursing Human Rineka Cipta: Jakarta.
Health and Function. Fifth edition. Republik Indonesia. 2009. Undang - Undang
Williams & Wilkins: Lippincott. Republik Indonesia No. 36 Tahun
Darwis, Y. 2007. 50 Persen Orang Gila 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta:
Terlantar di RSJ, (Online), (http:/ Kementrian Hukum dan HAM.
/www.banjarmasin post.co.id/ Seloilwe, E.S. 2006. Experineces and
content/view/4131/297/), diakses Demands of Families with Mentally
31 Januari 2008. Ill People at Home in Botswana,
Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Journal of Nursing Scholarship,
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 38(3): 262-268.
2007. Laporan Nasional 2007. Stuart, G. W. 2009. Principles and
Jakarta: Badan Penelitian dan Pe- Practice of Psychiatric Nursing.
ngembangan Kesehatan Depar- (9th edition). Mosby Elsevier:
temen Kesehatan RI. Canada.
Fortinash & Worret. 2004. Psychiatric Stuart, G.W. & Laraia, M.T. 2005. Prin-
Mental Health Nursing. (3rd ciples and Practice of Psychiatric
edition). Mosby: St. Louis. Nursing. (7th edition). Mosby: St
Hidayat, A. A. A. 2007. Riset Kepe- Louis.
rawatan dan Teknik Penulisan Sugiyono. 2010. Statistika untuk Pene-
Ilmiah. Salemba Medika: Jakarta. litian. Cetakan ke-16. Alfabeta:
Keliat, B.A. & Akemat. 2012. Model Bandung.
Praktik Keperawatan Profe- Videbeck, S. L. 2008. Buku Ajar Kepe-
sional Jiwa. EGC: Jakarta. rawatan Jiwa. EGC: Jakarta.
PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEJADIAN
TIDAK DIINGINKAN (KTD)

Ag. Sri Oktri Hastuti


Akper Panti Rapih Yogyakarta
E-mail: Oktri_07@yahoo.com

Abstract: This research aims at giving an overview on the patient safety


behavior application to prevent unwanted circumstances in Panti Rapih
Hospital Yogyakarta. The approach used in this research was a cross-
sectional approach. The population was the employee of Panti Rapih
Yogyakarta Hospital. The number of the respondents was 373 respondents
selected by using simple random sampling. The result showed that the
highest positive response of the patient safety behavior was the
development of organization learning aspect (81.67%). Meanwhile, the
number of incident reports (21.09%) needed more attention from the
management. In conclusion, this research on patient safety behavior
was not optimally achieved.

Keywords: adverse event, patient safety behavior, incident report

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penerapan


budaya Keselamatan Pasien (KP) untuk mencegah Kejadian Tidak
Diinginkan (KTD) di RS Panti Rapih Yogyakarta. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cross-sectional.
Populasi adalah karyawan RS Panti Rapih Yogyakarta. Responden
sejumlah 373 dipilih dengan metode simple random sampling. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa budaya KP yang memiliki respon positif
tertinggi adalah aspek pengembangan belajar organisasi (81,67%),
sedangkan yang paling membutuhkan perhatian manajemen adalah
banyaknya pelaporan insiden (21,09%). Kesimpulan dari penelitian ini
adalah budaya KP untuk pembelajaran belum tercapai secara optimal.

Kata kunci: kejadian tidak diinginkan (KTD), budaya keselamatan


pasien, pelaporan insiden
20 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

PENDAHULUAN Beberapa contoh upaya membangun


Keselamatan Pasien/KP (Patient budaya KP adalah JCAHO (Joint Com-
Safety) merupakan isu global dan meru- mission on Acreditaton of Healthcare Or-
pakan komponen penting dari mutu pela- ganization) di Amerika, sejak tahun 2007
yanan kesehatan serta sebagai komponen telah menetapkan penilaian tahunan terhadap
kritis dalam manajemen mutu RS (WHO, budaya keselamatan sebagai target KP,
2005). Fokus terhadap Keselamatan Pasien sedangkan NPSA (National Patient Safety
ini didorong oleh masih tingginya angka Agency) di Inggris mencantumkan budaya
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/Ad- keselamatan pasien sebagai langkah pertama
verse Event (AE) di rumah sakit. Data me- dari Seven Step to Patient safety.
nunjukkan bahwa angka kejadian KTD yang Instrumen untuk survei budaya kesela-
terjadi di berbagai negara diperkirakan matan pasien yang dirancang untuk seluruh
sekitar 3–16% (WHO, 2005) dan hampir pekerja di RS adalah HSOPSC (Hospital
50% diantaranya adalah kejadian yang dapat Survey on Patient Safey Culture) yang di-
dicegah (Cahyono, 2008, Yahya, 2011). lakukan oleh Soora dan Nieva (2004), ter-
KTD selain berdampak pada pening- diri atas 12 dimensi budaya keselamatan dan
katan biaya pelayanan kesehatan dapat pula 2 dimensi outcome. Pengukuran budaya
membawa rumah sakit ke area blaming. KP di RS penting dilakukan untuk menilai
Kondisi tersebut dapat menimbulkan konflik bagaimana sikap, persepsi, kompetensi indi-
antara dokter/petugas kesehatan lain dengan vidu dan perilaku orang/kelompok menen-
pasien, dan tidak jarang yang berakhir tukan komitmen dalam meminimalkan
dengan tuntutan hukum yang sangat merugi- insiden di rumah sakit.
kan rumah sakit (Depkes RI, 2006). Data Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) ada-
KTD di Indonesia masih sulit diperoleh lah rumah sakit swasta tipe B yang berada
secara lengkap dan akurat, tetapi dapat di wilayah Yogyakarta, dalam menyeleng-
diasumsikan bahwa angka kejadiannya garakan pelayanan kesehatan menem-
tidaklah kecil (PERSI-KKP-RS, 2011). patkan pasien menjadi fokus utama. Ge-
Reason (1998) berpendapat bahwa rakan keselamatan pasien telah dimulai pada
sistem pelaporan yang mengutamakan tahun 2006 dengan dibentuknya Tim Kese-
pembelajaran dari kesalahan ke perbaikan lamatan Pasien RS. Dengan 370 kapasitas
sistem pelayanan merupakan dasar dari tempat tidur dan tingginya kompleksitas
budaya keselamatan. Upaya menciptakan pelayanan kesehatan yang ada sangat
budaya keselamatan merupakan langkah dimungkinkan terjadinya cedera/insiden yang
pertama sebagaimana tercantum dalam merugikan pasien dan rumah sakit.
konsep “Tujuh Langkah Menuju Kesela- Berdasarkan uraian tersebut, penelitian
matan Pasien Rumah Sakit” di Indonesia. ini difokuskan pada permasalahan budaya
Hambatan terbesar dalam memperbaiki kerja, yaitu sejauh mana budaya kerja dapat
pelayanan kesehatan yang lebih aman adalah membentuk budaya keselamatan (yang
budaya organisasi kesehatan (Cooper, tercermin dalam 12 dimensi keselamatan
2008). Budaya organisasi merupakan sistem pasien) dalam melakukan tugas profesinya
nilai-nilai, keyakinan dan kebiasaan bersama masing-masing. Penelitian ini bertujuan untuk
dalam organisasi yang berinteraksi dengan memperoleh data tentang penerapan budaya
struktur formal untuk menghasilkan norma keselamatan pasien untuk mencegah KTD
perilaku (Cahyono, 2008). dan untuk mendapatkan gambaran tentang
Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien... 21

karakteristik responden, gambaran budaya pital Survey on Patient Safety Culture


keselamatan, gambaran persepsi karyawan (Survei Budaya Keselamatan Pasien Rumah
tentang level budaya keselamatan serta gam- Sakit) yang disusun oleh AHRQ (American
baran persepsi responden terhadap angka Hospital Research and Quality). Instrumen
pelaporan insiden. ini dirancang untuk mengukur opini karyawan
rumah sakit terhadap isu keselamatan pa-
METODE PENELITIAN sien, medical errors, dan pelaporan insiden
Penelitian ini merupakan penelitian yang terdiri atas 42 item pertanyaan dalam
deskriptif dengan pendekatan cross sectio- 12 dimensi keselamatan pasien yang sudah
nal. Populasi adalah seluruh karyawan teruji validitas dan reliabilitasnya serta sudah
dalam berbagai profesi yang bekerja di digunakan di beberapa negara untuk meng-
seluruh unit RSPR sejumlah 1.200 orang. ukur tingkat budaya keselamatan pasien di
Jenis sampel dalam penelitian ini adalah rumah sakit.
probability sampling. Teknik pengambilan Karena keterbatasan, penulis tidak
sampel dalam penelitian ini adalah simple melakukan uji validitas dan uji reliabilitas ulang
random sampling, sejumlah 35% dari total sebelum digunakan. Data yang diperoleh
populasi yaitu 420 karyawan. diolah dengan program SPSS versi 15,
Menurut AHRQ bila menghendaki dianalisis dengan menghitung frekuensi respon
respon rate (angka formulir dijawab leng- setiap item setelah data dikelompokkan dalam
kap) lebih dari 60% (>60), maka dibu- 12 dimensi keselamatan dan analisis univariat
tuhkan formulir survei 30-50% dari jumlah dalam bentuk distribusi frekuensi.
total responden. Dari 420 kuesioner yang
disebarkan, yang kembali dan memenuhi HASIL DAN PEMBAHASAN
kriteria untuk dilakukan tabulasi sejumlah
373 kuesioner. Karakteristik Responden Berdasarkan
Pengumpulan data dilakukan dari Profesi di Rumah Sakit
tanggal 1 Juni sampai dengan 6 Agustus Data tabel 1 menunjukkan bahwa
2012 dengan menggunakan instrumen Hos- sebagian besar responden berprofesi seba-

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Profesi/Jabatan di RS Panti


Rapih Yogyakarta tahun 2012
No. Jabatan Frekuensi Persentase

1 Dokter 7 1, 88
2 Asisten Apoteker 16 4, 29
3 Teknisi 3 0, 80
4 Perawat 179 47, 99
5 Ahli Gizi 2 0, 54
6 Analis Lab 12 3, 22
7 Radiografer 5 1, 34
8 Apoteker 3 0, 80
9 Administrasi 57 15, 28
10 Sanitarian 3 0, 80
11 Satpam 4 1, 07
12 Lain-lain (cleaning service, 80 21, 45
asisten perawat, )

Jumlah 373 100,00


22 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Unit Kerja di RS Panti


Rapih Yogyakarta tahun 2012
No. Unit Kerja Frekuensi Persentase
1 Rawat Inap 123 32, 97
2 Rawat Jalan 46 12, 33
3 Farmasi 19 5, 09
4 Fisiotherapi 3 0, 80
5 IGD dan Ruang Operasi 19 5, 09
6 Laboratorium 40 10, 72
7 Non Medis (LHK, keu, tenik, RM) 61 16, 35
8 Maternal 15 4, 04
9 PGPM (gizi) 18 4, 83
10 Pelayanan Medis 5 1, 34
11 Lain-lain 24 6, 44
Jumlah 373 100, 00

gai perawat (47,99%), tenaga administrasi semua profesi di seluruh unit harus
sebesar 15,28%, analisis laboratorium se- memahami tentang budaya keselamatan
banyak 3,22%, radiografer 1,34%, satpam pasien, bekerja sesuai SOP yang ada dan
sejumlah 1,07% dan apoteker sejumlah mengupayakan keselamatan pasien sebagai
0,8%. Melihat data tersebut dapat diketahui fokus dalam pelayanan di unit kerjanya
bahwa profesi perawat merupakan jenis masing-masing. Hal ini sesuai dengan
profesi yang terbanyak jika dibandingkan pendapat Cahyono (2008) yang menyatakan
dengan jenis profesi lain. Menurut Yahya bahwa KTD dapat terjadi dimana-mana dan
(2011) semua profesi yang bekerja di suatu kapan saja di seluruh unit pelayanan di
rumah sakit memiliki risiko untuk melakukan rumah sakit yang sangat kompleks dan
suatu kesalahan (error). beragam.
Perawat bekerja dan bersama pasien
selama 24 jam, sekitar 60% dari keterampilan Tabel 3. Distribusi Frekuensi Res-
yang ada di rumah sakit adalah keterampilan ponden Berdasarkan Lama
keperawatan. Untuk mengantisipasi terjadinya Bekerja di RS Panti Rapih
KTD, seluruh perawat bekerja dengan Yogyakarta tahun 2012
mengunakan SOP (standar operasional pro-
sedur) yang ada di rumah sakit. Lama Bekerja Frekuensi Persentase
di RSPR
Karakteristik Responden Berdasarkan Kurang dari 1 tahun 30 8, 09
Unit Kerja 1 – 5 tahun 88 23, 72
Seluruh karyawan yang berkarya di 6 – 10 tahun 38 10, 24
11 – 15 tahun 63 16, 98
RS Panti Rapih terbagi dalam 44 unit kerja
16 – 20 tahun 78 21, 02
(Tabel 2). Responden yang paling besar 21 tahun atau lebih 74 19, 95
adalah yang berkarya di unit rawat inap yaitu
sebanyak 32,97%. Karyawan yang bekerja Dari hasil pengumpulan data diketahui
di seluruh unit di RS Panti Rapih berisiko bahwa sebagian besar responden (23,72%)
untuk terjadi kesalahan/KTD. Untuk itulah berada pada rentang 1-5 tahun bekerja di
Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien... 23

rumah sakit, sedangkan yang bekerja (>75%) dan area budaya yang mem-
selama kurang dari 1 tahun merupakan butuhkan pengembangan (respon positif
jumlah yang terkecil, yaitu 8,09%. Robbins <50%).
(2003) berpendapat bahwa ada hubungan Area kekuatan budaya keselamatan
positif antara senioritas dengan produktivitas pasien yang mempunyai respon kekuatan
kerja. Jika dikaitkan dengan sistem jenjang tinggi adalah aspek pengembangan budaya
karier profesi perawat yang disusun oleh belajar berkelanjutan (81,67%), aspek
Depkes RI (2006) rentang pengalaman kerja tim antar unit dengan respon positif
kerja antara 1–5 tahun di rumah sakit setara sebesar 79,30% dan aspek dukungan
dengan tingkatan perawat antara perawat manajemen terhadap keselamatan pasien
klinik I (novice) dan perawat klinik II (respon positif 75,68%). Dari survei ini
(advance beginners). Kondisi ini kurang dapat diketahui area budaya keselamatan
aman dan perlu diwaspadai oleh pihak yang masih membutuhkan pengembangan
manajemen karena perawat dengan masa yaitu aspek banyaknya pelaporan insiden
kerja tersebut rata-rata berusia sekitar 21– dengan respon positif sebesar 21,09%,
25 tahun yang merupakan usia rentan untuk aspek ketenagaan/SDM (Sumber Daya
mencari pengalaman baru atau pun usia Manusia) memiliki respon positif sebesar
(menjelang pernikahan) sehingga memung- 43,12%, aspek respon tanpa hukuman
kinkan untuk pindah bekerja karena meng- dengan respon positif sebesar 41,81%.
ikuti suami ataupun alasan lain. Budaya organisasi berunsurkan nilai-
nilai atau keyakinan (core value) yang
Budaya Keselamatan Dalam 12 berfungsi sebagai perekat organisasi, yang
Dimensi Keselamatan dijadikan dasar dalam membentuk perilaku
Dari hasil pengumpulan data (Tabel 4) setiap individu dalam organisasi dalam
dapat diketahui area budaya keselamatan rangka mencapai visi organisasi. Nilai-nilai
yang mempunyai respon positif tinggi yang dimaksud diant aranya adalah

Tabel 4. Gambaran Budaya Keselamatan dalam 12 Dimensi Keselamatan di RS


Panti Rapih Yogyakarta 2012
Persentase
No. Aspek Budaya KP
Respon Positif
1 Belajar berkelanjutan organisasi 81, 67
2 Kerja tim dalam unit kerja 79, 30
3 Upaya atasan dalam meningkatkan KP 61, 18
4 Dukungan manajemen terhadap KP 75, 68
5 Persepsi keseluruhan mengenai KP 61,01
6 Komunikasi dan Umpan balik mengenai KP 57, 40
7 Keterbukaan komunikasi 53, 36
8 Banyaknya pelaporan insiden 21, 09
9 Kerja tim antar unit 64, 83
10 Sumber daya manusia 43, 12
11 Pergantian shift dan transfer pasien antar unit 63, 48
12 Respon tanpa hukuman untuk kesalahan 41, 81
24 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

melaporkan dan membahas kesalahan/KTD pelaporan dianggap sebagai bagian yang


tanpa bersikap menyalahkan, bekerja sangat penting dalam upaya membangun
secara teamwork dan memandang suatu keselamatan pasien. Dengan berjalannya
kesalahan dalam kerangka sistem. Jika proses pelaporan yang baik (non punitif/
dikaitkan dengan teori Reiling (2006) dalam tidak menghukum, tepat waktu, dianalisis
Setyawati (2010), budaya keselamatan oleh ahli dan berorientasi pada sistem),
terdiri atas informed culture, reporting hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai pem-
cultur, just culture dan learning culture. belajaran dan berguna untuk menentukan
prioritas pemecahan masalah, serta untuk
Informed Culture
monitoring dan evaluasi keberhasilan dalam
Keselamatan pasien telah diinfor-
penerapan program.
masikan ke seluruh karyawan. Di RS Panti
Menurut Cahyono (2008) budaya
Rapih telah dibentuk tim keselamatan pasien
yang dapat menghambat program kesela-
rumah sakit dan telah dideklarasikan sejak
matan pasien diantaranya adalah ketakutan
bulan Desember 2010. Sampai saat ini tim
terhadap hukuman, cara memandang suatu
keselamatan pasien ini tetap eksis dan ber-
kesalahan/KTD dimana penyebab KTD
hasil mengadakan berbagai macam kegiatan
dipandang sebagai kesalahan personal dan
dan pelatihan-pelatihan baik internal maupun
eksternal dalam upaya menurunkan KTD. bukan sistem, respon terhadap kesalahan/
Dukungan manajemen dirasakan baik oleh KTD dimana masih terdapat naming (men-
seluruh karyawan yang ditunjukkan dengan cari siapa yang salah), blaming (menya-
hasil pengumpulan data pada aspek du- lahkan) dan mencari “kambing hitam” pada
kungan manajemen terhadap keselamatan saat terjadi kesalahan, serta menutupi
pasien mendapatkan respon positif sebesar kejadian KTD, sistem pelaporan yang tidak
75,68%. praktis dan pelaporan yang berujung sanksi.
Data lain yang terkait dengan aspek Hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh
budaya dalam kerja tim dalam unit juga Tucker dalam Cahyono (2008), para pera-
menunjukkan respon positif yang cukup tinggi wat cenderung melakukan penyesuaian diri
yaitu mencapai 79,30%. Hal ini meng- dengan lingkungan yang tidak aman dan
gambarkan bahwa semangat bekerja sama nyaman daripada harus membicarakan
dan saling mendukung untuk terlaksananya ataupun melaporkan suatu kesalahan yang
program keselamatan pasien telah terbangun mengakibatkan cedera.
dengan baik. Kondisi ini terjadi karena budaya Keterbukaan komunikasi yang dira-
kerja yang selama ini terbentuk di RS Panti sakan oleh karyawan masih perlu mendapat
Rapih sudah baik. Melihat kesadaran seluruh perhatian. Hal ini dibuktikan dengan peni-
karyawan dan dukungan manajemen yang laian aspek komunikasi dan umpan balik
baik, menumbuhkan harapan bahwa program mengenai insiden keselamatan mendapatkan
keselamatan pasien yang dicanangkan akan penilaian respon positif sebesar 57,40%.
berjalan dengan baik sehingga mampu Pelaporan insiden mendapatkan respon
meminimalkan adanya KTD. positif yang paling rendah, yaitu sebesar
21,09%. Keadaan ini membuktikan bahwa
Reporting Culture manfaat pelaporan insiden belum sepe-
NPSA (The National Patient Safety nuhnya dipahami oleh karyawan, sehingga
Agency) menempatkan pelaporan sebagai mereka belum terbiasa melaporkan kejadian
satu dari tujuh langkah keselamatan pasien, kesalahan di unitnya masing-masing.
Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien... 25

Menurut Hopskin (2002) budaya pela- bahwa sebagian karyawan merasakan


poran sangat tergantung pada cara organisasi bahwa kesalahan yang mereka lakukan
mengatasi blaming dan penegakkan disiplin, digunakan untuk menyalahkan mereka, dan
sedangkan menurut Arjaty Daud (2011) bila melaporkan suatu insiden yang utama
masalah yang sering muncul dalam pelaporan dibicarakan adalah pelakunya bukan masa-
insiden diantaranya adalah bahwa laporan lahnnya, selain itu karyawan masih merasa
masih dipersepsikan sebagai “pekerjaan khawatir bahwa kesalahan yang mereka
tambahan” perawat dan laporan sering buat akan dicatat dalam penilaian kinerja
disembunyikan/under report karena takut mereka. Keterbukaan komunikasi menda-
disalahkan, terlambat dalam pelaporan dan patkan respon positif sebesar 53,36%. Hal
laporan miskin data karena ada blame culture. ini menunjukkan bahwa karyawan belum
Data lain terkait dengan budaya kese- merasa bebas membicarakan tentang segala
lamatan khususnya aspek Sumber Daya sesuatu yang berdampak negatif pada pa-
Manusia (SDM)/ketenagaan, masih men- sien dan belum merasa bebas menanyakan
dapatkan respon positif sebesar 43,12%. hal tersebut kepada atasan.
Hal ini menunjukkan bahwa karyawan
merasa bekerja dengan beban kerja yang Learning Culture
tinggi sehingga mudah lelah dan masih Hasil pengumpulan data memperoleh
enggan untuk melaporkan jika melakukan gambaran bahwa aspek belajar berkelan-
kesalahan. Beban kerja yang terlalu tinggi jutan pada organisasi mendapatkan respon
dapat sebagai penyebab kegagalan aktif positif paling tinggi, yaitu 81,67%. Kondisi
(active failure) yang ikut berkontribusi ini menunjukkan bahwa seluruh karyawan
terhadap terjadinya insiden di rumah sakit memiliki semangat belajar yang tinggi dan
(NPSA, 2004). Ilyas (2011) menyatakan mudah menyerap informasi baru. Menurut
bahwa SDM merupakan kunci yang sangat Yahya (2006) bahwa nafas dari Patient
penting untuk kemajuan dan keberhasilan Safety adalah belajar (learning) dari KTD
organisasi, maka kualitas dan kuantitas yang terjadi pada masa lalu dan untuk
SDM rumah sakit harus direncanakan selanjutnya akan disusun langkah-langkah
dengan baik. Jika kekurangan ketenagaan agar kejadian serupa tidak akan terulang
ini tidak segera diatasi maka kemungkinan kembali.
KTD akan mudah terjadi. Jika pelaporan insiden belum menjadi
budaya di seluruh unit, maka proses
Just Culture pembelajaran belum berjalan dengan baik
Herkutanto (2009) menyampaikan karena budaya pembelajaran dalam kesela-
bahwa keselamatan pasien sebenarnya tidak matan pasien dimulai dari proses pelaporan
terletak dalam diri seseorang, alat/depar- insiden dan selanjutnya dianalisis sampai
temen secara individual, tetapi muncul dari dengan ditemukannya akar masalah yang
interaksi komponen-komponen sebuah dapat digunakan sebagai dasar untuk
sistem dan berada dalam konteks pelayanan memperbaiki sistem kerja yang berguna
yang berkualitas. dalam menurunkan statistik KTD.
Penilaian responden terhadap respon Budaya pelaporan insiden yang
tanpa hukuman untuk kesalahan menda- dilaporkan dalam satu tahun terakhir ini
patkan penilaian respon positif sebesar menurut persepsi responden (tabel 5) adalah
41,81%. Dengan demikian dapat dipahami sebagian besar (46,92%) menyatakan tidak
26 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

Tabel 5. Gambaran Persepsi Responden terhadap Angka Pelaporan Insiden


Keselamatan Pasien di RS Panti Rapih Yogyakarta tahun 2012

Banyaknya Pelaporan IKP


Frekuensi Persentase
dalam 12 Bulan Terakhir
Tidak ada laporan 175 46, 92
1—2 laporan 101 27, 05
3—5 laporan 38 10, 19
6—10 laporan 22 5, 90
11—20 laporan 14 3, 75
21/lebih laporan 23 6, 17
Jumlah 373 100

ada pelaporan, sebesar 27,05% menyata- Tabel 6. Gambaran Persepsi Respon-


kan terdapat 1-2 pelaporan, dan hanya den tentang Tingkat Budaya
6,17% responden yang menyatakan mela- KP di RS Panti Rapih Yogya-
porkan 21 atau lebih kejadian. Dari data karta 2012
tersebut diketahui bahwa sebagian karya- Aspek Frekuensi Persentase
wan telah memahami bahwa penting untuk Sempurna 26 6, 97
melaporkan insiden kepada tim keselamatan Baik 216 57, 91
pasien jika terjadi KTD di unit kerjanya, Bisa diterima 107 28, 69
namun sebagian responden belum mela- Sedang 23 6, 17
porkan adanya insiden. Buruk 1 0, 27
Salah satu program utama dalam pene- Jumlah 373 100, 00
rapan keselamatan pasien rumah sakit ada-
lah pelaporan insiden keselamatan pasien.
Melalui sistem pelaporan dan investigasi menyatakan buruk. Data tersebut memberikan
yang baik dapat diungkap jenis kesalahan, gambaran bahwa program keselamatan pasien
jenis cedera, kegagalan petugas, kondisi sudah diterima dengan baik oleh sebagian
lingkungan yang memudahkan terjadinya besar karyawan, dan telah terlibat aktif dalam
kesalahan. Data yang diperoleh melalui sis- pelaksanaan program keselamatan pasien yang
tem pelaporan dapat dianalisis dan diguna- dilakukan oleh tim keselamatan pasien rumah
kan untuk membuat rekomendasi untuk sakit. Perlu ditekankan juga bahwa persepsi
memperbaiki sistem yang ada. baik belum cukup karena masih sebatas
Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa kognitif dan belum menunjukkan perilaku yang
persepsi responden tentang pentingnya sesungguhnya.
keselamatan pasien diseluruh unit RSPR sudah
tumbuh baik. Hal ini ditunjukkan dengan SIMPULAN DAN SARAN
penilaian (persepsi) tingkat budaya
keselamatan oleh sejumlah 216 responden Simpulan
(57,91%) menyatakan baik, dan sejumlah 107 Budaya keselamatan yang ada di RS
responden (28,69%) menyatakan bisa Panti Rapih dilihat dari 12 dimensi kesela-
diterima, dan hanya 1 responden (0,27%) yang matan adalah area kekuatan yang memiliki
Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien... 27

respon positif paling tinggi adalah aspek Budaya Keselamatan Pasien


pengembangan belajar organisasi (81,67%), dalam Praktik Kedokteran,
sedangkan area budaya keselamatan yang cetakan ke-5. Kanisius: Yogyakarta.
masih membutuhkan perhatian dari mana- Daud, Arjaty. 2011. Keselamatan Pasien
jemen secara khusus dan membutuhkan dan Manajemen Risiko Klinis.
perhatian pengembangan adalah banyaknya Materi Workshop: Komite Kese-
pelaporan insiden yaitu 21,09%. lamatan Pasien Rumah Sakit.
Gambaran mengenai persepsi res- Depkes RI. 2006. Panduan Nasional Ke-
ponden penelitian terhadap angka pelaporan selamatan Pasien Rumah Sakit.
insiden adalah sebesar 46,92% responden Jakarta.
menyatakan tidak ada pelaporan di unitnya,
sedangkan persepsi responden terkait Herkutanto. 2009. Profil Komite Medis dan
dengan tingkat budaya keselamatan pasien Faktor-faktor yang Mempengaruhi
adalah sebesar 216 responden (57,91%) Kinerjanya dalam Menjamin Kese-
menyatakan baik, sejumlah 107 responden lamatan Pasien. Jurnal Manajemen
(28,69%) menyatakan bisa diterima, dan Pelayanan Kesehatan, 12 (1).
hanya 1 responden (0,27%) yang menya- Hopskin A, 2002, Safety Culture, Min-
takan buruk. fulness and Safe Behavior: Con-
verging Idea. The Australian
Saran National Universiy.
Saran kepada manajer/pimpinan Ilyas, Y. 2011. Perencanaan SDM Rumah
supaya dapat menciptakan budaya mela- Sakit, Teori, Metoda dan Formu-
porkan KTD dengan cara melakukan so- la. FKM-UI: Jakarta.
sialisasi secara terus menerus tentang pen- Joann Soora, Veronica Nieva, Ph.D. 2004.
tingnya melaporkan insiden keselamatan Hospital Survey on Patient Safety
pasien kepada tim KP-RSPR misalnya Culture. AHRQ Publication, 04-
dengan menyelenggarakan pelatihan khusus 0041.
tentang pelaporan insiden, mengidentifikasi Joint Commission International. 2011.
penyebab rendahnya pelaporan insiden, jika Standar Akreditasi Rumah Sakit.
dimungkinkan bisa memberikan hadiah/ Edisi ke-4. PT Gramedia: Jakarta.
reward bagi karyawan yang melaporkan
insiden, sedangkan untuk menciptakan PERSI-KKP-RS. 2011. Kumpulan Ma-
keterbukaan berkomunikasi baik antar staf teri Workshop Keselamatan Pasi-
ataupun dengan pihak manajemen perlu en dan Manajemen Risiko Klinis:
dihidupkan kembali kegiatan informal seperti Jakarta.
rekreasi bersama ataupun arisan. Raleigh, V.S., Cooper, J., Bremmer, S.a.,
at.all. 2008. Patient Safety Indi-
cators for England from Hospital
DAFTAR RUJUKAN Administrative Data: Case-control
Busroni, Wahid. 2007. Analisis Penentuan Analysis and Comparison with US
Tarif Rawat Inap: Studi Kasus di Data. British Medical Journal, 337
Rumah Sakit Umum Daerah (a1702).
Kabupaten Sleman. Tesis. Diter- Reason, James. 1998. Achiving A Safe
bitkan. Yogyakarta: MM-UGM. Culture: Theory And Practice. Work
Cahyono, Suharjo, J.B. 2008. Membangun & Stress, 12 (3).
28 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Orga-


nisasi. Edisi ke-10. PT Index
Kelompok Gramedia: Jakarta.
Yahya, Adib. 2006. Konsep dan Program
“Patient Safety”. Makalah disam-
paikan dalam Proceedings of Na-
tional Convention VI of The Hospi-
tal Quality Hotel Permata Bidakara,
Bandung.
__________. 2011. Kumpulan Materi
Workshop Keselamatan Pasien &
Manajemen Risiko Klinis di RS
Panti Rapih. Yogyakarta.
EFEKTIVITAS METODE PERAWATAN LUKA MOISTURE
BALANCE TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA PADA
PASIEN ULKUS DIABETIKUM
Salia Marvinia, Widaryati
STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
Email: widaryati2902@yahoo.com

Abstract: The objective of this study is to investigate the effectiveness


of moisture balance wound care method in healing diabetic ulcers at
Wound Care Clinic, Faculty of Health Sciences, UMM. This study is a
pre-experimental research with prospective approach. The instrument
used in this research was observation sheet. The population in this study
was 40 people. The sample was taken by using accidental sampling
technique which obtained 12 respondents. The effectiveness of moisture
balance wound care method obtained mean of 28.4 before wound care
treatment and 19.3 after the treatment. Data analysis using paired sample
t-test showed that there was significant differences between pre- and
post-treatment with the moisture balance wound care method in patients
with diabetic ulcers (t=16.722, > t critic=2.201). It is recommended to
set the moisture balance wound care method as the standardized method
in wound care of diabetic ulcers. UMM’s Faculty of Health Sciences
can develop the related treatment toward other types of wound.

