Anda di halaman 1dari 3

Bantahan Atas Argumentasi Yang Keliru Bagian Kedua

Argumentasi:

Sebagian lagi berargumentasi dengan kaedah ahwaan al-syarrain wa akhdz akhaff ad-dlararain
(memilih bahaya teringan diantara dua bahaya). Kaedah ini juga telah diakui dan dpraktekkan
'ulama-'ulama Islam. Mereka menyatakan bahwa, masuk parlemen adalah sebuah dlarar
(haram), sedangkan membiarkan parlemen dikuasai oleh orang kafir merupakan bahaya yang
lebih besar. Walhasil dengan kaedah ahwaan al-syarrain wa akhdz akhaff ad-dlararain, mereka
menyatakan bahwa masuk parlemen merupakan aplikasi kaedah syari'iyyah yang ditujukan
untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar.

Bantahan Atas Argumentasi tersebut

Kaedah ahwaan al-syarrain wa akhdz akhaff ad-dlararain memilih bahaya teringan diantara dua
bahaya) sama sekali tidak bisa diberlakukan dalam perkara ini (masuk atau tidak masuk
parlemen). Sebab, kaedah ini hanya bisa diberlakukan pada hal-hal yang berhukum mubah, atau
hal-hal yang bahayanya sudah ditetapkan berat dan ringannya berdasarkan nash-nash syara'.
Sedangkan hal-hal yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah swt harus ditinggalkan dan dijauhi
oleh setiap muslim.

Akan tetapi jika dirinya tidak melakukan perbuatan haram justru akan membahayakan dirinya
maka dirinya baru boleh mengerjakan tindakan haram tersebut. Satu contoh ada hadits dari
Rasulallah saw yang menyatakan bahwa "mencela kaum muslim itu kefasikan, sedangkan
membunuhnya adalah kekufuran". Hadits ini menunjukkan bahwa mencela itu lebih ringan
dibandingkan membunuh, meskipun kedua-duanya sama-sama berhukum haram. Namun
bukan berarti kaum muslim boleh mencela kaum muslim dengan alasan mencela lebih ringan
daripada membunuh. Demikian pula masuk parlemen dan ikut serta dal pemilu. Seorang
muslim tidak diperbolehkan berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu dengan alasan
bahaya masuk pemilu itu lebih kecil.

Contoh lain adalah, di dalam peperangan kaum muslim diharamkan menghancurkan senjatanya.
Sebab, tindakan semacam itu bisa membahayakan keselamatan kaum muslim dam memperkuat
pasukan musuh. Akan tetapi dalam kondisi terdesak, jika ditakutkan senjata itu akan dirampas
oleh pihak musuh, maka ia dibenarkan untuk menghancurkan atau membinasakan senjatanya.
Sebab, menghancurkan senjata lebih ringan bahayanya dibandingkan bila dikuasai oleh musuh.

Jika anda perhatikan dengan seksama dlarar selalu dihubungkan dengan bahaya yang bersifat
fisik. Dengan kata lain dlarar yang dibahas oleh para 'ulama selalu dikaitkan dengan suatu
keadaan dimana bila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, maka dirinya akan mati, atau
nyaris mati. Bila dua kondisi ini belum tercapai dan masih ada pilihan yang lain maka dlarar
belum terwujud.

Memahami Dlarar (Madlarat)

Secara literal beberapa 'ulama mendefinisikan dlarurat sebagai berikut:

Al-Jurjani menyatakan: "Darurat itu berasal dari kata al-dlarar yang bermakna sesuatu yang
turun tanpa ada yang bisa menahannya". (Al-Jurjani, al-Ta'riifaat, hal 120)

Imam Ibnu Mandzur berkata: " Makna dari idlthiraar ialah membutuhkan sesuatu".(Ibnu
Mandzur, Lisaan al-'Arab)

Secara syar'i yang disebut dengan darurat adalah sebagai berikut:

Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat:
"sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar
sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati"

Sebagian 'ulama madzhab Maliki menyatakan:

"Darurat adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau sekedar
sangkaan kuat". (Syarah Kabiir Ma'a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid II/85).

