Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN BAYI BARU LAHIR DI RUANG PERINATOLOGY

RUMAH SAKIT WAVA HUSADA KEPANJEN

DI SUSUN OLEH :

DURROTUL LAM’ATIS TSANIYAH

( NIM 16.100.34 )

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN MALANG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


LAPORAN PENDAHULUAN
“KEJANG DEMAM”

A. DEFINISI
Kejang demam adalah gangguan neurologis yang paling sering ditemukan pada
anak, hal ini terutama pada rentang usia 4 bulan sampai 4 tahun. Berbagai kesimpulan telah
dibuat oleh para peneliti bahwa kejang demam bisa berhubungan dengan usia, tingkatan
suhu tubuh serta kecepatan peningkatan suhu tubuh, termasuk factor hereditas juga
berperan terhadap kejang demam lebih banyak dibandingkan anak normal (Sodikin,2012).
Kejang demam juga dapat diartikan sebagai suatu kejang yang terjadi pada usia
antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya tanda-
tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. (Meadow, 2005)
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena peningkatan
suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan - 4 tahun, lamanya
kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya
demam. (Hidayat, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh sebagai akibat
proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi
dimana suhunya berkisar antara 38,9o − 40,0oC) namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi
intrakranial atau penyebab yang jelas. Kejang demam ini lebih sering terjadi pada anak
usia 6 bulan – 5 tahun, dengan lama kejang kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan
dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam

B. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas.
Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan atas, infeksi saluran
kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum dengan pergerakan klonik selama
kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak ada tanda-tanda defisit neurologis pada saat
serangan telah menghilang. Sekitar sepertiga akan mengalami kejang demam kembali jika
terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami kejang setelah usia 6 tahun. Kejang
yang lama, fokal, atau berulang, atau gambaran EEG yang abnormal 2 minggu setelah
kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam berulang). (Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan dalam
menyebabkan kejang demam antara lain :
1) Demam itu sendiri
2) Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
3) Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
5) Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas.
6) Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan menjadi
intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Congenital : disgesenis, kelainan serebri

Ekstrakranial meliputi:
1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit
(Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3) Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan
piridoksin.

Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu :


1) Riwayat kejang dalam keluarga
2) Usia kurang dari 18 bulan
3) Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang demam,
semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
4) Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya demam dengan
kejang, maka semakin besar risiko kejang demam berulang.
C. KLASIFIKASI KEJANG
1. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a. Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari hal-hal
berikut :
1) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh,
biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi
merata.
2) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi
pupil.
3) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar suara musaik,
merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
4) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan, penglihatan
panoramik. (Betz, 2009)
b. Kejang Parsial Kompleks
1) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu kejang
parsial sederhana.
2) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir mengecap,
mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)

2. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)


a. Kejang Lena
1) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
2) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15
detik.
3) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai
perhatian penuh.
4) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia 18
tahun. (Betz, 2009)
b. Kejang Mioklonik
1) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter.
2) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis
melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara sinkron.
3) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran singkat.
(Betz, 2009)

c. Kejang Tonik-klonik (grand mal)


1) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot
ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang dari
satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
2) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3) Tidak ada respirasi dan sianosis.
4) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan bawah.
5) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
d. Kejang Atonik
1) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak
mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
e. Status Epileptikus
1) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
3) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)

D. Tanda Dan Gejala Klinis Klinis Kejang Demam


Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
a. Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
b. Kejang umum tonik dan atau klonik
c. Umumnya berhenti sendiri
d. Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

E. PATOFISIOLOGI
Pada anak mudah sekali untuk terinfeksi bakteri, virus dan parasit yang
mengakibatkan reaksi inflamasi dan terjadinya proses demam sehingga menjadi hipotermi
maka terjadi demam. Demam akan menimbulkan proses peradangan maka anak akan
mengalami anoreksi maka akan muncul diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
dan terjadilah kejang yang dapat mengakibatkan resiko cedera. Kejang dengan frekuensi
lebih dari 15 menit akan menyebabkan perubahan suplay darah ke otak sehinnga terjadi
hipoksia kemudian permeabilitas kapiler meningkat akan mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan
sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2) Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
3) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ᵒC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan
makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
F. PATHWAY

Infeksi bakteri

Virus dan parasit

Reaksi inflamasi

Proses demam

Hipertermi

G.
Proses
Demam Keringat meningkat
peradangan

Mengubah keseimbangan Gangguan pemenuhan cairan


Anoreksi
membran sel neuron

Kekurangan
Ketidakseimbanga volume cairan
Melepaskan muatan listrik yang
n nutrisi kurang
besar
dari kebutuhan
tubuh

Kejang Resiko cedera


Sel neuron otak
rusak

Kurang dari 15 menit Lebih dari 15 menit


Permeabilitas
kapiler meningkat

Tidak menimbulkan
gejala sisa Perubahan suplay
darah ke otak hipoksia
H. Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam
1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG
abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG
tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan
laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil
seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi
pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur
kurang dari 18 bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
6. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka
(di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi
kepala.