Keywords: wound care, moisture balance, diabetic ulcers

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas


perawatan luka moisture balance terhadap penyembuhan luka ulkus
diabetikum di klinik spesialis perawatan luka FIKES UMM. Penelitian ini
adalah penelitian pra eksperimen dengan pendekatan prospektif. Instrumen
penelitian menggunakan lembar observasi. Populasi dalam penelitian ini 40
orang dengan menggunakan teknik accidental sampling didapatkan sampel
12 orang. Penilaian efektivitas perawatan luka didapatkan kondisi luka
sebelum dilakukan perawatan luka moisture balance jumlah rerata 28,4
dan setelah dilakukan perawatan luka moisture balance didapatkan jumlah
rerata 19,3. Hasil analisis dengan Paired Sampel T-test menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perawatan luka
dengan metode moisture balance pada pasien ulkus diabetikumnilai (t=
16,722, > t kritik=2,201). Perawatan luka moisture balance dijadikan
standar perawatan luka khususnya ulkus diabetikum, dan Klinik FIKES
UMM dapat mengembangkan ilmu terkait perawatan luka pada penanganan
luka lainnya.

Kata kunci: perawatan luka, moisture balance, ulkus diabetikum


30 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 29-36

PENDAHULUAN menjadi ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum


Jumlah penderita diabetes mellitus di adalah luka pada kaki yang merah kehi-
Indonesia dari tahun ke tahun mengalami taman yang berbau busuk akibat sumbatan
peningkatan. Hal ini berkaitan dengan jumlah yang terjadi di pembuluh darah sedang atau
populasi yang meningkat dan sebagai dampak besar di tungkai. Ulkus diabetikum merupa-
pembangunan, pola penyakit mengalami kan salah satu komplikasi kronik diabetes
pergeseran yang cukup meyakinkan. Peru- mellitus yang paling ditakuti oleh setiap
bahan pola penyakit ini diduga ada hubung- penderita diabetes mellitus (Tjokropawiro,
annya dengan cara hidup yang berubah, 2007).
contohnya adalah pola makan. Perubahan Dibandingkan non diabetes, penderita
tersebut terlihat banyaknya konsumsi kompo- diabetes mellitus lebih sering mengalami
sisi makanan yang terlalu banyak mengandung ulkus diabetikum, diperkirakan 17 kali lebih
karbohidrat, protein, lemak, gula, garam dan sering. Dampak ulkus diabetikum yang lama
sedikit serat. Hal inilah yang berisiko terjadinya penyembuhannya terhadap kelangsungan
beberapa penyakit, diantaranya adalah diabe- kualitas hidup individu selain membutuhkan
tes mellitus (Suyono, 2006). biaya yang cukup banyak dan waktu yang
Diabetes mellitus adalah penyakit me- tidak sebentar, berdampak juga pada
tabolik yang kebanyakan herediter, dengan psikologis pasien. Semakin lama proses
tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria penyembuhan pasien merasa semakin malu
disertai dengan atau tidak adanya gejala dengan penyakit yang tidak kunjung
klinik akut maupun kronik, sebagai akibat sembuh.
dari kurangnya insulin efektif di dalam tubuh, Penanganan luka pada pasien ulkus
gangguan primer terletak pada metabolisme diabetikum tidak boleh dianggap remeh,
karbohidrat yang biasanya disertai juga namun hingga kini penanganan luka masih
gangguan metabolisme lemak dan protein dilakukan dengan cara lama. Penanganan
(Tjokropawiro, 2007). luka dengan cara lama biasanya disebut
Organisasi kesehatan dunia (WHO) sebagai manajemen luka metode konven-
memperkirakan jumlah pasien diabetes sional. Pada luka ringan perawatan dilaku-
mellitus akan meningkat hingga melebihi 300 kan dengan cara membersihkan luka dan
juta pada tahun 2025. Indonesia merupakan mengoleskan obat luka yang dikenal dengan
negara dengan penderita penyakit diabetes obat merah atau betadhine. Sementara
mellitus cukup tinggi. Saat ini menempati pada luka berat, langkah yang diambil
urutan keempat dengan jumlah penderita hampir sama.
terbesar di dunia setelah India, Cina dan Banyak yang tidak memikirkan apakah
Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8,6% luka tersebut perlu dibalut atau tidak. Ber-
dari total penduduk, pada tahun 1995 dasarkan data yang didapatkan di Balai
terdapat 4,5 juta pengidap diabetes mellitus Pengobatan dan Konsultasi Dinas Kese-
dan pada tahun 2025 diperkirakan mening- hatan Kabupaten Magelang terdapat 45%
kat menjadi 12,4 juta penderita. warga dengan usia 45-70 tahun menderita
Di wilayah Jawa Tengah penderita dia- diabetes mellitus dan terdapat 20% dari total
betes mellitus mencapai 40% dari jumlah jumlah penduduk 25 ribu warga yang
penduduk 120 ribu jiwa. Komplikasi lain mempunyai diabetes mellitus dan berisiko
diabetes mellitus adalah kerentanan terhadap muncul ulkus diabetikum. Di dunia yang
infeksi, tuberculosis paru dan infeksi pada sudah berkembang saat ini, perawatan luka
kaki, yang kemudian dapat berkembang telah mengalami perkembangan yang sangat
Salia Marvinia dan Widaryati, Efektivitas Metode Perawatan Luka ... 31

pesat terutama dalam dua dekade terakhir. dan penawarnya dan Dia telah menen-
Di samping itu, isu terkini yang berkait dengan tukan setiap penawar untuk setiap pe-
perawatan luka ini berkaitan dengan perubahan nyakit. Jadi rawatlah dirimu sendiri de-
profil pasien, dimana pasien dengan kondisi ngan menggunakan obat-obatan sekuat-
penyakit degeneratif dan kelainan metabolik mu, tetapi jangan menggunakan sesuatu
semakin banyak ditemukan. Kondisi tersebut yang jelas-jelas dilarang.” (HR. Abu
biasanya sering menyertai kekomplekan suatu Dawud dari Abu Al Darda).
luka dimana perawatan yang tepat diperlukan Perkembangan perawatan luka
agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan (wound care) berkembang dengan sangat
optimal. pesat di dunia kesehatan. Metode pera-
Beberapa hal yang perlu diperhatikan watan luka yang berkembang saat ini adalah
dalam perawatan ulkus diabetikum yaitu perawatan luka dengan menggunakan
pengaturan makan yang baik dengan prinsip moisture balance. Perawatan luka
mengurangi makanan yang mengandung gula, tersebut dikenal sebagai metode moisture
mengkonsumsi makanan dengan kadar balance dan memakai alat ganti balut yang
protein tinggi misalnya daging tanpa lemak, lebih modern. Turner dan Hartman (2002)
telur, ikan, sayur hijau dan harus menjauhi menyatakan bahwa perawatan luka dengan
makanan dengan kandungan tinggi karbo- konsep lembab yang dilakukan secara
hidrat serta melakukan latihan fisik secara kontinyu akan mempercepat pengurangan
teratur (Nurhasan, 2002). luka dan mempercepat proses pembentukan
Metode konvensional atau metode jaringan granulasi dan reepitelisasi.
yang sering diterapkan sejak dahulu telah Menurut Ovington (2002) bahwa
dikembangkan untuk membantu penyem- penggunaan kasa baik dengan cara kering
buhan luka, seperti dengan menjahit luka, atau dilembabkan memiliki beberapa
menggunakan antiseptik dosis tinggi, dan kekurangan yaitu dapat menyebabkan rasa
pembalutan dengan menggunakan bahan tidak nyaman saat penggantian balutan,
yang menyerap. Namun ketika diteliti lebih menunda proses penyembuhan terutama
lanjut, ternyata cara tersebut sama sekali epitelisasi, meningkatkan risiko infeksi dan
tidak membantu penyembuhan luka bahkan kurang efektif serta efisien dalam hal peng-
berisiko memperburuk kondisi luka. gunaan waktu dan tenaga.
Antiseptik seperti hydrogen peroxide, Hasil riset Winter (1962) menyatakan
povidone iodine dan acetic acid selalu kelembaban pada lingkungan luka akan
digunakan untuk menangani luka pada mempercepat proses penyembuhan luka.
metode konvensional. Walaupun alasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penggunaan antiseptik pada luka bertujuan tingkat efektivitas perawatan luka moisture
untuk menjaga luka tersebut agar menjadi balance terhadap penyembuhan luka pada
steril, masalah utama yang justru timbul pasien ulkus diabetikum di Klinik Spesialis
adalah antiseptik tersebut tidak hanya Perawatan Luka FIKES UMM.
membunuh kuman-kuman yang ada, namun
juga membunuh leukosit yaitu sel darah yang METODE PENELITIAN
dapat membunuh bakteri pathogen dan Penelitian ini merupakan penelitian pre-
jaringan fibroblast yang membentuk jaringan experiment (pra-eksperimen) dengan one
kulit baru. Hal ini dapat menyebabkan group pretest-postest design. Populasi
gangguan pada proses penyembuhan luka. dalam penelitian ini berjumlah 40 orang
“Allah SWT telah menurunkan penyakit dengan menggunakan teknik accidental
32 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 29-36

sampling didapatkan sampel 12 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengambilan data menggunakan lembar Data yang diambil pada bulan Januari
observasi baku yang digunakan untuk meng- 2013, diperoleh 12 orang sebagai respon-
observasi kondisi luka di Klinik Perawatan den penelitian. Responden dalam penelitian
Luka FIKES UMM berdasarkan pedoman ini adalah pasien dengan ulkus diabetikum
dari Certified Wound Care Clinician yang melakukan pemeriksaan di klinik
(CWCC) yang terdiri dari 10 item obser- perawatan luka FIKES UMM. Jumlah
vasi. Sepuluh item tersebut adalah luas luka, sampel dalam penelitian ini adalah 12 orang
kedalaman, tepi luka, goa, tipe eksudat, dengan karakteristik responden berda-
jumlah eksudat, warna kulit sekitar luka, sarkan umur, jenis kelamin, personal
jaringan yang edema, jaringan granulasi, dan hygiene dan status nutrisi (tabel 1).
epitelisasi. Tabel 1 menunjukkan bahwa respon-
Penilaian dilakukan sebelum diberikan den dalam penelitian ini sebagian besar
perawatan moisture balance dan setelah berusia 45-54 tahun sebanyak 5 orang
dilakukan perawatan moisture balance (41,7%) dan hanya 1 responden yang ber-
selama tujuh hari. Setiap item mempunyai usia lebih dari 74 tahun (8,3%). Berdasarkan
skala penilaian 1–5 yang bersifat unfa- jenis kelamin, jumlah responden laki-laki
vorable (negatif) sehingga semakin tinggi sebanyak 8 orang (66,7%). Berdasarkan
nilai setiap item, maka semakin buruk status nutrisi, responden dalam penelitian ini
kondisi luka diabetikum. Data responden memiliki status nutrisi yang baik dan sedang
disajikan berupa skor luka, sehingga skala masing-masing sebanyak 6 orang (masing-
data berupa skala interval. masing 50%) dengan tingkat personal
Perawatan luka yang diberikan berupa hygiene baik sebanyak 7 orang (58,3%).
perawatan luka moisture balance. Caranya
dengan membersihkan luka dengan air Tabel 1. Karakteristik Responden
hangat kemudian dibersihkan dengan sabun, Penelitian
setelah dibersihkan menciptakan dasar luka Frekuensi Persentase
dengan cara debridement atau pengambilan Karakteristik
(F) (%)
jaringan mati (nekrosis) dan slough kemu- Umur
45 - 54 th 5 41,7
dian dilakukan penilaian terhadap luka.
55 – 64 th 4 33,3
Perawatan luka pada pasien ulkus dia- 65 – 74 th 2 16,7
betikum dilakukan selama tujuh hari dan > 74 th 1 8,3
setiap pasien dengan ulkus diabetikum Jumlah 12 100,0
Jenis Kelamin
mendapatkan perlakuan perawatan luka Laki – laki 8 66,7
dengan moisture balance tiga kali pera- Perempuan 4 33,3
watan dalam tujuh hari. Jumlah 12 100,0
Status Nutrisi
Analisis data dilakukan dengan Baik 6 50,0
menggunakan statistic parametric karena Sedang 6 50,0
data berupa skala interval. Sebelum diana- Buruk 0 00,0
Jumlah 12 100,0
lisis, dilakukan uji normalitas. Setelah data Personal Hygiene
dinyatakan terdistribusi normal, data Baik 7 58,3
kemudian dianalisis menggunakan Paired Sedang 5 41,7
Buruk 0 00,0
Sample t-Test. Jumlah 12 100,0
Salia Marvinia dan Widaryati, Efektivitas Metode Perawatan Luka ... 33

Penilaian kondisi luka ulkus diabetikum babkan penurunan sirkulasi migrasi sel darah
sebelum dan setelah dilakukan perawatan putih pada luka dan fagositosis terlambat
moisture balance yang didapatkan dari dapat menganggu proses penyembuhan.
penjumlahan 10 item penilaian pada lembar Faktor nutrisi misalnya menghambat respon
observasi dengan hasil ditampilkan pada imun dan opsonisasi bakteri.
tabel 2. Hasil penelitian didapatkan kondisi Defisiensi asam askorbat merupakan
luka ulkus diabetikum sebelum dilakukan penyebab gangguan penyembuhan luka yang
perawatan luka dengan metode moisture paling sering. Asam askorbat merupakan
balance memiliki nilai rerata 28,4 (kriteria suatu kofaktor dalam hidroksilasi prolin
kondisi luka sedang) dan setelah dilakukan menjadi asam aminohidroksi prolin pada
perawatan moisture balance nilai rerata sintesis kolagen dalam penambahan molekul
menjadi 19,3 (kriteria kondisi luka ringan). oksigen. Jaringan parut lama, memiliki
Gejala yang menyertai timbulnya ulkus aktifitas kolagenase yang lebih tinggi dari
diabetikum adalah kemerahan yang makin pada kulit normal. Zat besi merupakan unsur
meluas, rasa nyeri makin meningkat, panas yang penting untuk penyembuhan luka. Zat
badan dan adanya nanah yang makin besi juga diperlukan untuk berlangsungnya
banyak serta adanya bau yang makin tajam hidroksilase residu prolin. Kalsium dan mag-
(Gitarja, 2000). nesium dibutuhkan untuk aktivasi kolage-
Berdasarkan tabel 2 terdapat satu nase dan sintesis protein secara umum.
pasien dengan kondisi luka sedang. Faktor Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka
yang menghambat penyembuhan luka pada adalah suplai oksigen yang adekuat. Keba-
pasien ulkus diabetikum yaitu status nutrisi nyakan penyembuhan luka yang kronik
yang tidak adekuat dan pasien berumur > dapat diatasi secara efektif dengan mening-
65 atau tua juga mengalami penurunan katkan oksigenasi jaringan.
respon inflamatari yang memperlambat Berdasarkan data yang peneliti dapat-
proses penyembuhan. Usia tua menye- kan bahwa dari 10 item mengalami

Tabel 2. Data Kondisi Luka Sebelum dan Setelah Dilakukan Perawatan Moisture
Balance
Responden Pre test Kategori Post test Kategori
1 32 Sedang 22 Baik
2 29 Sedang 19 Baik
3 36 Sedang 25 Sedang
4 19 Baik 14 Baik
5 28 Sedang 17 Baik
6 27 Sedang 18 Baik
7 31 Sedang 22 Baik
8 30 Sedang 20 Baik
9 32 Sedang 22 Baik
10 30 Sedang 19 Baik
11 22 Baik 15 Baik
12 25 Sedang 18 Baik
Rerata 28,4 Rerata 19,3 Baik
34 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 29-36

keterlambatan dalam item pertama yaitu luas moisture balance pada luka ulkus
luka, karena untuk menciptakan luas luka diabetikum dilakukan uji statistik dengan
dapat berkurang secara signifikan peneliti menguji perbedaan kondisi luka ulkus
membutuhkan waktu yang cukup lama. Epi- diabetikum sebelum dan setelah dilakukan
telisasi dan granulasi dapat berkembang perawatan moisture balance.
dengan sempurna apabila didukung dengan
jumlah eksudat dan goa pada luka berku- Tabel 4. Data Uji Statistik Paired
rang. Mayoritas responden memiliki ke- Sampel T-test
mampuan respon tubuh yang sama, didu-
kung juga dengan kadar gula yang terkontrol
Nilai t Nilai P
maka kecepatan kesembuhan cepat.
Luka dikatakan mengalami proses Pretest dan posttest 16,722 0,000
penyembuhan jika mengalami fase respon
inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif,
Uji statistik menggunakan Paired Sam-
fase proliferatif dan fase maturasi (Morison,
pel T-test dan didapatkan nilai p sebesar
2004). Kemudian disertai dengan berkurangnya
0,000 (p<0,05), maka hipotesis nol ditolak
luasnya luka, jumlah eksudate berkurang,
dan hipotesis alternatif diterima, dengan kata
jaringan luka semakinmembaik, sedangkan luka
lain ada perbedaan yang signifikan secara
sedang bisa dikategorikan dalam kondisi luka
statistik kondisi luka antara sebelum dan
yang tidak mengalami infeksi.
sesudah perawatan luka ulkus diabetikum.
Sebelum analisis data dilakukan, sudah
Gambaran secara umum didapatkan
dilakukan uji normalitas data dan hasil
data bahwa mayoritas pasien dengan ulkus
pretest-posttest berdistribusi normal sehing-
diabetikum mempunyai luas luka < 36 cm,
ga analisis data selanjutnya uji statistik
dalam stage tiga, produksi pus atau nanah
parametrik. Berikut akan disajikan deskripsi
masih banyak dan purulent, belum ada per-
data penelitian yang akan memberikan
tumbuhan granulasi dan epitelisasi, warna
informasi tentang nilai maksimum, nilai
sekitar kulit putih, pucat atau hipopigmentasi.
minimum, mean dan standar deviasi
Beberapa faktor yang dapat meng-
berdasar subyek penelitian (Tabel 3.)
hambat proses penyembuhan diantaranya
kurang maksimalnya pengendalian variabel
Tabel 3. Deskripsi Data Kondisi Luka
Sebelum dan Setelah Dilaku- pengganggu seperti status nutrisi, yaitu pola
kan Perawatan Luka Moisture makan yang tidak teratur serta personal
Balance hygiene pasien yang kurang memperhatikan
kebersihan diri, terutama menjaga kondisi
luka. Berdasarkan data yang peneliti dapat-
Deskripsi Data Pretest Posttest
kan, penilaian terhadap kondisi luka ber-
Nilai minimum 19 14
dasarkan dari 10 item mengalami keterlam-
Nilai maksimum 36 25
Rerata 28,4 19,3 batan dalam item kesepuluh yaitu epitelisasi.
Standar Deviasi 4,7 3,2 Epitelisasi pada tepi luka memerlukan
Mean 28,4 19,3 perhatian khusus terhadap adanya pertum-
buhan kuman dan hipergranulasi yang dapat
menghambat epitelisasi dan penutupan luka
Berdasarkan tabel 3 untuk menga- karena untuk menciptakan epitelisasi dapat
nalisis efektivitas metode perawatan tumbuh secara signifikan peneliti membutuh-
Salia Marvinia dan Widaryati, Efektivitas Metode Perawatan Luka ... 35

kan waktu yang cukup lama. Epitelisasi pernah dilakukan dengan setengah dari luka
dapat berkembang sempurna apabila didu- ini dilakukan teknik perawatan luka kering
kung jumlah eksudat dan goa pada luka ber- dan sebagian ditutupi polythene sehingga
kurang. Mayoritas responden memiliki ke- lingkungan luka lembab. Hasil menunjukkan
mampuan respon tubuh yang sama, didu- bahwa perawatan luka dengan polythene
kung juga dengan kadar gula yang terkontrol terjadi epitelisasi dua kali lebih cepat dari
maka kesembuhan dapat dicapai. perawatan luka kering. Hal tersebut menun-
Luka dikatakan mengalami proses jukkan bahwa lingkungan luka yang kering
penyembuhan jika mengalami proses fase menghalangi sel epitel yang migrasi di per-
respon inflamasi akut terhadap cedera, fase mukaan luka, sedangkan dengan lingkungan
destruktif, fase proliferatif dan fase maturasi lembab sel-sel epitel lebih cepat migrasinya
(Morison, 2004). Kemudian disertai dengan untuk membentuk proses epitelisasi (Car-
berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat ville, 2007). Lingkungan luka yang lembab
berkurang, jaringan luka semakin membaik, dapat diciptakan dengan occlusive dres-
sedangkan luka sedang bisa dikategorikan sing/semi-occlusive dressing. Menurut
dalam kondisi luka yang tidak mengalami Carville (2007) manajemen luka yang dila-
infeksi. Penyembuhan luka merupakan sua- kukan tidak hanya melakukan aplikasi se-
tu proses yang kompleks karena proses pe- buah balutan atau dressing tetapi bagaimana
nyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, melakukan perawatan total pada klien
bio-kimia yang terjadi berkesinambungan. dengan luka.
Penanggungan respon vaskuler, Manajemen luka ditentukan dari peng-
aktifitas seluler dan terbentuknya bahan kajian klien, luka klien dan lingkungannya.
kimia sebagai substansi mediator di daerah Tujuan dari manajemen luka yaitu men-
luka merupakan komponen yang saling dukung pengendalian infeksi, membersihkan
terkait pada proses penyembuhan luka. (debridement), membuang benda asing,
Besarnya perbedaan mengenai penyem- mempersiapkan dasar luka, mempertahan-
buhan luka dan aplikasi klinis saat ini telah kan sinus terbuka untuk memfasilitasi draina-
dapat diperkecil dengan pemahaman dan se, mempertahankan keseimbangan kelem-
penelitian yang berhubungan dengan proses baban, melindungi kulit sekitar luka, mendo-
penyembuhan luka dan pemakaian bahan rong kesembuhan luka dengan penyem-
pengobatan yang berhasil memberikan buhan primer dan penyembuhan sekunder.
kesembuhan (Gitarja, 2000). Menjaga kelembaban atau metode
Kondisi fisiologis jaringan adalah kon- moisture akan melindungi permukaan luka
disi hidrasi yang seimbang untuk memper- dengan mencegah kekeringan (desiccation)
tahankan kelembaban. Kondisi yang lembab dan cedera tambahan. Selain itu, balutan
memfasilitasi pertumbuhan jaringan yang ba- tertutup juga dapat mengurangi risiko infeksi.
ru (granulasi). Keadaan ini biasanya dapat Alasan perawatan luka dengan lingkungan
terjaga dengan baik bila kondisi kulit utuh. luka yang lembab dapat membentuk fibri-
Namun inilah masalahnya dimana kulit sudah nolisis yaitu fibrin yang terbentuk pada luka
mengalami kerusakan dan gagal melakukan kronis dapat dengan cepat dihilangkan (fi-
fungsinya. Untuk itu bagaimana memper- brinolitik) oleh netrofil dan sel endotel dalam
tahankan kondisi hidrasi luka yang sudah suasana lembab. Terjadi juga angiogenesis
kehilangan perlindungan yaitu kulit. yaitu keadaan hipoksi pada perawatan
Penelitian eksperimen menggunakan tertutup akan lebih merangsang lebih cepat
luka superfisial pada babi (Rainey, 2002) angiogenesis dan mutu pembuluh kapiler.
36 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 29-36

Angiogenesis akan bertambah dengan DAFTAR RUJUKAN


terbentuknya heparin dan tumor nekrosis Carville, K. 2007. Wound Care Manual
faktor-alpha (TNF-alpha), kejadian infeksi (Terjemahan). Edisi 3. Silver:
lebih rendah dibandingkan dengan pera- Australia.
watan kering (2,6% vs 7,1%), pembentukan Depkes, RI. 2000. Profil Kesehatan
growth factors yang berperan pada proses Indonesia. Jakarta: Departemen
penyembuhan dipercepat pada suasana Kesehatan RI.
lembab dan percepatan pembentukan sel
aktif; invasi netrofil yang diikuti oleh ma- Gitarja. 2000. Perawatan Luka Diabeti-
krofag, monosit, dan limfosit ke daerah luka kum. Edisi 2. Wocare Publising:
berfungsi lebih dini. Berdasarkan penelitian Bogor.
Winter tahun 1962, kelembaban pada ling- Hadits Rasulullah SAW. Hadits riwayat Abu
kungan luka akan mempercepat proses Dawud dari Abu al Darda.
penyembuhan luka. Dengan perawatan luka Morison, Moya, J. 2004. Manajeman
tertutup (occlusive dressing) maka keadaan Luka. (Alih Bahasa Tyasmono).
yang lembab dapat tercapai. Dengan EGC: Jakarta.
demikian, untuk menciptakan lingkungan Nurhasan. 2002. Prosedur Penelitian. PT
yang lembab maka diperlukan pemilihan Rineka Cipta: Jakarta.
balutan yang tepat. Ovington LG. 2002. Evolusi Manajemen
Luka: Asal-Usul Kuno dan Kema-
SIMPULAN DAN SARAN juan dalam 20 Tahun Terakhir.
Simpulan Healthc Perawat Rumah, 20 (10).
Kondisi luka ulkus diabetikum sebe-
lum dilakukan perawatan moisture balance Rainey, Joy. 2002. Wound Care: A Hand-
dalam kategori sedang sebanyak (83,3%) book for Community Nurses.
dengan rerata 28,4 sedangkan setelah dila- Whurr Publisher: Piladelphia.
kukan perawatan moisture balance dalam Suyono, Slamet. 2006. Buku Ajar Ilmu
kategori baik (91,7%) dengan rerata 19,3, Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 4.
sehingga perawatan luka dengan metode Ilmu Penyakit Dalam FK-UI:
moisture balance efektif terhadap penyem- Jakarta.
buhan luka ulkus diabetikum (t hitung = Tjokropawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu
16,722 (> 2,201); p value 0,000 (< 0,005). Penyakit Dalam. Airlangga
Saran University Press: Surabaya.
Perawatan luka moisture balance Winter, GD. 1962. Formation of the scab
dijadikan standar perawatan luka khususnya and the rate of epithelialization
ulkus diabetikum, dan Klinik FIKES UMM superficial wounds in the skin of the
dapat mengembangkan ilmu perawatan luka youn domestic pig. Nature, 193:
pada penanganan luka lainnya. 293-294.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

Risa Devita
Akademi Kebidanan ’Aisyiyah Palembang
Email: risa_devita@yahoo.com

Abstract: The purpose of this study is to explore some factors affecting


the exclusive breastfeeding and the most dominant factor affecting the
exclusive breastfeeding. This study is an analytical survey study with
cross sectional approach. The samples which were taken by purposive
sampling resulted in a number of 93 mothers who had children at age of
7-12 months. The data were collected in June 2012. The data was
analyzed by using chi-square test showed that mother’s maternal parity
(p=0.041), maternal employment (p=0.043), knowledge (p=0.029),
maternal attitude (p=0.043) and maternal measures (p=0.005) had
significant relationship with exclusive breastfeeding. Meanwhile, family/
husband support (p=0,646) had no meaningful relationship with exclusive
breastfeeding. Multiple logistic regression test results showed that the
most decisive factors that significantly affected the exclusive breastfeeding
was the mothers’ act (OR=4,438).

Keywords: exclusive breastfeeding, maternal parity, maternal


employment, mother’s knowledge, mother‘s attitude, mother’s act,
familly/husband support

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang


berhubungan dan faktor yang paling menjadi penentu yang berhubungan
dengan pemberian ASI eksklusif. Jenis penelitian adalah survei analitik
dengan pendekatan cross sectional, sampel yang diambil secara
purposive sampling berjumlah 93 ibu yang mempunyai anak berusia
7-12 bulan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012. Analisis data
menggunakan uji chi-square menunjukkan variabel paritas ibu
(p=0,041), pekerjaan ibu (p=0,043), pengetahuan ibu (p=0,029), sikap
ibu (p=0,043), tindakan ibu (p=0,005) ada hubungan bermakna dengan
pemberian ASI eksklusif, sedangkan dukungan keluarga/suami (p=0,646)
tidak ada hubungan bermakna dengan pemberian ASI eksklusif. Hasil
uji regresi logistik ganda di dapatkan faktor paling penentu berhubungan
bermakna dengan pemberian ASI eksklusif adalah tindakan ibu
(OR=4,438).