Menurut 'ulama madzhab Hanafi, makna dlarurat yang berkaitan dengan rasa lapar, ialah
seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa
mati atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat. Seorang dipaksa akan
dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila tidak mau memakan atau
meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan dlarurat...Tetapi kalau
ancamannya tidak terlalu berat seperti hanya dipenjara setahun atau dihukum dengan diikat,
namun tetap diberi makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan. Dengan kata lain ia
tidak sedang dalam keadaan dlarurat. (Dr. 'Abdullah Ibn Mohammad Ibn Ahmad at-Thariqiy, al-
Idlthiraar Ila al-Ath'imah wa al-Adwiyah al-Muharramaat, lihat pula Kasyful Asraar, jilid IV hal
1517).

Dalam kondisi sekarang berkecimpung di dalam parlemen merupakan perbuatan haram dan
tidak berkonsekuensi pada bahaya (dlarar). Padahal tidak berkecimpung di dalam parlemen
merupakan kewajiban dan sama sekali tidak menyebabkan bahaya. Sebab, dlarar bukanlah
sesuatu yang bersifat maknawi akan tetapi sesuatu yang bersifat hakiki. Dlarar diukur dengan
kematian maupun penderitaan yang sangat sadis. Kedua hal itu, baik masuk parlemen maupun
tidak masuk parlemen sama-sama tidak berkonsekuensi pada dlarar. Sebab faktanya tidak ada
penyiksaan, pembunuhan bagi orang yang tidak berkecimpung dalam kegiatan pemilu dan
parlemen.

Dalam kondisi semacam ini kaedah ahwaan al-syarrain wa akhdz akhaff ad-dlararain (memilih
bahaya teringan diantara dua bahaya) tidak bisa diberlakukan. Sebab, yang satu adalah
perbuatan buruk sedangkan yang lain adalah perbuatan yang baik. Sedangkan yang dimaksud
dengan ahwaan al-syarrain adalah memilih keburukan yang paling ringan diantara dua
keburukan.

Pada dasarnya dlarar selalu diukur dengan tercapainya taraf kematian, maupun kehancuran dan
penderitaan yang sadis. Dalam kitab Ahkaam al-Quran, Abu Bakar al-Jashshash disebutkan
bahwa makna dlarurat adalah rasa takut seseorang kepada bahaya yang dapat melenyapkan
nyawa atau bisa mencelakai salah satu anggota tubuhnya, karena ia tidak mau makan atau
meminum sesuatu yang diharamkan.(Abu Bakar al-Jashshash, Ahkaam Al-Quran jilid I hal 159).

Berdasarkan keterangan para 'ulama di atas, apakah orang yang tidak masuk maupun masuk ke
dalam parlemen sudah terkategori dalam kondisi dlarar? Jawabnya, belum secara pasti. Sebab,
masih ada pilihan perjuangan lain, dan belum sampai menimbulkan konsekuensi kematian dan
cacat fisik jika tidak terlibat dalam parlemen. Oleh karena itu kaedah ahwaan al-syarrain
maupun akhdz akhaff al-dlararain jelas-jelas tidak berlaku dalam masalah ini.

Penerapan kaedah ahwaan al-syarrain hanya berlaku pada perbuatan-perbuatan yang bersifat
mubah, ataupun perkara-perkara yang sudah dijelaskan tingkat bahayanya. Pendapat yang
menyatakan bahwa tidak mengikuti pemilu lebih besar madlaratnya daripada tisak ikut dalam
pemilu adalah pendapat yang sama sekali tidak didasarkan pada dalil-dalin syara'. Penetapan
semacam itu hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka. Tidak ada satupun nash syara' yang
menjelaskan tingkat bahaya diantara dua perbuatan tersebut. Padahal ketika manusia
menganggap suatu itu maslahat bisa jadi sesuatu tersebut adalah madlarat (bahaya). Sebaliknya
ada sesuatu yang dianggap madlarat padahal maslahat.

Disisi lain pada kondisi kaum muslim masih memiliki banyak pilihan. Bahkan diantara pilihan-
pilihan itu ada pilihan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Saat ini kaum muslim di
negeri ini belum berada dalam kondisi dlarar (madlarat). Sebab, tatkala tidak berkecimpung
dalam parlemen maupun tidak turut serta dalam pemilu, mereka tidak mati maupun cacat
tubuhnya. Mereka masih memiliki banyak pilihan dalam perjuangan. Lalu, apa pantas kita
beralasan dengan hukum dlarar, padahal kondisi madlarat ini belum terwujud sama sekali?

Anda mungkin juga menyukai