Anda di halaman 1dari 70

6 MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR

BERBASIS REDD+

Pemodelan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ dalam bab ini


dikaji berdasarkan pendekatan pemodelan sistem dinamik. Pemodelan sistem dinamik
merupakan abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual yang mampu memprediksi
kemungkinan yang akan terjadi di masa depan berdasarkan penelusuran jalur waktu
(time path). Dalam hal ini yang dikaji adalah pemodelan berdasarkan skenario model
business as usual (model BAU) kawasan Taman Nasional Sembilang (TNS) serta
skenario model carbon crediting (model CC) kawasan TNS. Komparasi dilakukan
terhadap aktivitas konversi hutan di frontier area (FA) untuk hutan tanaman/kebun
sawit dan tambak, yang akan mempengaruhi tingkat konsentrasi karbon terestrial dan
emisi CO2 kawasan hutan mangrove TNS. Masing-masing skenario dapat dijelaskan
sebagai berkut :
1) Skenario model business as usual (model BAU) adalah pengelolaan sumberdaya
dengan cara saat ini (eksisting) dimana kebijakan pengelolaan kawasan TNS
masih dilakukan secara konvensional. Terdapat ketergantungan biaya pengelolaan
kawasan TNS terhadap anggaran pemerintah. Rendahnya anggaran pengelolaan
kawasan menyebabkan semakin tingginya kawasan tersebut terdegradasi dan
terdeforestasi, sehingga diprediksi kawasan TNS akan mengalami penyusutan luas
pada zona inti (hutan mangrove primer) secara exponential decay.
Opsi pemanfaatan kawasan TNS pada skenario model BAU diusulkan dengan
opsi ”Konservasi Mangrove” dan opsi pemanfaatan ”Sylfish” (sylvofishery) pada
zona tradisional yang dimanfaatkan masyarakat sejak tahun 1995. Diprediksi
terjadi peluruhan fungsi hutan mangrove primer (Hmp) dan hutan rawa sekunder
(Hrs) menjadi areal penggunaan lain (APL): belukar, belukar rawa, padang
rumput, tambak dan sebagainya, mengikuti laju historis deforestasi dan degradasi
hutan sebagaimana saat ini berlangsung. Sehingga kecenderungan ini akan
mempengaruhi stok karbon terestrial maupun tingkat konsentrasi emisi karbon
yang dilepaskan ke atmosphir.
Komparasi dilakukan terhadap aktivitas konversi hutan di FA dimana secara
historis dialokasikan untuk pengembangan hutan tanaman industri dan
perkebunan sawit serta tambak. Semakin tingginya konversi hutan di kawasan FA
ini untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, diprediksi semakin tinggi pula emisi
154

CO2 yang dilepaskan ke atmosphir. Dengan demikian kawasan TNS akan semakin
berat untuk menetralisir tingkat konsentrasi emisi atmospherik di wilayah ini.
2) Skenario model carbon crediting (model CC), yaitu suatu bentuk upaya mitigasi
gas rumah kaca (GRK) melalui ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL)
berbasis REDD+. Diharapkan dengan skenario model ini laju deoforestasi dan
degradasi hutan dapat ditekan, sehingga berdampak positif terhadap: (a) Zona
hutan mangrove primer dapat bertumbuh secara exponential growth, (b)
Kandungan (stok) biomassa hutan mangrove serta stok karbon terestrial ekosistem
TNS lebih terjamin, (c) Kawasan TNS mampu menyeimbangkan kondisi ekologis
sebagai akibat spektrum dampak emisi CO2 terhadap berbagai kehidupan ekonomi
masyarakat sekitar TNS.

Selanjutnya kedua skenario tersebut dilakukan simulasi model guna


mendapatkan kecenderungan sistem yang akan terjadi di masa depan. Kajian yang
dilakukan pada bab ini pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan dan output
penelitian yaitu :
(1) Mengukur kecenderungan dua model utama (main model), yaitu skenario model
BAU dan skenario model CC terhadap fenomena laju emisi CO2 serta
keberlanjutan sumberdaya pesisir.
(2) Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dari
kecenderungan dua model tersebut kaitannya dengan sosial ekonomi, upaya
mitigasi serta kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap komitmen
Indonesia dalam rangka penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26% pada
tahun 2020.

6.1 Desain Sistem Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Desain sistem pengelolaan sumberdaya pesisir pada studi ini dirancang dengan
memadukan antara aliran ekonomi neoklasik (prinsip efisiensi) serta aliran ekonomi
kelembagaan (prinsip kesejahteraan sosial). Efisiensi berdasarkan kriteria pareto
optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan
benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada
individu lainnya (Kusumastanto 2000). Oleh karena itu basis pengambilan kebijakan
alokasi sumberdaya alam didasarkan pada prinsip the best economic allocation.
Sementara itu dalam aliran ekonomi kelembagaan, kebijakan alokasi sumberdaya
alam didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tujuan: pertumbuhan
155

ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta kesejahteraan antar generasi


(intergeneration wellfare).
Desain sistem (model sistem) yang dibangun pada penelitian ini adalah
pemodelan numerik yang bersifat deterministik dimana perilaku sistem pada model ini
mengandung kejadian yang pasti. Pemodelan sistem merupakan abstraksi dari sebuah
obyek atau situasi aktual. Dalam hal ini yang akan dimodelkan adalah bagaimana
keterkaitan antara sumodel emisi CO2 (lingkungan), submodel penduduk (sosial) serta
submodel ekonomi karbon (ekonomi) saling berinteraksi membentuk suatu
kecenderungan sebuah sistem global.
Terdapat dua skenario model utama yang akan dimodelkan dimana pada masing-
masing skenario model tersebut terdiri dari beberapa opsi yang diusulkan untuk
mendapatkan alokasi sumberdaya yang paling efisien dan paling tinggi kontribusinya
bagi kepentingan sosial, ekonomi dan lingkungan. Terhadap kedua skenario utama
tersebut dilakukan simulasi model dengan menggunakan perangkat lunak (software) I-
THINK® Ver. 6.01 dari High Performance System (1994). Untuk selanjutnya dianalisis
guna mendapatkan kecenderungan sebuah model untuk kepentingan kebijakan
pengelolaan sumberdaya pesisir TNS berbasis REDD+.

6.1.1 Struktur Model Business As Usual (Model BAU)

Dalam proses penyusunan pemodelan, struktur model merupakan hal penting


dibangun untuk melihat interaksi antar variabel penyusun sistem. Stuktur model
disusun semaksimal mungkin menyerupai kondisi lingkungan yang sebenarnya dimana
terdapat interaksi antar elemen penyusun sistem untuk mencapai suatu tujuan.
Untuk mencapai tujuan dan output penelitian, diperlukan suatu pemodelan
keterkaitan antar sub sistem, yaitu keterkaitan antara submodel emisi CO2 (lingkungan)
sebagai akibat dari kebijakan konversi hutan dalam RUTR di FA, submodel penduduk
(sosial) sebagai akibat adanya pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan tekanan
terhadap lahan, serta submodel carbon crediting (ekonomi). Ketiga submodel tersebut
diprediksi saling berinteraksi membentuk suatu kecenderungan sebuah sistem global.

6.1.1.1 Struktur Submodel Penduduk Skenario BAU

Struktur submodel penduduk merupakan suatu sistem dimana jumlah


populasinya ditentukan oleh laju natalitas dan tingkat migrasi serta laju mortalitas. Pada
struktur submodel ini dibangun struktur PDRB sektor Kabupaten Banyuasin dengan
156

tujuan untuk mendapatkan laju migrasi yang merupakan rasio antara kesempatan kerja
dengan PDRB sektor yang selanjutnya dapat mempengaruhi tingkat pertambahan
penduduk. Penduduk dan PDRB merupakan komponen stock yaitu suatu akumulasi
materi maupun non materi yang mencerminkan kondisi (state) suatu sistem pada titik
waktu tertentu. Sedangkan parameter lainnya merupakan conventer, yaitu perubah input
menjadi output yang mewakili materi atau informasi. Struktur submodel penduduk pada
skenario model BAU disajikan pada Gambar 38.

SUB MODEL PENDUDUK

PDRB Lainny a

angk kerja
laju natalitas Penduduk laju pertumb
laju mort perub PDRB lainny a

pert pddk pengr pddk growth PDRB lainny a


PDRB sektor

migrasi income per kpt growth PDRB pertanian


kesptn kerja PDRB pertanian
laju pertm
normal mgrs

tot kespt kerja share k kerja model BaU ~


perub PDRB pertanian
NFIA

inv est per t kerja


Manf aat Ekonomi model BAU

Gambar 38 Struktur submodel penduduk pengelolaan sumberdaya


pesisir pada skenario model Business As Usual (model
BAU).

6.1.1.2 Struktur Submodel Emisi CO2 (Lingkungan) Skenario BAU

Struktur submodel emisi CO2 (lingkungan) TNS dan FA dibangkitkan oleh


adanya deforestasi dan degradasi hutan serta perubahan tata guna lahan dan hutan (land
use land use change and forestry, LULUCF). Deforestasi dan degradasi hutan pada
kawasan FA lebih disebabkan secara terencana (planned deforestation) melalui RUTR.
Sementara itu di dalam kawasan TNS, deforestasi dan degradasi hutan lebih disebabkan
secara tidak terencana (unplanned deforestation), seperti bencana alam dan perambahan
hutan (encroachment). Oleh karenanya laju peningkatan emisi CO2 di TNS antara lain
disebabkan oleh faktor alam dan anthropogenik. Submodel emisi CO2 berinteraksi
antar muka (interface) dengan submodel penduduk. Penduduk dapat mempengaruhi
tingkat penyusutan hutan di frontier area dan TNS melalui prediksi populasi penduduk
semakin meningkat, maka tekanan terhadap kawasan hutan semakin tinggi. Struktur
submodel emisi CO2 TNS (model BAU) disajikan pada Gambar 39.
157

SUB MODEL EMISI CO2 SKENARIO BAU

APL TNS BAU


rate DD Hmp TNS to APL
rate Hrs to APL
rate DD Hmp to Hms BAU

Hrs TNS BAU Hmp TNS BAU Hms TNS BAU


lcc DD Hmp to Tbk TNS
lcc DD Hrs TNS BAU
lcc DD Hmp to APL BAU Tot area dilindungi BAU
lcc DD Hmp to Hms TNS BAU
lcc DD Hmp to Hrs TNS BAU
lcc DD Hmp to APL

rate DD Hmp to Hrs BAU rate DD Hms to Tbk BAU Penduduk BAU
ctr DD BAU lcc DD Hmp to Tbk TNS BAU
rate DD Hmp to Tbk BAU C stk Hmp to APL

lcc DD Hrs to Tbk TNS BAU lcc DD Hms to Tbk TNS BAU C stk dr Hmp to Tbk
Tambak TNS BAU rate encroach to Tbk BAU
rate DD Hrs to Tbk BAU
Tot DD TNS BAU

Emisi Hrs TNS BAU C stok dr Hmp to Hms BAU


C stok Hrs f rac atomic C
lcc DD TNS BAU
C stok dr Hmp to Hrs BAU
perub emisi Hrs TNS BAU
perub emisi Hmp TNS BAU
C stok Hms
CO2 of f set f r regrowth TNS BAU Emisi Hmp TNS BAU
f rac atomic C regrowth C
lcc DD Hmp to Hrs TNS BAU

perub emisi TNS BAU perub emisi Hms TNS BAU


Hmp TNS BAU
perub CO2 of f set regrowth TNS BAU Emisi Hms TNS BAU
TOT EMISI TNS BAU
NET EMISI CO2 TNS BAU lcc DD Hmp to Hms TNS BAU

Hms TNS BAU NET EMISI CO2 FA BAU


perub net CO2 TNS BAU Emisi Tbk TNS BAU

C stk dr Hmp to Tbk perub net CO2 FA BAU


perub emisi Tbk TNS BAU
C stok Hrs
lcc DD Hrs to Sawit FA BAU TOT EMISI FA BAU
C stok Hrs perub emisi Hrs FA BAU
f rac atomic C
lcc DD Hrs to APL FA BAU lcc DD Hmp to Tbk TNS
f rac atomic C
perub emisi FA BAU
perub emisi Hrs FA BAU
perub CO2 regrowth FA BAU TOT NET EMISI TNS FA BAU lcc DD Hms to HTI FA BAU
lcc DD Hrs to HTI FA BAU regrowth C Emisi Hms FA BAU
Hmp FA BAU
Emisi Hrs FA BAU
CO2 of f set f r regrowth FA BAU

perub C stk APL to Tbk perub emisi Hms FA BAU


perub C Hmp to Sawit

lcc DD APL to pmkn FA BAU f rac atomic C perub C stk APL to Pmkn
C stok Hms
lcc DD Hrs to APL FA BAU Emisi APL FA BAU Emisi Hmp FA BAU f rac atomic C

lcc DD Hmp to APL FA BAU

Tot DD FA BAU perub emisi APL FA BAU


Hms FA BAU perub emisi Hmp FA BAU
rate DD Hms to HTI Settl dan Inf ra BAU
Hmp FA BAU

f rak trans&setl BAU lcc DD Hmp to Sawit FA BAU

rate DD Hmp to sawit


lcc DD Hmp to HTI FA BAU
rate DD Hmp to APL
lcc DD Hmp to APL FA BAU
Area utk pmkn BAU
rate DD Hmp to HTI Penduduk BAU
lcc DD Hms to HTI FA BAU C stk Hmp to APL
lcc DD APL to pmkn FA BAU

lcc DD FA BAU HTI FA BAU Tambak FA BAU


APL FA BAU
lcc DD Hmp to Sawit FA BAU

lcc DD Hmp to HTI FA BAU lcc DD Hmp to APL FA BAU lcc DD APL to Tbk FA BAU
lcc DD Hms to HTI FA BAU perub C Hmp to HTI
Sawit FA BAU

rate DD to Tbk
rate DD Hrs to APL
lcc DD Hrs to APL FA BAU
tot DD Hmp FA BAU lcc DD Hrs to Sawit FA BAU
Hrs FA BAU
Total Agri FA
lcc DD Hmp FA BAU

lcc DD Hrs to HTI FA BAU

Tot area tdk dilindungi BAU rate DD Hrs to Sawit

rate DD Hrs to HTI

Gambar 39 Struktur submodel emisi CO2 (Lingkungan) pada skenario model


Business As Usual (model BAU).

6.1.1.3 Struktur Submodel Ekonomi Skenario Model BAU

Struktur submodel ekonomi pada skenario model BAU merupakan keterkaitan


antar variabel yang dapat membangkitkan manfaat ekosistem kawasan serta manfaat
158

ekonomi sebagai hasil konversi untuk industri pertanian. Struktur submodel ekonomi
skenario model BAU berinteraksi antar muka dengan submodel emisi CO2 TNS yang
dapat mempengaruhi sisi input dan output manfaat ekosistem kawasan dan manfaat
ekonomi industri pertanian. Struktur submodel ekonomi pada skenario model BAU
disajikan pada Gambar 40.

SUB MODEL EKONOMI (WITHOUT REDD+)

Hmp TNS BAU

Rev enue Mgrv TNS BAU


Standing stk BAU Inv est cost ecosy st BAU

Hms TNS BAU


Fisheries BAU
By Fisheries BAU

Wildlif e BAU
Hrs TNS BAU
DUV BAU
By standing stk BAU
Biodiv erstity BAU
By DUV BAU

Fisik BAU
Rev enue Mgrv TNS BAU By wildlif e BAU

Tambak TNS BAU Existence BAU By eksternalitas Tbk BAU


IUV BAU
OV BAU Biay a Ecostm BAU
Rev Tbk per ha
Tambak TNS BAU
EV BAU
Rev enue Tbk TNS BAU Manf aat Ecosistem BAU
By Tbk udang

Rev enue Agric FA BAU Cashf low BAU


Tot Cost Tbk TNS BAU

Rev Agric per ha Cost Tbk TNS BAU


Cash inf low BAU Cash outf low BAU
TOT ECONOMIC BENEFIT BAU
Net Rev Agric
TOT ECONOMIC COST BAU Inv est Cost Tbk BAU
~
OCC
NFIA BAU Disc Factor BAU
NET ECONOMIC BENEFIT BAU
By inv est Tbk
PV COST BAU
Net Return Agric FA PV BENEFIT BAU NPV without REDD Disc Factor BAU

perub NPV BAU


Total Agri FA
Disc Benef it BAU
Disc Cost BAU

perub disc benef it BAU BC ratio BAU


perub disc cost BAU
PV BENEFIT AGRIC FA
NPV AGRIC FA

perub NPV agric FA

Gambar 40 Struktur submodel ekonomi karbon pada skenario model Business As


Usual

6.1.2 Struktur Model Carbon Crediting (Model CC)


6.1.2.1 Struktur Submodel Penduduk Skenario CC

Struktur submodel penduduk merupakan suatu sistem yang terdiri dari satu level
dimana jumlah populasinya ditentukan oleh laju natalitas dan tingkat migrasi serta laju
mortalitas. Diasumsikan bahwa laju mortalitas sudah memperhatikan kemungkinan
bahwa pencemaran akan berpengaruh pada umur perkiraan penduduk sehingga
mempengaruhi laju mortalitas. Hubungan ini diungkapkan dengan lifetime multiplier
159

from pollution (bilangan pengali umur akibat pencemaran), yaitu suatu fungsi yang
mengalikan umur perkiraan yang sudah diketahui dengan perkiraan besar pengaruh
pencemaran. Meadows et al. (1972) mengatakan bahwa jika pencemaran sangat hebat
sehingga mengakibatkan umur perkiraan turun 90% dari nilainya, sehingga nilai
fraksinya sama dengan 0.9. Dengan demikian bilangan ini akan menambah laju
mortalitas. Berdasarkan data BPS Banyuasin tahun 2008, laju mortalitas adalah angka
laju kematian kasar atau CDR (crude death rate ) Kabupaten Banyuasin sebesar 8 jiwa
per 1000 penduduk. Dengan demikian nilai fraksi mortalitas di daerah ini adalah 0.008.
Laju natalitas dan migrasi merupakan dua fungsi non linier yang mempengaruhi
jumlah populasi penduduk yang besarnya ditetapkan berdasarkan data-data demografi
yang tersedia. Jumlah populasi penduduk sangat menentukan tingkat pendapatan per
kapita, karena hal ini merupakan rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
sektor dengan jumlah populasi. Di sini ada interaksi antar submodel (interface) dengan
submodel ekonomi melalui konventer PDRB pertanian dan IUPJL (lihat Gambar 41).
Tingkat PDRB sektor dibangkitkan oleh PDRB pertanian dan PDRB lainnya
yang dipengaruhi fraksi NFIA (net factor income from abroad) (lihat Gambar 43).
Fraksi ini merupakan proporsi output yang dimiliki oleh sektor luar negeri. Dalam
studi ini, NFIA diproyeksikan naik sejalan dengan kesepakatan liberalisasi perdagangan
dan makin meningkatnya aliran foreign direct investment (FDI). Antara tahun 1980
hingga 1993 NFIA berkisar 3-5% (World Bank 1996). Kendatipun Indonesia
mengalami krisis moneter pada tahun 1997, akan tetapi dengan kondisi sosial ekonomi
dan politik yang semakin terkendali akhir-akhir ini, maka sampai tahun 2035
diasumsikan naik menjadi 6-7% th-1.
Tingkat PDRB sektor dapat mencerminkan tingkat aktivitas perekonomian suatu
wilayah, oleh karenanya PDRB secara tidak langsung dapat mempengaruhi laju migrasi.
Fraksi migrasi diperoleh dari laju migrasi normal serta perkiraan fraksi migrasi rasio
antara tingkat kesempatan kerja dan tingkat produk domestik bruto. Sementara itu
tingkat PDRB suatu wilayah merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
seluruh aktivitas produksi di dalam perekonomian. Dalam pemodelan ini diringkas
menjadi penjumlahan antara PDRB pertanian dan PDRB lainnya, serta share IUPJL
melalui proporsi Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) bagi masyarakat dan pemda
kabupaten/kota terhadap PDRB pertanian. Tujuannya adalah agar kontribusi proporsi
NJ2L skenario CC dapat terlihat secara signifikan terhadap PDRB pertanian yang akan
dibandingkan dengan share agriculture di FA pada skenario BAU. Secara diagramatis
struktur submodel penduduk disajikan pada Gambar 41.
160

SUBMODEL PENDUDUK SKENARIO CC

angk kerja laju pert angkt kerja


laju natalitas laju mort
Penduduk

pert pddk pengr pddk

normal mgrs
migrasi
Tot K Kerja CC Kesemp Kerja model CC

PDRB pertanian dan IUPJL


K Kerja Mgrv TNS K Kerja Tbk TNS

Gambar 41 Struktur submodel penduduk pengelolaan sumberdaya


pesisir pada skenario model Carbon Crediting (model
CC).