I. Penaktalaksanaan Medis
1. Pengobatan
a. Pengobatan fase akut
Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam yang
diberikan melalui interavena atau indra vectal.
Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan).
Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama setelah 20
menit.
b. Turunkan panas
Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
Kompres air PAM / Os
c. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,
walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila aga gejala meningitis atau
bila kejang demam berlangsung lama.
d. Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam dan
profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk profilaksis
intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/hgBB/hari.
e. Penanganan sportif
1) Bebaskan jalan napas
2) Beri zat asam
3) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Pertahankan tekanan darah
2. Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri
diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata
Dapat digunakan :
– Fero barbital : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
– Fenitorri : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
– Klonazepam : (indikasi khusus)
J. TEMUAN PENGKAJIAN
1. Manifestasi klinis
a. Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak mendapatkan pertolongan
medis, tetapi anak mungkin dalam keadaan tidak sadar. (Muscari, 2005)
b. Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi kejang tonik-
tonik (yi., tonik−kontraksi otot, ekstensi ekstremitas, kehilangan kontrol defekasi
dan kandung kemih, sianosis, dan kehilangan kesadaran; klonik−kontraksi dan
relaksasi ekstremitas yang teratur (ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan
dengan ketidaksadaran persisten). (Muscari, 2005)
c. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam. (Muscari,
2005)
d. Suhu tubuh mencapai 39oC. (Dewanto, 2009)
e. Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai
kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang, gejala kejang bergantung pada
jenis kejang. (Dewanto, 2009)
f. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. (Dewanto, 2009)
2. Temuan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
a. Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan
fokus kejang. (Betz, 2009)
b. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz, 2009)
c. Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan
pemindaian CT. (Betz, 2009)
d. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang
yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik
atau alirann darah dalam otak. (Betz, 2009)
e. Uji laboratorium
1. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama dipakai untuk
menyingkirkan infeksi.
2. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3. Panel elektrolit
4. Skrining toksik dari serum dan urin
5. GDA
6. Kadar kalsium darah
7. Kadar natrium darah
8. Kadar magnesium darah. (Betz, 2009)

K. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Bila kejang berhenti dengan algoritma tata laksana kejang, maka dilanjutkan
dengan terapi profilaksis intermiten atau rumatan pada saat demam berupa :
1) Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kg/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10
mg/kg/hari tiap 4-6 jam.
2) Antikejang : diazepam oral 0,3 mg/kg/dosis tiap 8 jam saat demam atau diazepam
rektal 0,5 mg/kg/hari setiap 12 jam saat demam.
3) Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan pada kasus kejang
demam kompleks dengan faktor risiko. Obat yang digunakan adalah fenobarbital 3-5
mg/kg/hari atau asam valproat 15-20 mg/kg/hari. (Dewanto, 2009)

L. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Data Fokus
 Badan terasa panas
 Adanya mual dan muntah
 Adanya kesulitan saat bernafas
 Adanya aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak terkoordinasi, kelemahan
 Merasa tidak nyaman, gerah.
 Adanya kekhawatiran orang tua.
 Membran mukosa / kulit kering
 Perubahan tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/ kontraksi sekelompok otot.
 Penurunan kesadaran
 Tingkah laku distraksi/gelisah.
 Saliva keluar berlebih.