Kata kunci: pemberian ASI eksklusif, paritas ibu, pekerjaan ibu,


pengetahuan ibu, sikap ibu, tindakan ibu, dukungan keluarga/suami
38 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 37-46

PENDAHULUAN antara umur 0-1 bulan sebesar 38,8%, bayi


ASI merupakan sumber gizi yang antara umur 1-2 bulan sebesar 32,5%, bayi
sangat ideal dengan komposisi yang seim- antara umur 2-3 bulan sebesar 30,7%, bayi
bang dan disesuaikan dengan kebutuhan antara umur 3-4 bulan sebesar 25,2%, bayi
pertumbuhan bayi. ASI adalah makanan antara umur 4-5 bulan sebesar 26,3% dan
yang sempurna, baik kualitas maupun bayi antara umur 5-6 bulan sebesar 15,3%.
kuantitasnya dengan tatalaksana menyusui Masalah utama masih rendahnya
yang benar. ASI sebagai bahan makanan pemberian ASI di Indonesia adalah karena
tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan faktor sosial budaya, kurangnya penge-
tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan dan tahuan ibu hamil, keluarga dan masyarakat
ketika mulai diberikan makanan padat dapat akan pentingnya ASI, serta jajaran kese-
diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih hatan yang belum sepenuhnya mendukung
(Soetjiningsih, 1997). Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI).
Pemberian ASI eksklusif kepada bayi Masalah ini diperparah dengan gencarnya
merupakan hal yang penting dalam pemba- promosi susu formula dan kurangnya du-
ngunan sumberdaya manusia sejak dini, kungan dari masyarakat, termasuk institusi
karena sejak dini bayi mendapatkan ma- yang memperkerjakan perempuan yang
kanan yang paling sehat dan tepat yang akan belum memberikan tempat dan kesempatan
memberi pengaruh positif terhadap tumbuh bagi ibu menyusui di tempat kerja (seperti
kembang selanjutnya. Untuk mencapai ruang ASI). Keberhasilan ibu menyusui
tumbuh kembang optimal, di dalam Global untuk terus menyusui bayinya sangat diten-
Strategy for Infant and Young Child tukan oleh dukungan dari suami, keluarga,
Feeding, World Health Organization petugas kesehatan, masyarakat serta ling-
(WHO)/United Nations Emergency kungan kerja (Kemenkes RI, 2010).
Children’s Fund (UNICEF) merekomen- Beberapa kendala dalam hal pembe-
dasikan empat hal penting yang harus rian ASI eksklusif antara lain disebabkan
dilakukan yaitu, memberikan ASI kepada karena kurangnya pengetahuan ibu, kurang-
bayi segera dalam waktu 30 menit setelah nya dukungan keluarga serta rendahnya
bayi lahir, memberikan hanya air susu ibu kesadaran masyarakat tentang manfaat pem-
(ASI) saja atau pemberian ASI secara berian ASI eksklusif. Selain itu kurangnya
eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 dukungan tenaga kesehatan, fasilitas pela-
bulan, memberikan Makanan Pendamping yanan kesehatan, dan produsen makanan
Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia bayi untuk keberhasilan ibu dalam menyusui
6 bulan sampai 24 bulan dan meneruskan bayinya (PP No. 33 Tahun 2012).
pemberian ASI sampai anak berusia 24 Faktor-faktor lainnya yang berpe-
bulan atau lebih (Kemenkes RI, 2010). ngaruh terhadap pemberian ASI eksklusif
Secara nasional berdasarkan data adalah umur ibu, jumlah anak, pekerjaan ibu,
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pendidikan ibu, dukungan suami/orang tua,
cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi pengetahuan, sikap dan perilaku ibu
sampai 6 bulan menurun dari 28,6% tahun (Gustina, 2008).
2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008 dan Berbagai upaya dilakukan untuk mem-
meningkat menjadi 34,3% pada tahun 2009. promosikan pemberian ASI. UNICEF
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar mencanangkan ASI eksklusif sebagai langkah
(Riskesdas, 2010) menyatakan persentase untuk menurunkan angka kematian bayi.
bayi yang diberikan ASI eksklusif yaitu bayi Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan
Risa Devita, Faktor-Faktor yang Berhubungan ... 39

minat dan kesadaran masyarakat tentang Alat ukur yang digunakan adalah
pentingnya pemberian ASI melalui berbagai kuesioner dengan beberapa pertanyaan
kegiatan seperti lomba bayi sehat, lomba klinik kepada responden yang mengacu parameter
dan rumah sakit sayang bayi. yang sudah dibuat oleh peneliti terhadap
Data dari Dinas Kesehatan Kota penelitian yang akan dilakukan. Metode
Palembang untuk cakupan pemberian ASI pengolahan data yaitu editing, koding,
eksklusif di Puskesmas Makrayu tahun skoring, tabulating dan entry data dan
2009 yaitu dari 795 bayi yang mendapatkan analisa dengan menggunakan software.
ASI eksklusif hanya 158 bayi (19,87%), Analisis dibagi dalam tiga bentuk yaitu
tahun 2010 dari 1.701 bayi yang menda- analisis univariat untuk melihat gambaran
patkan ASI eksklusif hanya 573 bayi masing-masing variabel, analisis bivariat
(33,69%) dan tahun 2011 dari 805 bayi untuk melihat hubungan variabel bebas dan
yang mendapatkan ASI eksklusif hanya 337 terikat menggunakan Chi-Square dengan
bayi (41,86%) (Profil Dinkes Kota derajat kepercayaan 95% (á=0,05). Bila p
Palembang, 2009-2011). < 0,05 menunjukan bahwa ada hubungan
Zat kekebalan yang terdapat pada ASI yang bermakna antara variabel bebas
dapat mengurangi resiko infeksi lambung dan dengan variabel terikat. Pada analisis
usus, sembelit serta alergi. PemberianASI lebih multivariat, uji statistik yang digunakan
mendekatkan hubungan ibu dengan bayinya. adalah regresi logistik ganda, untuk
ASI juga dapat menurunkan kemungkinan bayi menganalisis hubungan beberapa variabel
terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek. bebas dengan satu variabel terikat. Hasil
Bayi yang diberi ASI lebih kebal terhadap analisis multivariat dapat dilihat dari nilai
penyakit dari pada bayi yang tidak expose atau yang disebut odd ratio. Sema-
mendapatkan ASI (Depkes, 1997). kin besar nilai odd ratio berarti semakin
Berdasarkan uraian data tersebut besar pengaruhnya terhadap variabel terikat
maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang dianalisis.
yang berhubungan dengan pemberian ASI
eksklusif di wilayah kerja Puskesmas HASIL DAN PEMBAHASAN
Makrayu Palembang Tahun 2012.
Analisis Univariat
METODE PENELITIAN Dari Tabel 1 diketahui bahwa ibu yang
Jenis penelitian ini adalah survei analitik memberikan ASI eksklusif masih sedikit
dengan pendekatan cross sectional. Populasi yaitu sebesar 34,4%. Sebagian besar ibu
dan sampel penelitian ini adalah seluruh ibu mempunyai paritas dengan kategori rendah
yang mempunyai bayi berusia 7-12 bulan yang sebesar 62,4 %. Sebagian besar ibu tidak
berada di wilayah kerja Puskesmas Makrayu bekerja yaitu 55,9%. Sebagian besar ibu
Palembang sebanyak 93 orang. Cara mempunyai pengetahuan dengan kategori
pengambilan sampel dengan metode Non tinggi yaitu 51,6 %. Ibu yang mempunyai
Random/Non Probability Sampling dengan sikap dengan kategori setuju sebesar
teknik porposive sampling. Variabel yang 52,7%. Ibu yang mendapatkan dukungan
akan diteliti pada penelitian ini adalah pemberian dari keluarga/suami hanya 54,8%.
ASI eksklusif sebagai variabel terikat dan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
paritas, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, sikap responden yang memberikan ASI eksklusif
ibu, tindakan ibu serta dukungan keluarga/ hanya 34,4% lebih sedikit dibandingkan
suami sebagai variabel bebas. dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif.
40 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 37-46

Hal ini berarti terdapat 56,6% bayi yang telah 73,6% ibu sudah memberikan makanan/
mendapatkan makanan atau minuman lain minuman tambahan sebelum bayi berusia 6
selain ASI sebelum usia 6 bulan. bulan. Demikian juga dengan data Riskesdas
(2010) yang menyatakan bahwa hanya
Tabel 1. Distribusi Responden Menurut 15,3% bayi diberikan ASI eksklusif dan
Pemberian ASI Eksklusif, Paritas, cakupan ASI eksklusif di Kota Palembang
Pekerjaan, Pengetahuan, Sikap, tahun 2011 yaitu sebesar 36,94%.
Tindakan Ibu dan Dukungan
Keluarga/Suami di Wilayah Kerja
Analisis Bivariat
Puskesmas Makrayu Palembang
Tahun 2012
Hubungan antara Paritas dan Pekerjaan
Pemberian ASI Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif
Jumlah Persentase
Eksklusif Hasil analisis untuk paritas ibu (lihat
Eksklusif 32 34,4 Tabel 2) diperoleh p value 0,041, karena p
Tidak Eksklusif 61 65,6 value (0,041) lebih kecil dari α (0,05) maka
Total 93 100 secara statistik dapat dinyatakan ada hu-
Paritas bungan yang bermakna antara paritas ibu
Rendah 58 62,4 dengan pemberian ASI eksklusif.
Tinggi 35 73,6
Penelitian Setioningrum (2004) mem-
Total 93 100
perlihatkan tidak ada hubungan yang ber-
Pekerjaan Ibu
makna antara paritas dengan pemberian
Tidak Bekerja 52 55,9
Bekerja 41 44,1
ASI eksklusif, hal ini disebabkan ibu ingin
Total 93 100
menjalin rasa keintiman dan kasih sayang
Pengetahuan Ibu kepada anaknya walaupun paritas tinggi te-
Tinggi 48 51,6 tap ingin memberikan ASI secara eksklusif.
Rendah 45 48,4 Menurut peneliti, paritas berhubungan
Total 93 100 dengan pemberian ASI eksklusif karena
Sikap Ibu pada ibu dengan jumlah anak yang rendah
Setuju 49 52,7 (kurang dari atau sama dengan tiga orang),
Tidak Setuju 44 47,3 ibu akan mempunyai waktu yang lebih
Total 93 100 banyak untuk merawat anaknya dalam hal
Tindakan Ibu ini mempunyai waktu yang lebih untuk
Baik 44 47,3 memberikan ASI kepada bayinya setiap
Tidak Baik 49 52,7 waktu dibanding dengan ibu yang mempu-
Total 93 100 nyai paritas tinggi.
Dukungan Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang
Keluarga/Suami mempunyai paritas rendah cenderung akan
Mendukung 51 54,8 memberikan ASI secara eksklusif kepada
Tidak Mendukung 42 45,2 bayinya dikarenakan dengan jumlah anak
Total 93 100 yang lebih sedikit ibu memiliki waktu atau
kesempatan lebih besar untuk memberikan
Sejalan dengan penelitian Misbah ASI. Sedangkan ibu yang mempunyai jumlah
(2005) di Kelurahan Bukit Lama Palem- anak yang banyak telah mempunyai
bang, dari 87 responden hanya 26,4% ibu pengalaman dalam memberikan makanan
yang memberikan ASI secara eksklusif dan pendamping ASI (PASI) kepada anaknya.
Risa Devita, Faktor-Faktor yang Berhubungan ... 41

Tabel 2. Hubungan Paritas Ibu dan Pekerjaan Ibu dengan Pemberian ASI
Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Makrayu Palembang Tahun 2012

Pemberian ASI
Paritas Ibu Eksklusif Tidak Eksklusif Jumlah p
value
n % n % n
Rendah 25 43,1 33 56,9 58 0,041
Tinggi 7 20,0 28 80,0 35
Jumlah 32 34,4 63 65,6 93
Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja 23 44,2 29 55,8 52 0,043
Bekerja 9 22,0 32 78,0 41
Jumlah 32 34,4 61 65,6 93

Hasil analisis untuk pekerjaan ibu yang bekerja di luar rumah dan harus
diperoleh p value 0,043, karena p value meninggalkan anaknya lebih dari 7 jam
(0,043) lebih kecil dari α (0,05) maka menyusui bukanlah hal yang mudah, karena
secara statistik dapat dinyatakan ada terhalang dengan jadwal mereka bekerja.
hubungan yang bermakna antara pekerjaan
ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Hubungan Antara Pengetahuan dan
Menurut Nuryanto (2000) kelompok Sikap Ibu dengan Pemberian ASI
ibu yang bekerja mempunyai risiko 1,16 kali Eksklusif
lebih cepat untuk berhenti memberikan ASI Hasil analisis untuk pengetahuan Ibu
saja daripada kelompok ibu yang tidak (lihat Tabel 3) diperoleh p value 0,029
bekerja setelah dikontrol variabel keterpa- karena p value (0,029) lebih kecil dari á
paran oleh media elektronik dan penolong (0,05) maka secara statistik dapat dinyata-
persalinan. Pekerjaan ibu juga diperkirakan kan ada hubungan yang bermakna antara
dapat mempengaruhi pengetahuan dan pengetahuan ibu dengan pemberian ASI
kesempatan ibu dalam memberikan ASI eksklusif.
eksklusif. Pengetahuan responden yang Adanya perbedaan pengetahuan ibu
bekerja lebih baik bila dibandingkan dengan tentang ASI akan memberikan perbedaan
pengetahuan responden yang tidak bekerja. lamanya memberikan ASI Eksklusif. Ibu
Semua ini disebabkan karena ibu yang yang memiliki pengetahuan yang tinggi
bekerja di luar rumah (sektor formal) tentang ASI akan menyusui anaknya secara
memiliki akses yang lebih baik terhadap eksklusif karena umumnya mereka menge-
berbagai informasi, termasuk mendapatkan tahui berbagai manfaat dari ASI dibanding
informasi tentang pemberian ASI eksklusif dengan ibu yang memiliki pengetahuan yang
(Depkes RI 1999). rendah (Zeitlyn & Rowshan, 1997).
Menurut peneliti, ibu rumah tangga dan Menurut peneliti, kecenderungan ibu-
ibu yang bekerja di rumah sendiri untuk ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif
menyusui tidak terjadwal bukan merupakan disebabkan kurangnya pengetahuan ibu
beban atau masalah, akan tetapi bagi ibu tentang manfaat ASI Eksklusif baik bagi ibu
42 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 37-46

Tabel 3. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif
di Wilayah Kerja Puskesmas Makrayu Palembang Tahun 2012

Pemberian ASI
Pengetahuan Ibu Eksklusif Tidak Eksklusif Jumlah p
n % n % n value
Tinggi 22 45,8 26 54,2 48 0,029
Rendah 10 22,2 35 77,8 45
Jumlah 32 34,4 61 65,6 93
Sikap Ibu
Setuju 22 44,9 27 55,1 49 0,043
Tidak Setuju 10 22.7 34 77,3 44
Jumlah 32 34,4 61 65,6 93

dan utamanya bagi bayi bahkan bagi seluruh dalam tindakan nyata, sehingga belum tentu
anggota keluarga dimana ketika bayi berusia ibu yang memiliki sikap setuju/positif dalam
0-6 bulan ASI bertindak sebagai makanan pemberian ASI eksklusif akan langsung
utama bayi karena mengandung lebih dari dapat memberikan ASI secara eksklusif.
60 % kebutuhan bayi.
Hasil analisis untuk sikap ibu diperoleh Hubungan Antara Tindakan Ibu dan
p value 0,043 karena p value (0,043) lebih Dukungan Keluarga/Suami dengan
kecil dari α (0,05) maka secara statistik da- Pemberian ASI Eksklusif
pat dinyatakan ada hubungan yang bermak- Hasil analisis untuk tindakan ibu (lihat
na antara sikap ibu dengan pemberian ASI Tabel 4) diperoleh p value 0,005 karena p
eksklusif. value (0,005) lebih kecil dari α (0,05) maka
Nurwulandari (2008) yang melakukan secara statistik dapat dinyatakan ada hu-
penelitian di Puskesmas Grogol Depok de- bungan yang bermakna antara sikap ibu
ngan metode penelitian cross sectional, ada dengan pemberian ASI eksklusif.
hubungan yang signifikan antara sikap dengan Budiarso (2004) yang menyatakan
pemberian ASI eksklusif, dimana sekitar 53,3 bahwa diantara ibu-ibu yang mempunyai
% responden yang memiliki sikap positif tindakan baik cenderung lebih tinggi persen-
memberikan ASI secara eksklusif. tasenya dalam memberikan ASI eksklusif
Menurut peneliti, kecenderungan ibu- terhadap bayi dibandingkan ibu yang
ibu yang memiliki sikap yang setuju/positif mempunyai tindakan tidak baik.
dalam pemberian ASI eksklusif tetapi tidak Menurut peneliti, ibu-ibu yang mem-
memberikan ASI secara eksklusif dikare- punyai tindakan setuju/positif akan tetapi
nakan sikap merupakan kesiapan seseorang tidak memberikan ASI secara eksklusif
untuk bereaksi terhadap suatu objek dan dapat dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
merupakan kecenderungan potensial untuk yang lain, misalnya karena kondisi yang tidak
bereaksi dengan cara tertentu. Sikap masih memungkinkan seperti ASI tidak keluar, ibu
berupa pandangan atau perasaan yang yang bekerja atau bayi yang tidak mau
disertai kecenderungan untuk bertindak menyusu sehingga ibu tidak dapat mem-
terhadap obyek tertentu belum terbukti berikan ASI secara eksklusif.
Risa Devita, Faktor-Faktor yang Berhubungan ... 43

Tabel 4. Hubungan Tindakan Ibu dan Dukungan Keluarga/Suami dengan Pemberian


ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Makrayu Palembang Tahun 2012

Pemberian ASI
Tindakan
Eksklusif Tidak Eksklusif Jumlah p
Ibu
n % n % n value
Baik 22 50 22 50 44 0,005
Tidak baik 10 20,4 39 79,6 49
Jumlah 32 34,4 61 65,6 93
Dukungan
Keluarga/Suami
Mendukung 16 31,4 35 68,6 51 0,646
Tidak Mendukung 16 38,1 26 61,9 42

Jumlah 32 34,4 61 65,6 93

Hasil analisis untuk dukungan keluarga/ dalam memberikan dukungan kepada ibu
suami diperoleh p value 0,646 karena p untuk menyusui secara eksklusif (Yulian-
value (0,646) lebih besar dari α (0,05) ma- darin, 2009).
ka secara statistik dapat dinyatakan tidak Adanya perbedaan hasil penelitian ini
ada hubungan yang bermakna antara kemungkinan disebabkan oleh adanya
dukungan keluarga/suami dengan pemberian perbedaan karakteristik demografi pene-
ASI eksklusif. litian, desain penelitian ataupun populasi dan
Ibu yang suaminya mendukung sampel penelitian sehingga pada penelitian
pemberian ASI eksklusif berpeluang ini didapatkan tidak adanya hubungan antara
memberikan ASI eksklusif 2 kali daripada dukungan keluarga/suami dengan pemberian
ibu yang suaminya kurang mendukung ASI eksklusif.
pemberian ASI eksklusif setelah dikontrol
oleh pekerjaan suami, dukungan petugas Analisis Multivariat
kesehatan, dan pekerjaan ibu. Oleh karena
peran suami penting dalam pemberian ASI Faktor yang Paling Berhubungan
eksklusif, maka suami harus dijadikan (Dominan)
sasaran penyuluhan ASI dan didorong untuk Dari tabel 5, dapat dilihat bahwa selu-
lebih aktif mencari informasi serta aktif ruh variabel berhubungan dengan pemberian
belajar mengenai ASI, sehingga lebih paham ASI eksklusif yaitu paritas, pekerjaan, pe-

Tabel 5. Hasil Analisis Akhir Model Prediksi Tanpa Interaksi


Variabel Independen B P value Exp (B) 95% CI
Paritas 0,887 0,109 2,427 0,820 – 7,185
Pekerjaan 0,269 0,733 1,309 0,278 - 6,155
Pengetahuan 0,782 0,310 2,185 0,483 – 9,878
Sikap - 0,361 0,659 0,697 0,140 – 3,470
Tindakan 1,490 0,060 4,438 0,942 -20,915
Constant - 3,175
44 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 37-46

ngetahuan, sikap dan tindakan. Variabel responden dengan dukungan keluarga/suami


penentu atau yang paling besar hubungan- yang mendukung.
nya dengan pemberian ASI eksklusif adalah Ada hubungan yang bermakna antara
tindakan dengan OR=4,438 (dilihat dari nilai paritas ibu dengan pemberian ASI eksklusif,
Exp (B)) berarti responden dengan tindakan karena p value (0,041) lebih kecil dari á
yang baik berpeluang 4 kali mempunyai (0,05), ada hubungan yang bermakna antara
hubungan dengan pemberian ASI eksklusif pekerjaan ibu dengan pemberian ASI
dibandingkan dengan responden dengan tin- eksklusif, karena p value (0,043) lebih kecil
dakan yang tidak baik setelah dikontrol dari α (0,05), ada hubungan yang bermakna
dengan variabel paritas, pekerjaan, penge- antara pengetahuan ibu dengan pemberian
tahuan dan sikap. Berdasarkan hasil analisis ASI eksklusif, karena p value (0,029) lebih
akhir model prediksi tanpa interaksi maka kecil dari α (0,05), ada hubungan yang ber-
faktor dominan yang berhubungan dengan makna antara sikap ibu dengan pemberian
pemberian ASI eksklusif, dari yang terbesar ASI eksklusif karena p value (0,043) lebih
sampai yang terkecil adalah tindakan (4,438), kecil dari α (0,05), ada hubungan yang ber-
paritas (2,427), pengetahuan (2,185), makna antara tindakan ibu dengan pembe-
pekerjaan (1,309) dan sikap (0,697). rian ASI eksklusif karena p value (0,005)
Tindakan adalah respon nyata yang lebih kecil dari α (0,05).
dilakukan seseorang setelah seseorang men- Tidak ada hubungan yang bermakna
dapatkan pengetahuan tentang suatu infor- antara dukungan keluarga/suami dengan
masi. Dalam kaitannya dengan pemberian pemberian ASI eksklusif karena p value
ASI eksklusif, ibu yang mempunyai tindakan (0,646) lebih besar dari α (0,05), faktor yang
yang baik dalam hal ini melakukan hal-hal paling berhubungan (dominan) dengan
yang mendukung pelaksanaan pemberian pemberian ASI eksklusif adalah tindakan,
ASI secara eksklusif, seharusnya akan jadi semakin baik tindakan ibu maka sema-
memberikan ASI kepada anaknya secara kin tinggi keinginan ibu untuk melaksanakan
eksklusif dibandingkan dengan ibu yang pemberian ASI secara eksklusif.
mempunyai tindakan yang tidak baik. Tetapi Saran
tidak selalu demikian halnya, karena banyak Bagi Puskesmas, target pemerintah
faktor lain yang mempengaruhi tindakan dalam pemberian ASI eksklusif adalah 80%,
seseorang. sedangkan hasil penelitian ini ibu-ibu di
wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palem-
SIMPULAN DAN SARAN bang hanya sebesar 34,4% oleh karena itu
Simpulan pada Puskesmas Makrayu disarankan untuk
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan melibatkan keluarga/suami mulai dari masa
bahwa proporsi responden yang memberi- awal kehamilan sampai dengan menyusui
kan ASI eksklusif masih tergolong rendah melalui kegiatan pendampingan ibu baik
hanya sebesar 34,4%, proporsi responden pada saat ibu melakukan pemeriksaan di
yang mempunyai paritas rendah sebesar posyandu atau di puskesmas.
62,4%, sebanyak 55,9% responden yang Petugas puskesmas dalam hal ini bidan
tidak bekerja, 51,6% responden dengan dengan melibatkan kader-kader posyandu
ketegori pengetahuan tinggi, 52,7% res- melakukan kunjungan rumah dalam rangka
ponden dengan sikap setuju, 47,3% respon- pemetaan ibu hamil dan nifas dengan tujuan
den dengan tindakan baik dan 54,8% memberikan penyuluhan/pengarahan tentang
Risa Devita, Faktor-Faktor yang Berhubungan ... 45

ASI eksklusif, meningkatkan pengetahuan Yogyakarta: UGM.


ibu-ibu tentang ASI eksklusif dengan jalan Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset
memberikan penyuluhan tentang ASI eksklusif Kesehatan Dasar 2010. Badan
sehingga di harapkan dapat mempengaruhi Pengembangan dan Penelitian Ke-
tindakan ibu dalam pemberian ASI eksklusif, sehatan: Jakarta.
meningkatkan peran petugas puskesmas Misbah. 2005. Hubungan Antara Penge-
terutama bidan dan kader-kader posyandu tahuan dan Sikap dengan Peri-
dalam memberikan pengetahuan tentang laku Ibu dalam Pemberian ASI
manajemen laktasi kepada ibu-ibu di wilayah Eksklusif di Kelurahan Bukit
kerja puskesmas. Lama Palembang. Skripsi. Palem-
Bagi peneliti lain diharapkan untuk me- bang: Universitas Sriwijaya.
nyempurnakan penelitian ini dengan mela-
kukan penelitian secara kualitatif sehingga Nurwulandari, Aprilia. 2008. Hubungan
dapat lebih mengkaji faktor-faktor secara antara Pengetahuan, Sikap dan
lebih mendalam tentang pemberian ASI Perilaku Ibu Dengan Pemberian
eksklusif di masyarakat ataupun faktor- ASI Eksklusif di Wilayah Kerja
faktor pendukung lainnya dalam pemberian Puskesmas Grogol Depok.
ASI eksklusif misalnya faktor motivasi ibu. Skripsi. Jakarta: Universitas
Pembangunan Nasional Veteran.
DAFTAR RUJUKAN Nuryanto. 2001. Hubungan Antara Pe-
kerjaan Ibu dengan Kelang-
Budiarso. 2004. Faktor-faktor yang sungan Pemberian ASI pada anak
Berhubungan dengan Pemberian usia 0-11 bulan di Indonesia. Tesis.
ASI Eksklusif di Wilayah Binaan Jakarta: Universitas Indonesia.
Puskesmas Padangsari Keca- Presiden Republik Indonesia. 2012.
matan Banyumanik. Skripsi. Peraturan Pemerintah Republik
Semarang: Universitas Diponogoro. Indonesia Nomor 33 Tahun 2012
Departemen Kesehatan RI. 1997. Petun- Tentang Pemberian Air Susu Ibu
juk Pelaksanaan Peningkatan Eksklusif. Jakarta: Kementrian
ASI Eksklusif. Dirjen Pembinaan Kesehatan RI.
Kesehatan Masyarakat: Jakarta. Setioningrum, Yeni Makdalena. 2004.
_ . 1999. Petunjuk Pelaksanaan Faktor-Faktor Yang Berhu-
Peningkatan ASI Eksklusif Bagi bungan Pemberian ASI Eksklusif
Petugas Puskesmas. Depkes RI: di Desa Jeruklegi Wetan Keca-
Jakarta. matan Jeruklegi Kabupaten Cila-
Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2011. cap. Skripsi. Yogyakarta: UGM
Profil Dinas Kesehatan Kota Soetjiningsih. 1997. Persepsi dan Perilaku
Palembang Tahun 2009-2011. Ibu Menyusui. Majalah Kedok-
. 2011. Profil Puskesmas Makrayu teran Indonesia, (4).
Palembang Tahun 2011. UNICEF WHO IDAI. 2005. Rekomen-
Gustina, Nila. 2008. Faktor-Faktor yang dasi tentang Pemberian Ma-
Berhubungan dengan Pola Pem- kanan Bayi pada Situasi Darurat.
berian ASI di Puskesmas Pekan- Jakarta: Pernyataan bersama
baru Kota Pekanbaru. Tesis. UNICEF WHO IDAI.
46 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 37-46

Yuliandarin, Eka Mutia. 2009. Faktor-


faktor yang mempengaruhi
pemberian ASI Eksklusif Di Kota
Bekasi. Tesis. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Zeitlyn, Sushila & Rowshan, Rabeya. 1997.
Privileged Knowledge and Mo-
thers’ “Perceptions”: The Case of
Breast-Feeding and Insufficient
Milk in Bangladesh. Medical
Anthropology Quarterly, 11 (1) :
56–68.
PEMANFAATAN METADON PADA INJECTING DRUG
USERS DI PUSKESMAS GEDONG TENGEN
YOGYAKARTA
Herlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro
STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
Email: herlinana@gmail.com

Abstract: The purpose of this study is to examine the use of methadone


services by Injecting Drug Users (IDUs) in Puskesmas Gedong Tengen,
Yogyakarta. This research is a qualitative research design. The samples
were taken by using purposive sampling, as the result, there were four
people taken as the informants. The data were collected by using in-depth
interviews, the data analysis was done by using thematic content analysis.
The result showed that all of the informants continuously came to the
health center and took the methadone, had insufficient knowledge about
methadone, positive attitude toward the methadone service in health center,
the easy access to the methadone and the existence of special elbow
room for methadone clients in health center. The informants stated that
they needed the methadone because they wanted to quit using drugs.

Keywords: methadone service, injecting drug users

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan layanan


metadon oleh penasun di Puskesmas Gedong Tengen, Yogyakarta. Desain
penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, pengambilan sampel
dengan purposive sampling. Informan penelitian terdiri dari empat orang.
Pengumpulan data dengan wawancara mendalam, analisis data dengan
metode thematic content analysis. Hasil penelitian menunjukkan semua
informan rutin memanfaatkan layanan metadon dengan datang langsung
ke puskesmas, memiliki pengetahuan yang kurang tentang layanan metadon,
bersikap positif terhadap layanan metadon di puskesmas, akses terhadap
layanan metadon mudah dan tersedia ruangan yang khusus bagi klien
metadon. Semua informan menyatakan membutuhkan layanan metadon
didasarkan karena ingin berhenti dari penggunaan napza.