6.1.2.2 Struktur Submodel Emisi CO2 (Lingkungan) Skenario CC

Struktur submodel lingkungan TNS dan FA memiliki keragaman level dalam


notasi stok. Kawasan TNS yang mencerminkan luasan tutupan hutan terdiri dari stok
hutan mangrove primer (Hmp TNS), hutan mangrove sekunder (Hms TNS), hutan rawa
sekunder (Hrs TNS) dan stok tambak (Tbk TNS). Stok Hmp TNS pada skenario CC
dibangkitkan oleh adanya reboisasi yang besarnya sangat tergantung pada land cover
change deforestasi dan degradasi TNS (lcc DD TNS), serta kebijakan yang akan
diterapkan pada simulasi skenario CC. Apakah tingkat reboisasinya akan mengikuti rate
laju deforestasi dan degradasi yang terjadi ataukah disesuaikan dengan kemampuan
pembiayaan developer pada tingkat berapa persen dari laju penyusutan Hmp TNS.
Struktur submodel emisi CO2 pada skenario model CC disajikan pada Gambar 42.
Stok tambak di TNS (Tbk TNS) besarnya dipengaruhi rate encroach to Tbk dan rate
deforestasi dan degradasi (laju DD) Hmp, Hms dan Hrs to Tbk. Sementara itu stok Hrs
TNS dan Hms TNS besarnya dipengaruhi laju DD Hmp TNS. Demikian halnya
berbagai stok yang mencerminkan luas tutupan hutan pada kawasan FA terdiri dari
Hmp FA, Hms FA, Hrs FA, Tambak, APL dan Pemukiman. Perubahan luas tutupan
hutan di FA dipengaruhi laju DD pada masing-masing level tersebut. Sebagai contoh
hutan tanaman industri (HTI) luasnya dipengaruhi laju perubahan tutupan lahan
deforestasi dan degradasi hutan dari Hmp ke HTI (lcc DD Hmp to HTI FA) demikian
seterusnya.
161

SUB MODEL EMISI CO2 SKENARIO CC

APL TNS
C stok APL rate Reboisasi
f rac atomic C C stk Hmp lcc DD Hrs to Tbk TNS C stok Hrs C stok Hms
Emisi Tambak
C Terest APL lcc DD Hmp to Tbk TNS
Reboisasi APL
f rac atomic C
C Terest Hrs C Terest Hmp
rate Hrs to APL rate DD Hmp to Hms perub emisi to Tbk
C stok Hrs rate DD Hmp TNS to APL
Hrs TNS CC
Hmp TNS CC Hms TNS CC
f rac atomic C

lcc DD Hrs TNS lcc DD Hmp to APL C stk dr Hmp to Tbk


lcc DD Hmp to Hms TNS
lcc DD Hmp to Hrs TNS
C Terest Hmp
C Terest Hms
rate DD Hmp to Hrs ctrl DD
lcc DD Hrs to Tbk TNS rate Reboisasi
lcc DD Hmp to Tbk TNS rate DD Hms to Tbk
Tot area dilindungi
Penduduk
Tot C Terest TNS

lcc DD Hms to Tbk TNS C stok Hms


Tambak TNS
reboisasi Tbk
rate encroach to Tbk
C Terest APL
rate DD Hrs to Tbk rate DD Hmp to Tbk Tot DD TNS C Terest Hrs

rate Reboisasi
Tot C Terest TNS dan FA
C stok Hrs Emisi Hrs TNS lcc DD TNS
C stk Hmp to APL
C stok Hms
C stk dr Hmp to Tbk
perub emisi Hrs TNS perub emisi TNS TOT EMISI TNS Tot C Terest FA

regrowth C perub emisi Hms TNS C stok dr Hmp to Hms

f rac atomic C f rac atomic C

CO2 of f set regrowth TNS perub emisi Hmp TNS C stok dr Hmp to Hrs
Hmp TNS CC
perub emisi to Tbk
Emisi Hms TNS Emisi Hmp TNS
perub CO2 of f set regrowth TNS lcc DD Hmp to Hrs TNS
lcc DD Hmp to APL
NET EMISI CO2 TNS CC
Hms TNS CC
lcc DD Hmp to Hms TNS
lcc DD Hmp to Tbk TNS
NET EMISI CO2 FA
perub net CO2 TNS TOT NET EMISI TNS DAN FA

Hmp FA
Hrs TNS CC lcc DD Hrs to APL FA perub net CO2 FA
perub C stk APL to Tbk
lcc DD Hrs to Sawit FA TOT EMISI FA
perub emisi Hrs FA
C stok Hrs
perub C stk APL to Pmkn
regrowth C Emisi APL FA perub emisi FA
perub emisi Hrs FA f rac atomic C
lcc DD Hrs to HTI FA Emisi Hms FA lcc DD Hms to HTI FA
perub CO2 of f set regrowth FA
Emisi Hrs FA perub emisi APL FA
Penduduk perub emisi Hms FA
CO2 of f set f r regrowth FA
lcc DD APL to pmkn FA

perub C Hmp to Sawit


C stok Hms C stk Hmp f rac atomic C C stok Hms
Emisi Hmp FA
lcc DD Hmp to APL FA
C Terest Hms FA f rac atomic C
Area utk pmkn
Tot DD FA Hms FA C Terest Hmp FA perub emisi Hmp FA
rate DD Hms to HTI Pemukiman
Hmp FA
f rak trans&setl lcc DD Hmp to Sawit FA
rate DD Hmp to APL lcc DD Hmp to HTI FA
rate DD Hmp to sawit
C Terest APL FA lcc DD Hmp to APL FA
lcc DD Hrs to APL FA
C stok APL
rate DD Hmp to HTI
Tot area tdk dilindungi f rac atomic C C stk Hmp to APL
lcc DD Hms to HTI FA
lcc DD APL to pmkn FA
perub C Hmp to HTI
lcc DD FA HTI FA APL FA rate DD to Tbk
lcc DD Hmp to Sawit FA Tambak FA

lcc DD Hmp to HTI FA lcc DD Hmp to APL FA lcc DD APL to Tbk FA


lcc DD Hms to HTI FA Sawit FA

C Terest APL FA C Terest Hmp FA rate DD Hrs to Sawit


re growth C HTI rate DD Hrs to APL Tot Agric FA
lcc DD Hrs to APL FA
tot DD Hmp FA Tot C Terest FA
lcc DD Hrs to Sawit FA
Hrs FA
C Terest Hms FA C Terest Hrs FA
lcc DD Hmp FA
C Terest Hrs FA
C stok Hrs

rate DD Hrs to HTI lcc DD Hrs to HTI FA f rac atomic C

Gambar 42 Struktur submodel emisi CO2 (Lingkungan) pengelolaan sumberdaya


pesisir pada skenario Carbon Crediting (model CC)
162

Submodel emisi CO2 (Lingkungan) berinteraksi antar muka (interface) dengan


submodel penduduk (sosial) yang akan mempengaruhi perubahan luas stok pemukiman.
Perubahan luas stok pemukiman ini bersumber dari konversi areal penggunaan lain
(APL) dan nilai fraksi transmigrasi dan pemukiman (frak trans&settl) serta jumlah
populasi penduduk. Nilai fraksi transmigrasi dan settlement (pemukiman) adalah faktor
pengali kebutuhan penduduk untuk lahan pemukiman termasuk didadalamnya untuk
infrastruktur. Berdasarkan standar pemukiman untuk satu unit rumah tangga dengan
satu orang anak dibutuhkan luas rumah/bangunan minimal 36 m2 di pedesaan. Jadi rata-
rata untuk satu penduduk diperlukan sekitar 36 m2 per 3 jiwa atau sebesar 12 m2 per
jiwa. Dengan demikian angka fraksi ini diperoleh berdasarkan perhitungan: 12 m 2 per
penduduk atau 0.0012 ha per penduduk.
Perubahan stok emisi CO2 di TNS dan FA diantaranya dipengaruhi fraksi
pertumbuhan riap biomassa hutan mangrove serta laju emisi CO2 offset (carbon
regrowth). Besaran laju CO2 offset menggunakan referensi hasil penelitian Wetland
Indonesia (Wibisono, I.T.C et al. 2010) yaitu sebesar 0,265 tC ha-1 th-1 atau setara
dengan 0,97 tCO2 ha-1th-1 (0,265x44/12 fraksi atomic carbon). Laju pengurangannya
antara lain disebabkan oleh indikator-indikator penggerak potensi emisi CO2 yang
bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan
(unplanned deforestation).

6.1.2.3 Struktur Submodel Ekonomi Karbon Skenario CC

Struktur submodel ekonomi pada skenario model CC merupakan keterkaitan


antar variabel yang dapat membangkitkan manfaat ekosistem kawasan. Struktur
submodel ekonomi berinteraksi antar muka dengan submodel emisi CO2 TNS yang
dapat mempengaruhi sisi input dan output manfaat ekosistem kawasan melalui stok
Hmp TNS. Struktur submodel ekonomi karbon pada skenario model CC disajikan pada
Gambar 43.
Pada sisi output skenario model CC terdapat variabel Nilai Jual Jasa
Lingkungan (NJ2L) yang dibangkitkan dari manfaat ekonomi karbon. Selanjutnya
variabel NJ2L ini didistribusikan kepada pihak-pihak yang diatur berdasarkan ketentuan
Permenhut No. 36/Menhut-II/2009.
163

SUB MODEL EKONOMI KARBON (WITH REDD+)

Hmp TNS CC

Standing stk
Rev enue Mgrv TNS Standing stk cost By inv estasi

Fisheries
Hms TNS CC By PDD

Fisheries cost
Wildlif e
Transc Cost
DUV
Biodiv erstity Hrs TNS CC
By DUV By opr lingk
Wildlif e cost
Phy sical Inv estment cost CC
Rev enue Mgrv TNS
Biay a Ecostm
Tambak TNS rate Reboisasi
Existence Inv est cost ecosy st Tot Cost CC
IUV OV EV By pengelolaan lingk
Cashf low
sat by reb
Manf aat Ecosistem By reboisasi
Rev enue Tbk TNS ~
Rev Tbk per ha Cash inf low Cash outf low NFIA

Manf aat Ekonomi model CC


Tambak TNS Reboisasi APL
TOT NET EMISI TNS FA BAU Cost Tbk TNS
By eksternalitas Tbk TNS reboisasi Tbk

TOT NET EMISI TNS DAN FA


By Tbk udang
Inv est cost Tbk Rev enue Carbon Trade
Tot Cost Tbk TNS

Net Carbon Tradeable CC Nilai Jual Jasa Lingk


share NJ2L pusat
TOT ECONOMIC BENEFIT By inv est Tbk f rak NJ2L pusat
Price C
share NJ2L prov insi
TOT ECONOMIC COST f rak NJ2L prov
PV BENEFIT
Rev enue Carbon Trade NET ECONOMIC BENEFIT
NPV with REDD share NJ2L Kab Kota
f rak NJ2L kab kota

perub NPV PV COST share NJ2L masy arakat


Disc Factor
OCC f rak NJ2L masy
DISC BENEFIT DISC COST
share NJ2L dev eloper
f rak NJ2L dev
perub disc benef it perub disc cost
BC rasio
share NJ2L Pemda dan Masy
Penduduk
PDRB lainny a
growth PDRB lainny a
perub share NJ2L
perub PDRB lainny a
income per kapita

growth PDRB pertanian Kesemp Kerja model CC


~
share NJ2L Kab Kota PDRB pertanian
PDRB sektor NFIA Share NJ2L IUPJL

share NJ2L masy arakat perub PDRB pertanian inv est per t kerja
PDRB pertanian dan IUPJL

K Kerja Tbk TNS


Rev enue Mgrv TNS
Rev enue Tbk TNS
K Kerja Mgrv TNS

Gambar 43 Struktur submodel ekonomi karbon pengelolaan sumberdaya pesisir


pada skenario Carbon Crediting (skenario model CC)

Struktur submodel ekonomi karbon terdiri atas beberapa level dan beberapa
variabel lainnya dan merupakan interaksi antar muka (interface) antara submodel
ekonomi karbon dengan submodel penduduk dan submodel emisi CO2 (lingkungan).
Submodel ekonomi karbon dipengaruhi variabel karbon yang dapat diperdagangkan
pada sisi manfaat ekonomi model CC. Selanjutnya submodel ekonomi karbon
mempengaruhi submodel penduduk melalui share NJ2L IUPJL yang dapat
mempengaruhi besaran share kesempatan kerja skenario model CC.
164

Tujuan dibangunnya struktur model carbon crediting ini adalah untuk melihat
sampai sejauhmana interaksi antar submodel mempengaruhi feasibilitas ekonomi
pengelolaan pesisir melalui IUPJL berbasis REDD+. Selain itu juga dapat dilihat
seberapa besar share diterapkannya kebijakan hak pengelolaan (property right)
sumberdaya hutan mangrove tersebut dapat mempengaruhi aktivitas produksi
perekonomian daerah. Dalam jangka panjang, pengelolaan kawasan TNS ini diharapkan
dapat mandiri secara ekonomi (self financing), sehingga tidak membebani anggaran
negara.
Struktur submodel ekonomi pada penelitian ini memiliki keragaman interaksi
yang luas. Selain manfaat IUPJL yang diharapkan, juga dilihat seberapa besar manfaat
eksternal TNS terhadap aktivitas ekonomis produktif daerah setempat. Terutama dalam
hal kontribusi NJ2L, baik untuk pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun untuk
masyarakat. Distribusi nilai NJ2L ini diprediksi dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat, karena share-nya relatif besar yaitu 20% dari total NJ2L yang dapat
ditransaksikan.

6.1.3 Formulasi Model


Formulasi model berkaitan dengan input dan output model yang dibangun. Input
model merupakan peubah keputusan (decision variable) yang bersifat bebas (variabel
eksogen), sedangkan output model merupakan peubah status (state variable) yang
bersifat tidak bebas (variabel endogen). Input model yang dibangun terdiri dari
sejumlah variabel dan sejumlah asumsi dasar. Input data diperoleh melalui proses
penelitian lapangan, sedangkan data yang tidak tersedia digunakan data asumsi dan data
sekunder hasil penelitian pihak lain yang relevan.

6.1.3.1 Formulasi Model Business As Usual (Model BAU)

(1) Data dan Asumsi Model BAU

Formulasi model BAU yang dibangun menunjukkan performansi ekosistem TNS


dan kawasan hutan di FA sebagai fungsi dari berbagai variabel yang terdapat pada
submodel penduduk (sosial), emisi CO2 (lingkungan) dan submodel ekonomi karbon
(ekonomi), sehingga dapat menghasilkan kecenderungan perilaku sistem. Formulasi
skenario model BAU pada prinsipnya akan memodelkan ketiga submodel tersebut yang
saling berinteraksi untuk mencapai tujuan.
Secara ekonomi, tujuan yang akan dicapai pada skenario model BAU ini adalah
seberapa besar sumbangan (share) konversi hutan untuk industri pertanian terhadap
ekonomi wilayah dan tingkat penyerapan tenaga kerja serta kesempatan kerja yang
165

diciptakannya. Selain itu juga akan dilihat kecenderungannya terhadap tingkat deplesi
sumberdaya hutan pada akhir simulasi.
Konversi hutan mangrove primer (Hmp) dan sekunder (Hms), hutan rawa
sekunder (Hrs) serta areal APL di FA yang masih berpenutupan hutan dialokasikan
untuk kebutuhan RUTR Kabupaten Banyuasin 2006-2026 seluas 115.027 ha (kawasan
tidak dilindungi undang-undang). Dari luas areal konversi tersebut masih tersisa sekitar
108.564 ha yang akan diproyeksikan sebagai dasar formulasi pemodelan tahun 2010-
2035. Diprediksi bahwa konversi hutan ini akan berpengaruh terhadap cadangan karbon
terestrial serta dapat mengemisi CO2 atmospherik di wilayah tersebut. Asumsi data
awal simulasi tutupan lahan di FA dan TNS yang dikonversi disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Data dan asumsi awal simulasi tutupan lahan di FA dan di TNS
Persentase
No Variabel Luas (ha)
(%)
A Frontier area (FA)
1. Areal Penggunaan Lain (APL) 1.109 1,02
2. Hutan mangrove primer (Hmp) 12.999 11,97
3. Hutan mangrove sekunder (Hms) 5.288 4,87
4. Hutan rawa sekunder (Hrs) 89.168 82,13
Total FA 108.564 100,00
B TN Sembilang (TNS)
1. Hutan mangrove primer (Hmp) 35.205 17,35
2. Hutan mangrove sekunder (Hms) 0 0,00
3. Hutan rawa sekunder (Hrs) 68.658 33,84
4. Areal Penggunaan Lain (APL) 97.021 47,82
5. Tambak TNS (Tbk) 2.013 0,99
Total 202.897 100,00

Besaran nilai peluruhan (decay) deforestasi dan degradasi dari masing-masing


tutupan lahan luar kawasan (FA) dan di dalam kawasan TNS diasumsikan mengikuti
pola deforestasi dan degradasi historis 2003-2006 sebagaimana disajikan pada Tabel
28.
Asumsi lain yang digunakan untuk aspek ekonomi adalah biaya oportunitas
yang dikeluarkan untuk usaha hutan tanaman, perkebunan dan tambak. Biaya
oportunitas ini didekati menggunakan the net present value dari berbagai alternatif
penggunaan lahan itu. Hasil review Ginoga et al. (2010) di wilayah Musi Banyuasin,
NPV untuk perkebunan berkisar antara 674 USD - 1.317 USD. Sementara itu NPV
untuk tambak dapat mencapai 1.150 USD - 2.777 USD. Hasil penelitian lainnya di
beberapa tempat di Sumatera Selatan dan Riau (Sinarmas Group) menunjukkan NPV
hutan tanaman industri berkisar antara 1.005 USD - 1.611 USD. Demikian halnya untuk
166

budidaya tambak udang di pesisir pantai utara Jawa dapat mencapai 3.154 USD. Biaya
oportunitas pada penelitian ini menggunakan NPV hutan tanaman dan perkebunan
sebesar 1.611 USD dan untuk shrimp sylvofishery sebesar 1.249,84 USD.

Tabel 28 Data dan asumsi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove serta
persentase peluruhannya pada awal simulasi di FA dan di TNS
Peluruhan
No Variabel Perubahan Variabel
(% th-1)
A Frontier area (FA)
1. Areal Penggunaan Lain 1. Pemukiman dan infrastruktur 0,12
2. Tambak 12,70
2. Hutan mangrove primer 1. Areal Penggunaan Lain 4,99
2. Hutan Tanaman Industri 5,01
3. Perkebunan Sawit 4,99
3. Hutan mangrove sekunder Hutan Tanaman Industri 5,00
4. Hutan rawa sekunder 1. Areal Penggunaan Lain 5,00
2. Hutan Tanaman Industri 52,86
3. Perkebunan Sawit 40,56
B TN Sembilang
1. Hutan mangrove primer (Hmp) 1. Hutan mangrove sekunder (Hms) 12,30
2. Hutan rawa sekunder (Hrs) 12,30
3. Tambak (Tbk) 0,138
2. Hutan mangrove sekunder (Hms) Tambak (Tbk) 2,68
3. Hutan rawa sekunder (Hrs) Tambak (Tbk) 0,138

Data dan asumsi untuk aspek lingkungan lainnya digunakan berdasarkan hasil
penelitian lapangan pada skala plot serta pendekatan data hasil-hasil penelitian
sebelumnya, terutama di wilayah Sumatera serta pada rentang daerah penelitian yang
posisi koordinat lintang dari garis khatulistiwa relatif tidak berbeda jauh. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi bias dalam valuasi ekonomi lingkungan. Kawasan TN
Sembilang merupakan kawasan khas hutan mangrove dengan keragaman ekosistem
yang cukup tinggi. Terdapat sekitar 17 spesies mangrove, sebanyak 53 spesies
mammalia, terdapat 213 spesies burung, serta 142 spesies ikan dari 43 familia.
Data hasil pengukuran kandungan biomassa berdasarkan pengambilan sampel
pada skala plot di TNS dan di FA disajikan pada Tabel 29.
167

Tabel 29 Data dan asumsi hasil pengukuran kandungan biomassa dan karbon di TNS
dan di FA pada berbagai variabel tutupan lahan
Karbon
Biomassa
No Variabel (tC ha-1)
(ton ha-1)
(0,5*Biomassa) *)
A. Biomassa di dalam kawasan TNS
1. Hutan mangrove primer (Hmp) 454,67 227,33
2. Hutan mangrove sekunder (Hms) 204,41 102,20
3. Belukar rawa (Br) 34,70 17,35
B. Biomassa di luar kawasan (FA)
1. Hutan tanaman industri (Eucalyptus sp.) 151,80 75,90

Keterangan: *) Konstanta : 0,5 = koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi)
(Murdiyarso et al. 2004)
Sumber : Hasil penelitian lapangan pada skala plot di kawasan TNS dan FA (2010)

(2) Formulasi Model BAU

Formulasi skenario model BAU pada masing-masing submodel secara lengkap


disajikan pada Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7.

6.1.3.2 Formulasi Model Carbon Crediting (Model CC)

a. Formulasi Submodel Penduduk (Sosial) pada Skenario model CC

(1) Data dan Asumsi

Stok penduduk merupakan populasi saat ini dan yang akan datang,
pertumbuhannya diasumsikan mengikuti batas-batas pertumbuhan eksponensial yang
dipengaruhi pertambahan (laju natalitas dan migrasi) dan pengurangan penduduk (laju
mortalitas). Parameter pertambahan penduduk dipengaruhi laju natalitas dan migrasi
masuk. Laju natalitas merupakan angka laju kelahiran kasar atau CBR (crude birth
rate) Kabupaten Banyuasin. Parameter pengurangan penduduk dipengaruhi laju
mortalitas (tingkat kematian). Parameter kesempatan kerja dipengaruhi populasi
penduduk dan laju pertambahan kesempatan kerja serta jumlah share kesempatan kerja
model CC. Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model CC disajikan
pada Tabel 30.

