Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi karena
mengandung kebutuhan energi dan zat yang dibutuhkan selama enam bulan
pertama kehidupan bayi (Wulandari dan Handayani, 2011). World Health
Organization (WHO) dan United Nations Childrens Fund (UNICEF)
merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu, pertama
memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah
bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif
sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 sampai 24 bulan, dan keempat
meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI,
2006).
Pemberian ASI memiliki banyak manfaat bagi ibu dan bayi. Beberapa
manfaat ASI bagi bayi yaitu sebagai perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal,
menurunkan risiko kematian bayi akibat diare dan infeksi, sumber energi dan nutrisi
bagi anak usia 6 sampai 23 bulan, serta mengurangi angka kematian di kalangan
anak-anak yang kekurangan gizi. Sedangkan manfaat pemberian ASI bagi ibu yaitu
mengurangi risiko kanker ovarium dan payudara, membantu kelancaran produksi
ASI, sebagai metode alami pencegahan kehamilan dalam enam bulan pertama
setelah kelahiran, dan membantu mengurangi berat badan lebih dengan cepat
setelah kehamilan (WHO, 2016). Kelancaran produksi ASI dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti, frekuensi pemberian ASI, berat bayi saat lahir, usia kehamilan saat
bayi lahir, usia ibu dan paritas, stres dan penyakit akut, IMD, keberadaan perokok,
konsumsi alkohol, perawatan payudara, penggunaan alat kontrasepsi dan status
gizi. Ketersediaan ASI yang lancar pada ibu mnyusui akan membantu kesuksesan
pemberian ASI Eksklusif selama 6 ulan, sehingga membantu bayi tumbuh dan
berkembang dengan baik sesuai dengan rekomendasi WHO (Ferial, 2013).
Seorang ibu sering mengalami masalah dalam produksi ASI eksklusif salah satu
kendala utamanya yakni produksi ASI yang tidak lancar. Hal ini akan mnjadi faktor
penyebab rendanya cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi baru lahir
(Wulandari dan Handayani, 2011).
Menurut data Kementrian Kesehatan Nasional Angka Inisiasi Menyusui Dini
(IMD) di Indonesia meningkat dari 51,8 % pada tahun 2016 menjadi 57,8 % pada
2017. Kendati meningkat angka tersebut masih jauh dari target nasional sebesar
90%. Kenaikan yang sama juga terjadi pada angka pemberian ASI eksklusif dari
29,5% pada tahun 2016 menjdi 35,7 % pada 2017. Angka ini juga terbilang sangat
kecil jika mengingat pentingnya peran ASI bagi kehidupan anak. Berdasarkan data
Ditjen Bina Gizi dalam Profil Kesehatan Indonesia (2017) rata-rata cakupan ASI
eksklusif di Profinsi Jawa Timur sebesar 41,17 %, hal ini berarti sebesar 58,83 %
bayi di Indonesia belum terpenuhi haknya untuk memperoleh ASI secara eksklusif.
Pemberian ASI eksklusif pada bayi baru lahir masih rendah di Kota Malang pada
tahun 2016 terjadi penurunan pemberian ASI eksklusif jika dibandingkan tahun
2016. Pada tahun 2015 pemberian ASI eksklusif mencapai 79,12%. Sedangkan
pada tahun 2016 pemberian ASI eksklusif menurun menjadi 75,27% dari 8277 bayi.
Hal ini bisa jadi mengindikasikan adanya penurunan kesadaran masyarakat di
Malang akan pentingnya ASI eksklusif bagi kesehatan bayi baru lahir (Profil
Kesehatan Kota Malang, 2016).
Salah satu alasan penyebab ketidakberhasilan pemberian ASI eksklusif ini
adalah ibu kurang percaya diri bahwa ASI yang dimiliki dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi bayinya (Roesli, 2008). Hal ini terjadi karena ASI yang keluar atau hanya
keluar sedikit pada hari-hari pertama setelah melahirkan. Dalam kondisi yang
penuh kekhawatiran dan tidak percaya diri karena merasa ASI nya tidak cukup, ibu
memerlukan bantuan dan dukungan untuk dapat mempertahankan produksi ASI.
Dengan rasa tidak percaya diri dan kekhawatiran akan menyebabkan terhambatnya
pengeluaran hormon oksitosin. Hormon oksitosin berdampak pada pengeluaran
hormon prolaktin sebagai stimulasi produksi ASI pada ibu selama menyusui (Amin,
2011).
Pamuji, 2014 menyatakan satu upaya yang bisa dilkukan untuk
merangsang hormon prolaktin dan oksitosin pada ibu setelah melahirkan adalah
memberikan sensasi rileks pada ibu yaitu dengan melakukan pijat woolwich yang
akan merangsang sel saraf pada payudara, diteruskan ke hipotalamus dan
direspon oleh hipofisis anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin yang akan
dialirkan oleh darah ke sel mioepitel payudara untuk memprodusi ASI. Hasil
penelitian Pamuji (2014), didapatkan bahwa pijat woolwich berpengaruh terhadap
peningkatan kadar hormon prolaktin dan volume ASI ibu post partum. Sedangkan
tindakan massage rolling punggung dapat mempengaruhi hormon prolaktin yang
berfngsi sebagaistimulus produksi ASI pada ibu selama menyusui. Tindakan ini
juga dapat membuat rileks pada ibu dan melancarkan aliran syaraf serta saluran
ASI pada kedua payudara (Amin, 2011).
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik melakukan mini
riset tentang perbedaan produksi ASI pada ibu postpartum antara metode pijat
woolwich dan maasage rolling di Puskesmas Tumpang
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum mini riset ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan
pengaruh metode pijat woolwich dan maasage rolling dalam meningkatkan
produksi ASI di Puskesmas Tumpang.
1.3 Manfaat penelitian

1.3.1 manfaat Teoritis


Hasil mini riset ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan
wawasan tentang keberhasilan pengaruh metode pijat woolwich dan
maasage rolling dalam meningkatkan produksi ASI. Peneltian ini juga dapat
dijadikan dasar pengembangan ilmu keperawatan terutama keperawatan
maternitas.
1.3.2 manfaat Praktis
hasil mini riset ini diharapkan daat memberikan literatur alternatif bagi ibu
untuk meningkatkan produksi ASI sehingga asupan ASI pada bayi dapat
terpenuhi dan dapat membantu program pemerintah tentang pemberian ASI
eksklusif.

Anda mungkin juga menyukai