Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi karena mengandung kebutuhan energi dan zat yang dibutuhkan selama enam bulan pertama kehidupan bayi (Wulandari dan Handayani, 2011). World Health Organization (WHO) dan United Nations Childrens Fund (UNICEF) merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu, pertama memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI, 2006). Pemberian ASI memiliki banyak manfaat bagi ibu dan bayi. Beberapa manfaat ASI bagi bayi yaitu sebagai perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal, menurunkan risiko kematian bayi akibat diare dan infeksi, sumber energi dan nutrisi bagi anak usia 6 sampai 23 bulan, serta mengurangi angka kematian di kalangan anak-anak yang kekurangan gizi. Sedangkan manfaat pemberian ASI bagi ibu yaitu mengurangi risiko kanker ovarium dan payudara, membantu kelancaran produksi ASI, sebagai metode alami pencegahan kehamilan dalam enam bulan pertama setelah kelahiran, dan membantu mengurangi berat badan lebih dengan cepat setelah kehamilan (WHO, 2016). Kelancaran produksi ASI dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, frekuensi pemberian ASI, berat bayi saat lahir, usia kehamilan saat bayi lahir, usia ibu dan paritas, stres dan penyakit akut, IMD, keberadaan perokok, konsumsi alkohol, perawatan payudara, penggunaan alat kontrasepsi dan status gizi. Ketersediaan ASI yang lancar pada ibu mnyusui akan membantu kesuksesan pemberian ASI Eksklusif selama 6 ulan, sehingga membantu bayi tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan rekomendasi WHO (Ferial, 2013). Seorang ibu sering mengalami masalah dalam produksi ASI eksklusif salah satu kendala utamanya yakni produksi ASI yang tidak lancar. Hal ini akan mnjadi faktor penyebab rendanya cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi baru lahir (Wulandari dan Handayani, 2011). Menurut data Kementrian Kesehatan Nasional Angka Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Indonesia meningkat dari 51,8 % pada tahun 2016 menjadi 57,8 % pada 2017. Kendati meningkat angka tersebut masih jauh dari target nasional sebesar 90%. Kenaikan yang sama juga terjadi pada angka pemberian ASI eksklusif dari 29,5% pada tahun 2016 menjdi 35,7 % pada 2017. Angka ini juga terbilang sangat kecil jika mengingat pentingnya peran ASI bagi kehidupan anak. Berdasarkan data Ditjen Bina Gizi dalam Profil Kesehatan Indonesia (2017) rata-rata cakupan ASI eksklusif di Profinsi Jawa Timur sebesar 41,17 %, hal ini berarti sebesar 58,83 % bayi di Indonesia belum terpenuhi haknya untuk memperoleh ASI secara eksklusif. Pemberian ASI eksklusif pada bayi baru lahir masih rendah di Kota Malang pada tahun 2016 terjadi penurunan pemberian ASI eksklusif jika dibandingkan tahun 2016. Pada tahun 2015 pemberian ASI eksklusif mencapai 79,12%. Sedangkan pada tahun 2016 pemberian ASI eksklusif menurun menjadi 75,27% dari 8277 bayi. Hal ini bisa jadi mengindikasikan adanya penurunan kesadaran masyarakat di Malang akan pentingnya ASI eksklusif bagi kesehatan bayi baru lahir (Profil Kesehatan Kota Malang, 2016). Salah satu alasan penyebab ketidakberhasilan pemberian ASI eksklusif ini adalah ibu kurang percaya diri bahwa ASI yang dimiliki dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayinya (Roesli, 2008). Hal ini terjadi karena ASI yang keluar atau hanya keluar sedikit pada hari-hari pertama setelah melahirkan. Dalam kondisi yang penuh kekhawatiran dan tidak percaya diri karena merasa ASI nya tidak cukup, ibu memerlukan bantuan dan dukungan untuk dapat mempertahankan produksi ASI. Dengan rasa tidak percaya diri dan kekhawatiran akan menyebabkan terhambatnya pengeluaran hormon oksitosin. Hormon oksitosin berdampak pada pengeluaran hormon prolaktin sebagai stimulasi produksi ASI pada ibu selama menyusui (Amin, 2011). Pamuji, 2014 menyatakan satu upaya yang bisa dilkukan untuk merangsang hormon prolaktin dan oksitosin pada ibu setelah melahirkan adalah memberikan sensasi rileks pada ibu yaitu dengan melakukan pijat woolwich yang akan merangsang sel saraf pada payudara, diteruskan ke hipotalamus dan direspon oleh hipofisis anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin yang akan dialirkan oleh darah ke sel mioepitel payudara untuk memprodusi ASI. Hasil penelitian Pamuji (2014), didapatkan bahwa pijat woolwich berpengaruh terhadap peningkatan kadar hormon prolaktin dan volume ASI ibu post partum. Sedangkan tindakan massage rolling punggung dapat mempengaruhi hormon prolaktin yang berfngsi sebagaistimulus produksi ASI pada ibu selama menyusui. Tindakan ini juga dapat membuat rileks pada ibu dan melancarkan aliran syaraf serta saluran ASI pada kedua payudara (Amin, 2011). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik melakukan mini riset tentang perbedaan produksi ASI pada ibu postpartum antara metode pijat woolwich dan maasage rolling di Puskesmas Tumpang 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum mini riset ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan pengaruh metode pijat woolwich dan maasage rolling dalam meningkatkan produksi ASI di Puskesmas Tumpang. 1.3 Manfaat penelitian
1.3.1 manfaat Teoritis
Hasil mini riset ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan wawasan tentang keberhasilan pengaruh metode pijat woolwich dan maasage rolling dalam meningkatkan produksi ASI. Peneltian ini juga dapat dijadikan dasar pengembangan ilmu keperawatan terutama keperawatan maternitas. 1.3.2 manfaat Praktis hasil mini riset ini diharapkan daat memberikan literatur alternatif bagi ibu untuk meningkatkan produksi ASI sehingga asupan ASI pada bayi dapat terpenuhi dan dapat membantu program pemerintah tentang pemberian ASI eksklusif.