Kata kunci: layanan metadon, pengguna napza suntik


48 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 47-56

PENDAHULUAN AIDS dan tidak mengakibatkan munculnya


Berdasarkan data Direktorat Jendral pengguna napza suntik baru. Masih besarnya
Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan kasus di kalangan pengguna napza suntik
Lingkungan Kemenkes RI (Dirjen PP& PL membuat pemerintah, masyarakat, dan
Kemenkes RI) tahun 2011 (periode 1 Janu- lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus
ari-31 Desember) mencatat sebanyak 21.031 terus menjalin kerjasa sama (Mansrianto,
kasus baru HIV dan 4.162 kasus AIDS. 2006).
Secara kumulatif kasus HIV dan AIDS dari 1 Harm reduction merupakan penang-
April 1987 sampai dengan 31 Desember 2011 gulangan dan pencegahan yang menekankan
terdapat 77.879 kasus HIV dan 29.879 kasus pada tujuan jangka pendek dan dilakukan
AIDS dengan kasus kematian sebanyak secara cepat dan tepat untuk mengurangi
5.430. Jumlah kumulatif kasus AIDS segala dampak buruk akibat penggunaan
berdasarkan faktor risiko yaitu tertinggi pada napza suntik tidak steril serta hubungan seks
heteroseksual sebanyak 14.775 kasus, tanpa kondom yang dapat membuka pelu-
pengguna napza suntik sebanyak 9.392 kasus, ang tertular HIV, hepatitis maupun penyakit
tidak diketahui sebanyak 940 kasus, lainnya. Penerapan harm reduction meru-
homoseksual 807 kasus, transmisi perinatal pakan upaya memotong mata rantai dari
730 kasus dan transfusi darah 51 kasus (Ditjen penularan HIV dan AIDS di kalangan peng-
PP&PL Kemenkes RI, 2012). guna napza suntik (Mansrianto, 2006).
Penggunaan napza suntik menghadapi Semua aktivitas harm reduction
dua risiko untuk mendapatkan HIV dan bertujuan agar HIV dan AIDS dapat dita-
AIDS. Pertama, melalui jarum suntik dan ngani dan tidak menular pada banyak orang.
alat suntik yang tidak steril yang digunakan Harm reduction tidak menganjurkan peng-
secara bersama-sama. Kedua, melalui hu- guna napza suntik untuk terus menggunakan
bungan seksual terutama bagi mereka yang napza karena adanya jarum, namun secara
melakukannya dengan lebih dari satu pa- tidak langsung berperan menurunkan jumlah
sangan, atau melakukan hubungan seks tan- pengguna napza, sebab program harm
pa menggunakan kondom (Sucahyo, 2001). reduction juga sebagai pintu masuk bagi
Penyalahgunaan napza menjadi masa- pengguna napza suntik untuk ikut terapi
lah serius yang harus dihadapi Indonesia, metadon yang pada akhirnya dapat mem-
khususnya penyalahgunaan napza suntik. Hal buatnya sampai pada abstinence (Man-
ini dikarenakan jarum suntik serta peralatan srianto, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk
untuk menyuntik yang digunakan secara ber- mengetahui pemanfaatan layanan metadon
gantian pada kelompok pengguna napza oleh penasun di Puskesmas Gedong Te-
suntik telah menjadi sarana yang menye- ngen, Yogyakarta.
babkan meningkatnya penyebaran HIV dan
AIDS. Salah satu strategi yang dilaksanakan METODE PENELITIAN
untuk mengurangi peningkatan penyebaran Metode yang digunakan dalam pene-
infeksi HIV dan AIDS tersebut dengan litian ini adalah deskriptif dengan pendekatan
harm reduction (pengurangan dampak kualitatif. Informan utama adalah pengguna
buruk penggunaan narkoba suntik). napza suntik yang memanfaatkan layanan
Berdasarkan hasil penelitian di bebe- metadon di Puskesmas Gedong Tengen Ko-
rapa negara, seperti Australia dan Amerika ta Yogyakarta sebanyak empat orang. Pe-
Serikat, didapatkan bahwa harm reduction nentuan informan utama ditentukan dengan
dapat menekan laju penularan HIV dan bantuan dari petugas kesehatan (dokter dan
Herlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro, Pemanfaatan Metadon pada... 49

perawat) dan petugas outreach. Informan diberi wewenang oleh dokter. Klien harus
sekunder adalah sebagai triangulasi sumber menelan metadon tersebut di hadapan petu-
yang terlibat dalam pemanfaatan layanan gas program terapi rumatan metadon, harus
metadon di Puskemas Gedong Tengen Kota diminum setiap hari karena metadon dapat
Yogyakarta oleh pengguna napza suntik, bekerja pada tubuh selama rata-rata 24 jam.
yaitu petugas kesehatan di Puskesmas Ge- Syarat menjadi klien metadon, menurut
dong Tengan yang terdiri dari dokter pe- perawat Puskesmas Gedong Tengen, ada-
nanggung jawab dan perawat serta petugas lah harus pengguna opioid suntik pada satu
outreach. tahun terakhir (pemakaian 6 bulan dipertim-
Kriteria informan utama adalah sudah bangkan), dibuktikan dengan tes urin, usia
menggunakan layanan metadon secara rutin 18 tahun, tidak menderita gangguan jiwa
selama minimal enam bulan, pada waktu berat atau retardasi mental, didampingi orang
penelitian berada di Kota Yogyakarta dan tua pada saat pertama kali datang, kemudian
bersedia menjadi informan penelitian. Teknik bersedia mentaati peraturan PTRM, menye-
pengambilan sampel menggunakan teknik rahkan KTP dan kartu keluarga sebagai
non probability sampling yaitu teknik identitas serta foto 3x4.
pengambilan sampel yang tidak memberi Proses seleksi klien metadon dilakukan
peluang atau kesempatan yang sama bagi oleh dokter. Sesuai syarat yang tercantum
setiap unsur atau anggota populasi untuk dalam Kemenkes RI No. 350/Menkes/SK/
dipilih menjadi sampel. IV/2008, terapi metadon diindikasikan bagi
mereka yang mengalami ketergantungan
HASIL DAN PEMBAHASAN opioida dan telah menggunakan opioida
secara teratur untuk periode yang lama, yaitu
Pemanfaatan layanan metadon terdapat kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
Semua informan menyatakan meman- inklusi meliputi memenuhi kriteria ICD-X
faatkan layanan metadon secara rutin, de- untuk ketergantungan opioida, usia yang
ngan datang ke puskesmas setiap hari, atau direkomendasikan 18 tahun atau lebih na-
apabila ada halangan atau tidak dapat hadir mun klien yang berusia kurang dari 18 tahun
ke puskesmas dapat meminta metadon harus mendapat second opinion dari profe-
untuk dibawa pulang, dengan memenuhi sional medis, ketergantungan opioida (dalam
syarat yang telah ditentukan oleh Puskesmas jangka 12 bulan terakhir), sudah pernah
Gedong Tengen. Menurut perawat di pus- mencoba berhenti menggunakan opioida
kesmas, bahwa semua klien yang meman- minimal satu kali. Kriteria eksklusi seperti
faatkan layanan metadon harus datang lang- klien dengan penyakit berat, psikosis yang
sung ke puskesmas setiap hari, kecuali ada jelas, retardasi mental yang jelas. Program
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, terapi rumatan metadon tidak diberikan pada
dapat meminta metadon untuk dibawa klien dalam keadaan overdosis.
pulang, dengan syarat klien rutin meman- Layanan harm reduction sudah dilak-
faatkan metadon atau ada bukti memang sanakan di puskesmas. Sebagian besar
benar yang bersangkutan ada acara. informan menyatakan bahwa layanan meta-
Sesuai dengan Kemenkes RI No.350/ don bersifat fleksibel dari segi waktu dan
Menkes/SK/IV/ 2008, klien metadon harus hari, dilayani setiap hari walaupun hari besar.
hadir setiap hari di klinik. Metadon diberikan Ada sebagian kecil informan yang menya-
oleh asisten apoteker atau perawat yang takan bahwa waktu layanan metadon terba-
50 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 47-56

tas. Berdasarkan peraturan waktu layanan di depan petugasnya, dikasih minum


metadon adalah jam 08.00-12.00 WIB, air putih, ya gitu ajah…”
namun pada pelaksanaannya jam 09.00- Y, Laki-laki, 32 tahun.
11.00 WIB. Dokter penanggung jawab Layanan harm reduction diberikan
layanan metadon di Puskesmas Gedong seperti halnya layanan umum lainnya yang
Tengen menyampaikan bahwa waktu untuk ada di puskesmas. Prinsip layanan HIV dan
layanan metadon bersifat fleksibel. AIDS bagi pengguna napza suntik juga
Layanan diberikan sesuai waktu la- memiliki kesamaan baik dalam keterbukaan
yanan di Puskesmas Gedong Tengen. Pem- layanan dan komunikasi, keramahan, kenya-
berian metadon pada hari Minggu dan hari manan dan mengutamakan kualitas. Prinsip
libur diberikan khusus untuk klien yang telah bekerja dalam melayani pengguna napza
lama menggunakan metadon di puskesmas suntik yaitu bersikap tulus dan terbuka. Si-
tersebut, bukan untuk klien yang baru. Bagi kap yang tulus dibutuhkan karena pengguna
klien metadon yang baru, menyesuaikan de- napza suntik adalah individu yang seringkali
ngan jadwal layanan di Puskesmas Gedong mengalami perlakuan diskriminatif. Oleh
Tengen Kota Yogyakarta. karena itu tidak jarang pengguna napza sun-
Di Puskesmas Gedong Tengen juga tik menjadi individu yang sensitif, tidak
sudah ada pembagian jadwal piket petugas mudah begitu saja percaya pada keinginan
kesehatan yang memberikan layanan meta- orang lain untuk menolong.
don. Sesuai Kemenkes RI No. 350/Men- Keterbukaan akan mempermudah
kes/SK/IV/2008, layanan program terapi terbentuknya rasa percaya pengguna napza
rumatan metadon buka setiap hari, tujuh hari suntik kepada petugas layanan kesehatan
dalam seminggu dengan jam kerja sepanjang maupun petugas outreach. Rasa percaya
mungkin, bergantung pada kemampuan akan memudahkan proses layanan yang
masing-masing program terapi rumatan diberikan, termasuk kemungkinan terjadinya
metadon. Jam kerja pada bulan puasa harus perubahan perilaku kearah positif (KPA,
disesuaikan, meski demikian penerimaan 2008). Berdasarkan teori Anderson (1995)
klien baru hanya pada hari kerja dan jam bahwa pemanfaatan layanan kesehatan akan
kerja resmi. Seperti yang terlihat dalam dipengaruhi oleh faktor predisposing,
pernyataan informan berikut ini: enabling dan needs.
“...Rutin... datang ke puskesmas...
prosedurnya biaya gratis untuk me- Pengetahuan tentang Layanan Metadon
tadon untuk yang ber-ktp Jogja… Sebagian besar informan menyatakan
nunggu ketemu dokter terus dikasih bahwa tujuan dari layanan harm reduction
dosis, minum metadon…buka setiap adalah untuk mengurangi penularan virus
hari walaupun hari besar tetap buka HIV. Layanan harm reduction dapat me-
... waktu terbatas...” ngurangi jumlah penularan virus HIV sehing-
D, Perempuan, 34 tahun. ga secara otomatis jumlah orang terinfeksi
”...Syaratnya hanya membawa HIV akan menurun. Semua informan yang
KTP, tes urin, biaya gratis tapi memanfaatkan layanan metadon menya-
hanya untuk yang KTP-nya Kota, takan bahwa metadon merupakan obat legal
fleksibel... prosedurnya, yang pasti yang diberikan dengan cara diminum setiap
datang ke Puskesmas Gedong hari, mempunyai rasa yang hampir sama
Tengen, minum metadon, minumnya seperti heroin.
Herlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro, Pemanfaatan Metadon pada... 51

Dosis pemberian metadon sesuai heroin yang ilegal, dengan cara


dengan aturan dari dokter pemberi layanan diminum, minum setiap hari, punya
harm reduction. Efek samping yang biasa rasa kurang lebih sama seperti
dialami yaitu mual, muntah dan gangguan putau…efek sampingnya, mual mau
tidur. Sebagian kecil informan menyatakan muntah gitu…”
bahwa layanan metadon membutuhkan D, Perempuan, 34 tahun
kepatuhan dari kliennya karena harus datang
ke layanan atau ke puskesmas setiap hari. “...Untuk mengurangi dampak
Hal ini sesuai bahwa Program Terapi Ru- buruk dari penggunaan narkoba
matan Metadon (PTRM) merupakan pro- suntik ... Metadon, LASS, VCT,
gram layanan yang memberikan zat bernama Kondom... Pengguna narkoba sun-
metadon sebagai pengganti (substitusi) dari tik yang masih aktif... Mengurangi
zat heroin ilegal yang dikonsumsi klien, penularan HIV di kalangan peng-
bersifat jangka panjang. Metadon adalah zat guna...caranya dengan diminum,
sintetik golongan opioid yang bersifat agonis. dosisnya sesuai aturan dari dokter,
Dasar rasional PTRM adalah fakta minumnya setiap hari, makanya
tingginya angka kekambuhan pada pecandu setiap hari datang ke puskesmas, ya
heroin yang mengindikasikan kebutuhan ini butuh patuh…”
tubuh atas zat jenis opioida untuk membuat Y, Laki-laki, 32 tahun
keseimbangan tubuh agar dapat beraktivitas
secara normal. Metadon bekerja pada tu- Sikap terhadap Layanan Metadon
buh selama rata-rata 24 jam, sehingga hanya Semua informan menyatakan mempu-
minum satu kali sehari. Program rumatan ini nyai sikap yang positif terhadap layanan
diberikan minimal 6 bulan dan dapat dite- metadon di puskesmas. Jawaban dari infor-
ruskan sampai 2 tahun sesuai dengan kriteria man bervariasi. Informan ada yang menyam-
yang telah ditentukan (Kurniawan, 2009). paikan mendukung layanan tersebut karena
Peserta program rumatan metadon ini waktu layanan sesuai dengan aturan tertulis
sebelumnya harus dilakukan skrining dan di Puskesmas Gedong Tengen. Informan lain
juga konseling untuk meyakinkan bahwa menyampaikan bahwa mendukung layanan
pengguna napza suntik memahami benar tersebut dengan alasan petugas outreach
konsekuensi dari program yang diikutinya. akan menghubungi melalui telepon apabila
Tidak semua pengguna napza suntik dapat dirinya terlambat datang ke puskesmas, ada
mengikuti program rumatan metadon, yang mendukung dikarenakan dapat mence-
beberapa kriteria harus dipenuhi. Pemberian gah penularan HIV.
zat yang bersifat substitusi ini bersifat jangka Namun demikian, ada juga pengguna
panjang, maka dibutuhkan kepatuhan bagi napza suntik juga yang belum memanfaatkan
yang memanfaatkannya. Seperti yang terlihat layanan harm reduction, kemungkinan
dalam pernyataan informan berikut ini: karena ketidaktahuan akan layanan tersebut
“...Layanan apa ya untuk mencegah dan rasa takut akan adanya mata-mata dari
penularan virus HIV... jenisnya pihak kepolisian. Dalam bidang kesehatan,
VCT, IMS, Metadon, LASS, Kon- penguna napza suntik harus mendapatkan
dom... sasaran temen-temen pema- perlindungan dan pelayanan kesehatan
kai narkoba suntik...tujuannya untuk mencegah penyebaran penyakit yang
mengurangi jumlah penularan virus menular melalui darah (blood borne
HIV... metadon gantinya obat/ diseases) seperti HIV dan AIDS.
52 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 47-56

Harm reduction lebih menekankan dak ada hambatan. Informan lain juga me-
tujuan jangka pendek dari pada tujuan nyatakan jaraknya tidak terlalu jauh, tidak ada
jangka panjang. kesulitan, bahkan karena dekat dengan
Upaya pencegahan laju penyebaran rumah maka datang ke puskesmas dengan
HIV harus dilaksanakan sesegera mungkin, berjalan kaki. Hal ini senada dengan yang
jika tidak dilakukan maka semua tujuan disampaikan oleh informan lain bahwa jarak
jangka panjang seperti penghentian peng- puskesmas dekat, kurang lebih 500 meter dari
gunaan napza akan sia-sia. Menurut Noto- rumah, akses mudah dikarenakan Puskesmas
atmodjo (2003), pengetahuan merupakan Gedong Tengen termasuk dekat dengan pusat
komponen pendukung sikap yang utama. kota dan tempatnya sangat strategis.
Menurut Anderson (1995), sikap merupa- Semua informan menyatakan tidak
kan salah satu faktor predisposing sehingga takut memanfaatkan layanan metadon di
seseorang mau menggunakan pelayanan puskesmas karena dianggap obat yang legal
kesehatan. Komponen ini menggambarkan dari pemerintah sehingga merasa aman untuk
karakteristik perorangan yang sudah ada memanfaatkannya. Ada sebagian informan
sebelum seseorang memanfaatkan pela- yang menyatakan bahwa merasa kesulitan
yanan kesehatan. Komponen ini menjadi ketika harus datang setiap hari untuk minum
dasar atau motivasi seseorang untuk berpe- metadon pada jam yang sama, tetapi
rilaku dalam memanfaatkan pelayanan kese- informan tetap memanfaatkannya karena
hatan. Seperti yang terlihat dalam pernyataan sudah mengetahui prosedurnya memang
informan berikut ini: seperti itu.
“...Mendukung...yang mau datang Penelitian ini sejalan dengan penelitian
berarti mereka merasa butuh la- Kurniawan (2009) bahwa jarak pelayanan
yanan itu... yang belum datang ke kesehatan mempengaruhi pemanfaatannya.
layanan ini untuk temen-teman Menurut Anderson (1995) jarak pelayanan
yang masih aktif merasa ketakutan kesehatan dengan rumah akan berpengaruh
yang besar kalau berhubungan de- terhadap pemanfaatan layanan kesehatan.
ngan puskesmas itu kan dianggap Hasil penelitian di RSKO Jakarta dan RS
aparat orang-orang pemerintahan Sanglah Bali, menyatakan bahwa klien terapi
takutnya malah ditangkap polisi…” rumatan metadon yang droup out sekitar
D, Perempuan, 34 tahun 40-50%, dengan alasan utama karena
”...Mendukung...ada kesadaran un- sulitnya akses menuju tempat layanan.
tuk datang itu... ya mungkin karena Salah satu faktor yang mempengaruhi
takut dicap terus didata di kepo- pemanfaatan pelayanan kesehatan yang
lisian...” menjadikan pertimbangan untuk menentukan
I, Laki-laki, 33 tahun sikap individu memilih sumber perawatan
adalah jarak yang ditempuh dan tempat
Akses Layanan Metadon tinggal mereka sampai ke tempat sumber
Semua informan menyatakan bahwa perawatan. Seperti yang terlihat dalam
akses terhadap layanan metadon adalah pernyataan informan berikut ini:
mudah. Seperti yang disampaikan informan “...Dekat dari rumah...Akses mu-
bahwa lokasi puskesmas dekat dari rumah, dah, jarak 20 menit dari rumah...
dapat ditempuh dengan waktu 20 menit tidak ada hambatan cuma diwa-
dengan mengendarai sepeda motor dan ti- jibkan setiap hari ya itu, yang rada
menganggu, kalau buat saya itu sih
Herlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro, Pemanfaatan Metadon pada... 53

harus datang setiap hari...” pemberian dosis hanya memungkinkan satu


D, Perempuan, 34 tahun orang dilayani pada satu saat. Loket tersebut
”...Tidak ada kesulitan dan juga harus ada pengamanan khusus, yaitu adanya
mudah tidak sulit, bukan berarti pemisah antara pemberi obat dengan pene-
semaunya klien tetap sesuai prose- rima metadon. Puskesmas Gedong Tengen
dur... Kadang jalan kaki, pake mo- sudah menyediakan ruangan yang khusus
tor ... deket...” untuk layanan metadon namun belum meme-
I, Laki-laki, 33 tahun nuhi standar sesuai dengan Kemenkes RI
No. 350/Menkes/SK/IV/2008 yaitu belum
”...Akses mudah, apalagi puskes- tersedianya ruang atau loket untuk pembe-
mas ini termasuk deket dengan rian dosis yang hanya memungkinkan satu
kota…dan menurut ku tempat sa- orang dilayani pada satu saat, loket tersebut
ngat strategis...” belum memiliki pengamanan khusus, belum
Y, Laki-laki, 32 tahun ada pemisah antara pemberi obat dengan
Ketersediaan Layanan Metadon penerima metadon.
Puskesmas menyediakan ruang khusus Sebagian besar informan utama me-
untuk layanan metadon yaitu untuk bertemu nyatakan bahwa di Puskesmas Gedong
dengan dokter. Minum obat dilakukan di Tengen tersedia dokter, perawat dan petugas
ruangan obat umum. Hal ini sesuai dengan outreach. Hal ini sesuai dengan yang disam-
yang disampaikan oleh dokter penanggung paikan oleh dokter bahwa di Puskesmas
jawab layanan harm reduction di Pus- Gedong Tengen terdapat satu orang dokter
kesmas Gedong Tengen bahwa terdapat yang merupakan dokter poli umum sekaligus
ruangan khusus untuk memberikan layanan merangkap sebagai penanggung jawab
metadon yang terpisah dengan poli umum. dalam layanan harm reduction, dua orang
Ketika minum metadon tidak di ruangan perawat dan petugas outreach. Petugas
tersebut melainkan di ruangan obat umum outreach menyampaikan bahwa pengguna
puskesmas atas dasar pertimbangan kea- napza suntik lebih diutamakan dalam men-
manan penyimpanan obat karena klinik dapatkan layanan harm reduction di pus-
metadon terpisah dari gedung utama Pus- kesmas. Pengguna layanan metadon akan
kesmas Gedong Tengen dan belum meme- langsung mendapatkan pelayanan tanpa
nuhi keamanan dalam penyimpanan obat. harus mengantri.
Berdasar Kemenkes RI No. 350/ Semua informan utama menyatakan
Menkes/SK/IV/2008 lokasi PTRM berada bahwa prosedur layanan metadon mudah,
di sekitar poli rawat jalan dan sebaiknya tidak dipungut biaya untuk yang mempunyai
ditempatkan di area yang tidak terlalu ramai. Kartu Tanda Penduduk Kota Yogyakarta
Sarana layanan terapi rumatan metadon sedangkan untuk yang tidak mempunyai
harus memiliki beberapa ruangan yang terdiri KTP Kota Yogyakarta dipungut biaya
dari ruangan untuk ruang tunggu, peme- sebesar Rp 5.000,00. Hal ini menunjukkan
riksaan kesehatan, konseling individu, kon- keseriusan dari pemerintah Kota Yogyakarta
seling kelompok, tempat memberikan obat untuk menjalankan layanan harm reduction
metadon, penyimpanan sementara dan di puskesmas kepada pengguna napza
penyimpanan metadon. suntik dengan tidak membebankan biaya
Ruang tempat penyimpanan metadon layanan bagi yang mempunyai KTP Kota
harus aman dan terjaga, dekat dengan pos Yogyakarta, dengan harapan dapat
petugas keamanan. Ruang atau loket untuk menekan dan mengurangi kejadian HIV.
54 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 47-56

Seperti yang terlihat dalam pernyataan berhenti menggunakan heroin tanpa harus
informan berikut ini: merasakan sakit karena gejala putus obat,
“...Di sini ada, ketemu dokter di ru- dan tidak harus khawatir dengan polisi
ang, khusus untuk minum obat ma- karena metadon merupakan obat yang
sih di dalam tempat umum di tempat bersifat legal.
obat umum...informasi dari temen- Sebagian kecil informan menyatakan
temen, temen-temen penjangkau... bahwa memanfaatkan layanan metadon
buka setiap hari walaupun hari be- merupakan inisiatif sendiri yang pada awal-
sar tetap buka ... waktu ter- nya hanya karena tidak ada heroin atau
batas...”” sekalipun ada namun heroin dengan kualitas
D, Perempuan, 34 tahun yang kurang bagus tetapi harganya mahal.
”...Ada ruangan khusus untuk me- Hal ini senada dengan penelitian Kumalasari
tadon, di sana itu deket labo- (2010), bahwa faktor yang mempengaruhi
ratorium... Informasi dari temen terapi metadon pada umumnya informan
temen-penjangkau, leflet...” mengatakan ingin lepas dari menyuntik dan
Y, Laki-laki, 32 tahun sudah lelah dengan cara hidup mereka
selama ini.
Hasil penelitian ini berbeda dengan Menurut petugas outreach, pengguna
penelitian Kurniawan (2009) yang menya- napza suntik datang ke layanan karena sa-
takan bahwa ketersediaan fasilitas dan biaya ngat membutuhkan harm reduction. Peng-
layanan tidak berpengaruh terhadap peman- guna napza tersebut menyatakan bahwa
faatan layanan kesehatan. Menurut Ander- dirinya terinfeksi HIV AIDS karena tidak
son (1995) ketersediaan layanan termasuk paham tentang penyakit tersebut dan untuk
dalam faktor pemungkin (enabling) kondisi mengakses jarum suntik steril mengalami
yang membuat seseorang mampu mela- kesulitan sehingga saling tukar menukar
kukan pemanfaatan pelayanan kesehatan. jarum suntik dengan sesama pengguna. Me-
Informasi tentang layanan harm nurut Anderson (1995), faktor kebutuhan
reduction diperoleh dari petugas outreach (needs) terhadap layanan kesehatan dida-
maupun leafleat yang diberikan. Informasi sarkan adanya ketidaknyamanan yang
juga diberikan melalui media lain seperti dirasakan sehingga individu tersebut akan
siaran di radio, website Puskesmas Gedong melakukan atau mencari upaya pelayanan
Tengen, stasiun televisi (TVRI) serta melalui kesehatan tersebut. Seperti yang terlihat
penyuluhan kepada komunitas pengguna dalam pernyataan informan berikut ini:
napza suntik masyarakat umum. “...Inisiatif ... emang udah gimana
ya nyari duit susah, ada barang lagi
Kebutuhan Atas Layanan Metadon kosong, ada barang jelek terus duit
Semua informan menyatakan membu- keluar gede, mau gak mau putar
tuhkan layanan metadon, karena ingin ber- balik juga...ini liat brosurnya hari ke
henti dari penggunaan napza atau lepas dari empat saya coba...Ada keinginan
ketergantungan terhadap napza, sudah jenuh untuk berhenti...”
dan berharap dengan terapi metadon dapat I, Laki-laki, 33 tahun
berhenti menggunakan napza. Sebagian ke- ”...Ya aku dah jenuh aja, pengen
cil informan menyatakan bahwa membutuh- berhenti...”
kan layanan metadon ini dikarenakan ingin Y, Laki-laki, 32 tahun
Herlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro, Pemanfaatan Metadon pada... 55

SIMPULAN DAN SARAN Ditjen PP&PL Kemenkes RI. 2012. Sta-


Simpulan tistik Kasus HIV/AIDS di Indo-
Semua informan yang memanfaatkan nesia dilaporkan s.d. Desember
layanan metadon menyatakan bahwa 2011. Jakarta: Kemenkes RI.
kebutuhan mereka atas layanan metadon Komisi Penanggulangan AIDS. 2008. Pe-
didasarkan oleh keinginan untuk berhenti doman Prosedur Pelaksanaan
dari penggunaan napza suntik. Padahal, Program Pengurangan Dampak
dalam konteks pengurangan dampak buruk Buruk bagi Pengguna NAPZA
akibat penggunaan napza suntik tidak hanya Suntik di Puskesmas. Jakarta:
berhenti sampai pada ketergantungan napza. KPA.
Tetapi, tujuan harm reduction adalah agar Kumalasari, T.N. 2010. Perilaku Peng-
para pengguna tersebut jangan sampai guna Napza Suntik (Penasun)
kembali pada perilaku yang berisiko seperti terhadap Program Terapi Ru-
menggunakan napza suntik yang tidak steril matan Metadon di Rumah Sakit
ataupun hubungan seksual yang berganti- Ernaldi Bahar 2010. Dalam Buku
ganti pasangan tanpa menggunakan Abstrak Pertemuan Nasional AIDS
kondom. IV (hlm. 105). Yogyakarta.
Saran
Saran kepada Puskesmas, agar berko- Kurniawan, A., Intiasari, A.D. 2009. Ana-
ordinasi dengan Komisi Penanggulangan lisis faktor-faktor yang Mempe-
AIDS DIY maupun kota/kabupaten untuk ngaruhi Pemanfaatan Sarana Pe-
lebih giat melakukan sosialisasi kepada ke- layanan Kesehatan Poliklinik
lompok pengguna napza suntik yang belum Kesehatan Desa di Kabupaten
memanfaatkan layanan harm reduction Purbalingga. Prosiding Seminar
agar mau untuk memanfaatkannya dengan Nasional, JKM FKIK Universitas
menggiatkan petugas outreach. Memberi- Jendral Soedirman.
kan penguatan tentang maksud dan tujuan Mansrianto, A. 2006. Mengenal Lebih
dari layanan harm reduction kepada peng- Dalam tentang Harm Reduction,
guna napza suntik yang sudah memanfa- (Online), (http://kabarpositif.
atkan layanan di puskesmas agar tidak kem- blogspot.com/2006/12/mengenal-
bali kepada perilaku yang berisiko. Serta lebih-dalam-tentangharm.html),
diharapkan untuk melakukan penataan ulang diakses 12 Desember 2011.
ruangan di gedung Puskesmas Gedong- Menteri Kesehatan RI. 2008. Keputusan
tengen terutama untuk layanan metadon dan Menteri Kesehatan Nomor350/
VCT agar memenuhi standar keamanan. Menkes/SK/IV/ 2008 tentang Pe-
netapan Rumah Sakit Pengampu
DAFTAR RUJUKAN dan Satelit Program Terapi Ru-
Anderson, R.M. 1995. Revisiting The Be- matan Metadon. Jakarta: Ke-
havior Model and Acces to Medical menterian Kesehatan Republik
Care: Does It Matter, (Online), Indonesia.
(Journal of Health and Social Be- Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan
havior, 36 (3): 1-10), diakses 6 Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta:
Agustus 2012. Jakarta.
56 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 47-56

Sucahyo P.K., Siagian F. & Sari K. 2001.


Memahami Kebutuhan Aktor dan
Penggunaan Narkotika Suntik.
PSKK UGM: Yogyakarta.
Sutriswant o. 2003. Perilaku IDU
(Intravenous Drug Users) dalam
Menghadapi Bahaya HIV/AIDS
di Kota Semarang Propinsi Jawa
Tengah (Studi Kualitiatif). Tesis.
Diterbitkan. Semarang: FKM
Universitas Diponegoro.
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEPATUHAN DIET
LANJUT USIA PENDERITA HIPERTENSI

Kurnianto Priambodo, Lutfi Nurdian Asnindari


RSU PKU Muhammadiyah Gamping Sleman
Email: antoxnoyo@gmail.com

Abstract: This research aims at identifying the visible image of elderly


obedient to the dietary factors in hypertension patients in Margosari,
Pengasih, Kulon Progo in 2010. This study used the observational and
descriptive method with cross sectional time approach. using a single
variable which is elderly diet obedient in hypertension patients. Purposive
sampling was used to take the sample. The obedient factors of dietary
on hypertension patients based on sex were dominated by 28 female
patients (57.1%), 27 patients with under IDR 745.000 monthly income
(55.1%), 20 patients graduated from elementary school only (40.8%),
and 49 patients suffered complication disease (100%). A number of 46
patients (93.9%) had lost their disease symptoms while 47 patients
(95.9%) showed positive attitude toward the health agents. Based on
the research, there were many factors that affect hypertension.

Keywords: dietary adherence factors, advanced age, hypertension

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran faktor


diet kepatuhan lansia penderita hipertensi pada pasien Margosari Pengasih
Kulon Progo 2010. Penelitian ini menggunakan metode observasional
dan deskriptif, dengan mengambil satu faktor yaitu variabel kepatuhan
diet lansia pasien hipertensi. Pendekatan waktu menggunakan cross
sectional . Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling. Faktor kepatuhan diet penderita hipertensi berdasarkan jenis
kelamin adalah mayoritas perempuan 28 orang (57,1% ), status sosial
ekonomi sebagian besar pendapatan kurang dari Rp745.000 sebanyak
27 orang (55,1% ), 20 orang memiliki tingkat pendidikan dasar (40,8%),
keparahan penyakit komplikasi sebanyak 49 orang (100%), hilangnya
gejala karena terapi 46 orang (93,9%), penerimaan dan penolakan penyakit
44 orang (89,8%), sikap pasien terhadap petugas kesehatan menunjukkan
sikap yang baik 47 orang (95,9 %). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
banyak faktor yang mempengaruhi hipertensi.