2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan Carpenito (2001) dan Doenges, (2000), diagnosa keperawatan yang
sering muncul pada pasien kejang demam adalah :
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder
terhadap infeksi
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan oral.
c. Risiko terjadinya kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
d. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder akibat
kejang.
e. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit dan perawatan.
g. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kejang berulang.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder
terhadap infeksi.
Tujuan : suhu tubuh normal : 36,5 – 37oC
Intervensi :
1) Kaji faktor penyebab terjadinya hipertermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi. Penambahan
pakaian/selimut dapat menghambat penurunan panas.
2) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan
perkembangan perawatan.
3) Pertahankan suhu tubuh normal.
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu
lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya
tubuh.
4) Beri kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduktif
5) Longgarkan pakaian, berikan pakaian yang tipis yang menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat.
6) Beri ekstra cairan (air, susu, sari buah dll).
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
7) Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan
produksi panas.
8) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional :menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.
9) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
Rasional : peningkatan kadar WBC merupakan indicator adanya infeksi
b. Resiko terjadi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
Tujuan : Kejang berulang tidak terjadi.
Intervensi :
1) Observasi kejang dan dokumentasikan karakteristiknya : awitan dan durasi,
kejadian pra kejang dan pasca kejang.
Rasional :Untuk mengetahui kejang secara dini dan jika ada kelainan akibat
kejang.
2) Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang menyerap keringat.
Rasional : proses konfeksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak
menyerap keringat.
3) Beri kompres hangat
Rasional : pembuluh darah dilatasi, panas keluar.
4) Beri extra cairan (air, susu, sari buah dan lain-lain).
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
5) Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan
dilakukan.
6) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan Sebagai
propilaksis.
c. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi :
1) Lakukan suction
Rasional : Untuk rnengeluarkan cairan atau sekret yang ada dalam saluran
pernafasan.
2) Setelah kejang berikan pasien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat
dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Untuk mencegah bila terjadi aspirasi, isi lambung tidak menutupi
jalan nafas.
3) Atur tempat tidur di bagian kepala ditinggikan kurang lebih 45oC.
Rasional : Kepala lebih tinggi akan memudahkan pasien dalam bernafas.
4) Berikan tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Untuk mencegah resiko cidera yaitu lidah tergigit
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan batuk dan mengatasi
sekresi.
Rasional : faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya atau suara
yang hiperaktif.
Rasional :bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan
atau berkembangnya komplikasi.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional :mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian
nutrisi.
4) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
Rasional :meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap
nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
5) Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat
makan.
Rasional : sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat
meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
6) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
Rasional : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan
penyakit sekarang.
e. Kekurangan volume cairan kebutuhan penurunan masukan oral.
Tujuan : Cairan pasien adekuat.
Intervensi :
1) Awasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : kekurangan atau perpindahan cairan menurunkan tekanan darah,
mengurangi volume nadi.
2) Catat perkembangan turgor kulit, hidrasi, membran mukosa.
Rasional :kekurangan cairan juga dapat diidentifikasi dengan penurunan
turgor kulit, membran mukosa kering.
3) Ukur atau hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan cairan, catat
kehilangan tidak tampak (IWL).
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan umum,
kecenderungan keseimbangan cairan negatif dapat menunjukkan terjadi
defisit.
4) Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air tubuh total.
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena.
Rasional : salah satu cara untuk memenuhi keseimbangan cairan dalam tubuh
ialah dengan cara pemberian melalui parentral.
f. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik skunder akibat
kejang.
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Intervensi :
1) Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang
rendah.
Rasional : Meminimalkan injuri saat kejang.
2) Jangan tinggalkan klien selama fase kejang.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien.
3) Beri tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Menurunkan resiko trauma pada mulut.
4) Letakkan klien pada tempat tidur yang lembut.
Rasional : Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstremitas ketika
kontrol otot volunter berkurang.
5) Setelah kejang berikan klien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat
dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Mencegah penutupan jalan nafas.
6) Kendurkan pakaian pasien.
Rasional : Mengurangi tekanan pada jalan nafas.
7) Catat tipe dan frekuensi kejang.
Rasional : Membantu menurunkan lokasi area cereberal yang terganggu.
8) Catat tanda-tanda vital setelah fase kejang.
Rasional : Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.
g. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
penyakit dan perawatan.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan
kebenaran informasi yang didapat.
2) Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu
menambah wawasan keluarga.
3) Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah
kejang demam.
Rasional : Agar keluarga mengetahui cara menolong anak kejang dan
rnencegah kejang demam.
4) Jelaskan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Rasional : Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.
h. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kejang berulang.
Tujuan : Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan.
Intervensi :
1) Cegah terjadinya kejang berulang.
Rasional : dengan tidak terjadinya kejang berulang dapat mencegah
terjadinya kerusakan motorik dan sensorik.
2) Konsul dengan ahli terapi untuk mengevaluasi obat sesuai indikasi.
Rasional : Pengobatan yang teratur akan dapat mencegah terjadinya
gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
3) Berikan anak latihan dan kesempatam meningkatkan hubungan sosial.
Rasional : Latihan dan hubungan sosial dengan orang lain dapat membantu
pertumbuhan dan perkembangan.
4) Berikan nutrisi yang cukup/memenuhi kebutuhan tubuh.
Rasional : Nutrisi akan dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC

Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta : salemba Medika

Meadow, Sir Roy. 2005. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga

Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai