BERBASIS REDD+
CO2 yang dilepaskan ke atmosphir. Dengan demikian kawasan TNS akan semakin
berat untuk menetralisir tingkat konsentrasi emisi atmospherik di wilayah ini.
2) Skenario model carbon crediting (model CC), yaitu suatu bentuk upaya mitigasi
gas rumah kaca (GRK) melalui ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL)
berbasis REDD+. Diharapkan dengan skenario model ini laju deoforestasi dan
degradasi hutan dapat ditekan, sehingga berdampak positif terhadap: (a) Zona
hutan mangrove primer dapat bertumbuh secara exponential growth, (b)
Kandungan (stok) biomassa hutan mangrove serta stok karbon terestrial ekosistem
TNS lebih terjamin, (c) Kawasan TNS mampu menyeimbangkan kondisi ekologis
sebagai akibat spektrum dampak emisi CO2 terhadap berbagai kehidupan ekonomi
masyarakat sekitar TNS.
Desain sistem pengelolaan sumberdaya pesisir pada studi ini dirancang dengan
memadukan antara aliran ekonomi neoklasik (prinsip efisiensi) serta aliran ekonomi
kelembagaan (prinsip kesejahteraan sosial). Efisiensi berdasarkan kriteria pareto
optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan
benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada
individu lainnya (Kusumastanto 2000). Oleh karena itu basis pengambilan kebijakan
alokasi sumberdaya alam didasarkan pada prinsip the best economic allocation.
Sementara itu dalam aliran ekonomi kelembagaan, kebijakan alokasi sumberdaya
alam didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tujuan: pertumbuhan
155
tujuan untuk mendapatkan laju migrasi yang merupakan rasio antara kesempatan kerja
dengan PDRB sektor yang selanjutnya dapat mempengaruhi tingkat pertambahan
penduduk. Penduduk dan PDRB merupakan komponen stock yaitu suatu akumulasi
materi maupun non materi yang mencerminkan kondisi (state) suatu sistem pada titik
waktu tertentu. Sedangkan parameter lainnya merupakan conventer, yaitu perubah input
menjadi output yang mewakili materi atau informasi. Struktur submodel penduduk pada
skenario model BAU disajikan pada Gambar 38.
PDRB Lainny a
angk kerja
laju natalitas Penduduk laju pertumb
laju mort perub PDRB lainny a
rate DD Hmp to Hrs BAU rate DD Hms to Tbk BAU Penduduk BAU
ctr DD BAU lcc DD Hmp to Tbk TNS BAU
rate DD Hmp to Tbk BAU C stk Hmp to APL
lcc DD Hrs to Tbk TNS BAU lcc DD Hms to Tbk TNS BAU C stk dr Hmp to Tbk
Tambak TNS BAU rate encroach to Tbk BAU
rate DD Hrs to Tbk BAU
Tot DD TNS BAU
lcc DD APL to pmkn FA BAU f rac atomic C perub C stk APL to Pmkn
C stok Hms
lcc DD Hrs to APL FA BAU Emisi APL FA BAU Emisi Hmp FA BAU f rac atomic C
lcc DD Hmp to HTI FA BAU lcc DD Hmp to APL FA BAU lcc DD APL to Tbk FA BAU
lcc DD Hms to HTI FA BAU perub C Hmp to HTI
Sawit FA BAU
rate DD to Tbk
rate DD Hrs to APL
lcc DD Hrs to APL FA BAU
tot DD Hmp FA BAU lcc DD Hrs to Sawit FA BAU
Hrs FA BAU
Total Agri FA
lcc DD Hmp FA BAU
ekonomi sebagai hasil konversi untuk industri pertanian. Struktur submodel ekonomi
skenario model BAU berinteraksi antar muka dengan submodel emisi CO2 TNS yang
dapat mempengaruhi sisi input dan output manfaat ekosistem kawasan dan manfaat
ekonomi industri pertanian. Struktur submodel ekonomi pada skenario model BAU
disajikan pada Gambar 40.
Wildlif e BAU
Hrs TNS BAU
DUV BAU
By standing stk BAU
Biodiv erstity BAU
By DUV BAU
Fisik BAU
Rev enue Mgrv TNS BAU By wildlif e BAU
Struktur submodel penduduk merupakan suatu sistem yang terdiri dari satu level
dimana jumlah populasinya ditentukan oleh laju natalitas dan tingkat migrasi serta laju
mortalitas. Diasumsikan bahwa laju mortalitas sudah memperhatikan kemungkinan
bahwa pencemaran akan berpengaruh pada umur perkiraan penduduk sehingga
mempengaruhi laju mortalitas. Hubungan ini diungkapkan dengan lifetime multiplier
159
from pollution (bilangan pengali umur akibat pencemaran), yaitu suatu fungsi yang
mengalikan umur perkiraan yang sudah diketahui dengan perkiraan besar pengaruh
pencemaran. Meadows et al. (1972) mengatakan bahwa jika pencemaran sangat hebat
sehingga mengakibatkan umur perkiraan turun 90% dari nilainya, sehingga nilai
fraksinya sama dengan 0.9. Dengan demikian bilangan ini akan menambah laju
mortalitas. Berdasarkan data BPS Banyuasin tahun 2008, laju mortalitas adalah angka
laju kematian kasar atau CDR (crude death rate ) Kabupaten Banyuasin sebesar 8 jiwa
per 1000 penduduk. Dengan demikian nilai fraksi mortalitas di daerah ini adalah 0.008.
Laju natalitas dan migrasi merupakan dua fungsi non linier yang mempengaruhi
jumlah populasi penduduk yang besarnya ditetapkan berdasarkan data-data demografi
yang tersedia. Jumlah populasi penduduk sangat menentukan tingkat pendapatan per
kapita, karena hal ini merupakan rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
sektor dengan jumlah populasi. Di sini ada interaksi antar submodel (interface) dengan
submodel ekonomi melalui konventer PDRB pertanian dan IUPJL (lihat Gambar 41).
Tingkat PDRB sektor dibangkitkan oleh PDRB pertanian dan PDRB lainnya
yang dipengaruhi fraksi NFIA (net factor income from abroad) (lihat Gambar 43).
Fraksi ini merupakan proporsi output yang dimiliki oleh sektor luar negeri. Dalam
studi ini, NFIA diproyeksikan naik sejalan dengan kesepakatan liberalisasi perdagangan
dan makin meningkatnya aliran foreign direct investment (FDI). Antara tahun 1980
hingga 1993 NFIA berkisar 3-5% (World Bank 1996). Kendatipun Indonesia
mengalami krisis moneter pada tahun 1997, akan tetapi dengan kondisi sosial ekonomi
dan politik yang semakin terkendali akhir-akhir ini, maka sampai tahun 2035
diasumsikan naik menjadi 6-7% th-1.
Tingkat PDRB sektor dapat mencerminkan tingkat aktivitas perekonomian suatu
wilayah, oleh karenanya PDRB secara tidak langsung dapat mempengaruhi laju migrasi.
Fraksi migrasi diperoleh dari laju migrasi normal serta perkiraan fraksi migrasi rasio
antara tingkat kesempatan kerja dan tingkat produk domestik bruto. Sementara itu
tingkat PDRB suatu wilayah merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
seluruh aktivitas produksi di dalam perekonomian. Dalam pemodelan ini diringkas
menjadi penjumlahan antara PDRB pertanian dan PDRB lainnya, serta share IUPJL
melalui proporsi Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) bagi masyarakat dan pemda
kabupaten/kota terhadap PDRB pertanian. Tujuannya adalah agar kontribusi proporsi
NJ2L skenario CC dapat terlihat secara signifikan terhadap PDRB pertanian yang akan
dibandingkan dengan share agriculture di FA pada skenario BAU. Secara diagramatis
struktur submodel penduduk disajikan pada Gambar 41.
160
normal mgrs
migrasi
Tot K Kerja CC Kesemp Kerja model CC
APL TNS
C stok APL rate Reboisasi
f rac atomic C C stk Hmp lcc DD Hrs to Tbk TNS C stok Hrs C stok Hms
Emisi Tambak
C Terest APL lcc DD Hmp to Tbk TNS
Reboisasi APL
f rac atomic C
C Terest Hrs C Terest Hmp
rate Hrs to APL rate DD Hmp to Hms perub emisi to Tbk
C stok Hrs rate DD Hmp TNS to APL
Hrs TNS CC
Hmp TNS CC Hms TNS CC
f rac atomic C
rate Reboisasi
Tot C Terest TNS dan FA
C stok Hrs Emisi Hrs TNS lcc DD TNS
C stk Hmp to APL
C stok Hms
C stk dr Hmp to Tbk
perub emisi Hrs TNS perub emisi TNS TOT EMISI TNS Tot C Terest FA
CO2 of f set regrowth TNS perub emisi Hmp TNS C stok dr Hmp to Hrs
Hmp TNS CC
perub emisi to Tbk
Emisi Hms TNS Emisi Hmp TNS
perub CO2 of f set regrowth TNS lcc DD Hmp to Hrs TNS
lcc DD Hmp to APL
NET EMISI CO2 TNS CC
Hms TNS CC
lcc DD Hmp to Hms TNS
lcc DD Hmp to Tbk TNS
NET EMISI CO2 FA
perub net CO2 TNS TOT NET EMISI TNS DAN FA
Hmp FA
Hrs TNS CC lcc DD Hrs to APL FA perub net CO2 FA
perub C stk APL to Tbk
lcc DD Hrs to Sawit FA TOT EMISI FA
perub emisi Hrs FA
C stok Hrs
perub C stk APL to Pmkn
regrowth C Emisi APL FA perub emisi FA
perub emisi Hrs FA f rac atomic C
lcc DD Hrs to HTI FA Emisi Hms FA lcc DD Hms to HTI FA
perub CO2 of f set regrowth FA
Emisi Hrs FA perub emisi APL FA
Penduduk perub emisi Hms FA
CO2 of f set f r regrowth FA
lcc DD APL to pmkn FA
Hmp TNS CC
Standing stk
Rev enue Mgrv TNS Standing stk cost By inv estasi
Fisheries
Hms TNS CC By PDD
Fisheries cost
Wildlif e
Transc Cost
DUV
Biodiv erstity Hrs TNS CC
By DUV By opr lingk
Wildlif e cost
Phy sical Inv estment cost CC
Rev enue Mgrv TNS
Biay a Ecostm
Tambak TNS rate Reboisasi
Existence Inv est cost ecosy st Tot Cost CC
IUV OV EV By pengelolaan lingk
Cashf low
sat by reb
Manf aat Ecosistem By reboisasi
Rev enue Tbk TNS ~
Rev Tbk per ha Cash inf low Cash outf low NFIA
share NJ2L masy arakat perub PDRB pertanian inv est per t kerja
PDRB pertanian dan IUPJL
Struktur submodel ekonomi karbon terdiri atas beberapa level dan beberapa
variabel lainnya dan merupakan interaksi antar muka (interface) antara submodel
ekonomi karbon dengan submodel penduduk dan submodel emisi CO2 (lingkungan).
Submodel ekonomi karbon dipengaruhi variabel karbon yang dapat diperdagangkan
pada sisi manfaat ekonomi model CC. Selanjutnya submodel ekonomi karbon
mempengaruhi submodel penduduk melalui share NJ2L IUPJL yang dapat
mempengaruhi besaran share kesempatan kerja skenario model CC.
164
Tujuan dibangunnya struktur model carbon crediting ini adalah untuk melihat
sampai sejauhmana interaksi antar submodel mempengaruhi feasibilitas ekonomi
pengelolaan pesisir melalui IUPJL berbasis REDD+. Selain itu juga dapat dilihat
seberapa besar share diterapkannya kebijakan hak pengelolaan (property right)
sumberdaya hutan mangrove tersebut dapat mempengaruhi aktivitas produksi
perekonomian daerah. Dalam jangka panjang, pengelolaan kawasan TNS ini diharapkan
dapat mandiri secara ekonomi (self financing), sehingga tidak membebani anggaran
negara.
Struktur submodel ekonomi pada penelitian ini memiliki keragaman interaksi
yang luas. Selain manfaat IUPJL yang diharapkan, juga dilihat seberapa besar manfaat
eksternal TNS terhadap aktivitas ekonomis produktif daerah setempat. Terutama dalam
hal kontribusi NJ2L, baik untuk pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun untuk
masyarakat. Distribusi nilai NJ2L ini diprediksi dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat, karena share-nya relatif besar yaitu 20% dari total NJ2L yang dapat
ditransaksikan.
diciptakannya. Selain itu juga akan dilihat kecenderungannya terhadap tingkat deplesi
sumberdaya hutan pada akhir simulasi.
Konversi hutan mangrove primer (Hmp) dan sekunder (Hms), hutan rawa
sekunder (Hrs) serta areal APL di FA yang masih berpenutupan hutan dialokasikan
untuk kebutuhan RUTR Kabupaten Banyuasin 2006-2026 seluas 115.027 ha (kawasan
tidak dilindungi undang-undang). Dari luas areal konversi tersebut masih tersisa sekitar
108.564 ha yang akan diproyeksikan sebagai dasar formulasi pemodelan tahun 2010-
2035. Diprediksi bahwa konversi hutan ini akan berpengaruh terhadap cadangan karbon
terestrial serta dapat mengemisi CO2 atmospherik di wilayah tersebut. Asumsi data
awal simulasi tutupan lahan di FA dan TNS yang dikonversi disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Data dan asumsi awal simulasi tutupan lahan di FA dan di TNS
Persentase
No Variabel Luas (ha)
(%)
A Frontier area (FA)
1. Areal Penggunaan Lain (APL) 1.109 1,02
2. Hutan mangrove primer (Hmp) 12.999 11,97
3. Hutan mangrove sekunder (Hms) 5.288 4,87
4. Hutan rawa sekunder (Hrs) 89.168 82,13
Total FA 108.564 100,00
B TN Sembilang (TNS)
1. Hutan mangrove primer (Hmp) 35.205 17,35
2. Hutan mangrove sekunder (Hms) 0 0,00
3. Hutan rawa sekunder (Hrs) 68.658 33,84
4. Areal Penggunaan Lain (APL) 97.021 47,82
5. Tambak TNS (Tbk) 2.013 0,99
Total 202.897 100,00
budidaya tambak udang di pesisir pantai utara Jawa dapat mencapai 3.154 USD. Biaya
oportunitas pada penelitian ini menggunakan NPV hutan tanaman dan perkebunan
sebesar 1.611 USD dan untuk shrimp sylvofishery sebesar 1.249,84 USD.
Tabel 28 Data dan asumsi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove serta
persentase peluruhannya pada awal simulasi di FA dan di TNS
Peluruhan
No Variabel Perubahan Variabel
(% th-1)
A Frontier area (FA)
1. Areal Penggunaan Lain 1. Pemukiman dan infrastruktur 0,12
2. Tambak 12,70
2. Hutan mangrove primer 1. Areal Penggunaan Lain 4,99
2. Hutan Tanaman Industri 5,01
3. Perkebunan Sawit 4,99
3. Hutan mangrove sekunder Hutan Tanaman Industri 5,00
4. Hutan rawa sekunder 1. Areal Penggunaan Lain 5,00
2. Hutan Tanaman Industri 52,86
3. Perkebunan Sawit 40,56
B TN Sembilang
1. Hutan mangrove primer (Hmp) 1. Hutan mangrove sekunder (Hms) 12,30
2. Hutan rawa sekunder (Hrs) 12,30
3. Tambak (Tbk) 0,138
2. Hutan mangrove sekunder (Hms) Tambak (Tbk) 2,68
3. Hutan rawa sekunder (Hrs) Tambak (Tbk) 0,138
Data dan asumsi untuk aspek lingkungan lainnya digunakan berdasarkan hasil
penelitian lapangan pada skala plot serta pendekatan data hasil-hasil penelitian
sebelumnya, terutama di wilayah Sumatera serta pada rentang daerah penelitian yang
posisi koordinat lintang dari garis khatulistiwa relatif tidak berbeda jauh. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi bias dalam valuasi ekonomi lingkungan. Kawasan TN
Sembilang merupakan kawasan khas hutan mangrove dengan keragaman ekosistem
yang cukup tinggi. Terdapat sekitar 17 spesies mangrove, sebanyak 53 spesies
mammalia, terdapat 213 spesies burung, serta 142 spesies ikan dari 43 familia.
Data hasil pengukuran kandungan biomassa berdasarkan pengambilan sampel
pada skala plot di TNS dan di FA disajikan pada Tabel 29.
167
Tabel 29 Data dan asumsi hasil pengukuran kandungan biomassa dan karbon di TNS
dan di FA pada berbagai variabel tutupan lahan
Karbon
Biomassa
No Variabel (tC ha-1)
(ton ha-1)
(0,5*Biomassa) *)
A. Biomassa di dalam kawasan TNS
1. Hutan mangrove primer (Hmp) 454,67 227,33
2. Hutan mangrove sekunder (Hms) 204,41 102,20
3. Belukar rawa (Br) 34,70 17,35
B. Biomassa di luar kawasan (FA)
1. Hutan tanaman industri (Eucalyptus sp.) 151,80 75,90
Keterangan: *) Konstanta : 0,5 = koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi)
(Murdiyarso et al. 2004)
Sumber : Hasil penelitian lapangan pada skala plot di kawasan TNS dan FA (2010)
Stok penduduk merupakan populasi saat ini dan yang akan datang,
pertumbuhannya diasumsikan mengikuti batas-batas pertumbuhan eksponensial yang
dipengaruhi pertambahan (laju natalitas dan migrasi) dan pengurangan penduduk (laju
mortalitas). Parameter pertambahan penduduk dipengaruhi laju natalitas dan migrasi
masuk. Laju natalitas merupakan angka laju kelahiran kasar atau CBR (crude birth
rate) Kabupaten Banyuasin. Parameter pengurangan penduduk dipengaruhi laju
mortalitas (tingkat kematian). Parameter kesempatan kerja dipengaruhi populasi
penduduk dan laju pertambahan kesempatan kerja serta jumlah share kesempatan kerja
model CC. Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model CC disajikan
pada Tabel 30.
Tabel 30 Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model carbon crediting
Nilai awal
No Variabel Satuan
parameter
1. Penduduk 798.360 Jiwa
2. laju kelahiran kasar atau CBR 0,092 1 th-1
3. Laju pertambahan penduduk (r) 2,58 % th-1
4. laju kematian kasar atau CDR 0,008 1 th-1
5. Laju pertambahan kesempatan kerja 3,62 % th-1
Sumber: BPS Banyuasin (2009).
168
Tabel 31 Data dan asumsi submodel Emisi CO2 (lingkungan) pada skenario model
carbon crediting (model CC)
Nilai awal
No Variabel Satuan Sumber
parameter
1. Laju perambahan (rate Deliniasi dan Balai TNS
0.0067 % th-1
encroachment) (2009)
2. Fraksi atomic carbon dioxide 3,66667 tCO2e tC-1 Busch et al. (2009)
3. Pertumbuhan alami (regrowth) C (Wibisono, I.T.C., et al.
0,26 ha-1 th-1
hutan mangrove 2010).
4. Nilai awal Hmp di FA 12.999 ha Deliniasi dan RUTR
5. Rate DD Hmp - APL di FA 4,99 % th-1 Deliniasi dan RUTR
6. Rate DD Hmp - HTI di FA 5,01 % th-1 Deliniasi dan RUTR
7. Nilai awal Hms di FA 5.288 ha Deliniasi dan RUTR
8. Rate DD Hms -HTI di FA 5 % th-1 Deliniasi dan RUTR
9. Nilai awal Hrs di FA 89.168 ha Deliniasi dan RUTR
10. Rate DD Hrs - sawit di FA 40,56 % th-1 Deliniasi dan RUTR
11. Rate DD Hrs - APL di FA 5 % th-1 Deliniasi dan RUTR
12. Nilai awal APL di FA 1.109 ha Deliniasi dan RUTR
13. Rate DD APL - tambak di FA 12,7 % th-1 Deliniasi dan RUTR
14. Fraksi APL - pemukiman di FA 0,0012 ha/jiwa Standar PU
15. Nilai awal Hmp di TNS 35.205 ha Deliniasi citra landsat
16. Rate DD Hmp – Hms di TNS 12,30 % th-1 Deliniasi citra landsat
17. Rate DD Hmp – Hrs di TNS 12,30 % th-1 Deliniasi citra landsat
18. Rate DD Hmp – Tambak di TNS 0,138 % th-1 Deliniasi citra landsat
19. Nilai awal Hms di TNS 0 ha Deliniasi citra landsat
20. Rate DD Hms – Tambak di TNS 2,68 % th-1 Deliniasi citra landsat
21. Nilai awal Hrs di TNS 68.658 ha Deliniasi citra landsat
22. Rate DD Hrs – Tambak di TNS 0,138 % th-1 Deliniasi citra landsat
23. Nilai awal APL di TNS 97.021 Ha Deliniasi citra landsat
24. Nilai awal Tambak di TNS 2.013 Ha Deliniasi citra landsat
25. Reboisasi terhadap APL dan Tbk 5 % th-1 Deliniasi citra landsat
Pembiayaan kegiatan pengelolaan kawasan TNS ini secara garis besar dibedakan
atas biaya investasi dan biaya pengelolaan lingkungan. Biaya-biaya ini ditetapkan
dengan memperhatikan pengalaman pengelolaan kawasan konservasi di wilayah lain
sebagai acuan, standar-standar biaya dari instansi terkait, dan harga-harga yang berlaku
di daerah setempat. Selain dari pada itu dalam penghitungan biaya pengusahaan ini
didasarkan pula pada tingkat discount rate pengelolaan sumberdaya alam yaitu sekitar
10% th-1, yang sudah termasuk faktor moneter serta prediksi inflasi. Atas dasar
penetapan tersebut dilakukan perhitungan besarnya taksiran biaya pada masing-masing
pos pembiayaan. Uraian penggunaan dan besarnya biaya-biaya tersebut adalah sebagai
berikut :
1) Biaya Investasi
- Biaya investasi terdiri dari biaya perencanaan, penataan areal dan pengamanan
tata batas kawasan, pengadaan kendaraan dan peralatan, biaya pembangunan
menara pengawas kebakaran, serta biaya-biaya pembangunan sarana dan
prasarana pendukung kegiatan lainnya. Biaya investasi merupakan biaya-biaya
yang harus dikeluarkan developer untuk pengamanan kawasan dan dikeluarkan
mulai pra operasi sampai beroperasinya proyek yang diusulkan. Rencana
anggaran biaya investasi menggunakan pendekatan biaya rata-rata dari Pusat
selama satu tahun, yaitu sebesar Rp 4,5 milyar th-1. Jadi biaya investasi proyek
IUPJL carbon crediting diasumsikan sekitar 500.000 USD th-1.
- Kegiatan perencanaan lain terdiri dari rencana site plan, penyusunan project
design document (PDD) dan penyusunan studi lingkungan. Biaya PDD
merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh developer IUPJL, mulai dari
permohonan kawasan, baseline study/FS sampai dengan permohonan tersebut
dianggap eligible oleh pemerintah. Mengingat belum ada standar biaya untuk
perencanaan, maka dalam hal ini mengacu pada asumsi biaya AR CDM yang
selama ini sudah berjalan yaitu sekitar 300.000 - 400.000 USD.