Kata Kunci: faktor kepatuhan diet, usia lanjut, hipertensi


58 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 57-64

PENDAHULUAN Bare (2002) adalah variabel demografi (se-


Pembangunan nasional Indonesia telah perti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status
berdampak banyak dalam semua bidang sosial ekonomi dan pendidikan), variabel
ilmu pengetahuan, baik dalam bidang ilmu penyakit (seperti keparahan penyakit, hi-
komunikasi, ekonomi, kemajuan ilmu tek- langnya gejala akibat terapi), variabel pro-
nologi dan pengetah uan, terutama dalam gram terapeutik (seperti kompleksitas pro-
bidang kesehatan, sehingga diharapkan gram dan efek samping yang tidak menye-
dapat meningkatkan kesejahteraan dan nangkan), variabel psikososial (seperti in-
kesehatan masyarakat Indonesia baik yang telegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,
berumur balita, anak, dewasa, maupun lan- penerimaan atau penyangkalan terhadap
sia, meningkatkan kualitas kesehatan pen- penyakit, keyakinan agama atau budaya,
duduk serta meningkatkan umur harapan financial dan lainnya).
hidup manusia. Akibatnya jumlah peduduk Hipertensi merupakan penyakit yang
yang berusia lanjut meningkat dan pertam- banyak diderita oleh kaum lanjut usia, baik
bahannya cenderung lebih cepat (Nugroho, laki-laki ataupun perempuan. Adapun dam-
2000). pak apabila penyakit hipertensi tidak dike-
Hipertensi mempunyai kecenderungan lola dengan baik dapat menyebabkan pe-
menjadi salah satu masalah kesehatan ma- nyakit yang lebih parah. Tekanan darah ting-
syarakat. Hipertensi penting untuk diketahui gi yang terus menerus menyebabkan jantung
karena penyakit hipertensi dikenal sebagai seseorang bekerja ekstra keras, akhirnya
silent killer atau pembunuh berselimut kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan
karena tidak menunjukkan gejala-gejala pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak
seperti penyakit lain dimana penderita dan mata. Penyakit hipertensi ini merupakan
merasa sakit sehingga perlu memeriksakan penyebab umum terjadinya stroke dan se-
diri ke dokter (Budiyanto, 2001). rangan jantung.
Hipertensi juga merupakan penyakit Pada lanjut usia, penyakit-penyakit
yang banyak diderita penduduk di Indo- tersebut sangat rentan, sehingga untuk para
nesia. Menurut WHO, sebanyak 10% pen- lanjut usia dianjurkan untuk dapat mengon-
duduk dewasa Indonesia menderita hiper- trol hipertensi dengan baik, untuk mencegah
tensi. Dari data survei kesehatan rumah penyakit menjadi lebih parah. Sementara
tangga 1992, penyebab kematian terbanyak prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai
(16,4%) disebabkan oleh penyakit jantung 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke
dan pembuluh darah diantaranya adalah atas. Dari jumlah itu, 60% penderita hiper-
hipertensi (Wirakusumah, 1999). tensi berakhir pada stroke. Data Riskesdas
Survei faktor risiko penyakit kardio- menyebutkan hipertensi sebagai penyebab
vaskuler oleh WHO di Jakarta, menunjuk- kematian nomor 3 setelah stroke dan tuber-
kan angka pravelensi hipertensi pada pria kulosis, jumlahnya mencapai 6,8% dari pro-
adalah 13,6% (1988), 16,5% (1933), dan porsi penyebab kematian pada semua umur
12,1% (2000). Pada wanita, angka preva- di Indonesia (Departemen Kesehatan RI).
lensi mencapai 16% (1988), 17% (1993),
dan 12,2% (2000). Secara umum pravelensi METODE PENELITIAN
hipertensi pada usia lebih dari 50 tahun Penelitian ini merupakan penelitian
berkisar antara 15%-20%. observasional dengan metode deskriptif,
Beberapa variabel yang mempenga- yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan
ruhi tingkat kepatuhan menurut Smeltzer dan dengan tujuan utama untuk membuat
Kurnianto Priambodo, Lutfi Nurdian Asnindari, Gambaran Faktor-Faktor Kepatuhan... 59

gambaran atau deskripsi tentang suatu Kuesioner dalam penelitian ini digunakan
keadaan secara obyektif (Notoatmodjo, untuk mengukur kepatuhan dietnya serta
2002). faktor-faktor kepatuhan diet lanjut usia
Pendekatan waktu yang digunakan penderita hipertensi di Desa Margosari,
adalah cross sectional yaitu dengan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta.
pengumpulan data yang dilakukan sekaligus Kuesioner kepatuhan diet berisi 20
pada suatu saat (point time approach), tiap pertanyaan yang terdiri dari dua macam,
subyek penelitian hanya diobservasi sekali yaitu 10 pertanyaan unfavorable dan 10
saja dan pengukuran dilakukan terhadap pertanyaan favorable. Nilai untuk perta-
status karakter atau variabel subyek pada nyaan unfavorable adalah 4 untuk tidak
saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2002). pernah (TP), 3 untuk jarang (JR), 2 untuk
Populasi adalah keseluruhan respon- kadang-kadang (KD), 1 untuk sering (SR)
den yang diteliti (Notoatmodjo, 2002). dan 0 untuk selalu (SL). Nilai untuk per-
Populasi adalah wilayah generalisasi yang tanyaan favorable adalah 0 untuk tidak
terdiri atas obyek atau subyek yang mempu- pernah (TP), 1 untuk jarang (JR), 2 untuk
nyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang kadang-kadang (KD), 3 untuk sering (SR),
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan dan 4 untuk selalu (SL). Sedangkan untuk
kemudian ditarik kesimpulannya (Suyono, kuesioner faktor-faktor kepatuhan diet,
2006). Populasi dalam penelitian ini adalah masing-masing terdiri dari 1 pertanyaan
penderita hipertensi lansia yang berada di dengan jawaban yang sudah tersedia,
wilayah Desa Margosari, Pengasih, Kulon responden tinggal memilih jawaban yang
Progo, Yogyakarta tahun 2010. Data diper- dianggap sesuai.
oleh dari Puskesmas Pengasih II, Kulon Kriteria dari selalu (SL) adalah setiap
Progo. Dengan jumlah populasi 54 respon- hari menkonsumsi lebih dari atau sama
den, dan yang patuh terhadap diet hipertensi dengan 3 kali, sering (SR) adalah mengkon-
sebanyak 49 orang. sumsi sehari kurang dari 3 kali, kadang-
Pada penelitian ini jumlah responden kadang (KD) adalah mengkonsumsi 2 hari
sebanyak 49 orang, didapat dari skrining res- sekali, jarang (JR) adalah mengkonsumsi
ponden yang jumlah awalnya sebanyak 54 lebih dari 3 hari sampai 1 minggu sekali, dan
orang, dan yang patuh terhadap diet hiper- tidak pernah (TP) adalah tidak pernah
tensi didapatkan sebanyak 49 orang. Peng- mengkonsumsinya.
ambilan sampel dengan menggunakan pur-
posive sampling, karena penentuan sampel HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan pertimbangan tertentu. Kriteria Penelitian ini membahas gambaran
sampel dalam penelitian ini adalah penderita faktor-faktor kepatuhan diet penderita hiper-
hipertensi lanjut usia yang patuh terhadap tensi lanjut usia di Desa Margosari, Penga-
dietnya dan bersedia menjadi responden. sih, Kulon Progo, Yogyakarta tahun 2010.
Alat pengumpulan data yang diguna- Data penelitian diperoleh dengan cara me-
kan adalah kuesioner yang diberikan pada ngisi angket/kuesioner yang terkait dengan
responden, jawaban ditulis pada kolom yang kepatuhan diet yang terdiri dari 20 butir
tersedia. Jenis kuesioner adalah pertanyaan pertanyaan dan 11 butir pertanyaan tentang
tertutup (closed ended) yaitu pada setiap faktor-faktor kepatuhan diet responden.
pertanyaan sudah disediakan jawaban Berdasarkan hasil angket/kuesioner
sehingga responden tinggal memilih satu dapat dideskripsikan distribusi frekuensi
jawaban yang sesuai (Notoatmodjo, 2002). faktor-faktor kepatuhan diet penderita
60 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 57-64

hipertensi lanjut usia di Desa Margosari, patuh diet berjenis kelamin perempuan yaitu
Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta tahun sebanyak 28 orang (57,1%). Hal ini menun-
2010 yang disajikan pada masing-masing jukkan mayoritas responden perempuan
tabel berikut ini. patuh diet penderita hipertensi lanjut usia.

Faktor Usia Faktor Pendapatan


Kepatuhan diet penderita hipertensi Kepatuhan diet penderita hipertensi
lanjut usia berdasarkan faktor usia dijelaskan lanjut usia berdasarkan faktor pendapatan
pada tabel berikut ini. dijelaskan pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Faktor Tabel 3. Distribusi Frekuensi Faktor


Usia Pendapatan

Kategori Frekuensi Persentase Kategori Frekuensi Persentase


60-65 th 19 38,8
66-70 th 11 22,4 Kurang Rp. 745.000 27 55,1
71-75 th 8 16,3 Lebih Rp. 745.000 22 44,9
76-80 th 7 14,3 Total 49 100
>80 th 4 8,2
Total 49 100
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden yang pa-
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui tuh diet memiliki pendapatan kurang dari
bahwa sebagian besar responden yang
Rp745.000 yaitu sebanyak 27 orang
patuh diet yaitu berusia 60-65 tahun seba-
(55,1%). Hal ini menunjukkan mayoritas
nyak 19 orang (38,8%), sedangkan paling
responden yang memiliki pendapatan rendah
sedikit responden yang patuh diet yaitu patuh diet penderita hipertensi lanjut usia.
berusia lebih dari 80 tahun sebanyak 4 orang
(8,2%). Hal ini menunjukkan mayoritas
Faktor Pendidikan
responden patuh diet berada pada usia 60-
Kepatuhan diet penderita hipertensi
65 tahun. lanjut usia berdasarkan faktor pendidikan
dijelaskan pada tabel berikut ini.
Faktor Jenis Kelamin
Kepatuhan diet penderita hipertensi Tabel 4. Distribusi Frekuensi Faktor
lanjut usia berdasarkan faktor jenis kelamin Pendidikan
dijelaskan pada tabel berikut ini.
Kategori Frekuensi Persentase
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Faktor SD 20 40,8
Jenis Kelamin SLTP 16 32,7
SLTA 9 18,4
Kategori Frekuensi Persentase Perguruan 4 8,2
Laki-laki 21 42,9 Tinggi
Perempuan 28 57,1 Total 49 100
Total 49 100
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang
bahwa sebagian besar responden yang patuh diet memiliki tingkat pendidikan SD
Kurnianto Priambodo, Lutfi Nurdian Asnindari, Gambaran Faktor-Faktor Kepatuhan... 61

yaitu sebanyak 20 orang (40,8%). Hal ini Faktor Program Diet


menunjukkan mayoritas responden yang Kepatuhan diet penderita hipertensi
patuh diet penderita hipertensi lanjut usia lanjut usia berdasarkan faktor program diet
memiliki tingkat pendidikan SD. dijelaskan pada tabel berikut ini.

Faktor Penyakit Komplikasi Tabel 7. Distribusi Frekuensi Faktor


Kepatuhan diet penderita hipertensi Program Diet
lanjut usia berdasarkan faktor penyakit kom-
Kategori Frekuensi Persentase
plikasi dijelaskan pada tabel 5 sebagai Tidak Komplek 43 87,7
berikut ini. Komplek 6 12,2
Total 49 100
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Faktor
Penyakit Komplikasi Berdasarkan tabel 7 di atas, dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden
Kategori Frekuensi Persentase yang patuh diet penderita hipertensi lanjut
Tidak Ada 49 100 usia, menganggap bahwa diet merupakan
Ada 0 0 program yang tidak rumit atau tidak
Total 49 100
kompleks. Persentase mereka mencapai
87,8%, yaitu sebanyak 43 orang.
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden yang pa- Faktor Efek Samping
tuh diet penderita hipertensi lanjut usia adalah Kepatuhan diet penderita hipertensi
yang tidak memiliki komplikasi dari penyakit lanjut usia berdasarkan faktor efek samping
hipertensi yang diderita sekarang sebanyak dijelaskan pada tabel berikut ini.
49 orang (100%).
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Faktor
Faktor Gejala Sakit Berkurang Efek Samping
Kepatuhan diet penderita hipertensi
lanjut usia berdasarkan faktor gejala sakit Kategori Frekuensi Persentase
Tidak Ada 37 75,5
berkurang dijelaskan pada tabel 6 sebagai Ada 12 24,5
berikut ini. Total 49 100

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Faktor Berdasarkan tabel 8 di atas, dapat


Gejala Sakit Berkurang diketahui bahwa sebagian besar responden
yang patuh diet penderita hipertensi lanjut
Kategori Frekuensi Persentase usia menganggap diet tidak memiliki efek
Berkurang 46 93,9 samping yang kurang menyenangkan.
Tidak Berkurang 3 6,1
Prosentase mereka mencapai 75,5%, yaitu
Total 49 100
sebanyak 37 orang.
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden yang Faktor Diet Tergolong Mahal/Murah
patuh dalam menjalankan diet penderita Kepatuhan diet penderita hipertensi
hipertensi lanjut usia adalah yang memiliki lanjut usia berdasarkan faktor diet tergolong
gejala sakit berkurang yaitu sebanyak 46 mahal/murah dijelaskan pada tabel 9 berikut
orang (93,9%). di bawah ini.
62 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 57-64

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Faktor


Diet Mahal/Murah Tabel 11. Distribusi Frekuensi Faktor
Sikap kepada Tenaga Medis
Kategori Frekuensi Persentase
Murah 45 91,8 Kategori Frekuensi Persentase
Mahal 4 8,2
Baik 47 95,9
Total 49 100 Kurang Baik 2 4,1
Total 49 100
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden yang Berdasarkan tabel 11 dapat diketahui
patuh diet penderita hipertensi lanjut usia bahwa sebagian besar responden yang
menganggap diet yeng dilakukan tergolong patuh diet penderita hipertensi lanjut usia
murah yaitu sebanyak 45 orang (91,8%). menunjukkan sikap baik kepada tenaga
Hal ini menunjukkan mayoritas responden medis yaitu sebanyak 47 orang (95,9%).
yang patuh diet penderita hipertensi lanjut
usia menganggap diet yeng dilakukan tergo- Faktor Usia Penderita Hipertensi pada
long murah. Lansia
Penyakit hipertensi maupun diabetes
Faktor Menerima Penyakit merupakan penyakit yang tidak dapat di-
Kepatuhan diet penderita hipertensi sembuhkan. Diet atau terapi yang diberikan
lanjut usia berdasarkan faktor menerima hanya sebatas untuk mempertahankan kon-
penyakit yang diderita dijelaskan pada tabel disi agar tidak terjadi komplikasi penyakit
berikut ini. lainya sehingga butuh motivasi dan semangat
agar mampu bertahan. Bagi responden yang
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Faktor memiliki penyakit hipertensi diharapkan
Menerima Penyakit untuk terus mengikuti program diet agar lebih
sehat.
Kategori Frekuensi Persentase
Menerima 44 89,8 Pengaruh keparahan pada kepatuhan
Tidak Menerima 5 10,2 yaitu semakin banyak komplikasi yang ada,
Total 49 100 maka dapat disimpulkan juga bahwa orang
yang menderita hipertensi itu tidak patuh
Berdasarkan tabel 10 di atas, dapat terhadap dietnya. Pengelolaan kepatuhan
diketahui bahwa sebagian besar responden diet pada lanjut usia sangat dibutuhkan,
yang patuh menjalankan diet bagi penderita karena dengan pengelolaan kepatuhan itu
hipertensi lanjut usia mereka bersikap sendiri maka dapat meminimalisasi adanya
menerima penyakit yang sedang diderita. komplikasi yang lebih besar dan penyakit
Persentase mereka sebanyak 89,8%, yaitu yang diderita para lanjut usia tidak bertam-
sebanyak 44 orang. bah parah.
Usia merupakan lama waktu hidup
Faktor Sikap Kepada Tenaga Medis atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan)
Kepatuhan diet penderita hipertensi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001).
lanjut usia berdasarkan faktor sikap kepada Status kesehatan dapat ditentukan oleh
tenaga medis dijelaskan pada tabel 11 faktor usia. Setiap rentang usia (bayi-lansia)
sebagai berikut: memiliki pemahaman dan respon terhadap
Kurnianto Priambodo, Lutfi Nurdian Asnindari, Gambaran Faktor-Faktor Kepatuhan... 63

perubahan kesehatan yang berbeda-beda. biasanya akan lebih cepat tanggap terhadap
Usia berpengaruh terhadap cara pandang gejala penyakit yang dirasakan, akan sece-
seseorang dalam kehidupan, masa depan pat mungkin untuk mencari pencegahan agar
dan pengambilan keputusan. Penderita yang penyakit dapat diatasi. Sehingga ia akan
dalam usia produktif merasa terpacu untuk segera mencari pertolongan ketika merasa
patuh terhadap terapi mengingat dia masih ada gangguan pada kesehatannya tanpa
muda, mempunyai harapan hidup yang tinggi, bingung memikirkan biaya.
sementara yang tua merasa hanya menunggu Tingkat pendidikan berpengaruh pada
waktu, akibatnya mereka kurang motivasi status pengetahuan seseorang tentang pe-
dalam menjalani terapi. nyakit hipertensi dapat mempengaruhi
Menurut penelitian ini, hipertensi meru- kemampuannya dalam memilih dan memu-
pakan penyakit yang banyak diderita oleh tuskan terapi maupun diet yang sesuai de-
kaum wanita. Adapun dampak penyakit ngan kondisinya untuk mereda penyakit
hipertensi apabila tidak dikelola dengan baik yang dialaminya. Status pendidikan dapat
dapat menyebabkan penyakit yang lebih mempengaruhi kesempatan dalam mempe-
parah. Penyakit hipertensi merupakan pe- roleh informasi mengenai pengelolaan pe-
nyebab umum terjadinya stroke dan se- nyakitnya. Seseorang yang memiliki pendi-
rangan jantung. Pada lanjut usia penyakit- dikan tinggi akan lebih mudah mendapatkan
penyakit tersebut sangat rentan dan sering informasi dan pengetahuan terkait kesehatan,
sekali menyerang usia lanjut, sehingga untuk cenderung lebih mudah mencari tahu terapi
para lanjut usia dianjurkan untuk dapat yang seharusnya dijalani, sedangkan yang
melaksanakan pengontrolan hipertensi berpendidikan rendah sedikit kesempatan
dengan baik, untuk mencegah penyakit mencari pengetahuan. Hal ini mempengaruhi
menjadi lebih parah. tingkat kepatuhan diet untuk mengurangi
Jenis kelamin berpengaruh terhadap penyakit hipertensi.
kepatuhan dalam menerapkan terapi non
farmakologi. Hasil ini didukung hasil pene- SIMPULAN DAN SARAN
litian sebelumnya yang dilakukan oleh
Riastuti (2005) bahwa responden wanita Simpulan
lebih banyak daripada pria disebabkan Simpulan dari penelitian ini adalah faktor
karena usia wanita lebih panjang sehingga jenis kelamin penderita hipertensi pada lansia
mengalami proses penuaan yang beresiko sebagian besar responden yang patuh diet
pada penyakit kelainan metabolisme pen- berjenis kelamin perempuan sebanyak 28
cernaan, salah satunya adalah hipertensi. orang (57,1%), faktor status sosial ekonomi
Tingkat kesadaran perempuan lebih tinggi penderita hipertensi sebagian besar
sehingga lebih banyak yang terdeteksi. responden yang patuh diet memiliki penda-
Tingkat ekonomi atau penghasilan patan kurang dari Rp745.000 sebanyak 27
yang rendah akan berhubungan dengan orang (55,1%), faktor pendidikan penderita
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun hipertensi sebagian besar responden yang
pencegahan penyakit. Semakin tinggi biaya patuh diet memiliki tingkat pendidikan SD
yang dikeluarkan untuk melakukan diet sebanyak 20 orang (40,8%), faktor
sedangkan penghasilan yang didapat relatif keparahan penyakit penderita hipertensi
rendah, maka akan semakin rendah pula sebagian besar responden yang patuh diet
kepatuhannya terhadap diet. Sedangkan penderita hipertensi lanjut usia tidak memiliki
semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang komplikasi dari penyakit hipertensi yang
64 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 57-64

dialami sekarang sebanyak 49 orang (100%). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/


Faktor hilangnya gejala akibat terapi Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar
yang dilakukan sebagian responden yang Bahasa Indonesia. Edisi 3. Balai
patut diet sebanyak 46 orang (93,9%), fak- Pustaka: Jakarta.
tor penerimaan dan penyangkalan terhadap Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Pene-
penyakit sebagian besar responden yang pa- litian. Rineka Cipta: Jakarta.
tuh diet penderita hipertensi lanjut usia mene- Nugroho, W. 2000. Keperawatan Ge-
rima penyakit yang sedang diderita sebanyak rontik. EGC: Jakarta.
44 orang (89,8%), faktor sikap penderita
terhadap tenaga kesehatan sebagian besar Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jen-
responden yang patuh diet penderita hiper- deral Departemen Kesehatan. Hin-
tensi lanjut usia menunjukkan sikap baik dari Hipertensi, Konsumsi Ga-
kepada tenaga medis sebanyak 47 orang ram 1 Sendok Teh per Hari. Disa-
(95,9%). jikan dalam Seminar Hipertensi dan
Deteksi Dini Faktor Risikonya,
Saran (Online), (http://depkes.go.id/
Saran yang dapat diberikan bagi index.php?vw=2&id=263), diakses
masyarakat Desa Margosari khususnya lansia 15 Juni 2010.
penderita hipertensi lebih memperhatikan Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi Jenderal Departemen Kesehatan.
kepatuhan diet, dan dapat menerapkan diet Hipertensi Kematian Nomor 3.
hipertensi dengan baik. Disampaikan dalam Kegiatan The
Bagi peneliti selanjutnya dapat menja- 4th Scientific Meeting, (Online),
dikan hasil penelitan ini sebagai sumber pus- ( ht t p:// www. d epke s. go . id/
taka atau referensi dan meningkatkan penge- index.php?vw=2&id=810),
tahuan tentang faktor-faktor kepatuhan diet diakses 15 Juni 2010.
lansia penderita hipertensi. Peneliti selan- Riastuti, M.N.D.P. 2005. Pengaruh Kun-
jutnya dapat meneliti beberapa faktor lain jungan Rumah Terhadap Kepa-
yang mempengaruhi kepatuhan diet lanjut tuhan Diet dan Kadar Gula Da-
usia penderita hipertensi, seperti faktor rah Pada Pasien Diabetes Melli-
pekerjaan, aktivitas, tempat tinggal, faktor tus Tidak Tergantung Insulin Ra-
konsumsi makanan, kurang olahraga, obe- wat Jalan di RS dr Sardjito Yogya-
sitas, kebiasaan merokok, riwayat keluarga karta, (Online), (http://linfolib.med.
hipertensi, diabetes millitus, suku bangsa, ugm.pdf ), diakses 15 Juni 2010.
intelegensi, budaya, dan agama. Smeltzer, Bare. 2002. Buku Ajar Kepera-
Bagi Puskesmas Pengasih II agar da- watan Medical Bedah Brunner
pat memberikan konseling dan pemantauan dan Suddart. EGC: Jakarta.
bagi para penderita hipertensi lanjut usia di Suyono, Slamet. 2006. Buku Ajar Ilmu
Desa Margosari, agar mereka dapat menge- Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 4.
lola dietnya dengan baik dan benar. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-UI: Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Wirakusumah, ES. 1999. Perencanaan
Budiyanto, MAK. 2001. Dasar - Dasar Menu Anemia Gizi Besi. Trubus
Ilmu Gizi. UMM Press: Malang. Agriwirya: Jakarta.
PENGARUH STATUS KEPEGAWAIAN TERHADAP
KINERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP

Muhammad Saefulloh
STIKes Indramayu
E-mail: mumet_plumbon@yahoo.co.id

Abstract: This research aims at obtaining the differences between civil


servant and non-civil servant performance in Indramayu Regional
Hospital. This research is a comparative research study. The sampling
technique used in this research was total population sampling technique.
A number of 119 respondents were taken as the sample of this research.
The statistics showed that there were 63.03% civil servant nurses while
the others (36,97%) were not civil servants. The data on this research
were taken by using nurse self-assessment performance in giving their
service. The result of independent t-test showed value at 0.05. The result
of the statistics test showed p-value = 0.520 (α 0.05). In conclusion,
there was no meaningful different performance between civil servant
nurses and non-civil servant nurses in Indramayu Regional Hospital in
2012.

Keywords: nurses performance, personnel status

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja


perawat PNS dengan Non PNS di ruang rawat inap RSUD Kabupaten
Indramayu. Desain penelitian menggunakan studi komparasi. Teknik
sampling menggunakan total populasi dengan jumlah responden sebanyak
119 orang. Data diambil menggunakan kuesioner self assesment kinerja
perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Analisis statistik meng-
gunakan independent t-test dengan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 63,03% perawat berstatus PNS
dan 36,97% berstatus non PNS. Hasil uji statistik menunjukkan p-
value=0,520 (α 0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara
kinerja perawat PNS dengan non PNS di ruang rawat inap RSUD
Kabupaten Indramayu. Hal ini dapat disebabkan perawat yang berstatus
non PNS memiliki tanggung jawab yang sama dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap pasien. Kesimpulan penelitian adalah tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kinerja perawat pelaksana yang
berstatus PNS dengan non PNS di ruang rawat inap RSUD Kabupaten
Indramayu Tahun 2012.
.
Kata Kunci: kinerja perawat, status kepegawaian
66 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 65-73

PENDAHULUAN adalah terlaksananya asuhan keperawatan


Jumlah sumber daya manusia bidang terhadap pasien melalui proses keperawatan
keperawatan di berbagai rumah sakit pada yaitu berupa aktivitas yang dilakukan secara
umumnya mencapai 40–60% dari jumlah sistematis melalui lima tahap yakni pengka-
sumber daya manusia secara keseluruhan di jian, diagnosis, perencanaan tindakan,
rumah sakit tersebut (Gillies, 2000). Kondisi implementasi dan evaluasi keperawatan.
tersebut menyebabkan pelayanan yang Perawat di rumah sakit memiliki peran
diberikan oleh perawat selama 24 jam akan sebagai perawat klinik (PK), perawat
berpengaruh terhadap pelayanan yang manajer (PM), perawat pendidik (PP) dan
diberikan oleh rumah sakit secara keselu- perawat riset (PR) (PPNI, 2002). Di rumah
ruhan pula. Hal tersebut akan nampak pada sakit, perawat dominan berperan sebagai
kinerja rumah sakit yang dapat diukur perawat klinik yaitu pemberi asuhan kepera-
dengan pencapaian tujuan rumah sakit. watan sehingga apabila kita akan melihat
Kinerja adalah apa yang dilakukan kinerja perawat maka yang dilihat adalah
atau tidak dilakukan oleh karyawan yang hasil yang dicapai oleh perawat dalam mem-
mempengaruhi seberapa banyak mereka berikan asuhan keperawatan. Hasil kinerja
memberikan kontribusi kepada organisasi, perawat di rumah sakit dapat dilakukan
seperti kuantitas output, kualitas output, melalui pengamatan langsung yaitu proses
jangka waktu output, kehadiran di tempat pemberian asuhan keperawatan (proses
kerja dan sikap kooperatif (Mathis & asuhan keperawatan) atau laporan dan ca-
Jackson, 2002). Kinerja merupakan hasil tatan pasien (dokumentasi) asuhan kepera-
pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat watan yang telah diberikan (hasil asuhan
dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan keperawatan).
konsumen, dan memberikan kontribusi pada Oleh karena itu Persatuan Perawat
ekonomi (Wibowo, 2009). Dengan demi- Nasional Indonesia (PPNI) pada tahun 2000
kian kinerja adalah tentang apa yang telah menetapkan standar praktik kepera-
dikerjakan oleh seseorang dalam suatu watan yang mengacu pada proses kepera-
organisasi dan bagaimana cara mengerja- watan yang meliputi pengkajian, diagnosa,
kannya, serta hasil yang dicapai dari peker- perencanaan, implementasi dan evaluasi.
jaan tersebut sehingga tercapai tujuan Pelaksanaan asuhan keperawatan kepada
organisasi. pasien di ruang rawat inap merupakan kegi-
Kinerja adalah hasil yang dicapai sese- atan pokok yang sering menjadi barometer
orang menurut ukuran yang berlaku untuk tentang baik atau buruknya suatu pelayanan
pekerjaan yang bersangkutan (As’ad, kesehatan di rumah sakit. Hal ini disebabkan
2003). Kinerja suatu organisasi, misalnya di ruang rawat inap merupakan tempat
rumah sakit, bukan hasil penampilan satu kontak antara perawat dengan pasien paling
individu namun merupakan hasil penampilan sering atau terlama terjadi.
seluruh individu yang ada di organisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
tersebut. Kinerja perawat adalah tindakan Kabupaten Indramayu adalah salah satu
atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang sarana pelayanan kesehatan yang ada di
perawat dalam suatu institusi pelayanan Kabupaten Indramayu dan merupakan
kesehatan sesuai dengan wewenang dan rumah sakit pemerintah yang menjadi pusat
tanggung jawabnya masing-masing, standar rujukan kesehatan di tingkat kabupaten.
praktek serta memeperhatikan aspek etik RSUD Kabupaten Indramayu sudah
legal. Kinerja perawat pada hakekatnya terakreditasi tipe B dengan lima pelayanan
Muhammad Saefulloh, Pengaruh Status Kepegawaian... 67

(bidang Administrasi, Pelayanan, Kepe- Instalasi rawat inap RSUD Kabupaten


rawatan, Unit Gawat Darurat dan Medical Indramayu memiliki jumlah perawat 149
Record) dan masuk kategori BLUD (Badan orang dan kapasitas tempat tidur 177 buah,
Layanan Umum Daerah) sejak tahun 2011. terdiri dari 9 ruang perawatan yang masing-
Visi RSUD Kabupaten Indramayu masing ruangan dipimpin oleh kepala
adalah terwujudnya pelayanan kesehatan ruangan. Ruang rawat inap tersebut adalah
yang bermutu kepada seluruh lapisan ma- Ruang VIP A (Paviliun Kidang Kencana),
syarakat Kabupaten Indramayu menuju ke Ruang VIP B, Ruang Kelas Satu, Ruang
arah kesehatan yang lebih baik. Misinya Penyakit Dalam, Ruang Penyakit Bedah,
adalah memberikan pelayanan kesehatan Ruang Penyakit Anak, Ruang ICU
spesialistik yang optimal, menjadi pusat (Intensive Care Unit), Ruang Bersalin
rujukan pelayanan kesehatan untuk wilayah (nifas) dan Ruang Perinatologi.
Indramayu, meningkatkan sumber daya ma- Hasil studi pendahuluan di Rumah
nusia, meningkatkan sarana dan prasarana Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
rumah sakit, dan meningkatkan kese- Indramayu ditemukan data bahwa seluruh
jahteraan pegawai (Profil RSUD Kabupaten perawat RSUD Kabupaten Indramayu
Indramayu, 2012). baik yang Pegawai Negeri Sipil (PNS)
maupun Non PNS (Bukan Pegawai Negeri
Tabel 1. Indikator Kinerja Pelayanan Sipil) mencatat hasil kegiatan harian pada
di Ruang Rawat Inap RSUD buku catatan pelaksanaan kegiatan, namun
Kabupaten Indramayu pencatatannya belum rutin dilakukan setiap
hari. Secara rutin diadakan penilaian kinerja
Indikator 2010 2011 2012 perawat, khusus untuk perawat yang
(s.d. Juli) berstatus PNS penilaian kinerja ditambah
BOR (Bed 75,19 86,75 84,6 menggunakan format Daftar Penilaian
Occupancy Rate) Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) meliputi
LOS (Length of 3 3 3 kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab,
Stay) ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa
BTO (Bed Turn 85 98 58
Over) dan kepemimpinan. Nilai rata-rata DP3
TOI (Turn Over 1 0 1 perawat di RSUD Kabupaten Indramayu
Interval) adalah 80,00% (kategori baik). Sedangkan
untuk perawat yang Non PNS tiak ada
penilaian DP3.
Tabel 1 menggambarkan sampai de- Hasil observasi peneliti terhadap sepu-
ngan bulan Juli tahun 2012 nilai BOR (Bed luh dokumentasi asuhan keperawatan dari
Occupancy Rate) atau tingkat pemanfaatan tanggal 28 September–3 Oktober 2012
tempat tidur rata-rata sebesar 84,6%, LOS pada salah satu ruang rawat inap, delapan
(Length of Stay) atau lamanya hari pera- dokumen sudah diisi tetapi ada dua doku-
watan di rumah sakit rata-rata selama 3 hari, men diisi setelah tiga hari perawatan. Wa-
BTO (Bed Turn Over) atau rata-rata satu wancara peneliti kepada perawat di ruang
tempat tidur terpakai dalam satu tahun tersebut menyatakan bahwa penundaan
sebanyak 58 kali per tahun dan angka TOI pencatatan dokumen asuhan keperawatan
(Turn Over Interval) atau interval waktu ini disebabkan perawat menerima lebih dari
tempat tidur tidak ditempati selama 1 hari. satu pasien baru dalam satu shift.
68 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 65-73

Perawat mendahulukan pelaksanaan tanggung jawab, kemajuan dan pertum-


tindakan keperawatan untuk memenuhi buhan. Faktor ini merupakan faktor yang
kebutuhan pasien atau menghindari kom- secara konsisten berkaitan dengan kepuasan
plain pasien dan keluarga pasien. Dari hasil kerja. Apabila faktor-faktor tersebut terpe-
wawancara didapatkan data ada anggapan nuhi maka seseorang akan merasakan kepu-
bahwa perawat dengan status PNS memiliki asan, sehingga akan mendorong untuk
tanggungjawab lebih besar daripada non meningkatkan motivasi kerjanya.
PNS sehingga dalam bekerja harus lebih Faktor motivator merupakan faktor
baik. Hal ini akan terlihat dari cara kerja intrinsik, artinya faktor yang timbul dari
perawat tersebut. dalam diri individu (Robbins, 1998). Faktor
Menurut Kopelmen (1981) dalam hygiene meliputi kebijakan dan administrasi
Ilyas (2002) terdapat dua faktor yang mem- perusahaan, supervisi, hubungan dengan
pengaruhi kinerja pegawai yaitu motivasi dan supervisor, gaji, hubungan dengan rekan
kemampuan. Semakin tinggi motivasi kerja kerja, kehidupan pribadi, hubungan dengan
dan kemampuan staf maka semakin tinggi bawahan, status dan keamanan. Faktor ini
pula kinerja yang dihasilkan, sebaliknya merupakan yang berkaitan dengan ketidak-
semakin rendah motivasi dan kemampuan puasan. Apabila faktor-faktor tersebut
staf maka semakin rendah pula kinerjanya. terpenuhi maka seseorang merasa terpenuhi
Berkaitan dengan perawat yang bekerja di kepuasannya (tidak ada ketidakpuasan)
rumah sakit, motivasi kerja seorang perawat sehingga akan mendorong untuk mening-
dapat mempengaruhi pelaksanaan pelayanan katkan motivasi kerjanya. Faktor hygiene
keperawatan kepada pasien. merupakan faktor ekstrinsik, artinya faktor
Motivasi kerja perawat timbul dari da- yang timbul dari luar diri individu (Robbins,
lam diri perawat untuk melaksanakan asuhan 1998).
keperawatan. Apabila motivasi kerja pera- Berdasar analisis terhadap fenomena di
wat baik maka kinerja perawat dalam mem- atas maka diperlukan informasi spesifik yang
berikan asuhan keperawatan akan baik menjelaskan perbedaan kinerja perawat
pula. Sebaliknya apabila motivasi kerja pe- pelaksana antara PNS dengan non PNS,
rawat menurun maka akan menimbulkan sehingga masalah penelitian yang dirumuskan
permasalahan dalam pelayanan kepera- adalah “Apakah ada perbedaan yang
watan seperti menurunnya kinerja perawat bermakna antara kinerja perawat pelaksana
yang berdampak pada menurunnya kualitas PNS dan Non PNS di Ruang Rawat Inap
pelayanan kesehatan secara keseluruhan. RSUD Kabupaten Indramayu?”
Teori motivasi menurut Frederick
Herzberg (1950) dalam Robbins (1998), METODE PENELITIAN
Hasibuan (2001), Munandar (2004) yang Penelitian ini merupakan penelitian
dikenal dengan teori dua faktor menjelaskan komparasi. Sampel dalam penelitian ini ada-
bahwa ada dua faktor yang akan mempe- lah perawat pelaksana di ruang rawat inap
ngaruhi motivasi seseorang dalam melak- RSUD Kabupaten Indramayu sebanyak
sanakan pekerjaannya yaitu faktor motivator 119 responden. Status kepegawaian dike-
dan faktor hygiene. Kedua faktor tersebut lompokkan menjadi PNS dan non PNS.
tidak berdiri sendiri namun akan selalu Data kinerja diambil menggunakan kuesi-
berkaitan. Faktor motivator meliputi pres- oner self assesment kinerja perawat dalam
tasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, pemberian asuhan keperawatan. Kuesioner
Muhammad Saefulloh, Pengaruh Status Kepegawaian... 69

yang dipakai telah dilakukan uji validitas dan Tabel 4 menunjukkan bahwa perawat
reliabilitas di Rumah Sakit Umum Daerah yang berstatus PNS sebanyak 75 responden
(RSUD) M.A. Sentot di Patrol Kabupaten memiliki kinerja rata-rata 85,54 dengan
Indramayu terhadap 30 responden. Data simpang deviasi 10,27. Ini menunjukkan
dianalisis secara univariat dan bivariat (Sabri bahwa secara kuantitas kinerja perawat
& Hastono, 1999). yang berstatus PNS memiliki kategori baik
bila distandarkan dengan DP3 (Daftar
HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Prestasi Pegawai) yang selama ini
Data hasil penelitian dikelompokkan diberlakukan untuk PNS. Untuk perawat
berdasarkan status kepegawaian PNS dan yang berstatus non PNS sebanyak 44
non PNS. Selanjutnya, berdasarkan status responden memiliki kinerja rata-rata 84,32
kepegawaian tersebut data karakteristik dengan simpang deviasi 9,62. Ini
responden dikelompokkan menjadi data menunjukkan pula bahwa secara kuantitas
numerik dan kategorik. kinerja perawat yang berstatus non PNS
Hasil analisis data pada tabel 2 memiliki kategori baik bila distandarkan
menunjukkan bahwa perawat pelaksana dengan DP3 (Daftar Penilaian Prestasi
yang bekerja di ruang rawat inap RSUD Pegawai) yang selama ini diberlakukan untuk
Indramayu berdasarkan jenis kelamin PNS.
sebagian besar berjenis kelamin perempuan Hasil uji statistik didapatkan p value
(70,59%) dan berdasarkan t ingkat 0,520 (∂ 0,05) sehingga hipotesis nol
pendidikan sebagian besar berpendidikan diterima yang berarti tidak ada perbedaan
DIII keperawatan (82,35%). yang bermakna antara kinerja perawat PNS
Tabel 3 menunjukkan bahwa perawat dengan non PNS di Ruang Rawat Inap
pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap RSUD Kabupaten Indramayu. Hasil ini
RSUD Indramayu berdasarkan umur menunjukkan pula baik perawat yang
memiliki rata-rata umur 31 tahun dengan berstatus PNS maupun non PNS memiliki
umur termuda 24 tahun dan umur tertua 42 kinerja dengan kategori baik.
tahun (95%CI, 29,93 – 32,06 tahun), Berdasarkan hasil penelitian didapat-
sedangkan berdasarkan lama kerja memiliki kan data bahwa perawat di ruang rawat inap
lama kerja rata-rata 5,58 tahun dengan lama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabu-
kerja terendah 0 tahun dan tertinggi 23 tahun paten Indramayu berusia rata-rata 31 tahun.
(95%CI, 4,29 – 6,86 tahun) Ini menunjukkan bahwa meskipun perawat

Tabel 2. Distribusi Karakteristik Perawat Pelaksana Berdasarkan Jenis Kelamin


dan Tingkat Pendidikan Pada Kelompok PNS dan Non PNS Di Ruang
Rawat Inap RSUD Indramayu Tahun 2012

Variabel Kelompok Kelompok Jumlah


PNS Non PNS
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki Laki 21 28,0 14 31,8 35 29,41
Perempuan 54 72,0 30 68,2 84 70,59
Tingkat pendidikan
D III Keperawatan 59 78,7 39 88,6 98 82,35
Ners 16 21,3 5 11,4 21 17,65
70 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 65-73

Tabel 3. Distribusi Karakteristik Perawat Pelaksana Berdasarkan Umur dan Lama


Kerja Pada Kelompok PNS dan Non PNS Di Ruang Rawat Inap RSUD
Indramayu Tahun 2012

Variabel Kelompok n Mean Median SD Min- 95% CI


Maks
PNS 75 34,75 34 4,92 26 – 48 33,61 – 35,87
Umur
Non PNS 44 27,25 26,50 3,80 22 – 36 26,25 – 28,24
Total 119 31 30,25 4,10 24 - 42 29,93 – 32,06
Lama PNS 75 8,25 9 5,63 0 – 25 6,95 – 9,55
Kerja Non PNS 44 2,91 1,50 4,19 0 – 21 1,63 – 4,18
Total 91 5,58 5,25 4,91 0 – 23 4,29 – 6,86

Tabel 4. Analisis Perbedaan Kinerja Perawat PNS dan Non PNS Di Ruang Rawat
Inap RSUD Kabupaten Indramayu 2012

Status Pegawai n Mean Med SD Min – Max p value


PNS 75 85,54 89,00 10,27 61 – 96
0,520
Non PNS 44 84,32 87,00 9,62 61 – 96

di ruang rawat inap RSUD Kabupaten Indramayu, dimana meskipun lama kerja
Indramayu memiliki umur rata-rata yang belum lama (masih yunior) namun sudah
masih muda namun sudah memiliki semangat berkinerja baik.
kerja yang tinggi. Kondisi ini tidak sesuai Berdasarkan jenis kelamin, hasil pene-
dengan pendapat Gordon (1993) yang litian menunjukkan bahwa jenis kelamin
menjelaskan semakin tua umur seseorang perawat pelaksana di ruang rawat inap
seharusnya semakin tinggi pula keinginan RSUD Kabupaten Indramayu sebanyak
untuk membuktikan existence di tempat 70,59% berjenis kelamin perempuan. De-
kerjanya. ngan kondisi lebih dari setengah berjenis
Namun, hasil penelitian ini sesuai de- kelamin perempuan ternyata memiliki nilai
ngan pendapat Gibson (1997) dalam Ilyas kinerja yang baik. Gibson (1997) dalam
(2002) bahwa umur berefek tidak langsung Ilyas (2002) menjelaskan bahwa jenis
terhadap kinerja. Di usia muda biasanya kelamin tidak berhubungan langsung dengan
individu ingin berprestasi dan mencari penga- kinerja. Robbins (1998) menjelaskan bahwa
laman yang sebanyak-banyaknya, hal ini tidak ada perbedaan yang jelas antara laki-
dimungkinkan menjadi pendorong kinerja. laki dan perempuan dalam kinerja. Jenis
Meskipun usia masih muda namun tidak kelamin bukan faktor determinan dalam
menghalangi untuk memiliki kinerja yang kinerja. Seorang yang berjenis kelamin laki-
baik. laki dapat berkinerja baik atau kurang baik
Berdasarkan lama kerja, hasil pene- tergantung dari faktor pendorongnya. Begitu
litian menunjukkan bahwa lama kerja pera- pula sebaliknya dengan seorang perempuan.
wat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Berdasarkan tingkat pendidikan, hasil
Indramayu rata-rata 5,58 tahun. Robbins penelitian menunjukkan bahwa tingkat
(1998) menjelaskan senioritas atau lama pendidikan perawat di ruang rawat inap
kerja seseorang menunjang kinerja pegawai. RSUD Indramayu sebanyak 82,35% ber-
Hal ini tidak terjadi di RSUD Kabupaten pendidikan D-III Keperawatan. Dengan
Muhammad Saefulloh, Pengaruh Status Kepegawaian... 71

pendidikan tinggi diharapkan perawat memi- wat, salah satu konsumennya adalah pasien
liki ilmu dan ketrampilan yang cukup dalam sehingga perawat memiliki kewajiban untuk
bekerja. Sehingga dimungkinkan hal ini men- memberikan pelayanan yang terbaik sesuai
jadi pendorong kinerja yang baik pada diri standar praktek yang telah dikeluarkan oleh
perawat di RSUD Kabupaten Indramayu. PPNI.
Berdasarkan status pegawai, hasil Perawat PNS merupakan bagian dari
penelitian menunjukkan bahwa status pega- PNS yang bertugas memberikan pelayanan
wai perawat pelaksana di ruang rawat inap keperawatan kepada masyarakat khususnya
RSUD Indramayu yang berstatus PNS se- di instansi pelayanan kesehatan dalam hal
banyak 63,03% dan berstatus non PNS se- ini adalah rumah sakit yang diselenggarakan
banyak 36,97%. Perawat PNS memiliki oleh pemerintah. Sama dengan PNS pada
kinerja rata-rata 85,54 dan perawat non umumnya, perawat PNS oleh negara dibe-
PNS memiliki kinerja rata-rata 84,32. Seli- rikan hak antara lain gaji pokok, tunjangan
sih kinerja antara perawat PNS dengan non jabatan (fungsional atau struktural), tun-
PNS adalah 1,22 poin. Berdasarkan analisis jangan istri/suami dan anak, tunjangan kese-
lanjutan didapatkan p value 0,52 sehingga hatan, tunjangan bantuan uang muka rumah,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbe- tunjangan pensiun, dan fasilitas-fasilitas lain
daan kinerja antara perawat yang berstatus yang diterima misalnya cuti sakit, cuti ta-
PNS dengan non PNS (∂ 0,05; 95% CI). hunan, dan cuti melahirkan.
Hasil uji statistik tersebut dapat dipaha- Hak-hak tersebut diberikan oleh nega-
mi karena secara kuantitas perbedaan ra sebagai timbal balik atas kesediaanya
kinerja antara PNS dan non PNS sebesar menjalankan kewajiban sebagai abdi ma-
1,22 poin dalam rentang nilai 0 – 100 tentu syarakat, sehingga sudah seharusnya se-
saja tidak berarti karena hanya berbeda orang perawat PNS memiliki kinerja yang
1,22% dan secara kualitas berdasarkan nilai baik yang diwujudkan saat pemberian pela-
DP3 skor 85,54 dan 84,32 berada pada yanan keperawatan. Bahkan di beberapa
kategori yang sama yaitu kategori baik. rumah sakit milik pemerintah, selain hak
PNS merupakan salah satu perangkat tersebut perawat mendapat tunjangan tam-
negara yang diangkat oleh pemerintah de- bahan dari rumah sakit. Halnya dengan
ngan tugas memberikan pelayanan kepada perawat non PNS, mereka mendapatkan
masyarakat. Kehidupan PNS dijamin oleh hak dari rumah sakit yang kuantitasnya ham-
negara dalam hal pemenuhan kehidupan pir sama seperti PNS namun tidak sebesar
yang layak bagi kehidupan manusia meliputi dan selengkap PNS. Di beberapa rumah
sandang, pangan, dan papan untuk seluruh sakit, baik perawat PNS maupun non PNS
anggota keluarga inti. mendapat fasilitas tambahan yaitu bebas
Jaminan negara untuk PNS meliputi biaya perawatan bagi dirinya dan anggota
juga untuk pendidikan lanjutan dalam rangka keluarga inti bila dirawat di rumah sakit
peningkatan kompetensi yang dapat menun- dimana yang bersangkutan bekerja.
jang kinerjanya. Dengan jaminan tersebut Meskipun hak yang diterima antara
diharapkan PNS dapat melayani masya- perawat PNS dan non PNS tidaklah sama
rakat sesuai dengan standar yang telah dite- namun tidak menghalangi perawat non PNS
tapkan. PNS merupakan abdi masyarakat untuk memberikan kinerja yang terbaik
sehingga tertuntut untuk memberikan untuk rumah sakit dalam memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pelayanan. Meskipun berdasarkan tingkat
sebagai konsumen. Halnya dengan pera- pendidikan ada perbedaan wewenang dalam
72 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 65-73

pemberian pelayanan keperawatan namun dapat menjadi bukti di mata hukum. Dengan
berdasarkan umur, lama kerja dan jenis demikian menjadi hal yang penting bagi suatu
kelamin seluruh perawat harus memberikan organisasi termasuk rumah sakit untuk dapat
pelayanan sesuai standar yang telah ditetap- menciptakan suatu upaya meningkatkan
kan. Seluruh perawat wajib memberikan pendokumentasian asuhan keperawatan
pelayanan yang berkualitas di unit kerjanya karena kualitas dokumentasi dapat menjadi
masing-masing, misal bagian penyakit gambaran hasil kinerja perawat pelaksana
dalam, penyakit bedah, bagian perawatan dalam memberikan asuhan keperawatan.
anak atau unit yang lainnya.
Adanya kesamaan kewajiban perawat SIMPULAN DAN SARAN
dalam pemberian pelayanan kepada pasien Simpulan
harus dapat menjadi dorongan bagi rumah Hasil penelitian ini menyimpulkan
sakit agar dapat mempertahankan kondisi bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna
lingkungan yang dapat meningkatkan kinerja antara kinerja perawat yang berstatus PNS
perawat terutama yang menjadi ujung tom- dengan non PNS. Hasil penelitian ini me-
bak dalam pemberian pelayanan terhadap nyimpulkan pula kedua kelompok memiliki
pasien karena semakin tinggi kinerja staf kinerja yang baik dalam pemberian asuhan
maka semakin tinggi pula produktivitas yang keperawatan.
dihasilkan, sebaliknya semakin rendah ki- Saran
nerja maka semakin rendah pula produk- Peneliti menyarankan kepada rumah
tivitasnya, yang pada akhirnya akan berim- sakit agar tetap memberikan perlakuan yang
bas pada produktifitas rumah sakit. Upaya sama dan tidak ragu-ragu apabila akan me-
tersebut misalnya melalui persamaan perla- lakukan rekrutmen perawat dengan status
kuan antara perawat PNS dan non PNS, non PNS. Bagi perawat pelaksana agar sela-
mengembangkan modul rekrutmen perawat lu mempertahankan kinerja yang sudah
dengan status non PNS. baik. Bagi peneliti lain disarankan melakukan
Terlepas dari hasil penelitian, dalam penelitian lanjutan faktor-faktor yang mem-
studi pendahuluan ditemukan fenomena pengaruhi kinerja perawat pelaksana baik
penundaan pencatatan dokumen asuhan perawat yang berstatus PNS maupun non
keperawatan. Penting untuk mendapatkan PNS. Bagi keilmuan manajemen kepera-
perhatian yang serius dan pengelolaan yang watan yaitu mengembangkan modul rekrut-
lebih baik dari rumah sakit, mengingat bebe- men perawat sehingga dapat memperoleh
rapa resiko dan dampak yang dapat timbul perawat yang memiliki kinerja baik dalam
berkaitan dengan pendokumentasian asuhan pemberian asuhan keperawatan.
keperawatan. Seperti yang diungkapkan
oleh Nursalam (2001) bahwa dokumentasi DAFTAR RUJUKAN
keperawatan adalah informasi tertulis tentang
status dan perkembangan kondisi klien serta As’ad, M. 2003. Psikologi industri.
semua kegiatan asuhan keperawatan yang Liberty: Yogyakarta.
dilakukan oleh perawat. Gillies, Dee Ann. 2000. Manajemen
Dokumentasi asuhan keperawatan Keperawatan sebagai Suatu
merupakan bukti kinerja perawat dalam Pendekatan Sistem. Yayasan
memberikan asuhan keperawatan. Melalui IAPKP: Bandung.
dokumentasi, seluruh kegiatan perawat yang Gordon, Judith R. 1993. Organizational
diberikan kepada pasien akan terlihat dan behavior: A Diagnostic Approach
Muhammad Saefulloh, Pengaruh Status Kepegawaian... 73

to Organizational Behavior. PPNI. 2000. Standar praktek kepera-


Needham Height: Allyn and Bacon. watan. PPNI: Jakarta.
Hasibuan, M. 2001. Manajemen sumber _____.2002. Pedoman umum penyeleng-
daya manusia. Ed revisi. Bumi garaan pendidikan berkelanjutan
Aksara: Jakarta. bagi perawat. Persatuan Perawat
Ilyas, Y. 2002. Kinerja teori, penilaian Nasional Indonesia: Jakarta.
dan penelitian. Cetakan Ketiga. Robbins, S. 1998. Perilaku organisasi:
Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Konsep Kontroversi, Aplikasi.
FKM UI: Depok. Versi Bahasa Indonesia. PT Pren-
Mathis, R.L., Jackson, J.H. 2002. Ma- halindo: Jakarta.
najemen Sumber Daya Manusia. RSUD Kabupaten Indramayu. 2012. Profil
Buku 2. Salemba Empat: Jakarta. RSUD Kabupaten Indramayu.
Munandar, A.S. 2004. Psikologi industri Indramayu.
dan organisasi. Edisi Keenam. Sabri, L. & Hastono, S.P. 1999. Modul
Universitas Indonesia: Jakarta. Mata Ajar Biostatistik dan Statis-
Nursalam. 2001. Proses & Dokumentasi tik Kesehatan. FKM UI: Depok.
Keperawatan: Konsep dan Prak- Wibowo. 2009. Manajemen Kinerja.
tik. Salemba Medika: Jakarta. Rajawali Pres: Jakarta.
PENGALAMAN ORANG DENGAN HIV/AIDS MENDAPATKAN
PERAWATAN KELUARGA: STUDI FENOMENOLOGI

Suratini, Wiwin Wiarsih, Henny Permatasari


STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta
Email: anisa_tini@yahoo.com

Abstract: The purpose of this study is to reveal the meaningful experience


of people with HIV/AIDS who had a care treatment in their family. This
research is a qualitative research design with phenomenological des-
criptive approach. The data collected by interviewing nine respondents
in Kulon Progo Regency and analyzed by using Collaizi technique. The
result of the study revealed 13 themes, those who declined and those
who accepted their HIV/AIDS in front of their family. Based on these
inventions of the themes above, it was expected for the district nurses
community to provide holistic family interpersonal skills course to the
families of people living with HIV/AIDS so that they could treat the
people with HIV emphatically.

Keywords: people with HIV/AIDS, family care

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah memahami arti dan makna penga-
laman orang dengan HIV/AIDS mendapatkan perawatan keluarga.
Desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara pada sembilan partisipan
di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Analisis data menggunakan tehnik
Collaizi. Hasil penelitian ditemukan 13 tema yaitu orang dengan HIV
memiliki respon menolak saat terkena HIV/AIDS dan respon menerima
terhadap penyakit HIV/AIDS. Berdasarkan tema tersebut disarankan
agar perawat komunitas dapat memberikan pelatihan ketrampilan asuhan
keperawatan secara holistik kepada keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan HIV/AIDS sehingga mampu merawat dengan empati.

Kata kunci: orang dengan HIV/AIDS, perawatan keluarga


Suratini, dkk., Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS ... 75

PENDAHULUAN kan. Menurut Judarwanto (2008) tingginya


Acquired Immnunodeficiency Syn- tingkat penyebaran HIV dan AIDS membu-
drom (AIDS) merupakan kumpulan gejala tuhkan jasa pelayanan kesehatan. Perkem-
penyakit yang disebabkan oleh Human bangan penyakit yang lamban dari infeksi
Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit HIV berarti bahwa pasien sedikit demi
infeksi HIV/AIDS hingga saat ini merupakan sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka
masalah kesehatan darurat global karena waktu yang panjang dan membutuhkan
angka kejadian dan kematian yang masih semakin banyak perawatan kesehatan dan
tinggi (Nasronudin, 2007). Perjalanan pe- biaya yang dibutuhkan semakin besar.
nyakit HIV sangat progresif merusak keke- ODHA mengalami masalah sosial
balan tubuh. Kebanyakan orang dengan HIV antara lain dianggap sebagai benda asing
akan meninggal dalam beberapa tahun setelah tetapi menarik bagi kebanyakan masyara-
tanda pertama AIDS muncul dan tidak kat. Menurut Dermatoto (2008) ODHA
mendapatkan pelayanan serta terapi yang diperlakukan berbeda dengan orang lain,
tepat (Departemen Kesehatan RI, 2010). dalam pergaulan dikucilkan oleh teman
Menurut Judarwanto (2008) di seluruh bahkan oleh keluarganya sendiri. Ketakutan
dunia lebih dari 20 juta orang meninggal se- diperlakukan berbeda membuat ODHA
mentara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta membatasi diri dengan orang lain. ODHA
yang lebih memprihatinkan adalah di seluruh takut membagi pengalamannya, takut me-
dunia setiap hari virus HIV menular kepada nyatakan bahwa dirinya sakit dan membu-
sekitar 2.000 anak di bawah 15 tahun, tuhkan pertolongan orang lain.
terutama berasal dari penularan ibu-bayi, Abdullah (2008) mengemukakan
menewaskan 1.400 anak di bawah 15 tahun bahwa keyakinan diri yang rendah pada
dan menginfeksi lebih dari 6.000 orang muda penderita HIV/AIDS akan menyebabkan
dalam usia produktif antara 15 sampai penderita mengalami hipocondria, pende-
dengan 24 tahun yang juga merupakan rita seringkali memikirkan kehilangan,
mayoritas dari orang-orang yang hidup kesepian dan perasaan berdosa atas segala
dengan HIV dan AIDS. yang dilakukannya sehingga menyebabkan
AIDS menduduki peringkat ke-4 pe- mereka kurang menitik beratkan langkah-
nyebab kematian pada orang dewasa di langkah penjagaan kesehatan dan kero-
seluruh dunia. AIDS juga menyebabkan usia hanian mereka.
harapan hidup turun lebih dari 10 tahun di Hasil penelitian Nasution (2000) me-
beberapa negara (Komisi Penanggulangan maparkan begitu individu terinfeksi AIDS,
AIDS Nasional, 2009). Menurut UNAIDS penderita mengalami shock. Penderita
(2001) dan Departemen Kesehatan RI mengalami depresi berat, sehingga menye-
(2010) upaya pencegahan penularan HIV babkan penyakit makin lama makin berat,
dari ibu ke anak dilakukan dengan preven- timbul berbagai infeksi opotunistik, penderita
tion of mother to child transmission makin tersiksa. Biaya pengobatan tambah
(PMTCT). Program pencegahan HIV/ besar, jenis penyakit bertambah banyak,
AIDS di masyarakat saat ini adalah obat yang dikonsumsi harus tambah ba-
Voluntary Counseling and Testing (VCT) nyak, dengan berbagai efek samping, yang
yang terbukti efektif bagi pencegahan HIV memperparah keadaan penderita.
dan memudahkan orang mengakses Ollich (2007) mengidentifikasi infeksi
berbagai pelayanan kesehatan yang dibutuh- HIV saat ini belum ditemukan pengo-
76 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 74-83

batannya, sehingga sangat memungkinkan Peneliti menafsirkan setiap informasi yang


bagi pasien yang tidak mempunyai koping didapatkan dari partisipan dan mencoba
individu efektif akan mengalami kecemasan menyimpulkan beberapa informasi yang
dan depresi. Dari 15 orang penderita HIV/ sesuai dengan tujuan dari penelitian. Peneliti
AIDS yang di rawat inap, yang tidak depresi mengumpulkan sejumlah data yang sangat
ada 2 orang (13,33%), depresi ringan 6 orang besar yang kemudian dikurangi menjadi
(40,00%), depresi sedang 5 orang (33,34%) suatu pola tertentu, kategori atau tema
dan depresi berat 2 orang (13,33%). (Creswell, 1998).
Peran keluarga sangat besar dalam
memberikan dukungan terhadap upaya HASIL DAN PEMBAHASAN
meningkatkan kualitas hidup klien HIV/
AIDS, terutama dalam memenuhi kebutuhan Karakteristik Partisipan
akan perawatan hidup sehari-hari. Fungsi Partisipan dalam penelitian ini ber-
perawatan kesehatan yang dilakukan oleh jumlah sembilan orang dengan jenis kelamin
keluarga memberikan arti penting terhadap laki-laki sebanyak lima orang dan perempuan
kehidupan penderita HIV/AIDS dalam sebanyak empat orang. Usia partisipan
mengatasi keluhan-keluhan akibat penyakit bervariasi, yaitu antara usia 32 sampai
yang dideritanya. Keluarga sangat berpe- dengan 47 tahun.
ngaruh besar terhadap kesehatan fisik Tingkat pendidikan partisipan sangat
anggota keluarganya (Campbell, 2000 da- bervariasi mulai dari Sekolah Dasar empat
lam Friedman, Bowden & Jones, 2010). orang, Sekolah Menengah Pertama dua
orang, Sekolah Menengah Atas atau Keju-
METODE PENELITIAN ruan dua orang dan satu orang lulusan Pergu-
ruan Tinggi. Pekerjaan partisipan adalah
Menurut Streubert dan Carpenter
buruh satu orang, petani empat orang,
(2003), metode fenomenologi deskriptif da-
wiraswasta tiga orang dan ibu rumah tangga
pat menggali, menganalisa dan menjelaskan
yang tidak bekerja satu orang. Partisipan
fenomena dari pengalaman yang nyata
berasal dari suku Jawa delapan orang dan
secara rinci, luas dan mendalam. Siegelberg
suku Melayu satu orang.
(1975) dalam Streubert & Carpenter
Lamanya partisipan terdeteksi HIV/
(2003) menyatakan ada tiga langkah dalam
AIDS mulai dari tiga bulan sampai dengan
fenomenologi deskriptif yaitu intuiting,
lima tahun. Seluruh partisipan tinggal dan hi-
analyzing and describing.
dup bersama keluarga dan yang berpartisipasi
Realitas perawatan orang dengan HIV/
merawat adalah istri, suami, anak, orang tua,
AIDS yang dilakukan keluarga di Kabu-
mertua. ODHA yang tinggal bersama
paten Kulon Progo merupakan suatu hal
keluarga besar (extended family) ada tujuh
yang sangat subyektif dan interpretatif se-
orang sedangkan yang tinggal dengan
hingga pendekatan fenomenologi deskriptif
keluarga inti (nuclear family) ada dua orang.
dapat digunakan dalam penelitian ini. Pene-
Adapun hasil penelitian dapat dilihat dari hasil
litian ini melibatkan sembilan partisipan,
analisis tematik sebagai berikut.
menggunakan wawancara tidak terstruktur
(wawancara mendalam) dan observasi Analisis Tematis
dengan menggunakan field note sebagai alat Pada peneilitian ini ditemukan 13 tema
pengumpulan data. Analisis data dalam studi yang terkait dengan arti dan makna penga-
kualitatif didasarkan pada penafsiran data. laman orang dengan HIV/AIDS mendapatkan
Suratini, dkk., Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS ... 77

perawatan keluarga sebagai berikut. Tema 3. Masalah Fisik


Respon partisipan terdiagnosis HIV/ Masalah fisik yang sering dialami
AIDS akan memberikan gambaran tentang oleh orang dengan HIV/AIDS antara lain
situasi yang berhubungan dengan perilaku penyakit sistem gastrointestinal, sistem
pada saat pertama kali partisipan didiagnosis integumen, sistem pernafasan dan penyakit
menderita HIV/AIDS. Respon ini me- kelamin. Partisipan yang menderita sistem
nunjukkan bagaimana seorang individu yang gastro intestinal biasanya terkena sariawan
pada awalnya sehat, akhirnya didiagnosis melalui ungkapan sebagai berikut.
sebagai menderita HIV/AIDS. Respon saat “bibir dalam itu kering ada banyak
didiagnosis HIV/AIDS menolak ataupun luka kekuning kuningan sakit ba-
menerima tergantung dari kondisi partisipan nget tuk makan dan banyak banget
saat itu. tidak kunjung sembuh” (P.6)
Selain itu partisipan juga ada yang mengalami
Tema 1. Respon Menolak Pasien (Me- diare yang terungkap sebagai berikut.
nyangkal, Depresi dan Tawar Menawar) “diare terus dan tidak pernah sembuh
Respon menolak dapat diungkapkan padahal lebih dari satu bulan” (P.4)
partisipan dengan respon terkejut dan tidak Pada sistem pernafasan mengalami TBC
percaya ketika terkena HIV/AIDS sebagai dan depresi pernafasan. Hal tersebut dapat
berikut: dilihat dari ungkapan sebagai berikut.
“saya benar tidak menyangka saya “batuk-batuk berdahak kental se-
kan tidak pernah selingkuh dan lama lebih satu bulan minum obat
berbuat seks selain dengan suami- batuk tidak sembuh-sembuh juga,
ku kok bisa ya kena HIV?”(P.5) lama banget” (P.6)
Partisipan ketika tahu terkena HIV/AIDS Sedangkan untuk penyakit kelamin yang di-
mengalami depresi berupa putus asa, ke- alami ODHA adalah herpes dan gonorhoe,
khawatiran dan kesedihan yang mendalam. hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan
Ungkapan partisipan dapat dilihat sebagai partisipan sebagai berikut.
berikut: “kencingnya banyak nanahnya sakit
“kayaknya tidak ada harapan di dan badannya demam tinggi” ( P.7)
masa depan”(P.7)
“saya merasa berat dunia ini terasa Tema 4. Masalah Psikososial
berat kayak mau kiamat” (P.2) Masalah psikososial yang dialami
ODHA antara lain menarik diri, harga diri
Tema 2. Respon Menerima Terhadap rendah dan menyalahkan diri. Ungkapan
HIV/AIDS partisipan yang menarik diri adalah sebagai
Adapun respon penerimaan tersebut berikut.
terungkap dari ungkapan partisipan melalui “saya banyak menyendiri gak mau
kepasrahan dan ketegaran. Hal tersebut da- bergaul ama teman-teman dan
pat dilihat dari ungkapan partisipan sebagai tetangga juga saudara”(P.5)
berikut: Sedangkan ungkapan partisipan yang
“saya benar-benar ingin memper- merasa harga dirinya rendah (minder) dapat
baiki diri saya ke jalan Tuhan”( P.7) diungkapkan sebagai berikut.
“setelah diketahui saya menjadi “saya tu merasa gak percaya diri
membuka diri ya berubah hidupnya saat bergaul dengan tetangga sejak
menjadi lebih baik” (P.3) kena sakit B 20” ( P.8)
78 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 74-83

Tema 5. Masalah Sosial sholat, puasa, zakat, sholat sunah, banyak


Masalah sosial yang dialami ODHA berdoa. ODHA yang beragama Islam lebih
berasal dari sikap lingkungan dan keluarga taat dalam manjalankan sholat wajib hal ini
yang kurang mendukung antara lain tidak terungkap dari ungkapan partisipan sebagai
bersahabat, curiga, dan mengisolasi. Hal ini berikut.
dapat dilihat dari ungkapan partisipan “saya sekarang sholatnya lebih taat
sebagai berikut. dan selalu menjalankan sholat lima
“menyindiri kalau aku ketemu di waktu”(P.8)
jalan... dia bilang ke orang-orang “setiap hari hanya berdoa dan ber-
jangan dekat dekat entar ketu- doa dan menangis tobat semuanya”
laran” ( P.8) ( P.5)
“waktu sakit itu mereka juga ber- Akan tetapi ada ODHA yang selama sakit
tanya saya diet apa dan minum obat tidak pernah menjalankan ibadah baik sholat
apa kenapa kok jadi hitam dan maupun puasa. Hal tersebut terlihat dari
kurus badanmu”(P.4) ungkapan partisipan sebagi berikut.
Sikap keluarga yang tidak mendukung “saya selama ini tidak pernah men-
meliputi sedih, marah, dan malu. Hal tersebut jalankan sholat lima waktu” ( P.6)
terlihat dari ungkapan partisipan sebagai
berikut. Tema 8. Kepatuhan ARV
“Istri saya marah dia ngomelin saya ODHA dalam penelitian ini secara rutin
setiap hari kenapa saya pakai tato menjalani pengobatan HIV/AIDS dengan
sambil menangis” ( P.3) mendapatkan obat ARV (Anti Retro Viral).
Pemberian ARV diberikan pada setiap bulan
Tema 6. Masalah Ekonomi dan bisa diakses di rumah sakit dengan Care
Masalah ekonomi yang dialami ODHA Support Treatment di masing-masing
antara lain tidak memiliki jaminan pemeliharaan daerah.
kesehatan, sumber keuangan dan kecu- Dalam menjalani pengobatan ODHA
kupannya untuk memenuhi kebutuhan sehari- patuh minum obat walaupun terkadang efek
hari. Ungkapan partisipan yang berkaitan sampingnya sangat banyak dalam kehidupan
dengan keberatan biaya sebagai berikut. sehari harinya. Partisipan patuh dalam minum
“untuk biaya pengobatan ya akhirnya obat baik waktu maupun pengambilannya.
jual tanah bagian saya” (P.6) Hal ini terungkap melalui peryataan
Sedangkan ungkapan partisipan yang partisipan berikut.
berkaitan dengan sumber keuangan yang “harus tertib obatnya ya kalau jam
berasal dari keluarga sebagai berikut. 6 pagi maka yang sore harus dimi-
“saya gak punya duit, saudara- num jam 6 sore tepat” ( P.1, P.2, P.4
saudara saya yang kasih duit tuk dan P.9).
berobat ke RS dr Sardjito” ( P.1) “sekarang setiap bulan sekali harus
mengambil obat ARV ke rumah
Tema 7. Spiritual Orang dengan HIV/ sakit Sardjito” ( P.1, P.2, P.3, P.4,
AIDS P.5).
Spiritualitas teridentifikasi dari menja-
lankan ibadah dan tidak menjalankan ibadah. Tema 9. Stigma Masyarakat
ODHA menjalankan ibadah dengan baik Stigma ODHA sangat mengganggu
selama sakit yang meliputi menjalankan aktivitas partisipan dalam kehidupan sehari-
Suratini, dkk., Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS ... 79

harinya yang berupa perlakuan tidak baik keputusan, merawat klien dengan HIV/
akibat takut tertular dan membuang pakaian. AIDS, melakukan modifikasi lingkungan
“Masyarakat bersikap seperti ini te- dan menggunakan fasilitas pelayanan
tangga ada yang hajatan akan te- kesehatan. Keluarga juga dapat melakukan
tapi saya tidak diundang, pas seribu perawatan kepada ODHA dengan optimal.
hari kematian suami saya tetangga Kemampuan keluarga dalam melakukan
tidak ada yang mau datang karena perawatan memberikan dampak psikologis
takut tertular melalui makanan” yang besar terhadap ODHA selama sakit.
(P.2) Hal tersebut terungkap dari pernyataan
Masyarakat juga takut tertular melalui pa- partisipan sebagai berikut.
kaian ODHA sehingga partisipan disuruh “Mandi di mandiin dengan dilap
membuang semua pakaian suaminya. Hal ditempat tidur” ( P.6)
tersebut terungkap dari ungkapan partisipan “mereka ingatkan minum obat jika
sebagai berikut. saatnya minum obat belum minum
“Sadis-sadis yang orang sekitar ru- obat” ( P.4)
mahku ini katanya penyakit menu-
lar ada yang menyuruh buang pa- Tema 12. Bersikap Empati
kainnya buang kasurnya disuruh ODHA sangat menginginkan tindakan
buang ya saya buang di sungai, perawatan yang dilakukan oleh keluarga
semua yang dipakai suamiku saya penuh ketanggapan, kesabaran, perhatian
buang” ( P.5) dan tidak membeda-bedakan. Ini terungkap
dari penyataan partisipan sebagai berikut.
Tema 10. Diskriminasi Pelayanan “ya otomatis kalau kakak saya sakit
Kesehatan kakakku dah ribut ayo tak anter
Partisipan merasakan adanya diskri- periksa ya, kalau sakit ya langsung
minasi dalam pelayanan kesehatan antara dianter ke rumah sakit” ( P.1)
lain perlakuan yang berbeda, tidak mau “orang tua saya merawat dengan
merawat dan mencemooh partisipan. Perla- penuh kesabaran dan kasih sayang”
kuan berbeda dirasakan partisipan ber- (P.4)
dampak ketidakpuasaan dan sakit hati, ODHA mengharapkan mendapatkan
seperti diungkapkan oleh parrtisipan sebagai motivasi untuk memberikan semangat agar
berikut. dapat menjalani hidup walaupun sudah
“sewaktu saya sakit, saya tidak da- terkena HIV/AIDS. Hal tersebut terungkap
pat kamar, katanya semua bangsal melalui ungkapan partisipan sebagai berikut.
penuh dan disuruh pulang. Padahal “keluarga saya sesudah sakit justru
saya sudah ambruk di depan poli- memberikan semangat tuk bekerja
klinik tidak bisa berdiri tetapi petu- lebih keras, menabung untuk hari
gas kesehatan tidak ada yang tua, berobat rutin, menghindari seks
peduli” ( P.2) bebas dan segera untuk menikah”
(P.4)
Tema 11. Perawatan yang Dilakukan
Keluarga Sesuai Dengan Tugas Tema 13. Dukungan Keluarga
Kesehatan Keluarga Makna pengalaman orang dengan
Pada tema ini ditemukan keluarga me- HIV/AIDS mendapatkan perawatan keluar-
ngenal masalah kesehatan, mengambil ga di wilayah Kabupaten Kulon Progo
80 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 74-83

teridentifikasi melalui dukungan yang diberi- yang tersering adalah 65% penderita AIDS
kan oleh keluarga. Bentuk dukungan keluar- mengalami komplikasi pulmonal dimana
ga berupa dukungan instrumental, penghar- Pneumonia Caranii merupakan infeksi
gaan dan emosi. Dukungan keluarga sangat oportunistik tersering, diikuti infeksi Myco-
membantu partisipan dalam menjalankan bacterium Tuberculosis, pneumonia bak-
fungsi dan perannya dalam kehidupan terial dan jamur, sedangkan pneumonia viral
bermasyarakat. Hal tersebut terungkap dari lebih jarang terjadi.
pernyataan partisipan sebagai berikut. Hasil penelitian Sasanti, Irmagita dan
“keluargaku dah tahu betul kebu- Indriasti (2006) terdapat sekitar 30-50%
tuhanku jadi semua dah disiapkan candida albikan pada rongga mulut orang
ya uang dan kebutuhan lainnya” dewasa sehat, 45% pada neonatus, 45-
(P.1) 65% pada anak-anak sehat, 50-65% pada
“trus keluarga yang lain bisa kasih pasien yang memakai gigi palsu lepasan, 65-
saya bantuan uang sekedarnya un- 88% pada orang yang mengkonsumsi obat-
tuk berobat karena saat ini saya dah obatan jangka panjang, 90% pada pasien
tidak punya uang” (P.8) leukemia akut yang menjalani kemoterapi dan
Dukungan emosi sangat dibutuhkan ODHA 95% pada pasien HIV/AIDS.
berupa perhatian dan semangat. Hal ini Pada penelitian ini ditemukan masalah
didukung oleh penyataan partisipan sebagai psikososial antara lain adalah harga diri
berikut rendah pada ODHA. ODHA mengalami
“Perhatian dan kesabaran waktu berbagai bentuk beban yang dialami dian-
merawat sehingga saya termotivasi taranya adalah dikucilkan keluarga, diber-
untuk bertahan dengan keadaan hentikan dari pekerjaan, tidak mendapat
sakit HIV” (P.9) layanan medis yang dibutuhkan, tidak
Kubler-Ross (1969) dalam Suliswati mendapat ganti rugi asuransi sampai menjadi
(2005) menyatakan bahwa reaksi pertama bahan pemberitaan di media massa.
individu terhadap kehilangan adalah terkejut, Hasil penelitian Kodja (2010) menun-
tidak percaya, merasa terpukul dan me- jukkan bahwa sebagian besar klien di BPRS
nyangkal. Secara sadar maupun tidak sadar Dadi Makassar yang mengalami gangguan
seseorang yang berada dalam tahap ini me- konsep diri adalah harga diri rendah 60%
nolak semua fakta, informasi dan segala dan yang mengalami kerusakan interaksi so-
sesuatu yang berhubungan dengan hal yang sial dengan menarik diri 70%. Ada hubungan
dialaminya. Individu merasa hidupnya tidak yang bermakna antara gangguan konsep diri
berarti lagi. (harga diri rendah) dengan kerusakan
Dalam penelitian ini ditemukan masalah interaksi sosial (menarik diri) pada klien di
fisik yang dialami meliputi masalah pada BPRS Dadi Makassar. Stuart dan Sundeen
sistem gastrointestinal, masalah pada sistem (1998) menyatakan menarik diri adalah sua-
pernafasan, masalah pada sistem integumen, tu keadaan pasien yang mengalami ketidak-
masalah pada sistem penglihatan dan penya- mampuan untuk mengadakan hubungan
kit kelamin. ODHA mengalami infeksi dengan orang lain atau dengan lingkungan
oportunistik sesuai dengan stadium/ fase di sekitarnya secara wajar.
penyakit. Respon sosial dan emosional yang
Hasil penelitian Agustriadi dan Suta maladaptif sering sekali terjadi dalam
(2008) di Rumah Sakit Sanglah Bali kehidupan sehari-hari, khususnya sering
didapatkan infeksi pada sistem pernafasan dialami pada ODHA menarik diri. Sikap
Suratini, dkk., Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS ... 81

lingkungan dalam penelitian ini setelah SIMPULAN DAN SARAN


terkena HIV/AIDS adalah tidak bersahabat,
ada yang berkata-kata menyakitkan, ada Simpulan
yang mendiamkan dengan tidak menegur Kehidupan ODHA merupakan suatu
dan menyapa, curiga dan mengisolasi penderitaan baginya. Penderitaan tersebut
ODHA. Adanya stigma-stigma itu memun- disebabkan karena tidak menginginkan
culkan sikap-sikap diskriminatif. Akibatnya. penyakit HIV/AIDS ada dalam dirinya.
hak-hak orang dengan HIV/AIDS menjadi Respon yang dominan adalah menolak.
tidak terpenuhi. Banyak yang tidak mau Penyakit HIV/AIDS menyebabkan banyak
bergaul dengan mereka. Enggan berde- masalah kesehatan baik fisik, sosial, eko-
katan, tidak mau berjabat tangan, tidak mau nomi, psikososial dan spiritual pada diri
memeluk mereka, semua dengan alasan ODHA. Masalah kesehatan pada ODHA
takut tertular. menyebabkan berbagai keterbatasan, se-
Masalah spiritualitas pada orang de- hingga membutuhkan orang lain yang mem-
ngan HIV/AIDS meliputi peningkatan bantu untuk mengatasi masalahnya. ODHA
ibadah yang dilakukan oleh ODHA dengan memaknai pengobatan ARV harus dijalan-
menjalankan sholat lima waktu, puasa, zakat, kan dengan penuh kepatuhan terutama
puasa sunah dan banyak berdoa. Spiritu- waktu minum obat walaupun banyak me-
alitas adalah sebuah konsep pribadi sikap nimbulkan efek samping pada ODHA.
dan keyakinan yang terkait dengan Allah Penyakit HIV/AIDS menyebabkan
(O’Brien, 2003). penderitanya mengalami masalah stigma dan
Pada penelitian ini ditemukan makna diskriminasi. Stigma dan diskriminasi yang
perawatan orang dengan HIV/AIDS adalah dirasakan ODHA membuat dirinya menutup
dukungan yang diberikan oleh keluarga diri terhadap orang lain. ODHA mengalami
terhadap ODHA. Bentuk dukungan yang di- gangguan dalam berinteraksi sosial yang ber-
dapat dalam keluarga berupa dukungan asal dari dirinya sendiri maupun dari orang
instrumental, penghargaan dan dukungan lain disekitar dirinya. ODHA yang tinggal
emosional. Saronson (1991) menerangkan bersama keluarga dilakukan perawatan se-
bahwa dukungan sosial dapat dianggap cara maksimal oleh keluarga. Kemampuan
sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat keluarga merawat ODHA sangat tergantung
bagi individu yang diperoleh dari orang lain dari keluarga dapat mengenal masalah
yang dapat dipercaya. Dari keadaan terse- kesehatan dalam keluarga, mengambil
but individu akan mengetahui bahwa orang keputusan, merawat anggota keluarga yang
lain memperhatikan, menghargai, dan sakit, dan pemanfaatan pelayanan
mencintainya. kesehatan.
Menurut Heardman (1990) keluarga
merupakan sumber dukungan sosial, karena Saran
didalam keluarga tercipta hubungan yang Harapan orang dengan HIV/AIDS
saling mempercayai diantara anggota kelu- pada penelitian ini adalah mendapatkan
arga. Individu sebagai anggota keluarga perawatan oleh keluarga yang penuh dengan
akan menjadikan keluarga sebagai kum- empati. Perawatan yang penuh empati
pulan harapan, tempat bercerita, tempat merupakan bentuk dukungan sosial dari
bertanya dan tempat mengeluarkan keluhan- keluarga. Makna perawatan orang dengan
keluhan bilamana individu sedang mengalami HIV/AIDS yang dilakukan oleh keluarga
permasalahan. adalah dengan memberikan dukungan
82 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 74-83

berupa dukungan instrumental, emosi dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.


penghargaan pada ODHA, yang memegang 2009. HIV dan AIDS Sekilas
peranan penting dalam kehidupannya. Pandang. Edisi 2. KPAN: Jakarta.
Nasronudin. 2007. HIV/AIDS Pendekatan
DAFTAR RUJUKAN Biologi Molekuler, Klinis dan
Abdullah, A. F. 2008. Membangun Po- Sosial. Airlangga University Press:
sitive Thinking Secara Islam. Surabaya.
Gema Insani: Jakarta. Nasution, Rizali, dkk. 2000. AIDS Kita
Agustriadi, O., Sutha B.I. 2008. Aspek Pul- Bisa Kena, Kita Bisa Cegah (10
monologis Infeksi Oportunistik Esai Terbaik Kelompok Pergu-
pada Infeksi HIV/AIDS. Jur- ruan Tinggi dan SMU/Kejuruan).
nal Ilmu Penyakit Dalam, 9 (3). Manora: Jakarta.
Creswell, W.J. 1998. Qualitative Inquiry O’Brien M. E. 2003. Spirutuality in
and Research Design. Sage Nursing: Satnding on Holy
Publication.Inc: California. Ground. Edisi 2. Jones and Bartlet:
Depertemen Kesehatan RI. 2010. Strategi Boston.
Penanggulangan HIV/AIDS 2003- Ollich.J. 2007. Derajat Depresi Penderita
2007. Jakarta: Kementrian Koor- HIV/AIDS yang Dirawat Inap di
dinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. RS Wahidin Sudirohusodo Perio-
Dermatoto, A. 2008. ODHA Masalah de bulan Mei 2007, (online),
Sosial pada Pemecahannya. (www.pdskjijaya.org/abstrak/
Publikasi Ilmiah Fakultas Ilmu Fr ee % 2 0P ap er % 2 0V. d o c ) ,
Sosial dan Ilmu Politik. Surakarta : diakses 25 Desember 2010.
Universitas Sebelas Maret. Saronson. 1991. Apa Itu Dukungan
Friedman, M.M., Bowden,R.V & Jones, Sosial, (Online), (http://www.
G.E. 2010. Buku Ajar Kepera- masbow.com/2009/08/apa-itu-
watan Keluarga Riset, Teori dan dukungan-sosial.html), diakses 22
Praktik. Edisi 5. EGC: Jakarta. Juni 2011.
Heardman. 1990. Apa Itu Dukungan Sasanti, A., Irmagita & Indriasti W. 2006.
Sosial, (Online), (http://www. Oral Health Profile of Person with
masbow.com/2009/08/apa-itu- HIV at Pokdisus AIDS-RSCM,
dukungan-sosial.html), diakses 22 (online), (Preliminary report.http://
Juni 2011. staff.ui.ac.id/internal/130611 2 36/
Judarwanto,W. 2008. HIV dan AIDS Me- material/IHVCB-UI 2 90107.pdf3),
ngancam Gerenasi Muda, (on- diakses 26 Juni 2011.
line), (http://www.wikimu.com/ Stuart, W & Sundeen, J. 1998. Buku Saku
News/Print.aspx?id=11946), Keperawatan Jiwa. Edisi 3. EGC:
diakses 20 Januari 2011. Jakarta.
Kodja. B. 2010. Hubungan Gangguan Kon- Streubert, H.J & Carpenter, D.R. 2003.
sep Diri dengan Kerusakan Interaksi Qualitative Research in Nursing.
Sosial Menarik Diri Klien Gangguan Advancing The Humanistic
Jiwa di BPRS Dadi Makasar. Imperative. Edisi 3. Lippincott
Media kesehatan, IV (2). Williams & Wilkins: Philadelphia.
Suratini, dkk., Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS ... 83

Suliswati dkk. 2005. Konsep Dasar


Keperawatan Kesehatan Jiwa.
EGC: Jakarta.
UNAIDS. 2001. The Impact of Voluntary
Caounseling and Testing: A
Global Review of The Benefit and
Challenges, (online), (http://
www.uniads.org), diakses 28
Januari 2011.
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN POSYANDU
DENGAN FREKUENSI KUNJUNGAN IBU BALITA

Rahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati


STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
E-mail: tenti_a@yahoo.com

Abstract: This study aims at determining the correlation between the


quality of Posyandu health care service and mothers visit at Posyandu
XI, Serangan, Sidoluhur, Godean, Sleman, Yogyakarta. This research
used the analytical correlation survey method with the cross-sectional
approach. The sampling technique used in this research was total
sampling technique. The respondents, therefore, were the total number
of mothers who regularly visits the Posyandu (44 mothers). The data
analyzed by Kendall-Tau. The result showed that the τ value was 0.471
at the significant level of α = 0.05 resulted the value of ρ = 0.001, it
meant ρ< α. A number of 28 mothers (63.6%) were categorized into
high visit frequency, while 22 others (50.0%) were categorized as fairly
regular visit. The conclusion is there was a correlation between the
quality of Posyandu health care and the frequency of mothers visit at
Posyandu XI, Serangan, Sidoluhur, Godean, Sleman, Yogyakarta.

Keywords: maternal & child health center, health care service quality,
visit frequency

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara


kualitas pelayanan kesehatan dengan frekuensi kunjungan ibu balita di
Posyandu XI, Serangan, Sidoluhur, Godean, Sleman, Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan metode survei analitik korelatif dengan
pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian sebanyak 44 ibu balita
yang diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Analisis data
menggunakan uji korelasi Kendall Tau menunjukkan bahwa nilai τ=0,471
pada tingkat signifikan α = 0,05 menghasilkan nilai ρ = 0,001, yang berarti
ρ <α. Sebanyak 18 ibu (63,6%) dikategorikan mempunyai frekuensi
kunjungan teratur dan sebanyak 22 ibu (50,0%) memiliki frekuensi
kunjungan cukup teratur. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kualitas pelayanan kesehatan posyandu dengan frekuensi ibu balita
yang berkunjung di Posyandu XI, Serangan, Sidoluhur, Godean, Sleman,
Yogyakarta.