Tabel 30 Data dan asumsi submodel penduduk pada skenario model carbon crediting
Nilai awal
No Variabel Satuan
parameter
1. Penduduk 798.360 Jiwa
2. laju kelahiran kasar atau CBR 0,092 1 th-1
3. Laju pertambahan penduduk (r) 2,58 % th-1
4. laju kematian kasar atau CDR 0,008 1 th-1
5. Laju pertambahan kesempatan kerja 3,62 % th-1
Sumber: BPS Banyuasin (2009).
168

(2) Formulasi Model

Formulasi submodel penduduk (sosial) menggunakan persamaan-persamaan


(3.16) sampai dengan persamaan (3.24). Formulasi pemodelan secara lengkap
disajikan pada Lampiran 8.

b. Formulasi Submodel Emisi CO2 (Lingkungan) pada Skenario CC

(1) Data dan Asumsi


Level hutan mangrove primer berasal dari dua wilayah TNS dan FA. Untuk
membedakannya pada masing-masing fungsi hutan dibuat notasi tambahan TNS dan
FA. Level hutan mangrove primer (Hmp TNS), hutan mangrove sekunder (Hms TNS),
hutan rawa sekunder (Hrs TNS) dan tambak (Tbk TNS) merupakan akumulasi hutan di
kawasan TN Sembilang (TNS) yang besarnya masing-masing dipengaruhi laju
deforestasi dan laju degradasi hutan (rate DD). Stok Hmp TNS pada skenario model
CC ini diasumsikan mengalami regenerasi dimana besarnya dipengaruhi kebijakan
reboisasi serta laju DD TNS. Besaran nilai peluruhan deforestasi dan degradasi di
dalam kawasan TNS diasumsikan mengikuti pola deforestasi dan degradasi historis
2003-2006 (lihat Tabel 28 di atas).
Kondisi hutan mangrove di TNS keberadaannya dipengaruhi jumlah populasi
penduduk dan rate encroachment (laju perambahan) terhadap hutan. Level total
deforestasi dan degradasi besarnya juga dipengaruhi jumlah perubahan deforestasi dan
degradasi baik dari Hmp, Hms, Hrs maupun dari Tbk. Level emisi Hmp TNS
perubahannya dipengaruhi jumlah perubahan tutupan lahan deforestasi dan degradasi
dari hutan mangrove primer menjadi hutan rawa sekunder). Perubahan C stok pada
tahun 2003 ke tahun 2006 dari yang semula Hmp dengan kandungan C sebesar 227,3 tC
ha-1 menjadi Hms sebesar 102,2 tC ha-1. Dengan demikian terdapat selisih perubahan C
stok dari Hmp (227,3 tC ha-1) ke Hms (102,2 tC ha-1) sebesar 125.1 tC ha-1. Selain itu
emisi CO2 Hmp juga dipengaruhi fraksi atomic carbon dioxide terhadap carbon (tCO2e
tC-1) sebesar 44/12 atau sekitar 3,66667. Fraksi ini merupakan faktor untuk
mengkonversi C menjadi CO2 (Busch et al 2009). Bilangan 44 menunjukkan jumlah
massa atom Carbon (C:12) dan Dioksida (O2:16x2=32).
Level hutan mangrove primer di FA (Hmp FA), hutan mangrove sekunder (Hms
FA), hutan rawa sekunder (Hrs FA), hutan tanaman (HTI FA), Sawit FA, Areal
Penggunaan Lain (APL) serta Pemukiman, perubahannya dipengaruhi oleh masing-
masing laju deforestasi dan laju degradasi hutan (rate DD). Data dan asumsi sistem
submodel Emisi CO2 pada skenario model CC disajikan pada Tabel 31.
169

Tabel 31 Data dan asumsi submodel Emisi CO2 (lingkungan) pada skenario model
carbon crediting (model CC)
Nilai awal
No Variabel Satuan Sumber
parameter
1. Laju perambahan (rate Deliniasi dan Balai TNS
0.0067 % th-1
encroachment) (2009)
2. Fraksi atomic carbon dioxide 3,66667 tCO2e tC-1 Busch et al. (2009)
3. Pertumbuhan alami (regrowth) C (Wibisono, I.T.C., et al.
0,26 ha-1 th-1
hutan mangrove 2010).
4. Nilai awal Hmp di FA 12.999 ha Deliniasi dan RUTR
5. Rate DD Hmp - APL di FA 4,99 % th-1 Deliniasi dan RUTR
6. Rate DD Hmp - HTI di FA 5,01 % th-1 Deliniasi dan RUTR
7. Nilai awal Hms di FA 5.288 ha Deliniasi dan RUTR
8. Rate DD Hms -HTI di FA 5 % th-1 Deliniasi dan RUTR
9. Nilai awal Hrs di FA 89.168 ha Deliniasi dan RUTR
10. Rate DD Hrs - sawit di FA 40,56 % th-1 Deliniasi dan RUTR
11. Rate DD Hrs - APL di FA 5 % th-1 Deliniasi dan RUTR
12. Nilai awal APL di FA 1.109 ha Deliniasi dan RUTR
13. Rate DD APL - tambak di FA 12,7 % th-1 Deliniasi dan RUTR
14. Fraksi APL - pemukiman di FA 0,0012 ha/jiwa Standar PU
15. Nilai awal Hmp di TNS 35.205 ha Deliniasi citra landsat
16. Rate DD Hmp – Hms di TNS 12,30 % th-1 Deliniasi citra landsat
17. Rate DD Hmp – Hrs di TNS 12,30 % th-1 Deliniasi citra landsat
18. Rate DD Hmp – Tambak di TNS 0,138 % th-1 Deliniasi citra landsat
19. Nilai awal Hms di TNS 0 ha Deliniasi citra landsat
20. Rate DD Hms – Tambak di TNS 2,68 % th-1 Deliniasi citra landsat
21. Nilai awal Hrs di TNS 68.658 ha Deliniasi citra landsat
22. Rate DD Hrs – Tambak di TNS 0,138 % th-1 Deliniasi citra landsat
23. Nilai awal APL di TNS 97.021 Ha Deliniasi citra landsat
24. Nilai awal Tambak di TNS 2.013 Ha Deliniasi citra landsat
25. Reboisasi terhadap APL dan Tbk 5 % th-1 Deliniasi citra landsat

(2) Formulasi Model

Formulasi submodel emisi CO2 (lingkungan) secara lengkap disajikan pada


Lampiran 9.

c. Formulasi Submodel Ekonomi Karbon pada Skenario CC

(1) Data dan Asumsi


Kerangka dasar (the basic framework) dalam menganalisis pengelolaan
sumberdaya pesisir di kawasan TN Sembilang dan di wilayah FA memerlukan ukuran,
menjumlahkan dan membandingkan semua biaya dan manfaat investasi. Dalam Field
(1994) disebutkan bahwa pada dasarnya terdapat empat langkah dalam menganalisis
manfaat-biaya, yaitu : (1) Menentukan dengan jelas aktivitas ekonomi atau program,
(2) Membuat program input-output, (3) Estimasi social cost dan input-output benefit,
(4) membandingkan antara manfaat dengan biaya. Oleh karena itu dalam skenario
170

carbon crediting ini dilakukan pengukuran performansi biaya pengelolaan kawasan


TN Sembilang melalui perhitungan umum analisis ekonomi. Kriteria investasi yang
digunakan sebagai patokan untuk menilai kelayakan usaha menurut Kusumastanto
(2003), salah satunya adalah kriteria the net present value. Dalam penelitian ini suatu
usaha pengelolaan kawasan dinyatakan layak apabila nilai NPV > 0. Beberapa asumsi
yang digunakan pada cash outflow maupun cash inflow dalam analisis pemodelan ini
adalah sebagai berikut :

a) Rencana Biaya Pengelolaan

Pembiayaan kegiatan pengelolaan kawasan TNS ini secara garis besar dibedakan
atas biaya investasi dan biaya pengelolaan lingkungan. Biaya-biaya ini ditetapkan
dengan memperhatikan pengalaman pengelolaan kawasan konservasi di wilayah lain
sebagai acuan, standar-standar biaya dari instansi terkait, dan harga-harga yang berlaku
di daerah setempat. Selain dari pada itu dalam penghitungan biaya pengusahaan ini
didasarkan pula pada tingkat discount rate pengelolaan sumberdaya alam yaitu sekitar
10% th-1, yang sudah termasuk faktor moneter serta prediksi inflasi. Atas dasar
penetapan tersebut dilakukan perhitungan besarnya taksiran biaya pada masing-masing
pos pembiayaan. Uraian penggunaan dan besarnya biaya-biaya tersebut adalah sebagai
berikut :

1) Biaya Investasi

- Biaya investasi terdiri dari biaya perencanaan, penataan areal dan pengamanan
tata batas kawasan, pengadaan kendaraan dan peralatan, biaya pembangunan
menara pengawas kebakaran, serta biaya-biaya pembangunan sarana dan
prasarana pendukung kegiatan lainnya. Biaya investasi merupakan biaya-biaya
yang harus dikeluarkan developer untuk pengamanan kawasan dan dikeluarkan
mulai pra operasi sampai beroperasinya proyek yang diusulkan. Rencana
anggaran biaya investasi menggunakan pendekatan biaya rata-rata dari Pusat
selama satu tahun, yaitu sebesar Rp 4,5 milyar th-1. Jadi biaya investasi proyek
IUPJL carbon crediting diasumsikan sekitar 500.000 USD th-1.
- Kegiatan perencanaan lain terdiri dari rencana site plan, penyusunan project
design document (PDD) dan penyusunan studi lingkungan. Biaya PDD
merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh developer IUPJL, mulai dari
permohonan kawasan, baseline study/FS sampai dengan permohonan tersebut
dianggap eligible oleh pemerintah. Mengingat belum ada standar biaya untuk
perencanaan, maka dalam hal ini mengacu pada asumsi biaya AR CDM yang
selama ini sudah berjalan yaitu sekitar 300.000 - 400.000 USD.
171

- Transaction cost merupakan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk proses


sertifikasi emisi (Certified Emission Reduction) serta approval oleh lembaga
internasional yang sudah ditetapkan oleh UNFCCC. Mengingat proses mekanisme
REDD masih relatif baru, jadi belum ada standar biaya yang ditetapkan oleh
pemerintah. Untuk itu biaya-biaya investasi lingkungan menggunakan asumsi
biaya AR CDM yang selama ini sudah berjalan, yaitu berkisar antara 300.000 -
500.000 USD.
2) Biaya Rencana Pengelolaan Lingkungan
- Untuk menyeimbangkan pasar input/output diperlukan sejumlah biaya rencana
pengelolaan lingkungan dalam mekanisme harga. Disebut biaya lingkungan
karena walaupun semuanya adalah biaya dari masyarakat, biasanya pengelola
tidak peduli dengan biaya-biaya ini ketika sedang membuat keputusan ekonomi
untuk kepentingan perusahaannya, dengan kata lain ada biaya-biaya yang
dianggap eksternal bagi perusahaan, tapi malah dianggap internal bagi
masyarakat. Jika akan dirinci dengan tepat biaya sosial (social cost) adalah
merupakan jumlah antara private cost dan internal cost (Field 1994).
Bagaimanapun juga hasil yang dicapai dari optimasi sosial hanya mungkin apabila
biaya lingkungan dapat dinilai dalam istilah moneter dan dimasukkan baik
kedalam permintaan maupun penawaran (Djajadiningrat 1997).
- Menginternalisasi biaya ini merupakan pengeluaran yang harus ditanggung
developer bila terjadi ketidakseimbangan ekosistem sebagai akibat adanya
deforestasi dan degradasi hutan. Pembiayaan rencana pengelolaan lingkungan
disusun berdasarkan prediksi penyusutan luas hutan mangrove primer yang akan
terjadi. Dengan demikian pengalokasian biaya lingkungan ini difokuskan pada
upaya-upaya untuk pengamanan dan perlindungan kawasan. Biaya-biaya ini
diantaranya adalah biaya operasional tahunan, biaya reboisasi serta biaya-biaya
untuk pengamanan dan perlindungan lainnya. Biaya operasional pengelolaan TNS
saat ini rata-rata sebesar 500.000 USD th-1 (TNS 2009).
- Biaya reboisasi mengacu pada hasil penelitian di pesisir Desa Temu, Kabupaten
Sumba Timur Provinsi NTT sebesar Rp 270,31 juta untuk luas areal reboisasi
hutan mangrove 20 ha (Perdirjen RLPS 2008). Biaya ini terdiri dari biaya
pembuatan tanaman Rp 218,60 juta, biaya pemeliharaan tahun pertama Rp
41,37juta, dan biaya pemeliharaan tahun kedua Rp 10,34 juta. Dengan demikian
rata-rata biaya reboisasi sebesar Rp 13,52 juta ha-1 atau sekitar 1.501,7 USD ha-1
(kurs 1 USD Rp 9000). Jenis mangrove yang ditanam yaitu Rhizophora
mucronata dan Avicenia spp. Jarak tanam yang dilakukan 1 m x 3 m, secara
172

strip/jalur sepanjang pantai (green belt). Data dan asumsi biaya rencana
pengelolaan disajikan pada Tabel 32.

Tabel 32 Data dan asumsi biaya rencana pengelolaan submodel ekonomi pada
skenario model carbon crediting (model CC)
Nilai awal
No Variabel Satuan Sumber
parameter
-1
1. Biaya investasi proyek IUPJL 500.000 USD th Balai TNS (2010)
2. Biaya perencanaan (site plan, PDD, 400.000 USD th-1 Standar biaya AR CDM
FS)
3. Biaya proses sertifikasi CER 500.000 USD th-1 Standar biaya AR CDM
4. Biaya pengelolaan lingkungan 500.000 USD th-1 Balai TNS (2010)
5. Biaya reboisasi mangrove 1.501,7 USD ha-1 Ditjen RLPS (2007)
.6. Harga karbon 10 USD tCO2-1 VCS (2007)
7. Social opportunity cost of capital
10 % ha-1 Proyeksi ekonomi
(SOCC)

b) Rencana Manfaat Pengelolaan


1) Manfaat Ekonomi
Terdapat dua opsi pemanfaatan kawasan TNS, yang terbagi pada dua skenario
model BAU dan model CC adalah sebagai berikut:

- Skenario model BAU :


a) Opsi Pemanfaatan : “Konservasi Mangrove” (KM)
b) Opsi Pemanfaatan : “Tambak Udang” (shrimp sylvofishery, Sylfish).
- Skenario model CC :
a) Opsi Pemanfaatan : “Mangrove Carbon Crediting” (MCC)
b) Opsi Pemanfaatan : “Tambak Udang” (shrimp sylvofishery, Sylfish).
Opsi pemanfaatan pengelolaan mangrove berkelanjutan pada skenario model
carbon crediting dirancang berbasis REDD+.

2) Manfaat Ekosistem
- Manfaat ekosistem adalah manfaat yang menguntungkan seseorang atau
sekelompok orang yang berada di luar (eksternal) dalam hal pengambilan
keputusan tentang penggunaan sumberdaya yang menyebabkan eksternalitas
(Field 1994). Prediksi terhadap manfaat ekosistem ini didekati dengan menilai
seluruh alternatif kegiatan yang mungkin dapat diperoleh dari fungsi ekosistem
hutan mangrove di kawasan TNS.
- Penilaian biaya manfaat ekosistem TNS dirancang untuk pemanfaatan
konservasi mangrove berbasis REDD+ dan pemanfaatan alternatif lain pada
zona tradisional untuk tambak udang. Penilaian biaya manfaat ekosistem
173

mangrove untuk berbagai opsi pemanfaatan ini menggunakan data-data yang


digunakan Kusumastanto et al. (1998) pada penilaian kawasan konservasi
mangrove di Selat Malaka adalah sebagai berikut:
(a) Mangrove Carbon Crediting (MCC)
- Manfaat fungsi ekosistem hutan mangrove di berbagai kawasan Indonesia
rata-rata sebesar 4.953,12 USD ha-1 th-1 (Kusumastanto et al. 1998).
Dengan demikian dapat diperoleh manfaat fungsi ekosistem hutan
mangrove TNS dimana selama periode komitment pengelolaan 25 tahun
(Permenhut No. 36/2009) dapat diperoleh nilainya saat ini (net present
value).
- Ekosistem TNS pada studi ini terdiri atas dua tipe, yaitu ekosistem hutan
mangrove dan ekosistem hutan rawa. Biaya dan manfaat ekosistem hutan
mangrove dan hutan rawa diadaptasi dari Kusumastanto et al. (1998), yaitu
biaya manfaat ekosistem konservasi di Selat Malaka. Komponen standing
stock hutan mangrove diestimasi sekitar 165 USD ha-1th-1 yang didasarkan
pada volume log berdiameter 10 cm atau lebih dan tingkat eksploitasi yang
diizinkan untuk kepentingan kegunaan berkelanjutan selama 20 tahun masa
pengelolaan.
- Nilai manfaat kawasan mangrove dalam fungsinya sebagai penyedia habitat
bagi berbagai jenis ikan diestimasi sekitar 1.522,24 USD ha-1 th-1 yang
didasarkan pada nilai produksi perikanan di seputar hutan. Kehidupan liar
(wildlife) didasarkan pada kekayaan spesies yang ada di dalam ekosistem ini
seperti burung, mamalia dan reptil diestimasi sekitar 8,22 USD ha-1 th-1.
Nilai biodiversitas yang ada pada ekosistem ini didasarkan pada nilai
keanekaragaman hayati hutan hujan tropis dengan fungsi ekologi yang
tinggi, nilai ini diestimasi sekitar 15 USD ha-1 th-1. Sementara itu nilai fisik
(physical value) diestimasi sebesar 726,26 USD ha-1th-1, sedangkan untuk
nilai keberadaan (existence value) diestimasi sebesar 2.516,40 USD ha-1 th-1.
- Selain manfaat tersebut, terdapat biaya ekosistem sebagai biaya investasi
pengelolaan hutan mangrove. Biaya investasi ini diestimasi sekitar 190,39
USD ha-1 5th-1. Biaya pemeliharaan diestimasi sekitar 30 USD ha-1 th-1 dan
biaya eksploitasi mangrove sekitar 78,57 USD ha-1 th-1 (total biaya
pemeliharaan dan eksploitasi 108,57 USD ha-1 th-1). Biaya eksploitasi ikan
di sekitar hutan mangrove diestimasi 681,95 USD ha-1 th-1, sementara itu
biaya pemanfaatan kehidupan liar (wildlife) diestimasi sekitar 0,59 USD ha-1
174

th-1. Dengan demikian total biaya ekosistem pada opsi model dasar
(konservasi) diestimasi mencapai 981,50 USD ha-1 th-1 (lihat Tabel 33).

Tabel 33 Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi
Mangrove Carbon Crediting (MCC)
Nilai
No Komponen Asumsi
(USD ha-1 th-1)
A. Manfaat
1. Tegakan kayu (standing stock) 165,00 Proyeksi NFIA
2. Ikan (Fishery) 1.522,24 Proyeksi NFIA
3. Hidupan liar (Wildlife) 8,22 Proyeksi NFIA
4. Keanekaragaman hayati (Biodiversity) 15,00 Proyeksi NFIA
5. Nilai Fisik (Physical value) 726,26 Proyeksi NFIA
6. Nilai keberadaan (Existence value) 2.516,40 Proyeksi NFIA
Total Manfaat 4.953,12
B. Biaya
1. Biaya investasi (Investment cost) 190,39 Per 5 tahun dan kenaikannya
mengikuti proyeksi NFIA
2. Biaya tegakan kayu 108,57 Proyeksi NFIA
3. Biaya Ikan 681,95 Proyeksi NFIA
4. Biaya hidupan liar 0,59 Proyeksi NFIA
Total Biaya 981,50
Nilai Ekonomi Total 3.971,62
Keterangan:
NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output yang dimiliki sektor luar negeri. NFIA
1980-1993: 3%-5% th-1 (World Bank 1996), NFIA 2010-2035: 6%-7% th-1 (proyeksi).
Sumber : Kusumastanto et al. (1998).

(b) Tambak Udang ( Shrimp Sylvofishery, Sylfish)


- Pada zona tradisional terdapat kawasan yang sejak tahun 1995 sudah digunakan
masyarakat secara ilegal untuk budidaya tambak udang. Ada suatu usulan dari
pemda setempat agar zona ini tetap dipertahankan sebagai kawasan
pertambakan. Tujuannya adalah untuk membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat setempat. Apabila akan dipertahankan sebagai pertambakan, maka
sebaiknya ada pengaturan secara kelembagaan dan mengikat secara hukum bagi
siapa pun yang memanfaatkan zona tersebut.
- Luas opsi pemanfaatan “Sylfish” didasarkan pada dua skenario pemodelan, yaitu
berdasarkan laju deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang sudah
terjadi, serta skenario pemodelan pada laju deforestasi dan degradasi hutan pada
tingkat 10% dari laju saat ini.
- Penggunaan data-data biaya manfaat opsi “Sylfish” menggunakan data-data
yang digunakan Kusumastanto et al. (1998) dimana manfaat tambak udang
sylvofishery (Sylfish) diestimasi sekitar 1.249,84 USD ha-1 th-1, kayu (standing
stock) 132 USD ha-1 th-1, ikan 1.217,79 USD ha-1 th-1, hidupan liar 6,58 USD ha-
1
th-1, biodiversitas 12 USD ha-1 th-1, nilai fisik 581,02 USD ha-1 th-1, dan nilai
175

keberadaan diestimasi sekitar 2.013,12 USD ha-1 th-1. Selain nilai manfaat
tentunya terdapat konsekuensi pembiayaan untuk pengelolaan Sylfish.
Komponen pembiayaan meliputi biaya investasi sekitar 153,47 USD ha-1 5th-1,
biaya operasional dan pengelolaan sekitar 215 USD ha-1 th-1, biaya-biaya
ekosistem meliputi biaya nilai tegakan kayu 82,34 USD ha-1 th-1, biaya ikan
545,56 USD ha-1 th-1, biaya hidupan liar 0,47 USD ha-1 th-1, serta biaya
eksternalitas diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi hutan mangrove
seluas laju deforestasi dan degradasi hutan (the economic forgone) akibat
aktivitas Sylfish. Biaya eksternalitas diestimasi sekitar 825,91 USD ha-1 th-1
(lihat Tabel 34).

Tabel 34 Identifikasi manfaat dan biaya pengelolaan hutan mangrove pada opsi
tambak udang (shrimp sylvofishery, Sylfish)
Nilai
No Komponen Asumsi
(USD ha-1 th-1)
A. Manfaat
1. Shrimp Sylvofishery 1.249,84 Proyeksi NFIA
2. Tegakan kayu (standing stock) 132,00 Proyeksi NFIA
3. Ikan (Fishery) 1.217,79 Proyeksi NFIA
4. Hidupan liar (Wildlife) 6,58 Proyeksi NFIA
5. Keanekaragaman hayati (Biodiversity) 12,00 Proyeksi NFIA
6. Nilai Fisik (Physical value) 581,02 Proyeksi NFIA
7. Nilai keberadaan (Existence value) 2.013,12 Proyeksi NFIA
Total Manfaat 5.212,35
B. Biaya
1. Biaya investasi (Investment cost) 153,47 Per 5 tahun dan kenaikannya
mengikuti proyeksi NFIA
2.
Tambak udang (Sylvofishery cost) 215,00 Proyeksi NFIA
3.
Tegakan kayu (standing stock) 82,34 Proyeksi NFIA
4.
Ikan (Fishery) 545,56 Proyeksi NFIA
5.
Hidupan liar (Wildlife) 0,47 Proyeksi NFIA
6.
Eksternalitas (Externality) 825,91 Proyeksi NFIA
Total Biaya 1.522,75 Proyeksi NFIA
Nilai Ekonomi Total 3.689,60
Keterangan:
NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output yang dimiliki sektor luar negeri. NFIA
1980-1993: 3%-5% th-1 (World Bank 1996), NFIA 2010-2035: 6%-7% th-1 (proyeksi).
Sumber : Kusumastanto et al. (1998).

(2) Formulasi Model


Program formulasi submodel ekonomi karbon secara lengkap disajikan pada
Lampiran 10 Formulasi submodel ekonomi karbon skenario model CC.

6.1.4 Verifikasi dan Validasi Model


Aspek penting dalam pembuatan model adalah pemilihan kriteria kecocokan
validasi yang mencapai kesesuaian pertukaran atau imbal-balik (trade-off) antara
176

tingkat kesesuaian sistem dan kompleksitas model. Oleh karena itu perlu verifikasi dan
validasi model. Verifikasi adalah memeriksa sintesa sistem dengan logika atau analisis
secara teoritik. Verifikasi dapat dibedakan berdasarkan tahapan pemodelannya, yaitu
verifikasi model konseptual dan verifikasi logis. Verifikasi model konseptual adalah
pengujian relevansi asumsi-asumsi dan teori-teori yang dipegang oleh pengambil
keputusan dan analis dalam melakukan cara pandang (point of view) situasi masalah.
Verifikasi logis adalah tahap memeriksa dilibatkan atau diabaikannya suatu variabel
atau hubungan, sehingga aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi model adalah
ukuran performansi sistem.
Validasi merupakan tahap akhir dalam pengembangan pemodelan untuk
memeriksa model dengan meninjau apakah output model sesuai dengan sistem nyata,
dengan memperhatikan konsistensi internal, korespondensi, dan representasi. Tahap
validasi model dilakukan untuk menjawab dua hal berikut, yaitu : 1) Apakah model
konsisten terhadap realitas yang digambarkannya ? 2) Apakah model konsisten dengan
tujuan kegunaan dan hal yang dipermasalahkannya?
Proses verifikasi dan validasi yang dilakukan pada pemodelan sistem ini terdiri
atas verifikasi struktur model dan validasi perilaku model.
(1) Verifikasi Struktur Model.
Yang akan diverifikasi pada pemodelan ini adalah verifikasi struktur dan uji
konsistensi.

(2) Validasi perilaku model.


Validasi perilaku model dilakukan secara matematik deterministik dengan
pendekatan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan atau
RMSPEA (root mean square percent error approximation).

6.1.4.1 Verifikasi Struktur Model


Dalam memverifikasi struktur model diperlukan pembatasan-pembatasan, baik
batasan sistem, variabel maupun asumsi yang digunakan. Dalam mendesain dan
justifikasi pemodelan pada penelitian ini, akan lebih baik jika seorang analis memiliki
sejumlah pengalaman serta sejumlah informasi yang memadai tentang prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan (kehutanan dan sumberdaya pesisir) serta entrepreneurial
khususnya dalan strategi berinvestasi, sehingga dapat menguasai permasalahan aktual di
lapangan serta memahami mekanisme bekerjanya sistem kawasan. Informasi dan
177

pengalaman dapat berupa dari orang lain yang dianggap pakar pada bidangnya maupun
dari sejumlah referensi yang tersedia.
Verifikasi struktur model terdiri dari verifikasi model konseptual dan verifikasi
model logis. Verifikasi struktur memiliki tingkat kepercayaan dan validitas tinggi
apabila struktur model cukup relevan dengan asumsi-asumsi dan teori-teori yang ada
serta digunakan atau tidaknya sejumlah variabel.
Verifikasi model konseptual dalam pengelolaan sumberdaya alam dibangun atas
sejumlah informasi serta studi literatur model dasar. Meadows et al. (1972) dalam
literatur the limits to growth (batas-batas pertumbuhan) telah mengidentifikasi beberapa
hubungan antar variabel yang digunakan dalam model yang dibangun, diantaranya
penduduk, lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Ada hubungan negatif antara tingkat
pertumbuhan ekonomi dengan kondisi lingkungan, hubungan negatif antara jumlah
penduduk dengan kondisi lingkungan, serta hubungan positif antara pertumbuhan
ekonomi dengan tingkat pendapatan penduduk.
Verifikasi model logis merupakan pemeriksaan sintesa sistem dengan logika
atau analisis secara teoritik dengan melihat kecenderungan hubungan antar variabel
yang dimodelkan. Verifikasi kecenderungan hubungan antar variabel merupakan
pengujian tren respon variabel endogen (output) sebagai akibat terjadinya perubahan
variabel eksogen (input) antara sistesa sistem dengan analisis secara teoritik, jika tidak
terdapat intervensi kebijakan terhadap sistem tersebut. Premis dari Meadows et al.
(1972) menunjukkan dimana terdapat hubungan negatif antara jumlah penduduk
dengan kondisi lingkungan sebagaimana disajikan pada Gambar 44.

Tahun

Keterangan : 1=Penduduk (jiwa), 2= Hutan mangrove primer TNS (ha),


3=Emisi Hmp TNS BAU (tCO2 th-1)

Gambar 44 Verifikasi hubungan antar variabel


178

6.1.4.2 Validasi Perilaku Model

Validasi perilaku model dibuat untuk mengetahui tingkat kompatibilitas output


model dengan output dari kinerja sistem. Hasil validasi secara matematik deterministik
dengan pendekatan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan atau
RMSPEA (root mean square percent error approximation) menunjukkan kesesuaian
(goodness of fit) antara output model (ym) dengan output sistem aktual (ys) dimana
keduanya membentuk pola batas-batas pertumbuhan (limits to growth). Nilai RMSPEA
(persamaan 3.30) pada variabel populasi penduduk menghasilkan nilai akar rata-rata
kuadrat kesalahan sebesar 4,76% berada pada batas penyimpangan (error) yang masih
dapat ditoleransi secara statistika, yaitu pada kisaran 5%-10%. Berdasarkan hasil
validasi tersebut menunjukkan bahwa model yang dirancang memenuhi kriteria
validitas kinerja.
Validasi perilaku model pada variabel populasi penduduk dapat dikatakan sahih,
karena memiliki kemiripan model yang sebenarnya. Perbandingan perilaku model
berdasarkan hasil simulasi dan data historis disajikan pada Gambar 45.

825.000
800.000
775.000
Populasi (jiwa)

750.000
725.000 Data Historis
700.000 Model
675.000
650.000
625.000
600.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun

Gambar 45 Validasi variabel populasi penduduk

Demikian halnya validasi perilaku model pada variabel penyusutan luas hutan
mangrove primer dapat dikatakan sahih, karena memiliki kemiripan antara
kecenderungan hasil simulasi dengan data historis. Hasil pengujian menunjukan nilai
aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan (RMSPEA) sebesar 8,49%,
berada pada batas penyimpangan (error) yang masih dapat ditoleransi secara statistika
(lihat Gambar 46)
179

110.000
100.000
90.000
80.000

Luas Hmp (ha)


70.000
60.000 Data Hitoris
50.000 Model
40.000
30.000
20.000
10.000
-
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun

Gambar 46 Validasi variabel hutan mangrove primer

6.1.5 Sensitivitas Model

Pengujian analisis sensitivitas terhadap model bertujuan untuk menelaah


variabel eksogen yang dapat mendeterminasi naik turunnya variabel endogen, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu kebijakan. Variabel laju deforestasi
dan degradasi hutan mangrove pada penelitian ini merupakan salah satu faktor
determinan terhadap tingkat output total karbon terestrial (lihat Gambar 47).

Karbon (tCO2 th-1)

Tahun
-1
Keterangan: 1: Tot C Terest TNS pada Skenario model BAU (tCO2 th )
2: Tot C Terest TNS pada Skenario model CC (tCO2 th-1)

Gambar 47 Sensitivitas model peningkatan laju karbon


terestrial pada skenario model business as
usual dan skenario model carbon crediting

Hasil simulasi perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove pada dua
skenario model BAU dan model CC menunjukkan tingkat perbedaan sensitivitas
terhadap peningkatan stok karbon terestrial. Faktor determinan variabel laju deforestasi
dan degradasi hutan pada model BAU dengan tingkat laju penyusutan hutan rata-rata
180

sebesar 14.875 ha th-1 menunjukkan total karbon terestrial rata-rata sebesar 211.486
tCO2 th-1 (baseline). Sementara itu, laju deforestasi dan degradasi hutan pada skenario
model CC yang diasumsikan hanya 10% dari tingkat penyusutan hutan model BAU
menunjukkan total karbon terestrial rata-rata sebesar 4,82 MtCO2 th-1. Tingkat laju
karbon terestrial pada dua skenario tersebut membentuk pola S-Shaped growth atau
membentuk contagion model (Kirkwood 1998). Model pertumbuhan ini merupakan
respon hutan mangrove terhadap keterbatasan daya dukung lingkungannya, sebagai
akibat planned deforestation dan unplanned deforestation maupun keterbatasan
organisme itu sendiri seperti faktor umur tanaman maupun penyakit.
Penerapan skenario model CC pada pengelolaan kawasan konservasi TNS
menunjukkan sensitivitas kelayakan usaha yang tinggi terhadap arus penerimaan kas
(cash inflow), terutama perubahan variabel harga karbon. Biaya pengelolaan kawasan
TNS model CC relatif tinggi terutama pembiayaan untuk reboisasi. Luas areal reboisasi
rata-rata 4.900 ha th-1 pada kawasan APL dan areal pertambakan dengan biaya
reboisasi sebesar 7,36 juta USD th-1. Sementara itu rata-rata biaya pengelolaan
lingkungan dan operasional sebesar 1,9 juta USD th-1. Dengan demikian total biaya
pengelolaan lingkungan dan biaya reboisasi adalah 9,26 juta USD th-1. Berdasarkan
estimasi tersebut, maka dengan rata-rata karbon yang dihasilkannya sebesar 1,15
MtCO2 th-1 dapat diperoleh harga pokok penjualan (cost of goods sold) sebesar 8,05
USD tCO2-1.
Dengan demikian skenario model CC akan menjadi pilihan alternatif
pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan, apabila harga ideal karbon minimal 10
USD tCO2-1 dengan profit margin sekitar 25% (2 USD tCO2-1). Gambar 48 dan Tabel
35 memberikan ilustrasi hasil simulasi pada berbagai perubahan harga karbon.

Carbon Revenue (USD)

Tahun
Gambar 48 Sensitivitas model pada beberapa perubahan
tingkat harga karbon : (1) 10 USD tCO2-1,
(2) 9 USD tCO2-1, (3) 8,05 USD tCO2-1 (BEP)
181

Tabel 35 Sensitivitas perubahan harga karbon terhadap biaya pengelolaan TNS pada
skenario model carbon crediting
Biaya
Manfaat karbon Profit margin
No Variabel pengelolaan
(juta USD th-1) (juta USD th-1)
(juta USD th-1)
1 Harga karbon : 10 USD t CO2-1 11,5 9,26 2,24
2 Harga karbon : 9 USD t CO2-1 10,35 9,26 1,09
3 Harga karbon: 8,05 USD t CO2-1 9,26 9,26 BEP
Keterangan: BEP=Breakeven point=titik impas

Sementara itu, sensitivitas model pada berbagai laju peningkatan penduduk (r)
menunjukkan hubungan linier. Semakin tinggi tingkat laju populasi penduduk, maka
tekanan penduduk terhadap hutan mangrove di TNS untuk areal tambak semakin
meningkat. Laju pertumbuhan penduduk terhadap tingkat okupasi tambak di kawasan
TNS disajikan pada Gambar 49 dan Tabel 36.

Luas tambak (ha)

Tahun

Gambar 49 Sensitivitas model pada beberapa perubahan


tingkat pertumbuhan populasi (r) terhadap
okupasi areal tambak (1) r = 2,58% th-1, (2) r =
3,50% th-1, (3) r = 4,50% th-1

Tabel 36 Perubahan tingkat laju populasi penduduk terhadap tingkat okupasi tambak
di TNS
Tingkat okupasi tambak di TNS (ha)
No Variabel
2010 2020 2035
1 Laju pertumbuhan penduduk r = 2,58% 2.013 1.579 1.703
2 Laju pertumbuhan penduduk r = 3,50% 2.013 1.583 2.871
3 Laju pertumbuhan penduduk r = 4,50% 2.013 1.587 7.311
182

6.2 Simulasi dan Optimasi Alternatif Pemodelan serta Akuntansi Karbon


(Carbon Accounting) pada Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Analisis yang dirancang pada sub bab ini untuk mendapatkan dua sasaran pokok
kajian, yaitu optimasi pengelolaan pesisir serta akuntansi karbon (carbon accounting)
pada skenario model dengan cara saat ini (business as usual) dan skenario kredit karbon
(carbon crediting). Analisis Akuntansi Karbon difokuskan untuk mendapatkan
sejumlah perhitungan nilai karbon terestrial yang kridibel. Terdapat tiga sasaran
analisis Akuntansi Karbon yang akan dicapai, yaitu (1) Akuntasi stok (Stock
accounting), (2) Akuntansi emisi (emission accounting), dan (3) Akuntansi reduksi
emisi (emission reduction accounting) melalui dua skenario model BAU dan model
CC.
Pemodelan yang diajukan sebagai alternatif the best economic allocation
merupakan dua opsi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove,
sebagai berikut:
1) Skenario model business as usual (model BAU), yaitu kebijakan pengelolaan
kawasan TNS sebagai kawasan konservasi dengan tingkat laju deforestasi dan
degradasi sebagaimana saat ini berlangsung. Sementara itu kebijakan pemanfaatan
konversi hutan di FA untuk pengembangan industri pertanian secara luas termasuk
pengembangan budidaya tambak. Kebijakan konversi hutan di FA ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan industri pertanian tersebut serta untuk pengembangan
pemukiman, transmigrasi dan infrastruktur. Diprediksi bahwa kebijakan ini
berkontribusi terhadap efek GRK yaitu meningkatnya emisi CO2 di wilayah pesisir
TN Sembilang. GRK pada konsentrasi yang terlalu tinggi di atmosfer bumi
diperkirakan akan membahayakan lingkungan global karena dapat menimbulkan
masalah pemanasan (global warming).
2) Skenario model carbon crediting (model CC), yaitu suatu model alternatif
pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+. Secara filosofis skenario ini
bermakna bahwa konversi hutan pada areal yang tidak dilindungi undang-undang di
frontier area adalah hak kedaulatan semua pihak yang menginginkan perubahan
ekonomi. Dengan tanpa paksaan harus melaksanakan moratorium industri pertanian
hutan tanaman dan kebun, pembangunan tetap harus berjalan untuk masa depan dan
kesejahteraan masyarakatnya. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola pada
kawasan yang dilindungi undang-undang agar dapat mereduksi efek gas rumah kaca
sebagai akibat konversi hutan itu.

Prinsip dasar dalam simulasi dan optimasi alternatif pemodelan ini adalah mencari
suatu model paling kredibel, mengurangi tingkat deplesi sumberdaya alam yang
183

dapat memicu tingkat emisi CO2 serta kemampuannya mendorong pertumbuhan


ekonomi wilayah setempat. Ekspektasi terhadap distribusi pendapatan serta peluang
kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, merupakan pilihan lain yang dapat
dipertimbangkan. Dua model pengelolaan sumberdaya pesisir yang akan dianalisis
pada sub bab ini yaitu : (1) Optimasi pengelolaan sumberdaya pesisir model
business as usual, (2) Optimasi pengelolaan sumberdaya pesisir model carbon
crediting.

6.2.1 Optimasi Pengelolaan Pesisir dan Akuntansi Karbon (Carbon Accounting)


pada Model Business As Usual (Model BAU)

Opsi pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove serta beberapa asumsi relevan


yang didesain adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan TNS dibagi atas dua opsi:
1) Opsi model pengelolaan “Konservasi Mangrove” (KM) pada kawasan TNS
seluas 202.897 ha. Luas awal sisa penyusutan sejak 2006 adalah areal hutan
mangrove primer (Hmp) seluas 35.027 ha, hutan rawa sekunder (Hrs) seluas
68.658 ha, areal penggunaan lain (APL) seluas 97.021 ha dan areal
pertambakan pada zona tradisional seluas 2.013 ha.
2) Opsi pemanfaatan “Sylfish” (sylvofishery), yaitu pada zona tradisional seluas
2.013 ha yang dikelola masyarakat untuk areal pertambakan. Opsi
pemanfaatan “Sylfish” diusulkan untuk alokasi tambak udang (shrimp
sylvofishery).
Terhadap dua opsi alokasi pemanfaatan sumberdaya mangrove ini kemudian
dianalisis secara komparatif berdasarkan kriteria NPV, tingkat emisi CO2 yang
dihasilkannya serta tingkat penyerapan tenaga kerja.
b. Perbandingan tingkat karbon terestrial di kawasan TNS yang dihasilkan pada
skenario model BAU. Apakah bersifat karbon positif (carbon sink) atau bersifat
karbon negatif (carbon source).
c. Asumsi pertambahan luas tambak serta perubahan tutupan lahan lainnya
didasarkan pada laju historis deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana saat
ini terjadi.
d. Kecenderungan sebuah sistem dasar dapat memberikan suatu pemahaman dan
gambaran bagaimana suatu sumberdaya alam harus dikelola secara bijaksana,
agar tercapai keseimbangan ekosistem di masa depan. Oleh karena itu dalam
analisis ini dilakukan simulasi dengan menggunakan model simulasi dinamis
dalam rentang waktu 25 tahun (Permenhut No. 36/2009). Simulasi dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa kecenderungan sistem saat ini akan terus berlanjut di
masa yang akan datang. Beberapa asumsi lain yang digunakan dalam simulasi
184

ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab 6.1.3 Formulasi model (input
output simulasi model).

Analisis simulasi model BAU dilakukan untuk mengetahui kecenderungan


sistem model pesisir TNS dan FA di masa depan dari berbagai variabel yang dikaji
apabila tidak dilakukan kebijakan terhadap suatu kecenderungan sistem itu. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku sistem, melalui
penelaahan perilaku model yang selaras dimana hubungan sebab akibatnya (causal
loop) menyerupai sistem sebenarnya (real world). Demikian halnya dengan perubahan
tutupan lahan akan terus berlanjut berdasarkan asumsi laju deforestasi dan degradasi
hutan sebagaimana saat ini terjadi. Perubahan tutupan lahan hasil simulasi dengan
bantuan pemograman I-Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 37 dan secara rinci
disajikan pada Lampiran 11.

Tabel 37 Perubahan tutupan lahan akibat deforestasi dan degradasi hutan skenario
model BAU di kawasan pesisir TN Sembilang dan di FA selama periode
komitmen 25 tahun pengelolaan (ha)
Periode Komitmen
No Tutupan Lahan Model BAU
2010 (awal) 2020 2035 (final)
A Areal dilindungi UU (TNS)
1 Hutan mangrove primer (Hmp) 35.205 1.710 0
2 Hutan mangrove sekunder (Hms) 0 13.465 8.742
3 Hutan rawa sekunder (Hrs) 68.658 3.084 11
4 Areal Penggunaan Lain (APL) 97.021 178.877 182.551
5 Tambak TNS 2.013 5.760 11.593
Sub Total (A) 202.897 202.897 202.897
Areal tidak dilindungi UU
B
(FA)
1 Areal Penggunaan Lain (APL) 1.109 1.175 393
2 Hutan mangrove primer (Hmp) 12.999 2.562 224
3 Hutan mangrove sekunder (Hms) 5.288 3.166 1.467
4 Hutan rawa sekunder (Hrs) 89.168 0 0
5 Hutan Tanaman Industri 0 53.500 55.980
6 Perkebunan sawit 0 40.219 40.997
7 Tambak FA 0 2.075 3.637
8 Pemukiman dan Infrastruktur 0 5.867 5.867
Sub Total (B) 108.564 108.564 108.564
C Total DD dari TNS dan FA 311.461 311.461 311.461

Skenario model BAU (baseline) dianalisis sampai sejauhmana kawasan itu


memberikan manfaat pada masyarakat saat ini dan masa datang yang diukur
berdasarkan nilai NPV-nya, karbon terestrial dan efek emisi CO2 yang dihasilkannya,
serta kemampuannya dalam membuka kesempatan kerja bagi masyarakat setempat.
185

Selain itu juga dilihat kecenderungan ekosistem TNS pada akhir simulasi sebagai
respon terhadap kebijakan konservasi kawasan tersebut serta opsi pemanfaatan
kawasan pada zona tradisional yang dipertahankan sebagai areal pertambakan.
Pada Tabel 35 menunjukkan dimana pada awal periode simulasi terdapat areal
tambak seluas 2.013 ha, kemudian terjadi pertambahan areal secara berkala mengikuti
laju deforestasi dan degradasi hutan dengan asumsi tidak ada intervensi kebijakan
terhadap kecenderungan tersebut. Pada tahun 2020 diprediksi luas areal tambak
meningkat menjadi 5.760 ha dan mencapai puncaknya pada akhir periode komitmen
tahun 2035 seluas 11.593 ha. Demikian halnya untuk tutupan lahan lainnya, hutan
mangrove primer (Hmp) dan hutan rawa sekunder (Hrs) terjadi deplesi yang sangat
cepat, berubah fungsi manjadi areal penggunaan lain: belukar, belukar rawa, padang
rumput dan sebagainya.
Skenario pengelolaan kawasan TNS untuk dua opsi pemanfaatan, yaitu model
“Konservasi Mangrove” dan “Sylfish” (shrimp sylvofishery)/tambak udang
menunjukkan tingkat the net present value (NPV) yang positif (NPV > 0) serta tingkat
benefit cost ratio yang layak (BC ratio > 1). Hal ini mencerminkan bahwa kedua opsi
pemanfaatan tersebut layak secara ekonomi untuk dikembangkan di kawasan TNS pada
tingkat the social opportunity cost of capital sebesar 10%. Hasil analisis pemodelan
dengan program I-Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38 Tingkat perbandingan opsi pemanfaatan hutan mangrove skenario model


business as usual (BAU) di kawasan pesisir TN Sembilang pada periode
komitmen 25 tahun
Opsi Pemanfaatan
No Kriteria Model BAU Keterangan
KM Sylfish
1 Luas Pengelolaan (ha) 191.304 11.593
2 NPV (juta USD) 1.257,88 1.101,03
3 BC Ratio 5,73 5,32
4 Stok Karbon terestrial (tCO2e) 3.826.745 0 carbon sink
5 Emisi CO2 (t CO2e) 33.376.265 6.626.780 carbon source
6 Kesempatan kerja (jiwa) 8 9.522
Keterangan : KM : Konservasi Mangrove; Sylfish : Sylvofishery (shrimp sylvofishery)

Hasil analisis valuasi ekonomi baseline model (Model BAU) pada opsi
pemanfaatan hutan mangrove TNS secara konservasi menghasilkan the net present
value (NPV) sebesar 1.257,88 juta USD dengan benefit cost ratio (BC ratio) sebesar
5,73. Artinya bahwa jika kawasan TNS ini tetap dibiarkan seperti saat ini, maka dengan
tingkat social opportunity cost of capital (SOCC) sebesar 10%, pada periode komitmen
186

25 tahun akan memberikan manfaat nilai kini bersih sebesar 1.257,88 juta USD pada
kehidupan masyarakat Banyuasin dan sekitarnya dengan kesempatan kerja yang tersedia
sekitar 8 tenaga kerja. Valuasi ekonomi baseline model (model BAU) pada opsi
pemanfaatan konservasi mangrove dan sylvofishery secara rinci disajikan pada
Lampiran 12 dan Lampiran 13.
Sementara itu opsi pemanfaatan hutan mangrove TNS pada zona tradisional
untuk “Sylfish” menghasilkan NPV sebesar 1.101,03 juta USD dengan BC ratio
sebesar 5,32. Jika pada zona tradisional TNS ini dialokasikan untuk budidaya
“Sylfish”, maka akan memberikan manfaat tambahan sebesar nilai ekonomi tersebut
pada tingkat SOCC 10%. Peluang kesempatan kerja yang diciptakan pada opsi ini
relatif besar dibanding opsi pemanfaatan secara konservasi dimana terbuka peluang
sekitar 9.522 tenaga kerja bagi masyarakat Banyuasin dan sekitarnya.
Secara ekonomi, skenario model BAU akan memberikan nilai ekonomi total
(mangrove dan sylfish) sebesar 2.358,91 juta USD, akan tetapi deplesi sumberdaya
hutan mangrove mengalami peningkatan. Apabila laju natalitas penduduk adalah tetap
sebesar 2,58% th-1, maka stok sumberdaya hutan mangrove primer (Hmp) di TNS hanya
dapat bertahan sampai tahun 2026 (sisa 62 ha). Selama periode 2010-2035 terjadi
perubahan fungsi hutan menjadi hutan mangrove sekunder (Hms) 8.742 ha, areal
penggunaan lain (APL) sekitar 182.551 ha dan perubahan luas tambak dari 2013 ha
menjadi 11.593 ha. Ada suatu kecenderungan dimana dengan tingkat laju natalitas itu
pada tahun yang akan datang diprediksi menjadi 1,4 juta jiwa. Pertambahan populasi
ini dapat menyebabkan tekanan terhadap kawasan TNS semakin tinggi.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 5 bahwa tekanan penduduk terhadap
lahan (TP) di wilayah ini termasuk tinggi (nilai TP > 2). Rata-rata kebutuhan lahan
pertanian untuk setiap petani sekitar 1,2 ha. Data tersebut mencerminkan bahwa
penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk
dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar
2,58% th-1 serta rendahnya lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan
degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap hutan mangrove
semakin meningkat.
Data historis laju deforestasi dan degradasi menunjukkan dimana tekanan
penduduk terhadap hutan mangrove TNS rata-rata 3,6% th-1 (1995-2000). Sementara
itu data sisa hasil deforestasi dan degradasi TNS (2006-2010) masih terdapat sekitar
187

35.025 ha hutan mangrove primer, 68.658 ha hutan rawa sekunder dan terdapat sekitar
2.013 ha tambak di Semenanjung Sembilang. Atas dasar data historis ini, pertumbuhan
penduduk dan luas tambak akan semakin bertambah secara linier. Sementara itu
kawasan hutan mangrove primer dan hutan rawa sekunder diprediksi akan terjadi
penyusutan mengikuti pola exponential decay (lihat Gambar 50).

200000
180000
Perubahan luas hutan (ha)

160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
10
11
12
13

14
15
16
17
18
19
20
21
22

23
24
25
26
27
28
29
30
31

32
33
34

l
na
20
20
20
20

20
20
20
20
20
20
20
20
20

20
20
20
20
20
20
20
20
20

20
20
20
Fi
Tahun

Hmp TNS Hms TNS Hrs TNS APL TNS Tambak TNS

Gambar 50 Tren dampak tekanan penduduk terhadap hutan mangrove untuk


kebutuhan areal pertambakan dan penggunaan lain di dalam
kawasan pesisir TN Sembilang

Data historis lainnya menunjukkan dimana okupasi penduduk terhadap lahan


TN Sembilang pada umumnya digunakan untuk usaha tambak, sehingga hal ini dapat
menimbulkan potensi gas metana (CH4). Kecenderungan ini dapat memperburuk efek
GRK karena potensi gas metana 25 kali lipat dibandingkan emisi CO2. Apabila tidak
ada intervensi kebijakan terhadap fenomena tersebut, maka laju deforestasi dan
degradasi hutan serta laju rata-rata emisi CO2 akan mengikuti pola kecenderungan
tersebut.
Fakta ilmiah lainnya memberikan gambaran bahwa terdapat korelasi cukup
tinggi antara kepadatan penduduk dengan luas konversi hutan di FA. Berdasarkan
analisis terhadap data luas konversi hutan dan kepadatan penduduk ditemukan bahwa
hubungan antara kepadatan penduduk dan luas fraksi konversi hutan terjadi relatif
cepat dengan sedikit peningkatan kepadatan penduduk. Hal ini disebabkan program
pembukaan hutan untuk pembangunan pertanian dan perkebunan di luar kawasan TNS
terjadi sangat intensif (125% selama 25 tahun) dibanding pertumbuhan penduduk
(64,5% selama 25 tahun). Gambar 51 berikut menunjukkan kecenderungan tersebut.
188

120000

100000
Konversi hutan (ha)

80000

60000

40000

20000

0
10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

l
na
20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20
Fi
Tahun

HTI Saw it Tambak FA Pmkmn & Infrastruktur Total

Gambar 51 Tren dampak tekanan penduduk terhadap konversi hutan


mangrove di luar kawasan TNS (FA).

Efek deplesi sumberdaya hutan mangrove, sesungguhnya bukan hanya sekedar


peningkatan emisi CO2 saja, akan tetapi spektrum dampak yang akan terjadi dapat
meluas ke sektor lainnya membentuk loop negatif. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa fenomena dampak perubahan iklim ekstrim tersebut telah direspon
masyarakat pesisir dalam hal pola adaptasi negatif. Gagal panen sebagai akibat
perubahan iklim yang tidak menentu telah merubah orientasi masyarakat untuk
mengeksploitasi sumberdaya hutan yang ada.
Data historis menunjukkan bahwa musim kemarau panjang pada tahun 2005-
2006 di wilayah Kabupaten Banyuasin telah menyebabkan penurunan kontribusi
tanaman perkebunan terhadap produk domestik regional sektor pertanian dari 9,17%
menjadi 8,99%, share produksi perikanan menurun dari 10,12% menjadi 9,73%.
Demikian halnya pada tahun 2007 dan 2008 telah menyebabkan gagal panen bahan
makanan (food crops) dan terjadi penurunan dari 10,50% menjadi 10,24% dan
perikanan turun dari 9,49% menjadi 8,51%.
Peningkatan laju emisi pada baseline model di FA lebih disebabkan faktor
planned deforestation melalui perencanaan tata ruang. Data historis menunjukkan
dimana alokasi lahan untuk 2006-2026 seluas 115.027 ha merupakan areal
berpenutupan vegetasi. Sampai tahun 2010 masih terdapat sisa lahan seluas 108.564 ha.
Selama periode komitmen 25 tahun simulasi model BAU, terjadi perubahan fungsi
189

hutan menjadi hutan tanaman industri (55.980 ha), kebun sawit (40.997 ha), pemukiman
dan infrastruktur (5.865 ha) serta areal pertambakan (3.638 ha).
Pola ekspansi hutan tanaman industri dan perkebunan untuk kepentingan
pembangunan ekonomi merupakan suatu hal wajar dan suatu keharusan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi perlu diantisipasi dampak yang akan
terjadi apabila sumber konversi lahan tersebut masih merupakan hutan, terutama pada
kawasan hutan rawa bergambut dengan kedalaman di atas 3 meter. Pembangunan hutan
tanaman industri dan kebun sawit pada kawasan hutan rawa atau gambut, pada
umumnya membangun sistem drainase. Kanal-kanal tersebut dibuat untuk mengurangi
kelebihan air agar gambut menjadi lebih kering dan tanaman dapat tumbuh lebih subur.
Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat
tersebut sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga
menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap
kebakaran.
Selain itu terdapat kecenderungan perilaku masyarakat di FA dalam
pemanfaatan sumberdaya alam seringkali dilakukan dengan pembuatan kanalisasi
untuk jalur transportasi masuk hutan. Hal ini diprediksi akan menyebabkan
fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan
ekosistem secara keseluruhan. Diferensiasi dampaknya berupa penurunan hasil hutan nir
kayu dan penurunan produktivitas perikanan akan semakin tinggi. Efek perilaku
baseline model tersebut, apabila tidak ada intervensi kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir TNS dan sekitarnya (FA), maka diprediksi deplesi sumberdaya
mangrove akan mengalami peluruhan lebih cepat daripada simulasi model dasar itu
sendiri.
Pada periode awal komitmen pengelolaan sumberdaya pesisir TNS terdapat
areal hutan mangrove yang dilindungi undang-undang seluas 202.897 ha (di dalam
kawasan TNS) dan sekitar 108.564 ha hutan yang tidak dilindungi undang-undang (di
FA), total stok awal sumberdaya hutan mangrove seluas 311.461 ha. Tingkat laju
historis deforestasi dan degradasi hutan baseline model yang terjadi di dua kawasan ini
menunjukkan tingkat laju karbon terestrial yang semakin menurun. Laju penurunan
karbon terestrial secara eksponensial di dua kawasan ini terjadi sebagai akibat gejala
alamiah maupun akibat anthropogenik.
Laju peluruhan karbon terestrial di dalam kawasan TNS lebih disebabkan faktor
yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), seperti kebakaran hutan dan
190

perambahan hutan untuk areal pertambakan. Sedangkan di FA lebih disebabkan faktor


yang direncanakan (planned deforestation), seperti konversi hutan untuk kepentingan
pembangunan ekonomi melalui RUTR. Dua faktor penggerak (driving factors) tersebut
diprediksi dapat mereduksi tingkat karbon terestrial di TNS dan di FA.
Pada periode awal komitmen pengelolaan skenario model BAU terdapat stok
karbon terestrial sekitar 87,61 MtCO2, terdiri dari 49,71 MtCO2 karbon terestrial
dilindungi (TNS) dan 37,89 MtCO2 karbon terestrial tidak dilindungi (FA). Dua faktor
penggerak (driving factors) deforestasi dan degradasi hutan diprediksi menyebabkan
eksponential decay stok karbon terestrial di dua kawasan pesisir ini. Pada tahun 2020
diprediksi terjadi peluruhan karbon terestrial menjadi sekitar 12,64 MtCO2 dan
mencapai puncak penyusutan pada tahun 2035 menjadi sekitar 6,03 MtCO2. Peluruhan
karbon terestrial mencerminkan bahwa kawasan TNS dan FA tidak memiliki
kemampuan lagi untuk mensekuestrasi emisi CO2 karena tingginya deforestasi dan
degradasi hutan di dua kawasan itu. Hal ini diprediksi dapat menyebabkan anomali
iklim dan mengganggu keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut. Laju stok karbon
terestrial pada kawasan TNS dan FA disajikan pada Tabel 39 dan secara rinci disajikan
pada Lampiran 14.

Tabel 39 Akuntansi stok (stock accounting) karbon terestrial pada kawasan dilindungi
(TNS) dan kawasan tidak dilindungi (FA) pada skenario model BAU
(tCO2e)
Akuntansi stok (Stock accounting) Periode Komitmen
No
Model BAU 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS)
1 Karbon Terestrial Hmp TNS 29.345.514 1.425.756 -
2 Karbon Terestrial Hms TNS - 5.045.889 3.275.968
3 Karbon Terestrial Hrs TNS 19.300.107 866.866 3.126
4 Karbon Terestrial APL TNS 1.067.231 1.967.652 2.008.056
Total Stok Karbon Terestrial TNS 49.712.853 9.306.163 5.287.150
B Karbon Terestrial tidak Dilindungi
(FA)
1 Karbon Terestrial APL FA 12.199 12.924 4.321
2 Karbon Terestrial Hmp FA 10.835.459 2.135.733 186.893
3 Karbon Terestrial Hms FA 1.981.590 1.186.451 549.674
4 Karbon Terestrial Hrs FA 25.065.571 - -
Total Stok Karbon Terestrial FA 37.894.819 3.335.108 740.888
C Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA 87.607.671 12.641.271 6.028.037
Keterangan: Hmp: Hutan mangrove primer; Hms: Hutan mangrove sekunder; Hrs : Hutan rawa sekunder
APL: Areal penggunaan lain.

Kecenderungan skenario model BAU pada tingkat perbandingan karbon


terestrial dan emisi CO2 di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) pada periode awal
komitmen terdapat net karbon terestrial sekitar 44,83 MtCO2, sehingga neraca karbon
191

(carbon balance) pada daerah ini dapat dikategorikan sebagai karbon terestrial positif
(carbon sink). Artinya kawasan TNS mampu mengabsorbsi emisi yang dilepaskan dari
deforestasi dan degradasi pada kawasannya sendiri dan mendapatkan surplus karbon
terestrial (carbon gain) sebesar 44,83 MtCO2. Namun demikian kecenderungan model
BAU pada periode komitmen 2020 dan 2035 mengalami penurunan secara eksponensial
menjadi karbon negatif sebesar -21,37 MtCO2 dan -34,71 MtCO2. Kecenderungan
skenario model BAU ini dapat disimpulkan bahwa Neraca Karbon (carbon balance)
kawasan TNS merupakan kawasan karbon terestrial negatif (carbon source) (lihat Tabel
40).
Kecenderungan trajectory karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon
source) pada skenario model BAU di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) mulai
terjadi perubahan sebagai karbon terestrial negatif (carbon source) pada tahun 2014
dan seterusnya pada tahun 2020 sampai akhir periode komitmen tahun 2035.
Kecenderungan trajectory karbon terestrial tersebut mencerminkan bahwa sumberdaya
hutan mangrove di TNS setelah tahun 2014 tidak lagi mampu mengabsorbsi emisi CO2.
Hal ini terjadi sebagai akibat percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan lebih
besar dari pada laju carbon regrowth sumberdaya tersebut (lihat Lampiran 15).

Tabel 40 Akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model BAU di


kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) (tCO2e)
Akuntansi Karbon TNS Periode Komitmen
No (carbon accounting)
2010 (awal) 2020 2035 (Final)
Model BAU
A Stock accounting pada kawasan
Dilindungi (TNS)
1 Karbon Terestrial Hmp TNS 29.345.514 1.425.756 -
2 Karbon Terestrial Hms TNS - 5.045.889 3.275.968
3 Karbon Terestrial Hrs TNS 19.300.107 866.866 3.126
4 Karbon Terestrial APL TNS 1.067.231 1.967.652 2.008.056
Total Stok Karbon Terestrial TNS 49.712.853 9.306.163 5.287.150
B Emission accounting pada kawasan
dilindungi (TNS)
1 Emisi dr DD Hmp TNS 3.111.285 21.331.761 27.152.416
2 Emisi dr DD Hms TNS - 6.256.265 6.664.032
3 Emisi dr DD Hrs TNS 90.768 185.835 190.106
4 Emisi Tambak TNS 1.679.484 3.354.299 6.626.780
Total Emisi CO2 TNS 4.881.537 31.128.160 40.633.335
Carbon regrowth TNS - 450.942 630.289
Tot Net Emisi dari DD di TNS 4.881.537 30.677.218 40.003.046
C Total Stok Karbon/Emisi CO2 44.831.316 (21.371.055) (34.715.896)
D Neraca Karbon (Carbon Balance) Sink Source Source

Kecenderungan model BAU yang sama terjadi di FA dimana pada 2010


terdapat stok karbon sebesar 29,15 MtCO2, sehingga dapat dikategorikan sebagai
carbon sink. Namun demikian pada tahun 2020 dan 2035 terjadi perubahan menjadi
192

kawasan carbon source masing-masing sebesar -39,39 MtCO2 dan -44,34 MtCO2. Hal
ini terjadi sebagai akibat laju deforestasi dan degradasi hutan untuk pembangunan HTI,
perkebunan sawit, pertambakan, pemukiman dan infrastruktur (lihat Tabel 36 dan
Lampiran 16).
Trajectory stok karbon terestrial (carbon sink) dan emisi CO2 (carbon source)
pada skenario model BAU di FA mulai terjadi perubahan sebagai karbon terestrial
negatif (emisi CO2) pada tahun 2011 dan seterusnya pada tahun 2020 dan sampai pada
akhir periode komitmen pengelolaan tahun 2035. Secara agregat, hasil deliniasi karbon
terestrial model BAU di kawasan TNS dan FA menunjukkan hasil net karbon negatif
baik pada tahun 2020 (-60,75 MtCO2) maupun pada akhir periode simulasi 2035 (-79,06
MtCO2). Kecuali pada awal simulasi terdapat karbon terestrial positif sebesar 73,98
MtCO2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skenario model BAU pada
kawasan TNS dan sekitarnya pada tahun 2010 (awal simulasi) diprediksi merupakan
kawasan carbon sink, sedangkan pada tahun 2020 dan 2035 diprediksi sebagai kawasan
carbon source (sumber emisi CO2) (lihat Gambar 52).

Tabel 41 Akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model BAU di FA


(tCO2e)
Akuntansi karbon FA Periode Komitmen
No (carbon accounting)
2010 (awal) 2020 2035 (Final)
Model BAU
A Stock accounting pada kawasan tidak
dilindungi (FA)
1 Karbon Terestrial Hmp FA 12.199 12.924 4.321
2 Karbon Terestrial Hms FA 10.835.459 2.135.733 186.893
3 Karbon Terestrial Hrs FA 1.981.590 1.186.451 549.674
4 Karbon Terestrial APL FA 25.065.571 - -
Total Stok Karbon Terestrial FA 37.894.819 3.335.108 740.888
B Emissions accounting pada kawasan
tidak dilindungi (FA)
1 Emisi CO2 APL FA - 2.145.264 2.579.937
2 Emisi CO2 Hmp FA 5.867.783 11.841.909 13.180.183
3 Emisi CO2 Hms FA 453.733 1.248.872 1.885.651
4 Emisi CO2 Hrs FA 2.419.478 27.594.577 27.594.577
Total Emisi CO2 FA 8.740.994 42.830.622 45.240.348
Carbon regrowth FA - 106.833 154.102
Tot Net Emisi dari DD di FA 8.740.994 42.723.788 45.086.246
C Total Stok Netto Karbon/Emisi CO2 29.153.824 (39.388.680) (44.345.359)
D Carbon Balance Sink Source Source
193

Carbon Terestrial
2010 2020 2035
Net C Terestrial/
49,71 jt 9,31 jt 5,29 jt Emisi C Terestrial TNS
tCO2 tCO2 tCO2
2010 2020 2035
TNS
44,83 jt -21,37 jt -34,71 jt
202.897 ha tCO2 tCO2 tCO2
Emisi Carbon Terestrial
Sink Source Source
2010 2020 2035
4,88 jt 30,68 jt 40,00 jt
tCO2 tCO2 tCO2 Net C Terestrial/
Emisi C Terestrial TNS dan FA
Deliniasi Carbon Terestrial 2010 2020 2035
Model BAU
73,98 jt -60,75 jt -79,06 jt
tCO2 tCO2 tCO2
Sink Source Source
Carbon Terestrial

2010 2020 2035


Net C Terestrial/
37,89 jt 3,34 jt 0,74 jt Emisi C Terestrial FA
tCO2 tCO2 tCO2
2010 2020 2035
FA
29,15 jt -39,38 jt -44,35 jt
108.564 ha tCO2 tCO2 tCO2
Emisi Carbon Terestrial
Sink Source Source
2010 2020 2035

8,74 jt 42,72 jt 45,09 jt


tCO2 tCO2 tCO2

Gambar 52 Deliniasi carbon accounting model BAU di kawasan pesisir TNS dan FA
194

6.2.2 Optimasi Pengelolaan Pesisir dan Akuntansi Karbon (Carbon Accounting)


pada Model CC

Skenario model CC yang diusulkan ini dirancang untuk dapat


diimplementasikan guna mendapatkan sejumlah reduksi emisi CO2 berdasarkan hasil
simulasi perbandingan model BAU dan model CC. Model CC dapat dipetakan menjadi
dua kategori: yaitu kawasan yang dilindungi undang-undang (kawasan TNS), serta
emisi CO2 terhindarkan (avoided emission) sebagai basis penilaian transfer finansial di
bawah mekanisme REDD+ maupun mekanisme perdagangan karbon lainnya.
Ekspektasi tujuan dari skenario model CC ini adalah : mengkuantifikasi stok karbon
terestrial (stock accounting), menghitung emisi CO2 (emissions accounting) dan menilai
tingkat reduksi emisi (emissions reduction accounting) pada kawasan yang dilindungi
(TNS).
Simulasi penurunan laju deforestasi dan degradasi hanya dilakukan pada
kawasan konservasi TNS dan tidak dilakukan pada kawasan FA, karena pengelolaan
sumberdaya hutan di luar TNS ini merupakan wilayah kedaulatan pihak pemerintah
daerah setempat. Jadi pada simulasi ini tidak mempertimbangkan aspek moratorium
pembangunan hutan tanaman. Namun demikian dalam analisis carbon accounting,
variabel stok karbon dan variabel emisi CO2 tetap dihitung dan dimasukan dalam
model. Argumentasi yang mendasari hal ini karena konsentrasi emisi CO2 yang dilepas
di FA akan mempengaruhi stok karbon di TNS.
Beberapa asumsi relevan pada skenario model CC didesain sebagai berikut:
a) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan TNS dibagi atas dua opsi:
- Opsi model carbon crediting (Model CC), yaitu opsi pemanfaatan mangrove
carbon crediting dimana pengelolaannya berbasis REDD+. Asumsi carbon price
rata-rata 10 USD tCO2-1 dan social discount rate 10%.
- Opsi pemanfaatan “Sylfish” (sylvofishery) sama seperti pada skenario model
BAU yaitu areal yang sudah diokupasi masyarakat diusulkan tetap dipertahankan
untuk tambak udang (shrimp sylvofishery). Tujuannya adalah untuk menghindari
konflik dengan masyarakat setempat. Perbedaannya terletak pada tingkat laju
perubahan luas hutan mangrove dan luas areal pertambakan dimana pada
skenario model CC diasumsikan 10% dari laju deforestasi dan degradasi hutan
saat ini. Dengan demikian areal pengelolaan untuk “Sylfish” diasumsikan terjadi
pengurangan luasan secara berkala dalam setiap tahunnya. Kemudian terhadap
kedua opsi pemanfaatan ini dianalisis secara komparatif berdasarkan berbagai
195

kriteria NPV, tingkat serapan karbon terestrial (carbon sink) dan emisi karbon
yang dilepaskan (carbon source) serta tingkat penyerapan tenaga kerja.
b) Analisis komparasi tingkat karbon terestrial di TNS dan tingkat karbon terestrial di
FA sebagai konsekuensi dari kebijakan opsi pemanfaatan areal TNS dengan model
CC dan areal konversi di FA secara business as usual. Komparasi ini dilakukan
untuk memprediksi fenomena yang akan terjadi dari kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir itu, apakah bersifat karbon positif (carbon sink) ataukah bersifat
karbon negatif (carbon source).
Skenario model Carbon Crediting dalam konteks penelitian ini merupakan
skenario model pengelolaan kawasan konservasi berupa konsesi ijin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) atau property right berbasis REDD+. Pada
analisis ini dilakukan penafsiran terhadap berbagai kecenderungan yang akan terjadi
sebagai akibat keputusan pemberian konsesi kepada investor atau suatu Badan
Pengelola yang ditunjuk pemerintah. Kecenderungan skenario model CC yang akan
disimulasikan ini pada prinsipnya sebagai akibat dari deforestasi dan degradasi
sumberdaya pesisir baik yang direncanakan (planned deforestation) maupun yang tidak
direncanakan (unplanned deforestation).
Periode awal komitmen pengelolaan sumberdaya pesisir TNS skenario model
CC terdapat areal hutan mangrove yang dilindungi undang-undang seluas 202.897 ha
(di dalam kawasan TNS). Terdiri dari areal hutan mangrove primer (Hmp) seluas
35.025 ha (17,35%), hutan rawa sekunder 68.658 ha dan sekitar 97.021 ha (47,82%)
merupakan areal penggunaan lain (APL) dan sisanya sekitar 2.013 ha (0,99%) areal
pertambakan di zona tradisional. Dengan berbagai upaya pengelolaan kawasan TNS
model CC, restorasi kawasan, reboisasi serta tingkat land security yang lebih terjamin,
diprediksi akan terjadi perubahan fungsi tutupan lahan. Hutan rawa sekunder (Hrs) dan
areal penggunaan lain (APL) diprediksi akan mengalami perubahan tutupan lahan
menjadi hutan mangrove primer (Hmp), masing-masing 99,62% dan 41,61%.
Perubahan tutupan lahan pada skenario model CC disajikan pada Tabel 42 dan secara
rinci disajikan pada Lampiran 17.
196

Tabel 42 Perubahan tutupan lahan skenario model CC di kawasan pesisir TN


Sembilang dan di FA selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan (ha)
Periode Komitmen
No Tutupan Lahan Model CC
2010 2020 2035
A Areal dilindungi UU (TNS)
1 Hutan mangrove primer 35.205 91.959 143.166
2 Hutan mangrove sekunder 0 299 1.121
3 Hutan rawa sekunder 68.658 1.438 258
4 Areal Penggunaan Lain 97.021 107.621 56.648
5 Tambak TNS 2.013 1.579 1.703
Sub Total (A) 202.897 202.897 202.897
B Areal tidak dilindungi UU (FA)
1 Areal Penggunaan Lain 1.109 1.175 393
2 Hutan mangrove primer 12.999 2.562 224
3 Hutan mangrove sekunder 5.288 3.166 1.467
4 Hutan rawa sekunder 89.168 0 0
5 Hutan Tanaman Industri 0 53.500 55.980
6 Perkebunan sawit 0 40.219 40.997
7 Tambak FA 0 2.074 3.635
8 Pemukiman dan Infrastruktur 0 5.868 5.868
Sub Total (B) 108.564 108.564 108.564
C Total DD dari TNS dan FA 311.461 311.461 311.461

Tren perubahan fungsi hutan mangrove pada skenario model CC di kawasan


pesisir TNS disajikan pada Gambar 53.

160.000

140.000
Perubahan tutupan hutan (ha)

120.000

100.000

80.000

60.000

40.000

20.000

-
10

11

12
13

14

15
16

17

18
19

20

21
22

23
24

25

26
27

28

29
30

31

32
33

34

l
na
20

20

20
20

20

20
20

20

20
20

20

20
20

20
20

20

20
20

20

20
20

20

20
20

20
Fi

Tahun

Hmp TNS Hms TNS Hrs TNS APL TNS Tambak TNS

Gambar 53 Tren dampak pengelolaan mangrove model carbon crediting


(with REDD+) terhadap berbagai tutupan lahan di pesisir TN
Sembilang.
197

Selama periode komitmen pengelolaan model CC diprediksi akan terjadi


peningkatan stok sumberdaya hutan mangrove primer (Hmp) TNS secara eksponential
growth. Pada tahun 2020 terjadi peningkatan stok hutan mangrove primer menjadi
91.959 ha dan pada akhir periode komitmen menjadi 143.166 ha. Berdasarkan struktur
model dan data historis deforestasi dan degradasi hutan terdapat pula perubahan fungsi
hutan mangrove primer (Hmp) menjadi hutan mangrove sekunder (Hms) sebagai akibat
faktor alam, umur tanaman maupun faktor lain yang dapat mempengaruhi peluruhan
hutan tersebut. Dengan demikian terdapat kecenderungan perubahan hutan mangrove
sekunder bertumbuh secara eksponential growth. Pada tahun 2020 luasan Hms terdapat
sekitar 299 ha dan pada tahun 2035 menjadi 1.121 ha.
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kecenderungan sebuah sistem
dasar (baseline) dapat memberikan suatu pemahaman dan gambaran bagaimana suatu
sumberdaya alam harus dikelola secara benar, agar tercapai keseimbangan ekosistem di
masa depan. Premis tersebut mengandung suatu konsekuensi dimana sumberdaya alam
harus dikelola secara efisien, berkelanjutan serta memiliki kontribusi nyata bagi
kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Oleh karena itu, dasar teori yang
digunakan pada penelitian ini mengadaptasi rejim intrinsik sumberdaya. Artinya bahwa
dalam pemanfaatan setiap sumberdaya memiliki nilai yang terkandung didalamnya
untuk dimanfaatkan secara efisien dan berkelanjutan pada berbagai opsi pemanfaatan
yang memiliki kelayakan secara ekonomi dan lingkungan. Dengan demikian dapat
menghasilkan nilai ekonomi total yang saling menunjang antara rejim ekonomi dan
rejim lingkungan.
Hasil analisis skenario model CC menunjukkan pada dua opsi pemanfaatan,
yaitu model mangrove carbon crediting dan “Sylfish” (shrimp sylvofishery) keduanya
menunjukkan tingkat the net present value (NPV) yang positif (NPV > 0) serta tingkat
benefit cost ratio yang layak (BC ratio > 1). Hal ini mencerminkan bahwa kedua opsi
pemanfaatan tersebut layak secara ekonomi untuk dikembangkan dan dapat dilakukan
secara paralel antar keduanya di kawasan TNS pada tingkat the social opportunity cost
of capital sebesar 10%.
Fakta ilmiah hasil valuasi ekonomi skenario model CC pada opsi pemanfaatan
mangrove carbon crediting TNS menghasilkan the net present value (NPV) sebesar
5.076,11 juta USD dengan benefit cost ratio (BC ratio) sebesar 7,56. Apabila kawasan
TNS ini dikelola dengan konsesi IUPJL selama 25 tahun periode komitmen, maka
dengan tingkat social opportunity cost of capital (SOCC) atau discount rate sebesar
198

10%, akan memberikan manfaat nilai kini bersih sebesar 5.076,11 juta USD pada
kehidupan masyarakat Banyuasin dan sekitarnya dengan kesempatan kerja yang
tersedia sekitar 98.150 tenaga kerja. Hasil analisis pemodelan dengan program I-
Think® Ver 6.1 disajikan pada Tabel 43 dan hasil analisis valuasi ekonomi carbon
crediting secara rinci disajikan pada Lampiran 18 dan Lampiran 19.

Tabel 43 Tingkat perbandingan opsi pemanfaatan hutan mangrove skenario model


carbon crediting di kawasan pesisir TN Sembilang pada periode komitmen
25 tahun
Opsi Pemanfaatan
No Kriteria Model CC Keterangan
MCC Sylfish
1 Luas Pengelolaan (ha) 201.194 1.703
2 NPV (juta USD) 5.076,11 3.411,67
3 BC Ratio 7,56 6,18
4 Stok Karbon terestrial (tCO2e) 120.451.272 0 carbon sink
5 Emisi CO2 (tCO2e) 11.091.631 3.145.648 carbon source
6 Kesempatan kerja (jiwa) 98.150 2.260
Keterangan : MCC : mangrove carbon crediting; Sylfish : Sylvofishery (shrim sylvofishery)

Opsi pemanfaatan lainnya pada zona tradisional untuk “Sylfish” diasumsikan


terjadi pengurangan luasan areal selama periode komitmen. Tujuannya adalah untuk
mendukung kebijakan pemerintah dalam mengurangi deplesi sumberdaya mangrove
serta mereduksi tingkat pemanasan efek GRK 26% pada tahun 2020. Luasan areal
mangrove pada periode awal komitmen sekitar 2.013 ha, kemudian terjadi pengurangan
secara berkala dalam setiap tahun dan pada akhir periode komitmen menjadi sekitar
1.703 ha.
Hasil analisis valuasi ekonomi opsi pemanfaatan “Silfish” ini menghasilkan
NPV sebesar 3.411,67 juta USD dengan BC ratio sebesar 6,18. Artinya bahwa jika
pada zona tradisional TNS ini dialokasikan untuk budidaya “Sylfish”, maka akan
memberikan manfaat tambahan sebesar 3.411,67 juta USD pada tingkat SOCC 10%.
Peluang kesempatan kerja yang diciptakan pada opsi “Sylfish” ini sekitar 2.260 tenaga
kerja bagi masyarakat Banyuasin dan sekitarnya. Skenario model CC, secara ekonomi
akan memberikan nilai ekonomi total (mangrove carbon crediting dan sylfish) sebesar
8.487,78 juta USD dengan peluang tingkat kesempatan kerja yang akan tersedia sebesar
100.410 tenaga kerja.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara filosofis bermakna
bahwa konversi hutan pada areal yang tidak dilindungi undang-undang di frontier area
adalah hak kedaulatan semua pihak yang menginginkan perubahan ekonomi.
199

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mempertahankan berbagai hak dan
kewajiban sehubungan dengan lahan-lahan publik serta memberi hak dan kewajiban
kepada lahan swasta sehubungan dengan kepemilikannya (land ownership). Relevansi
dengan studi ini adalah bagaimana membangun skenario model pengelolaan kawasan
yang dilindungi undang-undang agar dapat mereduksi efek gas rumah kaca sebagai
akibat konversi hutan di FA.
Optimasi alternatif pemodelan dengan skenario model carbon crediting
merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya pesisir yang dapat
dipertimbangkan. Selain memiliki performansi keterandalan dalam mengurangi tingkat
deplesi sumberdaya alam, juga kemampuannya dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah setempat. Kendatipun konsentrasi karbon terestrial terjadi penurunan
di luar kawasan TNS, akan tetapi secara total (TNS dan FA) terjadi peningkatan karbon
terestrial yang semakin menaik mengikuti pola limit to growth (lihat Gambar 54).

140.000.000

120.000.000

100.000.000
Stok Karbon (tCO2)

80.000.000

60.000.000

40.000.000

20.000.000

-
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

l
na
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Fi

Tahun

Total Karbon Terestrial TNS Total Karbon Terestrial FA Total Karbon Terestrial TNS dan FA

Gambar 54 Perubahan stok karbon terestrial hutan mangrove TNS pada


skenario model carbon crediting dan di FA pada skenario model
business as usual

Hasil analisis menunjukkan dimana pada periode awal komitmen pengelolaan


skenario model CC terdapat karbon terestrial sekitar 87,61 MtCO2, terdiri dari 49,71
MtCO2 karbon terestrial dilindungi (TNS) dan 37,89 MtCO2 karbon terestrial tidak
dilindungi (FA), secara eksponensial mengalami pertumbuhan stok karbon terestrial di
TNS. Faktor expantion growth karbon terestrial ini terjadi sebagai akibat dipenuhinya
berbagai komitmen dalam kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+.
Peningkatan perbaikan kualitas lingkungan serta mitigasi efek GRK mulai dijalankan
200

melalui berbagai restorasi kawasan, reboisasi, serta peningkatan pengamanan dari


bahaya kebakaran serta perambahan hutan. Laju karbon terestrial di kawasan TNS dan
di FA disajikan pada Tabel 44 dan secara rinci disajikan pada Lampiran 20.

Tabel 44 Akuntansi stok (stock accounting) pada kawasan dilindungi (TNS) dan
kawasan tidak dilindungi (FA) pada skenario model CC (tCO2e)
Akuntansi stok (stock accounting) Periode Komitmen
No
Model CC 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
A Karbon Terestrial Dilindungi (TNS)
1 Karbon Terestrial Hmp TNS 29.344.893 76.652.086 119.335.373
2 Karbon Terestrial Hms TNS - 112.012 420.192
3 Karbon Terestrial Hrs TNS 19.300.107 404.280 72.581
4 Karbon Terestrial APL TNS 1.067.231 1.183.833 623.125
Total Stok Karbon Terestrial TNS 49.712.231 78.352.210 120.451.272
B Karbon Terestrial tidak Dilindungi (FA)

1 Karbon Terestrial APL FA 12.199 12.924 4.321


2 Karbon Terestrial Hmp FA 10.835.230 2.135.688 186.889
3 Karbon Terestrial Hms FA 1.981.590 1.186.451 549.674
4 Karbon Terestrial Hrs FA 25.065.571 - -
Total Stok Karbon Terestrial FA 37.894.589 3.335.063 740.884
C Total Stok Karbon Terestrial TNS dan FA 87.606.820 81.687.274 121.192.156
Keterangan: Hmp: Hutan mangrove primer; Hms: Hutan mangrove sekunder; Hrs : Hutan rawa sekunder
APL: Areal penggunaan lain.

Berbeda halnya dengan kondisi di luar kawasan TNS (FA), hasil analisis
menunjukkan terjadi penurunan stok karbon terestrial sebagai akibat konversi hutan
secara intensif untuk kepentingan pembangunan ekonomi hutan tanaman industri,
perkebunan sawit dan pemukiman serta infrastruktur. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pengelolaan kawasan hutan di FA adalah hak pemerintah setempat.
Pemda memiliki hak dan kewajiban tersendiri terhadap lahan-lahan swasta untuk
melepaskan atau mempertahankan karbon terestrial. Dengan asumsi bahwa Pemda akan
melepaskan karbon terestrial atau dengan kata lain Pemda tetap mengkonversi hutan
untuk kepentingan pembangunan ekonomi sesuai RUTR, maka selama periode
komitmen pengelolaan TNS model CC harus didasarkan pula pada nilai akuntansi
karbon terestrial di FA.
Keputusan pihak pemda untuk melepas emisi CO2 di FA selama periode
komitmen pengelolaan model CC dapat mereduksi stok karbon terestrial di dalam
kawasan TNS. Hasil analisis stok karbon terestrial di FA terjadi peluruhan secara
eksponential decay, karena pengelolaannya diasumsikan dilakukan dengan cara saat ini
(business as usual). Peluruhan karbon terestrial di FA ini diprediksi dapat
201

menyebabkan anomali iklim, khususnya di wilayah Kabupaten Banyuasin. Tingkat


peluruhan karbon terestrial di FA secara diagramatik disajikan pada Gambar 55 dan
Tabel 45.

45.000.000

40.000.000

35.000.000
Stok Karbon (tCO2)

30.000.000

25.000.000

20.000.000

15.000.000

10.000.000

5.000.000

-
10
11

12
13
14
15

16
17
18

19
20
21
22

23
24
25
26

27
28
29

30
31
32
33

34

l
na
20
20

20
20
20
20

20
20
20

20
20
20
20

20
20
20
20

20
20
20

20
20
20
20

20
Fi
Tahun

APL Hmp Hms Hrs Tot Karbon di FA

Gambar 55 Perubahan stok karbon terestrial hutan mangrove tidak dilindungi


di FA pada skenario model business as usual

Tabel 45 Akuntansi karbon (Carbon accounting) pada skenario model CC di kawasan


pesisir yang dilindungi (TNS) (tCO2e)
Akuntansi karbon Periode Komitmen
No
(carbon accounting) Model CC 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
A Stock accounting pada kawasan dilindungi
(TNS)
1 Karbon Terestrial Hmp TNS 29.344.893 76.652.086 119.335.373
2 Karbon Terestrial Hms TNS - 112.012 420.192
3 Karbon Terestrial Hrs TNS 19.300.107 404.280 72.581
4 Karbon Terestrial APL TNS 1.067.231 1.183.833 623.125
Total Stok Karbon Terestrial TNS 49.712.231 78.352.210 120.451.272
B Emission accounting pada kawasan
dilindungi (TNS)
1 Emisi dr DD Hmp TNS 3.111.285 4.948.534 10.344.255
2 Emisi dr DD Hms TNS - 3.747 9.368
3 Emisi dr DD Hrs TNS 90.768 91.166 91.180
4 Emisi Tambak TNS 1.679.484 2.050.587 3.145.648
Total Emisi CO2 TNS 4.881.537 7.094.034 13.590.451
Carbon regrowth TNS - 774.646 2.498.820
Tot Net Emisi dari DD di TNS 4.881.537 6.319.388 11.091.631
C Stok Netto Karbon Terestrial 44.830.694 72.032.823 109.359.640
D Carbon Balance Sink Sink Sink

Kecenderungan skenario model CC pada tingkat perbandingan karbon terestrial


dan emisi karbon di kawasan pesisir yang dilindungi (TNS) mengalami peningkatan
secara eksponensial. Pada periode awal komitmen terdapat net karbon terestrial 44,83
202

MtCO2, pada tahun 2020 sebesar 72,03 MtCO2 dan pada tahun 2035 menjadi sebesar
109,36 MtCO2. Dengan skenario model CC pada kawasan ini dapat dikategorikan
sebagai karbon terestrial positif (carbon sink). Artinya kawasan TNS mampu
mengabsorbsi emisi yang dilepaskan dari deforestasi dan degradasi pada kawasannya
sendiri dan mendapatkan surplus karbon terestrial (carbon gain) sebesar 109,36 MtCO2
(lihat Tabel 45 dan Lampiran 21.
Berbeda halnya di luar kawasan TNS yang tidak menerapkan model CC akan
terus mengalami peluruhan karbon terestrial. Trajectory karbon terestrial (carbon sink)
dan emisi CO2 (carbon source) pada kawasan yang tidak dilindungi (FA) mulai terjadi
perubahan sebagai karbon terestrial negatif pada tahun 2011 dan terus berlanjut sampai
akhir periode komitmen tahun 2035. Hasil simulasi model CC ini menunjukkan bahwa
di luar kawasan TNS (FA) merupakan kawasan karbon terestrial negatif (carbon
source).
Kondisi di FA terjadi peluruhan konsentrasi stok netto karbon terestrial sebagai
akibat adanya faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan. Peluruhan stok netto
karbon terestrial di FA terus berlanjut mengikuti pola asymptotic decline dimana pada
tahun 2020 menjadi -39,07 MtCO2 dan pada tahun 2035 menjadi -44,24 MtCO2 (lihat
Tabel 46 dan Gambar 56 serta Lampiran 22).

Tabel 46 Akuntansi karbon (carbon accounting) pada skenario model CC di kawasan


pesisir yang tidak dilindungi (FA) (tCO2e)
Akuntansi karbon Periode Komitmen
No
(carbon accounting) Model CC 2010 (awal) 2020 2035 (Final)
A Stock accounting pada kawasan tidak
dilindungi (Frontier Area)
1 Karbon Terestrial Hmp FA 308.614 326.966 109.320
2 Karbon Terestrial Hms FA 10.835.230 2.135.688 186.889
3 Karbon Terestrial Hrs FA 1.981.590 1.186.451 549.674
4 Karbon Terestrial APL FA 25.065.571 - -
Total Stok Karbon Terestrial FA 38.191.004 3.649.105 845.883
B Emission accounting pada kawasan tidak
dilindungi (Frontier Area)
1 Emisi CO2 APL FA - 2.145.481 2.579.941
2 Emisi CO2 Hmp FA 5.867.783 11.841.909 13.180.183
3 Emisi CO2 Hms FA 453.733 1.248.872 1.885.651
4 Emisi CO2 Hrs FA 2.419.478 27.594.577 27.594.577
Total Emisi CO2 FA 8.740.994 42.830.839 45.240.352
Carbon regrowth FA - 106.833 154.102
Tot Net Emisi dari DD di FA 8.740.994 42.724.005 45.086.250
C Stok Netto Karbon/Emisi CO2 29.450.010 (39.074.900) (44.240.367)
D Carbon Balance Sink Source Source
203

50000000

40000000

30000000

20000000
Stok Karbon (tCO2)

10000000

0
10

11
12

13
14

15

16
17

18
19

20
21

22
23

24
25

26
27

28

29
30

31
32

33
34

l
na
-10000000
20

20
20

20
20

20

20
20

20
20

20
20

20
20

20
20

20
20

20

20
20

20
20

20
20
Fi
-20000000

-30000000

-40000000

-50000000
Tahun

Tot Karbon FA Tot Emisi Karbon FA Tot Karbon/Emisi

Gambar 56 Perubahan stok karbon netto/emisi CO2 tutupan hutan tidak


dilindungi di FA pada skenario model business as usual

Tingkat perbandingan stok karbon terestrial di TNS dan di FA menunjukkan dua


pola yang berbeda sebagai konsekuensi keputusan pengelolaan yang diterapkan antara
keputusan menkonservasi kawasan (TNS) dan mengkoversi sumberdaya hutan untuk
pembangunan ekonomi. Dua rejim pengelolaan sumberdaya ini sangat menentukan
tingkat karbon terestrial yang dapat ditransaksikan dalam skema REDD+.
Konsentrasi stok netto total karbon terestrial di kawasan TNS dan FA terdapat
kecenderungan membentuk pola kurva S-Shaped growth (kurva S). Pada awal periode
komitmen secara akumulasi terdapat sekitar 73,98 MtCO2. Namun demikian karena
terdapat konsentrasi emisi CO2 di FA yang cukup besar selama periode komitmen,
maka terjadi peluruhan karbon terestrial secara berkala dan mengalami titik kritis pada
periode komitmen tahun 2012 menjadi sebesar 14,91 MtCO2. Hal ini terjadi karena
adanya faktor konversi hutan secara masif di FA untuk pengembangan industri hutan
tanaman dan kebun sawit, pertambakan, pemukiman serta infrastruktur (lihat Gambar
57).
204

120.000.000

100.000.000

80.000.000
Stok karbon netto (tCO2)

60.000.000

40.000.000

20.000.000

-
10
11
12
13

14
15
16
17
18
19
20
21
22

23
24
25
26
27
28
29
30
31

32
33
34

l
na
20
20
20
20

20
20
20
20
20
20
20
20
20

20
20
20
20
20
20
20
20
20

20
20
20
(20.000.000)

Fi
(40.000.000)

(60.000.000)
Tahun

Tot Karbon netto TNS Tot Karbon netto FA Tot Karbon netto TNS dan FA

Gambar 57 Perubahan stok karbon netto hutan mangrove TNS (skenario


model carbon crediting) dan stok karbon netto pada berbagai
tutupan lahan di FA (skenario model business as usual).

Pola konsentrasi karbon terestrial di kawasan pesisir TNS akan terus mengalami
peningkatan kembali mulai tahun 2013 sejalan dengan pemanfaatan lahan dan
produktivitas lahan di FA sudah optimal. Demikian pula halnya di kawasan TNS
dimana penghijauan, restorasi dan komitmen penerapan carbon crediting sudah dapat
dilakukan secara efektif. Pada tahun 2020 konsentrasi net karbon terestrial di TNS dan
di FA terdapat sekitar 32,96 MtCO2 dan pada akhir periode komitmen 2035 diprediksi
dapat mencapai 65,11 MtCO2. Kendatipun terdapat penurunan konsentrasi karbon
sejak awal periode, namun secara agregat terdapat stok netto total karbon terestrial
yang positif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa opsi pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dengan skenario model CC mampu mentransformasi
kawasan dari kategori carbon source menjadi kawasan carbon sink sebesar 65,11
MtCO2 selama periode komitmen 25 tahun pengelolaan, atau rata-rata setiap tahunnya
sekitar 2,60 MtCO2 th-1. Hasil deliniasi karbon terestrial dan emisi karbon di kawasan
pesisir TNS dan FA disajikan pada Gambar 58.
205

Carbon Terestrial

2010 2020 2035


Net C Terestrial TNS
49,71 jt 78,35 jt 120,45 jt
tCO2 tCO2 tCO2
2010 2020 2035
TNS
44,83 jt 72,03 jt 109,36 jt
202.897 ha tCO2 tCO2 tCO2
Emisi Carbon Terestrial
C Sink C Sink C Sink
2010 2020 2035

4,88 jt 6,32 jt 11,09 jt


tCO2 tCO2 tCO2 Net C Terestrial TNS dan FA

Deliniasi Carbon Terestrial 2010 2020 2035


TNS dan FA Model CC
74,28 jt 32,96 jt 65,11 jt
tCO2 tCO2 tCO2
C Sink C Sink C Sink
Carbon Terestrial

2010 2020 2035


Net C Terestrial/
38,19 jt 3,65 jt 0,84 jt Emisi C Terestrial FA
tCO2 tCO2 tCO2
2010 2020 2035
FA
29,45 jt -39,07 jt -44,25 jt
108.564 ha tCO2 tCO2 tCO2
Emisi Carbon Terestrial
C Sink C Source C Source
2010 2020 2035
8,74 jt 42,72 jt 45,09 jt
tCO2 tCO2 tCO2

Gambar 58 Deliniasi carbon accounting skenario model CC di kawasan pesisir TNS dan FA
206

Hasil analisis perbandingan tingkat emisi CO2 model BAU dan model CC di dua
kawasan TNS dan FA relatif cukup besar. Jumlah emisi karbon model BAU pada akhir
periode komitmen berjumlah 85,09 MtCO2, sementara itu jumlah emisi karbon model
CC pada akhir periode komitmen (tahun 2035) berjumlah 56,18 MtCO2. Dengan
demikian terdapat sejumlah emisi CO2 yang dapat dihindarkan (avoided emission)
sebesar 28,91 MtCO2, atau rata-rata 1,15 MtCO2 th-1 (lihat Gambar 59).
Jumlah emisi terhindarkan itu merupakan emisi CO2 yang dapat ditransaksikan
dengan pihak pembeli (buyer) atau sebagai dasar penilaian payment for ecosystem
services (PES). Pihak pemanfaat lingkungan dapat memberi insentif atau membayar
pembelian kredit karbon kepada pengelola lingkungan setelah melalui proses sertifikasi
reduksi emisi dan dibayarkan berdasarkan ERPA (emission reduction purchase
agreement). Apabila insentif atau harga rata-rata karbon di pasaran internasional
diasumsikan sebesar 10 USD tCO2-1, maka akan diperoleh nilai carbon revenue sekitar
289,10 juta USD selama periode komitmen berlangsung atau rata-rata sekitar 11,56 juta
USD th-1 (lihat Tabel 47 dan Lampiran 23).

Tabel 47 Nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) carbon crediting pengelolaan sumberdaya
mangrove di kawasan TNS (USD)
Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L)
No Pihak penerima NJ2L
2010 2011 2020 2035
A Net Carbon Revenue 0 61.037.079 243.576.134 289.114.110
B Distribusi NJ2L
1 Pemerintah pusat (20%) 0 12.207.416 48.715.227 57.822.822
2 Pemerintah kab/kota (20%) 0 12.207.416 48.715.227 57.822.822
3 Pemerintah provinsi (10%) 0 6.103.708 24.357.613 28.911.411
4 Masyarakat (20%) 0 12.207.416 48.715.227 57.822.822
5 Developer (30%) 0 18.311.124 73.072.840 86.734.233

Distribusi nilai jual jasa lingkungan (NJ2L) mengacu pada Permenhut No.
36/2009 dimana alokasi NJ2L untuk : pemerintah pusat 20%, pemda kabupaten/kota
20%, pemda provinsi 10%, masyarakat 20% dan developer sebesar 30%. Hasil simulasi
menunjukkan dimana kontribusi NJ2L untuk masyarakat sebesar 57,82 juta USD selama
periode komitmen atau rata-rata sekitar 2,31 juta USD th-1. Nilai jasa lingkungan
tersebut relatif besar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Yang diperlukan ke depan adalah model pengelolaan insentif
tersebut agar efektif dan berdaya guna bagi masyarakat.
207

TNS Emisi Carbon Terestrial

202.897 ha 2010 2020 2035


Total Emisi C Terestrial TNS dan FA
4,88 jt 30,68 jt 40,00 jt Model BAU
tCO2 tCO2 tCO2
Model BAU 2010 2020 2035

13,62 jt 73,40 jt 85,09 jt


tCO2 tCO2 tCO2
Emisi Carbon Terestrial

FA 2010 2020 2035

108.564 ha 8,74 jt 42,72 jt 45,09 jt


tCO2 tCO2 tCO2
Total Emisi C Terestrial Terhindarkan
(avoided emission)
Deliniasi Emisi
Carbon Terestrial 2010 2020 2035

0 24,36 jt 28,91 jt
tCO2 tCO2 tCO2
TNS Emisi Carbon Terestrial

202.897 ha 2010 2020 2035

4,88 jt 6,32 jt 11,09 jt


Model CC tCO2 tCO2 tCO2 Total Emisi C Terestrial TNS dan FA
Model CC

2010 2020 2035

Emisi Carbon Terestrial 13,62 jt 49,04 jt 56,18 jt


tCO2 tCO2 tCO2
FA 2010 2020 2035

108.564 ha 8,74 jt 42,72 jt 45,09 jt


tCO2 tCO2 tCO2

Gambar 59 Deliniasi emission reduction accounting pada skenario model CC dan model BAU di kawasan pesisir TNS
dan FA
208

6.3 Perbandingan Model Business as Usual dan Model Carbon Crediting di


Wilayah Pesisir

Skenario model BAU dan skenario model CC merupakan dua model dengan
pendekatan simulasi untuk memprediksi apa yang akan terjadi (what would happened)
dan pendekatan optimasi pada zona pemanfaatan dan zona tradisional untuk kegiatan
apa yang sebaiknya dilakukan (what should happened). Struktur model dua skenario
tersebut merupakan hubungan sebab akibat (causal relation) dengan tujuan untuk
valuasi ekonomi sumberdaya mangrove dengan efek yang ditimbulkannya berupa emisi
CO2.
Dua skenario model ini memberikan gambaran antara preferensi stakeholders di
FA pada satu pihak dan preferensi stakeholders di kawasan TNS pada pihak lainnya.
Model BAU mencerminkan preferensi dimana pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam adalah untuk kepentingan pembangunan ekonomi secara maksimal
dengan tingkat waktu pengembalian investasi yang paling cepat. Sebaliknya model CC
mencerminkan preferensi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pada kawasan
yang dilindungi dengan memperhatikan keberlanjutan stok sumberdaya alam secara
kontinyu. Selain itu juga memberi harapan pada saat ini dan mendatang baik secara
ekonomi maupun adanya keseimbangan kondisi karbon terestrial dan emisi CO2 di
kawasan tersebut.
Model BAU dan model CC merupakan model dinamik yang bersifat kontinum
dan dapat menjelaskan adanya proses penurunan dan peningkatan jasa-jasa lingkungan
dari waktu ke waktu selama 25 tahun simulasi model. Terlihat dengan jelas bahwa di
masa yang akan datang kerja keras harus dilakukan untuk menghasilkan skenario
alternatif yang dapat menunjukkan pola mitigasi dan pola adaptasi dalam pengelolaan
kawasan konservasi TNS secara berkelanjutan, baik bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar TNS maupun masyarakat di luar kawasan yang tergantung pada ketersediaan
jasa-jasa lingkungan. Penilaian terhadap jasa-jasa lingkungan, cukup penting untuk
memberikan kesadaran dan pemahaman mengenai manfaat yang dapat diperoleh serta
dapat membantu dalam pengambilan keputusan.
Dalam konsep ekonomi lingkungan, Perman et al. (1996) menjelaskan bahwa
dalam perspektif biofisik, emisi CO2 merupakan bahan pencemar yang bersifat stock
pollution dimana kerusakan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari stok residu dan
bersifat kumulatif. Dalam konteks laju deforestasi dan degradasi hutan mangrove,
sejumlah emisi CO2 akan disekuestrasi oleh tanaman tersebut dan disimpan secara
kumulatif dalam bentuk biomassa atau karbon.
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa daya serap mangrove terhadap karbon
jauh lebih tinggi (227,3 tC ha-1) daripada tanaman hutan lainnya seperti Acacia
209

mangium (62,08 tC ha-1) atau Eucalyptus sp. (75,89 tC ha-1). Dengan adanya
keterkaitan mangrove dan emisi CO2 ini, maka akan terjadi loop dengan ecosystem
services sector pada komponen carbon (climate regulation). Demikian seterusnya
secara kontinum berkoneksi dengan sektor lainnya.
Hasil analisis model CC menunjukkan nilai ekonomi total dari opsi pemanfaatan
carbon crediting dan opsi sylvofishery berdasarkan the net present value (NPV) sebesar
8.487,78 juta USD (3,6 kali > NPV BAU) yang dapat mendorong peluang kesempatan
kerja sebesar 100.410 tenaga kerja (11 kali > model BAU). Sementara itu model BAU
menghasilkan nilai ekonomi total berdasarkan NPV-nya sebesar 2.358,91 juta USD
dengan peluang kesempatan kerja sekitar 9.530 tenaga kerja. Besarnya peluang
kesempatan kerja model CC terjadi karena terdapat alokasi carbon revenue bagi
masyarakat secara langsung sebesar 20% dan untuk pemerintah Kabupaten Banyuasin
20%. Kontribusi ini dapat mempengaruhi tingkat investasi langsung per tenaga kerja di
wilayah Kabupaten Banyuasin, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah
setempat, peluang kesempatan kerja baru serta peningkatan pendapatan masyarakat.
Selain itu juga secara ekologis terdapat jaminan stok sumberdaya hutan mangrove dari
35.205 ha tahun 2010 meningkat menjadi 143.166 ha pada tahun 2035. Artinya bahwa
kawasan hutan mangrove primer yang terdegradasi dan terdeforestasi pada model BAU
akan tertutupi mangrove primer dengan model CC seluas 143.166 ha pada tahun 2035.
Sementara itu areal penggunaan lain (APL) pada model BAU seluas 182.550 ha akan
terjadi pengurangan pada model CC menjadi 56.647 ha. Secara diagramatis disajikan
pada Gambar 60 dan Gambar 61.

160000

140000
Perubahan luas mangrove (ha)

120000

100000

80000

60000

40000

20000

0
10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

l
na
20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20
Fi

Tahun

Hmp TNS model BAU (w ithout REDD+) Hmp TNS model CC (w ith REDD+)

Gambar 60 Perbandingan perubahan luas hutan mangrove primer (Hmp) di


TNS pada skenario model carbon crediting (with REDD+) (dan
skenario model business as usual (without REDD+)
210

200000

180000

Perubahan tutupan mangrove (ha)


160000

140000

120000

100000

80000

60000

40000

20000

0
10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

l
na
20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20
Fi
Tahun

APL TNS BAU (w ithout REDD+) APL TNS CC (w ith REDD+)

Gambar 61 Perbandingan perubahan luas areal penggunaan lain (APL) di


TNS pada skenario model carbon crediting (with REDD+) dan
skenario model business as usual (without REDD+)

Perbandingan tingkat emisi CO2 yang terhindarkan antara model CC dan model
BAU di areal TNS merupakan basis penilaian karbon terestrial yang dapat
ditransaksikan. Pengukuran tingkat emisi karbon pada model BAU dan model CC pada
berbagai tutupan lahan disajikan pada Tabel 48 dan secara rinci disajikan pada
Lampiran 24.

Tabel 48 Akuntansi reduksi emisi (emissions reduction accounting) hasil simulasi


model BAU dan Model CC pada berbagai tipe tutupan lahan selama periode
komitmen pengelolaan 25 tahun
Emisi Terhindarkan
Skenario BAU Skenario CC
(avoided emission)
Emission Reduction Accounting Periode Periode Periode
No Rata-rata Rata-rata Rata-rata
di TNS dan FA Komitmen Komitmen Komitmen
25 Tahun (tCO2e th-1) 25 Tahun (tCO2e th-1) 25 Tahun (tCO2e th-1)
(tCO2e) (tCO2e) (tCO2e)
A Emission accounting di TNS
1 Emisi dr DD Hmp 27.152.416 1.086.097 10.344.255 413.770 16.808.162 672.326
2 Emisi dr DD Hms 6.664.032 266.561 9.368 375 6.654.664 266.187
3 Emisi dr DD Hrs 190.106 7.604 91.180 3.647 98.926 3.957
4 Emisi Tambak TNS 6.626.780 265.071 3.145.648 125.826 3.481.132 139.245
Tot Emisi dr DD TNS 40.633.335 1.625.333 13.590.451 543.618 27.042.883 1.081.715
Carbon regrowth TNS 630.289 25.212 2.498.820 99.953 1.868.531
Tot Net Emisi dari DD di TNS 40.003.046 1.600.122 11.091.631 443.665 28.911.414 1.156.457
B Emission accounting di FA
1 Emisi dr DD APL di FA 2.579.937 103.197 2.579.937 103.197 - -
2 Emisi dr DD Hmp di FA 13.180.183 527.207 13.180.183 527.207 - -
3 Emisi dr DD Hms di FA 1.885.651 75.426 1.885.651 75.426 - -
4 Emisi dr DD Hrs di FA 27.594.577 1.103.783 27.594.577 1.103.783 - -
Tot Emisi dr DD di FA 45.240.348 1.809.614 45.240.348 1.809.614 - -
Carbon regrowth FA 154.102 6.164 154.102 6.164 - -
Tot Net Emisi dr DD di FA 45.086.246 1.803.450 45.086.246 1.803.450 - -
C Total Net Emisi dr DD TNS dan
FA 85.089.292 3.403.572 56.177.877 2.247.115 28.911.415 1.156.457
211

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat emisi CO2 pada skenario
model BAU di kawasan TNS relatif tinggi (40 MtCO2). Perubahan emisi tertinggi
terjadi pada areal tutupan hutan mangrove primer (Hmp) sebesar 27,15 MtCO2.
Tingginya emisi CO2 dari kawasan Hmp ini karena adanya faktor pendorong deforestasi
dan degradasi hutan yang tidak direncanakan menjadi fungsi hutan mangrove sekunder
(Hms) serta areal penggunaan lain (APL): belukar, belukar rawa, padang rumput,
pertanian, sawah, tambak dan sebagainya. Fenomena tersebut dapat mengganggu
ketersediaan stok hutan mangrove primer dan akan terus mengalami penyusutan secara
exponential decay dan stok Hmp hanya dapat bertahan sampai tahun 2026. Demikian
halnya di FA terdapat sejumlah emisi CO2 yang dilepaskan sebesar 45,09 MtCO2 dan
tertinggi bersumber dari degradasi dan deforestasi hutan rawa sekunder. Di FA dan di
TNS akan terus terjadi pelepasan emisi CO2 secara exponential growth dan emisi yang
dilepaskan secara kumulatif sebesar 73,04 MtCO2 pada tahun 2020 dan sebesar 85,09
MtCO2 pada tahun 2035.
Sementara itu kawasan TNS yang menerapkan model CC terdapat sejumlah
emisi yang dilepaskan dan secara kumulatif sebesar 49,04 MtCO2 pada tahun 2020 dan
sebesar 56,18 MtCO2 pada tahun 2035. Dengan demikian terdapat reduksi emisi CO2
selama umur periode komitmen pelaksanaan carbon crediting sebesar 28,91 MtCO2
atau rata-rata sebesar 1,15 MtCO2 th-1. Perbandingan net emisi CO2 model BAU
(without REDD+) dan model CC (with REDD+) di kawasan TNS disajikan pada
Gambar 62.

90.000.000

80.000.000

70.000.000 Reduksi emisi


Kumulatif Emisi (tCO2)

60.000.000

50.000.000

40.000.000

30.000.000

20.000.000

10.000.000

-
10
11

12
13
14
15

16
17
18

19
20
21
22

23
24
25
26

27
28
29

30
31
32
33

34

l
na
20
20

20
20
20
20

20
20
20

20
20
20
20

20
20
20
20

20
20
20

20
20
20
20

20
Fi

Tahun

Emisi C (w ithout REDD+) Emisi C (w ith REDD+)

Gambar 62 Kecenderungan tingkat reduksi emisi CO2 di TNS pada skenario


model carbon crditing (with REDD+) dan di FA pada skenario
model business as usual (without REDD+)
212

Pada Gambar 62 menunjukkan dimana kurva net emisi CO2 FA BAU terjadi
over shooting pada tahun kedua (2011), sehingga terjadi lonjakan emisi CO2. Hal ini
terjadi karena ada faktor pendorong yang direncanakan (planned deforestation) berupa
pemberian ijin konsesi untuk hutan tanaman industri dan perkebunan sawit (agriculture
expantion). Diprediksi pihak pemegang ijin konsesi akan segera mengkonversi areal
tersebut pada awal-awal tahun pengelolaan.
Apabila sistem pengelolaan kawasan pesisir saat ini (model BAU) terutama di
FA berlangsung terus tanpa ada intervensi kebijakan¸ maka secara hipotetis akan
terjadi kecenderungan di masa mendatang sebagai berikut:
1) Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di areal TNS pada skenario model
BAU, maka akan terjadi kecenderungan penurunan kapasitas carbon stock, sehingga
akan terjadi peningkatan pemanasan global yang berdampak pada terhambatnya
proses suksesi alami hutan alam. Bila ini terjadi, maka ekosistem pesisir dan laut
juga akan terpengaruh, sehingga dapat mengganggu kestabilan stok sumberdaya
perikanan di kawasan pesisir TNS dan sekitarnya.

2) Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di FA pada skenario model BAU,
maka diprediksi akan terjadi peningkatan erosi, serta mengganggu hidrologi dan
biomassa hutan mangrove. Rendahnya biomassa magrove dapat mempengaruhi
proses evaporasi dan presipitasi, sehingga volume air hujan yang jatuh langsung ke
tanah semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan runoff permukaan dan erosi,
sehingga sedimentasi di daerah estuaria TNS semakin meningkat. Kecenderungan
meningkatnya sedimentasi dikhawatirkan akan terjadi proses HAB (harmful algae
blooming) yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal serta
terhambatnya proses suksesi alami (regrowth) pada jenis-jenis mangrove tertentu.
Bila ini terjadi, maka kestabilan stok sumberdaya perikanan di wilayah Sembilang
dan sekitarnya akan terganggu, carbon sequestration hutan mangrove TNS
terhambat dan akhirnya dapat menganggu pula pada ecosystem services sector serta
land use sector.

6.4 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir TN Sembilang

Implikasi kebijakan pada studi ini ditujukan untuk menyelesaikan berbagai


persoalan berdasarkan hasil kajian skenario pemodelan. Sasarannya adalah untuk
menyelesaikan atau mengurangi tingkat deforestasi dan degradasi hutan mangrove,
bahaya emisi CO2 serta dampak lain yang ditimbulkannya terhadap keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya pesisir. Kebijakan ini hanya relevan jika ditujukan pada
213

penyebab masalahnya yang meliputi berbagai aspek sosial politik, aspek ekonomi serta
aspek lingkungan.
Fakta ilmiah di wilayah studi menunjukkan bahwa pembangunan telah
berkembang dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi tujuan dari aspek
perbaikan kualitas lingkungan belum optimal. Dengan pendekatan yang terlalu
berorientasi pada economic growth, dikhawatirkan dalam jangka waktu singkat dapat
mempercepat deplesi sumberdaya hutan mangrove, peningkatan emisi CO2 serta
menimbulkan spektrum dampak yang cukup luas pada sektor lainnya. Keadaan ini pada
akhirnya akan menimbulkan turbulensi pada sektor perekonomian itu sendiri. Untuk
menghindari probabilitas kerusakan sumberdaya hutan mangrove di wilayah pesisir,
maka perlu dirumuskan suatu strategi transformasi pembangunan ekonomi dengan cara
biasa (business as usual) ke arah pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis
REDD+.
Perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir memerlukan suatu instrumen
kebijakan yang konsisten agar ketiga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai:
pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan antar generasi.
Dengan demikian diharapkan tingkat kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang
(inter generational welfare) dapat lebih terjamin.
Masalah kebijakan publik akan timbul manakala kondisi sumberdaya alam dan
lingkungan tidak sesuai antara harapan dan realitas. Demikian pula dengan pengelolaan
sumberdaya pesisir khususnya TN Sembilang. Agar supaya ketiga tujuan pembangunan
secara berkelanjutan tercapai, maka diperlukan suatu pendekatan kebijakan publik
berbasis sistem: sibernetika, holistik dan efektif. Artinya rumusan kebijakan sebaiknya
berorientasi pada tujuan (cybernetic) yang diharapkan, integratif (holistic) dengan
berbagai sektor serta efisien dan efektif (effectiveness) jika diimplementasikan dengan
prioritas dapat berhasil guna. Kebijakan publik berbasis sistem dapat direfleksikan
dalam berbagai pendekatan kebijakan.
Prinsip cybernetic dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dapat dirumuskan
dengan kebijakan sosial politik dimana terdapat tujuan utama yang harus dicapai yaitu
mereduksi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan. Prinsip holistic dapat
dirumuskan dengan kebijakan kelembagaan, yaitu adanya keterpaduan antar sektor
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Sementara itu prinsip effectiveness dapat
dirumuskan dengan kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan yang
didasarkan pada efisiensi pemanfaatan sumberdaya.
214

6.4.1 Kebijakan Sosial Politik

Perdebatan saat ini mengenai konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya


alam, khususnya hutan mangrove dalam kaitannya dengan perdagangan karbon ataupun
carbon offset adalah kekhawatiran beberapa pihak terhadap dampak negara asing pada
hubungan domestik serta hilangnya suatu kedaulatan. Beberapa perdebatan
menyebutkan bahwa kerjasama internasional perubahan iklim dan perdagangan karbon
merupakan bentuk dari “eco-colonialism” atau “carbon colonialism” dimana terjadi
tarikan secara paralel pada negara-negara yang memiliki pengalaman negatif dalam
masa kolonial dengan sistem “buka-tutup”, kontrak konsesi perusahaan-perusahaan
minyak asing dan pertambangan yang kurang adil serta harus diterima begitu saja,
sehingga terjadi trade off.
Walaupun demikian, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dua komitmen
internasional penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global dan mekanisme
pembangunan bersih, yaitu ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-
Undang (UU) No 6/1994 dan ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17/2004.
Peratifikasian ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung
upaya internasional mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi pada tingkat yang tidak
membahayakan iklim global. Selain itu juga mengikat Indonesia secara hukum (legally
binding) untuk mengikuti aturan internasional PBB dalam mekanisme perubahan iklim
itu.
Pada tahun 2009, Presiden Indonesia pada pertemuan G-20 di Pittsburg telah
menunjukkan dasar-dasar kepemimpinannya pada dunia internasional dengan komitmen
melakukan penurunan emisi GRK secara sukarela 26% dan bila ada bantuan
internasional dalam hal pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, maka
penurunan tersebut akan ditingkatkan menjadi 41%. Bahkan Presiden dalam pidatonya
pada HLS (high level segment) di Kopenhagen juga berkomitmen bahwa Indonesia
bersedia menggunakan panduan internasional (MRV) untuk melakukan pengukuran
(Measurable), pelaporan (Reportable) dan verifikasi (Verifiable) terhadap rencana aksi
mitigasi nasional, sehingga Indonesia dapat memenuhi kaidah-kaidah transparansi dan
akuntabilitas. Kepemimpinan Indonesia tersebut mendorong negara berkembang lainnya
seperti Brazil, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia untuk juga mengumumkan aksi
mitigasinya secara sukarela (Bratasida 2010).
215

Dalam menghadapi berbagai retorika tersebut serta tujuan utama reduksi emisi
CO2 yang harus dicapai, maka diperlukan rumusan kebijakan secara sosial politik untuk
aksi mitigasi adalah sebagai berikut :
a. Secara sosial, dampak tekanan penduduk terhadap lahan perlu diantisipasi dengan
mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk pada tingkat maksimum 2,58% th-1, baik
pengontrolan terhadap laju natalitas maupun pengontrolan laju inmigrasi pada
kebijakan transmigrasi saat ini. Tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di daerah
penelitian relatif tinggi (TP=2,4) dengan tingkat kebutuhan lahan minimal untuk
hidup layak rata-rata 1,02 ha org-1. Fakta ilmiah ini menunjukkan diperlukannya
instrumen kebijakan sosial yang kuat berupa pembinaan masyarakat pesisir dalam
hal pola adaptasi perubahan iklim serta pola intensifikasi lahan untuk ketahanan
pangan. Pembinaan pola adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat berupa peningkatan mata pencaharian alternatif.
Sementara itu pola intensifikasi lahan dapat dilakukan berupa pembinaan
masyarakat dalam teknik budidaya pertanian dan perikanan.
b. Secara politik, pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ akan efektif
apabila ada intervensi kebijakan terhadap rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Adanya kebijakan politik terhadap pengaturan lahan terutama pada areal yang masih
berhutan dapat mengurangi laju emisi yang akan terjadi. Prioritas pemanfaatan lahan
marjinal untuk berbagai kepentingan pembangunan ekonomi merupakan tindakan
yang paling bijaksana. Jika terdapat keterpaksaan harus melakukan konversi hutan,
maka luas maksimum yang masih dapat ditoleransi adalah kurang dari 40% pada
HPK (hutan produksi dapat dikonversi). Hal ini untuk menjaga karbon netto pada
kawasan hutan mangrove (TNS) sebagai akibat adanya konversi HPK di FA. Hutan
produksi yang dapat dikonversi tersebut (HPK) sebaiknya dialokasikan pada
kegiatan serta dengan cara-cara pengelolaan yang rendah emisi. Moratorium
konversi hutan harus diberlakukan terutama pada hutan tegakan padat serta hutan
gambut kedalaman di atas 3 meter. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi
masuk hutan gambut sebaiknya dipertimbangkan kembali, karena hal ini diprediksi
akan menyebabkan fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar,
serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Dampak kanalisasi serta
sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat tersebut sering kali
menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi,
gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran.
216

6.4.2 Kebijakan Kelembagaan

Konsep pemikiran aliran ekonomi neoklasik menunjukkan bahwa basis


pengambilan keputusan ekonomi adalah efisiensi di dalam kerangka kelembagaan yang
konstan (Djojohadikusumo 1994; Nugroho 2002). Efisiensi berdasarkan kriteria pareto
optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan
benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada
individu lainnya (Kusumastanto 2000). Metodologi neoklasik didukung oleh kerangka
teori ekonomi mikro yang canggih dan mampu menyederhanakan persoalan ke dalam
ukuran-ukuran harga dan pasar. Itu sebabnya aliran neoklasik disetarakan dengan
kelompok reductionist yang berbasis pada monodisiplin ilmu.
Sedangkan dalam aliran ekonomi kelembagaan dimana basis pengambilan
keputusan lebih didasarkan kepada pendekatan secara komprehensif (holistic) dan
multidisiplin. Pendekatan metode dari ekonomi kelembagaan disebut dengan
methodological collectivism (Randall 1987; Nugroho 2002), yang menyatakan
kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah serta hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang kesejahteraan
individu dan sosial. Dengan demikian aliran ini menjadi relevan dengan pemikiran
pembangunan berkelanjutan karena hasil-hasil keputusannya akan mementingkan
perbaikan kualitas hidup manusia.
Pada sisi lain pendekatan ekonomi kelembagaan mengutamakan pendefinisian
property right dan rule of the game terhadap keseluruhan stakeholders. Sebagai
akibatnya, pendekatan ini bukan saja menawarkan kelebihannya pada pendalaman
memahami persoalan secara holistik, tetapi juga pada pencapaian tujuan-tujuan sosial.
Pendekatan ekonomi kelembagaan akan menjadi lebih tepat sebagai dasar perumusan
kebijakan pada pengelolaan sumberdaya pesisir TN Sembilang.
Sampai saat ini, pengelolaan kawasan pesisir yang dikonservasi oleh swasta
(firma) masih menjadi perdebatan karena beberapa alasan. Untuk mereduksi
kekhawatiran tersebut, maka pelaksanaan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
(IUPJL) TNS dapat saja dibentuk Badan Usaha Perdagangan Karbon Milik Negara
(BUPKMN setingkat BUMN) untuk tingkat pusat atau BUPKMD sebagai unit
pengelola di tingkat kabupaten/kota dimana aktivitasnya sebagaimana layaknya sebuah
firma. Pihak investor dapat berkolaborasi dengan badan tersebut berdasarkan
kepemilikan saham (shareholder) dan bertindak sebagai pengusul REDD+. Pembinaan
dan pengembangan teknisnya menjadi tanggung jawab badan pengelola tersebut.
217

Sementara itu dalam hal monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi tanggung jawab
lintas departemen teknis terkait (lintas sektoral) pusat dan daerah yang tergabung dalam
Badan Lingkungan Hidup (BLH) termasuk LSM didalamnya.
Persentase kepemilikan saham dapat diusulkan sebagaimana persentase
distribusi NJ2L (nilai jual jasa lingkungan) untuk hutan lindung, yaitu: Pusat 20%,
Provinsi 10%, Kabupaten/Kota 20%, Masyarakat 20% dan investor (developer) 30%.
Demikian juga untuk distribusi pembayaran REDD+, dialokasikan berdasarkan
persentase tersebut. Satu hal pengecualian dimana kepemilikan saham masyarakat
sebaiknya ditetapkan berdasarkan golden share. Artinya masyarakat harus ditempatkan
dan diberikan sebagai pihak yang memiliki privileges (hak-hak istimewa). Masyarakat
yang dilibatkan adalah masyarakat yang hidupnya tergantung pada kawasan hutan dan
dihimpun dalam suatu kelompok usaha bersama atau koperasi. Namun demikian
penyertaan modal dapat juga diberikan dalam bentuk hutang pemegang saham koperasi
yang akan dikonversi dari keuntungan usaha.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tatanan organisasi ini adalah:
jenis-jenis kegiatan usaha penunjang dalam kawasan TNS yang diijinkan terutama
untuk alokasi kegiatan-kegiatan yang tidak berpotensi menghasilkan emisi CO2; fungsi
dan luas dari masing-masing zonasi dalam kawasan; keadaan dalam kawasan dan
sekitar kawasan (FA); serta manajemen pengelolaan kawasan.
Dalam pelaksanaan serta untuk mengamankan kawasan (land security), pihak
pemda dapat membuat regulasi pengelolaan kawasan dalam suatu Peraturan Daerah
(Perda), baik menyangkut Badan Pengelolanya maupun sistem dan mekanisme
pengusahaannya serta pengawasan distribusi pembayaran hasil penjualan karbon.
Dengan demikian dalam implementasinya terhindar dari praktek-praktek pengusahaan
TNS yang tidak bertanggung jawab.
Dalam hal pendistribusian pembayaran REDD+, Ginoga et al. (2010)
merumuskan mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan persepsi dari
Departemen Keuangan dengan memperhatikan sumber dana yang digunakan, yaitu: (1)
Dana hibah (grant), (2) Dana dari penjualan CER, (3) Dana investasi. Secara
diagramatik disajikan pada Gambar 63.
218

Buyer/
Entitas internasional

Hibah CER Investasi

CCM VCM

Pemerintah Pusat

Pajak
Pemerintah Daerah PPN,
PPh

Pengelola

Masyarakat

Ket : CCM : Compliance Carbon Market; VCM : Voluntary Carbon Market

Gambar 63 Mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan


sumber dana yang digunakan (dimodifikasi dari Ginoga at al.
2010)

Gambar 63 memberikan ilustrasi berdasarkan sumber dana yang digunakan


dalam program REDD+. Alur pertama, yaitu apabila dana dari entitas internasional
merupakan dana hibah, maka mekanisme aliran dana melalui Pemerintah Pusat, dan
didistribusikan ke Pemerintah Daerah, kemudian ke Pengelola dan kepada masyarakat.
Batasan masyarakat di sini adalah yang terkena dampak dan terkait langsung dengan
program REDD+, lembaga seperti Perguruan Tinggi yang melakukan kajian dan LSM
lingkungan.
Alur kedua, yaitu jika dana berasal dari hasil penjualan CER, maka dalam hal
ini harus dibedakan antara pasar sukarela (voluntary market) atau pasar terikat
(compliance market). Jika pasar yang terjadi adalah pasar sukarela, maka mekanisme
penyaluran dan distribusi dana adalah dapat disalurkan langsung kepada Pengelola. Jika
pasarnya adalah compliance market maka mekanisme distribusi dana melalui
pemerintah pusat, kemudian disalurkan ke pemerintah daerah, pengelola dan
masyarakat.
Alur ketiga, yaitu ketika dana berasal dari investasi murni dimana dana tersebut
dapat disalurkan langsung kepada Pengelola, kemudian didistribusikan kepada
219

masyarakat. Pada ketiga alur distribusi pembayaran REDD+ tersebut, pihak Pengelola
memiliki obligasi pembayaran pajak, baik PPN maupun PPh, sebagai kompensasi
penggunaan hutan untuk usaha REDD+.
Dalam rangka implementasi REDD+ diperlukan sistem kelembagaan yang
kredibel dan independen, baik dalam hal : (a) Pengukuran (measuring), pelaporan
(reporting) dan verifikasi (verifying), (b) Registrasi, (c) Pelaksanaan, maupun (d)
Supervisi. Selain itu lembaga ini juga harus dibentuk dan bersifat : (a) Coordinating
body yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia, (b) Accelerator yang
mampu mendorong percepatan pelaksanaan REDD+, (c) Effectiveness dan Safeguards
dalam hal efisiensi biaya serta prinsip distribusi manfaat yang lebih berkeadilan dan
mampu memberikan pengamanan dan perlindungan bagi pihak-pihak yang akan
melaksanakan REDD+. Untuk efektivitas pelaksanaan, kedudukan lembaga REDD+
berada di bawah kontrol Presiden dengan instrumen hukum sesuai perundang-
undangan. Dengan lembaga REDD+ yang lebih kredibel dan sifat-sifatnya tersebut serta
kedudukan lembaganya yang sangat strategis itu diharapkan akan lebih berdaya guna
dalam implementasinya di masa datang.
Prosedur perijinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan berupa penyerapan
karbon dan penyimpanan karbon ini sebaiknya lebih efisien dan ada kepastian dalam
proses penyelesaiannya di instansi teknis terkait, hal ini berlaku untuk areal yang tidak
dibebani hak. Sementara itu untuk areal yang telah dibebani hak, proses perijinannya
cukup mendaftarkan inisiatifnya untuk melakukan upaya REDD+, sehingga hal ini
dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost).
Sementara itu Reference emission level (REL) untuk usaha penyerapan dan
penyimpanan karbon sebaiknya dilakukan secara nasional, sehingga terdapat kepastian
dalam menetapkan baseline study. Dalam hal kawasan konservasi yang berada di
wilayah yang emisi historisnya rendah, maka sebaiknya tidak diwajibkan menggunakan
REL secara historis.

6.4.3 Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Berdasarkan fakta ilmiah hasil simulasi pada dua skenario yang dikembangkan
menunjukkan pola kriteria pareto optimum. Tingkat alokasi sumberdaya mangrove
memberikan peningkatan benefit kepada variabel sylvofishery, tetapi memberikan
dampak pada turunnya variabel karbon terestrial. Oleh karena itu basis pengambilan
220

keputusan diantara dua opsi pemanfaatan pada skenario model CC tersebut harus
didasarkan pada aspek efisiensi optimum pemanfaatan sumberdaya alam.
Penerapan model investasi domestik maupun asing dalam proyek pengelolaan
hutan mangrove berbasis REDD+ menunjukkan bahwa karakteristik insentif atau pun
harga karbon yang rendah sangat merugikan negara-negara produsen karbon. Pasar
kredit emisi karbon akan eksis apabila pendapatan dari kegiatan REDD+ lebih besar
atau minimal sama dengan pendapatan yang diperoleh dari alternatif penggunaan lain.
Selain itu juga tidak ada kesenjangan harga karbon yang terlalu besar antara harga
karbon di pasar negara-negara produsen (Non- Annex-I Country) dengan harga karbon
di negara-negara konsumen (Annex-I Country).
Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini merupakan
komitmen nasional dan akan mencapai optimasi pemanfaatan pada tingkat payment for
ecosystem services (PES) di atas 8 USD tCO2-1. Apabila nilai karbon pada mekanisme
standar market (pasar wajib maupun pasar sukarela berdasarkan mekanisme Kyoto dan
non-Kyoto) terdistorsi yang menyebabkan jatuhnya harga, maka disarankan untuk
memanfaatkan peluang sumber pendanaan lainnya, yaitu: (1) non-open market yang
bersumber dari dana publik, seperti dana-dana CSR nasional dan internasional maupun
dana publik lainnya, (2) Dana kerjasama bilateral dan multilateral untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim seperti Debt for Nature Swap
(DNS), yaitu pengalihan hutang yang digunakan untuk membiayai program konservasi
keanekaragaman hayati dan hutan tropis, maupun dana hibah lainnya untuk membantu
negara berkembang dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. Apabila mekanisme REDD+
sudah disetujui oleh para pihak penandatangan konvensi anggota PBB, maka kredit
karbon dari kegiatan REDD+ dapat diperjual belikan nantinya setelah tahun 2012.
Kebijakan penurunan emisi 26% pada tahun 2020 merupakan komitmen
Pemerintah Indonesia tentang keseriusannya dalam membantu mengurangi emisi GRK
tanpa bantuan negara asing. Bahkan bila ada bantuan internasional dalam hal
pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dapat ditingkatkan menjadi
41%. Untuk merealisasikan komitmen Pemerintah dalam penurunan emisi GRK sebesar
26% dan 41% tersebut, maka pengelolaan 50 Taman Nasional yang ada di Indonesia
dengan luas sekitar 12,7 juta ha dapat dipertimbangkan pengelolaannya berbasis
REDD+.
Penurunan emisi GRK sebesar 26% dan 41% merupakan suatu keniscayaan
dapat direalisasikan dengan berbagai skema pendanaan. Beberapa sumber (Boer et al.
221

2009) menjelaskan bahwa salah satu dana multilateral untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan demonstrasi REDD ialah FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) dan
Climate Investment Funds (CIF) yang dikelola oleh World Bank (WB). CIF terdiri dari
: (1) Strategic Climate Fund (SCF) yang dibawahnya terdapat dana program Forest
Investment Fund (FIP) untuk mendukung pelaksanaan REDD+, dan (2) Clean
Technology Fund (CTF) untuk mendukung dan mengembangkan kegiatan atau program
penurunan emisi dalam penggunaan teknologi rendah emisi menjadi skala yang lebih
besar diantaranya yang ada di sektor pertanian. Dana Bilateral yang ditawarkan ke
Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kegiatan REDD+ juga sudah banyak tersedia
diantaranya dari negara-negara: German (melalui KfW dan GTZ melalui Biro KLN
Dephut), Australia, Korea (melalui AFOCO/Asia Forest Cooperation Organization)
untuk mendukung negara ASEAN dan Asia Timur dalam melaksanakan proyek-proyek
hijau (green projects) dan sumber pendanaan negara lainnya.
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka penerapan kebijakan skenario
model CC dalam pengelolaan sumberdaya pesisir akan mencapai tujuan pembangunan
secara berkelanjutan. Selain itu dengan skenario model CC dapat memberikan
kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam
rangka penurunan emisi GRK.
Secara agregat, hasil simulasi skenario model CC menunjukkan bahwa kawasan
TN Sembilang memiliki potensi karbon sekuestrasi sebesar 109,36 MtCO2 selama umur
simulasi atau rata-rata sebesar 4,37 MtCO2 th-1. Secara kumulatif pada tahun 2020
kawasan TN Sembilang dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan
emisi GRK sebesar 72,03 MtCO2. Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi
Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO2 (DNPI 2009) dimana penurunan emisi
26% adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kawasan
pesisir TN Sembilang mampu memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sekitar
10,65% terhadap komitmen penurunan emisi Pemerintah Indonesia pada tahun 2020
atau sekitar 2,77% terhadap total prediksi potensi emisi GRK nasional. Tingkat karbon
sekuestrasi di wilayah pesisir TNS secara rinci disajikan pada Lampiran 24.
Berdasarkan hasil analisis skenario model CC tersebut menunjukkan bahwa
efisiensi optimum akan tercapai apabila opsi pemanfaatan hutan mangrove dialokasikan
pada kegiatan-kegiatan rendah emisi karbon. Tingkat karbon sekuestrasi kawasan TNS
sangat tergantung pada tingkat emisi CO2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi
hutan mangrove primer (Hmp, C:227,3 tCha-1) di FA untuk hutan tanaman industri
222

(Eucalyptus sp. C:75,9 tCha-1) menunjukkan dimana tingkat emisi CO2 yang
dihasilkannya relatif lebih rendah (555,13 tCO2 ha-1) dibanding emisi karbon hasil
konversi untuk tambak (833,43 tCO2 ha-1). Demikian halnya konversi pada hutan rawa
sekunder (Hrs, C:77 tCha-1) untuk hutan tanaman, emisi CO2 yang dihasilkannya
sebesar 4,03 tCO2 ha-1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi
karbon sebesar 282,33 tCO2 ha-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alokasi
areal untuk tambak akan menghasilkan rendah emisi karbon apabila pemanfaatannya
berasal dari lahan-lahan marjinal.
Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ sangat erat kaitannya
dengan proses produksi yang bercirikan rendah karbon. Atas dasar itu, diperlukan aksi
pengelolan tata ruang yang tahan perubahan iklim dengan tidak melakukan kanalisasi
pada aksi pemanfaatan ruang di lahan gambut. Hal ini dapat menyebabkan subsidensi,
yaitu penurunan water table di bawah gambut yang menyebabkan kekeringan dan
sangat rentan terhadap kebakaran. Selain itu agar unit-unit pelaksana teknis di wilayah
Kabupaten Banyuasin, khususnya di kawasan pesisir TN Sembilang dapat melakukan
pemberdayaan masyarakat pesisir pada aspek penguatan mata pencaharian alternatif.
Melalui cara itu diharapkan tingkat resiliensi penduduk menjadi lebih tinggi terhadap
perubahan iklim global.
Kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dengan pendekatan
model SAVE DYNAMIC dapat diaplikasikan di wilayah Taman Nasional lain di
Indonesia, sehingga data-data kandungan karbon berbagai tutupan lahan yang
dihasilkan pada penelitian ini (TNS) dengan kategori Tier-3 dapat digunakan sebagai
data default Tier-2 untuk Taman Nasional (TN) lainnya. Sementara itu untuk data-data
kandungan karbon yang masih menggunakan data default Tier-2 pada penelitian ini,
maka untuk implementasi di TN lainnya dapat dilakukan penelitian secara allometrik
pada kategori Tier-3.

Anda mungkin juga menyukai