171
strip/jalur sepanjang pantai (green belt). Data dan asumsi biaya rencana
pengelolaan disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32 Data dan asumsi biaya rencana pengelolaan submodel ekonomi pada
skenario model carbon crediting (model CC)
Nilai awal
No Variabel Satuan Sumber
parameter
-1
1. Biaya investasi proyek IUPJL 500.000 USD th Balai TNS (2010)
2. Biaya perencanaan (site plan, PDD, 400.000 USD th-1 Standar biaya AR CDM
FS)
3. Biaya proses sertifikasi CER 500.000 USD th-1 Standar biaya AR CDM
4. Biaya pengelolaan lingkungan 500.000 USD th-1 Balai TNS (2010)
5. Biaya reboisasi mangrove 1.501,7 USD ha-1 Ditjen RLPS (2007)
.6. Harga karbon 10 USD tCO2-1 VCS (2007)
7. Social opportunity cost of capital
10 % ha-1 Proyeksi ekonomi
(SOCC)
2) Manfaat Ekosistem
- Manfaat ekosistem adalah manfaat yang menguntungkan seseorang atau
sekelompok orang yang berada di luar (eksternal) dalam hal pengambilan
keputusan tentang penggunaan sumberdaya yang menyebabkan eksternalitas
(Field 1994). Prediksi terhadap manfaat ekosistem ini didekati dengan menilai
seluruh alternatif kegiatan yang mungkin dapat diperoleh dari fungsi ekosistem
hutan mangrove di kawasan TNS.
- Penilaian biaya manfaat ekosistem TNS dirancang untuk pemanfaatan
konservasi mangrove berbasis REDD+ dan pemanfaatan alternatif lain pada
zona tradisional untuk tambak udang. Penilaian biaya manfaat ekosistem
173
th-1. Dengan demikian total biaya ekosistem pada opsi model dasar
(konservasi) diestimasi mencapai 981,50 USD ha-1 th-1 (lihat Tabel 33).
Tabel 33 Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi
Mangrove Carbon Crediting (MCC)
Nilai
No Komponen Asumsi
(USD ha-1 th-1)
A. Manfaat
1. Tegakan kayu (standing stock) 165,00 Proyeksi NFIA
2. Ikan (Fishery) 1.522,24 Proyeksi NFIA
3. Hidupan liar (Wildlife) 8,22 Proyeksi NFIA
4. Keanekaragaman hayati (Biodiversity) 15,00 Proyeksi NFIA
5. Nilai Fisik (Physical value) 726,26 Proyeksi NFIA
6. Nilai keberadaan (Existence value) 2.516,40 Proyeksi NFIA
Total Manfaat 4.953,12
B. Biaya
1. Biaya investasi (Investment cost) 190,39 Per 5 tahun dan kenaikannya
mengikuti proyeksi NFIA
2. Biaya tegakan kayu 108,57 Proyeksi NFIA
3. Biaya Ikan 681,95 Proyeksi NFIA
4. Biaya hidupan liar 0,59 Proyeksi NFIA
Total Biaya 981,50
Nilai Ekonomi Total 3.971,62
Keterangan:
NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output yang dimiliki sektor luar negeri. NFIA
1980-1993: 3%-5% th-1 (World Bank 1996), NFIA 2010-2035: 6%-7% th-1 (proyeksi).
Sumber : Kusumastanto et al. (1998).
keberadaan diestimasi sekitar 2.013,12 USD ha-1 th-1. Selain nilai manfaat
tentunya terdapat konsekuensi pembiayaan untuk pengelolaan Sylfish.
Komponen pembiayaan meliputi biaya investasi sekitar 153,47 USD ha-1 5th-1,
biaya operasional dan pengelolaan sekitar 215 USD ha-1 th-1, biaya-biaya
ekosistem meliputi biaya nilai tegakan kayu 82,34 USD ha-1 th-1, biaya ikan
545,56 USD ha-1 th-1, biaya hidupan liar 0,47 USD ha-1 th-1, serta biaya
eksternalitas diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi hutan mangrove
seluas laju deforestasi dan degradasi hutan (the economic forgone) akibat
aktivitas Sylfish. Biaya eksternalitas diestimasi sekitar 825,91 USD ha-1 th-1
(lihat Tabel 34).
Tabel 34 Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi
tambak udang (shrimp sylvofishery, Sylfish)
Nilai
No Komponen Asumsi
(USD ha-1 th-1)
A. Manfaat
1. Shrimp Sylvofishery 1.249,84 Proyeksi NFIA
2. Tegakan kayu (standing stock) 132,00 Proyeksi NFIA
3. Ikan (Fishery) 1.217,79 Proyeksi NFIA
4. Hidupan liar (Wildlife) 6,58 Proyeksi NFIA
5. Keanekaragaman hayati (Biodiversity) 12,00 Proyeksi NFIA
6. Nilai Fisik (Physical value) 581,02 Proyeksi NFIA
7. Nilai keberadaan (Existence value) 2.013,12 Proyeksi NFIA
Total Manfaat 5.212,35
B. Biaya
1. Biaya investasi (Investment cost) 153,47 Per 5 tahun dan kenaikannya
mengikuti proyeksi NFIA
2.
Tambak udang (Sylvofishery cost) 215,00 Proyeksi NFIA
3.
Tegakan kayu (standing stock) 82,34 Proyeksi NFIA
4.
Ikan (Fishery) 545,56 Proyeksi NFIA
5.
Hidupan liar (Wildlife) 0,47 Proyeksi NFIA
6.
Eksternalitas (Externality) 825,91 Proyeksi NFIA
Total Biaya 1.522,75 Proyeksi NFIA
Nilai Ekonomi Total 3.689,60
Keterangan:
NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output yang dimiliki sektor luar negeri. NFIA
1980-1993: 3%-5% th-1 (World Bank 1996), NFIA 2010-2035: 6%-7% th-1 (proyeksi).
Sumber : Kusumastanto et al. (1998).
tingkat kesesuaian sistem dan kompleksitas model. Oleh karena itu perlu verifikasi dan
validasi model. Verifikasi adalah memeriksa sintesa sistem dengan logika atau analisis
secara teoritik. Verifikasi dapat dibedakan berdasarkan tahapan pemodelannya, yaitu
verifikasi model konseptual dan verifikasi logis. Verifikasi model konseptual adalah
pengujian relevansi asumsi-asumsi dan teori-teori yang dipegang oleh pengambil
keputusan dan analis dalam melakukan cara pandang (point of view) situasi masalah.
Verifikasi logis adalah tahap memeriksa dilibatkan atau diabaikannya suatu variabel
atau hubungan, sehingga aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi model adalah
ukuran performansi sistem.
Validasi merupakan tahap akhir dalam pengembangan pemodelan untuk
memeriksa model dengan meninjau apakah output model sesuai dengan sistem nyata,
dengan memperhatikan konsistensi internal, korespondensi, dan representasi. Tahap
validasi model dilakukan untuk menjawab dua hal berikut, yaitu : 1) Apakah model
konsisten terhadap realitas yang digambarkannya ? 2) Apakah model konsisten dengan
tujuan kegunaan dan hal yang dipermasalahkannya?
Proses verifikasi dan validasi yang dilakukan pada pemodelan sistem ini terdiri
atas verifikasi struktur model dan validasi perilaku model.
(1) Verifikasi Struktur Model.
Yang akan diverifikasi pada pemodelan ini adalah verifikasi struktur dan uji
konsistensi.
pengalaman dapat berupa dari orang lain yang dianggap pakar pada bidangnya maupun
dari sejumlah referensi yang tersedia.
Verifikasi struktur model terdiri dari verifikasi model konseptual dan verifikasi
model logis. Verifikasi struktur memiliki tingkat kepercayaan dan validitas tinggi
apabila struktur model cukup relevan dengan asumsi-asumsi dan teori-teori yang ada
serta digunakan atau tidaknya sejumlah variabel.
Verifikasi model konseptual dalam pengelolaan sumberdaya alam dibangun atas
sejumlah informasi serta studi literatur model dasar. Meadows et al. (1972) dalam
literatur the limits to growth (batas-batas pertumbuhan) telah mengidentifikasi beberapa
hubungan antar variabel yang digunakan dalam model yang dibangun, diantaranya
penduduk, lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Ada hubungan negatif antara tingkat
pertumbuhan ekonomi dengan kondisi lingkungan, hubungan negatif antara jumlah
penduduk dengan kondisi lingkungan, serta hubungan positif antara pertumbuhan
ekonomi dengan tingkat pendapatan penduduk.
Verifikasi model logis merupakan pemeriksaan sintesa sistem dengan logika
atau analisis secara teoritik dengan melihat kecenderungan hubungan antar variabel
yang dimodelkan. Verifikasi kecenderungan hubungan antar variabel merupakan
pengujian tren respon variabel endogen (output) sebagai akibat terjadinya perubahan
variabel eksogen (input) antara sistesa sistem dengan analisis secara teoritik, jika tidak
terdapat intervensi kebijakan terhadap sistem tersebut. Premis dari Meadows et al.
(1972) menunjukkan dimana terdapat hubungan negatif antara jumlah penduduk
dengan kondisi lingkungan sebagaimana disajikan pada Gambar 44.
Tahun
825.000
800.000
775.000
Populasi (jiwa)
750.000
725.000 Data Historis
700.000 Model
675.000
650.000
625.000
600.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Demikian halnya validasi perilaku model pada variabel penyusutan luas hutan
mangrove primer dapat dikatakan sahih, karena memiliki kemiripan antara
kecenderungan hasil simulasi dengan data historis. Hasil pengujian menunjukan nilai
aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan (RMSPEA) sebesar 8,49%,
berada pada batas penyimpangan (error) yang masih dapat ditoleransi secara statistika
(lihat Gambar 46)
179
110.000
100.000
90.000
80.000
Tahun
-1
Keterangan: 1: Tot C Terest TNS pada Skenario model BAU (tCO2 th )
2: Tot C Terest TNS pada Skenario model CC (tCO2 th-1)
Hasil simulasi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove pada dua
skenario model BAU dan model CC menunjukkan tingkat perbedaan sensitivitas
terhadap peningkatan stok karbon terestrial. Faktor determinan variabel laju deforestasi
dan degradasi hutan pada model BAU dengan tingkat laju penyusutan hutan rata-rata
180
sebesar 14.875 ha th-1 menunjukkan total karbon terestrial rata-rata sebesar 211.486
tCO2 th-1 (baseline). Sementara itu, laju deforestasi dan degradasi hutan pada skenario
model CC yang diasumsikan hanya 10% dari tingkat penyusutan hutan model BAU
menunjukkan total karbon terestrial rata-rata sebesar 4,82 MtCO2 th-1. Tingkat laju
karbon terestrial pada dua skenario tersebut membentuk pola S-Shaped growth atau
membentuk contagion model (Kirkwood 1998). Model pertumbuhan ini merupakan
respon hutan mangrove terhadap keterbatasan daya dukung lingkungannya, sebagai
akibat planned deforestation dan unplanned deforestation maupun keterbatasan
organisme itu sendiri seperti faktor umur tanaman maupun penyakit.
Penerapan skenario model CC pada pengelolaan kawasan konservasi TNS
menunjukkan sensitivitas kelayakan usaha yang tinggi terhadap arus penerimaan kas
(cash inflow), terutama perubahan variabel harga karbon. Biaya pengelolaan kawasan
TNS model CC relatif tinggi terutama pembiayaan untuk reboisasi. Luas areal reboisasi
rata-rata 4.900 ha th-1 pada kawasan APL dan areal pertambakan dengan biaya
reboisasi sebesar 7,36 juta USD th-1. Sementara itu rata-rata biaya pengelolaan
lingkungan dan operasional sebesar 1,9 juta USD th-1. Dengan demikian total biaya
pengelolaan lingkungan dan biaya reboisasi adalah 9,26 juta USD th-1. Berdasarkan
estimasi tersebut, maka dengan rata-rata karbon yang dihasilkannya sebesar 1,15
MtCO2 th-1 dapat diperoleh harga pokok penjualan (cost of goods sold) sebesar 8,05
USD tCO2-1.
Dengan demikian skenario model CC akan menjadi pilihan alternatif
pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan, apabila harga ideal karbon minimal 10
USD tCO2-1 dengan profit margin sekitar 25% (2 USD tCO2-1). Gambar 48 dan Tabel
35 memberikan ilustrasi hasil simulasi pada berbagai perubahan harga karbon.
Tahun
Gambar 48 Sensitivitas model pada beberapa perubahan
tingkat harga karbon : (1) 10 USD tCO2-1,
(2) 9 USD tCO2-1, (3) 8,05 USD tCO2-1 (BEP)
181
Tabel 35 Sensitivitas perubahan harga karbon terhadap biaya pengelolaan TNS pada
skenario model carbon crediting
Biaya
Manfaat karbon Profit margin
No Variabel pengelolaan
(juta USD th-1) (juta USD th-1)
(juta USD th-1)
1 Harga karbon : 10 USD t CO2-1 11,5 9,26 2,24
2 Harga karbon : 9 USD t CO2-1 10,35 9,26 1,09
3 Harga karbon: 8,05 USD t CO2-1 9,26 9,26 BEP
Keterangan: BEP=Breakeven point=titik impas
Sementara itu, sensitivitas model pada berbagai laju peningkatan penduduk (r)
menunjukkan hubungan linier. Semakin tinggi tingkat laju populasi penduduk, maka
tekanan penduduk terhadap hutan mangrove di TNS untuk areal tambak semakin
meningkat. Laju pertumbuhan penduduk terhadap tingkat okupasi tambak di kawasan
TNS disajikan pada Gambar 49 dan Tabel 36.
Tahun
Tabel 36 Perubahan tingkat laju populasi penduduk terhadap tingkat okupasi tambak
di TNS
Tingkat okupasi tambak di TNS (ha)
No Variabel
2010 2020 2035
1 Laju pertumbuhan penduduk r = 2,58% 2.013 1.579 1.703
2 Laju pertumbuhan penduduk r = 3,50% 2.013 1.583 2.871
3 Laju pertumbuhan penduduk r = 4,50% 2.013 1.587 7.311
182
Analisis yang dirancang pada sub bab ini untuk mendapatkan dua sasaran pokok
kajian, yaitu optimasi pengelolaan pesisir serta akuntansi karbon (carbon accounting)
pada skenario model dengan cara saat ini (business as usual) dan skenario kredit karbon
(carbon crediting). Analisis Akuntansi Karbon difokuskan untuk mendapatkan
sejumlah perhitungan nilai karbon terestrial yang kridibel. Terdapat tiga sasaran
analisis Akuntansi Karbon yang akan dicapai, yaitu (1) Akuntasi stok (Stock
accounting), (2) Akuntansi emisi (emission accounting), dan (3) Akuntansi reduksi
emisi (emission reduction accounting) melalui dua skenario model BAU dan model
CC.
Pemodelan yang diajukan sebagai alternatif the best economic allocation
merupakan dua opsi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove,
sebagai berikut:
1) Skenario model business as usual (model BAU), yaitu kebijakan pengelolaan
kawasan TNS sebagai kawasan konservasi dengan tingkat laju deforestasi dan
degradasi sebagaimana saat ini berlangsung. Sementara itu kebijakan pemanfaatan
konversi hutan di FA untuk pengembangan industri pertanian secara luas termasuk
pengembangan budidaya tambak. Kebijakan konversi hutan di FA ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan industri pertanian tersebut serta untuk pengembangan
pemukiman, transmigrasi dan infrastruktur. Diprediksi bahwa kebijakan ini
berkontribusi terhadap efek GRK yaitu meningkatnya emisi CO2 di wilayah pesisir
TN Sembilang. GRK pada konsentrasi yang terlalu tinggi di atmosfer bumi
diperkirakan akan membahayakan lingkungan global karena dapat menimbulkan
masalah pemanasan (global warming).
2) Skenario model carbon crediting (model CC), yaitu suatu model alternatif
pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+. Secara filosofis skenario ini
bermakna bahwa konversi hutan pada areal yang tidak dilindungi undang-undang di
frontier area adalah hak kedaulatan semua pihak yang menginginkan perubahan
ekonomi. Dengan tanpa paksaan harus melaksanakan moratorium industri pertanian
hutan tanaman dan kebun, pembangunan tetap harus berjalan untuk masa depan dan
kesejahteraan masyarakatnya. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola pada
kawasan yang dilindungi undang-undang agar dapat mereduksi efek gas rumah kaca
sebagai akibat konversi hutan itu.
Prinsip dasar dalam simulasi dan optimasi alternatif pemodelan ini adalah mencari
suatu model paling kredibel, mengurangi tingkat deplesi sumberdaya alam yang
183
ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab 6.1.3 Formulasi model (input
output simulasi model).
Tabel 37 Perubahan tutupan lahan akibat deforestasi dan degradasi hutan skenario
model BAU di kawasan pesisir TN Sembilang dan di FA selama periode
komitmen 25 tahun pengelolaan (ha)
Periode Komitmen
No Tutupan Lahan Model BAU
2010 (awal) 2020 2035 (final)
A Areal dilindungi UU (TNS)
1 Hutan mangrove primer (Hmp) 35.205 1.710 0
2 Hutan mangrove sekunder (Hms) 0 13.465 8.742
3 Hutan rawa sekunder (Hrs) 68.658 3.084 11
4 Areal Penggunaan Lain (APL) 97.021 178.877 182.551
5 Tambak TNS 2.013 5.760 11.593
Sub Total (A) 202.897 202.897 202.897
Areal tidak dilindungi UU
B
(FA)
1 Areal Penggunaan Lain (APL) 1.109 1.175 393
2 Hutan mangrove primer (Hmp) 12.999 2.562 224
3 Hutan mangrove sekunder (Hms) 5.288 3.166 1.467
4 Hutan rawa sekunder (Hrs) 89.168 0 0
5 Hutan Tanaman Industri 0 53.500 55.980
6 Perkebunan sawit 0 40.219 40.997
7 Tambak FA 0 2.075 3.637
8 Pemukiman dan Infrastruktur 0 5.867 5.867
Sub Total (B) 108.564 108.564 108.564
C Total DD dari TNS dan FA 311.461 311.461 311.461
Selain itu juga dilihat kecenderungan ekosistem TNS pada akhir simulasi sebagai
respon terhadap kebijakan konservasi kawasan tersebut serta opsi pemanfaatan
kawasan pada zona tradisional yang dipertahankan sebagai areal pertambakan.
Pada Tabel 35 menunjukkan dimana pada awal periode simulasi terdapat areal
tambak seluas 2.013 ha, kemudian terjadi pertambahan areal secara berkala mengikuti
laju deforestasi dan degradasi hutan dengan asumsi tidak ada intervensi kebijakan
terhadap kecenderungan tersebut. Pada tahun 2020 diprediksi luas areal tambak
meningkat menjadi 5.760 ha dan mencapai puncaknya pada akhir periode komitmen
tahun 2035 seluas 11.593 ha. Demikian halnya untuk tutupan lahan lainnya, hutan
mangrove primer (Hmp) dan hutan rawa sekunder (Hrs) terjadi deplesi yang sangat
cepat, berubah fungsi manjadi areal penggunaan lain: belukar, belukar rawa, padang
rumput dan sebagainya.
Skenario pengelolaan kawasan TNS untuk dua opsi pemanfaatan, yaitu model
“Konservasi Mangrove” dan “Sylfish” (shrimp sylvofishery)/tambak udang
menunjukkan tingkat the net present value (NPV) yang positif (NPV > 0) serta tingkat
benefit cost ratio yang layak (BC ratio > 1). Hal ini mencerminkan bahwa kedua opsi
pemanfaatan tersebut layak secara ekonomi untuk dikembangkan di kawasan TNS pada
tingkat the social opportunity cost of capital sebesar 10%. Hasil analisis pemodelan
dengan program I-Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 38.
Hasil analisis valuasi ekonomi baseline model (Model BAU) pada opsi
pemanfaatan hutan mangrove TNS secara konservasi menghasilkan the net present
value (NPV) sebesar 1.257,88 juta USD dengan benefit cost ratio (BC ratio) sebesar
5,73. Artinya bahwa jika kawasan TNS ini tetap dibiarkan seperti saat ini, maka dengan
tingkat social opportunity cost of capital (SOCC) sebesar 10%, pada periode komitmen
186
25 tahun akan memberikan manfaat nilai kini bersih sebesar 1.257,88 juta USD pada
kehidupan masyarakat Banyuasin dan sekitarnya dengan kesempatan kerja yang tersedia
sekitar 8 tenaga kerja. Valuasi ekonomi baseline model (model BAU) pada opsi
pemanfaatan konservasi mangrove dan sylvofishery secara rinci disajikan pada
Lampiran 12 dan Lampiran 13.
Sementara itu opsi pemanfaatan hutan mangrove TNS pada zona tradisional
untuk “Sylfish” menghasilkan NPV sebesar 1.101,03 juta USD dengan BC ratio
sebesar 5,32. Jika pada zona tradisional TNS ini dialokasikan untuk budidaya
“Sylfish”, maka akan memberikan manfaat tambahan sebesar nilai ekonomi tersebut
pada tingkat SOCC 10%. Peluang kesempatan kerja yang diciptakan pada opsi ini
relatif besar dibanding opsi pemanfaatan secara konservasi dimana terbuka peluang
sekitar 9.522 tenaga kerja bagi masyarakat Banyuasin dan sekitarnya.
Secara ekonomi, skenario model BAU akan memberikan nilai ekonomi total
(mangrove dan sylfish) sebesar 2.358,91 juta USD, akan tetapi deplesi sumberdaya
hutan mangrove mengalami peningkatan. Apabila laju natalitas penduduk adalah tetap
sebesar 2,58% th-1, maka stok sumberdaya hutan mangrove primer (Hmp) di TNS hanya
dapat bertahan sampai tahun 2026 (sisa 62 ha). Selama periode 2010-2035 terjadi
perubahan fungsi hutan menjadi hutan mangrove sekunder (Hms) 8.742 ha, areal
penggunaan lain (APL) sekitar 182.551 ha dan perubahan luas tambak dari 2013 ha
menjadi 11.593 ha. Ada suatu kecenderungan dimana dengan tingkat laju natalitas itu
pada tahun yang akan datang diprediksi menjadi 1,4 juta jiwa. Pertambahan populasi
ini dapat menyebabkan tekanan terhadap kawasan TNS semakin tinggi.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 5 bahwa tekanan penduduk terhadap
lahan (TP) di wilayah ini termasuk tinggi (nilai TP > 2). Rata-rata kebutuhan lahan
pertanian untuk setiap petani sekitar 1,2 ha. Data tersebut mencerminkan bahwa
penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk
dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar
2,58% th-1 serta rendahnya lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan
degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap hutan mangrove
semakin meningkat.
Data historis laju deforestasi dan degradasi menunjukkan dimana tekanan
penduduk terhadap hutan mangrove TNS rata-rata 3,6% th-1 (1995-2000). Sementara
itu data sisa hasil deforestasi dan degradasi TNS (2006-2010) masih terdapat sekitar
187
35.025 ha hutan mangrove primer, 68.658 ha hutan rawa sekunder dan terdapat sekitar
2.013 ha tambak di Semenanjung Sembilang. Atas dasar data historis ini, pertumbuhan
penduduk dan luas tambak akan semakin bertambah secara linier. Sementara itu
kawasan hutan mangrove primer dan hutan rawa sekunder diprediksi akan terjadi
penyusutan mengikuti pola exponential decay (lihat Gambar 50).
200000
180000
Perubahan luas hutan (ha)
160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
Hmp TNS Hms TNS Hrs TNS APL TNS Tambak TNS
120000
100000
Konversi hutan (ha)
80000
60000
40000
20000
0
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
hutan menjadi hutan tanaman industri (55.980 ha), kebun sawit (40.997 ha), pemukiman
dan infrastruktur (5.865 ha) serta areal pertambakan (3.638 ha).
Pola ekspansi hutan tanaman industri dan perkebunan untuk kepentingan
pembangunan ekonomi merupakan suatu hal wajar dan suatu keharusan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi perlu diantisipasi dampak yang akan
terjadi apabila sumber konversi lahan tersebut masih merupakan hutan, terutama pada
kawasan hutan rawa bergambut dengan kedalaman di atas 3 meter. Pembangunan hutan
tanaman industri dan kebun sawit pada kawasan hutan rawa atau gambut, pada
umumnya membangun sistem drainase. Kanal-kanal tersebut dibuat untuk mengurangi
kelebihan air agar gambut menjadi lebih kering dan tanaman dapat tumbuh lebih subur.
Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat
tersebut sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga
menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap
kebakaran.
Selain itu terdapat kecenderungan perilaku masyarakat di FA dalam
pemanfaatan sumberdaya alam seringkali dilakukan dengan pembuatan kanalisasi
untuk jalur transportasi masuk hutan. Hal ini diprediksi akan menyebabkan
fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan
ekosistem secara keseluruhan. Diferensiasi dampaknya berupa penurunan hasil hutan nir
kayu dan penurunan produktivitas perikanan akan semakin tinggi. Efek perilaku
baseline model tersebut, apabila tidak ada intervensi kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir TNS dan sekitarnya (FA), maka diprediksi deplesi sumberdaya
mangrove akan mengalami peluruhan lebih cepat daripada simulasi model dasar itu
sendiri.
Pada periode awal komitmen pengelolaan sumberdaya pesisir TNS terdapat
areal hutan mangrove yang dilindungi undang-undang seluas 202.897 ha (di dalam
kawasan TNS) dan sekitar 108.564 ha hutan yang tidak dilindungi undang-undang (di
FA), total stok awal sumberdaya hutan mangrove seluas 311.461 ha. Tingkat laju
historis deforestasi dan degradasi hutan baseline model yang terjadi di dua kawasan ini
menunjukkan tingkat laju karbon terestrial yang semakin menurun. Laju penurunan
karbon terestrial secara eksponensial di dua kawasan ini terjadi sebagai akibat gejala
alamiah maupun akibat anthropogenik.
Laju peluruhan karbon terestrial di dalam kawasan TNS lebih disebabkan faktor
yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), seperti kebakaran hutan dan
190
Tabel 39 Akuntansi stok (stock accounting) karbon terestrial pada kawasan dilindungi
(TNS) dan kawasan tidak dilindungi (FA) pada skenario model BAU
(tCO2e)
Akuntansi stok (Stock accounting) Periode Komitmen
No
Model BAU 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS)
1 Karbon Terestrial Hmp TNS 29.345.514 1.425.756 -
2 Karbon Terestrial Hms TNS - 5.045.889 3.275.968
3 Karbon Terestrial Hrs TNS 19.300.107 866.866 3.126
4 Karbon Terestrial APL TNS 1.067.231 1.967.652 2.008.056
Total Stok Karbon Terestrial TNS 49.712.853 9.306.163 5.287.150
B Karbon Terestrial tidak Dilindungi
(FA)
1 Karbon Terestrial APL FA 12.199 12.924 4.321
2 Karbon Terestrial Hmp FA 10.835.459 2.135.733 186.893
3 Karbon Terestrial Hms FA 1.981.590 1.186.451 549.674
4 Karbon Terestrial Hrs FA 25.065.571 - -
Total Stok Karbon Terestrial FA 37.894.819 3.335.108 740.888
C Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA 87.607.671 12.641.271 6.028.037
Keterangan: Hmp: Hutan mangrove primer; Hms: Hutan mangrove sekunder; Hrs : Hutan rawa sekunder
APL: Areal penggunaan lain.
(carbon balance) pada daerah ini dapat dikategorikan sebagai karbon terestrial positif
(carbon sink). Artinya kawasan TNS mampu mengabsorbsi emisi yang dilepaskan dari
deforestasi dan degradasi pada kawasannya sendiri dan mendapatkan surplus karbon
terestrial (carbon gain) sebesar 44,83 MtCO2. Namun demikian kecenderungan model
BAU pada periode komitmen 2020 dan 2035 mengalami penurunan secara eksponensial
menjadi karbon negatif sebesar -21,37 MtCO2 dan -34,71 MtCO2. Kecenderungan
skenario model BAU ini dapat disimpulkan bahwa Neraca Karbon (carbon balance)
kawasan TNS merupakan kawasan karbon terestrial negatif (carbon source) (lihat Tabel
40).
Kecenderungan trajectory karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon
source) pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) mulai
terjadi perubahan sebagai karbon terestrial negatif (carbon source) pada tahun 2014
dan seterusnya pada tahun 2020 sampai akhir periode komitmen tahun 2035.
Kecenderungan trajectory karbon terestrial tersebut mencerminkan bahwa sumberdaya
hutan mangrove di TNS setelah tahun 2014 tidak lagi mampu mengabsorbsi emisi CO2.
Hal ini terjadi sebagai akibat percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan lebih
besar dari pada laju carbon regrowth sumberdaya tersebut (lihat Lampiran 15).
kawasan carbon source masing-masing sebesar -39,39 MtCO2 dan -44,34 MtCO2. Hal
ini terjadi sebagai akibat laju deforestasi dan degradasi hutan untuk pembangunan HTI,
perkebunan sawit, pertambakan, pemukiman dan infrastruktur (lihat Tabel 36 dan
Lampiran 16).
Trajectory stok karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon source)
pada skenario model BAU di FA mulai terjadi perubahan sebagai karbon terestrial
negatif (emisi CO2) pada tahun 2011 dan seterusnya pada tahun 2020 dan sampai pada
akhir periode komitmen pengelolaan tahun 2035. Secara agregat, hasil deliniasi karbon
terestrial model BAU di kawasan TNS dan FA menunjukkan hasil net karbon negatif
baik pada tahun 2020 (-60,75 MtCO2) maupun pada akhir periode simulasi 2035 (-79,06
MtCO2). Kecuali pada awal simulasi terdapat karbon terestrial positif sebesar 73,98
MtCO2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skenario model BAU pada
kawasan TNS dan sekitarnya pada tahun 2010 (awal simulasi) diprediksi merupakan
kawasan carbon sink, sedangkan pada tahun 2020 dan 2035 diprediksi sebagai kawasan
carbon source (sumber emisi CO2) (lihat Gambar 52).
Carbon Terestrial
2010 2020 2035
Net C Terestrial/
49,71 jt 9,31 jt 5,29 jt Emisi C Terestrial TNS
tCO2 tCO2 tCO2
2010 2020 2035
TNS
44,83 jt -21,37 jt -34,71 jt
202.897 ha tCO2 tCO2 tCO2
Emisi Carbon Terestrial
Sink Source Source
2010 2020 2035
4,88 jt 30,68 jt 40,00 jt
tCO2 tCO2 tCO2 Net C Terestrial/
Emisi C Terestrial TNS dan FA
Deliniasi Carbon Terestrial 2010 2020 2035
Model BAU
73,98 jt -60,75 jt -79,06 jt
tCO2 tCO2 tCO2
Sink Source Source
Carbon Terestrial
Gambar 52 Deliniasi carbon accounting model BAU di kawasan pesisir TNS dan FA
194
kriteria NPV, tingkat serapan karbon terestrial (carbon sink) dan emisi karbon
yang dilepaskan (carbon source) serta tingkat penyerapan tenaga kerja.
b) Analisis komparasi tingkat karbon terestrial di TNS dan tingkat karbon terestrial di
FA sebagai konsekuensi dari kebijakan opsi pemanfaatan areal TNS dengan model
CC dan areal konversi di FA secara business as usual. Komparasi ini dilakukan
untuk memprediksi fenomena yang akan terjadi dari kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir itu, apakah bersifat karbon positif (carbon sink) ataukah bersifat
karbon negatif (carbon source).
Skenario model Carbon Crediting dalam konteks penelitian ini merupakan
skenario model pengelolaan kawasan konservasi berupa konsesi ijin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) atau property right berbasis REDD+. Pada
analisis ini dilakukan penafsiran terhadap berbagai kecenderungan yang akan terjadi
sebagai akibat keputusan pemberian konsesi kepada investor atau suatu Badan
Pengelola yang ditunjuk pemerintah. Kecenderungan skenario model CC yang akan
disimulasikan ini pada prinsipnya sebagai akibat dari deforestasi dan degradasi
sumberdaya pesisir baik yang direncanakan (planned deforestation) maupun yang tidak
direncanakan (unplanned deforestation).
Periode awal komitmen pengelolaan sumberdaya pesisir TNS skenario model
CC terdapat areal hutan mangrove yang dilindungi undang-undang seluas 202.897 ha
(di dalam kawasan TNS). Terdiri dari areal hutan mangrove primer (Hmp) seluas
35.025 ha (17,35%), hutan rawa sekunder 68.658 ha dan sekitar 97.021 ha (47,82%)
merupakan areal penggunaan lain (APL) dan sisanya sekitar 2.013 ha (0,99%) areal
pertambakan di zona tradisional. Dengan berbagai upaya pengelolaan kawasan TNS
model CC, restorasi kawasan, reboisasi serta tingkat land security yang lebih terjamin,
diprediksi akan terjadi perubahan fungsi tutupan lahan. Hutan rawa sekunder (Hrs) dan
areal penggunaan lain (APL) diprediksi akan mengalami perubahan tutupan lahan
menjadi hutan mangrove primer (Hmp), masing-masing 99,62% dan 41,61%.
Perubahan tutupan lahan pada skenario model CC disajikan pada Tabel 42 dan secara
rinci disajikan pada Lampiran 17.
196
160.000
140.000
Perubahan tutupan hutan (ha)
120.000
100.000
80.000
60.000
40.000
20.000
-
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
Hmp TNS Hms TNS Hrs TNS APL TNS Tambak TNS
10%, akan memberikan manfaat nilai kini bersih sebesar 5.076,11 juta USD pada
kehidupan masyarakat Banyuasin dan sekitarnya dengan kesempatan kerja yang
tersedia sekitar 98.150 tenaga kerja. Hasil analisis pemodelan dengan program I-
Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 43 dan hasil analisis valuasi ekonomi carbon
crediting secara rinci disajikan pada Lampiran 18 dan Lampiran 19.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mempertahankan berbagai hak dan
kewajiban sehubungan dengan lahan-lahan publik serta memberi hak dan kewajiban
kepada lahan swasta sehubungan dengan kepemilikannya (land ownership). Relevansi
dengan studi ini adalah bagaimana membangun skenario model pengelolaan kawasan
yang dilindungi undang-undang agar dapat mereduksi efek gas rumah kaca sebagai
akibat konversi hutan di FA.
Optimasi alternatif pemodelan dengan skenario model carbon crediting
merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya pesisir yang dapat
dipertimbangkan. Selain memiliki performansi keterandalan dalam mengurangi tingkat
deplesi sumberdaya alam, juga kemampuannya dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah setempat. Kendatipun konsentrasi karbon terestrial terjadi penurunan
di luar kawasan TNS, akan tetapi secara total (TNS dan FA) terjadi peningkatan karbon
terestrial yang semakin menaik mengikuti pola limit to growth (lihat Gambar 54).
140.000.000
120.000.000
100.000.000
Stok Karbon (tCO2)
80.000.000
60.000.000
40.000.000
20.000.000
-
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
Total Karbon Terestrial TNS Total Karbon Terestrial FA Total Karbon Terestrial TNS dan FA
Tabel 44 Akuntansi stok (stock accounting) pada kawasan dilindungi (TNS) dan
kawasan tidak dilindungi (FA) pada skenario model CC (tCO2e)
Akuntansi stok (stock accounting) Periode Komitmen
No
Model CC 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS)
1 Karbon Terestrial Hmp TNS 29.344.893 76.652.086 119.335.373
2 Karbon Terestrial Hms TNS - 112.012 420.192
3 Karbon Terestrial Hrs TNS 19.300.107 404.280 72.581
4 Karbon Terestrial APL TNS 1.067.231 1.183.833 623.125
Total Stok Karbon Terestrial TNS 49.712.231 78.352.210 120.451.272
B Karbon Terestrial tidak Dilindungi (FA)
Berbeda halnya dengan kondisi di luar kawasan TNS (FA), hasil analisis
menunjukkan terjadi penurunan stok karbon terestrial sebagai akibat konversi hutan
secara intensif untuk kepentingan pembangunan ekonomi hutan tanaman industri,
perkebunan sawit dan pemukiman serta infrastruktur. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pengelolaan kawasan hutan di FA adalah hak pemerintah setempat.
Pemda memiliki hak dan kewajiban tersendiri terhadap lahan-lahan swasta untuk
melepaskan atau mempertahankan karbon terestrial. Dengan asumsi bahwa Pemda akan
melepaskan karbon terestrial atau dengan kata lain Pemda tetap mengkonversi hutan
untuk kepentingan pembangunan ekonomi sesuai RUTR, maka selama periode
komitmen pengelolaan TNS model CC harus didasarkan pula pada nilai akuntansi
karbon terestrial di FA.
Keputusan pihak pemda untuk melepas emisi CO2 di FA selama periode
komitmen pengelolaan model CC dapat mereduksi stok karbon terestrial di dalam
kawasan TNS. Hasil analisis stok karbon terestrial di FA terjadi peluruhan secara
eksponential decay, karena pengelolaannya diasumsikan dilakukan dengan cara saat ini
(business as usual). Peluruhan karbon terestrial di FA ini diprediksi dapat
201
45.000.000
40.000.000
35.000.000
Stok Karbon (tCO2)
30.000.000
25.000.000
20.000.000
15.000.000
10.000.000
5.000.000
-
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
MtCO2, pada tahun 2020 sebesar 72,03 MtCO2 dan pada tahun 2035 menjadi sebesar
109,36 MtCO2. Dengan skenario model CC pada kawasan ini dapat dikategorikan
sebagai karbon terestrial positif (carbon sink). Artinya kawasan TNS mampu
mengabsorbsi emisi yang dilepaskan dari deforestasi dan degradasi pada kawasannya
sendiri dan mendapatkan surplus karbon terestrial (carbon gain) sebesar 109,36 MtCO2
(lihat Tabel 45 dan Lampiran 21.
Berbeda halnya di luar kawasan TNS yang tidak menerapkan model CC akan
terus mengalami peluruhan karbon terestrial. Trajectory karbon terestrial (carbon sink)
dan emisi CO2 (carbon source) pada kawasan yang tidak dilindungi (FA) mulai terjadi
perubahan sebagai karbon terestrial negatif pada tahun 2011 dan terus berlanjut sampai
akhir periode komitmen tahun 2035. Hasil simulasi model CC ini menunjukkan bahwa
di luar kawasan TNS (FA) merupakan kawasan karbon terestrial negatif (carbon
source).
Kondisi di FA terjadi peluruhan konsentrasi stok netto karbon terestrial sebagai
akibat adanya faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan. Peluruhan stok netto
karbon terestrial di FA terus berlanjut mengikuti pola asymptotic decline dimana pada
tahun 2020 menjadi -39,07 MtCO2 dan pada tahun 2035 menjadi -44,24 MtCO2 (lihat
Tabel 46 dan Gambar 56 serta Lampiran 22).
50000000
40000000
30000000
20000000
Stok Karbon (tCO2)
10000000
0
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
-10000000
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
-20000000
-30000000
-40000000
-50000000
Tahun
120.000.000
100.000.000
80.000.000
Stok karbon netto (tCO2)
60.000.000
40.000.000
20.000.000
-
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
(20.000.000)
Fi
(40.000.000)
(60.000.000)
Tahun
Tot Karbon netto TNS Tot Karbon netto FA Tot Karbon netto TNS dan FA
Pola konsentrasi karbon terestrial di kawasan pesisir TNS akan terus mengalami
peningkatan kembali mulai tahun 2013 sejalan dengan pemanfaatan lahan dan
produktivitas lahan di FA sudah optimal. Demikian pula halnya di kawasan TNS
dimana penghijauan, restorasi dan komitmen penerapan carbon crediting sudah dapat
dilakukan secara efektif. Pada tahun 2020 konsentrasi net karbon terestrial di TNS dan
di FA terdapat sekitar 32,96 MtCO2 dan pada akhir periode komitmen 2035 diprediksi
dapat mencapai 65,11 MtCO2. Kendatipun terdapat penurunan konsentrasi karbon
sejak awal periode, namun secara agregat terdapat stok netto total karbon terestrial
yang positif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa opsi pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dengan skenario model CC mampu mentransformasi
kawasan dari kategori carbon source menjadi kawasan carbon sink sebesar 65,11
MtCO2 selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan, atau rata-rata setiap tahunnya
sekitar 2,60 MtCO2 th-1. Hasil deliniasi karbon terestrial dan emisi karbon di kawasan
pesisir TNS dan FA disajikan pada Gambar 58.
205
Carbon Terestrial
Gambar 58 Deliniasi carbon accounting skenario model CC di kawasan pesisir TNS dan FA
206
Hasil analisis perbandingan tingkat emisi CO2 model BAU dan model CC di dua
kawasan TNS dan FA relatif cukup besar. Jumlah emisi karbon model BAU pada akhir
periode komitmen berjumlah 85,09 MtCO2, sementara itu jumlah emisi karbon model
CC pada akhir periode komitmen (tahun 2035) berjumlah 56,18 MtCO2. Dengan
demikian terdapat sejumlah emisi CO2 yang dapat dihindarkan (avoided emission)
sebesar 28,91 MtCO2, atau rata-rata 1,15 MtCO2 th-1 (lihat Gambar 59).
Jumlah emisi terhindarkan itu merupakan emisi CO2 yang dapat ditransaksikan
dengan pihak pembeli (buyer) atau sebagai dasar penilaian payment for ecosystem
services (PES). Pihak pemanfaat lingkungan dapat memberi insentif atau membayar
pembelian kredit karbon kepada pengelola lingkungan setelah melalui proses sertifikasi
reduksi emisi dan dibayarkan berdasarkan ERPA (emission reduction purchase
agreement). Apabila insentif atau harga rata-rata karbon di pasaran internasional
diasumsikan sebesar 10 USD tCO2-1, maka akan diperoleh nilai carbon revenue sekitar
289,10 juta USD selama periode komitmen berlangsung atau rata-rata sekitar 11,56 juta
USD th-1 (lihat Tabel 47 dan Lampiran 23).
Tabel 47 Nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) carbon crediting pengelolaan sumberdaya
mangrove di kawasan TNS (USD)
Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L)
No Pihak penerima NJ2L
2010 2011 2020 2035
A Net Carbon Revenue 0 61.037.079 243.576.134 289.114.110
B Distribusi NJ2L
1 Pemerintah pusat (20%) 0 12.207.416 48.715.227 57.822.822
2 Pemerintah kab/kota (20%) 0 12.207.416 48.715.227 57.822.822
3 Pemerintah provinsi (10%) 0 6.103.708 24.357.613 28.911.411
4 Masyarakat (20%) 0 12.207.416 48.715.227 57.822.822
5 Developer (30%) 0 18.311.124 73.072.840 86.734.233
Distribusi nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) mengacu pada Permenhut No.
36/2009 dimana alokasi NJ2L untuk : pemerintah pusat 20%, pemda kabupaten/kota
20%, pemda provinsi 10%, masyarakat 20% dan developer sebesar 30%. Hasil simulasi
menunjukkan dimana kontribusi NJ2L untuk masyarakat sebesar 57,82 juta USD selama
periode komitmen atau rata-rata sekitar 2,31 juta USD th-1. Nilai jasa lingkungan
tersebut relatif besar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Yang diperlukan ke depan adalah model pengelolaan insentif
tersebut agar efektif dan berdaya guna bagi masyarakat.
207
0 24,36 jt 28,91 jt
tCO2 tCO2 tCO2
TNS Emisi Carbon Terestrial
Gambar 59 Deliniasi emission reduction accounting pada skenario model CC dan model BAU di kawasan pesisir TNS
dan FA
208
Skenario model BAU dan skenario model CC merupakan dua model dengan
pendekatan simulasi untuk memprediksi apa yang akan terjadi (what would happened)
dan pendekatan optimasi pada zona pemanfaatan dan zona tradisional untuk kegiatan
apa yang sebaiknya dilakukan (what should happened). Struktur model dua skenario
tersebut merupakan hubungan sebab akibat (causal relation) dengan tujuan untuk
valuasi ekonomi sumberdaya mangrove dengan efek yang ditimbulkannya berupa emisi
CO2.
Dua skenario model ini memberikan gambaran antara preferensi stakeholders di
FA pada satu pihak dan preferensi stakeholders di kawasan TNS pada pihak lainnya.
Model BAU mencerminkan preferensi dimana pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam adalah untuk kepentingan pembangunan ekonomi secara maksimal
dengan tingkat waktu pengembalian investasi yang paling cepat. Sebaliknya model CC
mencerminkan preferensi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pada kawasan
yang dilindungi dengan memperhatikan keberlanjutan stok sumberdaya alam secara
kontinyu. Selain itu juga memberi harapan pada saat ini dan mendatang baik secara
ekonomi maupun adanya keseimbangan kondisi karbon terestrial dan emisi CO2 di
kawasan tersebut.
Model BAU dan model CC merupakan model dinamik yang bersifat kontinum
dan dapat menjelaskan adanya proses penurunan dan peningkatan jasa-jasa lingkungan
dari waktu ke waktu selama 25 tahun simulasi model. Terlihat dengan jelas bahwa di
masa yang akan datang kerja keras harus dilakukan untuk menghasilkan skenario
alternatif yang dapat menunjukkan pola mitigasi dan pola adaptasi dalam pengelolaan
kawasan konservasi TNS secara berkelanjutan, baik bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar TNS maupun masyarakat di luar kawasan yang tergantung pada ketersediaan
jasa-jasa lingkungan. Penilaian terhadap jasa-jasa lingkungan, cukup penting untuk
memberikan kesadaran dan pemahaman mengenai manfaat yang dapat diperoleh serta
dapat membantu dalam pengambilan keputusan.
Dalam konsep ekonomi lingkungan, Perman et al. (1996) menjelaskan bahwa
dalam perspektif biofisik, emisi CO2 merupakan bahan pencemar yang bersifat stock
pollution dimana kerusakan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari stok residu dan
bersifat kumulatif. Dalam konteks laju deforestasi dan degradasi hutan mangrove,
sejumlah emisi CO2 akan disekuestrasi oleh tanaman tersebut dan disimpan secara
kumulatif dalam bentuk biomassa atau karbon.
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa daya serap mangrove terhadap karbon
jauh lebih tinggi (227,3 tC ha-1) daripada tanaman hutan lainnya seperti Acacia
209
mangium (62,08 tC ha-1) atau Eucalyptus sp. (75,89 tC ha-1). Dengan adanya
keterkaitan mangrove dan emisi CO2 ini, maka akan terjadi loop dengan ecosystem
services sector pada komponen carbon (climate regulation). Demikian seterusnya
secara kontinum berkoneksi dengan sektor lainnya.
Hasil analisis model CC menunjukkan nilai ekonomi total dari opsi pemanfaatan
carbon crediting dan opsi sylvofishery berdasarkan the net present value (NPV) sebesar
8.487,78 juta USD (3,6 kali > NPV BAU) yang dapat mendorong peluang kesempatan
kerja sebesar 100.410 tenaga kerja (11 kali > model BAU). Sementara itu model BAU
menghasilkan nilai ekonomi total berdasarkan NPV-nya sebesar 2.358,91 juta USD
dengan peluang kesempatan kerja sekitar 9.530 tenaga kerja. Besarnya peluang
kesempatan kerja model CC terjadi karena terdapat alokasi carbon revenue bagi
masyarakat secara langsung sebesar 20% dan untuk pemerintah Kabupaten Banyuasin
20%. Kontribusi ini dapat mempengaruhi tingkat investasi langsung per tenaga kerja di
wilayah Kabupaten Banyuasin, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah
setempat, peluang kesempatan kerja baru serta peningkatan pendapatan masyarakat.
Selain itu juga secara ekologis terdapat jaminan stok sumberdaya hutan mangrove dari
35.205 ha tahun 2010 meningkat menjadi 143.166 ha pada tahun 2035. Artinya bahwa
kawasan hutan mangrove primer yang terdegradasi dan terdeforestasi pada model BAU
akan tertutupi mangrove primer dengan model CC seluas 143.166 ha pada tahun 2035.
Sementara itu areal penggunaan lain (APL) pada model BAU seluas 182.550 ha akan
terjadi pengurangan pada model CC menjadi 56.647 ha. Secara diagramatis disajikan
pada Gambar 60 dan Gambar 61.
160000
140000
Perubahan luas mangrove (ha)
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
Hmp TNS model BAU (w ithout REDD+) Hmp TNS model CC (w ith REDD+)
200000
180000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
Perbandingan tingkat emisi CO2 yang terhindarkan antara model CC dan model
BAU di areal TNS merupakan basis penilaian karbon terestrial yang dapat
ditransaksikan. Pengukuran tingkat emisi karbon pada model BAU dan model CC pada
berbagai tutupan lahan disajikan pada Tabel 48 dan secara rinci disajikan pada
Lampiran 24.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat emisi CO2 pada skenario
model BAU di kawasan TNS relatif tinggi (40 MtCO2). Perubahan emisi tertinggi
terjadi pada areal tutupan hutan mangrove primer (Hmp) sebesar 27,15 MtCO2.
Tingginya emisi CO2 dari kawasan Hmp ini karena adanya faktor pendorong deforestasi
dan degradasi hutan yang tidak direncanakan menjadi fungsi hutan mangrove sekunder
(Hms) serta areal penggunaan lain (APL): belukar, belukar rawa, padang rumput,
pertanian, sawah, tambak dan sebagainya. Fenomena tersebut dapat mengganggu
ketersediaan stok hutan mangrove primer dan akan terus mengalami penyusutan secara
exponential decay dan stok Hmp hanya dapat bertahan sampai tahun 2026. Demikian
halnya di FA terdapat sejumlah emisi CO2 yang dilepaskan sebesar 45,09 MtCO2 dan
tertinggi bersumber dari degradasi dan deforestasi hutan rawa sekunder. Di FA dan di
TNS akan terus terjadi pelepasan emisi CO2 secara exponential growth dan emisi yang
dilepaskan secara kumulatif sebesar 73,04 MtCO2 pada tahun 2020 dan sebesar 85,09
MtCO2 pada tahun 2035.
Sementara itu kawasan TNS yang menerapkan model CC terdapat sejumlah
emisi yang dilepaskan dan secara kumulatif sebesar 49,04 MtCO2 pada tahun 2020 dan
sebesar 56,18 MtCO2 pada tahun 2035. Dengan demikian terdapat reduksi emisi CO2
selama umur periode komitmen pelaksanaan carbon crediting sebesar 28,91 MtCO2
atau rata-rata sebesar 1,15 MtCO2 th-1. Perbandingan net emisi CO2 model BAU
(without REDD+) dan model CC (with REDD+) di kawasan TNS disajikan pada
Gambar 62.
90.000.000
80.000.000
60.000.000
50.000.000
40.000.000
30.000.000
20.000.000
10.000.000
-
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi
Tahun
Pada Gambar 62 menunjukkan dimana kurva net emisi CO2 FA BAU terjadi
over shooting pada tahun kedua (2011), sehingga terjadi lonjakan emisi CO2. Hal ini
terjadi karena ada faktor pendorong yang direncanakan (planned deforestation) berupa
pemberian ijin konsesi untuk hutan tanaman industri dan perkebunan sawit (agriculture
expantion). Diprediksi pihak pemegang ijin konsesi akan segera mengkonversi areal
tersebut pada awal-awal tahun pengelolaan.
Apabila sistem pengelolaan kawasan pesisir saat ini (model BAU) terutama di
FA berlangsung terus tanpa ada intervensi kebijakan¸ maka secara hipotetis akan
terjadi kecenderungan di masa mendatang sebagai berikut:
1) Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di areal TNS pada skenario model
BAU, maka akan terjadi kecenderungan penurunan kapasitas carbon stock, sehingga
akan terjadi peningkatan pemanasan global yang berdampak pada terhambatnya
proses suksesi alami hutan alam. Bila ini terjadi, maka ekosistem pesisir dan laut
juga akan terpengaruh, sehingga dapat mengganggu kestabilan stok sumberdaya
perikanan di kawasan pesisir TNS dan sekitarnya.
2) Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di FA pada skenario model BAU,
maka diprediksi akan terjadi peningkatan erosi, serta mengganggu hidrologi dan
biomassa hutan mangrove. Rendahnya biomassa magrove dapat mempengaruhi
proses evaporasi dan presipitasi, sehingga volume air hujan yang jatuh langsung ke
tanah semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan runoff permukaan dan erosi,
sehingga sedimentasi di daerah estuaria TNS semakin meningkat. Kecenderungan
meningkatnya sedimentasi dikhawatirkan akan terjadi proses HAB (harmful algae
blooming) yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal serta
terhambatnya proses suksesi alami (regrowth) pada jenis-jenis mangrove tertentu.
Bila ini terjadi, maka kestabilan stok sumberdaya perikanan di wilayah Sembilang
dan sekitarnya akan terganggu, carbon sequestration hutan mangrove TNS
terhambat dan akhirnya dapat menganggu pula pada ecosystem services sector serta
land use sector.
penyebab masalahnya yang meliputi berbagai aspek sosial politik, aspek ekonomi serta
aspek lingkungan.
Fakta ilmiah di wilayah studi menunjukkan bahwa pembangunan telah
berkembang dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi tujuan dari aspek
perbaikan kualitas lingkungan belum optimal. Dengan pendekatan yang terlalu
berorientasi pada economic growth, dikhawatirkan dalam jangka waktu singkat dapat
mempercepat deplesi sumberdaya hutan mangrove, peningkatan emisi CO2 serta
menimbulkan spektrum dampak yang cukup luas pada sektor lainnya. Keadaan ini pada
akhirnya akan menimbulkan turbulensi pada sektor perekonomian itu sendiri. Untuk
menghindari probabilitas kerusakan sumberdaya hutan mangrove di wilayah pesisir,
maka perlu dirumuskan suatu strategi transformasi pembangunan ekonomi dengan cara
biasa (business as usual) ke arah pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis
REDD+.
Perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir memerlukan suatu instrumen
kebijakan yang konsisten agar ketiga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai:
pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan antar generasi.
Dengan demikian diharapkan tingkat kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang
(inter generational welfare) dapat lebih terjamin.
Masalah kebijakan publik akan timbul manakala kondisi sumberdaya alam dan
lingkungan tidak sesuai antara harapan dan realitas. Demikian pula dengan pengelolaan
sumberdaya pesisir khususnya TN Sembilang. Agar supaya ketiga tujuan pembangunan
secara berkelanjutan tercapai, maka diperlukan suatu pendekatan kebijakan publik
berbasis sistem: sibernetika, holistik dan efektif. Artinya rumusan kebijakan sebaiknya
berorientasi pada tujuan (cybernetic) yang diharapkan, integratif (holistic) dengan
berbagai sektor serta efisien dan efektif (effectiveness) jika diimplementasikan dengan
prioritas dapat berhasil guna. Kebijakan publik berbasis sistem dapat direfleksikan
dalam berbagai pendekatan kebijakan.
Prinsip cybernetic dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dapat dirumuskan
dengan kebijakan sosial politik dimana terdapat tujuan utama yang harus dicapai yaitu
mereduksi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan. Prinsip holistic dapat
dirumuskan dengan kebijakan kelembagaan, yaitu adanya keterpaduan antar sektor
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Sementara itu prinsip effectiveness dapat
dirumuskan dengan kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan yang
didasarkan pada efisiensi pemanfaatan sumberdaya.
214
Dalam menghadapi berbagai retorika tersebut serta tujuan utama reduksi emisi
CO2 yang harus dicapai, maka diperlukan rumusan kebijakan secara sosial politik untuk
aksi mitigasi adalah sebagai berikut :
a. Secara sosial, dampak tekanan penduduk terhadap lahan perlu diantisipasi dengan
mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk pada tingkat maksimum 2,58% th-1, baik
pengontrolan terhadap laju natalitas maupun pengontrolan laju inmigrasi pada
kebijakan transmigrasi saat ini. Tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di daerah
penelitian relatif tinggi (TP=2,4) dengan tingkat kebutuhan lahan minimal untuk
hidup layak rata-rata 1,02 ha org-1. Fakta ilmiah ini menunjukkan diperlukannya
instrumen kebijakan sosial yang kuat berupa pembinaan masyarakat pesisir dalam
hal pola adaptasi perubahan iklim serta pola intensifikasi lahan untuk ketahanan
pangan. Pembinaan pola adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat berupa peningkatan mata pencaharian alternatif.
Sementara itu pola intensifikasi lahan dapat dilakukan berupa pembinaan
masyarakat dalam teknik budidaya pertanian dan perikanan.
b. Secara politik, pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ akan efektif
apabila ada intervensi kebijakan terhadap rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Adanya kebijakan politik terhadap pengaturan lahan terutama pada areal yang masih
berhutan dapat mengurangi laju emisi yang akan terjadi. Prioritas pemanfaatan lahan
marjinal untuk berbagai kepentingan pembangunan ekonomi merupakan tindakan
yang paling bijaksana. Jika terdapat keterpaksaan harus melakukan konversi hutan,
maka luas maksimum yang masih dapat ditoleransi adalah kurang dari 40% pada
HPK (hutan produksi dapat dikonversi). Hal ini untuk menjaga karbon netto pada
kawasan hutan mangrove (TNS) sebagai akibat adanya konversi HPK di FA. Hutan
produksi yang dapat dikonversi tersebut (HPK) sebaiknya dialokasikan pada
kegiatan serta dengan cara-cara pengelolaan yang rendah emisi. Moratorium
konversi hutan harus diberlakukan terutama pada hutan tegakan padat serta hutan
gambut kedalaman di atas 3 meter. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi
masuk hutan gambut sebaiknya dipertimbangkan kembali, karena hal ini diprediksi
akan menyebabkan fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar,
serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Dampak kanalisasi serta
sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat tersebut sering kali
menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi,
gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran.
216
Sementara itu dalam hal monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi tanggung jawab
lintas departemen teknis terkait (lintas sektoral) pusat dan daerah yang tergabung dalam
Badan Lingkungan Hidup (BLH) termasuk LSM didalamnya.
Persentase kepemilikan saham dapat diusulkan sebagaimana persentase
distribusi NJ2L (nilai jual jasa lingkungan) untuk hutan lindung, yaitu: Pusat 20%,
Provinsi 10%, Kabupaten/Kota 20%, Masyarakat 20% dan investor (developer) 30%.