Kata kunci: posyandu, kualitas pelayanan kesehatan, frekuensi


kunjungan
Rahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati, Hubungan Antara Kualitas Pelayanan... 85

PENDAHULUAN imunisasi dan penanggulangan diare. Semua


Pembangunan kesehatan dilaksanakan program posyandu memiliki peran yang
secara bersama-sama oleh pemerintah dan penting dalam menurunkan angka kematian
masyarakat. Peran serta masyarakat dalam bayi (AKB).
berbagai upaya pembangunan kesehatan Kebijakan pemerintah melalui Surat
antara lain dapat dilihat dari Upaya Kese- Edaran Menteri dalam Negeri dan otonomi
hat an Bersumberdaya Masyarakat Daerah Nomor 411.3/1116/SJ tanggal 13
(UKBM) yang berkembang dengan pesat Juni 2001 tentang Pedoman Umum Revi-
baik dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu talisasi Posyandu merupakan acuan upaya
(Posyandu), Pos Obat Desa (POD) maupun pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar dan
Dana Sehat. Rasio posyandu terhadap desa peningkatan status gizi masyarakat (Sulis-
pada tahun 1999 sudah melebihi 90%, tyorini, 2010). Dasar pelaksanaan posyandu
artinya hampir setiap desa telah mempunyai yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri
sebuah posyandu yang berfungsi untuk Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan
mendekatkan pelayanan kesehatan pada Kepala BKKBN no.23 tahun 1985, 21/
masyarakat (Wijayanti, 2009). Men.Kes/Inst.B./IV 1985, 112/HK-011/A/
Posyandu adalah salah satu bentuk 1985 tentang penyelenggaraan posyandu
UKBM yang dikelola dan diselenggarakan (Hikmawati, 2008).
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat Sekarang ini tercatat sekitar 235 ribu
dalam penyelenggaraan pembangunan kese- posyandu di seluruh Indonesia. Jumlah
hatan untuk pemberdayaan masyarakat dan posyandu ini diharapkan akan semakin ber-
memberikan kemudahan kepada masya- tambah banyak, sehingga berbagai program
rakat dalam memperoleh pelayanan kese- kesehatan yang diselenggarakan pemerintah
hatan dasar untuk mempercepat penurunan bisa menjangkau warga masyarakat di desa-
angka kematian ibu dan bayi (Departemen desa (Ma’sum, 2007). Jumlah posyandu
Kesehatan RI, 2006). Posyandu menjadi pada tahun 2006 di Propinsi Daerah Isti-
ujung tombak perbaikan gizi anak. mewa Yogyakarta berjumlah 5.572 pos-
Posyandu diasumsikan sebagai salah satu yandu, dengan persentase posyandu purna-
pendekatan yang tepat untuk menurunkan ma dan mandiri sebesar 50,47%. Angka ini
angka kematian dan kesakitan balita serta lebih besar dari target standar minimal yang
dapat meningkatkan status gizi balita telah ditetapkan yaitu sebesar 25% (Dinkes
(Adisasmito, 2008). DIY, 2007).
Posyandu setiap bulannya melakukan Pada data Susenas 2001 ditemukan
kegiatan penimbangan berat badan balita bahwa 40% balita dilaporkan dibawa ke
dan hasilnya dicatat dalam buku KIA atau posyandu dalam satu tahun terakhir dan
KMS. Catatan KIA bertujuan untuk me- sekitar 28% balita tidak pernah dibawa ke
ngetahui hasil penimbangan apakah garis posyandu sama sekali. Sedangkan 32%
pertumbuhannya naik, tidak naik atau di balita jarang melakukan kunjungan ke
bawah garis merah (BGM). Dengan penim- posyandu, atau hanya beberapa kali saja
bangan anak balita yang dilaksanakan setiap dalam setahun. Fakta ini menunjukkan
bulan dapat diketahui kecenderungan status bahwa, walaupun lebih dari 90 persen desa
gizi seorang anak (Sulistyorini, 2010). telah memiliki posyandu yang telah tersebar,
Posyandu memiliki lima kegiatan pokok namun hanya 40 persen balita yang meman-
yaitu keluarga berencana (KB), kesehatan faatkan pelayanan posyandu secara rutin
ibu dan anak (KIA), pemantauan gizi anak, setiap bulannya (Depkes RI, 2006). Apabila
86 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 84-92

perilaku berkunjung ke posyandu semakin meja pemberian makanan tambahan.


berkurang maka dapat mengakibatkan Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
tahap tumbuh kembang anak akan tergang- penurunan kunjungan di Posyandu XI yaitu
gu, status gizi anak tidak terpantau dengan kurangnya ketrampilan yang dimiliki kader
baik, dan tujuan dari posyandu itu sendiri kesehatan, karena ketrampilan merupakan
juga tidak akan tercapai sehingga sampai hal penting dalam memantau status kese-
menyebabkan angka kecacatan, kematian, hatan. Pemantauan kunjungan dari petugas
serta kesakitan balita akan meningkat. kesehatan Puskesmas yang kurang teratur,
Faktor-faktor yang dapat mempe- rendahnya minat masyarakat untuk meng-
ngaruhi ketidakaktifan ibu balita sehingga ikuti kegiatan posyandu, kurangnya kemam-
tidak berkunjung ke posyandu antara lain puan kader kesehatan dalam mengelola dan
faktor keluarga meliputi tingkat pendidikan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
tingkat pengetahuan, umur balita, keperca- posyandu.
yaan, status pekerjaan, tingkat pendapatan Melihat jumlah kunjungan posyandu
dan sikap (Notoatmodjo, 2003). Faktor balita masih kurang, maka penulis tertarik
lingkungan meliputi keterjangkauan (letak melakukan penelitian mengenai “Hubungan
dan jarak), sarana dan fasilitas posyandu antara kualitas pelayanan kesehatan Pos-
(Hikmawati, 2008). Faktor kualitas pela- yandu dengan frekuensi kunjungan ibu balita
yanan kesehatan posyandu meliputi kompe- di Posyandu XI Serangan, Sidoluhur,
tensi teknis, akses terhadap pelayanan, Godean, Sleman, Yogyakarta”.
efektifitas, efisiensi, kontinuitas, keamanan,
hubungan antar manusia, kenyamanan METODE PENELITIAN
(Pohan, 2007). Sedangkan menurut Wijono Penelitian ini merupakan penelitian
(2000) kualitas dipengaruhi oleh struktur, kuantitatif dengan menggunakan metode
proses dan outcome. penelitian survei analitik korelatif dengan
Posyandu XI adalah salah satu Pos- menggunakan pendekatan cross sectional.
yandu aktif dari 15 Posyandu di Desa Sido- Besar sampel pada penelitian ini adalah 44
luhur, Godean, Sleman. Posyandu ini berada responden, artinya semua ibu yang mem-
di Dusun Serangan, Sidoluhur Godean, punyai anak balita usia 1-5 tahun di wilayah
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari kerja Posyandu XI Serangan, Sidoluhur,
hasil studi pendahuluan, diperoleh data Godean, Sleman, Yogyakarta. Instrumen
jumlah balita yang ada di Posyandu XI ada yang digunakan dalam penelitian ini adalah
40 anak, jumlah yang hadir (berkunjung) 21 kuesioner dengan bentuk pertanyaan
anak sedangkan yang tidak hadir 19 anak. tertutup (closed ended).
Data penimbangan berat badan yang meng- Kuesioner terbagi menjadi 3 bagian
alami kenaikan ada 10, yang mengalami yaitu kuesioner A mengenai data identitas
penurunan ada 5 dan yang tetap ada 6, responden, kuesioner B mengenai data
sedangkan berat badan dibawah garis merah pernyataan tentang kualitas pelayanan
tidak ada. kesehatan posyandu yang berjumlah 24
Berdasarkan hasil survei tanya jawab pernyataan dan kuesioner C mengenai data
dengan salah satu ibu mengatakan bahwa perilaku berkunjung ke posyandu dengan
kader kesehatan yang ada di Posyandu XI melihat buku KMS atau KIA dalam kurun
terbatas, hanya ada 3 kader kesehatan yaitu waktu satu tahun terakhir secara berturut-
kader yang bertugas di meja pendaftaran, turut. Analisis data menggunakan uji korelasi
kader di meja penimbangan dan kader di Kendal Tau (t).
Rahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati, Hubungan Antara Kualitas Pelayanan... 87

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3. Distribusi Karakteristik Res-


ponden Berdasarkan Pendidikan
Karakteristik Responden
Pendidikan Responden Frekuensi Persentase
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Res- SD 1 2,3%
ponden Berdasarkan Usia dan SLTP 3 6,8%
Jenis Pekerjaan Responden
SLTA/SMK 30 68,2%
Usia Responden Frekuensi Persentase
PT 10 22,7%
< 20 tahun 1 2,3% Total 44 100%
20-35 tahun 32 72,7%
> 35 tahun 11 25%
Total 44 100% Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
Jenis Pekerjaan bahwa sebagian besar responden adalah ibu
IRT 28 63,6%
yang memiliki pendidikan terakhir SLTA/
PNS 3 6,8%
SMK yaitu sebanyak 30 orang (68,2%).
Karyawan/Swasta 12 27,3%
Wiraswasta 1 2,3%
Total 44 100% Tabel 4. Distribusi Karakteristik Res-
ponden Berdasarkan Jarak
dari Rumah dan Frekuensi
Kunjungan ke Posyandu
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden adalah ibu
Jarak dari rumah Frekuensi Persentase
dengan rentang usia 20-35 tahun yaitu ke Posyandu
sebanyak 32 orang (72,7%). Sebagian
besar responden adalah ibu yang berprofesi < 0,5 km 14 31,8%
0,5-1 km 11 25,0%
sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 28
> 1 km 19 43,2%
orang (63,6%).
Total 44 100%
Frekuensi Kunjungan
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Res-
ke Posyandu
ponden Berdasarkan Sumber
Informasi Posyandu Teratur 18 40,9%
Cukup teratur 22 50,0%
Sumber Informasi Frekuensi Persentase Tidak teratur 4 9,1%
Penyuluhan 38 86,4% Total 44 100%
Tetangga 6 13,6%
Total 44 100%
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden atau
sebanyak 19 responden (43,2%) memiliki
Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat jarak dari rumah ke Posyandu adalah lebih
diketahui bahwa sebagian besar responden dari 1 km. Sebagian besar responden atau
atau sebanyak 38 responden (86,4%) sebanyak 22 orang (50,0%) cukup teratur
memperoleh informasi mengenai Posyandu melakukan kunjungan ke Posyandu (8-11
XI melalui penyuluhan. kali dalam setahun).
88 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 84-92

Kualitas Pelayanan Kesehatan Posyandu dan jumlah anak (Notoatmodjo, 2003).


Sedangkan menurut Pohan (2007) menye-
Tabel 5. Distribusi Karakteristik Res- butkan faktor yang dapat mempengaruhi
ponden Berdasarkan Kualitas kunjungan ibu balita ke posyandu yaitu
Pelayanan Kesehatan Posyandu kualitas pelayanan kesehatan.
Faktor tingkat pendidikan ibu seba-
Kualitas Pelayanan
Frekuensi Persentase gaimana terlihat dalam tabel 3 menunjukkan
Kesehatan Posyandu bahwa sebagian besar responden adalah ibu
Baik 9 20,5% yang memiliki pendidikan terakhir SLTA/
Cukup baik 28 63,6% SMK yaitu sebanyak 30 orang (68,2%). Hal
Kurang baik 7 15,9% ini sesuai dengan penelitian Ngastiyah (2005)
Total 44 100% yang menjelaskan bahwa faktor tingkat
pendidikan menentukan tinggi rendahnya
seseorang dalam memahami pengetahuan
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui tentang kegiatan posyandu. Semakin baik
bahwa sebagian besar responden atau se- tingkat pendidikan orang tua, maka orang
banyak 28 orang (63,6%) menganggap atau tua dapat menerima segala informasi dari luar
menilai kualitas pelayanan kesehatan terutama tentang cara pengasuhan anak dan
posyandu cukup baik. manfaat kegiatan posyandu. Dalam pene-
litian ini, tingkat pendidikan dikendalikan
Hubungan antara Kualitas Pelayanan dengan memilih ibu yang memiliki tingkat
Kesehatan Posyandu dengan Frekuensi pendidikan terakhir minimal SD.
Kunjungan Ibu Balita di Posyandu XI Faktor tingkat pengetahuan ibu seba-
Serangan Sidoluhur Godean Sleman gaimana terlihat dalam tabel 2 menunjukkan
Berdasarkan uji statisktik kendall tau bahwa sebagian besar responden atau
didapatkan nilai τ sebesar 0,471 dengan sebanyak 38 responden (86,4%) mempe-
taraf signifikan atau ρ = 0,001 lebih kecil roleh informasi mengenai Posyandu XI
dari nilai α = 0,05 atau ρ < α maka Ho melalui penyuluhan. Hal ini menunjukkan
ditolak dan Ha diterima. Akhirnya dapat bahwa tingkat pengetahuan seseorang
disimpulkan bahwa terdapat hubungan an- banyak mempengaruhi perilaku individu,
tara kualitas pelayanan kesehatan posyandu dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan
dengan frekuensi kunjungan ibu balita di seorang ibu tentang manfaat posyandu,
Posyandu XI Serangan Sidoluhur Godean maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran
Sleman Yogyakarta. untuk berperan serta dalam program
kegiatan posyandu. Pengetahuan tentang
Frekuensi Kunjungan Ibu Balita di posyandu yang rendah akan menyebabkan
Posyandu rendahnya tingkat kesadaran ibu untuk
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui berkunjung ke posyandu.
bahwa sebagian besar responden atau seba- Faktor usia balita mempengaruhi
nyak 22 orang (50,0%) cukup teratur kunjungan balita ke posyandu karena masa
melakukan kunjungan ke Posyandu (8-11 balita adalah masa pertumbuhan dasar yang
kali dalam setahun). Hal ini dapat dipe- akan mempengaruhi dan menentukan
ngaruhi beberapa faktor antara lain tingkat perkembangan selanjutnya. Menurut teori
pendidikan, tingkat pengetahuan, umur Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa
balita, status pekerjaan, jarak tempat tinggal faktor usia balita merupakan faktor yang
Rahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati, Hubungan Antara Kualitas Pelayanan... 89

paling berpengaruh terhadap kunjungan ke Pada penelitian ini sebagian besar ibu
posyandu, dengan rentang umur 12–35 yang berkunjung ke posyandu memiliki
bulan dan umur 36–59 bulan. jumlah anak satu, sehingga ibu yang memiliki
Pada penelitian ini rata-rata balita yang jumlah anak satu lebih teratur berkunjung
teratur melakukan kunjungan ke posyandu daripada ibu yang memiliki jumlah anak lebih
yaitu umur 1–4 tahun. Hal ini menunjukkan dari satu. Hal ini dikarenakan ibu yang
bahwa ibu yang mempunyai balita mendekati memiliki jumlah anak satu lebih fokus dalam
umur 5 tahun sudah merasa tidak perlu lagi mengurus balitanya. Dalam penelitian ini
berkunjung ke posyandu. Hasil penelitian ini faktor jumlah anak telah dikendalikan
sesuai dengan penelitian Trisnawati (2011) dengan memilih ibu yang memiliki anak balita
yang menjelaskan bahwa ibu yang mempu- maksimal 4 anak, karena pembatasan jumlah
nyai balita berusia lebih dari 35 bulan tidak anak inilah faktor jumlah anak dapat diabai-
perlu lagi hadir ke posyandu, karena ibu me- kan pengaruhnya dalam pengaruh kunjungan
rasa balitanya sudah mendapatkan imunisasi balita ke posyandu.
lengkap. Faktor terakhir yang mempengaruhi
Soetjiningsih (2000), menyatakan frekuensi kunjungan adalah faktor kualitas
bahwa jumlah anak yang banyak pada pelayanan kesehatan. Depkes RI (2003)
keluarga akan mengakibatkan berkurangnya mengatakan bahwa kualitas merupakan
perhatian dan kasih sayang terhadap balita- kinerja yang menunjuk pada tingkat kesem-
nya. Penelitian ini juga didukung oleh teori purnaan pelayanan kesehatan, dapat me-
Hurlock (2005) yang menyatakan bahwa nimbulkan kepuasan, serta tata cara penye-
semakin besar keluarga maka semakin lenggaraannya sesuai dengan standar dan
besar juga permasalahan yang akan muncul kode etik profesi yang telah ditetapkan.
terutama untuk mengurus anak mereka, Sehingga jika kualitas pelayanan kesehatan
sehingga hal ini dapat mempengaruhi posyandu baik, maka kunjungan ibu balita
kehadiran seorang ibu dan balitanya untuk juga akan baik dan rutin. Tetapi sebaliknya
berkunjung ke posyandu. jika kualitas pelayanan kesehatan posyandu

Tabel 6. Tabulasi Silang Hubungan Antara Kualitas Pelayanan Kesehatan Posyandu


dengan Frekuensi Kunjungan Ibu Balita di Posyandu XI Serangan
Sidoluhur Godean Sleman Yogyakarta

Frekuensi Kualitas Pelayanan Kesehatan Posyandu Jumlah


Kunjungan
Ibu Balita di Baik Cukup baik Kurang baik
Posyandu
F % F % F % F %
Teratur 7 15,9% 11 25,0% 0 0,0 18 40,9%

Cukup teratur 2 4,5% 15 34,1% 5 11,4% 22 50,0%


Tidak teratur 0 0,1% 2 4,5% 2 4,5% 4 9,1%

Total 9 20,5% 28 63,6% 7 15,9% 44 100,00%


90 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 84-92

kurang baik maka kunjungan ibu balita untuk Hasil penelitian ini didukung oleh teori
ikut berpartisipasi dalam kegiatan posyandu Pohan (2007) yang menyatakan bahwa
juga kurang baik. Faktor inilah yang digali kualitas pelayanan kesehatan memiliki
hubungannya dengan tingkat frekuensi pengaruh terhadap frekuensi kunjungan ibu
kunjungan ibu balita di posyandu. balita di posyandu. Semakin baik kualitas
pelayanan kesehatan posyandu maka sema-
Hubungan Antara Kualitas Pelayanan kin baik pula frekuensi kunjungan ibu balita
Kesehatan Posyandu dengan Frekuensi ke Posyandu.
Kunjungan Ibu Balita di Posyandu XI Kualitas pelayanan kesehatan yang baik
Serangan, Sidoluhur, Godean, Sleman dapat diukur dengan delapan dimensi.
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui Menurut teori Tjiptono (2007) menyatakan
bahwa sebagian besar responden atau bahwa kualitas pelayanan kesehatan terdiri
sebanyak 28 orang (63,6%) menganggap dari delapan dimensi kualitas pelayanan
atau menilai kualitas pelayanan kesehatan kesehatan yang meliputi kompetensi teknis,
posyandu dalam kategori cukup baik, akses terhadap pelayanan, efektifitas, efisien,
mayoritas 15 responden (34,1%) memiliki kontinuitas, keamanan, hubungan antar
frekuensi kunjungan ke posyandu cukup manusia, kenyamanan. Pada penelitian ini
teratur pula yaitu melakukan kunjungan 8- dimensi-dimensi pelayanan kesehatan yang
11 kali dalam satu tahun. Hasil uji statisktik digunakan untuk mengukur standar pela-
kendall tau didapatkan nilai τ sebesar yanan di Posyandu XI yaitu dimensi akses
0,471 dengan taraf signifikan atau ρ = 0,001 pelayanan kesehatan, kompetensi teknis dan
lebih kecil dari nilai α = 0,05 atau ρ < α , hubungan antar manusia.
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat Hasil penelitian ini menunjukkan bah-
hubungan antara kualitas pelayanan kese- wa standar pelayanan kesehatan di Pos-
hatan posyandu dengan frekuensi kunjungan yandu XI sudah memenuhi ketiga dimensi
ibu balita di Posyandu XI Serangan, Sido- tersebut, yaitu dimensi akses pelayanan
luhur, Godean, Sleman. kesehatan, kompetensi teknis, dan hubungan
Responden yang menilai kualitas antar manusia. Artinya kualitas pelayanan
pelayanan kesehatan posyandu cukup baik kesehatan di Posyandu XI sudah cukup
dan melakukan kunjungan cukup teratur baik, sehingga secara langsung dapat me-
(34,1%) menunjukkan bahwa ada ningkatkan frekuensi kunjungan ke posyandu
keterkaitan antara kualitas pelayanan secara rutin.
dengan frekuensi kunjungan. Hal ini dapat Hasil penelitian ini sesuai dengan pene-
disebabkan karena responden merasa puas litian Lestari (2009) yang menyatakan bahwa
terhadap pelayanan kesehatan yang telah jika mutu pelayanan baik (sudah sesuai dengan
diberikan oleh petugas kesehatan (kader standar pelayanan kesehatan) maka tingkat
kesehatan posyandu). kepuasan juga tinggi. Hal itu mendukung
Pelayanan yang diberikan sudah sesuai tingginya frekuensi kunjungan, karena semakin
dengan kebutuhan mereka dan diberikan tinggi tingkat kepuasan maka semakin tinggi
dengan cara yang ramah pada waktu pula frekuensi kunjungan ke posyandu. Lestari
mereka berkunjung sesuai sumber daya (2009) berpendapat bahwa ada hubungan
yang dimiliki, sehingga ibu-ibu balita yang signifikan antara mutu pelayanan
termotivasi untuk melakukan kegiatan kesehatan dengan tingkat kepuasan ibu balita
kunjungan kembali ke posyandu secara rutin pengguna Posyandu di Desa Trimulyo Sleman,
setiap sebulan sekali. dengan nilai signifikan 0,04.
Rahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati, Hubungan Antara Kualitas Pelayanan... 91

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan cukup baik dan kurang baik disarankan


bahwa sebagian besar responden atau se- untuk meningkatkan kunjungan ke posyandu
banyak 28 orang (63,6%) menilai kualitas setiap sebulan sekali agar status kesehatan
pelayanan kesehatan posyandu dalam kate- balitanya dapat terpantau dengan baik.
gori cukup baik, mayoritas 15 responden Bagi profesi keperawatan khususnya
(34,1%) juga memiliki frekuensi kunjungan perawat anak dan komunitas agar lebih
ke posyandu cukup teratur pula. Hal ini memperhatikan status kesehatan dan tingkat
menunjukkan bahwa kualitas pelayanan tumbuh kembang balita serta memberikan
kesehatan mempengaruhi frekuensi kun- dukungan kepada ibu balita agar rutin
jungan. melakukan kunjungan ke posyandu. Misal-
Trisnawati (2011) dalam penelitiannya nya perawat dan kader kesehatan menda-
menunjukkan bahwa ada hubungan antara tangi atau melakukan kunjungan ke rumah-
persepsi ibu tentang posyandu dengan rumah ibu balita, terutama balita yang tidak
perilaku kunjungan ibu ke posyandu balita teratur dalam melakukan kunjungan ke
di Posyandu Mawar Dusun Soragan posyandu.
Ngestiharjo Kasihan Bantul 2011, dengan Bagi kader posyandu diharapkan
taraf signifikan 0,004. dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan posyandu melalui penyuluhan
SIMPULAN DAN SARAN kesehatan yang bekerjasama dengan petu-
gas kesehatan puskesmas, pemeriksaan
Simpulan kesehatan oleh petugas puskesmas setiap
Berdasarkan hasil penelitian dan pem- sebulan sekali, konseling, dan mengaktifkan
bahasan dapat disimpulkan sebagai berikut kegiatan posyandu di meja 4 dan 5 agar ibu-
bahwa sebagian besar responden memiliki ibu balita termotivasi untuk melakukan
frekuensi kunjungan di posyandu cukup kunjungan ke posyandu sehingga status
teratur yaitu sebanyak 22 ibu (50,0%), kesehatan balita dapat terpantau dengan
sebagian besar responden menilai kualitas baik. Selain itu, kualitas pelayanan kese-
pelayanan kesehatan posyandu cukup baik hatan posyandu dapat ditingkatkan melalui
yaitu sebanyak 28 ibu (63,6%), ada hu- menjalin hubungan yang baik dengan ibu-
bungan antara kualitas pelayanan kesehatan ibu balita misalnya melalui komunikasi yang
posyandu dengan frekuensi kunjungan ibu efektif, mengajak ibu-ibu untuk mengikuti
balita di Posyandu XI Serangan Sidoluhur kegiatan posyandu, dan meningkatkan kom-
Godean Sleman yang ditunjukkan dengan petensi teknis dari kader-kader posyandu.
nilai τ sebesar 0,471 dengan taraf signifikan Bagi peneliti lain yang berminat mela-
atau ρ = 0,001 lebih kecil dari nilai α = 0,05 kukan penelitian tentang posyandu diharap-
atau ρ < α . kan dapat mengembangkan penelitian ini
diantaranya dengan mengembangkan
Saran variabel bebasnya, misalnya persepsi ibu
Bagi responden yang memiliki freku- tentang manfaat posyandu dengan frekuensi
ensi kunjungan di posyandu dengan kriteria kunjungan ibu balita ke posyandu atau
baik agar tetap dipertahankan, sedangkan persepsi ibu tentang status kesehatan balita
untuk responden yang memiliki frekuensi dengan frekuensi kunjungan ibu balita ke
kunjungan di posyandu dengan kriteria posyandu.
92 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 84-92

DAFTAR RUJUKAN Notoatmodjo, S. 2003. Pengantar Pen-


Adisasmito, W. 2008. Sistem Kesehatan. didikan dan Perilaku Kesehatan.
PT. Raja Grafindo Pesada: Jakarta. Rineka Cipta: Jakarta.
DepKes RI. 2003. Pedoman Pelaksanaan Pohan, I. 2007. Jaminan Mutu Layanan
Jaminan Mutu di Puskesmas. Kesehatan (Dasar-Dasar, Pe-
Departemen Kesehatan RI: Jakarta. ngertian, dan Penerapan). EGC:
DepKes RI. 2006. Buku Pedoman Umum Jakarta.
Pengelolaan Posyandu. Depar- Sulistyorini, C.I. 2010. POSYANDU (Pos
temen Kesehatan RI: Jakarta. Pelayanan Terpadu) dan Desa
Dinas Kesehaan DIY. 2007. Profil Ke- Siaga. Nuha Medika: Yogyakarta.
sehatan Propinsi D.I. Yogyakarta Soetjiningsih. 2000. Tumbuh Kembang
Tahun 2007. Dinas Kesehatan Anak. EGC: Jakarta.
DIY: Yogyakarta. Tjiptono, F. 2007. Service, Quality, Satis-
Hurlock, Elizabeth B. 2005. Perkem- faction edisi 2. C.V Andi Offset:
bangan Anak. Erlangga: Jakarta. Yogyakarta.
Hikmawati, K. 2008. Hubungan Tingkat Trisnawati. 2011. Hubungan Persepsi Ibu
Pengetahuan Ibu tentang Pe- Tentang Posyandu dengan Peri-
mantau Pertumbuhan Berat Ba- laku Kunjungan Balita ke Pos-
dan dengan Frekuensi Penim- yandu Mawar di Dusun Soragan
bangan Batita 1-3 Tahun di Pos- Ngestiharjo Kasihan Bantul Yog-
yandu Pakuncen Wirobrajan yakarta Tahun 2011. Skripsi Tidak
Yogyakarta 2008. KTI Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Prodi S1
diterbitkan. Yogyakarta: STIKES Keperawatan STIKES ‘Aisyiyah
‘Aisyiyah Yogyakarta. Yogyakarta.
Lestari, I.D. 2009. Hubungan Mutu Pela- Wijayanti, R. 2009. Hubungan Tingkat
yanan Kesehatan dengan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Pos-
Kepuasan Ibu Balita Pengguna yandu dengan Frekuensi Kun-
Posyandu di Desa Trimulyo Sle- jungan Posyandu Balita di Desa
man. Skripsi Tidak diterbitkan. Bandung Kecamatan Playen Ka-
Yogyakarta: STIKES ‘Aisyiyah bupaten Gunung Kidul Yogya-
Yogyakarta. karta Tahun 2009. KTI Tidak
Ma’sum, Ma’ruf. 2007. Bayi (Panduan diterbitkan. Yogyakarta: Prodi DIII
Lengkap Sejak dalam Kandung- Kebidanan STIKES ‘Aisyiyah
an hingga Merawat Bayi). Smart Yogyakarta.
Media: Solo. Wijono, D. 2000. Manajemen Mutu Pela-
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. yanan Kesehatan, Vol. 1. Air-
EGC: Jakarta. langga University Press: Surabaya.
Petunjuk bagi Penulis
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN

1. Artikel yang ditulis dalam Jurnal Kebidanan dan Keperawatan meliputi hasil penelitian
di bidang kebidanan dan keperawatan. Naskah diketik dengan program Microsoft Word,
huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi At least 12 pts, dicetak pada
kertas A4 sepanjang lebih kurang 20 halaman dan diserahkan dalam bentuk Print-Out
sebanyak 2 eksemplar beserta softcopynya. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai
Attachment e-mail ke alamat: bp3m_stikesayo@yahoo.com
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian
adalah judul, nama penulis, abstrak disertai kata kunci, pendahuluan, metode penelitian,
hasil dan pembahasan, simpulan dan saran, serta daftar pustaka.
3. Judul artikel tidak boleh lebih dari 20 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di tengah-
tengah, dengan ukuran huruf 14 poin.
4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal, dan
ditempatkan di bawah judul artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, maka penyunting hanya
berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan
pertama. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespondensi atau e-mail.
5. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Panjang
masing-masing abstrak maksimal 150 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Isi
abstrak mengandung tujuan, metode, dan hasil penelitian.
6. Bagian pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan
tujuan penelitian. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam
bentuk paragraf-paragraf.
7. Bagian metode penelitian berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis yang secara nyata
dilakukan peneliti.
8. Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan
penelitian. Setiap hasil penelitian harus dibahas. Pembahasan berisi pemaknaan hasil
dan pembandingan dengan teori dan/atau hasil penelitian sejenis.
9. Bagian simpulan berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian
atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. Saran
ditulis secara jelas untuk siapa dan bersifat operasional. Saran disajikan dalam bentuk
paragraf.
10. Daftar rujukan hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang
dirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Sumber rujukan minimal 80% berupa
rujukan terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang digunakan adalah sumber-sumber primer
berupa artikel-artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi,
tesis, disertasi). Artikel yang dimuat di Jurnal Kebidanan dan Keperawatan disarankan
untuk digunakan sebagai rujukan.
11. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir,
tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan
tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Davis, 2003: 47).
12. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara
alfabetis dan kronologis.
Buku: Smeltzer, Suzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
and Suddarth. Edisi 8. EGC: Jakarta.
Buku kumpulan artikel: Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds). 2002. Menulis Artikel
untuk Jurnal Ilmiah (edisi ke - 4, cetakan ke-1). Malang: UM Press.
Artikel dalam buku kumpulan artikel: Russel, T. 1998. An Alternative Conception:
Representing Representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds). Children’s Informal
Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge.
Artikel dalam jurnal atau majalah: Kansil, C.L. 2002. Orientasi Baru Penyelenggaraan
Pendidikan Program Profesional dalam memenuhi Kebutuhan Industri. Transport, XX
(4): 57-61.
Artikel dalam koran: Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah
Sekolah Pengunggulan, Jawa Post, hlm. 4 & 11.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Jawa Pos. 22 April, 2006.
Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 3.
Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1997. Pedoman
Penulisan Pelaporan Penelitian. Jakarta : Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Ammas Duta Jaya.
Skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian: Sudyasih, T. 2006. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Tentang Tubercolosis Paru Dengan Sikap Orang Tua Anak (0-10 Tahun)
Penderita Tuberkulosis Paru Selama Menjalani Pengobatan di Puskesmas Piyungan
Bantul Tahun 2006. Skripsi Diterbitkan. Yogyakarta: PSIK-STIKES ‘ASYIYAH
YOGYAKARTA.
Makalah seminar, lokakarya, penataran: Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal
Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan
Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus 2001.
Internet (karya individual): Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of
STM Online Journals, 1990-1995: The Calm before the Storm, (Online), (http://
journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html), diakses 12 Agustus 2006.
Internet (artikel dalam jurnal online): Kumaidi, 2004. Pengukuran Bekal Awal
Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan. (online), Jilid 5, No. 4,
(http://www.malang.ac.id), diakses 20 Januari 2000.
13. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, gambar pada artikel berbahasa Indonesia
menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(Depdikbud, 1987).
14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk
oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk
melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bebestari
atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara
tertulis.
15. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan software
komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yang
dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul
karenanya, menjadi tanggungjawab penuh penulis artikel.
16. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi
pelanggan minimal selama satu tahun (dua nomor). Penulis menerima nomor bukti
pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua eksemplar).
Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
Jl. Ring Road Barat 63, Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta 55292
Telp. (0274) 4496199; Fax. (0274) 4469204

Bersama ini kami kirimkan Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 9, No. 1, Juni 2013
sebanyak ….... eks.
Untuk selanjutnya apabila Bpk/Ibu/Sdr/Institusi Anda berkenan melanggannya, mohon
untuk mengisi blangko formulir berlangganan di bawah ini dan kirimkan ke alamat :
REDAKSI JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
Jl. Ring Road Barat No. 63, Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta 55292.
Telp (0274) 4469199 pesawat 166, Fax. (0274) 4469204
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN


Nama : ...................................................................................................
□Mahasiswa □ Individu □ Instansi
Alamat : ...................................................................................................
....................................................... Telp. : ................................
Akan Berlangganan JKK:
Vol. ....... : No. ........................... s/d ......................................
Sejumlah : ....................... eks./penerbitan
Untuk itu saya akan mengirimkan biaya pengganti ongkos cetak dan ongkos kirim sejumlah :
Rp. ..........................

Melalui : Transfer BRI Unit KH Ahmad Dahlan Yogyakarta


a.n Jurnal Kebidanan dan Keperawatan
No. Rek : 3005-01-013030-53-8

(fotokopi bukti pembayaran terlampir/dikirimkan ke alamat di atas)


Biaya berlangganan untuk satu tahun penerbitan: Rp 60.000 (Jawa) dan Rp 75.000 (Luar Jawa)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

TANDA TERIMA

Telah terima Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 9, No. 1, Juni 2013
sebanyak: ......................... eksemplar dengan baik.

Diterima di/tgl. : .................................... (Harap dikembalikan ke alamat di atas, bila ada


perubahan nama & alamat mohon ditulis)
Nama : ....................................
.

Anda mungkin juga menyukai