Demikian juga untuk distribusi pembayaran REDD+, dialokasikan berdasarkan
persentase tersebut. Satu hal pengecualian dimana kepemilikan saham masyarakat
sebaiknya ditetapkan berdasarkan golden share. Artinya masyarakat harus ditempatkan
dan diberikan sebagai pihak yang memiliki privileges (hak-hak istimewa). Masyarakat
yang dilibatkan adalah masyarakat yang hidupnya tergantung pada kawasan hutan dan
dihimpun dalam suatu kelompok usaha bersama atau koperasi. Namun demikian
penyertaan modal dapat juga diberikan dalam bentuk hutang pemegang saham koperasi
yang akan dikonversi dari keuntungan usaha.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tatanan organisasi ini adalah:
jenis-jenis kegiatan usaha penunjang dalam kawasan TNS yang diijinkan terutama
untuk alokasi kegiatan-kegiatan yang tidak berpotensi menghasilkan emisi CO2; fungsi
dan luas dari masing-masing zonasi dalam kawasan; keadaan dalam kawasan dan
sekitar kawasan (FA); serta manajemen pengelolaan kawasan.
Dalam pelaksanaan serta untuk mengamankan kawasan (land security), pihak
pemda dapat membuat regulasi pengelolaan kawasan dalam suatu Peraturan Daerah
(Perda), baik menyangkut Badan Pengelolanya maupun sistem dan mekanisme
pengusahaannya serta pengawasan distribusi pembayaran hasil penjualan karbon.
Dengan demikian dalam implementasinya terhindar dari praktek-praktek pengusahaan
TNS yang tidak bertanggung jawab.
Dalam hal pendistribusian pembayaran REDD+, Ginoga et al. (2010)
merumuskan mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan persepsi dari
Departemen Keuangan dengan memperhatikan sumber dana yang digunakan, yaitu: (1)
Dana hibah (grant), (2) Dana dari penjualan CER, (3) Dana investasi. Secara
diagramatik disajikan pada Gambar 63.
218
Buyer/
Entitas internasional
CCM VCM
Pemerintah Pusat
Pajak
Pemerintah Daerah PPN,
PPh
Pengelola
Masyarakat
masyarakat. Pada ketiga alur distribusi pembayaran REDD+ tersebut, pihak Pengelola
memiliki obligasi pembayaran pajak, baik PPN maupun PPh, sebagai kompensasi
penggunaan hutan untuk usaha REDD+.
Dalam rangka implementasi REDD+ diperlukan sistem kelembagaan yang
kredibel dan independen, baik dalam hal : (a) Pengukuran (measuring), pelaporan
(reporting) dan verifikasi (verifying), (b) Registrasi, (c) Pelaksanaan, maupun (d)
Supervisi. Selain itu lembaga ini juga harus dibentuk dan bersifat : (a) Coordinating
body yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia, (b) Accelerator yang
mampu mendorong percepatan pelaksanaan REDD+, (c) Effectiveness dan Safeguards
dalam hal efisiensi biaya serta prinsip distribusi manfaat yang lebih berkeadilan dan
mampu memberikan pengamanan dan perlindungan bagi pihak-pihak yang akan
melaksanakan REDD+. Untuk efektivitas pelaksanaan, kedudukan lembaga REDD+
berada di bawah kontrol Presiden dengan instrumen hukum sesuai perundang-
undangan. Dengan lembaga REDD+ yang lebih kredibel dan sifat-sifatnya tersebut serta
kedudukan lembaganya yang sangat strategis itu diharapkan akan lebih berdaya guna
dalam implementasinya di masa datang.
Prosedur perijinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan berupa penyerapan
karbon dan penyimpanan karbon ini sebaiknya lebih efisien dan ada kepastian dalam
proses penyelesaiannya di instansi teknis terkait, hal ini berlaku untuk areal yang tidak
dibebani hak. Sementara itu untuk areal yang telah dibebani hak, proses perijinannya
cukup mendaftarkan inisiatifnya untuk melakukan upaya REDD+, sehingga hal ini
dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost).
Sementara itu Reference emission level (REL) untuk usaha penyerapan dan
penyimpanan karbon sebaiknya dilakukan secara nasional, sehingga terdapat kepastian
dalam menetapkan baseline study. Dalam hal kawasan konservasi yang berada di
wilayah yang emisi historisnya rendah, maka sebaiknya tidak diwajibkan menggunakan
REL secara historis.
Berdasarkan fakta ilmiah hasil simulasi pada dua skenario yang dikembangkan
menunjukkan pola kriteria pareto optimum. Tingkat alokasi sumberdaya mangrove
memberikan peningkatan benefit kepada variabel sylvofishery, tetapi memberikan
dampak pada turunnya variabel karbon terestrial. Oleh karena itu basis pengambilan
220
keputusan diantara dua opsi pemanfaatan pada skenario model CC tersebut harus
didasarkan pada aspek efisiensi optimum pemanfaatan sumberdaya alam.
Penerapan model investasi domestik maupun asing dalam proyek pengelolaan
hutan mangrove berbasis REDD+ menunjukkan bahwa karakteristik insentif atau pun
harga karbon yang rendah sangat merugikan negara-negara produsen karbon. Pasar
kredit emisi karbon akan eksis apabila pendapatan dari kegiatan REDD+ lebih besar
atau minimal sama dengan pendapatan yang diperoleh dari alternatif penggunaan lain.
Selain itu juga tidak ada kesenjangan harga karbon yang terlalu besar antara harga
karbon di pasar negara-negara produsen (Non- Annex-I Country) dengan harga karbon
di negara-negara konsumen (Annex-I Country).
Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini merupakan
komitmen nasional dan akan mencapai optimasi pemanfaatan pada tingkat payment for
ecosystem services (PES) di atas 8 USD tCO2-1. Apabila nilai karbon pada mekanisme
standar market (pasar wajib maupun pasar sukarela berdasarkan mekanisme Kyoto dan
non-Kyoto) terdistorsi yang menyebabkan jatuhnya harga, maka disarankan untuk
memanfaatkan peluang sumber pendanaan lainnya, yaitu: (1) non-open market yang
bersumber dari dana publik, seperti dana-dana CSR nasional dan internasional maupun
dana publik lainnya, (2) Dana kerjasama bilateral dan multilateral untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim seperti Debt for Nature Swap
(DNS), yaitu pengalihan hutang yang digunakan untuk membiayai program konservasi
keanekaragaman hayati dan hutan tropis, maupun dana hibah lainnya untuk membantu
negara berkembang dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. Apabila mekanisme REDD+
sudah disetujui oleh para pihak penandatangan konvensi anggota PBB, maka kredit
karbon dari kegiatan REDD+ dapat diperjual belikan nantinya setelah tahun 2012.
Kebijakan penurunan emisi 26% pada tahun 2020 merupakan komitmen
Pemerintah Indonesia tentang keseriusannya dalam membantu mengurangi emisi GRK
tanpa bantuan negara asing. Bahkan bila ada bantuan internasional dalam hal
pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dapat ditingkatkan menjadi
41%. Untuk merealisasikan komitmen Pemerintah dalam penurunan emisi GRK sebesar
26% dan 41% tersebut, maka pengelolaan 50 Taman Nasional yang ada di Indonesia
dengan luas sekitar 12,7 juta ha dapat dipertimbangkan pengelolaannya berbasis
REDD+.
Penurunan emisi GRK sebesar 26% dan 41% merupakan suatu keniscayaan
dapat direalisasikan dengan berbagai skema pendanaan. Beberapa sumber (Boer et al.
221
2009) menjelaskan bahwa salah satu dana multilateral untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan demonstrasi REDD ialah FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) dan
Climate Investment Funds (CIF) yang dikelola oleh World Bank (WB). CIF terdiri dari
: (1) Strategic Climate Fund (SCF) yang dibawahnya terdapat dana program Forest
Investment Fund (FIP) untuk mendukung pelaksanaan REDD+, dan (2) Clean
Technology Fund (CTF) untuk mendukung dan mengembangkan kegiatan atau program
penurunan emisi dalam penggunaan teknologi rendah emisi menjadi skala yang lebih
besar diantaranya yang ada di sektor pertanian. Dana Bilateral yang ditawarkan ke
Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kegiatan REDD+ juga sudah banyak tersedia
diantaranya dari negara-negara: German (melalui KfW dan GTZ melalui Biro KLN
Dephut), Australia, Korea (melalui AFOCO/Asia Forest Cooperation Organization)
untuk mendukung negara ASEAN dan Asia Timur dalam melaksanakan proyek-proyek
hijau (green projects) dan sumber pendanaan negara lainnya.
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka penerapan kebijakan skenario
model CC dalam pengelolaan sumberdaya pesisir akan mencapai tujuan pembangunan
secara berkelanjutan. Selain itu dengan skenario model CC dapat memberikan
kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam
rangka penurunan emisi GRK.
Secara agregat, hasil simulasi skenario model CC menunjukkan bahwa kawasan
TN Sembilang memiliki potensi karbon sekuestrasi sebesar 109,36 MtCO2 selama umur
simulasi atau rata-rata sebesar 4,37 MtCO2 th-1. Secara kumulatif pada tahun 2020
kawasan TN Sembilang dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan
emisi GRK sebesar 72,03 MtCO2. Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi
Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO2 (DNPI 2009) dimana penurunan emisi
26% adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kawasan
pesisir TN Sembilang mampu memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sekitar
10,65% terhadap komitmen penurunan emisi Pemerintah Indonesia pada tahun 2020
atau sekitar 2,77% terhadap total prediksi potensi emisi GRK nasional. Tingkat karbon
sekuestrasi di wilayah pesisir TNS secara rinci disajikan pada Lampiran 24.
Berdasarkan hasil analisis skenario model CC tersebut menunjukkan bahwa
efisiensi optimum akan tercapai apabila opsi pemanfaatan hutan mangrove dialokasikan
pada kegiatan-kegiatan rendah emisi karbon. Tingkat karbon sekuestrasi kawasan TNS
sangat tergantung pada tingkat emisi CO2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi
hutan mangrove primer (Hmp, C:227,3 tCha-1) di FA untuk hutan tanaman industri
222
(Eucalyptus sp. C:75,9 tCha-1) menunjukkan dimana tingkat emisi CO2 yang
dihasilkannya relatif lebih rendah (555,13 tCO2 ha-1) dibanding emisi karbon hasil
konversi untuk tambak (833,43 tCO2 ha-1). Demikian halnya konversi pada hutan rawa
sekunder (Hrs, C:77 tCha-1) untuk hutan tanaman, emisi CO2 yang dihasilkannya
sebesar 4,03 tCO2 ha-1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi
karbon sebesar 282,33 tCO2 ha-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alokasi
areal untuk tambak akan menghasilkan rendah emisi karbon apabila pemanfaatannya
berasal dari lahan-lahan marjinal.
Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ sangat erat kaitannya
dengan proses produksi yang bercirikan rendah karbon. Atas dasar itu, diperlukan aksi
pengelolan tata ruang yang tahan perubahan iklim dengan tidak melakukan kanalisasi
pada aksi pemanfaatan ruang di lahan gambut. Hal ini dapat menyebabkan subsidensi,
yaitu penurunan water table di bawah gambut yang menyebabkan kekeringan dan
sangat rentan terhadap kebakaran. Selain itu agar unit-unit pelaksana teknis di wilayah
Kabupaten Banyuasin, khususnya di kawasan pesisir TN Sembilang dapat melakukan
pemberdayaan masyarakat pesisir pada aspek penguatan mata pencaharian alternatif.
Melalui cara itu diharapkan tingkat resiliensi penduduk menjadi lebih tinggi terhadap
perubahan iklim global.
Kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dengan pendekatan
model SAVE DYNAMIC dapat diaplikasikan di wilayah Taman Nasional lain di
Indonesia, sehingga data-data kandungan karbon berbagai tutupan lahan yang
dihasilkan pada penelitian ini (TNS) dengan kategori Tier-3 dapat digunakan sebagai
data default Tier-2 untuk Taman Nasional (TN) lainnya. Sementara itu untuk data-data
kandungan karbon yang masih menggunakan data default Tier-2 pada penelitian ini,
maka untuk implementasi di TN lainnya dapat dilakukan penelitian secara allometrik
pada kategori Tier-3.